Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 November 2013

Mengapresiasi Solidaritas Dokter (Marwan Mas)

Oleh: Marwan Mas 0 KOMENTAR

PUTUSAN hakim kasasi yang dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar dengan menjatuhkan pidana terhadap tiga dokter ternyata menimbulkan aksi solidaritas oleh ribuan dokter dengan turun ke jalan (unjuk rasa) di Jakarta dan sejumlah daerah.

Mahkamah Agung memvonis tiga dokter RS Prof Kandou, Manado, dengan hukuman 10 bulan penjara pada 18 September 2012. Salah satu pertimbangan hukum MA, ketiga dokter itu melakukan "malapraktik" dalam menangani Julia Fransiska Maketey yang hendak melahirkan pada 10 April 2010, yang akhirnya meninggal dunia.

Kita memahami solidaritas itu sebagai kerisauan para dokter lantaran diduga terjadi kriminalisasi dalam menolong pasien. Keniscayaan perlindungan terhadap dokter dalam melaksanakan tugasnya yang amat mulia patut diapresiasi sebagai langkah bijak untuk tak boleh mengkriminalisasi para dokter dan pekerja medis. Kriminalisasi bisa dimaknai sebagai tindakan hukum yang sebetulnya tidak bersalah, tetapi dinyatakan bersalah dalam sebuah proses peradilan.

Pemenuhan keadilan
Siapa pun akan mendukung dokter yang bekerja secara profesional, menjalankan dan menaati seluruh standar etika, moral, dan profesi. Apabila ada perlakuan yang tidak adil, bukan hanya dokter yang gerah, melainkan juga pasien dan warga masyarakat akan turut gelisah.

Akan tetapi, juga bisa muncul pertanyaan: apakah dokter tidak bisa dipidanakan jika dalam melaksanakan profesinya melanggar prosedur dalam penanganan seorang pasien sebagaimana dimaksud dalam UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2009 tentang Kesehatan, dan Kode Etik Kedokteran?

Tulisan ini tidak akan terlalu jauh menelisik posisi malapraktik dan risiko hukumnya yang sudah tertera dalam putusan MA. Namun, ada pertanyaan lain yang juga patut dicermati, selain memahami solidaritas para dokter. Misalnya, apakah pasien juga butuh keadilan? Apakah pelayanan kesehatan yang mestinya juga berkeadilan buat pasien dan semuanya, tetapi banyak yang tidak terpenuhi lantaran para dokter meninggalkan tugas?

Pertanyaan ini juga sering dilontarkan para pengusaha saat buruh berunjuk rasa atau mogok kerja, yang menurut para pengusaha menimbulkan kerugian (ketidakadilan) bagi perkembangan usahanya. Semua profesi di mata hukum tidak ada yang kebal hukum, tetapi tidak boleh dikriminalisasi. Apalagi  hukum mengatur: siapa pun bisa dipidana jika jelas-jelas dan terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam menjalankan profesinya.

Aksi solidaritas dokter dengan melakukan unjuk rasa dijamin dalam konstitusi. Akan tetapi, tidak boleh berimplikasi sebagai pembenaran seolah-olah betul terjadi kriminalisasi dalam putusan MA. Upaya hukum masih bisa dilakukan melalui peninjauan kembali (PK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat 2 KUHAP.

Pertama, bila terdapat keadaan baru atau bukti baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat jika keadaan itu diketahui saat sidang masih berlangsung, hasilnya bisa membebaskan terdakwa atau dipidana lebih ringan.

Kedua, bisa juga terjadi jika sejumlah putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi alasan putusan yang dinyatakan terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain. Ketiga, jika putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata. Artinya, putusan MA secara nyata terjadi kekeliruan hakim dalam menerapkan pasal undang-undang. Ketiga alasan untuk mengajukan PK merupakan alasan yang bersifat limitatif.

Profesi dokter begitu mulia lantaran berada pada wilayah kemanusiaan, yang bertujuan menolong orang dan tidak berniat membahayakan pasien. Ini merupakan konsekuensi dari filosofis bahwa tidak ada pekerjaan yang mulia di muka bumi ini yang diniatkan untuk membahayakan orang lain. Kecuali, tentu saja, para penjahat atau koruptor yang memang memiliki niat jahat (mens rea) sehingga tidak bisa dijadikan argumen pembenaran untuk melakukan aksi solidaritas oleh sejawatnya.

Tidak antikritik
Profesi apa pun tidak luput dari kesalahan atau kealpaan karena yang menjalankan adalah manusia biasa. Tak boleh antikritik, apalagi arogan, dalam menyikapi putusan hukum sebab sudah disiapkan sarana untuk memperbaikinya jika putusan itu dianggap salah atau keliru.

Dalam beberapa keluhan di masyarakat, seperti profesi kepolisian, advokat, atau guru dan dosen acapkali juga menerima kritik tajam. Hal ini sesuatu yang wajar sebab dalam praktik sehari-hari, ada saja polisi yang dinilai menyalahi ketentuan,
advokat yang keliru, atau guru dan dosen dicurigai tidak adil memberikan nilai. Begitu pula profesi dokter, misalnya keluhan bahwa dokter lamban
atau ceroboh menangani pasien. Semuanya harus disadari bahwa kritik itu berguna sebagai introspeksi untuk diperbaiki dan tidak akan terulang di kemudian hari.

Kasus tersebut memberi pelajaran amat berharga bahwa keadilan haruslah diberikan untuk semua. Siapa pun harus berlaku adil kepada dokter, kepada pasien, dan kepada siapa saja untuk memperoleh perlakuan adil dalam kehidupan sehari-hari dan di muka hukum.

Solidaritas patut diapresiasi asalkan dilakukan dengan elegan dan bermartabat untuk menyelesaikan persoalan. Dalam negara hukum, putusan hakim selalu dihormati meski wajar dikritisi. Kalau putusan MA yang secara formal telah berkekuatan hukum tetap dianggap tidak adil, disediakan mekanisme untuk melawan ketidakadilan itu.

Marwan Mas, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003413423
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kepentingan Indonesia di WTO Oleh: M RIZA DAMANIK)

Oleh: M RIZA DAMANIK

SETELAH berhasil menjadi penyelenggara dua perhelatan berskala internasional: Miss World dan APEC 2013, berikutnya 3-6 Desember Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri IX WTO. Kali ini, adakah kepentingan Indonesia hendak dimenangkan?
Secara teknis, menjadi tuan rumah WTO di tengah situasi defisit neraca perdagangan dan anggaran belanja negara tentulah menjadi kurang bijak dan serba percuma. Itu karena, merujuk ongkos penyelenggaraan KTM VI 2005, Pemerintah Hongkong menghabiskan sekitar 256 juta dollar Hongkong, sedangkan kontribusi sekretariat WTO diperkirakan kurang dari 30 juta dollar Hongkong. Meski tidak ada angka pasti alokasi biaya yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk empat hari konferensi di Bali, dipastikan jumlahnya lebih besar dari Hongkong!

Begitu pun masalahnya secara substansi. Konferensi dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan 159 negara anggota WTO terhadap sistem perdagangan multilateral. Langkah ini dianggap perlu untuk merespons pertumbuhan ekonomi dunia yang sedang melambat. Namun, hingga akhir perundingan di Geneva, Swiss, (26/11), justru gagal membawa rasa keadilan.

Minus keadilan
Terdapat tiga isu kunci yang hendak dituntaskan dalam formula Paket Bali. Pertama, fasilitas perdagangan, yang bertujuan memudahkan akses pasar ekspor-impor melalui standardisasi prosedur kepabeanan dan sanksi. Merujuk pada World Trade Report (2013), tren pembengkakan impor negara berkembang terus berlangsung. Bahkan pada 2012, ketika persentase pertumbuhan impor di negara-negara maju minus 0,1 persen, pertumbuhan impor di negara berkembang masih berkisar 4,6 persen.

Kenyataan masih rendahnya daya saing, penguasaan teknologi, dan standardisasi produk di negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Lalu, buruknya komitmen negara maju memberikan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas. Jadi, isu fasilitas perdagangan (lebih) memperlancar arus barang dari negara maju ke negara-negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk kepada 240 juta rakyat Indonesia.

Kedua, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang. Sebanyak 53 negara kurang berkembang berharap mendapatkan perlakuan khusus, berupa: duty free-quota free, ketentuan surat keterangan asal, dan kemudahan akses pasar jasa ke negara maju. Sebaliknya, negara maju hanya menjanjikan paket ini dengan komitmen rendah dan tidak mengikat (voluntary).

Isu terakhir dan paling kontroversial akhir-akhir ini adalah pertanian. Sebanyak 46 negara anggota G-33 mengusulkan penghapusan ketentuan WTO yang membatasi negara berkembang memberi subsidi bagi sektor pertanian, khususnya untuk kepentingan keamanan pangan dan cadangan pangan domestik. Jika saja proposal ini disetujui: upaya mempercepat kesejahteraan petani dan nelayan, meningkatkan produksi pangan lokal, termasuk mengurangi ketergantungan pangan impor di negara berkembang dapat tercapai.

Celakanya, negara maju justru melakukan serangan balik dengan menawarkan skema peace clause. Skema itu memberi batas waktu tertentu (baca: hanya 4 tahun) bagi negara berkembang untuk boleh memberi subsidi kepada pertanian domestiknya.

Jadi, berbeda dengan Gita Wirjawan dalam tulisannya "KTM Ke-9 WTO dan Paket Bali" (Kompas, 19/11), saya justru berpendapat Paket Bali tidak akan memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia ataupun rakyat di negara-negara berkembang dan kurang berkembang yang lain.

Kepentingan Indonesia?
Kerja sama luar negeri yang baik haruslah dalam kerangka mengarusutamakan kepentingan nasional Indonesia (national interest), termasuk di antaranya: mengentaskan rakyat dari kemiskinan, menambah lapangan pekerjaan, menjaga kelestarian lingkungan, serta mewujudkan ketertiban dan keadilan global.

DPR perlu segera memanggil Menteri Perdagangan Gita Wirjawan selaku Ketua Panitia Nasional KTM IX WTO. Lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Djoko Suyanto, serta Menko Kesra Agung Laksono, yang masing-masing ditunjuk Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2013 sebagai tim pengarah.

Pasalnya, baik secara teknis maupun substansial, hampir mustahil konferensi WTO dapat memberi manfaat bagi rakyat Indonesia. Karena itu, DPR perlu memastikan agar pemerintah tak menandatangani rumusan Paket Bali. Dan, segera mengambil inisiatif untuk mengajak negara-negara yang hadir merumuskan alternatif sistem perdagangan multilateral, dengan prinsip: solidaritas, saling melengkapi, dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Tanpa keberanian itu, komitmen Pemerintahan SBY di Bali hanya akan memberi dampak buruk kepada rakyat dan pemerintahan setelah Pemilu 2014.

M Riza Damanik,  Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003392083
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Religiositas ”Bangsa Wayang” (ASEP SALAHUDIN)

MENJADI "bangsa wayang", inilah tempo hari yang sangat dikhawatirkan Tan Malaka, seorang yang hidup sebagai manusia pelarian di sebelas negara dan disebut Yamin perancang republik sebelum kemerdekaannya tercapai melalui bukunya (1925) Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Buku ini lahir jauh sebelum Hatta menulis  Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) (1928) dan Soekarno menuangkan gagasan, "Menuju Indonesia Merdeka" (1933).
Bangsa wayang semiotikanya merujuk kepada sebuah bangsa yang kehilangan jati diri. Tak ubahnya wayang yang hidup dan matinya sepenuhnya berada dalam genggaman takdir ki dalang. Dalam konteks ini, dalang itu dapat bernama gurita "kepentingan asing" atau juga sifat serakah yang mengalir dalam nadi para penyelenggara negara.

Negara yang hilang daulatnya karena dikelola "para pencuri" yang tidak pernah kehilangan nafsu untuk terus memburu benda dengan menghalalkan beragam cara. Administrasi publik justru tidak untuk kepentingan khalayak, tetapi bagi upaya memperkaya diri dan golongannya. Orang menyebutnya  sistem kleptokrasi (berasal dari  bahasa Yunani klepto+kratein  yang berarti "diperintah para bandit").

Merdeka 100 persen adalah siasat tanpa henti berkelit dari sekapan bangsa wayang. Dari watak politik yang sama sekali tidak mendistribusikan  kesejahteraan, dari ekonomi yang hanya gempita dirayakan segelintir elite, dari pendidikan yang tidak menjadi jendala mentransformasikan diri menuju kebebasan utuh, dari budaya yang hanya mengagungkan raga. Seratus persen merdeka adalah amanat  lagu yang acap kali kita dendangkan penuh riang: Sorak-sorak bergembira/Bergembira semua/Sudah bebas negeri kita/Untuk s'lama-lamanya/ Indonesia  merdeka! (Merdeka!)/Menuju bahagia! (Bahagia!)/Itulah tujuan kita/Untuk s'lama-lamanya.

Medan religius
Termasuk merdeka 100 persen adalah ketika negara tidak melakukan pemihakan terhadap keyakinan warganya. Pilihan beragama adalah hak dasar setiap insan yang dijamin Tuhan juga mendapat perlindungan undang-undang. "Siapa yang hendak beriman, imanlah. Siapa yang mau kafir, kafirlah". Agama adalah panggilan Sang Kuasa relasinya dengan para pemeluk agama itu sendiri. Agama adalah "wadah" tempat membangun kohesivitas sosial satu dengan lainnya.

"Wadah" ini apabila tidak dikelola secara saksama sangat rentan menimbulkan benturan, bukan hanya intern umat beragama, melainkan juga antarumat beragama. Justru hari ini pascareformasi, seperti dalam sejumlah survei, kekerasan atas nama agama terus mengalami eskalasi. Tragisnya negara yang semestinya hadir sebagai wasit menyelesaikannya malah absen. Padahal, kekerasan simbolik seperti ini dapat menjadi ancaman serius bagi keutuhan NKRI, bagi keragaman yang telah menjadi khitah masyarakat kita seperti dengan indah dirumuskan para leluhur lewat falsafah Bhinneka Tunggal Ika.

"Wadah" dalam praktiknya menjadi pisau bermata dua: mendatangkan musibah atau memunculkan faedah. Menjadi musibah manakala agama hanya menjadi institusi primordial untuk memfasilitasi nafsu menguasai (Max Weber) atas nama kebenaran yang sebermula telah ditahbiskannya bersifat tunggal, bukan sebagai medan pemahaman guna berdialog dalam suasana komunikasi diskursif yang lapang, setara dan saling menerima (Habermas), membangun persahabatan tulus (Aristoteles)  dalam napas keterbukaan (Socrates) yang ditancapkan di atas dasar metafisis teologi kerukunan.

Hari ini yang pertama yang sering terartikulasikan dalam kamar gelap politik keberagamaan kita. Semacam agama yang telah "dibajak" para pemeluknya, telah ditafsirkan dalam kerangka pemahaman "pendakuan".  JP Sartre menyebutnya sebagai penafsiran yang bertendensi terhadap pusaran modus keinginan menjadi "tuhan" itu sendiri.  Karena telah menganggap "tuhan", ihwal yang di luar dirinya dipandang menyimpang, mereka yang tidak sehaluan dianggap menyesatkan yang harus diluruskan kalau perlu dengan pentungan karena dianggap sebagai akar dari segala bentuk kemungkaran.

Beragama menjadi sangat hiruk-pikuk dengan urusan mengurus "orang lain". Sibuk dengan upaya menyatukan dunia dalam fantasi monolitik.  Dalam kategori "kebaikan" (baik secara personal maupun sistem) yang diimajinasikan secara subyektif, arbitrer, semena-mena, dan ahistoris. Front Pembela Islam yang bersemangat memberantas maksiat, Hisbut Tahrir yang berupaya mencongkel sistem demokrasi dengan khilafah, jemaah tablig yang bernostalgia dalam atmosfer kehidupan silam, atau wahabi-salafi yang menebar stigma "bidah" kepada liyan, saya membacanya dalam konteks seperti ini. Mengkhawatirkan sekaligus mengharukan.

Barangkali menjadi tetap relevan renungan Soekarno dalam Surat-surat Islam dari Ende (1964), "Islam harus berani mengejar zaman, bukan seratus tahun, melainkan seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali kepada Islam glory yang dulu, tidak kembali ke 'zaman chalifah', tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang-gemilang kembali. Kenapa toh kita selamanya dapat ajaran bahwa kita harus mengopi 'zaman chalifah' yang dulu-dulu? Sekarang toh tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?  "

Ke dalam
Sejatinya ada hal penting yang melampaui wadah itu, yaitu isi. Inilah yang disebut penghayatan iman. Beragama dengan segala imperatif etiknya sebagai modus pergumulan melakukan perbaikan diri tanpa mengenal henti. Untuk melonjakkan harkat kemanusiaan menuju marwahnya yang utuh. Beragama sebagai medium  merasukkan rasaning daif di hadapan kuasa Tuhan yang maha melintasi.

Iman yang menyuntikkan kesadaran lekas kembali kepada fitrah keyakinan itu yaitu kepasrahan (Islam) dan rawayan (jalan rohani) mencari kebenaran dalam semangat keterbukaan (hanif). Iman yang bersimpuh dalam keheningan mistik (mystic silence) menggetarkan sekaligus iman yang "hidup dalam kekudusan". " Iman yang nyalanya menerangi segala arah penjuru mata angin. Iman yang memandu suara hati untuk terus berada dalam hukum moral yang bertakhta pada palung batin (Kant) sehingga terwujud    gerak  selaras manusia dan roh dalam  api emansipasi dan kebebasan (Hegel).

Atau dalam istilah Cicero yang dikutip YB Mangunwijaya (1998), qui autem omnia quae ad cultum deorum partinerent, diligenter recractarent et tamquam relegerent, sunt dicti religiosi. Dalam ungkapan Amir Hamzah, iman sebagai dialektika nyanyian sunyi yang terkadang "Bertukar tangkap dengan lepas".

Asep  Salahudin,  Esais dan Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003288416
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Memaknai Mogok Dokter (JB Soebroto)

Oleh: JB Soebroto

BANYAK orang mengatakan,  profesi dokter adalah profesi mulia. Profesi yang kehadirannya dibutuhkan masyarakat setiap saat sehingga tidak selayaknya beraksi mogok.
Etika, disiplin, bahkan sumpah dokter pun berkata demikian. Maka, peristiwa pemogokan dokter yang dipicu kasus di Manado, Sulawesi Utara (yang mungkin baru pertama kali ini),  tentu membuat prihatin dan harus menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Kronologi
Tahun 2010 dr A mengoperasi persalinan Ny Y dan kemudian meninggal. Hasil otopsi menunjukkan bahwa Ny Y mengalami emboli udara saat proses melahirkan. Emboli menyumbat aliran darah yang menuju ke jantung dan paru.

Perhimpunan profesi setempat telah mengujinya dan  Pengadilan Negeri Manado membebaskan dr A. Namun, di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) menyatakan, dr A  bersalah dan menghukum penjara 10 bulan.

Dampaknya adalah pada Senin, 18 November 2013  , dokter berdemo. Kemudian para dokter kandungan atau spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG) melanjutkan mogok  selama tiga hari.

Sebagai  ilustrasi banding, puluhan tahun silam seorang dokter di sebuah puskesmas di Pati, Jawa Tengah, menyuntik pasien, terjadi syok anafilatik dan meninggal. Oleh Pengadilan Negeri dokter tersebut dinyatakan bersalah. Namun, MA kemudian menyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari hukum.

Dalam tata kelola regulasi praktik dokter, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dibuat untuk melindungi pasien, meningkatkan mutu pelayanan, dan adanya kepastian hukum.

Namun, para dokter sebenarnya sudah berupaya mengatur agar pelayanan kepada pasien diberikan dengan baik dan benar. Majelis Etik dibentuk untuk mengkaji etik dokter yang relatif  kabur.

Kemudian dibentuk pula Majelis  Disiplin yang bertugas mengkaji "pelanggaran" disiplin oleh dokter terhadap standar profesi (kewenangan, kompetensi),  standar pelayanan kesehatan (sesuai kondisi status rumah sakit), dan standar  prosedur penanganan jenis penyakit.  Dalam hal ini telah disusun  dan disosialisasikan  UUPK, peraturan pemerintah, permenkes, Konsil Kedokteran.

Mengapa pengadilan pengaduan pelanggaran standar semestinya lewat Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)?  Karena redaksional, prosedural, dan substansial kasus sering bersifat teknis sehingga sulit dipahami hakim  perdata ataupun pidana umum. MKDKI ibaratnya MA-nya dokter dengan  sanksi terberat pelanggaran disiplin berupa pencabutan izin praktik. Dengan demikian, pelanggaran disiplin profesionalisme tidak tepat masuk kategori  malapraktik.

Maka, IDI mengusulkan sanksi disiplin dalam UUPK yang hukumannya pidana dihapuskan. Demikian dan istilah standar diusulkan menjadi pedoman.

Meski demikian, dokter tetap dapat dipidanakan bila, misalnya, melakukan pelecehan seksual atau  aborsi. Yang bersangkutan bisa diserahkan ke pengadilan dengan  hukuman pidana. Inilah malapraktik yang konotasinya kesalahan atau kejahatan.

Di sisi lain setiap pasien meninggal tidak boleh dikonotasikan sebagai malapraktik, tetapi dikategorikan dalam kemungkinan adanya pelanggaran disiplin profesional. Ini berdasarkan asumsi bahwa tidak ada dokter yang dengan sengaja ingin mencelakakan pasien.

Ilmu dan pelayanan kedokteran sebenarnya upaya penyembuhan anugerah karena dalam prosesnya melibatkan Allah. Ilmu kedokteran dan dokter dengan demikian memiliki keterbatasan, jauh di bawah keagungan ketidakterbatasan Allah. Pada kasus yang memicu aksi mogok pekan ini, syok anafilaktik akibat emboli air ketuban adalah pengentalan darah saat operasi. Ini adalah kondisi yang tak dapat diprediksi dan diantisipasi.

Demikian pula halnya penanganan pasien dengan latar belakang penyakit lain atau kondisi tubuh rapuh atau berusia lanjut, yang dapat  meninggal bukan karena penyakit terkininya.

Perawatan terminal
Di sisi lain, perawatan terminal yang  bertujuan mengurangi penderitaan merupakan tugas mulia dokter, tidak boleh  dituntut hukum penyiksaan, pembunuhan terselubung ataupun terencana, praktik di luar kompetensi, atau melanggar hak mati.

Pelayanan dokter harus berorientasi patient safety; karenanya diperlukan informed consent, baik lewat komunikasi lisan, bahasa tubuh, maupun tertulis, secara timbal balik sesuai cara budaya dan bahasa populer setempat, yang mencakup penyakit, prosedur tindakan, dan risikonya. Hal ini tentu tidak mudah bagi kedua belah pihak; sehingga tidak-layaklah kesepakatan informed consent tertulis dipermasalahkan. Munculnya demo dan mogok dokter karena menyangkut masalah mendasar, substansi masa depan praktik  dokter, bahkan layanan kesehatan secara umum. Melengkapi pembelajaran kasus ini  apakah MA sudah berkonsultasi dengan MKDKI?

Semoga mogok dokter ini untuk yang pertama dan terakhir. Harapannya, seluruh  bangsa, baik dokter, masyarakat, maupun para penegak hukum, semakin cerdas dan bijaksana bersama menuju kemajuan bangsa!

JB Soebroto, Pengurus IDI, Perhuki, Persi; Direktur RS Puri Husada Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003424795
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA ”Cause Celebre” Dokter Ayu (Kompas)

KITA baca berita unjuk rasa dokter terhadap kolega yang diputus bersalah oleh MA karena menyebabkan kematian Julia Fransiska Makatey, April 2010.
Kasus yang menimpa dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, bersama Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian, mengenyakkan masyarakat, bukan saja karena munculnya kontroversi medikolegal, melainkan karena tingginya kadar emosi yang menyertai. Menyusul unjuk rasa, ada pelayanan rumah sakit yang terganggu, ada yang biasa saja.

Kita bisa melihat argumentasi tiap-tiap pihak, dalam hal ini yang tertuang dalam pertimbangan kasasi MA dan peninjauan kembali perkara. Argumen dari dokter kita dengarkan. Seperti disampaikan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, dokter sudah berupaya menyelamatkan pasien. Dokter Ayu diputus bebas di Pengadilan Negeri Manado.

Para dokter menilai putusan MA merupakan wujud kriminalisasi dokter. Banyak pula dikemukakan tambahan penjelasan teknis kedokteran, seperti Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Ali Baziad juga Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Medikolegal Budi Sampurna. Penjelasan itu, antara lain, (jika ada perkara kedokteran dibawa) di pengadilan pidana, seharusnya (pengadilan) mempertimbangkan saksi ahli.

Hakim Agung Artidjo Alkostar berpendapat, tidak ada satu profesi pun yang boleh di atas hukum. Artidjo bersama Dudu Duswara dan Sofyan Sitompoel berpendapat berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, hakim berkesimpulan ada kelalaian yang mengakibatkan orang lain meninggal. Falsafah lain yang dikemukakan kalangan dokter ialah tidak ada dokter yang berniat membunuh pasiennya.

Pada sisi lain, kita masih sering mendengar komentar terhadap dokter. Ada yang melayani ala kadarnya, kurang berempati, dan—seperti disinggung harian ini—komunikasi dengan pasien tidak cukup baik.

Pada zaman terbuka, semua soal bisa diverifikasi, termasuk kedokteran. Di sini, peran MKDKI sentral untuk menentukan ada tidaknya kesalahan dokter dalam menerapkan disiplin ilmu dan menetapkan sanksi disiplin. Kita memahami, sejumlah profesi, misalnya pilot dan wartawan, memiliki kode tata laku profesi yang bisa diterapkan manakala ada pelanggaran. Dulu kita mendengar protes saat pilot diadili. Sejumlah pihak berpandangan, tidak ada profesi yang imun terhadap sanksi, termasuk sanksi hukum.

Di sinilah kita perlu introspeksi. Sekali waktu, musibah tak terhindarkan. Namun, yang harus jadi prinsip adalah profesionalitas dalam menjalankan profesi. Meminjam semboyan pilot "langit itu luas, tetapi tidak ada ruang untuk kesalahan". Untuk profesi dokter, kita berharap— sebagaimana juga diharapkan orangtua Julia Fransiska— kasus ini menjadi pelajaran bagi para dokter.

Kita yakin lebih dari sekadar peninjauan kembali, ada semangat lain yang diperlihatkan para dokter, yakni terus meningkatkan pelayanan kepada kemanusiaan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003425790
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: China Jangan Bermain Api (Kompas)

PENETAPAN zona identifikasi pertahanan udara di Laut China Timur secara sepihak oleh China berpotensi menimbulkan konflik terbuka.
China mengharuskan setiap pesawat yang akan melintasi zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) melaporkan rencana penerbangan, menyebutkan asal negara, dan mempertahankan komunikasi radio. Bahkan, China mengancam akan mengambil "langkah defensif darurat" terhadap pesawat yang melintasi ADIZ tanpa melapor.

Penetapan ADIZ oleh China itu langsung ditentang Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, mengingat ADIZ itu mencakup wilayah yang juga diklaim ketiga negara itu. Amerika Serikat dan Australia juga memprotes penetapan ADIZ.

Senin (25/11), dua pesawat pengebom B-52 AS dengan sengaja melintasi ADIZ tanpa melapor lebih dulu kepada China. Otoritas China tidak memberikan respons atas pelanggaran yang dilakukan AS itu, kecuali mengatakan, telah memonitor pergerakan kedua pesawat AS itu. Pesawat militer Jepang dan Korea Selatan pun mengikuti jejak AS dengan terbang melintasi ADIZ tanpa melapor lebih dulu kepada otoritas China.

Lemahnya respons dari otoritas China itu membuat media massa di dalam negeri China menekan pemerintahnya untuk lebih tegas merespons pelanggaran atas ADIZ. "Kita gagal merespons tepat waktu dan ideal," tulis salah satu editorial media massa China.

Sementara itu, Jepang menegaskan sikapnya, tidak akan mematuhi penetapan ADIZ oleh China. "Kami tetap beroperasi dan berpatroli di Laut China Timur seperti biasa. Tidak ada rencana kami untuk mengubahnya," kata Ketua Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga, Kamis.

China bermain api dengan secara sepihak menetapkan ADIZ di Laut China Timur. Selain berpotensi menimbulkan konflik terbuka, penetapan ADIZ ini juga dapat mendorong hasrat Jepang untuk mengembangkan kemampuan militernya. Kekalahan Jepang dari Sekutu pada Perang Pasifik (1941-1945) membuat Konstitusi Jepang mengatur bahwa kemampuan militer hanya ditujukan untuk membela diri. Itu sebabnya, angkatan bersenjata Jepang dinamakan Pasukan Bela Diri Jepang.

Namun, agresivitas China di Laut China Timur memunculkan keinginan di kalangan Pemerintah Jepang untuk memperkuat angkatan bersenjatanya. Apalagi, Perdana Menteri Shinzo Abe dalam pemilihan umum berjanji akan menghadapi apa yang disebutnya sebagai agresivitas China di Laut China Timur.

Jepang yang memiliki militer yang kuat tak dapat diterima siapa pun. Pengalaman masa lalu mengingatkan kepada kita bahwa Jepang yang militeristis sangat berbahaya. Kita berharap China mau menahan diri dan tidak bertindak berlebihan di Laut China Timur.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003425297
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 29 November 2013

Tetap Optimistis Memberantas Korupsi ( Todung Mulya Lubis)

Oleh: Todung Mulya Lubis

KETIKA saya berceramah di Perhimpunan Masyarakat Amerika Serikat-Indonesia (US-Indonesia Society, Usindo) di Washington DC beberapa pekan silam, banyak yang skeptis akan keberhasilan memberantas korupsi di Indonesia.
Puncak pesimisme itu adalah ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum itu, Kepala BP Migas Rudi Rubiandini juga ditangkap KPK. Maka, munculnya pesimisme itu masuk akal dan manusiawi. Siapa yang menduga MK yang selama ini dianggap bersih dan berwibawa akhirnya terjerat kasus korupsi juga. Bahkan tidak tanggung-tanggung, yang terlibat justru ketuanya.  

Sudah ratusan koruptor diciduk KPK, dan sebagian besar sudah meringkuk di penjara. Mereka adalah gubernur, bupati, wakil wali kota, menteri, komisioner, kepala badan, dan anggota-anggota DPR, baik daerah maupun pusat.

Sampai tahun 2012, KPK sudah menangani 283 kasus korupsi. Dari 283 kasus korupsi ini, terbanyak adalah kasus penyuapan (bribery) dan pengadaan barang dan jasa (procurement). Selebihnya adalah penyalahgunaan APBN/APBD, gratifikasi, dan pemerasan. Terakhir ada juga kasus yang berbau penggunaan pengaruh kekuasaan atau trading in influence, seperti kasus kartel daging sapi impor.

Sebetulnya dengan jumlah sebanyak ini, kita mesti bangga bahwa untuk pertama kali dalam sejarah negeri ini ada sekian banyak kasus korupsi yang diseret ke pengadilan. Pada 32 tahun Orde Baru, kasus korupsi yang sampai ke pengadilan bisa dihitung dengan jari.

Jadi, meski harapan begitu tinggi, kita mesti juga menyadari bahwa pemberantasan korupsi butuh waktu yang panjang. Korupsi yang sudah systemic, endemic, dan widespread, seperti kata Transparency International, tak akan mudah diberantas hanya dalam kurun waktu singkat, apalagi KPK baru efektif bekerja pada tahun 2003.

Tutup mata 
Penting untuk mengingat bahwa dulu korupsi dianggap bisa ditoleransi, baik dari segi budaya maupun ekonomi. Tak kurang dari ilmuwan ternama, Samuel Huntington, mengatakan bahwa korupsi bisa berperan sebagai minyak pelumas (lubricant, grease) dari pertumbuhan ekonomi di mana birokrasi yang lamban bisa digenjot. Malah ada yang menggunakan istilah functional corruption.

Para teknokrat kita saat itu bukan tak menyadari, melainkan secara sadar setengah menutup mata karena angka pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi. Para teknokrat kita waktu itu terbantu iklim kebebasan pers yang terkungkung ancaman pembredelan oleh pemerintah. Alhasil, semua korupsi menemukan lahan yang subur sehingga korupsi diterima sebagai norma. Korupsi bukanlah kekecualian.

 Tak heran jika para pengusaha waktu itu memasukkan korupsi sebagai bagian dari komponen investasi. Bentuknya bisa saham kosong, nepotisme dan kolusi dalam berbagai pengadaan, atau keuntungan yang dialirkan ke sejumlah badan sosial.

 Dalam literatur mengenai korupsi yang jumlahnya sudah puluhan ribu karena studi mengenai korupsi sudah marak sejak 1980-an, ada yang membuat klasifikasi korupsi dengan menggunakan warna.  Arnold J Heidenheimer banyak menulis persoalan korupsi, membagi korupsi dalam tiga warna: korupsi hitam (black corruption), korupsi putih (white corruption), dan korupsi abu-abu (grey corruption).

Korupsi hitam adalah korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, merusak perekonomian, dan tak bisa dibenarkan apa pun alasannya. Korupsi putih adalah korupsi yang fungsional dan memberi dampak positif sehingga masih bisa ditoleransi. Adapun korupsi abu-abu adalah korupsi yang berada di antara kedua korupsi tersebut.

Celakanya, banyak korupsi yang masuk kategori korupsi abu-abu di mana para penguasa dan koruptor bisa bermain-main. Di sini kontrol terhadap kekuasaan dan media ikut menentukan perubahan dari korupsi abu-abu menjadi korupsi yang masuk kategori putih.

Di negara otoriter, hal ini dengan gampang bisa dilakukan karena di situ masyarakat sipil antikorupsi tak berfungsi optimal. Mentalitas banyak orang Indonesia masih di lingkar di mana mereka merasa bisa mengubah korupsi yang mereka lakukan, hitam atau abu-abu, menjadi korupsi putih. Karena itu angka korupsi tidak pernah turun.

Setiap hari media kita terus sibuk dengan berita mengenai korupsi. Dan memang kita dikejutkan oleh berita korupsi yang sering mencengangkan kita semua. Orang yang selama ini kita anggap terhormat dan saleh tiba-tiba tertangkap tangan karena korupsi. Orang-orang yang sering berpidato untuk penegakan hukum tiba-tiba menjadi tersangka korupsi.

Rupanya ratusan orang yang sudah dihukum sebagai koruptor tak membuat orang jera untuk korupsi. Anehnya mereka semua tahu bahwa transaksi melalui elektronik itu bisa dilacak oleh PPATK, tetapi tetap saja mereka menggunakan modus tersebut.

Jadi, kita sering tak bisa memahami kecerdasan para koruptor yang nekat korupsi dengan uang tunai dan transaksi perbankan. Intelektualitas mereka sudah bebal. Mereka menganggap bahwa hanya orang-orang sial yang akan tertangkap. Buktinya masih banyak yang terus korupsi dan tak tertangkap.

Mudah lupa
Mereka hanya gemetar ketika melihat seseorang tertangkap dan diberi baju tahanan muncul di koran dan layar televisi. Namun, seminggu kemudian, mereka lupa dan korupsi lagi. Korupsi itu seperti opium, malah ada yang mengatakannya sebagai sexual deviance.

 Kita semua menginginkan KPK lebih berhasil lagi dalam memberantas korupsi. Angka 283 kasus korupsi, seperti yang dilaporkan dalam Laporan Tahunan KPK 2012, memang bukan angka yang besar jika dibandingkan dengan angka kasus korupsi di China yang jumlahnya sudah puluhan ribu, melainkan angka itu cukup signifikan.

Pesimisme bahwa KPK akan berhasil harus dicatat sebagai cambuk untuk bekerja lebih keras lagi, tetapi jangan biarkan diri kita tidak percaya bahwa pemberantasan korupsi tersebut akan berhasil.

Italo Pardo dalam buku Between Morality and the Law menulis  hal yang sangat bagus, " a belief in the prevalence of corruption is corrupting in its own right". 

Kita harus percaya bahwa korupsi bisa diberantas. Membiarkan diri kita percaya bahwa korupsi itu biasa dan merajalela adalah juga sebuah korupsi.

 Todung Mulya Lubis, Fellow, Ash Center, Harvard Kennedy School; Anggota International Bar Association (IBA)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003376242
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pesan dari Putusan Angie (Saldi Isra)

Oleh: Saldi Isra

TIDAK ada lagi senyum bahagia Angelina Sondakh seperti beberapa saat setelah pembacaan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, (10/1/2013).
Ketika itu, sekalipun dinyatakan bersalah, wajah mantan politisi Partai Demokrat ini berbinar-binar dan tanpa guratan sedih sama sekali karena "hanya" divonis majelis hakim 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta.

Namun, sekitar sepuluh bulan kemudian, situasi berubah 180 derajat. Angelina Sondakh (Angie) harus menerima kenyataan pahit: majelis hakim kasasi memperberat hukumannya dari 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta. Tak sebatas mengembalikan kepada tuntutan jaksa, majelis hakim kasasi menjatuhkan pula pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS.

Seperti dilansir Kompas (21/11/2013), salah satu dasar pertimbangan majelis kasasi yang terdiri dari Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Mohammad Askin menjatuhkan hukuman berat ini adalah Angie dinilai aktif meminta dan menerima uang terkait dengan proyek di sejumlah kementerian negara. Dari pertimbangan itu, putusan ini mengonfirmasi berita yang telah terbentang sejak lama, Angie merupakan salah satu tokoh kunci proyek di Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Dari beragam perspektif, putusan kasasi Angie jelas memiliki semangat yang berbeda dengan beberapa vonis korupsi yang terasa hambar. Bahkan, dibandingkan dengan beberapa putusan korupsi di tingkat kasasi yang juga ada pemberatan, vonis kasasi Angie memiliki pesan yang tegas dan jelas. Karena itu, tak terlalu berlebihan jika banyak pihak memberikan apresiasi luar biasa terhadap putusan ini.

Namun, kalau dilihat secara utuh konstruksi Pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, putusan kasasi Angie akan memiliki lompatan luar biasa besar jikalau majelis hakim juga memberikan hukuman tambahan dengan mencabut hak-hak tertentu Angie, misalnya, hak untuk mendapatkan remisi. Terlepas dari hal itu, mampukah semua pihak membaca pesan di balik putusan Angie?

Jerat yang lain
Pesan pertama putusan kasasi ini, proses hukum harus mampu membuktikan dapat menjangkau dan mengungkap secara tuntas semua jejaring yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan Angie. Alasannya amat sederhana, kejahatan ini terjadi tidak mungkin dilepaskan dari posisi Angie sebagai politisi di komisi yang langsung membawahkan kedua kementerian negara di atas. Karena itu, tindakan penyelewengan yang dilakukan pasti tidak sendiri.

Dalam batas penalaran yang wajar, tindakan Angie hampir dapat dipastikan melibatkan pihak lain di komisi yang bermitra dengan kedua kementerian tersebut. Karena itu, agar logika penegakan hukum berjalan linear, penyidikan harus mampu menjerat pihak lain yang menjadi bagian dari jejaring Angie. Bagaimanapun, manuver Angie "menggoreng" anggaran di DPR sulit berjalan mulus tanpa dukungan politisi lain.

Bukan hanya kemampuan menjangkau politisi lain, proses hukum harus pula mampu mengendus kemungkinan keterlibatan sejumlah pihak di Kementerian Pendidikan Nasional serta di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Sebagai kejahatan yang merupakan hasil kerja kolektif, pengaturan proyek tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan mitra kerja di pemerintah. Alasannya sederhana, pembahasan anggaran di DPR, persetujuan harus diberikan pemerintah dan DPR. Pertanyaan mendasarnya: bisakah politisi bermain sendiri tanpa "membangun" mitra dengan pemerintah?

Untuk mendukung logika di atas, ketika tahap-tahap awal penegakan hukum skandal ini, terkuak fakta keterlibatan sejumlah perguruan tinggi menerima kucuran dana dari manuver Angie. Bahkan telah pula diketahui, beberapa pimpinan  dari perguruan tinggi menjadi tersangka. Namun, proses hukum sebagian perguruan tinggi yang pernah dinyatakan menerima faedah dari manuver Angie mengalami kelumpuhan total. Selain itu, penegakan hukum pun enggan menelusuri kemungkinan adanya peran sejumlah pihak di Kementerian Pendidikan Nasional. Hal yang sama harus pula dilakukan di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Bukan hanya itu, penelusuran kepada pihak lain yang tidak kalah pentingnya dilakukan adalah kemungkinan keterkaitan dan peran Partai Demokrat. Sebagai salah seorang figur dengan posisi sentral dalam partai politik peraih suara terbesar dalam Pemilu 2009, putusan kasasi Angie seharusnya dimaknai pula sebagai amanat kepada KPK untuk menelusuri lebih jauh dan lebih serius kemungkinan keterlibatan Partai Demokrat dan sejumlah elitenya di tengah pusaran korupsi yang melibatkan Angie.

Mengkhianati UUD 1945
Skandal korupsi yang dilakukan Angie membuktikan satu hal: mereka yang diberikan mandat untuk mengelola negara, tanpa merasa takut, menggadaikan kewenangan yang diberikan kepadanya. Terkait dengan fakta itu, pesan berikutnya dari putusan Angie: mereka yang menggadaikan atau memperdagangkan kewenangan harus dijatuhi hukuman berat. Dengan hukuman berat, mereka yang memperoleh mandat yang sama harus berhitung kembali untuk menyalahgunakan kewenangan yang ada.

Dalam skandal Angie, mantan elite Partai Demokrat ini "menggoreng" sedemikian rupa otoritas yang dimiliki anggota DPR dalam penyusunan keuangan negara via APBN. Jamak diketahui, penyusunan APBN membuka celah terjadinya penyimpangan. Misalnya, Pasal 157 Ayat (1) Huruf c UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; serta Pasal 15 Ayat (5) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara menyediakan ruang bagi anggota DPR membahas RAPBN secara terperinci alias sampai Satuan 3. Bahkan, kesempatan untuk memblokir (perbintangan) anggaran dalam Pasal  71 Huruf (g) dan Pasal 156 Huruf a, b UU No 27/2009 potensial "digoreng" untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Pesan memberikan vonis berat tidak hanya karena alasan mengingkari amanah rakyat, tetapi juga karena tindakan tersebut merupakan pengingkaran serius terhadap amanah UUD 1945. Sebagai lembaga yang diberikan fungsi pengawasan, pembahasan, dan persetujuan dalam penyusunan RAPBN, anggota DPR harus dimaknai secara tepat. Salah satu pemahaman tersebut, peran dan keterlibatan DPR dalam pembahasan dan persetujuan RAPBN mesti dimaknai sebagai pintu masuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan keuangan negara.

Sesuai dengan pemahaman ini, ketika kesempatan ikut membahas dan menyetujui RAPBN dimanfaatkan sedemikian untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok, para penyusun APBN dapat dikatakan mengingkari secara nyata amanat konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 23 UUD 1945 secara eksplisit mengamanatkan bahwa pengelolaan keuangan negara dilakukan secara bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Merujuk pertimbangan majelis hakim kasasi, bentuk pengingkaran nyata amanat konstitusi dapat dilacak dari tindakan aktif Angie meminta fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari nilai proyek. Kemudian disepakati, fee ini menjadi 5 persen yang harus sudah diberikan 50 persen saat pembahasan anggaran dan 50 persen (sisanya) saat DIPA turun (Kompas, 21/11/2013). Secara sederhana, jelas Angie melakukan upaya sistemastis dan terencana menggeser tujuan agung UUD 1945 menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi keuntungan pribadi/golongan.

Memiskinkan koruptor
Bagi kalangan hakim sendiri, putusan kasasi Angie memberikan pesan teramat jelas: dalam memutus kasus yang merugikan keuangan negara, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan. Dalam putusan ini, hakim kasasi menegaskan bahwa pengadilan tingkat pertama dan banding terkesan enggan menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti dengan alasan uang yang diterima Angie berasal dari swasta dan bukan dari keuangan negara. Pada batas-batas tertentu, putusan ini harus dibaca sebagai kritik terbuka hakim kasasi terhadap hakim pengadilan negeri dan pengadilan banding yang gagal memaknai secara tepat ketentuan Pasal 17 dan 18 UU No 31/1999 juncto UU No 20/2002.

Boleh jadi, cara berpikir seperti itu pula yang mendorong sebagian besar hakim di semua jenjang peradilan gagal menjatuhkan hukuman berat dan pidana tambahan bagi pelaku korupsi. Sejauh ini, putusan pengadilan terhadap pelaku korupsi hanya berada pada kisaran 3 tahun 6 bulan penjara. Untuk sebuah kejahatan yang berpotensi menghancurkan perekonomian dan masa depan, kisaran hukuman yang terbilang ringan ini terasa hambar dan nyaris kehilangan pesan di tengah ancaman korupsi yang mendera negeri ini.

Karena itu, banyak kalangan berharap putusan kasasi Angie mampu mengubah cara pandang hakim dalam memutus kasus korupsi. Di antara cara pandang yang didorong adalah memberikan hukuman maksimal dengan maksud memberikan efek jera. Tidak hanya sekadar mendorong, ketika korupsi dianggap sebagai kejahatan serius, secara yuridis, UU No 31/1999 memberikan ruang untuk menjatuhkan pidana maksimal. Bahkan, terlepas dari kontroversi hukuman mati, sebagai bagian dari desain penjeraan, UU No 31/1999 memberi ruang untuk menjatuhkan hukuman mati.

Namun yang paling mendasar, putusan kasasi Angie tidak hanya mendorong untuk menjatuhkan pidana maksimal, tetapi juga mendorong untuk memiskinkan koruptor. Terkait dengan hal ini, dalam "Memiskinkan Koruptor" (Kompas, 12/3/2012) dikemukakan bahwa menilik kecenderungan yang ada, salah satu motivasi orang melakukan korupsi adalah karena mereka takut hidup miskin. Bahkan, bagi seorang politisi, melakukan korupsi menjadi salah satu cara untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan pilihan memiskinkan, koruptor harus siap menghadapi risiko paling buruk dan sekaligus kehilangan otoritas politik secara mengenaskan.

Melacak semangat ini, putusan kasasi Angie dapat dikatakan sebagai langkah berani hakim melakukan kombinasi antara pidana berat (maksimal) dan pilihan memiskinkan koruptor. Karena itu, hakim di semua tingkat peradilan harus mampu membaca secara tepat pesan di balik putusan kasasi Angie. Bahkan, untuk dapat menjadi momok yang menakutkan, kombinasi hukuman kasasi Angie masih mungkin ditambah dengan mencabut beberapa hak terpidana korupsi, seperti hak untuk mendapatkan remisi. Di atas itu semua, yang jauh lebih penting, kombinasi pidana maksimal dan pilihan memiskinkan koruptor tak boleh berhenti hanya sampai putusan kasasi Angie. Putusan serupa harus jadi semangat baru untuk menghentikan laju praktik korupsi yang kian masif. Apalagi, di depan kita, banyak kasus korupsi dilakukan penyelenggara negara yang menunggu bukti lebih lanjut untuk menularkan pesan di balik putusan kasasi Angie.

Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003359783
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rapuhnya Ketahanan Energi (PRI AGUNG RAKHMANTO)

Oleh: PRI AGUNG RAKHMANTO  

KETIKA banyak elite dan penyelenggara pemerintahan sering menyebut bahwa ketahanan energi nasional akan semakin kuat, sebenarnya saya agak bingung dan miris mendengarnya.
Bingung, karena semakin kuat dapat diinterpretasikan bahwa ketahanan energi nasional saat ini sudah (cukup) kuat. Miris, karena dalam kenyataannya kondisi yang ada justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya, yaitu semakin lemah.

Lebih bingung dan miris lagi karena beberapa fakta yang ada menunjukkan bahwa kita bahkan seperti negara yang sama sekali tidak memiliki kesungguhan dalam memikirkan dan membangun ketahanan energi.

Cadangan minyak strategis
Dalam hal sumber energi primer utama dunia, minyak bumi, untuk mengantisipasi potensi gangguan suplai, negara-negara yang betul-betul memikirkan dan membangun ketahanan energi pada umumnya memiliki fasilitas penyimpanan minyak mentah (strategic petroleum reserves/SPR). Amerika Serikat saat ini memiliki SPR dengan kapasitas 727 juta barrel, atau lebih kurang setara dengan 60 hari impor neto minyak mentah AS yang mencapai 12 juta barrel per hari.

Jepang memiliki SPR tidak kurang dari 583 juta barrel atau lebih kurang setara dengan 115 hari total konsumsinya. China dan India, dua negara Asia yang kini tumbuh pesat, memiliki SPR masing-masing tidak kurang dari 281 juta barrel dan 37 juta barrel. China merencanakan terus memperbesar kapasitas SPR-nya hingga 684 juta barrel atau setara dengan 90 hari total konsumsinya pada 2020. India juga serupa, menargetkan kapasitas SPR menjadi 132 juta barrel pada tahun 2020.

Negara-negara yang tergabung dalam International Energy Agency (IEA) dan Uni Eropa, yang mayoritas bukan merupakan produsen minyak, sejak tahun 2001, telah mewajibkan anggotanya untuk memiliki SPR dengan kapasitas setara dengan 90 hari impor neto mintak mentah mereka.

Kita, yang sering mengaku sebagai negara produsen minyak dan pertumbuhan ekonominya diklaim mengimbangi China dan India, sama sekali tak memiliki SPR. Yang ada hanya tangki-tangki penampungan minyak mentah sementara sebelum diolah di kilang domestik ataupun menunggu diangkut pembeli dari luar negeri. 

Pengimpor BBM terbesar
Dalam hal energi final utama, bahan bakar minyak (BBM), pada saat negara-negara lain berlomba mencukupi kebutuhan sendiri dengan menambah kapasitas kilang ataupun dengan menekan konsumsi melalui diversifikasi sumber energi lain, kita malah semakin "rajin" mengimpor dan "siap" menjadi negara pengimpor BBM terbesar di dunia.

Pada September lalu, dalam sebuah laporannya, Wood Mackenzie menyebutkan status Indonesia sebagai negara pengimpor BBM terbesar dunia akan terjadi pada 2018. Defisit BBM–dan oleh karena itu, impor BBM–Indonesia akan melampaui gabungan defisit BBM AS dan Meksiko. Laporan itu menyebutkan defisit BBM Indonesia akan terus meningkat dari 340.000 barrel per hari menjadi 420.000 barrel per hari. Sementara defisit AS-Meksiko pada kurun yang sama akan turun dari 560.000 barrel per hari menjadi hanya 60.000 barrel per hari dan kemudian surplus pada tahun berikutnya.

Patut dicatat bahwa angka defisit dari Wood Mackenzie itu sebenarnya terlalu kecil. Realisasi impor BBM pada 2012 lalu tercatat sudah mencapai 537.000 barrel per hari. Itu berarti tidak perlu menunggu 2018 kita sudah akan bisa menjadi pengimpor BBM terbesar di dunia.

Indikator yang lain tentu masih banyak. Dua hal di atas, SPR dan kilang, barangkali juga masih terlalu "canggih" untuk dipakai sebagai contoh. Yang lebih sederhana, mungkin adalah pasokan listrik dari infrastruktur yang sudah ada. Ini pun rasanya tak bisa diandalkan dengan seringnya terjadi pemadaman (bergilir) di banyak wilayah di Indonesia, termasuk di Jabodetabek.

Dengan kata lain, ketahanan energi nasional yang kita miliki sebenarnya masih sangat rapuh. Hal paling mendasar, yaitu keamanan pasokan energi, masih sangat rentan terhadap beragam potensi gangguan, baik dari aspek teknis-ekonomi, sosial-politik, apalagi geopolitik. Jadi, kalau ada yang mengatakan ketahanan energi nasional kita saat ini (sudah) kuat, menurut saya itu 3.000 persen bohong.

PRI AGUNG RAKHMANTO, Dosen FTKEUniversitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003128083
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Sulit Berharap pada KTM WTO Bali (Kompas)

SEPERTI sudah diduga, pertemuan Geneva sebagai pertemuan terakhir yang menyiapkan kerangka kesepakatan untuk KTM IX WTO Bali menemui deadlock.
Konsekuensinya, semakin sulit berharap akan ada keajaiban, berupa progres signifikan pada KTM IX Bali.

Sejumlah pihak sebelumnya skeptis KTM IX WTO di Bali akan berhasil membuat terobosan atas negosiasi Putaran Doha yang deadlock sejak 2008. Sikap itu timbul karena hingga beberapa hari sebelum KTM Bali belum ada kesepakatan terkait sejumlah isu yang menjadi ganjalan.

Isu itu di antaranya terkait subsidi pangan yang jadi ganjalan antara India dan AS. Indonesia bersama anggota WTO lain sebelumnya sudah menyiapkan Paket Bali yang diharapkan bisa disepakati di Bali. Paket yang meliputi tiga komponen—fasilitasi perdagangan, proposal perjanjian di bidang pertanian, dan paket terkait pembangunan negara terbelakang—ini diharapkan bisa membuka deadlock perundingan Putaran Doha di WTO.

Namun, dengan perkembangan terakhir di Geneva, sulit berharap terjadi keajaiban di Bali. Gagal dicapainya progres di Bali membuat kredibilitas WTO dan kepercayaan terhadap sistem perdagangan multilateral kian terpuruk.

Sebagai akibat buntunya Putaran Doha, banyak negara memilih menempuh kesepakatan perdagangan bebas (FTA) bilateral atau regional. Maraknya FTA bilateral/regional ini dikhawatirkan akan semakin membuat ruwet rezim perdagangan global dan berbenturan satu sama lain. Terus berlarutnya deadlock Putaran Doha disinyalir mengakibatkan hilangnya pula potensi peningkatan ekonomi global hingga 1 triliun dollar AS.

Sentimen di dalam negeri Indonesia sendiri tak menghendaki ada kesepakatan baru di Bali yang bisa menyeret Indonesia dalam komitmen liberalisasi pasar lebih jauh, terutama di tengah kian meningkatnya ketergantungan pada pangan impor dan kian membengkaknya defisit neraca perdagangan, termasuk pangan.

Sudah pengetahuan umum, liberalisasi yang digulirkan sejak GATT tak membuahkan manfaat merata di antara negara maju dan berkembang. Sejumlah penelitian menunjukkan, liberalisasi kebablasan justru mengakibatkan kian terjerumusnya sejumlah negara berkembang dalam kemiskinan dan ketergantungan pada negara maju. Namun, harus diakui pula, pasar yang lebih terbuka membuat banyak negara berhasil melakukan lompatan ekonomi.

Putaran negosiasi perdagangan multilateral di WTO hanya akan kembali bisa dibangkitkan jika ada take and give. Dengan ekonomi global dalam kondisi sulit saat ini, banyak negara memilih memprioritaskan kepentingan dalam negeri dan enggan memberi konsesi yang hanya akan kian melemahkan posisinya di forum global. Meski, risikonya ini berdampak negatif pada prospek pertumbuhan volume perdagangan dan ekonomi dunia. Selama itu tidak terjadi, maka sia-sia berharap ada terobosan di Bali.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003408607
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Urusan Guru Ditangani Pusat (Kompas)

PUSAT akan menangani guru dan tenaga kependidikan. Mulai dari perekrutan, pembinaan, distribusi, hingga penyaluran tunjangan sertifikasi.

Dimulai dari revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menghambat pengelolaan pendidikan. Rencana itu perlu kita dukung.

Banyak permasalahan guru, termasuk guru di daerah. Permasalahan itu mulai dari keterlibatan guru dalam politik praktis, pengangkatan yang didasarkan atas kepentingan pemenangan pilkada—tingkat provinsi sampai kabupaten—dan bukan atas profesionalitas kependidikan, melainkan ketidaktahuan atau ketidakpedulian pemerintah daerah terhadap profesi guru dan tenaga kependidikan. Seloroh sinis, di daerah ada seorang kepala dinas pendidikan digantikan mantan kepala dinas pemakaman, bukan sesuatu yang mengada-ada.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan dalam sambutan peringatan Hari Guru Nasional 2013, Rabu. Guru jangan ditarik-tarik dalam kegiatan politik praktis. Berikan kesempatan guru menjalankan tugas sebaik-baiknya, jangan melibatkan mereka dalam kepentingan politik kekuasaan. Sebaliknya, guru pun diminta teguh memegang netralitas. Keterlibatan dalam politik praktis atau keterpaksaan untuk kepentingan kekuasaan, kita catat dua hal penting dan strategis menyangkut profesionalitas guru dan tenaga kependidikan.

Kesempatan dan kemungkinan itu berpotensi lebih mudah terjadi di daerah, dalam bentuk seperti pengangkatan guru atau jabatan struktural yang tidak mempertimbangkan faktor kompetensi kependidikan yang bersangkutan hingga penarikan tenaga guru dan tenaga kependidikan dalam proses kampanye menjelang pemilu.

Pelibatan guru di daerah dalam proses politik praktis di daerah perkotaan barangkali tidak sejelek di daerah, utamanya di daerah yang masih menempatkan profesi kependidikan sebagai orang kunci dan terhormat dalam masyarakat. Dengan jumlah pegawai negeri sebagian besarnya tenaga kependidikan, menangani secara benar sesuai hak mereka, satu langkah maju reformasi birokrasi di lembaga birokrasi, utamanya Kemdikbud.

Penanganan tenaga kependidikan, utamanya guru, di daerah sering terlambat. Faktor administrasi dan ketidakpedulian pemda memengaruhi kecepatan dan keterlambatan. Tersendatnya penyaluran tunjangan profesional guru di daerah pada 2008-2012 sebesar Rp 11,7 triliun, yang dilansir media belum lama ini, contoh lain ketidakpedulian penghormatan bagi pemegang profesi keguruan.

Saran kita, jangan selesai dengan akan atau rencana. Butuh langkah terjadwal dan targetnya. Kalau kunci penghambat ada di UU, langkah pertama bereskan aturannya. Menangani permasalahan guru yang nyaris klasik perlu keluar dari pola pikir business as usual atau kata kunci teknisnya out of the box, bagian dari mendesaknya dilakukan reformasi birokrasi, utamanya di Kemdikbud.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003406626
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 28 November 2013

Kebudayaan dan Antisipasi (Ignas Kleden)

Oleh: Ignas Kleden

KALAU dikaji agak mendalam, akan kelihatan bahwa antisipasi dan sikap reaktif merupakan dua watak dasar dalam suatu kebudayaan.
Kebiasaan untuk melakukan antisipasi muncul dari pengandaian (eksplisit atau laten) bahwa dalam tiap keadaan, rencana, dan program akan selalu muncul kesulitan, hambatan, dan masalah yang sepatutnya dihadapi dengan semacam persiapan. Kesiapan menghadapi perkiraan tentang masalah dan kesulitan yang bakal muncul dilakukan dengan mengalkulasi beberapa jenis masalah berdasarkan kategori yang disusun untuk keperluan ini, dan sekaligus menyiasati sejumlah ikhtiar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu apabila benar-benar muncul.

Pertama, masalah dapat muncul dari pelaksanaan suatu program atau kebijakan sekalipun program itu dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana. Hampir selalu muncul akibat-akibat yang tak sengaja dan tak terduga dari pelaksanaan suatu program. Sosiologi menyebutnya unintended results atau akibat yang muncul di luar rencana. Pelaksanaan otonomi daerah sejak Januari 2001 dimaksudkan untuk mengurangi sentralisme kekuasaan pemerintah pusat dan desentralisasi pemerintahan ke daerah, melalui delegasi wewenang yang lebih besar kepada kepala daerah (bupati atau wali kota).

Akibat yang tak diduga ialah penerapan otonomi daerah kemudian mengakibatkan menguatnya sentimen-sentimen kedaerahan, baik menurut garis etnis, garis wilayah, garis agama, maupun garis kekerabatan. Konflik-konflik sosial dalam banyak pilkada telah turut disulut oleh sentimen-sentimen ini.

Kedua, masalah dapat muncul karena sebuah program atau kebijakan diselewengkan melalui sejumlah intervensi dalam pelaksanaannya. Pemilihan kepala daerah secara langsung tentu dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat lokal untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi dan harapan mereka dan tingkat keterpilihannya dapat mereka pengaruhi melalui suara yang mereka berikan dalam pemilihan. Dengan kata lain, memberi peranan lebih besar kepada partisipasi politik masyarakat setempat. Namun, dalam pelaksanaan, partisipasi pemilih itu dikacaukan penggunaan uang untuk menyogok para pemilih, dengan akibat pemilih menjadi tidak bebas dalam memberikan suara, dan tidak memilih pemimpinnya menurut pertimbangan dan hati nurani mereka.

Ketiga, masalah dapat juga timbul karena muncul perkembangan baru yang memengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan dan program, yang disusun pada waktu perkembangan baru itu belum terjadi. Contoh yang paling mutakhir ialah berubahnya banyak kerja sama dalam hubungan Indonesia–Australia, dalam bidang diplomasi, politik, ekonomi, dan pertahanan setelah terungkap penyadapan telepon Presiden Indonesia dan beberapa petinggi RI lainnya pada 2009 oleh pihak intelijen Australia.

Antisipasi dan kesiapan
Orang-orang yang terbiasa pada antisipasi terbiasa juga menghitung dan membayangkan masalah dan kesulitan yang mungkin muncul dalam pelaksanaan suatu program serta menanggapinya sebagai hal yang tidak luar biasa dan tidak harus mengejutkan, tetapi patut dihadapi dengan ikhtiar yang sepadan. Inilah sebabnya monitoring dan evaluasi selalu ditetapkan sebagai bagian penting dalam manajemen suatu proyek. Monitoring berfungsi melihat berhasil atau gagalnya suatu proyek pada tingkat implementasinya, sementara evaluasi melihat kelayakan proyek itu berdasarkan kebutuhan yang ada, kemungkinan yang tersedia, dan hambatan-hambatan yang timbul, bukan saja secara teknis, melainkan juga secara strategis dan mungkin juga politis. Yang satu mengecek doing things right, yang kedua memeriksa doing the right things.

Sebaliknya, tidak kurang pula orang-orang yang lebih cenderung tidak melihat masalah, acuh terhadap kesulitan yang timbul, dan mengandaikan bahwa program akan berjalan mulus dan lancar, selama dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah disusun. Sikap ini dapat dilihat dalam kebiasaan untuk memulai suatu proyek dengan ritual yang meriah, yang dihadiri pejabat-pejabat tinggi dan rendah, yang memperlakukan awal suatu kerja besar bagaikan perayaan ulang tahun, yang penuh karangan bunga dan tepuk tangan disertai kehangatan ciuman pipi kiri dan kanan.

Kebiasaan memulai pekerjaan besar dengan suasana yang riuh rendah dan bukan dengan penuh kehati-hatian, perhitungan dan kesiapan menghadapi rintangan, merefleksikan semacam alam pikiran, di mana kesulitan dan masalah tidak ditanggapi sebagai sesuatu yang normal dan harus diterima dengan wajar dan waras, tetapi merupakan penyimpangan atau deviasi dari rencana yang seharusnya berjalan serba mulus. Masalah dan kesulitan tidak dilihat sebagai bagian dari pelaksanaan program, tetapi sebagai keadaan eksternal yang tidak normal, dan bahkan merupakan contingency yaitu keadaan tak pasti yang muncul mendadak secara serba kebetulan.

Untuk mudahnya, bisa dikatakan, kelompok pertama memasukkan antisipasi dalam sikap budaya mereka, sedangkan kelompok kedua cenderung hanya bersikap reaktif terhadap keadaan yang dikiranya muncul mendadak dan kebetulan. Dilihat dalam perspektif waktu, mereka yang berantisipasi mempunyai mekanisme kejiwaan untuk melihat hidupnya pada masa sekarang selalu dalam hubungan erat dengan masa depan, dan dampak masa depan terhadap keadaan sekarang. Sebaliknya, mereka yang memandang hidupnya tanpa persoalan cenderung membatasi perhatiannya pada masa sekarang saja, sedangkan masa depan berada jauh di luar masa sekarang dan tidak banyak sangkut pautnya dengan masa sekarang.

Dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia, ada beragam contoh yang memperlihatkan dengan cukup jelas sikap tanpa antisipasi dan kebiasaan untuk memberikan reaksi sekadarnya apabila memang muncul masalah dalam pelaksanaan program atau kebijakan.

Dalam kaitan ini, sangat mungkin bahwa kepemimpinan Jokowi-Ahok di DKI Jakarta mendapat banyak dukungan dan simpati karena keduanya, secara sengaja atau tidak, telah mengubah kebiasaan pemerintah yang hanya reaktif terhadap masalah yang timbul, melalui antisipasi yang terukur dan diperhitungkan dalam rencana dan kinerja mereka.

Masalah banjir umpamanya telah muncul selama puluhan tahun di Jakarta, tetapi Pemerintah DKI seperti kelabakan setiap kali menghadapinya, dan akhirnya menyerahkan saja kepada warga untuk menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing. Bagi orang yang bukan ahli pun sudah jelas antisipasi apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi masalah banjir. Memang, banjir di Jakarta adalah masalah amat besar yang perlu ditangani dengan kebijakan nasional dan dukungan pemerintah pusat. Namun, kalau banjir belum bisa dihentikan segera, ada banyak hal lain yang dapat dilakukan untuk memperkecil akibatnya dan mengurangi risiko yang menimpa penduduk.

Pemerintah Jokowi-Ahok membaca situasi itu dengan baik dan mengambil tindakan yang langsung dirasakan manfaatnya oleh penduduk Jakarta. Tanpa banyak pidato mereka mengamankan daerah penyerapan hujan, seperti Pluit, setelah berhasil membujuk penduduk pindah ke tempat baru yang disediakan Pemerintah DKI. Ini dilakukan dengan tegas, tetapi sopan.

Gorong-gorong dibersihkan dan diperlebar, serta sungai dan kali digali, diperdalam dan diperlebar, yang semuanya dilakukan dalam dialog yang terus-menerus dengan penduduk Jakarta agar menerima dan mendukung kebijakan mereka. Mereka juga tidak meributkan yang dilalaikan pemerintah sebelum mereka karena orientasi adalah masa sekarang yang dibangun berdasarkan antisipasi ke masa depan.

Pada tingkat nasional, pemerintah mengalami kesulitan dalam mempertahankan dan melanjutkan subsidi bahan bakar minyak. Anehnya, tidak ada regulasi tentang pembelian dan pemakaian mobil dengan mesin yang ukurannya banyak menyedot bahan bakar minyak (BBM). Pasar mobil dibiarkan bergerak dengan sangat liberal, padahal sudah ada contoh yang baik dan bisa ditiru dari zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Ketika terjadi krisis energi pada tahun 1970-an, dikeluarkan peraturan oleh Pemerintah Orde Baru, yang melarang impor dan produksi mobil dengan mesin yang melebihi 3.000 cc.

Sekarang ini pembelian dan pemakaian mobil seakan diserahkan saja kepada kemampuan keuangan dan preferensi gaya hidup setiap orang dan bukan berdasarkan pertimbangan tentang kemampuan negara dalam melakukan suplai BBM berdasarkan stok yang ada. Muncul kemudian reaksi ad hoc seperti bantuan langsung tunai yang boleh dikata tidak lebih fungsinya daripada menjadi pain killer untuk penderitaan rakyat karena naiknya harga BBM, tetapi pastilah bukan resep untuk mengatasi kesulitan menyangkut BBM.

Hal yang sama dapat dikatakan tentang listrik. Jusuf Kalla, ketika masih menjabat Wakil Presiden dalam periode pertama pemerintahan Presiden SBY, pernah mengemukakan gagasan bahwa Indonesia memerlukan pembangkit tenaga listrik yang dapat menghasilkan tambahan 10.000 MW listrik untuk mengatasi gejala byarpet yang berulang kali terjadi. Setelah Jusuf Kalla tidak lagi menjadi wakil presiden, gagasan itu seperti dibawa angin lalu dan tidak kelihatan usaha untuk merealisasikannya. Bangsa kita tidak terbiasa dengan antisipasi dan kembali kepada kebiasaan lama untuk memberikan reaksi-reaksi ad hoc, seperti pemadaman bergilir dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dan memberi kesan Jakarta yang mentereng, berubah menjadi desa di pedalaman pada waktu malam.

Contoh-contoh seperti ini dengan mudah dapat dipungut dari kebijakan pemerintah kita dalam sektor mana pun, tetapi intinya relatif sama, yaitu kecenderungan untuk hanya memberikan reaksi kalau sudah muncul masalah dan bukannya menyambut masalah secara kreatif karena ada antisipasi yang memperhitungkan kemunculan masalah-masalah dalam suatu kebijakan.

Pergeseran mental
Sebetulnya antisipasi bukanlah sesuatu yang susah-susah amat untuk dilakukan. Untuk dapat menginternalisasi kebutuhan dan kebiasaan antisipasi, dibutuhkan beberapa pergeseran secara mental.

Pertama, perlu diubah anggapan mengenai kebudayaan ataupun mengenai ekonomi dan politik. Kebudayaan tidak saja mengandung harmoni, tetapi juga mengandung potensi-potensi konflik, yang harus dikelola secara produktif. Ekonomi dan politik tidak selalu berjalan mulus, tetapi mengundang masalah dan kesulitan yang harus dihadapi dengan persiapan dalam antisipasi yang memperhitungkannya dan komitmen untuk mengatasi masalah apabila benar-benar muncul dalam perjalanan waktu.

Kedua, perspektif waktu dalam kebudayaan Indonesia perlu dipertajam, baik mengenai masa lampau, masa sekarang, dan masa depan serta kaitan yang ada di antaranya. Bahasa Indonesia tidak banyak menolong menanamkan perspektif waktu karena dalam sintaksis bahasa kita yang ada hanya masa sekarang, dan tidak ada masa lampau dan masa depan. Ini juga barangkali sebabnya kalau seorang pemimpin mengatakan akan menurunkan tingkat kemiskinan, karena tipuan bahasa, dia cenderung percaya bahwa dia sudah atau sedang menurunkan tingkat kemiskinan karena perspektif masa lampau dan masa depan hanya ditunjuk dengan kata keterangan seperti "sudah", "akan", dan semacam itu.

Kemampuan antisipasi pada akhirnya adalah indikator kebudayaan tentang kedewasaan suatu bangsa, apakah dia akan menghadapi masalah dengan terkejut dan emosional atau dia akan menanggapinya secara rasional dan siap mengatasinya.

Ignas Kleden, Sosiolog, Ketua Badan PengurusKomunitas Indonesia untuk Demokrasi

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003360067
Powered by Telkomsel BlackBerry®

VIP-kan Guru-guru Kita! (Anies Baswedan)

Oleh: Anies Baswedan

BERAPA jumlah guru yang masih hidup?" itu pertanyaan Kaisar Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di tanah Jepang.

Kisah itu beredar luas. Bisa jadi itu mitos, tetapi narasi itu punya konteks yang valid: pemimpin "Negeri Sakura" itu memikirkan pendidikan sebagai soal amat mendasar untuk bangkit, menang, dan kuat. Ia sadar bukan alam yang membuat Jepang menjadi kuat, melainkan kualitas manusianya. Pendidikan jangan pernah dipandang sebagai urusan sektoral. Pendidikan adalah urusan mendasar bangsa yang lintas sektoral. Hari ini 53 persen penduduk bekerja kita hanya tamat SD atau lebih rendah, yang berpendidikan tinggi hanya 9 persen. Pendidikan bukan sekadar bersekolah, melainkan fakta itu gambaran menampar yang membuat kita termenung.

Dari sisi kuantitas, penduduk Indonesia di urutan keempat dunia, tetapi dari segi kualitas di urutan ke-124 dari 187 negara. Bangsa ini telah secara "terencana" membuat sebagian besar penduduknya dicukupkan untuk berlevel pendidikan rendah. Tak aneh jika kini serba impor karena memang sebagian besar penduduk bekerja kita hanya bisa menghasilkan produk bernilai tambah yang rendah.

Selama bangsa dan para pemimpinnya bicara pendidikan secara sambil lalu, dan selama masalah pendidikan dianggap bukan masalah kepemimpinan nasional, jangan harap masa depan akan bisa kuat, mandiri, dan berwibawa. Kunci kekuatan bangsa itu pada manusianya. Jangan hanya fokus pada infrastruktur penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya !

Pendidikan adalah soal interaksi antarmanusia. Interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara orangtua dan anak, antara guru dan murid, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Guru adalah inti dari proses pendidikan. Guru menjadi kunci utama kualitas pendidikan.

Berhenti memandang soal guru sebagai "sekadar" soalnya kementerian atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!

Ya, penyesuaian kurikulum itu penting, tetapi lebih penting dan mendesak adalah menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan guru. Guru merupakan ujung tombak. Kurikulum boleh sangat bagus, tetapi bakal mubazir andai disampaikan oleh guru yang diimpit sederetan masalah. Tanpa penyelesaian masalah-masalah seputar guru, kurikulum nyaris tak ada artinya.

Guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia, guru tetap kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena buku atau kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat murid menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat murid mencintai pelajarannya.

Kita pasti punya banyak guru yang dulu mengajar. Ada yang masih diingat dan ada yang terlupakan. Artinya, setiap guru punya pilihan, mau jadi pendidik yang dikenang karena inspirasinya atau menjadi pendidik yang terlupakan atau malah diingat karena perilakunya negatif. Guru harus sadar diri. Ia pegang peran besar, mendasar, dan jangka panjang sifatnya. Jika seseorang tak mau menjadi pendidik yang baik, lebih baik berhenti menjadi guru. Terlalu mahal konsekuensi negatifnya bagi masa depan anak dan masa depan bangsa. Ini statement keras, tetapi para pendidik dan pengelola pendidikan harus sadar soal ini. Kepada para guru yang mendidik dengan hati dan sepenuh hati, bangsa ini berutang budi amat besar.

Tiga persoalan besar
Paling tidak ada tiga persoalan besar mengenai guru kita. Pertama, distribusi penempatan guru tidak merata. Di satu tempat kelebihan, di tempat lain serba kekurangan. Kekurangan guru juga terjadi di kota dan di desa yang dekat kota. Ini harus dibereskan. Kedua, kualitas guru yang juga tidak merata. Kita harus mencurahkan perhatian total untuk meningkatkan kualitas guru. Mudahkan dan berikan akses bagi guru untuk mengembangkan potensi diri dan kemampuan mengajar. Bukan sekadar mendapatkan gelar pascasarjana, melainkan soal guru makin matang dan terbuka luas cakrawalanya.

Ketiga, kesejahteraan guru tak memadai. Dengan sertifikasi guru telah terjadi perbaikan kesejahteraan, tetapi ada konsekuensi administratif yang sering justru merepotkan guru dan perlu dikaji ulang. Selain soal guru honorer, guru bantu yang masih sering diperlakuan secara tak honored (terhormat). Semua guru harus dijamin kesejahteraannya.

Melihat kondisi sebagian besar guru hari ini, kita seharusnya malu. Kita titipkan masa depan anak-anak kepada guru, tetapi kita tak hendak peduli nasib guru-guru itu. Nasib anak-anak kita serahkan kepada guru, tetapi nasib guru amat jarang menjadi perhatian kita, terutama kaum terdidik, yang sudah merasakan manfaat keterdidikan. Bangsa Indonesia harus berubah. Negara dan bangsa ini harus menjamin nasib guru.

Menghormati guru
Mari bangun kesadaran kolosal untuk menghormati-tinggikan guru. Pemerintah harus berperan, tetapi tanggung jawab besar itu juga ada pada diri kita setiap warga negara, apalagi kaum terdidik. Karena itu, VIP-kan guru-guru dalam semua urusan!

Guru pantas mendapat kehormatan karena mereka selama ini menjalankan peran terhormat bagi bangsa. Saya ajukan dua ide sederhana menunjukkan rasa hormat kepada guru: jalur negara dan jalur gerakan masyarakat. Pertama, negara harus memberikan jaminan kesehatan bagi guru dan keluarganya, tanpa kecuali. Kedua, negara menyediakan jaminan pendidikan bagi anak- anak guru. Bangsa ini harus malu jika ada guru yang sudah mengajar 25 tahun, lalu anaknya tak ada ongkos untuk kuliah. Jaminan kesehatan dan pendidikan keluarganya adalah kebutuhan mendasar bagi guru. Kita harus mengambil sikap tegas: amankan nasib guru dan keluarganya sehingga guru bisa dengan tenang mengamankan nasib anak kita.

Di jalur masyarakat, Gerakan Hormat Guru harus dimulai secara kolosal. Misalnya, para pilot dan awak pesawat, gurulah yang menjadikanmu bisa "terbang", sambutlah mereka sebagai penumpang VIP di pesawatmu, undang mereka boarding lebih awal. Para dokter dan semua tenaga medis, gurulah yang mengajarimu sehingga bisa berseragam putih, sambutlah mereka sebagai VIP di tempatmu merawat. Pada pemerintah dan dunia usaha di berbagai sektor, semua prestasi yang dikerjakan adalah buah didikan guru di masa lalu, VIP-kan guru, jadikan mereka customer utama, berikan mereka kemudahan, berikan mereka diskon. Bukan hanya besaran kemudahan atau diskon, melainkan ekspresi kepedulian itu yang menjadi bermakna bagi guru.

Dan semua sektor lainnya, ingatlah bahwa guru merupakan modal awal untuk meraih masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera itu dibangun. Di setiap kata dalam pesan pendek (sms) yang ditulis, di sana ada tanda pahala guru. Bangsa ini akan tegak dan disegani saat guru-gurunya terhormat dan dihormati. Bagi anak-anak muda yang kini berbondong-bondong memilih pendidikan guru, ingat tujuan menjadi guru bukan cari tingginya rupiah. Anda pilih jalan mulia, menjadi pendidik. Jangan kemuliaan dikonversi sebatas urusan rupiah, itu cara pintas membuat kemuliaan alami devaluasi. Kesejahteraan Anda sebagai guru memang harus terjamin, tetapi biarkan sorot mata anak didik yang tercerahkan atau cium tangan tanda hormat itu menjadi reward utama yang tak ternilai bagi anda.

Indonesia akan berdiri makin tegak dan kuat dengan kualitas manusia yang mumpuni. Para guru harus sadar dan teguhkan diri sebagai pembentuk masa depan Indonesia. Jadilah guru yang inspiratif, guru yang dicintai semua anak didiknya. Bangsa ini menitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita sebangsa harus hormati dan lindungi guru dari impitan masalah. Ingat, jadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan. Guru dapat kehormatan mewakili kita semua untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan republik ini: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadikan kami sebangsa makin bangga dan hormat pada guru!

Anies Baswedan; Rektor Universitas Paramadina

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003376556
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sains dan Pendidikan Sains (Premana W Premadi)

Oleh: Premana W Premadi

PERNAH ada masa di mana sains dianggap arena bermain hanya segelintir orang sehingga dirasa terpisah dari hidup keseharian.

Walaupun pandangan sempit tentang sains dan saintis ini mungkin ada benarnya, disadari atau tidak, sains dan segala produknya telah banyak berperan dalam kemajuan umat manusia.

Di dalam sains sendiri, tingkat kemajuannya sangat pesat, bahkan pada beberapa sektor fundamental. Hasil pengamatan yang makin luas dan dianalisis secara cermat memberikan gambaran saintifik yang makin komprehensif tentang alam semesta.

Kesanggupan mengidentifikasi waktu sepanjang proses fisis yang berjalan memberdayakan sains untuk memprediksi kondisi masa datang. Kemampuan untuk memprediksi adalah modal krusial dalam peradaban.

Sains mengajak kita menyadari adanya keterbatasan alami sehingga sebagai makhluk hidup perlu mengatur strategi untuk melampaui keterbatasan itu. Manusia, dengan anugerah kecerdasan, sukses menanggulangi banyak keterbatasan alami ini.

Keindahan tantangan atau limitasi adalah pada dorongan untuk berpikir kreatif.. Selagi meningkatkan kapasitas berpikir, acapkali manusia tidak hanya berhasil mengatasi limitasi, tetapi melampaui itu manusia menemukan cara hidup yang lebih baik. Perspektif dan visi lintas kondisi  dan ruang-waktu  inilah yang dapat menghindarkan kita dari solusi tambal sulam terhadap masalah yang ada.

Mengajarkan sains
Dengan obyektif seperti inilah sains seyogianya dikembangkan dan diajarkan. Mengajarkan sains bukan menyampaikan fakta tentang alam saja, tetapi lebih penting lagi memperkenalkan bagaimana fakta itu ditemukan dan menginterpretasikannya.

Pernyataan Cliche: "fakta mengatakan"  tidaklah otomatis berdasar maupun berbobot. Kita menginterpretasi fakta menggunakan aliran logika pikiran kita. Hanya setelah interpretasi ini diterima dengan mapan barulah kita dibukakan jalan pintas untuk menerima apa yang fakta katakan. Tidak ada yang terberi dengan gratis di dalam sains; minimal kita dipinjami cara berpikir yang sekarang diterima. Untuk dinilai kreatif dan maju, kita harus memproduksi lebih daripada yang kita pinjam.

Perlu ditegaskan bahwa kebenaran saintifik tidak melingkupi seluruh kebenaran. Artinya kebenaran saintifik memiliki keterbatasan dan tidak absolut. Ketidakabsolutan dan ketidakmapanan pengetahuan inilah yang justru mendorong sains untuk dapat terus, bahkan harus, dikembangkan, dipertajam, dan dihaluskan. Pemahaman akan keterbatasan ini dan akan proses internal kerja sains membuat usaha pencarian kebenaran yang tak pernah berujung sekaligus membuka kesempatan kepada siapa pun untuk berpartisipasi.

Pendidikan sains yang terstruktur seperti yang diberikan dalam sistem-sistem pendidikan yang terinstitusi seperti sekolah dan universitas, harusnya dapat mengenali dorongan dan perkembangan sains sebagai karakter intrinsik sains itu sendiri.

Pendidikan sains juga perlu mempersepsi kebutuhan dan derajat penerimaan sains dalam masyarakat. Artinya, pembelajaran modern untuk sains harus memasukkan fondasi-fondasi dalam sains, keadaan terkini dalam perkembangannya, dan juga cara-cara cerdas untuk mengantisipasi implikasi jangka panjangnya pada kemanusiaan. 

Tujuan pembelajaran sains dengan isi seperti itu sedikitnya ada dua. Pertama, pendidikan menyiapkan generasi ilmuwan yang kompeten untuk pengembangan sains dalam semangatnya untuk mencari kebenaran.

Kedua, pendidikan ini akan memotivasi mereka sebagai ilmuwan terdidik dan terlatih untuk berperan konstruktif dalam proses pendewasaan masyarakat. Pengetahuan saintifik menjadi modal penting dalam pengambilan kebijakan pada berbagai aspek kehidupan.

Pengetahuan saintifik tak secara langsung memberikan pertimbangan moral, dan tidak pula berpretensi untuk memaksakan nilai-nilai baru, tetapi untuk memberikan pemahaman pada masyarakat tentang hubungan kausal dalam berbagai kondisi dan aksi fisis, dan melengkapi dengan landasan rasional yang dapat membantu berpikir tentang apa pun secara komprehensif dan holistik.

Cara kerja sains yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan terbuka terhadap kritik dan saran melatih ilmuwan untuk selalu bertindak etis. Prinsip kerja etis seperti ini akan mendorong sikap etis pada aspek-aspek lain.

Di dalam pendidikan sains, sangat perlu ditunjukkan batasan domain saintifik, yakni domain pada mana sains bekerja dan deskripsinya dipertimbangkan. Di luar domain itu, deskripsi saintifik tidak lagi sah.

Komunikasi konstruktif
Kurikulum yang mengizinkan adanya pintu-pintu penghubung di antara ranah-ranah yang berbeda, sains dan non-sains, akan mengakomodasi suatu komunikasi yang sehat dan konstruktif di antara komponen-komponen dalam aspirasi manusia untuk membangun peradaban.

Menyertakan komponen ini dalam kurikulum pendidikan sains harus dinilai sebagai langkah positif yang perlu dievaluasi dan diakses secara saksama dan berkala. Di sekolah, pelajaran olahraga diberikan dengan obyektif utama menjadikan murid bugar dan berpikiran strategis. Maka, kegiatan utama pada jam pelajaran olahraga adalah berolahraga. Evaluasinya tidak dalam bentuk menjawab pertanyaan tentang berapa ukuran lapangan sepak bola.

Bagaimana pula kita mengukur kebaikan gizi anak-anak kita? Tidak dengan bertanya apakah mereka kenyang, tetapi dengan memeriksa fungsi-fungsi organ tubuh dan  keseimbangan tumbuh kembang mereka.

Bagaimana kita mengakses pendidikan sains kita?

Belum terlalu lama sejak manusia pertama kali mengarahkan lensa pengamatan kepada dirinya dan membandingkan dirinya dengan konstituen lain semesta sehingga akhirnya dipaksa bisa berbesar hati ketika menemukan betapa biasanya (common) proses fisis yang relevan dengan fisiknya.

Namun, sejalan dengan proses belajar manusia akan terus berlangsung, kita mempunyai banyak kesempatan untuk membuat dunia ini sebagai tempat hidup yang makin baik: seluruh umat manusia hidup berdampingan dalam damai, lingkungan sehat, dengan pengertian yang baik satu terhadap yang lain.

Di ujung hari, kurikulum sains yang baik, yang disampaikan dengan baik, akan menghadiahi masyarakat tak hanya sains berkualitas tinggi, tetapi juga ilmuwan yang baik, sang manusia.

Premana W Premadi, Alumnus Astronomi Institut Teknologi Bandung Angkatan 1983

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003376827
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kepantasan Dokter Melakukan Mogok (Ali Ghufron Mukti)

Oleh: Ali Ghufron Mukti

DOKTER adalah profesi luhur dan terhormat. Dalam sejarah, seorang dokter digambarkan setengah dewa dan setengah manusia. Banyak yang berminat menjadi dokter.
Banyak anak jika ditanya, bercita-cita menjadi dokter. Namun, tak semua anak yang bercita-cita menjadi dokter bisa menjadi dokter. Untuk menjadi dokter tidak cukup hanya mengandalkan kekayaan. Prasyarat kecerdasan, niat luhur menolong sesama, ketekunan, ketelatenan, dan keuletan harus dipenuhi.

Pendek kata, dokter adalah manusia pilihan di atas rata-rata masyarakat pada umumnya. Mereka memiliki jiwa pengabdian dan disumpah untuk selalu mendahulukan kepentingan pasien atau masyarakat.

Masalahnya kenapa para dokter spesialis kebidanan dan kandungan mogok pada 27 November 2013? Dapatkah diterima secara etis dokter melakukan pemogokan? Tentu jawabannya sangat dipengaruhi sudut pandang, posisi, konteks, dan tujuan mogok itu sendiri.

Dokter yang kebetulan istrinya sedang bersalin yang telah pembukaan lengkap atau siap melahirkan tentu tak setuju jika dokter-dokter kandungan seluruh Indonesia mogok.  Seorang pejabat dan direktur rumah sakit yang bertanggung jawab menjamin layanan kesehatan masyarakat berjalan lancar tentu akan merasa prihatin jika dokter kandungan mogok, apalagi secara nasional.

Risiko dokter
Bisa dimengerti jika Kementerian Kesehatan membuat surat edaran ke semua kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit. Surat edaran tersebut terkait dengan rencana aksi solidaritas terhadap dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG dan kawan-kawan yang isinya ada tiga hal. Pertama, agar semua tenaga  kesehatan di rumah sakit mendukung dengan memakai pita hitam di lengan kanan.

Kedua, melakukan doa bersama untuk kesehatan dan kesejahteraan seluruh rakyat, kesembuhan pasien, serta keamanan dokter Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Ketiga, memerintahkan agar pelayanan berlangsung seperti biasa dan pasien terlayani dengan baik.

Seorang profesor di fakultas kedokteran akan heran dan menanyakan mengapa para dokter mantan anak didiknya mogok, padahal sang profesor tak pernah sekalipun mengajari mogok, apalagi strategi dan teknik mogok.   Lantas mengapa dokter mogok? Penulis mencoba memahami para dokter yang akan melakukan mogok untuk istilah aksi solidaritas. Meski  penulis amat yakin, dokter tidak akan mogok, kecuali ada alasan kuat untuk itu.

Para dokter kandungan yang mogok khawatir mereka bisa mengalami risiko ditahan atau dianggap lalai atau melakukan malapraktik meskipun sudah menjalankan pengobatan sesuai standar praktik kedokteran, jika pasien meninggal. Mereka tahu persis, meski sudah memberikan layanan sesuai standar praktik kedokteran, tetapi mereka yakin tidak bisa menjamin hasil proses layanan yang diberikan. Apalagi menyangkut nyawa dengan kondisi pasien yang parah.

Mereka ingin dalam menjalankan profesinya bisa aman dan terjamin dalam berbuat maksimal untuk menolong pasien terutama dalam keadaan emergency yang belum tentu berhasil. Mereka tidak ingin kasus sama menjadi preseden terulangnya kejadian serupa. Jelas mereka ingin didengar masyarakat bahwa mereka telah menolong banyak pasien dan berhasil, tetapi hampir tidak pernah diberitakan. Sekali pasien meninggal yang belum tentu diakibatkan oleh tangan dokter, sering dokter sudah divonis lalai atau melakukan malapraktik. Seakan-akan semua perjuangan dan kebaikan berbuat maksimal untuk kebaikan pasien hilang dan tenggelam.

Bagaimana seharusnya
Tentu dari sekian banyak dokter, ada yang lebih dipengaruhi konsumerisme dan tuntutan terkait dengan status dokter. Ada dokter yang kurang kompetensi, keterampilan, dan pengalamannya sehingga pasien merasa dirugikan. Ada mekanisme tertentu yang sudah diatur agar masyarakat dapat mempertanyakan apakah seorang dokter melanggar etika, melakukan kelalaian, atau malapraktik.

Tidak perlu langsung aparat penegak hukum, tetapi melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dengan mekanisme ini, semua akan diuntungkan dan semua tidak dirugikan.

Ali Ghufron Mukti, Wakil Menteri Kesehatan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003392885
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Ketegangan RI dan Australia Mereda (Kompas)

KETEGANGAN RI dan Australia mereda, Rabu (27/11), setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merespons positif surat Perdana Menteri Tony Abbott.
Presiden Yudhoyono menyatakan, Indonesia dan Australia akan segera menyusun protokol dan kode etik hubungan kedua negara untuk menjamin tidak terulangnya tindakan merugikan yang dilakukan salah satu negara. Setelah protokol dan kode etik itu terbentuk, dijalankan, dan memberikan rasa percaya, baru Indonesia bersedia melanjutkan kerja sama dengan Australia.

Respons positif Yudhoyono atas surat Abbott itu melegakan, mengingat sebelumnya ada ancaman untuk memutuskan hubungan diplomatik kedua negara. Banyak yang khawatir jika hal itu benar-benar terjadi, mengingat ada belasan ribu mahasiswa Indonesia di Australia. Tidak sedikit warga Indonesia yang bekerja di Australia. Begitu juga sebaliknya.

Surat Abbott kepada Yudhoyono itu merupakan balasan atas surat Yudhoyono yang menuntut penjelasan dan pertanggungjawaban atas penyadapan oleh Australia. Walau tidak meminta maaf secara terbuka, melalui suratnya Abbott menekankan betapa Australia menganggap penting Indonesia dan bersedia menata kembali hubungan baik dengan Indonesia.

Menurut Yudhoyono, surat balasan Abbott memiliki tiga pesan penting. Pertama, Australia ingin menjaga dan melanjutkan hubungan dengan Indonesia. Kedua, Abbott berkomitmen bahwa Australia tidak akan melakukan sesuatu di masa depan yang akan merugikan ataupun mengganggu Indonesia. Ketiga, Abbott setuju dan mendukung usul Yudhoyono agar dilakukan penataan kembali
kerja sama bilateral, termasuk pertukaran intelijen dengan menyusun protokol/kode etik yang jelas, adil, dan dipatuhi.

Kita gembira bahwa kepala pemerintahan kedua negara bersepakat bahwa hubungan baik kedua negara perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Langkah itu merupakan landasan bagi kedua negara untuk sekuat tenaga menjaga hubungan baik kedua negara di masa depan.

Namun, kita menyadari sepenuhnya bahwa kesepakatan kedua kepala pemerintahan itu adalah kesepakatan politik, masih banyak langkah lanjutan, terutama pada tingkat teknis yang masih harus ditata kembali. Pada sisi lain, kita juga sepenuhnya menyadari bahwa lembaga intelijen di kedua negara pun mempunyai kepentingannya sendiri yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan sesaat pemerintahannya.

Itu sebabnya, kehati-hatian dalam berkomunikasi, terutama yang menyangkut masalah-masalah strategis, tetap harus dilakukan secara tersamar. Dengan demikian, kalaupun penyadapan dilakukan, pihak yang menyadap hanya memperoleh pepesan kosong.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003395874
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tajuk Rencana: Bersiap Hadapi Pelambatan (Kompas)

BANK Indonesia dan pemerintah melambatkan pertumbuhan ekonomi 2014 untuk menjaga momentum pembangunan dari gejolak ekonomi global.
Pilihan tersebut berkaitan dengan faktor di dalam negeri dan situasi global. Faktor dalam negeri adalah defisit transaksi berjalan yang, antara lain, disebabkan defisit perdagangan. Apabila pertumbuhan ekonomi diutamakan, impor akan meningkat karena tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Dalam acara Forum CEO Kompas 100 bersama Bank BNI di Jakarta kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan, ekonomi Indonesia terus tumbuh di tengah gejolak dunia pada 2005, 2008-2009, dan 2012-2013. Daya saing ekonomi juga membaik, di posisi ke-38 dari 148 negara pada 2012.

Pada saat sama, ada masalah yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Defisit transaksi berjalan menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah. Pelambatan pertumbuhan ekonomi membuat angka pengangguran naik. Dari sisi eksternal, ada rencana pengurangan insentif moneter oleh bank sentral Amerika Serikat.

Wakil Presiden Boediono sebelumnya juga mengingatkan untuk bersiap menghadapi situasi moneter ketat. Aliran dana dari pasar uang global tidak akan lagi sederas empat tahun terakhir jika ekonomi AS membaik. Dengan kata lain, Indonesia akan kembali pada situasi normal.

Sejumlah langkah dilakukan BI, antara lain menaikkan suku bunga acuan dan membuat rupiah mengikuti gerakan pasar. Bukan kebijakan menyenangkan bagi masyarakat karena kenaikan suku bunga acuan BI ikut memengaruhi suku bunga kredit. Di sisi lain, kebijakan kenaikan suku bunga kredit diharapkan akan mengerem impor.

Dari sisi pemerintah, Agustus lalu diumumkan empat langkah menurunkan defisit transaksi berjalan: mengurangi impor BBM dengan mewajibkan penggunaan 10 persen biodiesel dari sumber minyak nabati dalam negeri, menaikkan pajak barang mewah, memberikan fasilitas pajak untuk perusahaan yang tidak memberhentikan pekerja, dan memberikan fasilitas pajak untuk eksportir.

Kebijakan jangka menengah dan panjang juga disiapkan, yaitu mendorong industri substitusi impor dan industri antara, mendorong energi alternatif dan energi terbarukan, serta membangun modal manusia berupa insentif untuk pelatihan dan riset-pengembangan.

Intinya, semua sepakat Indonesia harus bertransformasi dari ketergantungan pada ekspor komoditas primer dan aliran global "uang mudah" menuju ekonomi berbasis industri bermuatan teknologi dan inovasi.

Hasilnya tidak segera tampak, tetapi langkah awal harus dilakukan dari sekarang. Tahun 2014 akan ada pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Diharapkan siapa pun yang kelak memimpin Indonesia menyadari pentingnya proses transformasi tersebut agar kita melompat menjadi negara maju berpenghasilan tinggi. Syaratnya, strategi yang konsisten serta stabilitas politik dan keamanan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003395438
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 27 November 2013

Menilai Kerusakan Relasi RI-Australia (Vedi R Hadiz)

Oleh: Vedi R Hadiz

SUDAH menjadi accepted wisdom bahwa Indonesia dan Australia adalah dua negara yang saling membutuhkan. Keduanya terikat geografi dan geopolitik, selain hubungan ekonomi dan sosial-budaya.

Namun, hubungan saling membutuhkan ini telah diguncang skandal penyadapan yang secara tak masuk akal dibiarkan berlarut-larut, terutama oleh Pemerintah Australia baru di bawah Perdana Menteri Tony Abbott. Pertanyaannya sekarang: sejauh mana hubungan Indonesia-Australia sudah dirusak skandal itu? Di tengah suhu politik yang kian meningkat, perlu disadari bahwa hubungan kedua negara tetangga itu tidak mungkin anjlok sepenuhnya. Toh berbagai krisis pernah dilalui sebelumnya.

Kepentingan kuat
Di Indonesia ataupun di Australia tertanam sejumlah kepentingan kuat yang membutuhkan kelestarian hubungan tersebut. Sebagai misal, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa program kontroversial pemerintahan Koalisi Australia untuk membendung arus pemohon suaka yang berdatangan lewat perahu amat mengandalkan kerja sama dengan Pemerintah Indonesia.

Keberhasilan program ini menjadi penting karena dalam pemilu sebelumnya rakyat Australia telah digiring menuju sikap yang mendekati histeria dalam menghadapi kedatangan para pemohon suaka.

Selain itu, rekan koalisi Partai Liberal-nya Tony Abbott, yakni Partai Nasional yang berbasis rural, juga berkepentingan agar hubungan dengan Indonesia tidak sedemikian rusak sehingga memusnahkan bisnis ekspor ternak yang menjadi andalan sebagian konstituennya. Perusahaan-perusahaan pertambangan Australia yang sudah keburu nyemplung di Indonesia bisa menjadi gusar, padahal kebijaksanaan ekonomi Partai Liberal cenderung didukung mereka.

Dari pihak Indonesia, berbagai kepentingan yang juga tertanam kuat dalam hubungan bilateral ini bisa disebutkan. Hal itu antara lain kepentingan menjamin arus devisa yang dibawa wisatawan Australia, hingga yang berkaitan dengan kerja sama di bidang pendidikan sampai dengan kolaborasi di bidang pertahanan dan kepolisian (misalnya dalam menangani terorisme) dan masih banyak lagi. Meskipun demikian, pertikaian yang dibiarkan berkepanjangan bukanlah masalah sepele karena dapat memengaruhi kegiatan yang selama ini sudah menjadi urusan rutin. Misalnya, pers Australia sempat mempertanyakan apakah para wisatawan muda di Bali akan terancam keamanannya setelah adanya pernyataan keras beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia.

Mungkin saja para orangtua Indonesia juga akan merasa risi mengirim anak-anaknya mengenyam pendidikan di Australia. Apalagi kalau mereka mendengar sejumlah pernyataan sembrono yang muncul dalam talk back radio Australia yang memang cenderung xenophobic dan berhaluan Kanan.

Namun, banyak komentator Australia sudah mengingatkan bahwa Abbott perlu mengambil langkah seperti Obama yang meminta maaf kepada rekanan Amerika Serikat di Eropa, juga karena skandal penyadapan, serta memerintahkan peninjauan ulang praktik aparat intelejennya.

Mereka agaknya menyadari bahwa pemerintahan SBY memerlukan tanggapan dari pihak Australia yang mengisyaratkan adanya semacam perasaan bersalah. Tanpa isyarat itu, pemerintahan SBY bisa menjadi bulan-bulanan berbagai pihak di dalam negeri yang berusaha memanfaatkan situasi untuk memobilisasi sentimen nasionalis (mungkin sebagai persiapan untuk menghadapi Pemilu 2014 atau untuk mengejar berbagai tujuan sempit).

Namun, apa yang telah menghambat Abbott untuk mengambil langkah mirip Obama? Alasan formalistis yang dia berikan di parlemen Australia—bahwa masalah intelijen tidak pernah dibicarakan di depan umum—sepertinya sungguh tidak memadai untuk menjelaskan sikapnya yang sempat seperti batu.

Mungkin sebagai politisi yang baru naik menjadi perdana menteri, dia merasa perlu menunjukkan diri sebagai pemimpin yang kuat. Kalau demikian, alangkah keliru perhitungannya sebab yang dibutuhkan sekarang adalah sikap seorang negarawan, bukan politisi yang mencari popularitas murahan. Bisa saja ia juga bereaksi terhadap kegagalan baru-baru ini untuk "memaksa" aparat Indonesia menerima "muatan" perahu yang membawa sejumlah calon pemohon suaka di Australia. Merasa "kalah", ia sekarang mengambil sikap yang dikiranya menunjukkan ketegasan.

Masalah fundamental
Namun, tampaknya ada satu masalah lain yang lebih fundamental. Seperti mantan Perdana Menteri John Howard, Abbott berasal dari tradisi politik Australia yang—lepas dari retorikanya—secara instingtif merasa "asing" di tengah-tengah Asia.

Kita mengetahui bahwa pemerintah Koalisi Australia praktis telah mencampakkan White Paper pemerintah sebelumnya yang menggariskan hubungan yang dekat dengan sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, walau sesungguhnya dokumen tersebut amat miskin dalam detail pelaksanaan. Pernyataan Abbott bahwa spionase Australia dilakukan bukan hanya demi kepentingan sendiri, melainkan juga negara sahabat yang dimata- matai terdengar begitu paternalistik dan "kuno" tetapi mencerminkan keterasingan itu.

Dalam jangka panjang, kelihatannya Abbott perlu lebih memanfaatkan keahlian mengenai Asia dan Indonesia yang sudah lama terdapat di Australia, baik di kalangan pemerintahan, universitas, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat. Saat ini, jelas ia sering tidak menerima masukan yang tepat. Ia pun perlu menjauhkan diri dari penasihat Partai Liberal macam Mark Textor, yang tiba-tiba menjadi terkenal, tetapi ternyata lebih ahli di bidang pornografi daripada diplomasi.

Vedi R Hadiz, Guru Besar Masyarakat dan Politik Asia, Asia Research Centre, Murdoch University

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003373429
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pemilu Tak Serentak (Mohammad Fajrul Falaakh)

Oleh: Mohammad Fajrul Falaakh

PADA 2004 dan 2009 pemilihan umum anggota lembaga perwakilan rakyat di pusat dan daerah serta pemilihan presiden diselenggarakan secara terpisah, tetapi berkorelasi.
Keterpisahan ini melanjutkan tradisi Orde Baru saat presiden dipilih MPR yang keanggotaannya dibentuk berdasarkan pemilu. Korelasi dibangun untuk menata sistem presidensial dan mengokohkan dominasi partai politik dalam pemilu.

Sejumlah pakar dan tokoh mengusulkan pemilu serentak dengan menyatukan waktu pemilihan parlemen dan presiden. Usulan dikemas dalam pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilhan Umum Presiden dan Wakil Presiden) di Mahkamah Konstitusi (perkara nomor 14/PUU-XI/2013). Usulan ini berjarak terlalu lama dari Pilpres 2009. Melengkapi tulisan Effendi Gazali (Kompas, 23/10) berikut dikemukakan rintangan-rintangan MK mengabulkan usulan tersebut.

Mengompromikan ketaksepakatan
Rumusan sistem pilpres dalam UUD 1945 adalah hasil kompromi atas kesepakatan dan ketaksepakatan pada istilah netral "pemilihan umum". Istilah pemilu dipilih untuk mencakup berbagai jenis perekrutan aneka jabatan publik yang dilakukan rakyat, misalnya pemilu parlemen dan pemilu eksekutif.

Netralisasi istilah tak berkonotasi general elections dalam sistem presidensial yang dibedakan dari presidential elections. Istilah general elections dalam sistem parlementer juga berimplikasi memilih kandidat eksekutif. Kompromi istilah pemilu diterapkan pada Pasal 2, 6A, 8, 19, 22C, dan 22E UUD 1945.

Menurut Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945, pemilu mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden. Kesepakatan ini tidak mencakup pemilihan kepala daerah sehingga perselisihan hasilnya bukan termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C Ayat (1). Dapat dimengerti bahwa ketentuan tentang pemilihan kepala daerah secara demokratis (Pasal 18 Ayat 4) mengandung beragam maksud awal (original intent): secara langsung oleh rakyat, oleh DPRD, atau cara-cara lain.

Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menentukan, pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Rumusan ini terkesan memunculkan kesepakatan tentang waktu pilpres sebelum pemilu. Namun, rumusan ini memendam ketaksepakatan tentang makna pemilu sehingga gagal memastikan waktu dimaksud.

Hal itu mengakibatkan makna bahwa pengusulan capres-cawapres dilakukan sebelum pemilu bergantung pada makna yang disampirkan pada kata pemilu. Untuk tahun 2004, 2009, dan 2014 disepakati bahwa pengusulan tersebut dilakukan sesudah pemilu parlemen. Pasal 3 Ayat (5) dan Pasal 112 UU Pilpres 2008, misalnya, menegaskan, pilpres dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilu parlemen dan selambat-lambatnya tiga bulan setelah pengumuman hasil pemilu tersebut.

Menebak MK
Jika MK menyatukan waktu pilpres dan pemilu parlemen, pemilu tersentak kegaduhan politik dan hiruk-pikuk pengadaan logistik. Komisi Pemilihan Umum mendadak harus memasukkan faktor capres-cawapres untuk pelaksanaan pemilu April 2014.  Penyatuan waktu pilpres dan pemilu membuka peluang 12 parpol peserta Pemilu 2014 untuk mengusulkan sendiri pasangan capres-cawapresnya. Instrumen ambang batas pengusulan capres-cawapres dan ambang batas parlemen tak diperlukan lagi.

Semua parpol peserta pemilu tak perlu berkoalisi untuk mengusulkan capres-cawapres karena pemilu serentak tak memerlukan persyaratan paling sedikit 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. Kemungkinan besar koalisi tetap diperlukan sesudahnya dan dengan mempertimbangkan konfigurasi perolehan kursi di parlemen.

Pasal 208-209 UU Pemilu menentukan ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen untuk diterapkan di DPR hingga DPRD kabupaten atau kota. Praktis ambang batas di tingkat lokal tidak berguna kalau pemilihan anggota DPRD dan pilkada dilaksanakan serentak. Semua parpol peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan calon dalam pilkada. Selain itu, Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012 juga memberlakukan ambang batas parlemen hanya di DPR. Partai-partai gurem berpeluang mewarnai dinamika politik lokal.

Sebetulnya penting menghitung biaya pilpres dengan banyak pasangan calon dibandingkan dengan jumlah lebih kecil yang dimungkinkan ambang batas pengusulan capres-cawapres. Penghitungan biaya juga perlu memasukkan faktor peningkatan jumlah peserta dalam pilkada tanpa ambang batas parlemen, yang dilaksanakan serentak dengan pemilu, dan biaya penyelenggaraan dua kali pemilu serentak (tingkat nasional dan lokal).

Kapan capres-cawapres didaftarkan ke KPU? Tentu setelah putusan MK dibacakan dan KPU (harus) siap. Kalau ketentuan waktu pilpres dalam UU Pilpres 2008 dibatalkan, MK diharapkan menentukan waktu pemilu serentak. Berwenangkah MK menentukannya? Apakah waktu penyelenggaraan pemilu merupakan masalah hukum, kebijakan, atau manajemen? Adilkah MK mendadak membebani KPU tanpa mendengarkan pendapatnya sebagai pihak terkait? Berwenangkah KPU mengubah jadwal pemilu agar pilpres dapat diselenggarakan pada waktu yang sama, sekitar lima bulan lagi?

MK tentu membenarkan ambang batas pengusulan pasangan capres-cawapres, yang hanya diketahui setelah pemilu parlemen, sesuai dengan Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008. MK juga akan mengakui kebiasaan ketatanegaraan untuk melaksanakan pilpres setelah pemilu parlemen, sesuai dengan Putusan Nomor 51, 52, 59/PUU-VI/2008. Tanpa meyakini dapat menebak pendapat hakim konstitusi dalam menalar realitas, tampaknya MK tidak akan memaksakan pemilu serentak untuk tahun 2014.

Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003373619
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger