Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 30 April 2014

Pergerakan Buruh Indonesia (Rekson Silaban)

Perayaan Hari Buruh 1 Mei ini akan menjadi demo buruh terakhir bagi pemerintahan Presiden Yudhoyono.

Tanggal 1 Mei ini sekaligus juga menjadi perayaan pertama Hari Buruh dengan status libur resmi, setelah tahun lalu 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur resmi nasional sebagaimana pada era Orde Lama.

Pada perayaan Hari Buruh di masa lalu, Bung Karno, yang selalu hadir dalam perayaan Hari Buruh, menyatakan, perjuangan politik paling minimum gerakan buruh adalah mempertahankan politieke toestand, yakni sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Politieke toestand ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih kuat.

Selanjutnya Bung Karno mengatakan, gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursuskursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasikoperasi buruh, dan sebagainya.

Gerakan buruh Indonesia telah sampai pada tahap politieke toestand, tetapi Soekarno pasti akan kecewa karena kebebasan berserikat yang dimiliki buruh, bukannya dimanfaatkan untuk memasuki fase lanjutan machtsvorming, tetapi dilakoni dengan mendirikan banyak organisasi buruh, berlomba-lomba menjadi pemimpin buruh. Kekalahan dalam kongres direspons dengan membentuk serikat baru dengan membawa pendukungnya keluar dari organisasi yang telah lama membesarkannya. Pemimpin baru yang belum matang ini selanjutnya menghadapi masalah pengerdilan diri sendiri (self-destruction).

Perpecahan organisasi buruh menjadi titik lemah perjuangan buruh Indonesia. Agenda besar untuk menjadikan gerakan buruh sebagai kekuatan penyeimbang atas kapitalisme bisa tersingkir akibat menurunnya kekuatan anggota, pengaruh politik, dan kemampuan finansial.

Secara keseluruhan gerakan buruh Indonesia lima tahun terakhir memang bertumbuh pesat. Bahkan, di Asia, Indonesia mendapat pengakuan sebagai yang berkembang pesat. Prestasi mereka mendorong perbaikan jaminan sosial nasional, perbaikan upah minimum, menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional adalah pencapaian bagus. Sayangnya keberhasilan ini belakangan mulai memudar akibat berlanjutnya fragmentasi organisasi buruh.

Hampir semua serikat buruh mengalami perpecahan akibat kegagalan mengelola konflik internal organisasi, mengedepankan egoisme, dan menjauh dari pusaran penyatuan gerakan (sentrifugal). Tentu saja bukan ini yang dicita-citakan Soekarno, almarhum Marsinah, dan kaum buruh yang menanti perubahan nasib.

Gelombang ketiga gerakan buruh
Dalam sejarah gerakan buruh internasional, gerakan buruh di Eropa dan Amerika akhir 1800-an dinobatkan sebagai generasi awal pengakuan gerakan buruh sebagai kekuatan penyimbang keserakahan kaum kapitalis. Dari era inilah lahir sistem jaminan sosial, upah minimum, Hari Buruh (May Day), pembatasan jam kerja, jaminan keselamatan kerja, serta perundingan bipartit dan tripartit.

Melalui perundingan dan tekanan politik, serikat buruh menjadi lembaga yang berperan dalam distribusi ekonomi di luar mekanisme pajak. Sejarah telah mengajarkan, perbaikan nasib buruh tidak pernah datang dari niat baik pemilik modal atau pemerintah yang baik. Seperti keyakinan Bung Karno bahwa perbaikan nasib bagi kaum buruh, termasuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, hanya mungkin terjadi jika gerakan buruh punya kekuatan atau daya tekan untuk memaksa pengusaha. Tanpa melakukan desakan yang kuat pengusaha akan bergeming.

Generasi kedua gelombang gerakan buruh dunia terjadi di Brasil, Korea Selatan, Jepang, Argentina, Meksiko, dan Afrika Selatan yang dimulai pada era 1970-1980-an. Sebagai generasi kedua yang mengikuti jejak generasi awal, mereka berhasil melembagakan apa yang telah terjadi di Eropa. Secara kebetulan momentum ekonomi-politik di negara ini tersedia dengan tingginya pertumbuhan ekonomi, meluasnya industrialisasi, dan demokrasi yang melembaga. Akhirnya jadilah mereka pewaris keberhasilan gerakan buruh di Eropa. Dunia terus berubah dengan lahirnya negara-negara dengan kekuatan ekonomi baru.

Jauh dari harapan
Satu hal yang dinantikan gerakan buruh internasional adalah lahirnya gelombang ketiga gerakan buruh di negara berkembang ini. Tidak hanya dalam bentuk sebuah institusi, tetapi juga gerakan buruh sebagai garda utama pembela kepentingan buruh, mitra pengusaha dan pemerintah, memiliki kompetensi berimbang, punya kapasitas menawarkan alternatif kebijakan ekonomi, memiliki pengaruh dan lobi politik, profesional, dan tidak memintaminta jabatan dan uang. Mengingat Indonesia anggota kelompok G-20, serikat buruh dunia menolehkan pandangannya ke Indonesia. Menanti dimulainya sejarah baru yang diharapkan menggelinding seperti bola salju ke negara lain.

Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang terus membaik, urutan ke-13 dunia dalam besaran PDB, negara demokrasi keempat terbesar, dan telah meratifikasi konvensi penting ILO 87 tentang jaminan kebebasan berserikat. Kondisi yang tidak tersedia di negara tetangga. Bahkan, Tiongkok, India, Thailand, Malaysia, dan Vietnam belum mau meratifikasi konvensi ILO 87 karena khawatir kehadiran serikat buruh yang kuat akan mengurangi kemampuan kompetitif ekonomi dan mendestabilitasi politik domestik.

Padahal, pengalaman internasional dan laporan OECD dari tahun ke tahun menunjukkan, serikat buruh yang kuat berkontribusi terhadap menurunnya ketimpangan ekonomi dan pendapatan, memperkuat hubungan industrial yang damai, mengurangi jumlah demo, dan memperkuat demokrasi. Lihatlah negara yang memiliki tradisi serikat buruh kuat seperti Jerman, Inggris, negara Skandinavia, Jepang, Brasil, dan Australia, pasti memiliki rasio gini untuk ketimpangan yang kecil, demokrasi stabil, demo buruh pun nyaris tidak pernah terjadi. Apalagi demo yang berkaitan dengan upah minimum.

Sayangnya harapan dunia atas hal itu masih jauh harapan. Gerakan buruh Indonesia saat ini masih berkutat di atas tuntutan-tuntutan mikroekonomik, seperti upah minimum, kasus advokasi, tuntutan normatif, dan perebutan jabatan. Ini mungkin akibat minimnya kapasitas mereka memasuki wilayah isu makro, mengajukan alternatif sesuai pengalaman
internasional, atau menjadikan pelanggaran kebebasan berserikat sebagai "kambing hitam". Mereka akan kaget dengan fakta kebebasan berserikat di Indonesia salah satu yang paling liberal di dunia karena setiap saat bisa mendirikan serikat tanpa pernah diverifikasi atas kebenaran jumlah anggota, cakupannya, dan aktivitasnya, dan setiap waktu bebas menggelar demo.

Yang paling dibutuhkan kini adalah menyatukan kekuatan suara buruh, selanjutnya mengirim pesan tegas kepada elite politik bangsa agar sungguh-sungguh memperbaiki nasib buruh Indonesia termasuk buruh migran. Mumpung momentum sedang berpihak kepada Indonesia, pemimpin buruh harus segera berbenah. Pada masa Orde Lama saja pemimpin buruh Indonesia diperhitungkan dalam kancah internasional karena jadi pelaku utama yang melahirkan wadah serikat buruh internasional. Serikat buruh Sarbumusi dan Gasbindo ikut mendirikan Konfederasi Buruh Independen Dunia (ICFTU), sementara SOBSI ikut mendirikan wadah serikat buruh sosialis (WFTU).

Salah satu yang penting dibenahi untuk pemimpin nasional adalah agenda penyatuan gerakan buruh (baca: bukan penyatuan struktur) karena itu adalah prakondisi yang diperlukan untuk efektif menjadi kekuatan penekan. Tanpa ini kekuatan buruh hanya cenderung jadi pemintaminta. Selanjutnya, penguatan kapasitas pengurus sampai di level rata-rata pemimpin buruh dunia lain. Pemimpin buruh tak hanya diperlukan untuk perjuangan domestik, tetapi juga internasionalis, mengingat hampir semua ide, bentuk hubungan kerja, dan sistem ekonomi yang merugikan buruh berasal dari kapitalis internasional. Jadi, jangan berhenti hanya sebagai jago kandang. Saatnya memilih, senantiasa sebagai pesorak (spectators) atau menjadi pemain (players)?

Rekson Silaban
ILO Governing Body

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006253235
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sejarah Nasional dan Kurikulum (L Wilardjo)

Budi Darma dalam artikelnya di koran ini (24/4/2014) menekankan pentingnya sejarah nasional yang semestinya kita tulis sendiri berdasarkan penelitian ilmiah dan dengan perspektif Indonesia. Kita ber-"kewajiban moral (dan) intelektual untuk menulis sejarah kita sendiri".
Budi Darma juga mengatakan, "Penulisan sejarah tidak bisa membenarkan yang salah, tetapi (harus) meluruskan(nya)." Jadi, jika ada kesimpangsiuran tentang peristiwa Muso di Madiun, Jawa Timur, dan Gestapu 65, misalnya, karena pandangan pakar-pakar seperti Wertheim, Feith, dan Oppenheimer, para ahli sejarah kita perlu membuatnya menjadi terang dan lurus. Memang pakar-pakar itu orang asing, tetapi jika mereka benar, ya, harus kita benarkan. Jika mereka salah, ya, kita buktikan kesalahannya.

Pelajaran Sejarah Nasional harus ada dalam kurikulum sekolah, baik negeri maupun swasta, juga di sekolah internasional yang diselenggarakan di Indonesia dan ada siswa Indonesianya. Namun, jangan berupa hafalan deretan peristiwa serta kapan dan di mana kejadian itu. Hafalan tanggal dan tempat itu sama membosankannya dengan hafalan nomenklatur dalam bahasa Latin pada pelajaran Biologi, kecuali bagi segelintir siswa yang beraspirasi jadi taksonomiwan.

Entah melalui pelajaran Pancasila atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), sejarah nasional harus termasuk dalam kurikulum. Seperti dalam Profiles in Courage-nya John F Kennedy, perjuangan para pahlawan nasional perlu ditekankan dalam sejarah nasional demi memupuk nasionalisme dan patriotisme anak-anak kita. Di Amerika Serikat (AS) ada mata pelajaran American Thought and Language (ATL). Selain itu, disuguhkan pula film sejarah kepahlawanan, seperti tentang Marquis de Lafayette, revolusioner Perancis yang membantu AS melawan kolonialis Inggris. Ini mengemban fungsi serupa dengan kewajiban Pancasila dan PKn (dengan sejarah nasional sebagai bagiannya) dalam kurikulum nasional kita.

Sekarang ada home schooling, dan sekolah-sekolah yang menekankan pada matematika dan sains. Di Tangerang, misalnya, ada Sekolah Anak Indonesia di bawah naungan Yayasan ALIRENA. Seperti science, technology, engineering, and mathematics (STEM) yang dianggap sangat penting di AS, Matematika dan Sains beserta penerapannya yang relevan dijadikan pumpun dalam kurikulum sekolah berasrama di Tangerang itu. Ini baik-baik saja, asalkan penggemukan jam pelajaran Matematika dan Sains tidak dilakukan dengan menghapus mata pelajaran lainnya yang dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai budaya bangsa.

Karena Indonesia itu majemuk dalam keyakinan keagamaan, pada hemat saya, pelajaran Agama dapat disulihi dengan budi pekerti. Tekanannya tak hanya pada tata krama, meski ini penting, tetapi juga pada moral dan etika. Keduanya termasuk dalam aksiologi tentang pertimbangan baik buruk dan peranan hati nurani. Moral didasarkan pada nilai-nilai alkitabiah (scriptural), sedangkan etika pada telaah filsafatiah (philosophical). Tentu ini tak hanya diajarkan dengan ceramah dan tausyiah, tetapi juga dengan contoh sikap, keputusan, dan tindakan yang moral-etis.

Budi Darma juga menganjurkan apa yang disebutnya "paradigma studi interdisipliner" dalam sejarah nasional. Adolf Hitler, di masa mudanya di Austria, memumpunkan perhatiannya pada melukis dan sejarah. Ia mendalami keahliannya dalam melukis karena itu hobinya dan ia merasa berbakat. Lagi pula ia ingin menjadikan dirinya pelukis profesional yang bisa hidup dengan bekerja sebagai pelukis.

Ia terobsesi dengan sejarah karena ingin mengetahui sebab-musabab peristiwa-peristiwa historis yang penting, pemicu pecahnya peristiwa itu, serta faktor sosial-politik dan psikologis apa saja yang ikut berperan. Dengan kata lain, seperti yang sekarang dianjurkan Budi Darma, Hitler muda menelaah peristiwa-peristiwa sejarah secara interdisipliner.

L Wilardjo
Guru Besar Fisika dan Dosen Filsafat Ilmu UKSW,Salatiga

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006277682
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Politik Buruh 2014 (SURYA TJANDRA)

Tahun politik 2014 ini membawa pengaruhnya sendiri pada gerakan buruh.

Meski belum mencerminkan adanya perpecahan akut, seiring orientasi politik masing-masing, berbagai kelompok utama gerakan buruh pun melakukan aksi peringatan Hari Buruh Sedunia tidak secara bersama-sama.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), misalnya, memilih melakukan May Day Fiesta pada 1 Mei di Gelora Bung Karno, melibatkan seratusan ribu buruh yang didahului demonstrasi di depan Istana Presiden. Pada saat yang sama, mereka juga berencana mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres).

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) memilih melakukan demonstrasi yang melibatkan puluhan ribu buruh pada 2 Mei. KSPSI dan KSBSI jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan dukungan kepada Joko Widodo sebagai capres dan membentuk "Relawan Buruh Sahabat Jokowi".

Sementara itu, Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh, yang merupakan gabungan berbagai serikat buruh kecil dan menengah, memilih aksi mereka sendiri pada 1 Mei, khususnya di kawasan-kawasan industri. Mereka tak mendukung salah satu capres, tetapi menyebutkan syarat calon presiden harus "bukan pelanggar hak asasi manusia".

Eksistensi buruh
Berbeda dengan deklarasi dukungan terhadap pencalonan Jokowi, dukungan terhadap pencalonan Prabowo adalah yang paling kontroversial. Kritik dan pertanyaan muncul dari banyak kalangan, khususnya dari aktivis HAM dan sesama aktivis buruh.

Sebagian mereka berpendapat dukungan kepada capres tertentu seharusnya tidak boleh mengurangi eksistensi buruh itu sendiri. Atau buruh seharusnya menawarkan calonnya sendiri, yang datang dari kalangan mereka, dan bukan orang lain yang belum tentu paham persoalan buruh.

KSPI menjelaskan sikapnya mendukung Prabowo adalah untuk kepentingan buruh juga. Bagi mereka, Prabowo-lah capres yang bersedia secara terbuka menerima 10 tuntutan buruh, seperti menaikkan upah secara layak, menghapuskan sistem kerja alih daya yang melanggar hukum, dan melaksanakan jaminan sosial khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi buruh formal tepat waktu.

KSPI juga mengklaim mendapat tawaran kursi menteri tidak semata untuk jabatannya, tetapi untuk memastikan agar tuntutan buruh tersebut dilaksanakan pemerintah jika kelak Prabowo menjadi presiden. Sementara dukungan KSPSI dan KSBSI terhadap Jokowi tidak terlalu mengundang kontroversi, tetapi terkesan juga tidak membawa dampak banyak.

Dari perspektif buruh, boleh jadi dukungan terhadap Prabowo dan kontroversi yang menyertainya itulah yang dianggap lebih edukatif. Bagi kebanyakan buruh, pemahaman politik yang "abstrak" seperti isu pelanggaran HAM dan sebagainya, atau figur populis yang mendapat perhatian media massa, tidak terlalu menarik selama itu tidak langsung dirasakan hasilnya oleh mereka.

Perjuangan menaikkan upah 50 persen melalui mogok nasional, misalnya, dirasa lebih "bunyi" dibandingkan sasaran tidak langsung seperti meningkatkan daya beli buruh dengan mengurangi pengeluaran melalui subsidi perumahan dan transpor bagi buruh. Dalam konteks itulah, keberhasilan menaikkan upah minimum lebih dari 40 persen dibanding tahun sebelumnya pada 2013 dirasa sebagai keberhasilan luar biasa bagi kebanyakan buruh. Karena itu pula kenaikan upah yang hanya 10 persen tahun 2014 dirasa sebagai kegagalan besar yang menimbulkan sentimen negatif pada Jokowi yang dianggap paling bertanggung jawab.

Dalam konteks itu pula, dukungan kepada capres tertentu dengan tuntutan spesifik untuk kepentingan buruh, dengan target yang jelas seperti kursi menteri, dirasa jadi lebih masuk akal. Di sini aspirasi personal pemimpin buruh pun ikut bermain.

Manuver serikat buruh
Sebagian pemimpin buruh mulai menyadari bahwa pendekatan "langsung", seperti tuntutan kenaikan upah tinggi, tidak selamanya bisa dilakukan karena itu membutuhkan tenaga dan stamina gerakan yang amat besar. Sementara basis politik mereka sendiri masih lemah.

Untuk itulah, sebagian serikat buruh mulai masuk ke dalam percaturan politik praktis melalui pemilu dengan mengirimkan kader-kadernya sebagai calon anggota legislatif dari berbagai parpol yang ada. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), misalnya, mendorong perjuangan "buruh go politik". Melalui cabangnya di beberapa kota industri, mereka terlibat aktif secara organisasional dalam kampanye untuk caleg dari buruh lewat berbagai parpol yang ada.

Mereka menginstruksikan anggotanya untuk memilih hanya calon mereka sendiri, dikombinasi dengan pelatihan pemilih dan relawan "go politik" di kantong-kantong buruh di Bekasi. Melibatkan bukan hanya buruh, melainkan juga LSM seperti Trade Union Rights Centre, Omah Tani Batang, dan Fakultas Fisipol Universitas Gadjah Mada untuk mendukung dengan pelatihan.

Meski sebagian besar calon mereka gagal masuk parlemen, praktis dengan hanya mengandalkan kekuatan suara anggota di tengah politik uang yang merajalela, FSPMI berhasil memasukkan dua caleg dari buruh ke DPRD Kabupaten Bekasi melalui Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bila melihat rekam jejak keduanya dan organisasi mereka, kehadiran kedua caleg ini rasanya akan membawa pengaruh amat berbeda pada percaturan politik lokal nantinya. Ini akan menjadi catatan sejarah tersendiri.

Gerakan buruh—berkat keberhasilannya menampilkan diri sebagai sebuah kekuatan alternatif di luar oligarki politik yang sudah ada, khususnya dengan keberhasilan mereka melaksanakan dua kali mogok nasional—tampaknya mulai jadi sasaran parpol ataupun capres untuk didekati dan diminta dukungannya.

Cepat atau lambat, seiring meningkatnya pamor buruh berkat "go politik" ini, buruh akan mulai dihadapkan pada pilihan-pilihan politik. Itu hal wajar dan bahkan patut disyukuri sehingga proses pendewasaan gerakan juga dapat diolah dan dilatih. Dalam menghadapi pilihan-pilihan politik itu, peran pemimpin jadi penting. Pemimpin buruh diharapkan mempertimbangkan masukan para kolega, termasuk para pengkritiknya, aspirasi anggota, serta memiliki kesadaran hati nurani sebagai pemimpin.

Pemimpin menjadi pemimpin karena ia bisa dan berani memutuskan. Pemimpin tidak selamanya harus mengikuti masukan orang lain, tetapi ia juga tidak boleh melupakan perannya yang utama, yaitu mendidik dirinya sendiri serta kolega dan anggota, untuk makin dewasa dan cerdas secara politik.

Persoalannya, setiap pilihan, apalagi yang menyangkut kepentingan publik (seperti buruh dan rakyat), bisa salah bisa juga benar. Banyak faktor yang menentukan sejarah kita. Dan, dari pilihan-pilihan itu–baik atau buruk, tepat atau keliru–kita belajar jadi lebih bijaksana juga secara politik.

Untuk menjadi kekuatan politik alternatif yang diperhitungkan dan dibutuhkan negeri ini di waktu-waktu mendatang, tak ada pilihan, buruh kembali akan (harus) bersatu.

(SURYA TJANDRA, Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta)

Sumber:
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Memilih yang Bermasalah (Donal Fariz)

Sejumlah petahana DPR "bermasalah" diprediksi kembali berlabuh di Senayan.  Kondisi ini menjadi alarm bahaya bagi upaya pemberantasan korupsi, khususnya bagi KPK.
Meski KPU belum secara resmi mengumumkan perolehan kursi hasil Pemilu 2014, sejumlah caleg petahana diprediksi  kembali bertahan. Asumsi tetap bertahan diperoleh dari penghitungan suara sementara yang bersangkutan di daerah pemilihannya  yang dirasa cukup untuk memperoleh kursi berdasarkan bilangan pembagi pemilih (BPP). Penilaian bermasalah ini muncul dari dugaan keterlibatan sejumlah politisi yang namanya disebut dalam fakta persidangan menerima suap dalam perkara tertentu, hingga politisi yang pernah dijatuhi sanksi hukuman oleh Badan Kehormatan DPR karena pernah memeras sejumlah BUMN beberapa waktu lalu.

Kembalinya para politisi bermasalah itu menunjukkan sebuah realitas di mana pemilu sebagai momentum sirkulasi elite belum bekerja sebagaimana mestinya. Padahal, dalam konteks demokrasi langsung, rakyat berkuasa untuk menentukan siapa wakil-wakil mereka. Siapa yang tetap diberikan amanah dan siapa yang harus disingkirkan karena tidak lagi amanah.

Peta masalah
Dengan kemungkinan terpilihnya lagi caleg bermasalah tentu menghadirkan sebuah tanda tanya mengapa hal tersebut dapat terjadi. Pemilih (voters) tentu tidak bisa dikambinghitamkan dan dijadikan satu-satunya tersangka dalam persoalan ini.

Dari hasil kajian pemilu dan pemantauan praktik politik uang di 15 provinsi dalam pemilu legislatif yang lalu, Indonesia Corruption Watch mencoba untuk memetakan persoalan itu.  Ternyata permasalahannya sangat kompleks dari hulu hingga hilir.

Empat masalah besar
Setidaknya ada empat permasalahan besar. Pertama, kandidasi di internal partai yang buruk.  Persoalan korupsi yang menjadi pemberitaan setiap hari tentu membuat partai tidak bisa beralasan bahwa kandidat yang mereka ajukan menjadi caleg adalah kandidat yang kontroversial sejak awal. Namun, partai yang pragmatis tidak peduli permasalahan demikian. Sebab, bagi partai, yang paling penting kandidat tersebut bisa memberikan modal kapital yang kuat kepada partai berupa uang dan suara.

Semakin tidak tergoyahkan posisi caleg bermasalah tersebut karena mayoritas mereka memiliki posisi tawar strategis di internal partai masing-masing.  Dengan demikian, jika dikaitkan dengan konteks terpilihnya caleg bermasalah di atas, semua ini tak terlepas dari organisasi partai yang memberikan daftar nama (name list) bermasalah kepada masyarakat untuk dipilih.

Kedua, caleg petahana punya modal kapital yang kuat. Bukan hanya modal uang pribadi, caleg petahana tersebut cenderung bisa mengarahkan program-program pemerintah ke daerah pemilihan yang bersangkutan menjelang pemilu sehingga caleg itu bak dewa yang muncul cepat dan sesaat membantu mewujudkan keinginan warga. Dengan akses kepada menteri atau lembaga tertentu, caleg tersebut dapat melakukan kampanye dengan modal negara (state resources).

Ketiga, caleg petahana bermasalah membangun akses kepada penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu tersebut bukan hanya di tingkat pusat, melainkan juga pada tingkat paling bawah sekalipun. Bahkan, sejumlah caleg petahana sudah mempersiapkan orang-orangnya untuk "ditanam" di KPU, Bawaslu/Panwaslu jauh-jauh hari sebelum pemilu diselenggarakan.

Kolusi dengan penyelenggara pemilu tingkat bawah amat penting mereka lakukan apabila perolehan suara tak sesuai target. Maka, geser-menggeser perolehan suara dan manipulasi data di kertas C1 menjadi langkah curang agar tetap duduk. Agar lebih mudah dan lebih aman, kandidat tersebut menggunakan jasa vote broker (Daniel Bumke).

Keempat, menguasai dapil-dapil dengan ekonomi warga yang mayoritas menengah-ke bawah. Jika melihat sejumlah petahana bermasalah yang mungkin kembali terpilih, kebanyakan mereka berasal dari dapil yang mayoritas masyarakatnya berada dalam kelompok golongan ekonomi menengah ke bawah. Pada dasarnya praktik politik uang sangat masif dilakukan para kandidat dalam berbagai bentuk dan pola. Namun, kelompok menengah ke bawah dengan pendidikan rendah akan semakin rentan untuk disusupi dengan praktik jual-beli suara. Kondisi ini yang disinyalir dimanfaatkan sejumlah petahana yang kembali lagi terpilih.

Sinyal bahaya
Kemungkinan terpilihnya sejumlah caleg bermasalah tentu menjadi sinyal bahaya bagi pemberantasan korupsi, khususnya bagi KPK secara kelembagaan. Geliat pelemahan lembaga pemberantasan korupsi akan terus berlanjut. Salah satu yang akan terus dilakukan melalui revisi KUHAP yang terus berproses walaupun sarat dengan penolakan dari masyarakat.

Di samping itu, akibat maraknya kecurangan dan politik uang yang terjadi dalam pemilu kali ini membuat kandidat  menguras kas mereka habis-habisan. Ujung-ujungnya biaya politik pemilu tahun ini amat tinggi dan sudah pasti akan dikembalikan lagi pada saat berkuasa.

Proses ini menunjukkan bahwa korupsi pemilu menjadi akar dari maraknya berbagi kasus korupsi yang melibatkan politisi selama ini, baik itu dengan cara menjadi makelar proyek maupun calo anggaran saat menjabat. Alhasil potensi terjadinya korupsi DPR periode 2014-2019 diprediksi kian meningkat. Rumusnya sederhana, semakin banyak yang dikeluarkan dalam pemilu maka akan semakin banyak yang harus dikembalikan. Ujung-ujungnya akan semakin banyak pula praktik  korupsi terjadi.

Sinyal bahaya ini harus direspons cepat oleh KPK. KPK tentu sudah bisa mengidentifikasi titik-titik kebocoran anggaran dan proyek selama ini di DPR, berkaca dari sejumlah kasus yang mereka tangani. Maka, sektor-sektor tersebut harus menjadi prioritas pengawalan bagi KPK setidaknya untuk lima tahun mendatang sebagai langkah pencegahan (prevention).

Suka tidak suka, kembalinya caleg bermasalah ke Senayan harus diterima sebagai realitas politik. Beban KPK akan bertambah berat. Tagline "Pilih yang Jujur" sebagai ajakan KPK kepada masyarakat menjelang pemilu yang lalu agaknya belum berhasil. Kenyataannya partai dan  rakyat masih "Pilih yang Bermasalah".

(Donal Fariz, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Divisi Korupsi Politik)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006230427
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA AS Hadir sebagai Pengimbang (Kompas)

Amerika Serikat dan Filipina, Senin (28/4), menandatangani kesepakatan baru di bidang pertahanan yang berlaku hingga 10 tahun ke depan.
Kesepakatan itu memungkinkan AS menempatkan lebih banyak pesawat tempur dan kapal perang di Filipina. Filipina saat ini tengah bersengketa dengan Tiongkok di perairan Laut Tiongkok Selatan sehingga kesepakatan baru dengan AS di bidang pertahanan itu berpeluang salah diterima oleh Tiongkok.

Namun, tampaknya Presiden AS Barack Obama telah menghitung kemungkinan tersebut. Oleh karena itu, beberapa jam setelah Menteri Pertahanan Filipina Voltaire Gazmin dan Duta Besar AS untuk Filipina Philip Goldberg menandatangani kesepakatan itu, Obama dalam jumpa persnya di Manila menegaskan, AS tidak bertujuan membatasi atau melawan kekuatan Tiongkok.

Menurut Obama, sebagai bagian dari kawasan Asia Pasifik, AS berkepentingan untuk menjaga adanya jaminan kebebasan berlayar di perairan Asia Pasifik dan mendorong penyelesaian sengketa wilayah secara damai.

Perairan di kawasan Asia Pasifik ini sangat penting bagi AS dan sekutunya, mengingat lebih dari 80 persen komoditas strategis dan kebutuhan energi diangkut melalui kawasan ini. Dalam kaitan itu pulalah, AS memiliki Armada VII yang mengamankan wilayah dari Diego Garcia di Samudra Hindia hingga Guam di Samudra Pasifik.

Sejak pangkalan militer AS di Filipina, Clark Airbase dan Subic Bay, ditutup awal 1990-an, AS praktis kehilangan tempat singgah untuk pesawat-pesawat tempurnya, juga tempat singgah dan pemeliharaan kapal perang, pengisian perbekalan, serta pertukaran personel. Sebagai gantinya, AS menggunakan fasilitas pangkalan Angkatan Laut Singapura.

Dengan adanya kesepakatan baru dengan Filipina di bidang pertahanan itu, AS kini kembali dapat menggunakan wilayah Filipina yang memiliki hubungan sejarah panjang dengan AS. Letnan Jenderal Arthur MacArthur, ayahanda dari Jenderal Douglas MacArthur yang terkenal dengan pernyataannya, "I shall return", pada Perang Pasifik (1941-1945), pernah menjadi Gubernur Jenderal Militer di Filipina yang diambil alih dari pendudukan Spanyol pada 1900.

Kehadiran militer AS secara terbatas di Asia Tenggara ini memang tidak dimaksudkan untuk membatasi atau melawan kekuatan Tiongkok. Bahkan, Obama pun mengatakan, Washington DC tidak berpihak dalam sengketa wilayah antara Tiongkok dan empat negara ASEAN, yakni Brunei, Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Namun, harus diakui, kehadiran AS sebagai pengimbang Tiongkok setidaknya memberikan ketenangan kepada empat negara ASEAN yang memiliki sengketa wilayah dengan Tiongkok di perairan Laut Tiongkok Selatan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006351544
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Hari Buruh dan Kepentingan Nasional (Kompas)

Tanggal 1 Mei ini kita akan kembali merayakan Hari Buruh Internasional. Untuk pertama kalinya, 1 Mei juga menjadi hari libur nasional.
Kalangan organisasi serikat pekerja sudah merencanakan mengerahkan ribuan anggotanya dalam aksi demonstrasi untuk menyuarakan berbagai tuntutan. Harapan kita, perayaan ini bisa berlangsung tertib dan aksi anarkistis yang meresahkan masyarakat tak lagi terjadi.

Seperti sebelumnya, perayaan Hari Buruh masih diwarnai keprihatinan besar terkait dengan kondisi hubungan industrial yang belum sepenuhnya kondusif dan masih banyaknya kasus kekerasan yang mencederai rasa kemanusiaan pada buruh kita di dalam dan luar negeri.

Hari Buruh selayaknya kita jadikan momentum untuk mengakhiri kemelut perburuhan yang menghalangi kita maju. Tuntutan buruh yang belum banyak beranjak dari sebelumnya, kenaikan upah minimum, penghapusan sistem alih daya, dan perlindungan pekerja, jadi gambaran bahwa belum ada pemahaman yang sama untuk menyelesaikan isu alot krusial tanpa melupakan konteks makro situasi domestik dan tuntutan global.

Kita melihat masih tingginya rasa saling curiga. Di kalangan buruh masih ada anggapan pemerintah berkonspirasi dengan pelaku usaha untuk menekan buruh. Keberadaan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap macan ompong karena adanya pembiaran dan penerbitan aturan oleh pemerintah yang justru bertentangan dengan semangat UU itu sendiri.

Di sebagian kalangan dunia usaha, buruh diposisikan sebagai musuh terbesar karena aksi anarkistis dan tuntutan mereka dianggap faktor yang mengancam kesinambungan perusahaan. Sementara pemerintah sendiri sering kali tak berdaya dan kurang aktif menjembatani dua kepentingan serta menciptakan situasi kondusif agar kepentingan pencari kerja dan pemberi kerja tak bertabrakan.

Akibatnya, muncul kesan seolah ada trade off antara kesejahteraan buruh dan pertumbuhan/daya saing perusahaan. Kita tak ingin gelombang pemutusan hubungan kerja dan hengkangnya sejumlah perusahaan akibat konflik perburuhan terus terulang karena akhirnya yang dirugikan buruh dan industri juga. Di sinilah penyamaan persepsi dan take and give diperlukan. Peran para pemimpin buruh penting untuk ikut menjaga kepentingan buruh dan perusahaan bisa berjalan beriringan. Sebaliknya, perusahaan dan pemerintah tak bisa lepas tangan dari tanggung jawab meningkatkan produktivitas dan keterampilan buruh.

Langkah mengorbankan upah buruh untuk menjaga daya saing bisa dihindari jika pemerintah mengerjakan pekerjaan rumah meringankan beban dunia usaha, seperti ekonomi biaya tinggi, pungli, dan birokrasi berbelit-belit.

Kita juga tak boleh lupa, tantangan lebih besar ke depan, termasuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, ketika hampir semua sekat pasar dibuka. Kita tak ingin ekonomi dan buruh kita kian termarjinalkan karena semua pihak terjebak oleh ego masing-masing.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006349280
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 29 April 2014

Day 142 - The Death of Jesus // The Burial of Jesus

Today's Reading: Mark 15:33-47


33 And when the sixth hour had come, there was darkness over the whole land until the ninth hour. 34 And at the ninth hour Jesus cried with a loud voice, "Elo-i, Elo-i, lama sabach-thani?" which means, "My God, my God, why have you forsaken me?" 35 And some of the bystanders hearing it said, "Behold, he is calling Elijah." 36 And one ran and, filling a sponge full of vinegar, put it on a reed and gave it to him to drink, saying, "Wait, let us see whether Elijah will come to take him down." 37 And Jesus uttered a loud cry, and breathed his last. 38 And the curtain of the temple was torn in two, from top to bottom. 39 And when the centurion, who stood facing him, saw that he thus i breathed his last, he said, "Truly this man was the Son of God!" 40 There were also women looking on from afar, among whom were Mary Magdalene, and Mary the mother of James the younger and of Joses, and Salome, 41 who, when he was in Galilee, followed him, and ministered to him; and also many other women who came up with him to Jerusalem.
42 And when evening had come, since it was the day of Preparation, that is, the day before the sabbath, 43 Joseph of Arimathea, a respected member of the council, who was also himself looking for the kingdom of God, took courage and went to Pilate, and asked for the body of Jesus. 44 And Pilate wondered if he were already dead; and summoning the centurion, he asked him whether he was already dead. 45 And when he learned from the centurion that he was dead, he granted the body to Joseph. 46 And he bought a linen shroud, and taking him down, wrapped him in the linen shroud, and laid him in a tomb which had been hewn out of the rock; and he rolled a stone against the door of the tomb. 47 Mary Magdalene and Mary the mother of Joses saw where he was laid.


Today's Commentary:


Elo-i, Elo-i: Jesus quotes the opening line of Ps 22 in Aramaic (CCC 603, 2605).

Psalm 22 forecasts both the Messiah's suffering and his eventual deliverance. The full context of Ps 22, in light of its hopeful outcome, rules out the possibility that Jesus succumbed to despair (Lk 23:46).
the curtain: Two veils hung in the Jerusalem Temple to symbolize God's inaccessibility to sinners (Heb 9:8). One was visible, as it separated the outer courts from the sanctuary proper, and the other was invisible to all but the priests, as it hung inside the sanctuary in front of its most sacred chamber, the Holy of Holies (Ex 26:31-34; Heb 9:3, 7). Although the evangelist does not specify which of the two veils was torn, the lesson to be learned is clear: access to the Father is now open through Jesus, who as high priest has entered on our behalf (Eph 2:18; Heb 10:19-22). Moreover, as the curtain ripped from top to bottom, the barrier between the face of God and his people was removed, and the termination of the Old Covenant was prophetically announced. was torn: Mark uses the same Greek expression at 1:10 to describe God "tearing" the heavens at the Baptism of Jesus. If a connection is being made between these two events, as seems likely, it may have been the outer veil draped in front the sanctuary that was rent in two, since history testifies that it was embroidered with images of the heavens and the cosmos (Josephus, Jewish War 5, 212- 14).

Source: flocknote.com
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Buruh dan Lumpuhnya Hukum (M Hadi Shubhan)

Putaran roda kehidupan, terutama roda perekonomian, semakin membuat buruh tertinggal jauh dari semua unsur masyarakat yang ada di negeri ini.
Ini memang paradoksal. Ketika mesin ekonomi bergerak dengan bahan bakar utama keringat buruh, buruh malah terlalaikan nasibnya oleh negara.

Sejatinya, politik hukum perburuhan yang digariskan negara sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah cukup mengakomodasi segala bentuk perlindungan hukum kepada buruh. Bahkan, UU Ketenagakerjaan yang sekarang berlaku itu dapat dikatakan sebagai undang-undang perburuhan terbaik yang pernah ada di negeri ini, bahkan terbaik di kawasan Asia.

Meski begitu, UU Ketenagakerjaan yang normatif sudah memberi perlindungan hukum memadai bagi buruh itu telah dibuat lumpuh oleh penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha. Pelumpuhan hukum perburuhan ini dengan dua modus.

Dua modus
Modus pertama, pemerintah telah membuat peraturan-peraturan organik dari UU Ketenagakerjaan yang justru mengamputasi norma-norma yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan. Modus kedua, pemerintah telah melakukan pembiaran atas terjadinya pelanggaran normatif yang dilakukan pengusaha terhadap ketentuan UU Ketenagakerjaan.

Untuk modus pertama, pemerintah mengeluarkan regulasi baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri tenaga kerja, maupun dalam bentuk peraturan kebijakan, beleids regel, seperti instruksi presiden, surat edaran menteri tenaga kerja, dan surat keputusan bersama (SKB). Isi peraturan tersebut bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.

Belum lekang dalam ingatan, presiden mengeluarkan Inpres No 9/2013 tentang Kebijakan Upah Minimum dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan pengupahan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Inpres ini dimaksudkan menghadang kenaikan upah buruh yang dalam beberapa tahun belakangan naik cukup sig-
nifikan setelah beberapa dekade terakhir tak naik signifikan.

Inpres tersebut terbukti efektif menghadang laju kenaikan upah buruh sehingga jangan kaget jika upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta pada 2014 naik hanya Rp 200.000-an dari tahun sebelumnya. Ini kemudian diikuti daerah lain, yang memang tak mungkin akan melebihi ketetapan UMP DKI itu.

Demikian pula Menakertrans telah banyak membuat regulasi yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Belum pula lekang dari ingatan kita, Menakertrans telah membuat regulasi mengenai outsourcing dengan mengeluarkan Permenakertrans No 19/2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Permenakertrans ini menentukan secara fixed jenis pekerjaan yang dapat disumberluarkan, tanpa berdasar pada apakah pekerjaan itu kegiatan penunjang atau tidak.

Menyusul Permenakertrans tersebut, Menakertrans mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE.04/MEN/VIII/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans No 19/2012. Surat edaran itu menentukan bahwa pemborongan pekerjaan dapat dilakukan di lokasi perusahaan.  Ketentuan ini jelas melanggar UU Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa pemborongan pekerjaan harus terpisah dari kegiatan utama. Juga berarti telah mencampuradukkan pemborongan pekerjaan dengan outsourcing pekerja melalui perusahaan penyedia jasa pekerja.

Modus kedua, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melakukan pembiaran terhadap perusahaan yang secara terang-terangan melanggar UU Ketenagakerjaan. Tugas utama pemerintah dalam hukum perburuhan sejatinya mengawasi terjadinya hubungan industrial yang dilakukan pengusaha dengan buruh. Ratio legis dari penugasan negara kepada pemerintah ini adalah proses hubungan industrial tetap pada jalur yang telah ditentukan, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.

Pelanggaran masif
Banyak norma dalam peraturan perundangan yang terang benderang dilanggar perusahaan, tetapi dibiarkan oleh pengawas ketenagakerjaan di pusat dan daerah. Akibat pembiaran ini, pelanggaran itu jadi masif bahkan dianggap lumrah. Contoh pelanggaran masif itu ialah pelanggaran norma pekerja kontrak dan norma pekerja outsourcing.

Pelanggaran masif dalam mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak terjadi ketika perusahaan mengontrak pekerja untuk semua jenis pekerjaan. Praktik mengontrak buruh untuk semua jenis pekerjaan ini jelas bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Pasal 59 Ayat (1) menentukan bahwa pekerjaan yang bisa dikontrak pekerjanya adalah sebatas pekerjaan sementara untuk empat jenis pekerjaan: pekerjaan yang sekali selesai atau sementara, pekerjaan yang paling lama tiga tahun, pekerjaan musiman, dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru.

Dalam praktiknya, perusahaan mengontrak buruh untuk semua jenis pekerjaan. Malah hampir dapat dikatakan tak ada perusahaan yang langsung mempekerjakan buruh sebagai pekerja tetap. Yang lebih parah lagi, perusahaan mengontrak buruh te- rus-menerus sampai tua atau pensiun.

Pelanggaran masif lain adalah perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan sistem  outsourcing untuk semua pekerjaan, baik pekerjaan inti maupun pekerjaan penunjang. Menyumberluarkan semua pekerjaan jelas melanggar UU Ketenagakerjaan. UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa pekerjaan penunjang saja yang dapat disumberluarkan, baik melalui pemborongan maupun melalui penyediaan jasa pekerja.

Regulasi disharmonis yang mengamputasi UU Ketenagakerjaan serta pelanggaran masif yang dibiarkan oleh pemerintah baik pusat maupun di daerah membuktikan bahwa hukum perburuhan dalam kondisi lumpuh. Lumpuhnya hukum ini akan membuat buruh terus-menerus termarjinalkan dan diperlakukan tak adil.   

M Hadi ShubhanPengajar Filsafat Hukum (S-3) dan Hukum Perburuhan (S-1) Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006233245
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Presiden dan Kepresidenan (Ignas Kleden)

The institution of the presidency is more important than the person who holds it—lembaga kepresidenan lebih penting daripada orang yang menjabatnya." Kalimat itu ditulis Presiden George W Bush dalam otobiografinya berjudul Decision Points (2010) yang menjadi bestseller.

Dia selalu menyebut dirinya Presiden Bush 43 untuk membedakan diri dari ayahnya, Presiden Bush 41. Ayahnya, Presiden AS ke-41 dan dia sendiri Presiden AS ke-43. Pikiran itu rupanya muncul ketika dia baru saja diresmikan sebagai presiden pada 20 Januari 2001. Suatu pagi tatkala dia sedang membenahi kamar kerjanya di Gedung Putih dia mendapat kunjungan ayahnya. Sang ayah memberikan selamat kepadanya dengan ucapan "Mr President" dan spontan dia menjawab dengan hormat "Mr President". Dalam pidato pengukuhan pertama pada Januari itu dia berkata, "Kadangkala perbedaan-perbedaan di antara kita demikian dalamnya sehingga kita tampaknya menghuni bersama suatu benua, tetapi bukannya suatu negeri."

Karena itu, dia meneruskan, "Keadaan ini tidak kita terima dan tidak kita inginkan terjadi. Persatuan dan kesatuan kita merupakan tugas berat bagi para pemimpin dan para warga negara dalam tiap generasi. Maka inilah sumpah mulia saya: Saya akan bekerja membangun suatu bangsa yang memberi keadilan dan kesempatan (a nation of justice and opportunity)".

Presiden dan lembaga kepresidenan
Distingsi yang dibuat antara pribadi presiden dan institusi kepresidenan sangat mungkin masih cukup asing bagi pengertian politik di Indonesia. Dalam membicarakan kemungkinan calon-calon presiden Indonesia saat ini seluruh perhatian seakan tersedot pada pribadi seorang calon. Hampir tak ada refleksi tentang lembaga kepresidenan dengan tanggung jawab dan martabat yang seyogianya dijunjung tinggi oleh siapa pun yang menjabatnya.

Hal sama terjadi dalam pembicaraan tentang para calon anggota legislatif. Pertukaran pendapat cenderung fokus pada pribadi calon tertentu dan bukan pada lembaga perwakilan rakyat tempat orang-orang itu menjalankan tugas. Presiden Bush 43 dalam otobiografinya menulis bahwa setiap orang yang ingin bekerja dalam bidang politik berkewajiban to serve a cause larger than oneself. Politikus mana pun harus melayani suatu tujuan dan kepentingan yang lebih besar dan lebih penting daripada dirinya sendiri.

Kita tahu, dalam tata negara Indonesia yang menganut sistem presidensial, presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan, dia melaksanakan berbagai kebijakan publik, setelah mendapat persetujuan DPR dan bertanggung jawab kepada DPR. Sebagai kepala negara, dia berkewajiban menjaga kesatuan bangsa dan memberikan jaminan bagi kelangsungan hidup bangsanya dalam suatu kesatuan teritorial negara. Dalam tugas ini dia tak hanya bertanggung jawab kepada DPR, tetapi juga kepada seluruh bangsa dan rakyat.

Sebagai kepala pemerintahan, presiden menjadi chief executive atau eksekutif utama dan tertinggi bagi pelaksanaan semua kebijakan publik. Meski tak mungkin seorang presiden sebagai kepala pemerintahan dapat menguasai semua masalah teknis yang ada dalam tugasnya, dengan asistensi menteri sebagai pembantu presiden dan dengan nasihat dan input berbagai lembaga yang membantunya serta dengan mendengar pendapat umum yang tersiar di berbagai media, sebagai eksekutif tertinggi dia akan dan harus mengambil keputusan tentang apa yang harus dilaksanakan dan memikul tanggung jawab politik atas tepat atau tidak tepatnya kebijakan yang ditetapkan.

Dalam ekonomi, presiden akan memutuskan apakah sebaiknya mencukupkan suplai beras dengan mengimpor beras yang lebih murah dari luar negeri atau membantu para petani dalam memperkuat sektor pertanian agar lambat laun dalam jangka waktu yang diperhitungkan para petani dapat memproduksi beras dengan harga bersaing. Hal yang sama dapat dikatakan tentang gula dan penguatan usaha petani tebu. Dalam bidang politik, presiden harus bersikap dan memutuskan apakah pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) tetap dilaksanakan secara langsung atau menerima desakan untuk memberlakukan kembali pemilihan bupati dan wali kota oleh DPRD.

Secara umum presiden diharuskan memilih apakah dia berani mengambil keputusan yang tidak populer meski dalam keyakinannya keputusan itu perlu dibuat demi kepentingan orang banyak atau dia selalu terombang-ambing di antara pro dan kontra pendapat umum tentang masalah yang harus diputuskannya. Dalam sejarah, menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945 muncul ketegangan tinggi antara Soekarno sebagai seorang pemimpin dan kaum muda revolusioner yang tidak sabar menunggu dan enggan berkompromi.

Para pemuda menghendaki agar kemerdekaan direbut melalui suatu perang terbuka dengan Jepang sesegera mungkin untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kemerdekaan itu hasil perjuangan dan pengorbanan dan bukan sekadar hadiah dari pihak Jepang. Sementara itu, Soekarno amat yakin bahwa militer Jepang masih kuat di Pulau Jawa sehingga sebuah perang dan konflik bersenjata akan menimbulkan pertumpahan darah yang luar biasa dan malahan menimbulkan komplikasi baru soal kemerdekaan. Di bawah todongan senjata para pemuda, Soekarno bertahan pada pendiriannya dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanpa pertumpahan darah yang tak perlu.

Sebagai suatu dalil, eksekutif utama seperti presiden diandaikan mampu menerjemahkan semua pertimbangan teknis menjadi kesimpulan politis dan selanjutnya berani menerjemahkan kesimpulan politis (sebagai kategori teoretis) menjadi keputusan politik (sebagai kategori praktis) melalui tindakan yang harus dilaksanakan. Dalam praktiknya presiden dapat memutuskan sesuatu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis yang ada (because of technical considerations), tetapi dapat juga memutuskan sesuatu bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis yang diajukan (in spite of technical considerations). Ini terjadi karena politik tak identik hal-hal teknis saja sehingga seorang petinggi setingkat presiden dapat mengambil keputusan berdasarkan intuisi politiknya yang berlainan atau melampaui pertimbangan teknis. Secara psikologis ini dapat menjelaskan mengapa presiden sebagai eksekutif utama punya beberapa prerogatif atau hak khusus yang dibenarkan oleh UU.

Tiga kemampuan
Singkat kata, sebagai eksekutif tertinggi presiden diharapkan mempunyai minimal tiga kemampuan. Secara intelektual dia harus sanggup menerjemahkan segala detail, kerumitan, dan komplikasi teknis menjadi suatu kesimpulan politis yang jelas dan dapat dikomunikasikan. Secara mental dia diharapkan mempunyai keberanian dan keteguhan hati untuk menerjemahkan kesimpulan politis menjadi keputusan politis yang dapat dilaksanakan. Seterusnya, secara moral dia harus mampu mempertahankan semacam netralitas terhadap berbagai desakan kepentingan pragmatis dan tuntutan ideologis berbagai kelompok politik yang dapat menghambat eksekusi keputusannya. Dalam bentuk ideal, presiden sebagai kepala pemerintahan menjadi gabungan seorang analis, seorang pengambil keputusan (decision-maker), seorang eksekutor yang efektif, dan seorang pribadi dengan independensi moral yang tinggi.

Tentu saja tak semua presiden selalu unggul dalam semua persyaratan itu. Ada yang sangat menonjol dalam analisis, tetapi lemah dalam mengambil keputusan. Ada yang sangat berani dalam mengambil keputusan, tetapi lemah dalam analisis. Ada pula yang efektif sebagai eksekutor, tetapi mudah terseret oleh tekanan
ideologi atau tarikan kepentingan pragmatis.

Jika sebagai kepala pemerintahan seorang presiden tampil sebagai pengambil keputusan dan pelaksana keputusannya, sebagai kepala negara dia bertugas menjaga integrasi nasional ke dalam dan menjadi representasi negara dan bangsanya ke dunia internasional. Para anggota DPR juga menjalankan fungsi representasi, tetapi mereka mewakili rakyat, khususnya rakyat yang telah memilih mereka. Berbeda dari seorang anggota DPR, presiden mewakili negara dan bangsanya dalam berhadapan dengan negara dan bangsa lain. Memang sebagai kepala negara presiden tetap harus dibedakan dari negara yang dipimpin dan bangsa yang harus dilindunginya. Meski demikian, karena fungsi representasinya demikian kuat, dia, dalam praktik dipandang sebagai personifikasi negara dan bangsanya.

Fungsi kepala negara ini menjadi lebih jelas di negara-negara yang menerapkan sistem parlementer dalam tata negara mereka. Dalam sistem ini fungsi kepala pemerintahan dipisahkan dari fungsi kepala negara. Ratu Inggris, Ratu Belanda, Presiden Jerman, Raja Thailand, tak punya kekuasaan eksekutif, tetapi rakyat di negara-negara tersebut merasa kedudukan raja, ratu, atau presiden mereka sebagai kepala negara tetap penting sebagai faktor pemersatu seluruh bangsa dan penjamin integrasi politik dan kerukunan nasional. Tugas seperti itu rupanya diharapkan dilaksanakan oleh seorang presiden sebagai kepala negara dalam sistem presidensial.

Dilukiskan dalam kontras yang dipertajam: presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagai eksekutif tertinggi, diharapkan melaksanakan tugasnya dengan mengeksekusi keputusan politiknya, berbuat dan bertindak atas dasar suatu kompetensi, mengambil risiko yang mungkin merugikan kedudukannya, tetapi diperhitungkan untung ruginya, teguh dan konsisten dalam sikap, dan relatif independen dari tekanan kepentingan-kepentingan pragmatis dan ideologis. Keberhasilannya sebagai kepala pemerintahan akan diukur berdasarkan tingkat implementasi kebijakan yang telah diputuskannya. Jelas dia akan mendapat kritik dan perlawanan dari pihak-pihak yang tidak sepaham dengan keputusan dan kebijakannya.

Di sini, kontra kritik seorang kepala pemerintahan tak dilakukan secara verbal dengan pernyataan-pernyataan publik yang defensif, tetapi dengan determinasi yang konsisten dalam mendorong pelaksanaan kebijakannya sampai terbukti bahwa kebijakan itu lebih membawa manfaat, menjawab kebutuhan masyarakat luas, dan tidak merugikan kepentingan publik. Seorang kepala pemerintahan mempertaruhkan kebijakannya dalam eksekusi yang berhasil dan bukannya dengan turut serta dalam riuh rendah polemik dan debat pro kontra, atau membela diri dari mimbar kepresidenan.

Sebaliknya, presiden sebagai kepala negara diharapkan tak banyak berbuat dan bertindak secara politik. Semakin dia menahan diri dari berbagai kontroversi politik atau konflik-konflik kepentingan, semakin dia mengukuhkan wibawa dan pengaruhnya. Sebagai kepala pemerintahan dia diharapkan bertindak, tetapi sebagai kepala negara dia diharapkan hadir di tengah bangsanya. Kepala pemerintahan memerintah rakyatnya, kepala negara mengayomi semua warga negara dengan rasa aman. Kepala pemerintahan memberikan kepastian hukum, kepala negara mengusahakan kepastian moral. Kepala pemerintahan mengelola kekuasaan, kepala negara mengelola nilai-nilai dalam kebudayaan. Kepala pemerintahan berbicara tentang naik turunnya angka pertumbuhan ekonomi, kepala negara berbicara tentang naik turunnya penghormatan kepada martabat dan hak asasi manusia. Kepala pemerintahan bekerja dengan mengikuti intuisi politik, kepala negara hadir untuk menciptakan ambiance etis.

Jika sekarang ini seluruh kalangan di Indonesia sibuk membicarakan calon-calon presiden, sebaiknya diingat bahwa dalam sistem presidensial presiden Indonesia mempunyai dua sisi tugas yang berbeda tanggung jawabnya, tetapi tak banyak berbeda dalam kepentingannya. Kita akan memilih bukan hanya kepala pemerintahan, melainkan juga kepala negara. Mengomentari kepresidenan Richard von Weizsaecker di Jerman ketika Helmut Kohl menjadi kanselir (kepala pemerintahan), seorang penulis Jerman memberi komentar bahwa tatkala kanselir memerintah dengan Autoritaet der Macht atau otoritas kekuasaan Weizsaecker berhasil mengayomi rakyat dan masyarakat Jerman dengan Autoritaet der Machtlosigkeit atau otoritas yang lahir dari keadaan tanpa kuasa. Ini dilakukannya dengan menjadi ein mann fuer schwierige zeiten yang selalu hadir dan mendampingi bangsanya pada saat sulit.

(Ignas Kleden, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID))

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006276131
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menilai dan Menakar Kualitas Capres (Adjie Suradji)

"Politik adalah seni untuk mewujudkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin".

Apa yang dikatakan Hillary Rodham Clinton dalam pidato singkatnya ketika terpilih menjadi senator Negara Bagian New York (2000) sejatinya diadopsi dari Otto von Bismarck (1815-1898). Pernyataan aslinya berbunyi: "politik merupakan sebuah seni untuk mengolah kemungkinan".

Salah satu instrumen untuk mengolah kemungkinan—korelasinya dengan hasil hitung cepat Pileg 2014 di Indonesia di mana tak ada satu pun parpol mencapai ambang batas pencalonan presiden—adalah adanya reka-reka skenario koalisi. Namun, Indonesia bukan AS yang institusi politiknya sudah sangat mapan. Di AS, setiap pesta demokrasi, khususnya dalam sesi pemilihan presiden, selalu menjadi tontonan menarik untuk diikuti. Sebab, dalam momentum seperti inilah kandidat diuji dari segala aspek dan syarat kelayakan untuk menjadi pemimpin negara.

Di Indonesia, sejak kampanye politik caleg, rakyat hanya dijadikan obyek penderita. Digiring dan dikumpulkan hanya untuk menjadi pendengar, penonton, dan penyetuju yang baik. Orasi politik para juru kampanye bersifat manipulatif. Yang disampaikan hanya idealisasi demi pencitraan tokoh yang diusungnya sehingga apa yang diserap rakyat melalui kampanye—terutama lewat media—hanya kenyataan imajiner semata.

Namun, politik adalah seni untuk mengolah kemungkinan. Tiga bakal capres—Joko Widodo alias Jokowi, Aburizal Bakrie, dan Prabowo Subianto—harus menyadari hal ini. Lantas bagaimana cara rakyat untuk bisa mengetahui kualitas agar bisa memberi nilai pada ketiga capres ini?

Instrumen penilaian
Ada instrumen jitu yang bisa digunakan untuk menilai dan menakar kualitas capres. Salah satunya kesadaran bahwa kualitas capres tidak serta-merta bisa dilihat dari penampilan dan sisi ketokohannya saja. Ada yang lebih utama, yaitu kemampuan memberikan pertimbangan dan kemampuan mengambil keputusan. Sebab, inti kepemimpinan ada tiga, yakni karakter, komitmen, dan kemampuan komunikasi (John C Maxwell).

Pertama, karakter. Seorang capres dapat dilihat dari perkataan dan perbuatan. Saat yang sama dapat dilihat juga dengan perkataan dan perbuatan pengikut atau anggota parpolnya.

Kedua, komitmen dapat ditandai dengan konsistensi yang bisa dilihat juga dari perkataan dan tindakannya. Michelangelo mulai melukis langit-langit Kapel Sistine di Vatikan ketika umur 21 tahun. Lukisan tersebut baru selesai ketika usianya 47 tahun. Michelangelo konsisten melaksanakan tugas melukis setelah berjanji dan menerima amanah dari Paus Julius II meski untuk itu ia harus kehilangan penglihatan permanen akibat terlalu lama berbaring menatap langit-langit ketika melukis.

Ketiga, komunikasi dapat dilihat ketika si capres berada ditengah rakyat. Tampil apa adanya, tidak kaku, tidak dibuat-buat, dan mampu berkomunikasi dengan berbagai lapisan rakyat. Presiden dengan predikat komunikator ulung adalah Ronald Reagan yang memulai kariernya dari penyiar radio hingga aktor film. Ronald Reagan adalah pemimpin dunia yang dapat menyederhanakan persoalan-persoalan rumit dalam bahasa yang mudah dan sederhana.

Dari tiga hal di atas, instrumen apa yang dapat digunakan untuk menilai dan selanjutnya memilih seorang presiden?

Kelayakan adalah hal paling utama. Dalam melihat kelayakan terdapat dua variabel yang bisa digunakan sebagai pertimbangan. Pertama, apabila capres adalah ketua umum parpol, yang sepatutnya dinilai adalah keberhasilan apa yang telah dicapai oleh partai politiknya. Kedua, jika capres bukan ketua umum parpol, yang sepatutnya dinilai adalah rekam jejaknya. Rekam jejak tervisualisasikan dari kualitas dalam berorganisasi. Apakah capres tersebut memiliki kualitas kepemimpinan yang meliputi karakter, komitmen, dan komunikasi?

Kini rakyat memiliki hak sepenuhnya dalam memberikan penilaian secara cerdas untuk bisa mengetahui kualitas para bakal capres tersebut. Tentunya dalam memberikan penilaian harus didasari pula dengan kesadaran bahwa politik adalah seni mengolah kemungkinan.

Hati-hati adalah sikap yang bijak. Terlepas dari tujuan mulia, bukan tidak mungkin ada capres yang ingin jadi presiden hanya mengejar prestise dan kekuasaan. Ini tampak dari kata-kata dan tindakan ambisius—mengejar ambisi yang tidak mempertimbangkan lingkungan, nilai-nilai moral, norma etika, kondisi parpol, dan diri sendiri.

(Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006233434
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Pembinaan Berakhir Kematian (Kompas)

Kasus Dimas Dikita Handoko, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, menunjukkan, praksis pendidikan kita masih lekat budaya kekerasan.

Langkah kuratif sudah dilakukan. Para pelakunya ditangkap, dijadikan tersangka, dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Teman-teman Dimas, korban penganiayaan, diberikan pertolongan.

Dengan dalih pembinaan, terjadilah penganiayaan. Kasusnya heboh karena ada korban meninggal. Seperti diakui saksi mata, korban sudah mengalami penyiksaan beberapa hari sebelumnya. Andai tak ada korban meninggal, penganiayaan diperkirakan terus terjadi di kampus itu.

Bukan sekali ini kasus "pembinaan" berakhir kematian. Bukan juga di lembaga pendidikan ini. Tahun lalu terjadi hal serupa, juga tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, seorang mahasiswa sebuah PT di Malang, juga seorang mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri di Sumedang. Bahkan, tidak hanya tingkat pendidikan tinggi, tetapi juga tingkat pendidikan menengah. Kesimpulan masalahnya balas dendam turun-temurun.

Dari faktanya, kasus kekerasan lebih banyak terjadi di lingkungan pendidikan kedinasan. Jalan keluar pernah diusulkan, lembaga pendidikan kedinasan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Usulan tidak laku, alasannya demi terjaminnya pemenuhan kebutuhan tenaga kedinasan. Dengan keputusan itu, potensi kejadian serupa lebih terbuka, terus terjadi dalam kategori ekses.

Dalam koridor itu langkah preventif diusahakan. Praksis pendidikan berasas kemanusiaan dan kelemahlembutan tetap jadi payung. Kemdikbud sudah mengelaborasi dalam praksis awal tahun kuliah atau sekolah. Ruang terjadinya ekses kekerasan coba dipersempit dan relatif berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pengenalan kampus atau sekolah lebih berupa kegiatan akademis dan bukan pembinaan fisik.

Pembinaan dalam konteks pendidikan seharusnya jauh dari tindakan kekerasan fisik. Kekerasan fisik ditabukan karena tujuan utama pembinaan bukan hukuman, melainkan perubahan perilaku. Ketika pembinaan keluar dari konteks pendidikan, yang terjadi ketakutan turun-temurun dan fanatisme buta kepada lembaga pengelola berikut pengasuh atau seniornya.

Kementerian yang memiliki lembaga pendidikan kedinasan, jangan sampai melupakan keharusan normatif sebagai lembaga pendidikan. Jangan sampai demi terpenuhinya kebutuhan terampil dan kompeten, lantas dilegalkan pembinaan beraroma kekerasan, apalagi berakhir korban meninggal.

Perlu upaya terus-menerus bertemunya yang ideal dan yang faktual. Terletaklah upaya mempertemukan langkah kuratif dan langkah preventif. Keduanya saling melengkapi. Semakin berat praksis pendidikan terbebas dari tindakan kekerasan, di tengah kehidupan masyarakat beraroma kekerasan saat ini. Namun, itulah praksis pendidikan—tidak mengenal garis finis.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006335010
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA PM Korsel Mengundurkan Diri (Kompas)

Ketidaksempurnaan pemerintah menangani kecelakaan kapal feri Sewol membuat PM Korea Selatan Chung Hong-won mundur dari jabatannya.
Sebagai perdana menteri, Chung merasa paling bertanggung jawab atas buruknya kinerja pemerintahan yang dipimpinnya dalam menangani kecelakaan feri yang menewaskan 188 penumpang. Jumlah itu diperkirakan masih akan bertambah, mengingat hingga kini masih ada 114 orang yang belum ditemukan. Feri Sewol yang tenggelam, 16 April lalu, memuat 476 orang. Jumlah yang selamat 174 orang, termasuk 22 dari 29 awak kapal.

Mewakili pemerintah, ia meminta maaf atas semua masalah yang terjadi terkait dengan tenggelamnya feri Sewol. Mulai dari pencegahan kecelakaan hingga cara penanganan kecelakaan itu.

Bentuk tanggung jawab yang ditunjukkan Chung itu tentunya menarik perhatian kita di Indonesia. Sebagai PM, ia dengan besar hati mau memanggul tanggung jawab yang seharusnya ditanggung oleh anak buahnya. Dengan langkah mundurnya itu, Chung berharap anak buahnya merasa malu dan terdorong untuk bekerja lebih baik.

Ini sangat berbeda dengan keadaan di negeri ini. Di sini sulit sekali meminta seseorang mundur dari jabatannya karena ia telah melakukan kesalahan, apalagi menanggung kesalahan anak buahnya. Ada banyak contoh saat pejabat yang telah ditahan karena didakwa terlibat dalam kasus korupsi tetap tidak mau mundur dari jabatannya. Bahkan, ada pejabat yang dilantik, atau mau dilantik, di dalam tahanan.

Di Korea Selatan, Jepang, atau Eropa, adalah biasa apabila seseorang memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa tidak bisa, atau gagal, melakukan sesuatu hal yang menjadi tanggung jawabnya.

Namun, kali ini, rupanya tidak semua pihak menyambut baik pengunduran diri Chung. Pihak oposisi Korsel menyebut langkah mundur Chung itu sebagai sikap pengecut dan ingin menghindarkan diri dari tanggung jawab.

Kecaman yang dilancarkan oleh oposisi itu agak berlebihan. Sebab, Chung baru resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai PM setelah masalah feri Sewol tuntas diselesaikan. Hal itu ditegaskan oleh Presiden Korsel Park Geun-hye.

Kantor berita Korsel, Yonhap, menyebutkan, surat permintaan Chung untuk mundur itu telah diterima oleh Presiden Park. Akan tetapi, Chung baru resmi tidak lagi sebagai perdana menteri setelah masalah feri Sewol tuntas sepenuhnya. Itu sebabnya, menyebut keputusan mundur Chung sebagai langkah pengecut dan ingin menghindar dari tanggung jawab tidak berdasar sama sekali.

Mengundurkan diri dari jabatan sebagai bentuk tanggung jawab adalah sesuatu hal yang baik, yang patut dipertimbangkan di negeri ini.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006337210
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Merajut Koalisi, Mewujudkan Janji (Analisis Politik J Kristiadi)

Kemenangan PDI-P dalam Pemilu 2014 ibaratnya juara tanpa mahkota. Perolehan suaranya cupet sehingga harus berkoalisi dengan partai politik lain untuk mengajukan calon presiden. Meski demikian, karena elektabilitas Joko Widodo paling unggul, salah satu isu politik yang cukup dominan setelah pemilu legislatif adalah spekulasi calon wakil presiden yang akan mendampingi Joko Widodo.

Secara ideal, cawapres Joko Widodo (Jokowi/JKW) adalah sosok yang punya integritas, kapabilitas, elektabilitas, relatif muda, dan memiliki persenyawaan kimiawi (chemistry) dengan JKW. Ia juga harus memiliki wawasan yang sejalan dengan ideologi PDI-P, Trisakti, yaitu berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang budaya. Namun, tidak mudah untuk menemukan cawapres dengan segudang persyaratan itu. Padahal, guna mewujudkan janji PDI-P, yakni "Indonesia Hebat", ia terlebih dahulu harus berkoalisi dengan parpol lain untuk merebut kemenangan dalam pemilu presiden. Kemenangan jadi tuntutan absolut. Realitas politik itu mengharuskan PDI-P melakukan kompromi dalam menentukan cawapresnya.

Berdasarkan pertimbangan itu, PDI-P, minggu lalu—dari berbagai pemberitaan, antara lain The Jakarta Post, Jumat (25/4), "PDI-P on Verge of Endorsing Kalla"—memberikan isyarat kuat memilih Jusuf Kalla (JK) sebagai cawapres. Pertimbangannya, JK berpengalaman di pemerintahan, representasi Islam (diterima Nahdliyin dan Muhammadiyah), dan dari luar Jawa. Namun, kalau skenario duet JKW-JK menang dalam pilpres, mereka belum tentu dapat mewujudkan janji PDI-P kepada rakyat jika tidak secara bersama-sama mampu mengatasi berbagai tantangan.

Pertama, memadukan ideologi Trisakti PDI-P dengan pragmatisme JKW dan JK. Kajian Bagus Takwim dan kawan-kawan (Universitas Indonesia) tentang karakter capres dan cawapres (Kompas, 1 Juli 2009) menyebutkan, kekuatan JK adalah melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan menemukan solusi efektif. Kelemahannya cenderung kompromistis, visi kurang jauh ke depan, cenderung mengabaikan idealisme, serta kurang imajinatif dan reflektif. Dalam beberapa hal, JKW juga memiliki kecenderungan sama, terutama dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif. Dari perspektif ini, duet JKW-JK kurang komplementer.

Kedua, kerumitan membangun relasi chemistry serasi karena perbedaan usia, kultur, dan latar belakang pengalaman. Mewujudkan harmoni dengan perbedaan usia yang terpaut hampir satu generasi antara JKW (52) sebagai presiden dan JK (72) sebagai wakil presiden bukan hal sederhana. Sebagai orang yang jauh lebih muda, lugu, dan "sangat Jawa", JKW perlu usaha ekstra untuk jadi "atasan" JK. Naluri JKW untuk selalu hormat kepada senior dapat mengakibatkan JKW senantiasa dalam bayang-bayang JK. Tantangan yang dihadapi JK juga tak ringan mengingat ia telah menjadi tokoh nasional yang dianggap berhasil di dunia bisnis, politik, dan kemasyarakatan. Nama besar yang diukir selama ini secara naluriah membuat JK sangat percaya diri dan superior.

Ketiga, kepiawaian JK sebagai wakil presiden 2004-2009 dalam mengelola relasi antara pemerintah dan DPR serta berbagai terobosan, terutama menyelesaikan konflik Aceh dan meredam kerusuhan Poso, menyebabkan ia dijuluki "The Real President". Dalam perspektif lain, prestasi itu justru membuat JK dianggap terlalu berani melampaui otoritas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam konteks duet JKW-JK muncul kekhawatiran, SBY saja kewalahan menghadapi JK, apalagi JKW. Pengalaman ini bisa membuat JKW kurang nyaman.

Keempat, pengaruh JK di Golkar yang berimpit dengan sejarah Golkar sebagai partai penguasa akan mendorong Golkar menjadi bagian koalisi JKW-JK. Persoalan jadi rumit jika dalam munas Golkar, menjelang akhir 2014, menjadikan JK sebagai ketua umum. Sebagai seorang yang pragmatis, besar kemungkinan JK bersedia karena ia akan memiliki daya tawar politik lebih kuat. Dikhawatirkan koalisi duet JKW-JK akan lumpuh jika keduanya tidak memiliki kemauan politik dan chemistry yang kuat untuk mengutamakan kepentingan rakyat.

Agar duet JKW-JK dapat menjadi berkah bagi rakyat, JKW harus selalu sadar bahwa ia adalah presiden Republik Indonesia yang bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat. Penampilan boleh apa adanya. Akan tetapi, sebagai pengemban amanat rakyat, ia harus tidak kenal kompromi dengan siapa pun sejauh yang dipertaruhkan kepentingan rakyat. Bagi JK, ia harus menurunkan dosis rasa percaya dirinya agar JKW merasa nyaman dan aman. Peran JK, meskipun ia sebagai kampiun eksekutor, harus diimbangi dengan sikap kebegawanan yang bijak bestari serta arif dan bijaksana. Dalam jagat pewayangan, sosok itu adalah Resi Seto. Sesepuh Pandawa yang sudah menjadi resi, tirakat, matiraga, selalu olah batin, dan menjadi panutan para Pandawa. Ia selalu bersedia berjuang sampai mati membela kebenaran dan rakyat.

Faktor yang menguatkan JKW-JK adalah sikap terbuka. Melalui transparansi, JKW-JK diharapkan bisa menjaga hubungan dengan DPR, seperti JKW-Basuki Tjahaja Purnama mengelola relasi dengan DPRD DKI. Rajutan koalisi JKW-JK dan parpol lain harus mampu membuktikan rakyatlah yang sesungguhnya sebagai pemenang. Karena itu, duet JKW-JK tak tunduk pada keinginan parpol, tetapi kemauan rakyat.

(J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006335307
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 28 April 2014

Day 141 - The Soldiers Mock Jesus // The Crucifixion of Jesus

Today's Reading: Mark 15:16-32


16 And the soldiers led him away inside the palace (that is, the praetorium); and they called together the whole battalion. 17 And they clothed him in a purple cloak, and plaiting a crown of thorns they put it on him. 18 And they began to salute him, "Hail, King of the Jews!" 19 And they struck his head with a reed, and spat upon him, and they knelt down in homage to him. 20 And when they had mocked him, they stripped him of the purple cloak, and put his own clothes on him. And they led him out to crucify him.

21 And they compelled a passer-by, Simon of Cyrene, who was coming in from the country, the father of Alexander and Rufus, to carry his cross. 22 And they brought him to the place called Gol- gotha (which means the place of a skull). 23 And they offered him wine mingled with myrrh; but he did not take it. 24 And they crucified him, and divided his garments among them, casting lots for them, to decide what each should take. 25 And it was the third hour, when they crucified him. 26 And the inscription of the charge against him read, "The King of the Jews." 27 And with him they crucified two robbers, one on his right and one on his left. 29 And those who passed by derided him, shaking their heads, and saying, "Aha! You who would destroy the temple and build it in three days, 30 save yourself, and come down from the cross!" 31 So also the chief priests mocked him to one another with the scribes, saying, "He saved others; he cannot save himself. 32 Let the Christ, the King of Israel, come down now from the cross, that we may see and believe." Those who were crucified with him also reviled him.


Today's Commentary:


they crucified him: A form of Roman execution adopted from earlier Persian practice. Crucifixion was torturous, degrading, and reserved for the most heinous criminals - usually insurrectionists. The victims' feet were nailed to an upright stake and their wrists to a wooden crossbeam (Ps 22:16). Death came slowly from a combination of blood loss and asphyxiation, a process that could be hastened by breaking the criminal's legs (Jn 19:33). Corpses were often left hanging for days as a public deterrent against criminal activity and a powerful symbol of Rome's domination of Palestine.
Christian tradition sees in Jesus' physical death on the tree (Acts 10:39) the antithesis of Adam's spiritual death at the tree of good and evil (Gen 3:6, 17-19). Whereas Adam's sin brought death to the entire human family, Jesus' death rescues man from sin and gives him new life in the family of God (Rom 5:12-19).

Source: flocknote.com
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rekonsiliasi atas Konflik Palestina (Tajuk Rencana Kompas)

Berbagai kalangan, entah kawan ataupun lawan, dibuat terkejut atas kesepakatan rekonsiliasi Palestina, khususnya antara kelompok Fatah dan Hamas.
Hampir tidak terbayang, golongan Fatah yang moderat dan Hamas yang radikal bisa berekonsiliasi. Di luar dugaan, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dari Fatah, Rabu, 23 April lalu, mencapai kesepakatan rekonsiliasi dengan kelompok Hamas.

Entah bagaimana prosesnya, kedua kubu yang bertikai itu tiba-tiba bersepakat, antara lain, membentuk pemerintahan teknokrat selambat-lambatnya lima pekan mendatang serta menyelenggarakan pemilihan presiden dan anggota parlemen akhir 2014.

Tidak kurang dari Israel dan Amerika Serikat, yang selalu terusik dengan kiprah Hamas yang cenderung mengobarkan perlawanan senjata, dibuat terkejut atas kesepakatan Fatah-Hamas. Reaksi serupa diekspresikan Mesir, Arab Saudi, Qatar, Yaman, Senegal, dan Turki yang selama ini menjadi mediator, tetapi gagal mendorong rekonsiliasi Fatah-Hamas.

Tentu menjadi pertanyaan, mengapa Fatah dan Hamas tiba-tiba bersepakat berekonsiliasi setelah memperlihatkan sikap menolak sejak 2007. Tidak habis pikir, mengapa Fatah dan Hamas yang saling mendiskreditkan bisa melakukan rujuk. Mungkin banyak faktor yang memengaruhi perubahan hubungan Fatah-Hamas, tetapi faktor penentu tampaknya terletak pada kepemimpinan Presiden Abbas yang mampu melakukan persuasi.

Sebagai pemimpin, Abbas tampaknya mampu mengajak serta meyakinkan Fatah dan Hamas melakukan rekonsiliasi untuk kepentingan perjuangan bangsa Palestina. Sudah terbukti perpecahan di kalangan bangsa Palestina hanya melemahkan semangat perjuangan.

Perlu dikemukakan, masalah perpecahan merupakan salah satu tantangan terberat bagi bangsa Palestina dalam menggalang perjuangan membentuk negara merdeka di tanah airnya sendiri. Bangsa Palestina terpecah-pecah ke dalam beberapa kubu perjuangan. Dampak polarisasi itu terlihat jelas dalam pertikaian antara Fatah dan Hamas sekitar satu dasawarsa terakhir. Kelompok Fatah menekankan penyelesaian melalui perundingan damai, sementara Hamas mengutamakan perjuangan bersenjata.

Tentu saja tetap ada yang skeptis atas pelaksanaan kesepakatan rekonsiliasi Fatah-Hamas. Terlepas dari kemungkinan kegagalan, kesepakatan rekonsiliasi sendiri merupakan suatu pencapaian dalam upaya menyatukan perjuangan bangsa Palestina yang rawan perpecahan.

Sangatlah diharapkan kesepakatan rekonsiliasi tidak disia-siakan, tetapi benar-benar diwujudkan sebagai bagian upaya mendorong kekompakan di kalangan bangsa Palestina dalam mengakhiri konflik dengan Israel yang sudah berlangsung ratusan tahun, terutama 100 tahun terakhir.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006319202
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menanti Akhir Ketidakpastian (Tajuk Rencana Kompas)

Pemilu 9 April menunjukkan betapa terfragmentasinya kekuatan politik bangsa ini. Tidak ada parpol yang mendapat dukungan mayoritas.
Mengacu pada data hitung cepat sejumlah lembaga, tidak ada parpol yang meraih dukungan mayoritas sehingga nanti mampu mengontrol DPR. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang diperkirakan memenangi Pemilu Legislatif 2014 memperoleh suara sekitar 19 persen. Dengan perolehan suara itu, PDI-P juga tidak bisa secara mandiri mengajukan Joko Widodo sebagai calon presiden. Hal yang sama dialami Golkar dengan calon presiden Aburizal Bakrie dan Gerindra dengan Prabowo Subianto. Demokrat masih meneruskan konvensi capres. Selanjutnya, ke mana arah Demokrat akan ditentukan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam kondisi seperti itu, masuk akal jika semua partai politik masih akan menunggu hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional dan penetapan kursi DPR oleh Komisi Pemilihan Umum pada 9 Mei 2014. Perolehan suara nasional kadang memang tidak berbanding lurus dengan perolehan kursi di DPR. Tebersit masih ada harapan partai politik bisa meraih minimal 112 kursi DPR untuk bisa mencalonkan presiden pada 18-20 Mei 2014.

Karena belum ada partai politik yang bisa secara mandiri mengajukan calon presiden, kerja sama politik atau koalisi menjadi keniscayaan. Kerja sama antarpartai politik bukan hanya sekadar untuk mendapatkan tiket pencalonan seseorang menjadi capres, melainkan juga bagaimana memastikan agar kebijakan pemerintahan bisa berjalan dan tidak diganggu DPR. Sejauh ini, baru PDI-P dan Nasdem yang sudah menyatakan komitmennya melakukan kerja sama politik.

Kontestasi Pemilu Presiden 9 Juli belum tergambar dengan jelas. Peta koalisi dinamis dan tidak pasti. Siapa yang akan mendampingi Jokowi, Aburizal, ataupun Prabowo sebagai cawapres diselimuti ketidakpastian. Belum jelasnya format kerja sama politik membuat sebagian elite mengkhawatirkan terjadinya stagnasi politik. Dalam situasi seperti itulah komunikasi jujur di antara anak bangsa diperlukan dengan mengesampingkan ego pribadi. Komunikasi politik antar-pimpinan parpol untuk membicarakan masa depan bangsa juga dibutuhkan guna menurunkan ketegangan politik akar rumput. Komunikasi tidak harus diartikan sebagai bentuk dukungan terhadap sosok tertentu, tetapi membangun komitmen bersama bagaimana melakukan transisi kekuasaan secara damai. Komunikasi jangan hanya diartikan sempit untuk merebut kursi kepresidenan, tetapi bagaimana memastikan demokrasi prosedural bisa menjelma menjadi demokrasi substansial yang bermanfaat. Dalam pemilu, rakyatlah yang menjadi juri.

Keberhasilan kita melakukan transisi kekuasaan secara damai pada 20 Oktober 2014 akan memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara dengan demokrasi matang. Transisi kekuatan harus dipastikan terjadi pada 20 Oktober 2014 saat mandat Presiden Yudhoyono berakhir.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006316546
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menyelesaikan Korupsi Pajak (Emerson Yuntho)

Senin, 21 April 2014, barangkali adalah hari "istimewa" bagi Hadi Poernomo. Ada tiga peristiwa penting yang terjadi pada hari itu, yaitu perayaan hari ulang tahun ke-67, perpisahan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, dan penetapan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tentu saja penetapan sebagai tersangka perkara korupsi bukanlah kado ulang tahun yang diharapkan oleh siapa pun, termasuk Hadi Poernomo.

KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka dugaan korupsi terkait dengan keberatan pajak yang diajukan oleh Bank Central Asia (BCA) pada 2004.

Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode 2002-2004. Akibat besaran pajak yang tidak jadi dibayarkan BCA, negara menderita kerugian senilai Rp 375 miliar.  

Sebelum  ditetapkan sebagai tersangka, Hadi Poernomo pada 2010 juga pernah membuat heboh karena memiliki kekayaan yang luar biasa dan tidak wajar. Berdasarkan data KPK, dari total kekayaan senilai Rp 38 miliar, sekitar 97,6 persen kekayaannya tercatat berasal dari pemberian atau hibah.

Lepas dari segala tudingan atau spekulasi yang muncul, langkah berani KPK menetapkan Hadi Poernomo, mantan Ketua BPK dan Dirjen Pajak, sebagai tersangka layak diberikan apresiasi. Di tengah upaya pelemahan terhadap KPK, lembaga antikorupsi ini mampu menjerat aktor kakap dengan kerugian negara yang luar biasa.

Pada sisi lain, penetapan Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak 2002-2004 sebagai tersangka pada akhirnya menambah panjang daftar hitam dan mencoreng institusi perpajakan yang berada di bawah Kementerian Keuangan.

 Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama 2004-2014 tercatat sedikitnya 12 petugas atau pejabat di lingkungan institusi pajak yang tersangkut dalam perkara korupsi. Sebagian di antaranya sudah dinyatakan terbukti bersalah dan dipenjara serta sejumlah hartanya disita untuk negara. Sebut saja beberapa nama yang sempat mencuat ke publik, seperti Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan Dhana Widyatmika. 

 Korupsi di sektor perpajakan identik dengan praktik suap-menyuap, perbuatan melawan hukum, dan penyalahgunaan wewenang. Mereka yang berperan sebagai aktor korupsi di sektor perpajakan adalah pegawai atau pejabat direktorat perpajakan, konsultan pajak, hakim dan pegawai pengadilan pajak, advokat, konsultan pajak, perantara, serta wajib pajak.

Pola korupsi
 Praktik korupsi di sektor perpajakan terjadi di dua wilayah, yaitu internal dan eksternal. Korupsi yang terjadi di internal terkait dengan praktik suap, kolusi, atau nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa ataupun penempatan pegawai dan pejabat di lingkungan pajak.

Sementara korupsi eksternal terkait dengan praktik korupsi dalam pembayaran pajak kepada negara.  Dalam wilayah ini muncul banyak pola atau modus korupsi yang muncul di sektor perpajakan, tetapi setidaknya terdapat tiga pola yang biasanya sering ditemukan.

Pola pertama adalah negosiasi pembayaran pajak. Jika terjadi proses negosiasi, wajib pajak yang umumnya pengusaha atau perusahaan besar hanya perlu membayar pajak kurang dari
setengah atau lebih kecil dari yang semestinya dibayar kepada negara. Adapun oknum pegawai pajak selaku pemeriksa pajak mendapatkan imbalan yang besar dari wajib pajak yang dibantunya.

Pola kedua, petugas pajak menjadi "konsultan pajak" bayangan atau bekerja sama dengan konsultan pajak. Dengan model ini, oknum petugas pajak akan menerima imbalan atau bahkan gaji bulanan dari wajib pajak atau konsultan pajak yang merasa
dibantu pekerjaannya. Pegawai pajak akan memanipulasi laporan keuangan perusahaan atau wajib pajak sehingga beban kewajiban pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin.

Pola ketiga adalah kolusi dengan hakim pengadilan pajak atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak agar perkara keberatan pajaknya dimenangkan. Praktik ini memperbesar peluang bagi wajib pajak untuk memenangi sengketa pajak.

Belum steril
Pejabat di lingkungan pajak sangat mungkin untuk mengabulkan keberatan pajak atau mengurangi beban wajib pajak dengan atau tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pola inilah yang diduga dilakukan oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak untuk mengabulkan keberatan pajak yang dilakukan oleh BCA.

Pada sisi lain, Pengadilan Pajak juga belum steril dari praktik korupsi. Data ICW menunjukkan, selama 2002 hingga 2009, dari 16.953 perkara keberatan pajak yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Pajak, sebanyak 13.672 berkas perkara atau sekitar 81 persen dimenangi oleh wajib pajak. Kekalahan negara di Pengadilan Pajak memberikan konsekuensi pada hilangnya potensi penerimaan pajak yang harus diterima oleh negara.

Sesungguhnya sejak mencuatnya skandal pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, Kementerian Keuangan sudah berupaya melakukan sejumlah pembenahan dan percepatan reformasi birokrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Gaji atau remunerasi untuk pegawai pajak bahkan sudah dinaikkan untuk mendorong perbaikan kinerja dan mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Meski demikian, setelah pembenahan dilakukan, toh masih saja ditemukan pegawai pajak yang nekat melakukan penyimpangan.

 Pada akhirnya, selain berharap perkara korupsi sektor perpajakan—termasuk yang menimpa Hadi Poernomo—dapat dituntaskan oleh penegak hukum dan KPK, ada baiknya pemerintah menjadikan peristiwa ini sebagai momentum melakukan evaluasi secara menyeluruh program antikorupsi dan reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini penting agar institusi pajak tidak lagi terjebak dalam lingkaran korupsi dan sekaligus mengembalikan citranya di mata masyarakat.  

Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006272682
Powered by Telkomsel BlackBerry®

ASEAN dan Laut China Selatan (CPF Luhulima)

Upaya menuju penyelesaian masalah Laut China Selatan masih jauh, bahkan hanya bisa sampai tahap pengelolaannya saja, tidak sampai penyelesaiannya.
Perwujudan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) harus dilakukan atas dasar terms of reference ASEAN-China Joint Working Group (JWG). JWG ini ditugasi untuk merumuskan rekomendasi bagi suatu rencana aksi bagi pelaksanaan DOC, yang mencakup kerja sama di bidang- bidang proteksi lingkungan laut, penelitian kelautan, navigasi dan komunikasi di laut, search and rescue (SAR), dan memerangi kejahatan transnasional.

Ketika ASEAN pada pertemuan pertama JWG mengajukan bahwa ASEAN akan melanjutkan kebiasaannya untuk berunding di antara mereka sendiri terlebih dahulu sebelum bertemu RRT, negara itu menolaknya. Tiongkok tetap teguh pihak-pihak yang bersengketa di Laut China Selatan (LCS) harus menyelesaikan masalah kedaulatan dan yurisdiksinya secara bilateral dengan Tiongkok, tidak multilateral, dalam kerangka ASEAN. Karena ASEAN menolak permintaan ini, pembahasan tentang masalah di LCS tidak mencapai sasaran.

Pedoman bagi pelaksanaan DOC baru dapat disetujui setelah ASEAN mengorbankan sikap untuk konsolidasi diri terlebih dahulu dan mengubah butir 2, yang menegaskan bahwa "ASEAN will continue its curent practice of consulting among themselves before meeting China". Perubahan butir 2 sangat mengecilkan ASEAN dalam perundingan ini karena diubah menjadi "The parties to the DOC will continue to promote dialogue and consultations in accordance with the spirit of the DOC". Semua pihak pada DOC akan berdialog dan berkonsultasi bersama, bukan dalam bentuk 10+1, melainkan 11. Lalu, ke mana ASEAN Centrality yang dibanggakan itu?

Dalam kerangka ini ASEAN telah melanggar Piagam ASEAN yang menegaskan ASEAN harus mempertahankan sentralitas dan perannya sebagai penggerak utama dalam hubungan dan kerja sama dengan mitra eksternalnya. Dengan mengalah pada RRT, ASEAN telah mengorbankan keutuhan dalam berkiprah dengan mitra dialognya.

Peristiwa yang sangat menyedihkan terjadi pada Sidang Ke-45 Menteri-menteri Luar Negeri ASEAN di Phnom Penh, Kamboja. Pertentangan yang terjadi tentang LCS antara Menteri Luar Negeri Albert del Rosario dan Pham Binh Minh di satu pihak dan Hor Nam Hong (sebagai tuan rumah) di pihak lain sangat kental diwarnai oleh pihak-pihak yang memegang teguh pada ASEAN Centrality pada satu pihak dan ASEAN serta Tiongkok sebagai satu kesatuan pada lain pihak. Perpecahan sikap tentang LCS di antara anggota ASEAN tidak dapat dibenarkan.

Di sini pun RRT "mendikte" bagaimana konflik yang terjadi di LCS harus dihadapi, bukan secara hukum, melainkan secara politik. RRT sudah melakukan itu sejak permasalahan LCS muncul karena negara itu tidak dapat dan tak mau menentukan koordinat 9 garis putusan-putusan itu, yang baginya adalah batas teritorial negara itu. Itu adalah final!

Peran Indonesia
ASEAN mencoba terus untuk merumuskan versi Code of Conduct-nya di LCS, ASEAN Proposed Elements of a Regional Code of Conduct in the South China Sea (COC), dan kemudian Indonesia keluar dengan Zero Draft tentang COC, untuk menetapkan tata perilaku di LCS.

Tapi, RRT tak memperhatikannya, bahkan tak menggubrisnya. Dengan demikian, kemajuan dalam pembahasan COC tak bergerak, berjalan di tempat, betapa-
pun ASEAN berupaya untuk mengajukan draf mereka, yang merupakan inti pemikiran ASEAN untuk berperilaku di LCS.

Di sinilah pentingnya sikap dan peran Indonesia. Permintaan Sekretaris ASEAN Le Luong Minh kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membantu dalam menghadapi sengketa LCS seharusnya ditanggapi secara positif. Masalah LCS antara ASEAN dan RRT tak bisa dikelola lagi pada tingkat menteri luar negeri. Permasalahan yang terjadi pada upaya tingkat menteri telah membawa ASEAN pada balkanisasi, pemecahbelahan ASEAN untuk kepentingan RRT.

Pendekatan pada tingkat menteri sudah mencapai batasnya. Upaya luar biasa yang dilakukan menteri-menteri luar negeri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Vietnam untuk menggalang kesatuan ASEAN di Phnom Penh tidak mampu untuk menggiring Kamboja kembali ke dalam posisi ASEAN.

Upayanya kini harus dilakukan pada Konferensi Tingkat Tinggi, pada format Summit Diplomacy. Indonesialah satu-satunya negara ASEAN yang harus mengambil inisiatif ini. Indonesia sudah seharusnya membalikkan kecenderungan dalam pengelolaan LCS. RRT memang merupakan ancaman, mulai dengan dominasinya dalam pengelolaan LCS melalui DOC dengan tidak  memperhatikan COC ASEAN sama sekali, bahkan mempermainkan ASEAN.

Apabila mereka berhasil, dan ASEAN menyerah, balkanisasi akan berlanjut dengan segala akibatnya bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Kalau proses ini berlanjut, siapa dapat mengatakan bahwa pada satu hari RRT tidak akan mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna, dengan kekuatan politik dan angkatan lautnya.

Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus (menjelang akhir jabatannya) melibatkan diri secara langsung dalam pembangkitan kesatuan sikap untuk menghadapi situasi LCS. Indonesia harus bertindak untuk melanggengkan suatu Asia Tenggara yang "integrated" dalam bentuk Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN. Kedua upaya Indonesia itu adalah inisiatif untuk melawan balkanisasi Asia Tenggara, ASEAN.

Indonesia harus mulai dengan merangkul Filipina dalam rangka merumuskan sikap terhadap RRT di LCS. Indonesia harus pula mempertimbangkan penggunaan istilah Laut China Selatan menjadi Laut Tiongkok Selatan, atas dasar pertimbangan Keppres Nomor 12/2014, yang berlaku mulai 14 Maret 2014.

Filipina sudah mulai dengan mencetuskan istilah West Philippine Sea, Yayasan Nguyen Thai Hoc, yang berkedudukan di California, mencetuskan istilah South East Asia Sea. Mengapa kita tidak langsung saja menggunakan istilah Laut ASEAN (Riefqi Muna) untuk memproyeksikan Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN ke laut di utara, timur, dan barat ASEAN. Waktu sudah tiba untuk melepaskan diri dari penguasaan RRT dan mengembalikan jati diri ASEAN dalam pengelolaan laut yang penting bagi kita.

Di sini inisiatif Indonesia paling menentukan karena RRT mengakui kedudukan negara kita sebagai primus inter pares, yang pertama di antara sesama,  dan pemimpin de facto ASEAN.

CPF Luhulima
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik,
LIPI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006213072
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Demi Suara Rakyat (Yasraf Amir Piliang)

Menjelang dan selama masa pemilu, nama "rakyat" selalu ramai disebut, dibicarakan, diwacanakan, ditulis, dinarasikan, ditampilkan, dan ditayangkan di ruang-ruang komunikasi politik. Eksistensi "rakyat" kini begitu penting dibandingkan hari-hari biasa.

Aneka bentuk narasi, cerita, rencana, visi, dan program yang diwacanakan melalui aneka komunikasi politik, semuanya disampaikan "atas nama rakyat". Rakyat kini menjadi figur sentral retorika politik.

Meski nama "rakyat" sering disebut dalam setiap pesta demokrasi, tak berarti mereka secara substansial memainkan peran sentral dalam proses demokrasi. Kata "rakyat" memang dieksploitasi secara semiotik dan semantik dalam aneka wacana dan retorika politik, tetapi eksistensi mereka sesungguhnya dikerdilkan karena rakyat dalam sistem demokrasi mutakhir direduksi menjadi sekadar "konsumen" dari produk "kapitalisme politik", dalam ruang demokrasi yang telah direduksi menjadi etalase "pasar politik".

Dalam kondisi kapitalisasi politik—saat kapital, uang, dan materi jadi kekuatan utama politik—kekuasaan rakyat sebagai esensi demokrasi diambil alih kekuasaan kapital yang mengondisikan rakyat sebagai "buruh" sekaligus "pembeli" produk para kapitalis politik yang dipasarkan di dalam pasar politik. Rakyat yang telah dilucuti kekuasaannya kini jadi target pemasaran politik, yang dieksploitasi suara mereka. Pesta demokrasi kini bukan bermakna pertarungan politik "demi rakyat", melainkan "demi suara rakyat".

De-demokratisasi

Demokrasi yang secara genealogis bermakna 'kekuasaan di tangan rakyat' (rule by the people), dalam realitasnya tak mungkin direalisasikan dalam sistem negara modern, saat "rakyat" hadir dalam jumlah masif. Demokrasi perwakilan adalah solusi, saat kekuasaan rakyat diwakilkan kepada individu yang dipilih oleh rakyat. Perwakilan dari rakyat kepada individu ini yang selalu menimbulkan masalah pelik dalam demokrasi karena selalu ada "jarak" antara rakyat dan individu-individu yang mewakili mereka.

Karena "rakyat"—yang berjumlah masif—tak mungkin berkuasa, nama "kekuasaan rakyat" sesungguhnya "nama yang bukan nama", nama tanpa realitas, karena pemilik kekuasaan sesungguhnya "seseorang" atau "sekelompok kecil orang" yang dipilih rakyat. Artinya, "kekuasaan di tangan rakyat" menjadi "kekuasaan di
tangan siapa pun" (rule by anyone). Di sini, demokrasi tak berbeda dari oligarki karena kekuasaan dipegang oleh sekelompok individu, bukan oleh rakyat dalam arti sebenarnya. "Rakyat" tak lebih dari nama tanpa entitas (Ranciere, 2006).

Pemilu adalah sebuah pesta saat eksistensi rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kembali dipertaruhkan. Kini, kata demos (rakyat) dan kratia (kekuasaan) di dalam pemilu dirajut kembali, seakan- akan pertarungan politik dalam pesta demokrasi, semuanya adalah demi "kekuasaan rakyat". Padahal, dalam realitasnya demos dipisahkan dari kratia karena rakyat kini bukan subyek kekuasaan, melainkan obyek yang dieksploitasi oleh para kapitalis politik demi mendapatkan kekuasaan melalui aneka retorika politik "atas nama rakyat".

Sebagai "pesta demokrasi", pemilu diramaikan suasana pesta: pidato, hiburan, arak-arakan, tari-tarian, karnaval, berbalas pantun, bahkan perang puisi, untuk mengiringi rakyat memilih para pemimpin. Akan tetapi, ini pesta siapa? Apakah ini pesta rakyat sebagai manifestasi kedaulatan rakyat? Sayangnya, pesta demokrasi kini bukan pesta perayaan kekuasaan rakyat, melainkan kekuasaan kapital yang dikerahkan untuk memanipulasi kesadaran dan ketaksadaran rakyat demi mendapatkan suara mereka.

Kapitalisme politik menciptakan kondisi "de-demokratisasi" sehingga proses pembangunan demokrasi justru berbalik jadi proses penghancuran pilar-pilar demokrasi itu sendiri. Salah satu pilar adalah kekuatan demos, yaitu kedaulatan rakyat. Kekuatan rakyat kini "dilucuti" dengan mendistorsi kekuatan riil mereka sebagai rakyat, menjadi sekadar "konsumen" dari sebuah "ruang politik" yang telah berubah menjadi "pasar bebas politik". Demos sebagai "pemilik" kekuasaan demokratis, menjadi Homo consumericus, yaitu para konsumen tontonan kekuasaan.

De-demokratisasi adalah kondisi ketika ruang demokrasi dikendalikan kekuatan gabungan korporasi, parpol, dan kekuatan negara, di mana yang memiliki peran sentral di dalamnya adalah para bankir investasi, CEO korporat, broker,
taipan media, branding consultant, dan event organization, dengan target
utama mereka adalah akumulasi modal, untuk kemudian diinvestasikan di dalam "pasar politik" demi kekuasaan (Brown, 2010).

"Pesta demokrasi" kini tak lebih pesta para Homo econo-politicus yang merayakan kelimpahan materi, timbunan uang, kekuatan media, dan popularitas untuk dihamburkan di ruang panggung hiburan, iklan televisi, pencitraan visual media, arak-arakan karnaval, bahkan bagi-bagi uang, semata untuk dapat suara rakyat. Rakyat sendiri bukan bagian dari "pesta" ini karena mereka hanyalah "penonton" ingar-bingar pesta perebutan kekuasaan dan tak memiliki kekuasaan apa pun, selain kekuasaan memilih di bilik suara.

Ketika rakyat disuguhi strategi pemasaran sophisticated layaknya pemasaran produk, komunikasi politik yang diubah jadi strategi branding, dan pertarungan calon pemimpin layaknya pertarungan brand, keberhasilan politik direduksi menjadi keberhasilan strategi media, pemasaran, dan branding. Pertarungan ideologi sebagai esensi politik hanya diberi tempat sejauh ia bisa dikonversikan jadi elemen pertarungan branding politik. Kemenangan politik kini ditentukan kecanggihan EO politik, bukan oleh kapasitas intelektual, kecerdasan, dan kepemimpinan.

Dalam kondisi ruang politik dikuasai kekuatan ekonomi, zoon politicon menjelma Homo economicus, dan demos dikerdilkan jadi Homo consumericus, sesungguhnya tak ada lagi ruang tersisa bagi rakyat. Pemilu yang semestinya pesta rakyat jadi pesta para oligarch, yang menginvestasikan timbunan kapitalnya demi mendapatkan suara rakyat. "Demi rakyat" sebagai esensi dari sistem demokrasi dimanipulasi menjadi "demi suara rakyat".

Tirani angka

Pesta demokrasi juga diramaikan oleh kehadiran lembaga survei lewat jajak pendapat dan penghitungan cepat (quick
count) yang tentu sangat membantu dalam mempercepat proses pemilihan. Tak kurang dari 56 lembaga survei dan penyelenggara hitung cepat terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Menjamurnya lembaga survei ini penanda sangat sentralnya peran angka dalam demokrasi. Pemilu adalah bagian prosedur politik, khususnya terkait dengan penggunaan hak warga untuk memilih. "Suara" secara administrasi-prosedural adalah representasi matematis dari aspirasi, keinginan, keyakinan, kepentingan, dan ideal-ideal individu sebagai warga. Dengan memberikan suara sama artinya menyampaikan aspirasi, keinginan, dan ideal-ideal, yang nanti direalisasikan pemimpin terpilih.

Secara eksistensial, suara adalah manifestasi vox populi vox dei, yaitu suara rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam demokrasi sehingga dipandang seakan-akan seperti "suara Tuhan". Namun, dalam
sistem demokrasi—seperti ditunjukkan dalam pemilu—"suara rakyat" yang memiliki dimensi-dimensi makna eksistensial-transendental direduksi jadi "angka", sebagai faktor tunggal-absolut penentu kemenangan dalam pemilu. Demokrasi macam ini membawa pada semacam "tirani angka" (the tyranny of number), yaitu prinsip mayoritas mengalahkan prinsip pluralitas opini, keyakinan, dan ideologi. Padahal, angka tak sama dengan kebenaran. Angka tinggi bukan jaminan pemimpin terpilih adalah pemimpin terbaik (Badiou, 2008).

Kecenderungan "fetisisme angka" macam ini—perayaan angka sebagai ukuran tunggal-absolut pertarungan politik—telah menjauhkan politik dari "yang politik" (the political), yaitu pluralitas keyakinan, ideologi, dan ideal-ideal politik yang bersifat antagonis satu sama lain. "Yang politik" hanya ada jika ada pertarungan hegemoni berbasis ideologi (Mouffe, 1993). Angka tercabut dari politik ketika angka itu diperoleh bukan dari pertarungan ideologi, melainkan pertarungan kekuatan non-ideologis: materi dan pencitraan.

Tirani angka membentangkan jurang dalam, terkait dua sistem legitimasi saling bertentangan dalam konteks memilih pemimpin. Di satu pihak, legitimasi melalui pemilihan umum berupa popular vote, yaitu jumlah suara tertinggi menjadi ukuran kemenangan politik. Di pihak lain, legitimasi melalui kemampuan memilih solusi terbaik bagi aneka masalah bangsa. Ironisnya, "pemimpin terbaik" hanya dapat dilahirkan melalui sebuah mekanisme saringan pengetahuan obyektif tentang kapasitas kepemimpinan yang melibatkan berbagai pakar multidisiplin, bukan melalui popular vote (Laclau, 2005).

Jurang antara "pemimpin ideal" (yang memiliki kapasitas menyelesaikan aneka masalah bangsa) dan "pemimpin populer" (yang dipilih karena mampu membangun sentimen-sentimen pada mayoritas) berulang dalam setiap pesta demokrasi. Selalu ada jurang antara "kebutuhan bangsa" dan pemimpin yang "dilahirkan" melalui popular voting. Kini, pesta demokrasi
layaknya pentas Indonesian Idol, yang dibangun dan dilahirkan adalah para "idola politik", yang populer karena mampu membangun diri sebagai media darling.

Sebuah kesadaran publik layak dibangun bahwa pesta demokrasi bukan pesta "masyarakat tontonan", arena sirkus pemasaran, tontonan fund-raising event organization, branding, dan mobilisasi massa demi suara rakyat. Esensi demokrasi adalah setiap calon pemimpin yang bertarung dalam pertarungan politik, seperti pemilu, membawa beban amanat "kekuasaan rakyat", yaitu mengajukan diri sebagai calon pemimpin "demi rakyat". Demokrasi lebih dari sekadar angka, lebih dari sekadar populer dalam jajak pendapat!

Demos bukan Homo consumericus dari panggung tontonan pertarungan kekuasaan, tetapi "sang pemilik" kekuasaan itu sendiri. Hak dan kebebasan rakyat dalam memilih harus diartikan sebagai kebebasan di atas fondasi "kekuasaan rakyat". Rakyat yang dikonversikan menjadi "konsumen politik" tak lebih dari massa yang menjadi sasaran dan target aneka strategi "pemasaran politik", yang kesadaran dan ketaksadarannya dieksploitasi melalui aneka teknik psikografis, branding, dan pemasaran, agar mereka memilih secara bebas dalam kondisi pilihan-pilihan sudah ditentukan melalui mekanisme "pasar politik".

Pesta demokrasi harus dipandang sebagai pesta untuk membangun dua legitimasi tentang kedaulatan rakyat. Di satu pihak, memulihkan kedaulatan rakyat, membebaskan mereka dari cengkeraman kapitalisme politik, menjauhkan mereka dari ilusi media yang menyesatkan, mengangkat mereka dari sekadar konsumer politik. Di pihak lain, mengentaskan mereka dari kondisi ketakberdayaan, menjadikan mereka "subyek" dan "produser" politik, membangun kualifikasi rakyat agar memiliki kekuatan mandiri dalam menentukan aspirasi dan pilihan politik.

Yasraf Amir Piliang
Pemikir Sosial dan Kebudayaan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005993052
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger