Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 31 Maret 2015

TAJUK RENCANA: MOU dan Implementasinya (Kompas)

Lawatan kepala negara atau pejabat pemerintahan acap kali ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman atau MOU.

Nota kesepahaman atau memorandum of understanding menyiratkan adanya keinginan kedua belah pihak penanda tangan untuk mengembangkan hubungan dengan mengerjakan isi kesepahaman.

Hal ini juga terjadi dalam lawatan Presiden Joko Widodo ke Jepang dan Tiongkok. Dengan Tiongkok, misalnya, kedua pemerintahan menandatangani delapan MOU untuk sejumlah proyek. Kita tentu saja mendukung adanya nota kesepahaman, baik dengan Tiongkok, Jepang, maupun negara lain, yang dikunjungi presiden kita. Namun, pada sisi lain, kita juga mesti awas bahwa ada jarak yang lebar antara nota kesepahaman dan buahnya.

Jika saja semua MOU yang pernah ditandatangani kepala negara yang melawat ke luar negeri, atau antara kepala negara kita dan kepala negara/pemerintahan lain yang melawat ke sini, berbuah, yakin, sudah banyaklah kemajuan yang kita capai, entah di bidang ekonomi, teknologi, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.

Dari berpuluh tahun hubungan dengan Jepang, misalnya, sebenarnya amat mungkin kita mendapatkan kemampuan di bidang teknologi transportasi. Alih-alih mendapatkan teknologi, kita hingga hari ini masih terus menjadi pasar bagi produk otomotif Jepang. Dengan Tiongkok pun, suara agar Indonesia tidak terus-menerus menjadi pasar bagi produk Tiongkok juga disuarakan (Kompas, 28/3).

Yang ideal, kedua negara, dalam hal ini Indonesia dan Tiongkok, bersinergi menyatukan kemampuan masing- masing menggarap peluang pasar dunia. Seperti dikatakan Direktur Jenderal Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Imam Haryono, Tiongkok punya teknologi, uang, dan jaringan, Indonesia punya bahan baku. Satukan keduanya untuk kemudian tidak hanya menggarap pasar Indonesia, atau pasar Tiongkok, tetapi juga pasar negara-negara lain di dunia.

Dari pandangan tersebut, kita melihat, sebenarnya para pejabat kita sudah melihat segi-segi yang baik dari satu nota kesepahaman atau kerja sama. Namun, selebihnya kita masih punya pekerjaan rumah yang panjang.

Kita ingin mengingatkan kembali bahwa lebih positif daripada sekadar menyalahkan mengapa kita hanya dijadikan sebagai pasar Jepang atau Tiongkok, misalnya, akan lebih berfaedah jika kita berintrospeksi.

Kebiasaan kita untuk merumuskan MOU sejauh ini belum diimbangi dengan petunjuk pelaksanaan dan tindak lanjut untuk mewujudkannya. Dari presiden ke presiden, sudah banyak kita tanda tangani nota kesepahaman, tetapi kita hanya memetik sedikit saja kemajuan dan manfaat.

Semoga kali ini nota kesepahaman dari lawatan Presiden Jokowi ada bedanya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "MOU dan Implementasinya".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

‎ TAJUK RENCANA: Langkah Dramatik Liga Arab (Kompas)

Keputusan Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab di Sharm el- Sheikh, Mesir, membentuk pasukan militer gabungan bisa dikatakan sebagai langkah dramatik.

Kesepakatan itu dicapai ketika para diplomat Amerika Serikat dan Iran sedang berpacu dalam perundingan di Lausanne, Swiss, menyangkut program nuklir Iran. Mereka mengejar batas waktu, hari Selasa ini, untuk mencapai kesepakatan agar Iran membatasi program nuklirnya dan sebagai imbalannya sanksi ekonomi terhadap Iran akan dicabut.

Langkah tersebut dibaca oleh sekutu-sekutu AS di Arab sebagai pengingkaran komitmen Washington terhadap keamanan negara-negara Arab. Karena itu, mereka terdorong untuk mengambil langkah membentuk pengamanan mandiri. Hal itu diwujudkan dengan kesepakatan membentuk pasukan militer gabungan untuk membantu negara anggota yang direcoki oleh pergolakan bersenjata, seperti yang sekarang tengah terjadi di Yaman.

Gagasan membentuk pasukan militer gabungan ini sebenarnya bukan kali yang pertama. Pada 1950-an dan 1960-an, negara-negara Arab sudah pernah menandatangani kesepakatan seperti itu. Selama era nasionalisme Pan-Arab, mereka bersatu melawan Israel. Akan tetapi, visi seperti itu hancur berantakan setelah mereka kalah dalam perang melawan Israel pada 1967.

Kini, gagasan serupa dimunculkan lagi. Sepertinya sekarang lebih serius dibandingkan dengan masa lalu. Ada banyak alasan, mengapa sekarang lebih serius dan semakin dirasakan arti pentingnya pembentukan pasukan militer gabungan itu. Perkembangan dan situasi politik serta keamanan di Timur Tengah bergerak serta berubah begitu cepat setelah Arab Spring yang sudah menjungkalkan beberapa pemimpin negara di kawasan itu.

Krisis di Suriah yang berlarut-larut dan terakhir munculnya kelompok militer militan yang menyebut diri sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah menjadi ancaman nyata bagi mereka. Hal yang lebih penting lagi adalah menguatnya persaingan untuk memperebutkansphere of influence, lingkungan pengaruh, antara Arab Saudi dan Iran, sebuah persaingan lama yang tak pernah berhenti, yang bahkan sekarang semakin nyata.

Arab Saudi, yang bersama-sama dengan beberapa negara Arab, menggempur kelompok militer Houthi (didukung mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh dan pasukan elitenya) yang melawan pemerintahan pimpinan Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi. Arab Saudi menyatakan gerakan Houthi didukung Iran. Pembentukan pasukan militer gabungan pun pertama-tama didorong oleh konflik yang terjadi di Yaman.

Akan tetapi, pertanyaannya, apakah langkah Liga Arab itu tidak justru akan memperburuk situasi. Yang pasti, situasi di Yaman saat ini semakin buruk dan kita berkepentingan, paling tidak untuk menyelamatkan 4.000-an WNI yang berada di negeri itu.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Langkah Dramatik Liga Arab".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Mewaspadai Simtom Parlemen Despotik (J Kristiadi)

Romantika demokrasi sebagai manaje- men politik yang memuliakan kekuasaan karena mempersyaratkan hadirnya nilai-nilai yang menghargai martabat manusia, ternyata dalam praktiknya tidak mudah diwujudkan. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun, penyebab paling dominan adalah perwujudan daulat rakyat dilakukan dengan sistem perwakilan. Persoalan menjadi semakin eksplisit karena tidak ada jaminan para wakil rakyat benar- benar mewakili kepentingan rakyat. Fenomena tersebut menjadikan demokrasi seba- gai sistem yang cacat sejak dilahirkan. Selalu terjadi kemungkinan lembaga perwakilan rakyat justru memasung kedaulatan rakyat.

Fenomena ini dalam terminologi Condorcet disebut indirect despotism. Secara eksplisit ia mengatakan, agen kekuasaan despotik yang baru adalah parlemen. Hal itu terjadi ketika aspirasi publik tidak lagi benar-benar terwakili dalam parlemen atau telah terjadi ketimpangan (kepentingan) antara rakyat dan para wakilnya. Kutipannya The agent this new kind of political despotism was the parliament, ... the despotism of "the legislative body takes place when the people are no longer truly represented or when it becomes too unequal" to them(Condorcet, Representative Democracy: Principles and Genealogy, 2006).

Dalam konteks kekinian, kehadiran gejala "parlemen despotik" tersebut dirasakan sejak Indonesia memasuki pasca reformasi, bahkan semakin menguat setelah Pemilu 2014. Manuver-manuver politik sebagian anggota DPR dalam menyusun Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Rancangan Undang-Undang Pilkada adalah beberapa contoh simtom menguatnya fenomena tersebut.

Kegaduhan politik akhir-akhir ini, terutama terbelahnya Partai Golkar menjadi kubu, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, tampaknya menyeret lebih dalam parlemen dalam kubangan kekuasaan yang despotik. Konflik internal Partai Golkar yang sudah dilerai berdasarkan UU No 2/2011 tentang Partai Politik, yang menegaskan penyelesaian perselisihan internal parpol dilakukan mahkamah parpol yang dibentuk oleh parpol. UU yang sama juga menegaskan putusan mahkamah parpol bersifat final dan mengikat secara internal. Oleh karena itu, keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya "mengadministrasi" keputusan politik internal Partai Golkar.

Karena itu, banyak kalangan merasa heran, mengapa sebagian anggota parlemen ingin menggunakan hak angket yang merupakan senjata pamungkas menuju jalur tengkorak (kematian politik) bagi pejabat publik yang dijadikan sasaran penggunaan hak tersebut. Terlebih, hak angket seharusnya hanya dipergunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan perundang-undangan. Oleh sebab itu, keterlibatan sejumlah partai dalam hak angket justru memberikan kesan kuat bukan hanya mengintervensi Partai Golkar, melainkan merupakan wujud dari penggunaan kekuasaan politik yang eksesif.

Praktik penggunaan kekuasaan yang arbiter sangat memprihatinkan. Sebab, hal itu mencerminkan beberapa hal. Pertama, absennya spirit atau roh yang memuliakan kekuasaan. Kalau petinggi Partai Golkar lebih mengutamakan kepentingan konstituen, musibah ini dapat dijadikan berkah dengan melakukan konsolidasi. Kesempatan emas itu dapat dilakukan dalam Musyawarah Nasional 2016 yang merupakan bagian dari keputusan mahkamah partai. Momentum tersebut perlu dilakukan mengingat agenda ke depan antara lain pilkada sudah di depan mata. Mengabaikan peluang tersebut, Partai Golkar akan banyak kehilangan pendukung.

Kedua, terjadi proses pendangkalan pemahaman makna kekuasaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum oleh para elite politik karena nurani mereka tergerus oleh hasrat kuasa yang berlebihan. Tragisnya, nafsu kuasa sudah dimulai dari niat dalam kompetisi politik. Akibatnya, ranah kekuasaan politik menjadi sekadar arena adu kuat dan saling mengalahkan, bukan membangun kebersamaan. Hak angket yang seharusnya untuk isu-isu strategis, justru dipergunakan untuk urusan internal Partai Golkar. Isu tersebut secara kategoris sama sekali tidak termasuk dalam wilayah itu.

Ketiga, diskursus publik telah kehilangan dimensi reflektifnya karena wacana publik hampir dimonopoli oleh auman para elite politik yang hanya bertujuan memperoleh kemenangan atau mengalahkan lawan. Sangat sedikit diskursus politik yang menghadirkan pendalaman mengenai isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan rakyat. Debat politik menjadi kering dan sering kali oleh beberapa media lebih mengutamakan serunya debat daripada mutu diskusi.

Kembali kepada Condorcet, yang menegaskan cara mengatasi parlemen despotik (indirect despotism) lebih rumit daripada direct despotism, seperti negara tiran otoriter dan sebagainya. Kasus terakhir lebih mudah karena struktur kekuasaan dapat ditumbangkan oleh kekuatan rakyat yang lebih besar. Dalam kasus pertama lebih rumit karena menyangkut kompleksitas kepentingan aktor-aktor yang terlibat dalam demokrasi perwakilan.

Mencermati fenomena itu masyarakat harus bergandengan tangan dengan kekuatan di parlemen yang masih mempunyai niat politik yang memuliakan kekuasaan, demi kepentingan rakyat banyak.

J KRISTIADIPENELITI SENIOR CSIS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2015, di halaman 15 dengan judul "Mewaspadai Simtom Parlemen Despotik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Perlindungan Kontraktor Nasional (SARWONO HARDJOMULJADI)

Tahun 2016 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi sektor jasa konstruksi, dengan masuknya Indonesia ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) karena MEA akan membuka peluang masuknya kontraktor asing berskala besar.

Masuknya kontraktor asing ke Indonesia ini diakui atau tidak akan dapat mendesak usaha jasa konstruksi, khususnya penyedia jasa kontraktor nasional, sesuatu yang sebenarnya saat ini telah terjadi secara lambat, tetapi pasti pada usaha jasa konstruksi lain, yaitu jasa konsultan.

Jasa konsultasi yang memerlukan kompetensi tertentu dihadapkan pada posisi yang sulit karena tenaga ahli sejenis dari negara tetangga di ASEAN merupakan pesaing pada saat ini, karena kepercayaan (trust) yang berlebihan pada "ahli internasional" sesuatu yang disalahartikan sebagai seorang "ahli yang berasal dari luar negeri", yang sebenarnya belum pasti mempunyai kualifikasi internasional. Demikian pula sebaliknya, "ahli yang berasal dari dalam negeri" sebenarnya banyak yang berkualifikasi internasional.

Merugikan

Tantangan kita adalah bagaimana meningkatkan kepercayaan dari bangsa Indonesia sendiri dalam hal ini selaku pengguna jasa. Dalam hal proyek-proyek dibiayai dengan pinjaman ketat dari negara tertentu, sudah pasti disyaratkan kontraktor haruslah dari negara pemberi pinjaman tersebut, sebaliknya negara tujuan mensyaratkan bahwa kontraktor luar negeri yang akan bekerja di negara tujuan harus bekerja sama dengan kontraktor nasional di negara tersebut dalam bentuk joint operation (JO) ataupun sebagai subkontraktor.

Pada umumnya, pemerintah negara tujuan lebih melihat bahwa JO lebih baik karena kontraktor nasional akan bersanding dan setingkat dengan mitranya dari luar negeri, sebaliknya posisi subkontraktor hanyalah mengerjakan perintah perusahaan asing yang jadi kontraktor utama yang jelas posisinya tak setingkat dengan kontraktor luar negeri sebagai mitra.

Pada saat suatu kontraktor JO antara kontraktor luar negeri dan kontraktor nasional mengajukan penawaran tender, dilampirkan suatu affidavit bahwa telah dilakukan kesepakatan JO dalam pelaksanaan proyek yang akan didapat, yang ditandatangani di atas meterai.

Pada kenyataannya, dalam pelaksanaan perjanjian kemitraan (joint operation agreement/JOA) yang ada selama ini, jika JOA sejenis ini terus dilakukan ke depan, habislah riwayat kontraktor nasional yang menjadi mitra kontraktor asing.

Dalam suatu JOA bidang jasa konstruksi di Indonesia dikenal dua bentuk utama kemitraan, yaitu semua pekerjaan di bawah mitra utama (leading party) atau dibagi dengan setiap mitra melaksanakan pekerjaan tertentu.Contohnya, pada bentuk JOA pertama, banyak terdapat pasal sangat unilateral.

Misalnya, kedua pihak sepakat menunjuk mitra perusahaan asing (sebut saja YYY) dengan porsi saham 60 persen sebagaileading institution dan project manager. Ia berhak menunjuk seorang general superintendant yang dapat bertindak sendiri dengan tanggung jawab yang sifatnya sole responsibility, dengan catatan dalam beberapa hal khusus yang sangat substansial dapat persetujuan lebih dulu dari Komite Pengawas dengan komposisi keanggotaan 2 berbanding 1.

Dari sini dengan mudah dapat dipahami bahwa tindakannya pastilah demi keuntungan sepihak, yakni kontraktor luar negeri. Para pihak memberikan kuasa kepada YYY sebagai leader dan pengelola proyek (project manager) dan untuk dan atas nama JO sebagai penandatangan tunggal dari kontrak-kontrak dengan semua subkontraktor, pemasok, dan lain sebagainya.

Dari ketiga pasal di atas, jelas terlihat bahwa YYY, kontraktor luar negeri, menjadi mitra utama (leader) dan pengelola proyek yang mempunyai hak penuh untuk mengadakan hubungan dengan pihak ketiga dan seterusnya. Pengelola proyek (dalam JOA adalah YYY) bertanggung jawab kepada komite manajemen yang anggotanya adalah 3 berbanding 1, sehingga apa pun usulan pengelola proyek, dalam kaitannya dengan hubungan kemitraannya, dapat dipastikanakan disetujui operation committee.

Kontraktor nasional (ZZZ) dengan saham 40 persen berhak mengusulkan seseorang sebagai wakil manajer proyek, dengan tugas pokok "patuh, mendukung, dan membantu pengelola proyek" dan bertanggung jawab kepada pengelola proyek (YYY) dalam pelaksanaan pekerjaan.

Hampir semua pasal penuh dengan pagar-pagar pengaman yang membatasi gerak dari kontraktor nasional. Bahkan, dalam hal kontraktor nasional lalai atau melakukan penyimpangan, pihak yang lain tidak ikut bertanggung jawab.

Jadi, posisi kontraktor nasional sebagai mitra suatu JO dengan kontraktor luar negeri di bidang jasa konstruksi tidak lebih sebagai pelengkap untuk memenuhi aturan perundangan dan justru sangat merugikan. Kontraktor nasional wajib menyetorkan share-nya sebesar 40 persen tanpa hak apa pun dalam pengelolaan proyek sehingga tidak lebih sebagai pemberi modal bagi JO. Hal ini sesuatu yang penulis yakini bukanlah keinginan pemerintah saat mewajibkan kontraktor luar negeri bermitra dengan kontraktor nasional.

Penulis meyakini bahwa dengan bentuk JOA semacam ini, tidak ada nilai tambah apa pun bagi kontraktor nasional dan bahkan menjadi suatu hal yang membahayakan pada saat berlakunya MEA 2016.

Pada JOA bentuk kedua di mana setiap pihak melaksanakan bagian tertentu dari pekerjaan, terdapat pula suatu pasal yang merupakan tambahan pasal yang ada pada hampir semua JOA bentuk ini, yang menyebutkan kerugian akibat kelalaian setiap pihak merupakan tanggung jawab sendiri.

Melihat kedua bentuk dasar JOA di bidang jasa konstruksi di atas, sebenarnya JO dengan pihak asing tak punya nilai tambah bagi kontraktor nasional. Baik pembelajaran teknis maupun pembelajaran manajemen kontrak, tidak didapat oleh kontraktor nasional dengan bentuk JOA semacam ini.

Dalam rangka MEA 2016, kini saatnya pengguna jasa dalam hal ini pemerintah masuk lebih dalam lagi dan tak hanya percaya pada affidavit yang dilampirkan saat penyampaian tender, tetapi juga menelaah JO yang dibuat. Hak pengguna jasa untuk mendalami JOA yang dibuat oleh penyedia jasa tidak dilarang.

Bahkan, dalam rangka kesetaraan hak dan kewajiban, Federasi Internasional Konsultan Engineering (Federation Internationale des Ingenieurs-Conseils/FIDIC)—yang diakui di dunia internasional sebagai lembaga yang menerbitkan standar kontrak internasional (dikenal sebagai FIDIC Conditions of Contract for Construction) menyatakan dengan jelas bahwa kontraktor harus mendapatkan kejelasan dari pengguna jasa, tentang kemampuan membayar mereka yang tentunya dapat ditafsirkan bahwa pihak pengguna jasa juga punya hak mengetahui bahwa kontraktor akan dapat mengerjakan pekerjaannya sesuai kontrak dengan baik atau tidak.

Subkontraktor

Kedudukan kontraktor nasional selaku mitra kontraktor luar negeri, dalam hal ini sebagai kontraktor, sebenarnya sangat jelas dan menurut pendapat penulis dapat dilaksanakan dengan lebih adildan berimbang karena pengikatan kontraknya dapat dibuat dengan mempergunakan FIDIC Conditions of Contract for Subcontractor, yang akan berjalan baik apalagi jika perjanjian kontrak antara pengguna jasa dan kontraktor utama adalah menggunakan standar kontrak ini.

Sebagai subkontraktor dari kontraktor luar negeri, nasib kontraktor nasional juga cukup menderita karena dari dua cara pembayaran hasil pekerjaan yang dikenal, yaitu pay when paid dan pay if paid, kontraktor luar negeri biasanyaakan menggunakan pay if paid. Pembayaranpay if paid ini tak punya batasan waktu karena subkontraktor akan dibayar jika kontraktor utama dibayar oleh pengguna jasa. Berbeda dengan pay when paidyang dibayarkan pada saat yang sama ketika kontraktor utama menerima pembayaran dari pengguna jasa.

Dari kedua bentuk di atas, penulis lebih memilih perjanjian kemitraan dalam bentuk subkontraktor karena kontraktor nasional yang bertindak selaku subkontraktor dalam pekerjaan tertentu, sudah pasti punya keahlian khusus, di samping perjanjian kontraknya lebih jelas adil, transparan, dan berimbang. Sebaliknya, JOA sangat tertutup. Seandainya pemerintah menginginkan adanya JOA, sebagai upaya perlindungan kontraktor nasional pemerintah sebaiknya menerbitkan formulir standar (standard form) untuk JOA.

Bagi kontraktor nasional, hendaknya tak hanya berpikir sesaat untuk mendapatkan proyek saja, tetapi berpikir lebih mendalam tentang bagaimana menyelesaikan proyek dengan memikirkan juga semua risiko akibat JOA.

Kedudukan kontraktor luar negeri sebagai leading party dan manajer proyek akan menempatkan mitra kontraktor nasional pada posisi sulit karena setelah selesainya proyek, kontraktor luar negeri akan meninggalkan Indonesia sehingga semua tanggung jawab akan melekat pada kontraktor nasional dan pengguna jasa.

SARWONO HARDJOMULJADI, PENGAMAT KONSTRUKSI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Perlindungan Kontraktor Nasional".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Hujan yang Baik Hati (V KIRJITO)

Tulisan ini muncul dari perjumpaan dengan masyarakat lereng Merapi Timur, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 500 meter di atas permukaan laut.

Selama ratusan tahun, mereka hidup dari air hujan untuk masak, minum, mandi, mencuci, dan memelihara ternak sapi.

Namun, rasa rendah diri membuat mereka harus berbohong kepada tamu mahasiswa di desa itu. Ketika mahasiswa bertanya apakah teh yang disajikan berasal dari air hujan, tuan rumah menjawab, "Bukan, untuk minum beli air galon."

Keadaan seperti itu tidak layak dibiarkan. Bukankah ini sebentuk peminggiran budaya?

Ada juga pengalaman hebat berkait dengan hujan. Di lereng Merapi Barat, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Pada 3 November 2010 Merapi erupsibesar. Awan panas hitam bergulung-gulung ke arah barat. Namun, hujan deras datang dan awan panas larut dalam air.

Baru kali ini ada air hujan keruh sekali. Bayangkan, betapa gelapnya jika abu tebal itu tidak disapu hujan. Betapa sesaknya bernapas mengirup butiran-butiran abu dan pasir Merapi.

Dalam bahasa ilmu pengetahuan, air hujan menetralisasi udara yang tercemar abu letusan Merapi. Muncullah ungkapan masyarakat, "hujan itu baik hati". Generasi ilmiah menggunakan kata yang keren, Rain Plus.

Hujan yang baik

Kita tahu sekali datang hujan, turun air jutaan liter jumlahnya. Timbul pertanyaan, apakah masalah yang kita hadapi semata-mata karena sebagian air hujan sekarang bersifat asam, atau karena jumlahnya yang terlalu banyak dan serentak dalam waktu relatif singkat?

Jika hujan cuma rintik-rintik, tentu tidak akan menimbulkan masalah. Bahkan jika tiap hari hujan rintik-rintik, udara menjadi segar, tidak panas, oksigen dan ion negatif berlimpah.

Celakanya belum ada teknologi yang bisa mengatur besarnya curah hujan, kapan,berapa lama, dan di mana. Mau tidak mau kita pasrah menerima hujan. Akan menjadi lebih baik lagi bila kita bersikap arif sehingga kita layak menyebutnyaRain Plus.

Mudah-mudahan kita maumembiasakan peka rasa saat waktu hujan datang. Pasti udara terasa dingin dan segar. Tubuh pun terasa lebih sehat. Ini karena polusi udara disapu bersih oleh hujan, tepatnya dinetralkan.

Maka, menjadi terang mengapa hujan menit-menit awal, jika diukur jumlah mineral terlarut menggunakan TDSmeter (Todal Dissolved Solid) angkanya bisa mencapai 20-30 miligram/liter parts per million (ppm). Tetapi, waktu-waktu selanjutnya angka TDS akan turun. Jika hujan sangat deras disertai petir dan durasinya lama, TDS bisa nol ppm, alias air murni atau H2O. Diukurkeasamannya dengan derajat keasaman (pH) tester, di atas angka 7. Bukankah itu air sangat jernih, bahkan melebihi kaca bening!

Lalu apa peran air hujan di darat? Sebelum sampai ke jawaban, kita tahu Indonesia punya begitu banyak sampah, bahkan di selokan dan sungai. Bahkan, lagu dolanan anak-anak di Jawa pun menyuruh membuang anjing mati di kali.

Jelaslah bahwa sadar tidak sadar, masyarakat mempunyai pandangan bahwa sungai itu tempat membuang sampah. Memang di sungai besar, seperti Sungai Progo atau Bengawan Solo, bangkai anjing atau sampah bisa segera hanyut dan terurai, akhirnya menjadi mineral yang menyuburkan tanah-tanah di kiri kanan sungai. Namun, kenyataannya sampah dibuang di semua tempat yang mengalirkan air.

Perlulah disebut kasus Kota Jakarta dan kota-kota lain yang rutin menjadi langganan banjir. Sementara kemampuan air hujan menetralkan racun di darat juga terbatas. Yang bisa terurai oleh air hujan mungkin terlarut sampai kedalaman tanah 10-20 meter. Yang tidak terurai tetap menjadi sampah bermasalah.

Air tanah

Masalahnya masyarakat umum beranggapan bahwa air di dalam tanah itu lebih bersih dari pada air hujan. Padahal, bukankah di tanah terlarut segala racun dan kotoran sampah baik yang ada di darat maupun dari udara ketika hujan datang.

Ada benarnya bahwa air tanah pada kedalaman 10-20 meter tercemar. Buktikan saja dengan TDS meter, sulit menjumpai air tanah yang angkanya di bawah 50 mg/l. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mematok standar air layak konsumsi maksimal 50 mg/l. Bandingkan dengan air hujan yang hanya 20-30 mg/l!

Demi membela masyarakat yang sepanjang tahun menggunakan air hujan, kami meneliti masyarakat Bunder-Jarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten.

Senjatanya cuma dua tester, yaitu TDS dan pH. Ditambah satu alat buatan sendiri, yaitu bejana elektrolisis air yang sudah diajarkan di SMP dan SMA.

Apa yang kemudian membuka mata warga desa itu? Ternyata air hujan adalah air yang rendah mineral. Dari hujan ke hujan, dari bak yang satu ke bak yang lain, bahkan air hujan yang ditampung dalam kedung, tidak ada yang kandungan mineralnya melebih standar WHO, 50 ppm, meskipun warna air coklat atau hijau berlumut. Bahkan, tidak ditemukan air hujan yang asam, baik yang sudah disimpan dalam bak maupun dalam botol tertutup. Semua pH-nya 8 lebih. Malah ada air dalam bak tandon ber-pH 10.

Dari data itu, warga pun menjadi lebih tahu bahwa air hujan memenuhi standar WHO sebagai sumber air bersih dan layak konsumsi. Warga tidak perlu lagi merasa rendah diri, malah sebaliknya bangga pada air hujan sebagai sumber air paling bersih. Soal bakteri jika ada, cukup dimasak hingga mendidih. Namun, air hujan sebenarnya tidak disukai bakteri karena bersih, murni, dan rendah mineral.

Selanjutnya masyarakat kami ajak belajar "mengionisasi" dengan ilmu elektrolisis. Cukup menggunakan dua bejana berhubungan buatan sendiri, kemudian dialiri listrik searah atau DC. Maka, molekul air diurai menjadi ion bermuatan negatif yang bersifat basa (OH-) dan ion bermuatan positif yang bersifat asam (OH+).

Air basa

Apa yang terjadi dengan percobaan ionisasi didiskusikan. Termasuk mencoba meminumnya, terutama yang basa, karena sangat jernih. Tidak hanya enak di lidah, air basa ini membuat masyarakat merasa lebih sehat dan stamina meningkat. Bahkan keringat, urine, tinja, dan mulut menjadi tidak berbau. Berarti sisa-sisa metabolisme tubuh tidak sampai membusuk di dalam tubuh sudah dikeluarkan.

Pada akhirnya, ajaran ibu guru di sekolah dasar dulu, yaitu "kebersihan pangkal kesehatan" sungguh bisa dibuktikan. Gurau warga pun berkembang. Tidak hanya tubuh manusia yang harus bersih. Negara ini juga perlu dibersihkan dari "sampah-sampah" budaya yang tidak jujur, korupsi, dan anggaran siluman, agar negara sehat. Itulah sebabnya mereka mendirikan KPK, Komunitas Pemberantas Kotoran, menggunakanRain Plus itu.

Selanjutnya, kami mengajak pembaca yang ingin tahu lebih jauh untuk hadir di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan, Selasa (31/3) sampai Kamis (2/4). Kami membuat acara dengan topik "Displai Titik Balik Budaya Air Hujan".

V KIRJITOROHANIWAN, TINGGAL DI DESA JAGALAN, MUNTILAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Hujan yang Baik Hati".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Politik dan Reputasi Baik (IRWANTO)

Psikologi sosial mempunyai banyak perangkat teoretik untuk menyoroti dan menjelaskan berbagai fenomena politik yang terjadi di Indonesia, terutama di DKI Jakarta.

Dalam pertikaian politik di DKI Jakarta, ada pihak yang dianggap sebagai musuh bersama oleh sebagian wakil rakyat semata-mata karena agama atau etniknya. Persoalan ini sesungguhnya telah muncul sejak awal pemilihan gubernur DKI Jakarta, pada penunjukan Basuki Tjahaja Purnama yang mendampingi Joko Widodo.

Ketika wacana ini dikecam habis oleh masyarakat yang mereka wakili, wacananya berubah menjadi persoalan karakter atau sifat-sifat pribadi Basuki yang dituding kasar, gaya kepemimpinannya preman, dan lain-lain.

Apakah pihak-pihak yang mendemonisasi Basuki dalam kenyataannya adalah manusia yang lebih "baik", lebih "bermoral" dan lebih "bermutu" dibandingkan pihak yang dijadikandemon?

Disonansi kognitif

Kita mulai pembahasan dengan mempersoalkan apakah seseorang yang kelihatannya atau seharusnya baik sebenarnya rentan berbuat tidak terpuji? Lebih jauh lagi, mungkinkah orang berbuat baik untuk membangun reputasi yang melindungi diri dari konsekuensi perbuatan buruk?

Mengapa seorang Ketua Mahkamah Konstitusi atau seorang Menteri Agama melakukan tindakan korupsi yang tercela? Mereka bukan orang yang naif mengenai norma baik dan buruk dan tentu sangat memahami kemudaratan korupsi.

Leon Festinger (1958) menjelaskan fenomena yang disebutnya cognitive dissonance, berarti adanya ketidakselarasan kognitif atau proses berpikir yang mendasari tindakan. Tindakan korupsi dipahami oleh penegak hukum merupakan tindak kejahatan, tetapi ada sudut lain dalam kesadaran rasionalnya yang menyatakan, saya "boleh" bertindak begitu.

Awalnya disonansi kognitif ini menimbulkan kegelisahan emosional. Namun, jika disonansi itu terulang lagi dan lagi, maka aspek afektif dari tindakan itu menjadi tumpul. Ia akan mencari alasan rasional juga untuk membenarkan tindakannya karena kontrol nuraninya tidak berfungsi.

Dipicu oleh penelitian di bidang perilaku konsumen, perilaku pro sosial, dan perilaku politik, peneliti di Universitas Stanford mencoba mengurai lebih detail peristiwa yang tadinya dianggap sekadar konflik batin. Disonansi kognitif juga dihadapi para ahli gizi dan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang ingin sehat dan mengonsumsimultivitamin pada kenyataannya adalah orang yang sembrono dalam pola makan.Minuman rendah kalori dikonsumsi bersama makanan cepat saji yang berlemak dan tinggi kalori.

Para peneliti (Monin & Miller, 2001; Merritt, Effron & Monin, 2010) menemukan bahwa disonansi yang terjadi bukan hanya persoalan konflik batin atau hati nurani, melainkan juga kesalahan berpikir yang mendorong pilihan rasional yang buruk. Otak dan hatinya menyatakan, semua konsekuensi buruk karena makanan itu tidak akan terjadi karena sudah minum multivitamin dan minum diet drink.

Kasus-kasus perilaku pro sosial atau perbuatan baik yang ternyata berujung perbuatan memalukan berakar sama. Para peneliti menemukan ada kecenderungan manusia untuk mengumpulkan kredit perbuatan baiknya di masa lalu sebagai jaminan untuk perbuatan buruknya saat ini. Ini terjadi karena tindakan manusia umumnya memperhitungkan reaksi orang lain.

Tindakan buruk memancing reaksi negatif dan hukuman dari lingkungan. Tindakan baik memperoleh pujian dan menjadi modal membangun reputasi "baik" atau moral licenseyang akan melindungi dia ketika perbuatannya buruk, karena orang tidak percaya jika dia bertindak tidak terpuji. Bahkan tindakan tidak terpuji itu dapat dimaafkan (dibersihkan atau moral cleansing) ketika ia tetap loyal pada pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari "perbuatan baiknya".

Lahan subur reputasi

Kancah politik di Indonesia merupakan lahan subur bagi para pemburu reputasi baik. Kultur politik kita bersifat kontributif—mereka yang terbanyak menyumbang partai, baik jasa maupun moneter atau yang lainnya, memperoleh hak dan posisi istimewa. Selain itu, kancah politik di Indonesia juga sarat dengan norma budaya balas budi-utang budi yang disebut transaksional. Kabinet Joko Widodo akan menjadi contoh kegagalan dari cita- cita non atau anti transaksional, tetapi berakhir dengan jelas ada unsur-unsur transaksionalnya.

Motivasi untuk berbuat baik ketika masuk ke kancah politik tidak perlu diragukan lagi. Ikut membangun negara dan bangsa merupakan cita-cita yang luhur. Persoalannya adalah apakah yang awalnya baik berakhir baik pula. Perlu dicatat bahwa dalam kultur politik yang ada selama ini ada semacam norma sosial yang menyatakan bahwa setelah bekerja keras saya "berhak" memetik atau memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul karena perjuangan politik saya. Kesempatan yang muncul bukan hanya karier politik, melainkan juga akses pada sumber daya yang berlimpah yang sebagian pengaturannya tergantung mandat politik.

Kombinasi antara norma-norma politik yang kontributif, transaksional, dan terciptanya akses pada sumber daya yang berlimpah menciptakan medan sosial yang sangat licin untuk terjadinya kesalahan berpikir dan menyebabkan terjadinya tindakan tidak terpuji, seperti korupsi. Moral licensing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi oleh anggota legislatif maupun anggota partai yang telah menjadi birokrat publik. Tertangkapnya mereka disebabkan oleh kesalahan berpikir yang memberikan "perlindungan palsu" pada dirinya dari hukum yang mereka ciptakan, mereka jalankan, dan menggunakan untuk membela intensi dan cita-citanya.

Kembali kita mengamati apa yang terjadi di seberang Basuki yang menghujat dirinya dengan segala sebutan dan cacian yang pada dasarnya ingin menyatakan bahwa dia bukan pribadi yang pas sebagai pemimpin daerah. Di antara tokoh-tokoh kelompok ini, ada yang secara demonstratif memamerkan kekayaan pribadinya tanpa peduli pernyataan rakyat dan media yang meliputnya karena mereka dianggapnya begitu bodoh. Ada juga yang bermasalah dengan hukum, tetapi terpilih atau jadiincumbent.

Tidak ada pengawasan

Gotong royong untuk membangungroupthink di dalam DPRD DKI terjadi karena moralitas mereka hanya dapat diuji di dalam lembaga itu sendiri, tidak oleh para pakar di luar sana. Maka, cara mereka menghindari isu yang substantif, yaitu perubahan angka-angka dalam RAPBD 2015 versi pemerintah provinsi, adalah dengan membawa persoalan yang tidak relevan, yaitu sikap dan gaya komunikasi Sang Gubernur. Ini karena moralitas di DPRD tidak siap diuji apple to apple dengan moralitas finansial pemprov. Diciptakanlah isu gaya komunikasi dan kesewenangan untuk menghindari persoalan kredibilitas dan akuntabilitas publik lembaga wakil rakyat.

Kemelut yang dihadapi Basuki sebagai kepala pemerintahan provinsi memancing pertanyaan mendasar dan historis. Setelah reformasi politik dan birokrasi tahun 1998, apa sebenarnya yang telah terjadi di negeri ini? Dalam persoalan yang dihadapi Pemprov DKI, bukankah ini bagian dari reformasi birokrasi yang diharapkan?

Di mana tokoh-tokoh kunci Reformasi 1998 kini berada? Sebagian mereka telah mencicipi kedudukan tertinggi di parlemen, menjadi kepala negara, atau masih mengajar di berbagai perguruan tinggi. Mengapa kita tidak mendengar mereka berbicara?

Saya yakin mereka tidak mengalami kebutaan dan ketulian politik. Saya khawatir, lisensi moral mereka kedaluwarsa sehingga mereka tidak dapat melindungi diri dari efek bumerang jika ikut-ikutan dalam menyuarakan kebenaran dan moralitas. Takut warnanya terungkap.

Generasi muda kita perlu jawaban. Merekalah yang akan mewarisi kultur politik pasca Basuki dan Jokowi. Dua sejoli yang memikul harapan publik bahwa keterlibatan rakyat dalam membangun demokrasi harus lebih besar dan oleh karena itu, mereka harus didengarkan dan dijadikan acuan utama pembangunan.

Haruskah kita kecewa lagi kali ini karena semua pertunjukan bagus hanyalah didasarkan pada kepentingan moral licensing dan bukan moralitas politik yang sungguh-sungguh?

IRWANTO, GURU BESAR PSIKOLOGI SOSIAL UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Politik dan Reputasi Baik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Menanti Kapolri Baru (AL ARAF)

Pengajuan nama Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon baru Kapolri oleh Presiden Joko Widodo kepada DPR sepertinya akan menghadapi hambatan dan tantangan politik di parlemen.

Dalam sidang paripurna lalu, sejumlah fraksi di DPR menyatakan bahwa uji kepatutan dan kelayakan terhadap Badrodin Haiti baru dilakukan setelah Presiden Jokowi menjelaskan alasan yang mendasari keputusan pembatalan calon Kapolri sebelumnya kepada DPR. Dengan sikap dan langkah DPR ini, penantian publik untuk melihat Kapolri definitif tampaknya masih belum menemukan kejelasan. Sebab, DPR bukannya segera menghentikan polemik dengan memproses calon baru, tetapi justru menggantungnya. Pergantian Kapolri pun terancam semakin berlarut-larut.

Polemik yang berkepanjangan dalam pergantian Kapolri tentunya sangat kontraproduktif dan menimbulkan dampak yang negatif. Tidak hanya bagi Polri secara institusional, tetapi juga masyarakat. Banyak energi yang akan terkuras oleh polemik yang tak berujung ini.

Polemik DPR

Pergantian Kapolri sejatinya merupakan hak prerogatif Presiden. Adalah kewenangan Presiden untuk memberhentikan dan mengangkat Kapolri. Namun, mengacu pada Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pergantian Kapolri juga mensyaratkan persetujuan DPR. Seorang calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden terlebih dulu harus mengikuti uji kepatutan dan kelayakan melalui proses politik di DPR untuk kemudian ditetapkan dan dilantik oleh Presiden.

Dalam kenyataannya, proses politik di DPR rawan politisasi. Proses politik di DPR tidak sekadar sebagai ruang untuk menguji kepatutan dan kelayakan seorang calon Kapolri, tetapi juga dibawa ke dalam tarik-menarik berbagai kepentingan politik yang bisa mengancam independensi Polri. Proses politik di DPR telah menjerumuskan Polri ke dalam lingkaran pertarungan politik kekuasaan. Proses politik di DPR itulah yang menjadi salah satu hambatan dalam membangun Polri yang profesional.

Yang menjadi persoalan adalah politik kekuasaan hari ini menunjukkan wajah politik yang oligarki sehingga proses politik pergantian Kapolri rawan dengan pengaruh berbagai kepentingan kelompok-kelompok oligarki tersebut. Realitas politik oligarki memang memengaruhi potret kepolisian kita hari ini karena sejatinya baik atau buruknya Polri salah satunya ditentukan dari baik atau buruknya wajah politik kekuasaan itu.

Dalam sistem presidensial, sepantasnya penunjukan Kapolri dan juga Panglima TNI cukup melalui persetujuan Presiden tanpa perlu persetujuan DPR karena penunjukan Kapolri dan Panglima TNI adalah hak prerogatif Presiden. Kalau dalam menunjuk menteri saja Presiden tidak perlu meminta persetujuan DPR lalu kenapa dalam penunjukan Kapolri dan Panglima TNI harus melalui persetujuan DPR? Padahal, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedudukan mereka sejajar.

Sejarah adanya pengaturan tentang pelibatan DPR dalam pergantian Panglima TNI dan Kapolri di dalam UU TNI ataupun UU Polri tidak bisa dilepaskan dari alasan kondisi transisi politik di Indonesia. Pada masa awal reformasi, demi menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden terhadap TNI dan Polri sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru, parlemen perlu diberi peran untuk memberikan persetujuan terhadap calon Kapolri atau Panglima TNI yang diajukan Presiden.

Akan tetapi, dalih transisi politik itu sepantasnya sudah bisa diakhiri pada masa kini karena realitas demokrasi saat ini yang sedikit banyak berjalan dengan baik. Sudah sepantasnya proses pergantian, Kapolri dan Panglima TNI cukup dipilih Presiden tanpa melalui persetujuan DPR.

Sebagai lembaga politik, parlemen semestinya lebih memainkan perannya sebagai lembaga yang mengawasi kinerja Kapolri dan Panglima TNI yang dipilih Presiden. Kalau Kapolri dan Panglima TNI juga perlu persetujuan DPR, sulit diharapkan parlemen akan melakukan pengawasan kepada TNI dan Polri secara obyektif dan efektif.

Sikap DPR yang tidak segera melakukan uji kelayakan terhadap calon Kapolri baru ini memang menjadi masalah tersendiri. Namun, jika mengacu pada UU No 2/2002 tentang Polri, sebenarnya dalam 20 hari sejak surat Presiden diterima DPR dan belum ada sikap apakah disetujui atau ditolak, Presiden bisa melantik calon Kapolri baru (Pasal 11 Ayat 3 dan Ayat 4).

Membangun kepercayaan

Polemik pergantian Kapolri yang berkepanjangan bukan sesuatu yang bersifat produktif dan penting untuk segera diakhiri. Dengan masalah dan tantangan yang besar yang dihadapi Polri, publik menanti nakhoda baru Polri yang diharapkan bisa mendorong perubahan di institusi Polri selaras dengan harapan publik ke depan.

Salah satu tantangan berat yang akan dihadapi Kapolri baru adalah mengembalikan tingkat kepercayaan publik (trust building) terhadap institusi Polri. Konflik KPK dengan Polri pada kenyataannya telah membuat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat sipil yang berimplikasi pada menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada Polri. Berbagai reaksi dalam mengkritik Polri dilakukan dengan berbagai cara dan dilakukan di beberapa wilayahIndonesia dan hingga kini terus berlanjut.

Reaksi dan kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil itu hendaknya jangan dipandang sebagai ancaman oleh institusi Polri. Namun, sebaliknya, berbagai kritik itu adalah kekayaan yang berharga dalam kehidupan demokrasi yang mungkin akan sangat bermanfaat bagi institusi Polri dalam melakukan perubahan dan perbaikan. Penting untuk selalu diingat bahwa dinamika kehidupan politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peranan organisasi masyarakat sipil baik itu gerakan mahasiswa, serikat buruh, serikat petani, LSM,media masa, akademisi maupun organisasi masyarakat sipil lainnya.

Dalam konteks Polri, berbagai elemen masyarakat sipil itulah yang paling terdepan di dalam mendorong berbagai agenda reformasi di sektor keamanan dan salah satunya adalah mendorong agenda pemisahan peran dan kelembagaan antara TNI dan Polri yang kemudian dituangkan dalam TAP MPR No VI dan VII Tahun 2000. Peran penting organisasi masyarakat sipil itu menjadi sejarah yang tak terbantahkan dan tidak bisadinafikan. Karena itu, Kapolri baru perlu menjadikan sejarah tersebut sebagai pijakan di dalam mengambil langkah-langkah yang korektif dan langkah-langkah yang bijak untuk mengembalikan kepercayaan publik ke level yang lebih baik. Posisi Polri yang vis a vis dengan masyarakat sipil bukan hanya keliru, melainkan juga tidak sejalan dengan fungsi Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.

Meski upaya memperbaiki kepercayaan publik perlahan sudah coba dilakukan oleh calon Kapolri baru dengan membuka komunikasi dan melakukan pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat sipil, tetapi hal itu baru langkah awal. Langkah berikutnya yang penting dilakukancalon Kapolri baru dalam mengembalikankepercayaan publik adalah dengan memperbaiki hubungan KPK-Polriyang itu bisa dimulai dengan meninjau ulang proses hukum terhadap kasus Bambang Widjojanto dengan mempertimbangkan mekanisme penanganan yang sedang berjalan di Peradi, menghentikan somasi kepada Komnas HAM, tidak melanjutkan langkah hukum kepada majalah Tempo dan langkah-langkah perbaikan lainnya.

Menghentikan polemik pergantian Kapolri di DPR jelas merupakan langkah yang penting dan mendesak untuk segera dilakukan. Berbagai macam masalah keamanan dan penegakan hukum saat ini tentu memerlukan Kapolri yang definitif untuk menyelesaikannya. Dengan demikian, DPR perlu segera memproses Komjen Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri yang telah diajukan oleh Presiden Jokowi ke DPR. Semoga dalam waktu dekat ini kita akan mendapatkan Kapolri baru yang bisa membawa perubahan yang lebih baik bagi institusi Polri dan bergunauntuk masyarakat. Semoga.

AL ARAF, DIREKTUR PROGRAM IMPARSIAL

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Menanti Kapolri Baru".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senin, 30 Maret 2015

ANALISIS EKONOMI: Indeks Kota Cerdas Indonesia

Harian Kompas bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk pekan lalu meluncurkan Indeks Kota Cerdas Indonesia. Indeks ini merupakan parameter untuk mengukur dan memeringkat kinerja pengelolaan kota berbasis teknologi digital dalam pelayanan masyarakat.

Inisiatif ini tentu sangat baik karena isu migrasi penduduk dari desa ke kota di Indonesia sudah semakin akut. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada 1960 hanya 15 persen penduduk Indonesia tinggal di kota. Namun, pada 1990, jumlahnya berlipat dua menjadi 30 persen, kemudian pada 2010 menjadi 44 persen, dan diperkirakan menjadi 57 persen pada 2025. Dengan kata lain, pada saat ini (2015) diperkirakan jumlah penduduk yang tinggal di kota sudah berimbang dengan yang tinggal di desa (50 persen).

Sosiolog Jerman, Hans-Dieter Evers (The End of Urban Involution and the Cultural Construction of Urbanism in Indonesia, Universitas Bonn, 2007), menyatakan, kecepatan urbanisasi di Indonesia telah menimbulkan terjadinya "kota-desa" (urban villages), terutama di kota-kota provinsi. Maksudnya, kota-kota tersebut keteteran menampung arus deras urbanisasi sehingga tetap bercirikan karakter kuat desa.

Akibatnya, sejumlah karakteristik berikut ini menjadi terasa menonjol di banyak kota: banyak daerah kumuh, infrastruktur buruk, pertumbuhan penduduk cepat, serta, seperti diklaim banyak pengamat: susah diatur (ungovernability). Bagaimana membuat kota-kota tersebut bisa diatur sehingga menjadi tempat tinggal dan bekerja yang nyaman, manusiawi, dan berkelanjutan?

Berangkat dari sinilah tampaknya inisiatif untuk melahirkan Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) terjadi. Bagaimana masalah membeludaknya penduduk yang berbondong-bondong ke kota harus disikapi secara cerdas? Aspek-aspek yang akan dinilai meliputi pencapaian ekonomi, harmonisasi bidang sosial, serta upaya melindungi dan menata lingkungan. Adapun faktor pendukung yang dipertimbangkan dalam penilaian adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola pemerintahan, dan kualitas sumber daya manusia.

Menurut saya, masih ada satu faktor lagi yang harus dipertimbangkan, yakni keberadaan infrastruktur. Hal ini penting karena kemampuan daya dukung kota untuk melayani kebutuhan mobilitas publik sehari-hari sangat ditentukan oleh keberadaan fasilitas moda angkutan, yang harus didukung oleh infrastruktur.

Pada 2015, anggaran yang disiapkan untuk membangun infrastruktur sejumlah Rp 290 triliun. Secara nominal, angka ini sudah besar, bahkan merupakan rekor tertinggi dalam sejarah APBN kita. Namun, jika dibandingkan dengan PDB saat ini Rp 11.000 triliun, maka itu hanya kurang dari 3 persen, meski angka itu belum sebanding dengan referensi terbaik dunia untuk negara berkembang, yakni Tiongkok (10 persen) dan Brasil (5 persen).

Hasrat besar Presiden Joko Widodo yang ingin membangun banyak waduk ternyata "hanya" butuh sekitar Rp 1 triliun. Cukup kecil jika dibandingkan dengan seluruh anggaran infrastruktur yang kita miliki.

Sebagai perbandingan, biaya pembangunan transportasi massal cepat (MRT) di Jakarta Rp 27 triliun, yang dikerjakan dalam 7 tahun. Artinya, jika diamortisasikan, anggaran dalam setahun hanya Rp 4 triliun. Cukup murah dan sangat terjangkau oleh APBN kita. Dengan kata lain, jika kita cukup cerdik dalam mengelola keuangan negara, baik di level pusat maupun provinsi, akan banyak infrastruktur yang dapat dibangun. Mestinya kita tidak perlu sampai tertinggal dalam membangun infrastruktur.

Jakarta baru akan memiliki satu jalur MRT pertamanya pada 2019 (sepanjang 21 kilometer). Padahal, Beijing sudah memiliki 18 jalur MRT (527 kilometer), sedangkan Shanghai 14 jalur (538 kilometer).

Sementara itu, Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta dibangun pada 2009 dengan anggaran relatif murah, Rp 300 miliar. Namun sayang, sesudah membangun satu gerbang, lalu berhenti. Padahal, Terminal 1 dan 2 sudah serasa meledak karena tak mampu lagi menampung penumpang. Baru pada 2012 pembangunan Terminal 3 dilanjutkan, dengan biaya Rp 4,7 triliun.

Ilustrasi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemerintah dan parlemen kita memiliki kemampuan untuk menentukan prioritas dalam politik anggaran. Jika hal-hal teknis yang paling esensial seperti ini saja masih teledor, maka kota-kota besar kita hanya akan terjebak di kubangan "kota-desa", seperti terminologi Evers.

Pemerintah pun kini mulai berencana membangun MRT tidak cuma di Jakarta, tetapi juga di Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar. Ini hebat dan memang harus dilakukan. Kita tidak boleh lagi mengulang kesalahan masa lalu: baru membangun infrastruktur ketika sudah terlambat.

Kemampuan menentukan prioritas serta mengantisipasi kebutuhan dalam jangka menengah dan panjang perlu dimasukkan menjadi salah satu kriteria dalam penghitungan IKCI. Kita tidak mau lagi selalu terlambat dalam kejar-kejaran antara pembangunan infrastruktur melawan arus urbanisasi, yang tampaknya mustahil dibendung itu....

A TONY PRASETIANTONO, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Maret 2015, di halaman 15 dengan judul "Indeks Kota Cerdas Indonesia".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Powered By Blogger