Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 30 April 2018

ARTIKEL OPINI: Peran Ilmuwan Sosial Era Mahadata (M ALFAN ALFIAN)

Di era data melimpah atau mahadata (big data) dewasa ini, dalam banyak hal peran ilmuwan sosial tergusur oleh siapa saja yang mampu menganalisis data melimpah untuk keperluan praktis tertentu.

Kecenderungan elektabilitas tokoh atau partai politik menjelang pemilu yang ditimba dari analisis mahadata, misalnya, dewasa ini tengah menjadi kecenderungan. Mahadata sebagai himpunan data (data set) yang luar biasa besar jumlahnya, sedemikian rumit dan tak terstruktur dipakai sebagai basis analisis yang dengan aplikasi rumus algoritma tertentu mampu menghasilkan data baru yang bahkan realtime. Penggunaannya tak sekadar sebatas bidang ekonomi dan bisnis, tetapi juga politik.

Kini masih hangat perbincangan kasus kontroversial yang menyebabkan Mark Zuckerberg dimintai kesaksiannya oleh Kongres Amerika Serikat terkait kebocoran data pengguna Facebook. Data tersebut berikut jutaan data pengguna media sosial lainnya telah dimanfaatkan Cambridge Analytica, perusahaan yang didirikan Steve Bannon, mantan ketua tim strategi Gedung Putih, untuk kampanye Pilpres AS 2016 dalam rangka memenangkan Trump.

Sebagai pemilik Facebook, Zuckerberg mengaku tak dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik, melakukan kesalahan besar, dan meminta maaf. Fenomena menghebohkan publik internasional ini segera memicu kesadaran bersama tentang rentannya data pribadi di media sosial untuk disalahgunakan dan perlindungannya.

Fenomena ilmu-ilmu sosial di era mahadata telah menarik perhatian Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam uraian orasinya pada pelantikan pengurus Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), di Jakarta, 17 April 2018.

Pratikno mengingatkan ragam konsekuensi baru yang menyertai revolusi industri 4.0, terutama terkait banyaknya jenis pekerjaan yang diambil alih mesin atau perangkat kecerdasan artifisial. Namun, dia melihat ilmuwan sosial tetap memiliki peran penting dalam mempertahankan tradisi berpikir mendalam (deep thinking) dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan guna membangkitkan kreativitas manusia. Mereka berperan membingkai makna, menganalisis mendalam potensi keuntungan dan risiko hal-hal baru, di tengah era mahadata yang berkecenderungan mengondisikan cara berpikir instan, artifisial, serba cepat, praktis, dan pragmatis.

Masalah berpegang pada nilai, digarisbawahi pula oleh Ketua HIPIIS Muhadjir Effendy, bahwa kendatipun arah perkembangan ilmu sosial sangat lekat dengan teknologi, tetapi imajinasi, kreativitas, empati, kemampuan berjejaring, negosiasi dan pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan norma, tetap tak tergantikan (Kompas, 18/4/2018). Penegasan ini mengingatkan bahwa pada hakikatnya ilmu sosial merupakan roh dari segala ilmu karena terdapat dimensi norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang dijadikan pegangan.

Berpikir mendalam

Tradisi berpikir mendalam itulah yang membuat ilmuwan sosial tetap penting dan diperlukan, walaupun terkesan terpinggir. Banyak kajian tentang hakikat berpikir mendalam, tetapi yang cukup populer merujuk Gary Kasparov, Deep Thinking: Where Machine Intelligence Ends and Human Creativity Begins (2017).

Buku Kasparov, pemain catur terbesar sepanjang masa yang pensiun pada 2005 ini, mengisahkan pengalamannya kalah tipis dari superkomputer IBM Deep Blue pada 1997. Fenomena manusia melawan mesin itu bagaimanapun mengingatkan bahwa kecerdasan buatan (artificial intelligence) semakin menjadi lawan tanding kecerdasan alamiah manusia yang tak dapat diremehkan.

Revolusi industri 4.0 merefleksikan pengalaman Kasparov itu ke konteks lebih luas. Keberlimpahan data, kecerdasan buatan, dan hal-hal penting lainnya pasca-internet, semakin menantang. Kendatipun demikian, Presiden Joko Widodo dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam konteks ini mengingatkan untuk juga melihat sisi peluang. Di ranah ilmu-ilmu sosial merujuk Mensesneg Pratikno, peluangnya mengerucut penguatan tradisi berpikir dan pemberi makna mendalam serta penumbuh kreativitas (human creativity).

Peran ilmuwan sosial

Masalahnya, bagaimana ilmuwan sosial mampu berkonsentrasi mempertahankan tradisi berpikir mendalam dan kreatif, justru di tengah kompleksitas tantangan? Dalam konteks ini, ilmuwan sosial harus tetap berikhtiar berpikir obyektif dan bersikap kritis dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan, terlepas dari posisinya apakah di lingkaran kekuasaan atau tidak.

Sebagai ilmuwan sosial yang tersohor pada masanya, Soedjatmoko pernah mengingatkan pentingnya "dimensi manusia" dalam pembangunan. Ini artinya, ilmuwan sosial harus tetap berdiri di barisan paling depan sebagai juru ingat, agar proses-proses pembangunan tidak melupakan "dimensi manusia".

Ilmuwan sosial harus tetap bekerja berbasis riset disertai kemampuan reflektif yang bertumpu nilai-nilai kemanusiaan. Ilmuwan sosial tetap menjadikan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset akademis sebagai basis pengembangan keilmuan. Ilmuwan sosial bukan entitas bebas nilai. Mereka bekerja dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.

Mereka punya tanggung jawab sosial dan kemanusiaan kendatipun tetap bekerja secara obyektif dan akademis. Kontribusi pemikirannya sangat diperlukan dalam merespons masalah-masalah bangsa yang beragam, dari soal demokrasi hingga masa depan integrasi bangsa. Ilmuwan sosial dapat mengedepankan pendekatan optimistis dalam memaknai pembangunan di tengah ragam realitas obyektif permasalahan bangsa.

Peran ilmuwan sosial membentang dari pemikiran dan perencanaan pembangunan, pembingkai makna berbagai fenomena sosial kebangsaan, hingga sikap kritis dalam mengingatkan peran dan tanggung jawab kelembagaan negara dan politik dalam tradisi demokrasi. Ilmuwan sosial juga jembatan perkembangan teknologi dan realitas sosial ke dalam pertimbangan cermat dan mendalam dalam proses pengambilan kebijakan, pun pemberi alternatif solusi masalah krusial kebangsaan dan perawat akal sehat kolektif. Yang terakhir ini penting tatkala dinamika komunikasi media sosial sarat dengan propaganda kebohongan (hoaks).

M Alfan Alfian Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional dan Pengurus Pusat HIPIIS

Kompas, 30 April 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Generasi Muda Korea Mewujudkan Reunifikasi (I BASIS SUSILO)

AFP PHOTO/KOREA SUMMIT PRESS POOL/KOREA SUMMIT PRESS POOL

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (kiri) berjalan bersama Presiden Korea Selatan Moon Jae-in (kanan) setelah pertemuan di Batas Demarkasi Militer yang membelah kedua negara di Panmunjom, Jumat (27/4/2018).

Jumat (27/4/2018), Presiden Korea Utara Kim Jong Un dijadwalkan bertemu Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Gedung Perdamaian, Panmunjeon, Korea Selatan. Pertemuan tingkat tinggi dua pemimpin dari dua negara satu bangsa itu menumbuhkan lagi harapan terwujudnya reunifikasi Korea.

Setiap kali ada pembicaraan antardua pemerintah di Korea itu selalu muncul dua pertanyaan. Apakah akan ada reunifikasi? Kalau ada, kapan reunifikasi itu terjadi? Reunifikasi pasti terjadi. Tiga alasan berikut mendasari jawaban optimistis itu. Pertama, usaha membahas reunifikasi sudah sering dilakukan, bahkan sering disebut reunifikasi sebagai a secret and universally-desired goal. Bahkan pula, ada kementerian khusus dibentuk untuk urusan itu.

Kedua, Korea adalah bangsa yang relatif homogen secara etnis dan budaya sehingga punya landasan kuat untuk bersatu kembali. Ketiga, ada perhitungan bahwa jika sudah bersatu, Korea akan lebih kuat dan menghadapi tantangan zaman di milenium ketiga. Karena itu, pertanyaan bukan apakah (if), tapi kapankah (when) reunifikasi terwujud.

Usaha reunifikasi sudah muncul saat AS "mendekati" China awal 1970-an. Pernyataan bersama ditandatangani 1972. Setelah Jerman bersatu, Kim Il Sung dan Roh Tae-woo menyatakan harapan bersama penyatuan Korea segera terwujud pada 1992. Pada Juni 2000, ada lagi pernyataan bersama menuju reunifikasi damai di Korea.

Semangat kepersatuan ditunjukkan dengan olahraga. Pada Kejuaraan Dunia Tenis Meja di Jepang pada 1991, kedua negara menjadi satu tim. Pada upacara pembukaan  Olimpiade 2000, 2004, dan 2008, mereka sudah berbaris bareng kendati bertanding dengan bendera masing-masing. Pada Olimpiade Musim Dingin 2018 keduanya menampilkan tim hoki es putri.

Jawaban atas pertanyaan kedua, soal kapannya, adalah menunggu terpenuhi syarat dan kondisi untuk reunifikasi. Artinya, hingga kini selain komitmen, kondisi dan syarat lain belum cukup. Pertama, adanya kesepakatan tentang bentuk negara dari Korea bersatu. Kedua, adanya kemauan dan kemampuan menanggung ongkos untuk reunifikasi, yang didasari perhitungan bahwa ongkos itu bisa dikompensasi dengan keuntungan jika bangsa Korea bersatu.

Soal komitmen, reunifikasi memang selalu dianggap penting bagi rakyat Korsel. Namun, muncul gejala penurunan tingkat pentingnya reunifikasi itu di Korsel. Survei Lembaga Unifikasi Nasional, pada 1990-an, 80 persen rakyat masih menganggap reunifikasi sebagai esensial. Pada 2011, angka itu turun menjadi 56 persen. Pada 2017, sekitar 72,1 persen generasi mudanya percaya reunifikasi tidak perlu karena mereka lebih tertarik isu-isu ekonomi, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan hidup.

Di Korut, rakyat punya keinginan reunifikasi lebih kuat. Soal sistem, 14 persen ingin tetap dengan sistem sosialisme, 26 persen kompromi antardua sistem, 34 persen lebih memilih sistem Selatan, dan 24 persen lain tak peduli sistem sosialisme atau kapitalisme. Soal bagaimana reunifikasi terjadi, hanya 8 persen berharap Korut yang mengontrol prosesnya, 7 persen bilang akan terjadi ketika Korut hancur, 22 persen berharap Korsel mengabsorbsi Korut. Lainnya, 63 persen, berharap melalui negosiasi setara di antara dua Korea.

Soal kemampuan membayar ongkos reunifikasi, sudah ditunjukkan bagaimana rakyat Korsel, terutama generasi mudanya, mulai bersungut-sungut dan enggan menanggungnya. Hal itu karena jurang pendapatan amat lebar. Jika bersatu, ongkos amat banyak sehingga mengurangi kesejahteraan rakyat Korsel.

Ketika reunifikasi Jerman, GNP/kapita Jerman Barat (25.000 dollar AS) tiga kali lipat Jerman Timur (8.500 dollar AS), sementara kini Korsel (36.700 dollar AS) atau 20 kali lipat Korut (1.800 dollar AS). Padahal, penduduk Jerman Timur  (17 juta) sepertiga dari Jerman Barat (60 juta), dan penduduk Korut (25 juta) separuh dari Korsel (51 juta). Intinya, ongkos reunifikasi Korea jauh lebih mahal daripada reunifikasi Jerman.

Namun, ke depan, apabila bersatu, Korea akan lebih mampu bersaing dengan bangsa lain, khususnya Jepang yang pernah menjajahnya pada 1910-1945. Menurut Goldman Sachs (2009), potensi kekuatan ekonomi Korea yang bersatu akan melampaui semua negara G-7 kecuali AS dalam 30-40 tahun, dengan perkiraan PDB 6 triliun dollar AS lebih pada 2050.

Buruh yang terampil dan muda dan sumber daya alam dari Utara dikombinasikan dengan teknologi canggih, infrastruktur dan modal besar di Selatan, akan menciptakan ekonomi yang lebih besar daripada negara G-7. Menurut beberapa pendapat, bahkan Korea yang bersatu bisa terjadi sebelum 2050.

Ketika melihat keinginan jelas, tetapi terkendala syarat dan kondisi yang berat untuk mewujudkan, biasanya muncul massa kritis yang memelopori sikap dan tindakan baru. Biasanya, massa kritis itu kalangan muda karena di mana-mana generasi muda pelopor dinamika kehidupan, ketika bangsanya dalam kesulitan.

Pertama, mereka selalu melihat ke depan. Ibaratnya, generasi muda bisa "melihat fajar ketika matahari akan terbenam". Jika berpikir strategis, prediksi Goldman Sach tentu mendorong generasi muda Korea mewujudkan reunifikasi.

Kedua, mereka yang selalu bersedia berisiko dan berkorban demi jayanya bangsanya di masa depan. Memang keinginan generasi muda zaman now cenderung kekinian dan berpikir praktis jangka pendek. Namun, mesti diingat, generasi muda selalu punya sifat alamiah untuk berpikir strategis ke depan, bersedia berjuang dan berkorban untuk masa depan bangsanya.

Atas dasar itu, generasi muda diharapkan punya cara mewujudkan reunifikasi bangsanya, dengan mengadakan kompromi produktif bagi kemajuan bangsanya. Mereka tentu akan lebih nyaman jika kemajuan bangsanya bersifat endogen daripada sekadar eksogen. Yang dari Utara tentu tak ingin terus-menerus membiarkan elitenya menarik keuntungan mereka sendiri dengan melakukan teror senjata nuklir dan mengabaikan tuntutan dan kepentingan kesejahteraan rakyat. Yang dari Selatan tentu juga tak ingin terus menggadaikan kedaulatan dan keamanan militernya pada kekuatan luar demi membeli kesejahteraan ekonomi.

I Basis Susilo, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

Kompas, 30 April 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Minoritas dalam Pilkada (ABDUL MU’TI)

Perhelatan pilkada sudah menggeliat. Masa kampanye sudah berjalan separuh waktu. Pemungutan suara tinggal menghitung hari. Meski tampak adem-ayem, pilkada tetap saja menyimpan bara dalam sekam. Berbagai isu kampanye bisa menjelma prahara. Salah satu yang akan mudah tersulut adalah masalah agama.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, bangsa Indonesia memandang agama sebagai hal yang utama. Benar bahwa mayoritas umat beragama terdiri atas kelompok moderat. Tetapi, dengan orientasi teologi dan ibadah yang begitu kuat, karakter keberagamaan lebih cenderung eksklusif. Sentimen agama mudah tersulut.

Contoh aktual adalah aksi massa 411 dan 212 yang terjadi menjelang Pilkada DKI Jakarta. Aksi yang menaklukkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tersebut didukung oleh hampir seluruh unsur umat Islam termasuk dari kalangan moderat.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ketua Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) Said Aqil Siroj didampingi Sekretaris Umum LPOI Lutfi A Tamimi (kiri) dan perwakilan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam Al Washliyah Aris Banaji (kanan) membacakan deklarasi bersama untuk memerangi berita bohong atau hoax di Kantor LPOI, Jakarta, Jumat (9/3/2018). LPOI yang terdiri dari Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Al Irsyad Al Islamiyah, Mathlaul Anwar, Al Ittihadiyah, Persatuan Islam Tiongoa Indonesia, Ikatan Dai Indonesia, Azzikra, Syarikat Islam Indonesia, Al Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Persatuan Umat Islam, Himpunan Bina Muallaf Indonesia dan Nahdlatul Wathan mengajak semua kalangan untuk memerangi hoax dan mengutuk para pelaku yang kerap mengadu domba masyarakat melalui isu SARA.

Kedua, bangsa Indonesia belum memiliki fondasi multikulruralisme dan pluralisme yang otentik dan kokoh. Prasyarat substantif bagi terbangunnya kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan yang ideal belum terbentuk (Setara, 2018). Oleh karenanya, menurunnya angka kekerasan keagamaan tak linear dengan Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB).

Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan tercatat 151 peristiwa dan 201  tindakan tahun 2017.  Angka ini lebih rendah dibandingkan 2016 masing-masing 2.018 peristiwa dan 270 tindakan.  IKUB turun dari 75,36 (2015), 75,47 (2016) dan 72, 27 (2017). Menurunnya IKUB tahun 2017 dipengaruhi oleh pilkada yang sudah memanas di beberapa daerah (Balitbang Kemenag, 2018).

Ketiga, sistem politik yang terbuka dan relasi antara agama dengan negara. Sesuai dengan Dasar Negara Pancasila, Indonesia adalah negara yang religius. Meskipun tidak berdasarkan atas agama tertentu, negara menjamin kebebasan beragama. Menurut Davie (2016) sistem politik Indonesia dapat menumbuhkembangkan iklim kebebasan berbicara, beragama, dan berkeyakinan serta HAM. Akan tetapi, kurangnya koherensi pemahaman atas HAM dapat mengancam kohesi sosial.

Rentan politisasi

Sangat sulit memisahkan agama dalam pilkada. Dalam beberapa bulan terakhir gejala politisasi agama kian terlihat. Isu-isu seperti PKI, partai setan, dan aliran sesat mulai mengemuka. Selain program-program populis seperti pendidikan dan kesehatan gratis, populisme agama juga jadi tema primadona. Banyak calon gubernur/bupati/walikota mengangkat program pembangunan tempat ibadah, santunan duafa (fakir, miskin, yatim-piatu, janda, dan lain-lain), tunjangan guru agama, layanan kematian, dan sejenisnya.

Beberapa kandidat bahkan secara terbuka menyatakan dukungan kepada kelompok agama tertentu dan akan meniadakan kelompok lainnya, khususnya kaum minoritas.

Pengalaman pilkada di beberapa tempat menunjukkan kaum minoritas agama menjadi kelompok yang sangat rentan dan terancam. Karena berkaitan dengan keyakinan, eksistensi kaum minoritas agama dianggap lebih "berbahaya" dibandingkan dengan minoritas etnis atau suku. Kaum minoritas sering dianggap sebagai kelompok sesat, sinkretik, dan "predator" yang mengganggu, mengancam dan mencemari keyakinan kaum mayoritas.  Ibarat pelanduk, kaum minoritas terimpit di tengah pertarungan para gajah.

KOMPAS/ RENY SRI AYU

Panglima Kodam XIV Hasanuddin Mayjen TNI Agus Surya Bakti memasang pengikat tangan pada Ketua Panwaslu Sulsel Laode Arumahi sebagai penanda komitmen mendukung Pilkada damai tanpa politik yang dan isu SARA. Foto diambil 14 Februari 2018.

Menurut penelitian Setara (2018), terdapat 20 bentuk kekerasan keagamaan. Lebih dari 50 persen terkait dengan kaum minoritas seperti intoleransi, penyesatan ajaran, pemaksaan keyakinan, pengusiran, ancaman terhadap anak-anak, diskriminasi pelayanan publik, intimidasi, penolakan pendirian tempat ibadah, pelarangan kegiatan ilmiah, intimidasi, perusakan rumah.

Dalam sistem politik Indonesia yang menganut demokrasi mayoritas, eksistensi kaum minoritas semakin tidak diperhitungkan. Dengan jumlah yang sedikit, kaum minoritas dipandang tidak memberikan dukungan signifikan. Demokrasi mayoritas (majoritarian democracy) meniscayakan keberpihakan kepada kelompok mayoritas yang menentukan kemenangan.

Kelompok mayoritas bahkan bisa tampil menjadi kelompok yang menekan dan mendikte kekuasaan (Conversi, 2011). Akibat dari sistem politik liberal, kaum minoritas menjadi nihil di tengah mayoritas yang menggurita (the winners take all). Sistem politik yang demikian itu tidak sehat bagi demokrasi dan persatuan bangsa.

 Inklusi dan integrasi

Bangsa Indonesia telah bersepakat memilih demokrasi sebagai sistem seleksi kepemimpinan nasional dan lokal. Spirit dan nilai demokrasi meniscayakan toleransi, akomodasi, dan integrasi sosial atas dasar persamaan antar manusia. Makna fundamental Bhinneka Tunggal Ika adalah inklusi bagi setiap warga negara apapun agamanya.

Keberagaman adalah semen yang memperkokoh persatuan. Kemajemukan adalah modal sosial yang mengangkat marwah bangsa. Integrasi dan inklusi adalah prasyarat persatuan yang merupakan ajaran universal agama. Islam, misalnya, mengajarkan agar manusia saling menghormati, menerima, dan bekerjasama dengan semua kelompok termasuk kaum minoritas (Zanjani, 1997).

Sangat disayangkan, gegap-gempita pilkada alpa dari isu perlindungan kaum minoritas. Nyaris tidak ada yang berani menyuarakan hak-hak beragama, sebagai hak asasi manusia dan hak sipil warga negara. Tak terdengar suara mereka yang melakukan advokasi atas kaum minoritas yang terancam jiwanya dan terampas kebebasannya. Jika ambisi menang dan berkuasa sudah meraja, membela kaum minoritas tak ubahnya hara-kiri.

Betapapun kecil, kaum minoritas tetap merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Eksistensi mereka harus diakui dan dilindungi. Diperlukan kesatria demokrasi yang berani memperjuangkan mereka. Secara matematis, mereka akan kalah. Tetapi, dalam konteks kemanusiaan, mereka adalah pemenang sejati.
Pilkada bukanlah sebatas pertarungan menang atau kalah, tetapi idealisme dan jati diri. Indonesia menanti para kesatria demokrasi.

Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Kompas, 30 April 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Ekonomika Jokowi (A TONY PRASETIANTONO)

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

A. Tony Prasetiantono

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kini telah berjalan 3,5 tahun, atau mencapai 70 persen dari periode kepresidenannya, 2014-2019.

Meski masih tersisa 30 persen, mazhab perekonomian yang dianut Presiden Jokowi (Economics of Jokowi, Jokowinomics, atau Ekonomika Jokowi) sudah tergambar dengan jelas. Pembangunan infrastruktur besar-besaran menjadi paling menonjol. Hanya saja, banyak orang yang kurang menyadari, pembangunan infrastruktur merupakan investasi jangka panjang, yang tidak bisa segera dipetik hasilnya.

Di China, Deng Xiaoping memulai reformasi perekonomian sejak 1979, yang meliputi pembangunan infrastruktur, menarik investasi asing (termasuk dari diaspora China), dan membuka zona-zona ekonomi bebas pajak, baru merasakan "panen raya" sesudah 2000. Hasilnya, perekonomian China baru merasakan pertumbuhan ekonomi dua digit pada periode 2001-2008. Artinya, perlu 20 tahun hingga China memetik hasil optimal dari investasi besar-besarannya di bidang infrastruktur. Sesudah 2008, pertumbuhan ekonomi terus menurun hingga 6,8 persen (2017).

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Pekerja melintas di Jalan Tol Bandara Kualanamu – Sei Rampah, di Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (12/10/2017).

Apakah ini berarti Indonesia juga baru akan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi di atas 10 persen sesudah 20 tahun membangun infrastruktur? Belum tentu. Bisa lebih cepat, bisa juga tak akan pernah mencapainya, karena bahkan China sekalipun ternyata tak pernah lagi bisa mencapai pertumbuhan setinggi itu. Banyak faktor lain yang ikut menentukan. Misalnya, kehadiran revolusi industri 4.0 menjadi faktor yang bisa menentukan. Bisa positif, karena proses produksi menjadi terbantu oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan otomasi. Namun juga bisa sebaliknya, tatkala era industri 4.0 justru mengurangi daya serap tenaga kerja sehingga memberi dampak melemahnya daya beli masyarakat. Akibatnya, konsumsi rumah tangga melemah.

Inilah yang sedang "dicurigai" oleh para ekonom. Jangan-jangan pertumbuhan ekonomi 5,07 persen (2017) penyebabnya justru karena datangnya era kecerdasan buatan dan otomasi yang menggeser fungsi tenaga kerja. Para ekonom belum tuntas mendiskusikan tentang hal ini, untuk menjawab pertanyaan krusial: mengapa pertumbuhan konsumsi rumah tangga kita cuma 4,95 persen? Bisa jadi kecerdasan buatan mulai memakan korban, berupa penurunan daya beli akibat tergantikannya tenaga kerja ke otomasi.

Dilema fiskal

Antusiasme Presiden Jokowi untuk membangun infrastruktur ditandai dengan ekspansi fiskal. Hal ini menemukan momentum yang baik tatkala harga minyak berangsur turun dari level di atas 100 dollar AS per barrel (Juni 2014), menjadi di bawah 50 dollar AS per barrel tahun-tahun berikutnya. Hilangnya subsidi BBM karena penurunan harga minyak dunia menjadi semacam "bonus" bagi pemerintah untuk dapat mendorong belanja infrastruktur. Itulah sebabnya, anggaran infrastruktur bisa terus dinaikkan hingga mencapai Rp 410 triliun pada tahun ini. Anggaran ini melebihi angka tertinggi subsidi BBM dan listrik (PLN) pada 2014 yang mencapai Rp 350 triliun.

Sayangnya, ini belum diimbangi dengan penerimaan pajak, yang diharapkan menjadi tiang utama kemandirian fiskal. Rasio antara penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) masih berkutat di angka 10 persen, atau di bawah rasio di negara-negara tetangga yang mencapai 13-15 persen. Indonesia berusaha mengejarnya melalui kebijakan amnesti pajak, yang pada dasarnya merupakan upaya mengungkapkan kekayaan warga negara yang masih "tersembunyi di bawah bantal". Ketika aset-aset itu terungkap, basis pajak pun menjadi kian meluas, yang kemudian berpotensi menaikkan setoran pajak.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Sejumlah proyek seperti Light Rail Transit (LRT), Jakarta Cikampek II (elevated), dan kereta cepat Jakarta-Bandung berlangsung di ruas tol Jakarta-Cikampek, menghambat perjalanan pengguna jalan.

Amnesti pajak juga berhasil menarik dana WNI yang diparkir di luar negeri (repatriasi) sebesar Rp 147 triliun atau 12 miliar dollar AS. Inilah salah satu kontributor di balik meningkatnya cadangan devisa dalam 1-2 tahun terakhir, yang pernah mencapai 132 miliar dollar AS (Februari 2018), sebelum akhir-akhir ini terkoreksi cukup tajam karena arus modal keluar yang disebabkan faktor eksternal berupa kenaikan suku bunga AS, kenaikan dan imbal hasil (yield) obligasi Pemerintah AS, serta kenaikan harga minyak.

Apa kaitan harga minyak dengan kurs rupiah? Ketika harga minyak dunia terus meningkat, akan berpengaruh terhadap harga BBM domestik. Pemerintah harus memilih antara mempertahankan harga BBM domestik dan risiko memberi subsidi besar, ataukah menaikkan harga BBM agar APBN tidak menderita (fiscal distress). Keduanya sama-sama bukan pilihan yang menyenangkan, dan sama-sama berisiko menggerus kredibilitas fiskal. Ujung-ujungnya, hal ini akan berdampak negatif terhadap persepsi terhadap perekonomian Indonesia, yang akan berujung pada pelemahan kurs rupiah. Jadi, kenaikan harga minyak dunia berkontribusi terhadap depresiasi rupiah.

Bagaimana masa depan harga minyak dunia? Masih belum jelas. Produsen minyak terbesar OPEC, Arab Saudi, ingin harga mencapai 80 dollar AS per barrel sehingga mereka menurunkan produksinya. Di sisi lain, produsen terbesar di luar OPEC adalah AS (produksi 10,7 juta barrel per hari), yang memiliki cadangan minyak nonkonvensional (shale oil) terbesar di dunia, menghendaki harga lebih murah. Caranya, menambah pasokan ke pasar Eropa. "Perang produksi" di antara kedua produsen terbesar ini (produsen terbesar lainnya adalah Rusia) belum ketahuan titik temunya sehingga harga minyak dunia masih fluktuatif.

Seandainya harga minyak dunia mencapai 80 dollar AS per barrel sebagaimana kemauan Saudi, saya perkirakan APBN kita harus memberikan subsidi BBM dalam jumlah besar, hingga Rp 100 triliun. Artinya, sebagian belanja APBN terpaksa harus dialihkan dari pengeluaran produktif menjadi tak produktif. Hal ini akan mengganggu kredibilitas fiskal, yang akan menjadi tambahan tekanan pada rupiah.

Dalam situasi seperti ini, pilihannya adalah memperlebar defisit APBN yang tahun ini ditargetkan 2,19 persen terhadap PDB, yang berarti menambah utang pemerintah, ataukah memangkas proyek-proyek infrastruktur. Keduanya merupakan pilihan sulit dan tidak menyenangkan.

Namun, sebelum itu terjadi pun, Presiden Jokowi sudah sigap berupaya mengerem akselerasi belanja APBN dengan cara memangkas 14 proyek strategis senilai Rp 264 triliun. Proyek itu meliputi: (1) jalan tol di Jawa Timur, Jawa Barat; (2) kereta api di Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Riau, Kalimantan Timur; (3) transportasi massal cepat (MRT) Jakarta koridor Barat-Timur; (4) Bandara Sebatik di Kalimantan Utara; (5) sistem penyediaan air minum di Sumatera Utara; (6) bendungan di Bali dan Sulawesi Tenggara; (7) kawasan ekonomi khusus Merauke, Papua.

Pemangkasan 14 proyek strategis ini termasuk kecil, dari seluruh 222 proyek bernilai investasi Rp 4.100 triliun. Karena itu, di satu pihak saya setuju bahwa penajaman prioritas pembangunan infrastruktur merupakan salah satu strategi yang perlu ditempuh ketika menghadapi kenyataan bahwa kondisi fiskal kita yang tertekan memang perlu direspons dengan sejumlah penyesuaian. Namun, di sisi lain saya yakin proyek MRT Jakarta koridor Barat-Timur harus tetap diprioritaskan karena kita sedang berkejaran dengan waktu menghadapi masalah kemacetan yang parah dan mengganggu efisiensi.

Pembangunan MRT ini memang mahal (Rp 84 triliun), tetapi itu belum seberapa dibandingkan membangun ibu kota baru di Kalimantan, yang ongkosnya saya perkirakan minimal Rp 500 triliun. Sebaiknya optimalkan dulu upaya membangun infrastruktur Jakarta untuk mengatasi kemacetan daripada memunculkan gagasan yang "melompat" berupa pemindahan ibu kota yang pasti mahal biayanya.

Menjaga rupiah

Selain dilema fiskal, pemerintahan Presiden Jokowi kini juga dihadapkan pada upaya untuk menjaga kurs rupiah agar tetap mencerminkan fundamentalnya. Kini rupiah sedang tertekan dan cenderung terlalu murah (undervalued). Pada dasarnya rupiah tak melemah sendirian karena negara-negara lain juga menderitanya. Namun, selain penyebab faktor eksternal, pelemahan rupiah hingga hampir Rp 14.000/dollar AS tersebut acap kali menimbulkan pertanyaan, mengapa rupiah sering sensitif terhadap dinamika global?

Padahal, fundamental ekonomi makro kita baik, yakni pertumbuhan ekonomi 5 persen; inflasi rendah di bawah 4 persen; cadangan devisa mencapai rekor tertinggi; suku bunga acuan mencapai titik terendah; serta Moody's barusan menaikkan peringkat kita (membaik) dalam hal kemampuan membayar utang.

HENDRA A SETYAWAN

Seorang karyawan penukaran uang memperlihatkan lembaran dollar AS di sebuah tempat penukaran valas di kawasan Jalan Walikota Mustajab Surabaya, Senin (3/10/2005).

Lalu, faktor apa lagi yang masih mengganggu? Menurut saya, ada dua hal. Pertama, sebagaimana sudah disadari Presiden Jokowi dan dinyatakan dalam berbagai kesempatan, Indonesia masih lemah dalam hal ekspor. Surplus neraca perdagangan kita tahun 2017 termasuk tipis untuk ukuran negara yang termasuk G-20, hanya 12 miliar dollar AS. Itu pun dengan catatan, ekspor kita masih kurang terdiversifikasi. Peran ekspor komoditas masih tinggi. Tatkala harga komoditas (commodity prices) naik, surplus ikut naik. Sebaliknya ketika harga komoditas turun, Indonesia sering menderita defisit.

Kedua, seiring dengan lemahnya surplus perdagangan, kita banyak mengandalkan aliran modal masuk (sisi capital account) untuk mengompensasinya. Dana milik asing inilah yang kemudian mengisi pundi-pundi cadangan devisa. Karena itu, sekalipun cadangan devisa terus meningkat, sebenarnya di baliknya terdapat kontribusi signifikan para investor asing.

Kepemilikan surat berharga oleh asing di pasar modal kita inilah yang sensitif terhadap dinamika global. Ketika perekonomian AS tampak membaik dan imbal hasil obligasi pemerintahnya naik, dana asing itu pun segera kabur ke New York. Inilah alasan di balik volatilitas rupiah sekalipun data cadangan devisa tampak "cukup mentereng".

Bagaimana solusi jangka pendek yang harus ditempuh? Bank Indonesia sebaiknya tidak cuma mengandalkan intervensi saja, yang cepat atau lambat akan menguras cadangan devisa. Instrumen lain harus diaktifkan, yakni menaikkan suku bunga. Memang akan timbul kritik, menaikkan suku bunga sering diartikan sebagai "tidak progrowth". Namun, apa artinya suku bunga tetap rendah (suku bunga acuan BI 4,25 persen), tetapi rupiah terdepresiasi secara tajam? Depresiasi rupiah yang berkelanjutan akan memicu kenaikan inflasi dari sisi meningkatnya harga barang-barang impor (imported inflation), yang akan berujung pada situasi yang "tidak pro growth" juga.

Kita sepenuhnya menyadari bahwa ide menaikkan suku bunga pasti tak populer, apalagi jika dikaitkan dengan konteks "tahun politik" 2018-2019. Namun, itu semata-mata dilakukan hanya sebagai taktik jangka pendek. Setelah kurs rupiah nantinya bisa dipulihkan, strategi jangka panjang suku bunga rendah tetap menjadi prioritas, agar dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Tidak ada jalan lain, suku bunga memang harus dinaikkan, untuk sementara ini.

A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Kompas, 30 April 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Tumbuhkan Kepercayaan (Kompas)

KOMPAS/PRIYOMBODO

Tumpukan dollar AS di cash center PT Bank Mandiri (Persero) Tbk di Jakarta, Jumat (27/4/2018). Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar rupiah pada Jumat tercatat sebesar Rp. 13,879 per dollar AS.

Gejolak global yang berpengaruh pada melemahnya nilai rupiah dan merosotnya indeks harga saham gabungan menuntut konsentrasi pemerintah untuk meresponsnya.

Dalam seminggu terakhir nilai rupiah melemah. Nilai rupiah di pasar tunai berada pada angka Rp 13.893 pada Jumat, 27 April 2018. Adapun IHSG pada penutupan pasar, Jumat, 27 April 2018, berada pada angka 5.919. Tahun 2018, IHSG pernah menyentuh level tertingginya pada angka 6.600-an.

 

Meskipun ada nada positif dari perdamaian dua Korea, pertemuan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, gejolak ekonomi global masih berpotensi terjadi. Perang dagang Amerika Serikat dan China masih bisa membawa pengaruh terhadap gejolak ekonomi, khususnya di Indonesia. Ketika Bank Sentral AS menaikkan suku bunga, kebijakan itu juga harus diantisipasi otoritas moneter Indonesia.

Narasi gejolak mata uang, pelemahan daya beli, dan utang luar negeri menjadi isu yang seksi untuk dimanfaatkan kelompok oposisi di tahun politik. Kelompok oposisi memanfaatkan isu tersebut untuk mendelegitimasi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Wacana politik untuk mengganggu elektabilitas Presiden Jokowi pun yang cukup tinggi, menurut sejumlah lembaga survei, gencar disuarakan.

Narasi negatif terhadap pemerintah bisa memengaruhi persepsi publik sehingga muncullah sikap wait and see. Sikap wait and see yang terlalu lama bisa membuat stagnasi ekonomi kian berkepanjangan. Kita memandang di tengah situasi seperti sekarang ini, masyarakat dan dunia usaha membutuhkan sinyal yang jelas dan tegas dari pemerintah. Langkah apa yang mau dilakukan tim ekonomi pemerintah dibutuhkan untuk menumbuhkan kepercayaan publik.

Isu-isu negatif yang berkembang harus diimbangi dengan langkah nyata yang akan diambil pemerintah. Kepercayaan publik dan dunia usaha harus ditumbuhkan. Menjadi tanggung jawab tim komunikasi pemerintah untuk mengimbangi narasi yang berkembang di media sosial dan media massa agar publik mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap. Kita menilai respons pemerintahan Presiden Jokowi terhadap berbagai isu dan kebijakan kadang terlalu terlambat dan terlalu kecil (too late and too little).

Dalam kontestasi demokrasi, kita mengharapkan adanya adu gagasan dan adu program. Kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa bisa saja diuji atau diperdebatkan dengan gagasan baru dan siapa yang akan mewujudkan gagasan itu. Biarlah rakyat yang akan menilai mana aksi atau gagasan yang bisa lebih memberikan kesejahteraan kepada rakyat.

Di tengah kontestasi politik menjelang pemilu presiden tahun 2019, kita mendorong semua elite politik untuk tetap bijak memilih kata demi dan untuk menjaga persatuan nasional. Persatuan nasional, sila ketiga Pancasila, adalah titik temu semua komponen bangsa, yang tetap punya komitmen untuk menjaga NKRI. Jangan sampai kontestasi demokrasi mencabik persatuan nasional dan mengganggu persaudaraan sesama anak bangsa

Kompas, 30 April 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Pompeo dan Timur Tengah (Kompas)

AFP PHOTO / JOHN THYS

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo (kanan) berbicara dengan Sekjen NATO Jens Stoltenberg (kiri) dan Menlu Jerman Heiko Maas (tengah) di markas NATO, Brussels, Belgia, Jumat (27/4/2018).

Penunjukan Mike Pompeo sebagai Menlu AS membuat proses perdamaian di Timur Tengah kian terjal karena AS bertujuan mengurangi peran Iran dan Rusia.

Ini ditunjukkan Pompeo yang mendesak Arab Saudi mengirim personel dan membantu pendanaan untuk menstabilkan daerah timur laut Suriah. Pada kunjungan perdananya sebagai Menlu AS, Pompeo mengoordinasikan kekuatan di Timur Tengah untuk mengurangi peran Iran dan sekaligus menghentikan kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara Barat.

Terkait perjanjian nuklir Iran, Presiden AS Donald Trump akan memutuskan pada 12 Mei 2018 apakah akan keluar dari perjanjian itu atau tidak. Padahal, Presiden Perancis Emmanuel Macron berusaha membujuk Trump untuk tidak keluar dari perjanjian itu. Perjanjian ini diyakini dapat mencegah Teheran untuk mengembangkan senjata nuklir.

"Tak ada perbaikan substansial, tak ada yang mengatasi kekurangan dari sebuah kesepakatan, dia tidak akan bertahan dalam kesepakatan itu pada Mei ini," kata Pompeo di markas NATO, sebelum terbang ke Arab Saudi.

Pompeo juga mendesak Arab Saudi dan beberapa negara di Timur Tengah untuk membuka kembali hubungan dengan Qatar. Terkait dengan Yaman, kepada Saudi, Pompeo mengingatkan, tidak ada solusi militer dari krisis ini. "Kondisi kemanusiaan di Yaman sangat memprihatinkan, dan butuh perbaikan segera," katanya.

Pergantian Rex Tillerson oleh Pompeo tak hanya pergantian sederhana seorang menteri luar negeri. Pergantian ini menggambarkan, ada perubahan dalam kebijakan AS berkaitan dengan geopolitik Timur Tengah, di mana AS tak lagi berhadapan dengan terorisme, tetapi munculnya koalisi baru Rusia, Suriah, Turki, dan Iran.

Tak ada keraguan bahwa salah satu tujuan utama kebijakan AS di Suriah adalah mendorong Iran keluar dari negara itu sekaligus untuk mengurangi peran Iran di kawasan. Trump menganggap Pompeo menjadi pilihan tepat untuk menepati janji kampanye saat pemilihan presiden Trump.

Koalisi yang dipimpin Rusia punya kapasitas untuk mengusir AS keluar dari Suriah dan Irak. Koalisi Rusia bisa menegosiasikan berbagai hal terkait Suriah dan Iran. Namun, kehadiran Pompeo bisa dilihat dalam perspektif lebih luas dari sekadar soal Suriah dan Iran.

Berbeda dengan Tillerson, Pompeo menyebut kesepakatan nuklir dengan Iran yang dibuat semasa Presiden Barack Obama itu sebagai sebuah "bencana". Setelah Trump terpilih, Pompeo menulis di Twitter bahwa dia akan menggulung kembali kesepakatan nuklir oleh Obama dan koalisi Baratnya itu. Jika AS benar-benar keluar dari kesepakatan itu, sangat mungkin kelompok garis keras di Iran akan dapat kembali berkuasa.

Kita berharap, seperti dikatakan Pompeo kepada Arab Saudi, penyelesaian militer di kawasan bukan jalan bijak. Namun, apakah Pompeo akan melaksanakan ucapannya dengan cukup bijak, hanya waktu yang menentukan

Kompas, 30 April 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Dari Soroako Berburu Buku//Geopark Kaldera Toba Menjadi UGG (Surat Pembaca Kompas)


Dari Soroako Berburu Buku

Saya dibesarkan di Soroako, Sulawesi Selatan. Sebagai warga daerah pedalaman, saya semasa kecil hanya sekali setahun cuti ke Jawa saat libur panjang.

Biasanya kami ke Yogyakarta, Jakarta, Solo, Malang, dan Surabaya. Itulah saat yang saya tunggu. Orangtua membebaskan kami ke Gramedia, Gunung Agung di Yogya- karta, Sekawan di Solo, atau ke toko buku di mana kami singgah. Saya dibebaskan memilih buku bacaan sesuai dengan usia saya. Kesempatan itu saya gunakan borong buku sebagai bekal bacaan di rumah.

Saya masih menyimpan semua buku dan majalah yang saya beli dulu, seperti karya Enid Blyton, penulis kesukaan saya, seri Cerita dari Lima Benua, buku-buku yang ditulis Djokolelono, Dwiyanto Setyawan, dan sebagainya.

Ketulusan orangtua membelikan buku untuk saya dan membolehkan berlangganan majalah membuat saya jadi kutu buku yang akut sampai kini. Kalau ada rumah sakit khusus untuk pencandu buku, saya akan mendaftar menjadi pasien pertama. Kesukaan saya membaca membawa saya suka menulis. Saat ini saya tinggal di Malang.

Vita Tyasrahayu RRJl Bendungan Sigura-gura, Malang, Jawa TimurGeopark Kaldera Toba Menjadi UGG


Geopark Kaldera Toba Menjadi UGG

Kehadiran Ibu Negara, Iriana Joko Widodo, di kawasan Danau Toba pada 17-18 April lalu adalah bagian dari dukungan terhadap Geopark "Taman Bumi" Kaldera Toba (GKT) dapat lolos menjadi anggota UNESCO Global Geopark (UGG).

Iriana Jokowi dikabarkan menanam hariara, salah satu pohon endemis yang punya nilai historis pada suku Batak. Terdengar waktu itu bahwa direncanakan Presiden Joko Widodo akan menghadiri perayaan Paskah Nasional, 27 April 2018 di kawasan GKT, Samosir.

Harus diakui, liputan Kompas yang dikenal sebagai Ekspedisi Cincin Api, Oktober 2011, itu mampu mengungkap secara terang benderang dengan bahasa populer perihal kedahsyatan letusan Super-vulkano Toba. Toba mengubah dunia. Seiring dengan itu, isu geopark pun mulai muncul untuk pengembangan Kawasan Danau Toba, bersamaan dengan keinginan sejumlah negara, menjadi bagian UGG di pelbagai belahan dunia.

Meski demikian, pembenahan situs-situs GKT di seluruh kawasan Danau Toba terasa sangat lamban. Masalah utama selama ini adalah pemerintah seolah-olah enggan memberikan anggaran pengelolaan dan pengaktifan GKT, bahkan hingga kini. Padahal, sudah disepakati bahwa pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba itu berbasis geopark. Namun, sangat kurang komitmen dalam hal anggaran.

Kemudian tentang keterlibatan masyarakat. Tidak bisa dimungkiri bahwa keterlibatan masyarakat mengembangkan GKT dalam lima tahun terakhir dirasakan masih juga minim. Dengan kata lain, pariwisata berbasis geopark belum jadi primadona masyarakat lokal.

Padahal, pengembangan kawasan geopark itu sendiri harus dikelola masyarakat dan menyejahterahkan warga lokal sebagai pemangku kepentingan utama sebagaimana dipersyaratkan UNESCO. Karena itu, sekali lagi, pemerintah harus benar-benar memberi dukungan konkret untuk memberdayakan masyarakat.

Sebagaimana diketahui, GKT telah didaftarkan kembali kepada UGG pada 29 November 2017. Pada Juni 2018 dijadwalkan pihak UGG akan menilai kelayakan GKT untuk menjadi salah satu anggota UGG. GKT sebelumnya sudah pernah didaftarkan kepada UGG pada 2014, tetapi tidak berhasil karena dinilai belum layak dan belum matang sebagai anggota UGG.

Kita berharap agar kerinduan warga tujuh kabupaten sekitar Danau Toba dan para diasporanya menjadikan GKT sebagai UGG dapat tercapai pada tahun ini. Pemerintah harus mendukung penuh, terutama dalam hal anggaran, dan tentu juga pihak swasta lainnya.

Pada 17 April lalu Ciletuh dan Gunung Rinjani Geopark telah ditetapkan sebagai UGG, menyusul dua geopark global sebelumnya di Indonesia, yakni Batur dan Sewu Global Geopark. Semoga GKT segera ditetapkan sebagai geopark global berikutnya.

Karmel Simatupang, Dosen Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan


Kompas, 30 April 2018


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger