Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 Juni 2015

‎”Rafflesia” Bukan Bunga Bangkai//Asuransi Mobil//Pohon Berbahaya//”Online” Tak Lengkap. (Surat Pembaca Kompas)

"Rafflesia" Bukan Bunga Bangkai

Anak saya yang berusia 5 tahun suatu hari meminjam buku dari sekolah. Buku itu berjudul Bunga Bangkai, ditulis Lusia Susiani, yang masuk Seri Bunga Nusantara terbitan Elex Media Komputindo. Saat mulai membacakan, saya menyadari ternyata buku itu bergambar sampul dan bercerita tentang bunga Rafflesia arnoldii, yang sebenarnya bukan bunga bangkai.

Bunga bangkai yang betul adalahAmorphophallus titanum, spesies yang sama sekali berbeda dengan Rafflesia. Secara taksonomi, Amorphophallusmasuk kelas Liliopsida, sedangkanRafflesia masuk kelas Magnoliopsida.

Rafflesia adalah tanaman parasit yang hidup pada inang tertentu, tanpa batang dan daun. Sementara Amorphophallus merupakan tanaman lengkap yang memiliki umbi, daun, dan bunga.

Adalah Dr Ordoardo Beccari, ahli botani dari Italia, yang pertama menemukan dan mendeskripsikan Amorphophallus titanum tahun 1879 di Ajer Mantcior, Padang. Adapun Rafflesia arnoldii, seperti namanya, ditemukan tahun 1818 oleh pemandu yang bekerja untuk Dr Joseph Arnold dan Sir Thomas Stamford Raffles, pemimpin ekspedisi.

Saya berharap penerbit Elex Media Komputindo segera menarik dan merevisi buku Bunga Bangkai tersebut.

ARINI, BUMI SERPONG DAMAI


Asuransi Mobil

Pada 30 April 2015, mobil saya kecelakaan cukup parah di area turunan parkir Wisma Slipi. Mobil diderek ke bengkel Honda Pradana, Karang Tengah. Saya juga menghubungi asuransi Japro untuk klaim asuransi.

Setelah proses survei cukup lama, 1 minggu, SPK pertama terbit per 27 Mei. Berarti 1 bulan sejak kejadian.

Meski bengkel secara paralel memperbaiki, ada suku cadang bullheadyang habis stok, perlu waktu pemesanan 1 bulan. Saat suku cadang datang di awal Juni, ternyata ditemukan lagi suku cadang lain yang rusak. Sekali lagi, suku cadang ini juga kosong, dengan waktu pemesanan tak terbatas.

Kekurangan suku cadang disampaikan lagi ke asuransi Japro. SPK revisi baru dikeluarkan pada 22 Juni. Namun, rinciannya tidak lengkap. Padahal, menurut bengkel, rincian sudah dikirim via surat elektronik ke Japro per Mei.

Honda Pradana tidak menginformasikan soal SPK yang tidak lengkap, padahal SPK dikirim ke pihak bengkel. Sekarang, saat meminta SPK revisi, asuransi mengatakan tidak ada foto dari bengkel. Padahal, bengkel mengatakan sudah mengirim data per Mei lalu.

Layanan bengkel Honda Pradana dan asuransi Japro mengecewakan dan berbelit-belit. Sudah dua bulan dan mobil saya belum beres juga.

KARINA STEVANI, TAMAN RATU BLOK EE2/8 KEDOYA SELATAN, JAKARTA BARAT


Pohon Berbahaya

Beberapa minggu lalu, kendaraan saya yang sedang berjalan kejatuhan buah. Kaca depan retak. Sebelumnya, buah tersebut jatuh dan menimpa atap kendaraan saya.

Pohon tersebut berbunga putih dan berbuah, seperti mangga, tetapi buahnya keras dan banyak ditanam di pinggir jalan raya dan kompleks perumahan.

Di negara mana pun pohon yang berbuah tidak boleh ditanam di pinggir jalan. Mohon perhatian Dinas Pertamanan DKI.

DHARMAWAN RAHARDJA, VICE PRESIDENT TOUR DIVISION GENTATOURS, JALAN GUNUNG SAHARI RAYA, JAKARTA 10610


"Online" Tak Lengkap

Pada 25 Juni 2015 saya mencoba layanan paspor online. Meski di situs web utama disebutkan tersedia buku paspor 24 halaman seharga Rp 155.000 dan 48 halaman Rp 355.000, ternyata yang tersedia (artinya proses pengisian onlinebisa terus berlanjut) hanya buku paspor 48 halaman.

Saat hendak mengisi "kantor imigrasi" pilihan tidak berfungsi. Padahal, begitu tidak bisa mengisi, kolom menjadi merah, dan proses tidak bisa dilanjutkan.

Selang beberapa waktu saya mencoba lagi, dan berfungsi. Setelah menekan tombol lanjut, saya mengisi tanggal dikeluarkan KTP. Ternyata tidak berfungsi lagi dan tidak dapat dilanjutkan.

Beberapa kali saya mencoba menghubungi nomor telepon yang tercantum di situs web, tidak ada yang menjawab.

Mohon Kementerian Hukum dan HAM segera membenahi pelayanan publik yang vital ini.

CAHYO MULYANTO, CIPINANG MUARA 11 JAKARTA 13240

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat kepada Redaksi ".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Mencegah Politik Dinasti (Kompas)

Disiasatinya surat edaran Komisi Pemilihan Umum membenarkan nafsu alamiah kekuasaan, satu di antaranya kelanggengan dinasti.

Agar proses demokrasi pergantian kepemimpinan daerah berkembang, nafsu itu perlu dilawan. Setidaknya sudah tiga pemimpin daerah yang menyatakan lisan siap mundur demi terbukanya kesempatan keluarga berlaga dalam pilkada serentak tahap pertama yang berlangsung 9 Desember 2015 di 269 daerah. Mereka Wali Kota Pekalongan, Bupati Ogan Ilir, dan Wakil Wali Kota Sibolga.

Dengan terbukanya celah masalah semantik petahana (incumbent) yang berbeda antara UU Pilkada dan Surat Edaran KPU—yang dipersoalkan sebagai perluasan pernafsiran, celah nafsu melanggengkan politik dinasti terbuka. Kita lawan dan cegah nafsu melanggengkan politik dinasti.

Solusi reaksi impulsif pertama, UU dan aturan mencegahnya, tentu saja dilaksanakan. Di antaranya perlu persetujuan DPRD, Mendagri jangan memberikan persetujuan kalau alasannya tidak sesuai aturan dalam UU Pilkada, dan batalkan SE KPU. Kontrak politik jabatan publik adalah menjabat sesuai masa jabatan atau batal karena alasan-alasan yang sesuai dengan UU Pilkada.

Kita mendukung tindakan tangkas-sikap melawan patgulipat para pejabat petahana yang memanfaatkan celah itu. Itulah jurus pertama melawan nafsu alami kekuasaan, sebab nafsu dan praktik melanggengkan politik dinasti sebagai kecenderungan umum gejalanya semakin besar dan dianggap benar. Sebagai pelengkap jurus pertama adalah mengikis kecenderungan politik dinasti agar tidak dianggap sebagai kecelakaan (by default)apalagi didesain (by design).Langkah ini sejalan dengan prinsip demokrasi, yakni kesempatan semua orang memiliki hak yang sama memilih dan dipilih, politik itu bukan berebut, melainkan berbagi, memasuki kegiatan politik sebagai pengorbanan yang saat ini semakin jadi kemewahan.

Merosotnya nilai-nilai keutamaan bangsa seperti yang disampaikan sejumlah tokoh masyarakat (Kompas, 27/6) menjadi relevan dengan kapstok kecenderungan umum melanggengkan dinasti keluarga. Sejalan pula dengan pernyataan keprihatinan para pembicara dalam pertemuan terbatas yang diorganisasi Yayasan Nabil di Jakarta, 9 Juni 2015. Manusia Indonesia semakin serba negatif.

Pendidikan sebagai jalan keluar tidak sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi transfer pengetahuan sekaligus perilaku etis. Artinya, praksis pendidikan di negeri ini perlu memiliki filosofi pendidikan sebagai referensi sekaligus muara kegiatan.

Upaya mencegah merosotnya keutamaan bangsa secara kuratif itu perlu dilengkapi langkah-langkah penyadaran bersama sebagai langkah preventif. Mencegah sikap agar tidak berkembang nafsu melanggengkan dinasti politik tidak cukup hanya dengan langkah kuratif. Pekerjaan rumah kita yang tidak pernah selesai!

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 6 dengan judul "Mencegah Politik Dinasti".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Pesan dari Musibah Taiwan (Kompas)

Di tengah kesibukan yang terus meningkat di alam modern, menyeimbangkan hidup dengan rekreasi menjadi satu hal yang makin sering kita saksikan.

Kalaupun tak berwisata ke tempat jauh, berpesta di pinggir kota sudah satu hiburan. Ini yang terjadi ketika seribuan orang berpesta di Taman Hiburan Pantai Formosa di pinggiran ibu kota Taipei, Taiwan, Sabtu (27/6) malam. Ketika orang muda, banyak di antaranya berusia 20-30 tahun, sedang asyik berpesta dengan bubuk aneka warna, tiba-tiba bubuk yang disemprotkan berubah menjadi bola api yang menyambar mereka.

Seperti kita baca beritanya di harian ini, Senin (29/6) kemarin, pesta Color Play Asia yang diidamkan menjadi momen bersenang-senang berbalik menjadi musibah. Sedikitnya 500 orang menjadi korban.

Buntut dari peristiwa itu, manajer acara Lu Chung Chi ditahan pihak berwajib. Presiden Ma Ying Jeou dan Perdana Menteri Mao Chi Kuo ikut memberi perhatian dengan mengunjungi korban di rumah sakit.

Orangtua salah seorang korban menyampaikan kesedihannya kepada Presiden, sambil menyebutkan bahwa masa depan putrinya yang menderita luka bakar 80 persen kini telah hancur. PM Taiwan menambahkan bahwa beberapa hari ke depan merupakan masa kritis bagi para korban yang terluka.

Meski musibah di Taiwan tidak menimbulkan korban jiwa, kejadian tersebut bisa kita petik pelajarannya. Pertama, pengelolaan acara. Dewasa ini, baik di ruang terbuka maupun tertutup, sering digelar berbagai acara yang menghadirkan ribuan penonton, misalnya konser musik.

Manajer acara harus mampu menerapkan sarana pengamanan memadai. Lebih dari sekadar menerapkan metode rutin, panitia perlu mengantisipasi hal tak terduga. Penyebab pasti musibah di Taipei masih diselidiki, tetapi ada dugaan bahwa bubuk warna yang digunakan di pesta tersebut terbakar akibat panasnya lampu panggung, yang mencapai ribuan watt. Amat mungkin, zat warna dari bahan kimia yang digunakan tidak tahan terhadap suhu tinggi sehingga terbakar dan hal ini mungkin tak diantisipasi penyelenggara.

Jika kita perluas lebih jauh wacana keselamatan ini, kita perlu juga menyebut sarana hiburan umum yang bakal ramai dikunjungi pengunjung pada musim libur Lebaran nanti. Ada baiknya semua bisa dipersiapkan dengan baik dan saksama dengan memikirkan faktor tak terduga.

Mau tak mau, ketika menyiapkan layanan publik, keselamatanlah yang menjadi faktor utama. Jangan sampai keinginan mendapatkan hiburan berubah jadi bencana.

Memang, sebagaimana terjadi di Taiwan, pihak otoritas bisa meminta pertanggungjawaban pihak penyelenggara. Akan tetapi, apa artinya melakukan hal itu ketika korban sudah jatuh.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 6 dengan judul "Pesan dari Musibah Taiwan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Memaknai Puasa (KURNIA JR)

Marhaban ya Ramadhan, selamat datang wahai Ramadhan! Bulan suci penuh berkah yang semestinya diisi dengan memperbanyak tadarus, sedekah, iktikaf, dan berbagai ibadah serta amal kebajikan. Disempurnakan dengan zakat fitrah di akhir Ramadhan.

Kenyataannya banyak pihak yang menyiakan-nyiakan makna bulan suci ini. Bulan puasa malah diisi dengan begadang menonton pelawak semalam suntuk di layar televisi.

Pengusaha layak diakui sebagai pihak yang paling sigap merancang dan menayangkan iklan, poster, atau neon sign di televisi, plaza pertokoan, serta jembatan penyeberangan dalam menyambut bulan puasa bagi umat Islam. Bukan sekadar ucapan, mereka juga memutar musik dan lagu religius di toko dan food court alias pujasera. Ramadhan malah diisi dengan keriuhan, kebisingan, dendang, dan rendang.

Para 'Aa' dan 'Mamah' jauh lebih sibuk melayani program "siraman rohani" di layar TV atau acara buka bersama. Perusahaan memacu target produksi memenuhi stok Lebaran. Karyawan bekerja lebih keras demi bonus. Para buruh harap-harap cemas memikirkan THR yang kerap telat atau batal dibayar majikan. Tukang ojek, tukang "ngobyek", hingga penganggur dikejar gemuruh tuntutan Lebaran yang tak terelakkan.

Ketika problem ekonomi mengimpit, Lebaran malah menjadi momok yang menakutkan. Banyak kalangan memaknai secara keliru bulan puasa.

Kepahitan sosial akibat kebutuhan logistik yang melambung harganya mengharu-biru jiwa kaum marginal di tengah kota hingga perkampungan terpencil. Lebih dari 11 bulan lainnya, pada bulan khusus ini mereka tak sempatnyepi dalam batin karena uang mesti dikejar lebih kencang.

Sementara itu, kelas menengah perkotaan punya ritual khas: buka bersama di hotel yang diisi ceramah dai kondang dan ditutup dengan hidangan lezat berlimpah. Lapar sesiang disudahi dengan kudapan manis dan kuliner seronok: sangat pas sebagai penunjang renungan tentang sufi Abad Pertengahan yang melantunkan cinta kepada Ilahi.

Tiada penghayatan nyata bahwa tasawuf adalah akhlak dan pengendalian total hawa nafsu. Yang dinikmati semata-mata puisi mabuk cinta hingga terbit kagum pada diri sendiri betapa mudah tumbuhnya rindu menyatu dengan Ilahi. Sekejap mata, diri ini serasa setara wali.

Padahal, puasa bukan drama romantis. Alkisah, Fatimah putri Rasul beserta suami dan kedua putranya tengah menanti waktu berbuka dengan masing-masing sepotong roti dan semangkuk susu. Terdengar pintu diketuk oleh seseorang yang mengaku lapar. Dengan serta-merta roti dan susu diserahkan kepada pengemis itu. Mereka pun berbuka puasa hanya dengan air putih hingga wajah kedua anak mereka memucat pada hari ketiga.

Hakikat puasa

Ramadhan memang fenomenal. Berbusa-busa ustaz mengingatkan pentingnya itikaf di masjid. Tetapi Ramadhan malah dipenuhi ingar- bingar musik dan lawakan di layar TV hingga subuh. Kisah Jalaluddin Rumi yang mengisi malam-malamnya pada musim dingin dengan munajat hingga air mata dan janggutnya membeku tak menyadarkan kita bahwa itu bukan fiksi dan untuk menapaki jalan sang sufi kita wajib menjemput rasa sakit yang sama.

Beberapa tahun yang silam saya pernah mengikuti perjalanan dua lelaki Jawa tradisional penghayat kebatinan kejawen dalam dua kesempatan berbeda. Yang pertama di Jawa Timur; yang kedua di Jawa Tengah. Dari mereka saya mengenal religi Jawa yang tua. Keduanya satu pemahaman bahwa kontak spiritual dengan pengayom Tanah Jawa di alam gaib tidak dapat dilakukan sepanjang Ramadhan. Sebab, pada bulan tersebut para badan alus menarik diri untuk memusatkan cipta, rasa, dan karsa hanya kepada Yang Maha Tunggal.

Umat Hindu Bali memaknai hari raya Nyepi sebagai penyucian bhuwana agungdan bhuwana alit (makrokosmos dan mikrokosmos) demi kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin, kehidupan yang berlandaskan kebenaran (satyam), kesucian (sivam), dan keharmonisan (sundaram). Sesuai hakikat itu, mereka melaksanakan tapa, yoga, dan semadi, yang intinya tak mengobarkan hawa nafsu, melakukan penyucian rohani, mawas diri, dan tak mengumbar kesenangan: hanya memusatkan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi.

Seyogianya referensi itu mengisyaratkan agar kita mendalami hakikat makna Ramadhan. Saya pernah mendapati seorang Muslim yang menghayati ilmu karuhun di suatu perkampungan di Jawa Barat membuat ruang bawah tanah di rumahnya. Fungsi kamar itu, menurut dia, sebagai sarana untuk mencapai puasa yang sempurna. Puasa, seperti kita tahu, tak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga dari berbagai keinginan tak senonoh yang menyalahi hukum Tuhan. Ruang khalwat bawah tanah untuk menempa diri juga digunakan oleh Sunan Drajat, yang situsnya terdapat di Lamongan, Jawa Timur.

Tersesat dari tujuan

Alangkah mudah mencibir mereka yang memilih lapar selama tiga hari berturut-turut karena bersedekah kepada fakir miskin. Seberapa lapang dada dan toleransi kita kepada umat agama lain? Betapa enteng menebar sinisme terhadap konsep religi yang dihayati nenek moyang di Nusantara, padahal kita tak tahu hakikatnya. Begitu lekasnya kita menuduh Wali Sanga telah mencampuradukkan ajaran Islam dengan berbagai khurafat tanpa mendalami substansi aspek-aspek kemanusiaan kita sendiri.

Sinisme dan kecongkakan itu, tak lain, terbit dari kebodohan. Kita menafikan kelemahan manusiawi, lantas melecehkan metode buat mengatasi kelemahan itu. Kita berpikir seolah-olah agama diturunkan untuk malaikat, bukan untuk manusia beserta segenap sisi kemanusiaan yang problematik.

Kita juga kadang-kadang berlebihan menanggapi kewajiban puasa. Dengan arogan kita menuntut warung makan dan restoran tutup pada siang hari. Kita lupa ada hak-hak orang lain yang dilanggar dengan kepongahan itu. Atas nama puasa, kita hancurkan puasa kita.

Kita bekuk hak saudara kita untuk mencari nafkah dan hak orang yang berbeda agama untuk makan di restoran pada siang hari. Sementara itu, selama berpuasa hati dan pikiran kita sibuk dengan angan-angan kuliner. Puasa pada siang hari, lalu memuaskan perut pada malam hari. Tanpa keteguhan di perjalanan, kita pun tersesat dari tujuan. Tak ada yang pantas diharapkan dari puasa yang demikian....

KURNIA JR

SASTRAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Memaknai Puasa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Mencari Dirigen Kebudayaan (ACEP IWAN SAIDI)

Dicari, Dirjen Kebudayaan", demikian judul berita yang diturunkan harian ini (Kompas, 18/6/2015). Judul ini segera menginformasikan bahwa sang dirjen yang diidealkan belum juga ditemukan. Hal ini juga yang dikatakan Erry Riyana Hardjapamekas, Ketua Panitia Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Madya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Karena kemarin belum mendapatkan yang sesuai harapan, kami buka seleksi lagi, membujuk lagi. Mungkin tiga pekan lagi harus selesai," demikian Erry.

Dibonsai dalam jambangan

Proses seleksi sedemikian kiranya bisa menjadi  representasi bahwa kebudayaan adalah ranah yang tidak mudah dicarikan modelnya pada sosok. Siapakah seorang budayawan, pakar budaya, manajer budaya, atau sarjana budaya, adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Mereka tentu bukan seseorang yang hanya aktif berpikir, menulis, atau berolah-laku di bidang-bidang tertentu yang sering dikategorikan sebagai elemen kebudayaan itu sendiri. Jika kita sepakat dengan definisi kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan karya, mereka tentu manusia paripurna.

Halnya menjadi kian rumit jika kita merujuk pada pengertian kontemporer bahwa kebudayaan tidak lain adalah hal keseharian, yakni hidup itu sendiri yang renik dan kompleks (Barker, 2004). Maka, jika kementerian, direktorat jenderal, dan apa pun nama lembaga itu diandaikan sebagai representasi dari ranah yang dinaunginya, kebudayaan tentu ada pada semua institusi tersebut. Anda bisa memprotes saya dengan mengatakan bahwa dalam hal kementerian dan lembaga-lembaga lain tadi, atau dalam hal keilmuan, ini adalah soal fokus garapan, soal spesialisasi akademik.

Baiklah. Namun, justru di situ letak soalnya. Sejauh ini, sejak negara ini berdiri dan sejak pertama kali institusi yang namanya pemerintah mengelolanya, kebudayaan telah dibonsai dan ditanam pada jambangan minus pupuk. Kebudayaan diletakkan pada sebuah sistem pembangunan yang mengabdi pada ekonomi belaka.

Di situ, kebudayaan diciutkan menjadi terma kesenian dan hanya bersifat fisik pula. Maka, menyedihkan jika kita mengingat perdebatan sepanjang hayat  negeri ini, setidaknya sampai kini. Dengarlah, di luar pagar kuasa, para pakar dan pengamat tak henti berteriak, "bukan itu yang dimaksud kebudayaan, bukan hanya kesenian, apalagi jika dibandingluruskan dengan pariwisata!" Namun, itulah nasib kebudayaan di tangan kuasa, di hadapan kita.

Kalbu pembangunan

Ironis jika ingatan kita ditarik ke belakang, ke sebuah masa di mana republik ini belum berdiri. Delapan puluh tahun lalu atau sepuluh tahun sebelum bangsa ini merdeka, sekelompok cendekiawan telah menjadikan kebudayaan sebagai visi pembangunan manusia di masa depan. Sejarah mencatatnya sebagai "polemik kebudayaan" (1935).

Lepas dari segala kelemahannya, polemik kebudayaan kala itu telah menjadikan kebudayaan sebagai landasan untuk memandang dan kemudian mencoba merumuskan apa yang oleh Sutan Takdir Alisyahbana (STA) disebut sebagai manusia baru Indonesia, yakni manusia yang harus "Menuju ke Laut" (salah satu sajak STA) dan menjadikan individu berjuang dengan Layar Terkembang(judul novel STA).

 Jika yang menjadi "imaji kebudayaan" adalah manusia masa depan sedemikian, jelas kebudayaan adalah kalbu pembangunan. Oleh karena itu pula, dalam sebuah sistem kenegaraan, kebudayaan sejatinya hadir dan eksis dalam setiap departemen di pemerintahan. Kebudayaan seyogianya menjadi perekat, menjadi fondasi pembangunan. Bukankah Soekarno menggali nilai-nilai Pancasila juga dari kebudayaan. Bukankah gotong royong itu adalah kebudayaan yang melekat pada masyarakat, yang hingga hari ini diyakini tetap menjejak sebagai gen, sebagai "DNA".

Redefinisi dirjen

Jika begitu, siapakah yang harus menjadi dirjen kebudayaan? Sebelum pertanyaan ini dijawab, kiranya kita harus terlebih dahulu mempertanyakan: apakah istilah dirjen itu sendiri tepat digunakan untuk kebudayaan. Dirjen, kita tahu, adalah unsur pelaksana pada kementerian atau lembaga negara yang mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan juga membuat standardisasi hal-hal teknis di bidangnya. Nah, bagaimana kebudayaan sebagai hal-hal keseharian yang renik dan kompleks, yang diniscayakan eksis pada setiap departemen dapat dirumuskan oleh seorang dirjen? Perumusan atas kebudayaan bukankah justru menjadi bertolak belakang dengan hakikat kebudayaan itu sendiri.

Oleh karena itu, hemat saya kita tidak perlu mencari dirjen kebudayaan. Alih-alih mencarinya, yang harus dilakukan justru menyusun rumusan baru mengenai jabatan tersebut, melakukan redefinisi terhadap yang selama ini diberlakukan. Terkait hal ini sudah saatnya juga dipikirkan sebuah tempat yang bisa mendudukkan seseorang menjadi "pemimpin kebudayaan" yang terlibat bersama di dalam proses berbudaya itu sendiri. Saya ingin menyebut pemimpin kebudayaan tersebut sebagai seorang dirigen.

 Sebagaimana layaknya seorang dirigen, tugas yang bersangkutan bukan merumuskan apalagi membuat standardisasi, melainkan "menuntun sekaligus bergerak bersama" ke arah terciptanya sebuah "aransemen kebudayaan" yang  renik dan kompleks itu. Dirigen adalah konduktor yang menghantarkan arus keberagaman yang acap juga saling bertegangan. Dalam posisi ini, ia pun tak boleh hanya terpaku di kementerian kebudayaan, melainkan mengoordinasi semua kementerian.

Bukankah bidang pertanian, ekonomi, kesehatan, politik, hukum, olahraga, bahkan agama, tidak pernah bisa lepas dari kebudayaan. Bukankah, sekali lagi, kebudayaan justru menjadi fondasi semua bidang tersebut. Maka, dengan ini bolehlah ke depan kita berharap lahirnya politik yang berbudaya, ekonomi yang berbudaya, hukum yang berbudaya, dan seterusnya.

Pada Kementerian Kebudayaan sendiri, hemat saya, lebih tepat dibentuk direktorat jenderal kesenian. Dengan demikian, dirjen kebudayaan diganti dengan dirjen kesenian. Bukankah selama ini yang dikelola dirjen kebudayaan-dengan segala kesemrawutannya-adalah juga soal kesenian. Bukankah, seperti telah disinggung di atas, makna kebudayaan telah disempitkan sedemikian. Kita tahu kesenian juga bukan melulu hal yang fisik (tangible), melainkan juga  nonfisik (intangible).

Kesenian juga bukan perkara yang bisa diurus dengan mudah. Dari sisi bentuk saja, ia memiliki banyak genre. Namun, setidaknya batasan ini akan membuat pekerjaannya lebih fokus.

ACEP IWAN SAIDI

Dosen Desain dan Kebudayaan di Sekolah Pascasarjana FSRD ITB

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 6 dengan judul "Mencari Dirigen Kebudayaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Netralitas Polisi dalam Politik (BAMBANG WIDODO UMAR)

Dilema Polri dalam konstelasi politik adalah menjaga "netralitas" organisasi dan anggotanya selaku "alat negara" penegak hukum, pemelihara kamtibmas, dan pelayan masyarakat. Netralitas Polri akan ternodai manakala muncul elite polisi aktif terseret dalam kancah politik praktis dengan membangun relasi untuk mencapai kepentingan partai politik tertentu.
DIDIE SW

Kekhawatiran atas dugaan keterlibatan elite polisi aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam kancah politik praktis adalah wajar. Masa Orde Lama, Orde Baru, juga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengangkat Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai pemangku jabatan Kapolri mendapat tekanan dari Jenderal (Pol) Suryo Bimantoro yang kemudian dijadikan landasan oleh DPR untuk menyelenggarakan sidang istimewa dan berakhir dengan melengserkan Presiden Gus Dur. Demikian pula dalam kasus VCD Banjarnegara, seorang Kapolwil berkampanye di hadapan para purnawirawan polisi agar dalam pemilu memilih calon presiden dari partai tertentu.

Tahun ini dalam pelaksanaan pilkada serentak, tentu diharapkan netralitas polisi terjaga. Hal ini mengingat dalam Pilpres 2014 ditengarai ada segelintir elite polisi aktif yang diduga membantu menyukseskan calon presiden dari partai tertentu. Memang tak mudah bagi elite polisi aktif melepaskan diri dari konstatasi politik yang bisa membius dirinya ikut serta dalam kancah politik praktis. Selain faktor pribadi, masalah regulasi dan kompetisi antarpartai politik dalam pilkada yang belum sehat juga cenderung menjadi pokok persoalan.

Kerawanan UU Kepolisian

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 28 Ayat (1) meskipun telah diatur secara jelas bahwa Polri harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, dalam praktik adanya terhadap dugaan keterlibatan elite polisi yang melanggar pasal ini belum pernah dilakukan pengusutan secara tuntas dan diberikan sanksi yang sesuai.

Titik rawan netralitas polisi itu terletak pada fungsi kepolisian yang dinyatakan pada Pasal 2 UU No 2/2002 sebagai salah satu "fungsi pemerintahan" negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat. Perumusan fungsi kepolisian ini bisa membawa ke arah penggiringan organ kepolisian menjadi agent of political stabilisation pemerintah karena posisinya di lingkungan eksekutif sehingga netralitas dalam tugasnya terganggu. Di negara-negara demokrasi, fungsi kepolisian adalah "penegak hukum" dan "netralitas" dalam menjalankan tugas menjadi tumpuan utama.

Selain itu, ditetapkannya posisi Polri di bawah Presiden pada Pasal 8 (1) dalam UU No 2/2002 tanpa "pengikat" (sanksi) yang jelas, jika organ polisi digunakan sebagai alat kepentingan politik presiden juga dapat mengganggu netralitasnya dalam menjalankan tugas. Demikian pula ketentuan Pasal 11 (1) yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri lewat persetujuan DPR, bisa menjadi peluang politisasi polisi dan merangsang elite polisi jauh-jauh hari sudah mulai mendekati partai politik tertentu untuk memuluskan kariernya. Efek sampingnya adalah timbul semacam faksi-faksi atau patron-patron dalam pengembangan karier sehingga persaingan pun berlangsung tidak sehat (tidak mandiri).

Kekuasaan besar yang diamanahkan kepada Polri sebagaimana diatur pada Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 tanpa disertai pengawasan yang kuat dan pemberian sanksi yang tegas atas pelanggarannya berpengaruh pula terhadap netralitas kepolisian.

Kekuasaan besar polisi itu bisa merangsang individu atau golongan untuk mendekatinya sebagai upaya menjaga relasi untuk pengamanan diri (safety first). Apalagi, dalam UU No 2/2002 tidak dirumuskan secara tegas mekanisme pertanggungjawaban polisi sebagai institusi. Apakah polisi bertanggung jawab kepada Presiden, kepada elite politik di parlemen, atau kepada publik? Meskipun pada Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, pasal ini tak secara tegas mengatur pertanggungjawaban institusional (Makmur Keliat, 2005).

Netralitas polisi juga dipengaruhi sistem anggaran yang diatur dalam UU No 2/2002. Dalam undang-undang itu tidak dirumuskan secara jelas (dalam satu pasal) pendanaan APBN untuk tugas-tugas kepolisian. Demikian pula tidak ada satu pun pasal yang mengatur bagi setiap anggota kepolisian berhak untuk memperoleh penghasilan yang layak sesuai dengan beban tugasnya dan dibiayai dari anggaran yang bersumber dari APBN. Hanya Pasal 26 Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap anggota Polri memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak, sedangkan dari mana sumbernya tidak jelas (Sri Yunanto, 2005).

Ketidakjelasan aturan itu seolah memberi peluang bagi polisi mendapatkan sumber dana yang berasal dari masyarakat (terutama pengusaha) dengan alasan karena kekurangan biaya operasional yang sering disebut dengan istilah "parman" (partisipasi teman). Adanya peluang dalam undang-undang untuk mendapatkan pendanaan dari sumber-sumber non-negara jelas merusak netralitas kepolisian. Dalam jangka panjang keamanan akan menjadi masalah yang sangat serius, yaitu warga yang memperoleh rasa aman adalah warga yang dapat membayar polisi.

Polisi bukan politisi

Kepolisian di negara demokrasi diidentifikasikan sebagai lembaga yang berkaitan dengan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Dilema yang melekat pada fungsi ini adalah ciriarcanum aksi kepolisian, di mana ia bekerja pada ruang privat, tetapi menimbulkan efek pada ruang publik. Aksi kepolisian dalam mengelola kekuasaan yang diberikan sangat mungkin menghilangkan rasa aman seseorang atau sekelompok orang. Inilah yang menimbulkan kesan terhadap kepolisian sebagai "alat kekuasaan".

Antagonisme fungsi kepolisian (yudisial) dengan fungsi pemerintahan (executive) ada sejak kelahirannya. Dalam komunitas yudisial, polisi bekerja melalui orientasi moral dengan acuan kerja salah atau benar, sedangkan dalam komunitas eksekutif, pemerintah, bekerja melalui orientasi politik dengan acuan kalah menang. Kontradiksi ini melekat pada fungsi masing-masing, tetapi tidak berarti bahwa dalam praktik hal itu tidak bisa diatur. Untuk mengatasi hal itu bisa dilakukan dengan membangun relasi-relasi antarwarga dalam community policing, misalnya. Negara memiliki hak untuk mengintervensi individu demi stabilitas dan harmoni bagi seluruh warganya. Menurut pandangan ini, demi tercapainya rasa aman, masyarakat bersedia menukar hak asasinya melalui proteksi dari negara. Dengan catatan negara (cq pemerintah) bertindak adil dan menindak tegas aparatnya yang melanggar hak asasi manusia.

Kesulitan penerapan aksi kepolisian ini terkait bagaimana mendeteksi gangguan secepat mungkin pada ruang publik, sementara tindakannya terarah pada individu yang berarti ikut campur ke dalam ruang privat. Dalam rangka deteksi dini, kebutuhan informasi dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat pun ditembus lewat aksi di luar kontrol publik. Di sini ada nuansa tersembunyi, di mana aksi kepolisian melampaui batas-batas hak asasi manusia. Aksi ini jelas bertentangan dengan ketentuan penegakan hukum.

Seidman (1971) menjelaskan bahwa meskipun penegakan hukum dan ketertiban masyarakat bersifat normatif, kewenangan polisi untuk kepentingan itu bersifat politis. Dalam hal ini penegakan hukum dan ketertiban masyarakat mendapat prioritas menjadi hak kolektif seperti national self determination, sama halnya dengan hak asasi manusia yang bersifat universal karena mengacu pada hak-hak yang mewakili seluruh umat manusia. Untuk memilah tindakan polisi yang bersifat normatif dengan tindakan yang bersifat politis diperlukan lembaga kontrol yang independen dan kuat.

Di sinilah kontrol terhadap polisi itu dikembalikan kepada civil liberty, seperti hak milik privat. Setiap intervensi polisi terhadap warga masyarakat (sipil) dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat sebenarnya merupakan campur tangan ke wilayah privat. Karena itu, polisi harus menjadi "cermin" dari kepentingan masyarakat sipil (civil society), bukan kepentingan elite politik meskipun organ kepolisian ciptaan politik sebagai the condition of impossible dari aplikasi legislasi equality dan individual autonomy.

Titik rawan aturan-aturan di dalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kaitan dengan netralitas polisi terletak pada perumusan yang bersifat vertikalistis dalam fungsi, tugas, peranan, kewenangan, dan pengawasannya. Dalam negara demokrasi, lembaga kepolisian tidaklah berdiri sendiri dalam membangun moral kolektif. Banyak lembaga lain (formal dan nonformal) terlibat di dalamnya.

Peran masyarakat sipil, seperti lembaga masyarakat adat, perlu didudukkan dalam undang-undang, apalagi pluralisme hukum merupakan suatu keniscayaan di alam Indonesia. Oleh karena itu, untuk menuju ke arah negara demokrasi, perubahan undang-undang kepolisian perlu dilakukan dengan tidak bersifat vertikalistis dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Selain itu, harus dihindari hegemoni kepolisian atas kelembagaan lain yang tersusun secara terselubung dalam teks-teks untuk kepentingan parsial dengan alasan demi kepentingan umum.

Perkembangan Polri setelah 69 tahun sejak kelahirannya yang diharapkan menunjukkan peningkatan secara signifikan sebagai sosok polisi yang netral dalam menjalankan tugas, tampak belum sepenuhnya tercapai. Endapan citranya yang diidentifikasikan sebagai alat kekuasaan masih kental. Seiring hal itu reformasi Polri yang telah berjalan 15 tahun juga belum berpengaruh terhadap netralitas polisi. Pertanyaannya, mungkinkah membangun netralitas Polri tanpa kebijakan politik untuk melakukan perubahan secara mendasar?

 BAMBANG WIDODO UMAR

GURU BESAR SOSIOLOGI HUKUM FISIP UI; PENGAMAT KEPOLISIAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 6 dengan judul "Netralitas Polisi dalam Politik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Dana Aspirasi, Dana Politik (ADNAN TOPAN HUSODO)

Pertimbangan arif berbagai pihak yang telah dikemukakan, baik melalui beberapa media massa maupun langsung bertatap muka dengan DPR, tidak menyurutkan langkah politisi Senayan untuk mengegolkan rancangan dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar per orang.

Dalam Rapat Paripurna DPR, meskipun tidak dengan suara bulat-karena ada beberapa fraksi yang menolak-usulan dana aspirasi akhirnya disahkan sebagai sebuah kebijakan DPR. Pada tahap ini, tentu saja bukan berarti DPR serta-merta bisa menikmatinya karena pada saat yang bersamaan, pemerintah memberi sinyal penolakan.

Tanpa restu dari pemerintah, apa yang telah diputuskan DPR akan mentah kembali. Hal ini setidaknya merujuk kepada ketentuan yang ada, bahwa fungsi anggaran DPR adalah memberikan pengesahan dan persetujuan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN. Dengan kata lain, DPR tidak dapat secara sepihak memutuskan sesuatu yang berkenaan dengan APBN, sebagaimana yang kita lihat dalam konteks dana aspirasi.

Tiga argumen penolakan

Arus utama penolakan dana aspirasi setidaknya terletak pada tiga argumentasi besar. Pertama, kecenderungan atau potensi korupsi yang semakin merajalela jika dana aspirasi disetujui. Koalisi Kawal Anggaran, misalnya, menyebutkan dalil ini dengan merujuk kepada kasus korupsi yang melilit anggota DPR dalam program percepatan pembangunan infrastruktur daerah (PPID) sebelumnya. Mereka mengacu pengalaman Filipina yang anggota senatnya banyak terjerat korupsi dana pork-barrel, sejenis dana aspirasi yang baru saja disetujui Dewan.

Tak kurang Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo serta beberapa politisi dari PDI Perjuangan, seperti Budiman Sudjatmiko merujuk alasan potensi korupsi sebagai dasar menolak dana aspirasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah mengingatkan DPR untuk tidak tergesa-gesa mengegolkan dana aspirasi karena belum tersedianya sistem pengelolaan yang transparan.

 Kedua, klaim DPR yang menyebutkan bahwa dana aspirasi akan mendorong pemerataan pembangunan di daerah dianggap prematur, bahkan manipulatif. Sebaliknya, menurut kelompok yang kontra, dana aspirasi hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan dan ketidakmerataan karena faktanya, basis perhitungan dana aspirasi yang pukul rata per anggota berdasarkan perolehan kursi, konsentrasi dana aspirasi akan terjadi di Pulau Jawa mengingat jumlah kursi terbesar DPR ada di Jawa, dengan alokasi sebesar Rp 6,12 triliun dari 306 kursi.

Sementara, Bali-Nusa Tenggara sebagai perbandingan, hanya bisa mendapatkan Rp 640 miliar dari 32 kursi yang tersedia. Padahal, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur adalah dua provinsi yang masih terus berjuang untuk terhindar dari berbagai macam persoalan, seperti kemiskinan yang parah serta tingkat kualitas kesehatan yang buruk, ditandai dengan tingginya angka kematian bayi karena bergizi buruk. Konsep dana aspirasi lantas dituding akan mempertegas pendekatan pembangunan yang bias Jawa.

 Ketiga, wewenang DPR dalam menetapkan dana aspirasi secara sepihak dianggap kebablasan karena tidak ada aturan yang memayunginya sama sekali. Perluasan wewenang DPR dalam fungsi anggaran dituding sebagai inkonstitusional dan dipandang melanggar atau menabrak berbagai ketentuan yang berlaku.

Dua alasan

 Bisa dikatakan, semua argumentasi yang telah diajukan untuk menolak dana aspirasi usulan DPR adalah valid. Namun, DPR abai terhadap hal itu. Pertanyaannya, mengapa mereka ngotot menyetujui dana aspirasi di tengah penolakan dari berbagai pihak? Ada dua pengalaman empiris yang mungkin merupakan jawabannya.

 Pertama, program pemberantasan korupsi pada sektor penegakan hukum yang dicanangkan oleh, khususnya, KPK telah menyasar DPR. Berbagai upaya untuk menguasai sumber daya publik (APBN) melalui cara-cara ilegal dan korup sebagiannya kini dapat terdeteksi penegak hukum. Tidak kurang sudah ada 75 anggota DPR yang dijerat dengan pasal korupsi oleh KPK hingga tahun 2015. Upaya KPK ini merupakan sebuah ancaman dari sistem koruptif yang sudah telanjur mapan.

Agenda penindakan korupsi KPK juga barangkali secara langsung telah mempersempit ruang gerak korupsi yang biasanya dilakukan para aktor politik untuk mendapatkan sokongan dana politik, selain korupsi sebagai cara untuk memperkaya diri sendiri. Oleh karena itu, cara legal perlu ditempuh untuk tetap mendapatkan sumber pendanaan politik. Caranya melalui legalisasi berbagai usulan dan program sebagaimana dalam kasus dana aspirasi, sepanjang ruang kontrol atas dana tersebut secara relatif masih berada di tangan politisi secara langsung.  

 Kedua, dalam situasi di mana kebutuhan untuk mendanai politik semakin besar, dan tekanan untuk mempertahankan posisi dan kekuasaan juga tinggi, sementara pada saat yang sama cara ilegal untuk mengakses dana publik kian sulit dilakukan, maka cara yang paling masuk akal ditempuh adalah dengan membangun mekanisme yang dipandang sah untuk memenuhi kebutuhan itu.

Anggaran sebesar Rp 20 miliar untuk setiap wakil rakyat yang diklaim akan digunakan untuk kepentingan konstituen sangat mungkin sejatinya untuk menjawab tantangan baru ini. Atas nama kepentingan konstituen, anggota DPR dapat memanfaatkan dana aspirasi untuk memelihara pengaruh serta cengkeraman di daerah pemilihan mereka.

Berbahaya

 Implikasi pendekatan ini sebenarnya sangat berbahaya karena akan menyebabkan kompetisi politik menjadi tidak sehat. Anggota Dewan dari petahana akan sangat mudah maju kembali sebagai wakil rakyat dan memenangi konstestasi karena usaha menanam pengaruh sudah dilakukan selama lima tahun melalui penggunaan dana aspirasi. Pada saat yang sama, saat pemilu berlangsung, mereka sangat mungkin tidak perlu mengeluarkan anggaran sebesar sebelumnya untuk mempertahankan kursi mereka di Senayan.

Sebaliknya, calon anggota legislatif yang baru pertama kali maju akan mendapatkan tekanan lebih besar untuk menyediakan dana kampanye, termasuk untuk kepentingan politik uang.

 Oleh karena itu, karena masalah utamanya adalah pada mencari sumber pendanaan politik, cara menyelesaikannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan individual sebagaimana dalam konteks dana aspirasi. Supaya tidak chaos, partai politik yang menjadi tempat bernaung para anggota Dewan adalah sumber yang harus dibenahi. Karena masalahnya tetap sama, yakni akses pendanaan politik, sudah semestinya gagasan untuk menaikkan bantuan keuangan partai politik dibicarakan lebih serius.

Hal ini menjadi urgen karena partai secara riil tak dapat bersandar sepenuhnya kepada sumbangan atau donasi anggotanya. Akan lebih baik jika dana aspirasi itu dialihkan untuk keperluan meningkatkan dana bantuan partai dari negara. Argumentasinya sederhana, meminta partai politik lebih akuntabel sebagai organisasi akan jauh lebih mudah daripada meminta individu-individu anggota DPR penikmat dana aspirasi mempertanggungjawabkan pengelolaannya.

ADNAN TOPAN HUSODO

Koordinator ICW

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Dana Aspirasi, Dana Politik"


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senin, 29 Juni 2015

‎ 50 TAHUN "KOMPAS": Terus Berseru di Tengah Kebisingan (JAKOB OETAMA)

Pada hari ulang tahun setengah abad harian ini, selain rasa syukur juga terima kasih kepada berbagai pihak, secara khusus kepada Saudara PK Ojong almarhum-rekan perintis dan pendiriKompas-juga kesempatan melakukan introspeksi khusus. Seberapa jauhKompas teguh menghidupi panji-panji pengabdian Amanat Hati Nurani Rakyat?

Kompas didasarkan atas kondisi kemajemukan Indonesia, manifestasi Indonesia. Indonesia Mini. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, satu dalam keanekaan. Indonesia yang majemuk, tidak dalam arti masing-masing bagian serba soliter, melainkan komplementer, saling memperkaya dan merekat.Kompas sesuai dengan namanya "penunjuk arah", fotokopi kemajemukan Indonesia, terus berusaha ikut memberi kontribusi dalam pengembangan negara dan bangsa Indonesia. Kompas merajut Nusantara.

Kompas yang sejak awal dilandasi sikap humanisme transendental, percaya akan peranan Ilahi dalam kehidupan dan karya manusia yang berkehendak bebas, di bawah payung Pancasila sebagai batu sendi sekaligus batu penjuru, tidak bisa tidak terlibat dalam jatuh-bangun kehidupan negara dan bangsa Indonesia, Indonesia merdeka yang hampir berusia 70 tahun.

Saksi sekaligus pelaku

Sebagai bagian integral masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, Kompasberada dalam peristiwa besar, menengah, dan kecil sejarah bangsa-negara Indonesia. Selama 1965-2015, prinsip utama komunikasi saling memberi dan menerima berlangsung serentak. Kompas memberikan kontribusi bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, begitu juga sebaliknya.

Setelah ditutup pada 20 Januari 1978-5 Februari 1978, memilih, memilah, dan memberi makna jadi pekerjaan yang tidak lagi sederhana, pun dengan penyangga politics of values sebagai sikap dan pandangan. Pilihan perlu disertai pertimbangan akal sehat, kepekaan, dan komitmen. Untuk berbagai persoalan dan peristiwa tertentu yang supersensitif, dalam melakukan pekerjaan jurnalistik, mengutip kata-kata filsuf Soren Kierkegaard, perlu dilakukan dalam keadaan in fear and tremblingin anguish(dalam rasa takut dan cemas).

Industri media sebagai usaha idealisme sekaligus bisnis yang masuk akal dibayangi rasa takut dan cemas-pada era 1978-1998-tampak menonjol, terus coba diurai dengan segala cara. Ketakutan sewaktu-waktu ditutup semasa pemerintahan Orde Baru, bagi media, termasuk Kompas, merupakan adrenalin senantiasa cerdas-cerah menemukan katup pelepas. Kecemasan menjadi bagian dari vitalitas, dan kreativitas, berlangsung sampai tumbangnya pemerintahan represif Soeharto lewat Reformasi 1998.

Peristiwa-peristiwa besar lain yang menggerus hak asasi manusia, termasuk peristiwa-peristiwa dunia, seperti terorisme, globalisasi, konflik, termasuk musibah yang silih berganti menimpa di dalam negeri maupun di berbagai belahan dunia, tidak terlewat dari amatan Kompas. Tidak kalah penting lewat liputan, tulisan, dan tajuknyaKompas berkontribusi Indonesia terbebas dari ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan.

Rumusan klasik media sebagai watch dogtidak bisa disampaikan secara hitam-putih. Representasinya perlu disertai sikap tenggang rasa dan tahu diri. Critics with understanding, yang terjemahannya kadang tegas, kadang terkesan miyar-miyur, menunjukkan kearifan mengambil posisi sebagai guru yang tidak memaksakan, tetapi menawarkan.Kompas berada di tengah dengan ngono yo ngono, ning apike ngene bae (begitu ya begitu, tetapi sebaiknya begini), termasuk dalam hal membedakan dependensi dan independensinya.

Pengalaman Kompas yang lahir tiga setengah bulan sebelum peristiwa 1965 berkembang dalam represi Orde Baru, bersamaan dengan perubahan besar dunia industri media di Indonesia. Perubahan tersebut terjadi sebagai hasil interaksinya dengan ideologi, politik, dan ekonomi Orde Baru. Perubahan besar pasca Reformasi 1998 tidak membuatKompas berubah menjadi radikal dan drastis. Perubahan demi perubahan dihidupi secara ugahari, tetap santun dan tahu diri, bukan euforia, dan tidak meledak-ledak.

Hadir dan semakin gencarnya pengaruh media noncetak, belakangan blogger, disikapi bukan sebagai pesaing, tetapi teman (socius),seiring dan seperjalanan. Apalagi kini semua orang bisa menjadi wartawan dengan memiliki blog yang potensial menimbulkan masalah verifikasi benar-tidaknya, santun-tidaknya, dan layak-tidaknya.

Persaingan semakin sengit

Posisi Kompas, di tengah kebisingan-semua orang menyampaikan informasi kepada publik, media pun ibarat pasar serba ada. Dunia informasi menjadi riuh dan bising, termasuk oleh kejadian dan informasi yang berseliweran liar. Dalam kondisi demikian, Kompas terus mengantisipasi, menyeimbangkan jati dirinya secara cerdas sebagai lembaga ideal sekaligus bisnis.

Visi dan komitmen Kompas tetap, tetapi diaktualisasikan dan disampaikan lebih relevan dengan perkembangan zaman. Begitu juga dalam menerjemahkan panji-panji Amanat Hati Nurani Rakyat. Berlakulah seruan filsuf-kaisar Romawi kuno, Cicero, Otempora o mores, bahwa dalam tiap zaman berlaku kebiasaan dan tabiat yang berbeda-beda. Begitu juga roh kemanusiaan yang beriman (humanisme transendental), dalam hal prinsip- prinsipnya tetap, tetapi dalam hal aktualisasi, pengayaan dan perwujudannya perlu terus didialogkan dengan perkembangan zaman.

Senyampang prasyarat ideal media yang terus-menerus menggoyang-goyangkan diri, sejalan kedalaman dan pesan yang ingin disampaikan-"kemewahan" yang lebih dimiliki media cetak-Kompas terus menggugat. Mengenal Tanah Air, salah satu topik yang diluncurkan sejak lima tahun terakhir sebagai contoh, disampaikan dalam berbagai liputan. Dijadikan kerja bersama seluruh media,mainstream maupun nonmainstream. Tidak hanya dalam media cetak, tetapi juga elektronik, digital, buku cetak, maupun e-book.

Peranan unit lembaga Litbang Kompasmenjadi keniscayaan, begitu juga unit-unit pendukung lain, seperti unit Teknologi Informasi dan unit Sumber Daya Manusia, bersama-sama menopang program kerja bareng Redaksi dan Bisnis. Media noncetak dikembangkan untuk memperkuat cetak.

Dalam 50 tahun ke depan, tantangan industri media cetak semakin besar. Persaingan antarindustri media semakin sengit. Selain oleh hadirnya medianonmainstream, juga berbagai persoalan yang meliar, direcoki komentar dan cenderung memperkeruh persoalan, yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi menimbulkan masalah baru. Lingkungan yang dihadapi adalah lingkungan serba bising. Kompas yang berseru di tengah kebisingan berusaha terus jadi suar.

Introspeksi dan tindak lanjut pasca 50 tahun usia Kompas, selain ucapan syukur, juga terima kasih atas kerja sama dan sumbangan berbagai pihak, seperti pembaca, pemasang iklan, kontributor artikel, narasumber, OmbudsmanKompas, agen dan pengecer, termasuk pemerintah yang memberikan kesempatan bagi Kompas dalam ikut serta menegara dan memasyarakat. Juga kepada seluruh karyawan, termasuk wartawan, mereka yang sudah purnakarya maupun masih berkarya.

Yang membentang di depan tantangan semakin bervariasi, dan persaingan antarindustri media semakin ketat. Yang tak putus kami usahakan adalah terus berseru di tengah kebisingan! Tidak asal berteriak, tetapi secara cerdas, bernalar, serba tahu diri.

Nama Kompas lebih mulia dan lebih besar daripada nama pendiri dan pengasuhnya. Kompas berusaha membalikkan pernyataan bersayap pujangga Jerman, Johann von Schiller, "Abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar, tetapi momen sebesar ini hanya mendapatkan manusia kecil". Dalam 50 tahun ke depan, kita berusaha semoga zaman besar menghasilkan manusia besar, bukan manusia kecil.

Syukur dan terima kasih kepada semua pihak!

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juni 2015, di halaman 1 dengan judul "Terus Berseru di Tengah Kebisingan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger