Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 31 Oktober 2016

Pilkada Serentak: Pilkada dan Keindonesiaan Kita (SISWONO YUDO HUSODO)

Oktober tahun ini genap11 winduSumpah Pemuda. Waktu yang tepatuntukkontemplasi keindonesiaan kita. Semua pihak harus menyadari bahwa masyarakat Indonesia yang ada hari ini adalah penerus dan kelanjutan dari masyarakat yang dicita-citakan oleh para pemuda pada tahun 1928 tentang sebuah bangsa baru, yang sangat heterogen, terdiri dari banyak suku, bahasa, budaya, agama, dan kepercayaan, yang bernama bangsa Indonesia.

Bangsa dan negara ini tidak akan lahir tanpavisi kebangsaan yang sangat kuat. Visi itu sangat terasaketika ruang hidup bangsa ini disebut dengan "Tanah-Airku".

Para pendiri bangsa dan negara ini jelas ingin membangun sebuah negara Indonesia yang dimiliki semua orang Indonesia. Semua orang Indonesia, tanpa membedakan latar belakangnya, berhak untuk hidup dan berkembang di mana pun di dalam wilayah Tanah Air-nya.

Bung Karno, menyitir Ernest Renan, mengatakan bahwasebuah bangsa adalah satu jiwa, satu spirit yang sama, karena sejatinya yang jadi pengikat suatu bangsa adalah kehendak untuk hidup bersama. Sementara Otto Bauer mengatakan, bangsa adalah satu persatuan karakter, satu watak, di mana persatuan karakter atau watak ini lahir dan tumbuh karena persamaan pengalaman. Bung Karno kemudian mendefinisikan bangsa sebagai "segerombolan manusia yang besar, kerasia punya keinginan bersatu, keras ia punya persamaan watak, yang hidup di atas satu wilayah yang nyata".

Mengakui yang menang,

menghargai yang kalah

Sebagai suatu negara-bangsa, di bidang politik kita layakbersyukur karena berhasil mereformasi diri jadi negara demokrasi terbesar ketiga di duniasetelah India dan Amerika Serikat. Kita percaya demokrasi adalah sistem terbaik untuk membawa kemajuan bagi bangsa dan negara.

Indonesia yang luas daratannya 1.919.4431 kilometer persegi dan 3.257.357 kilometer persegi lautan dikelola oleh pemerintah pusat di bawah seorang presiden dengan 34 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 6.793 kecamatan, 81.253 kelurahan, dan 72.944 desa. Oleh karena itu, setiap lima tahun masyarakat Indonesia secaralangsungmemilih presiden-wakil presiden, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, atauwali kota-wakil wali kota. Juga memilih anggotaDPR, DPD,DPRD provinsi,DPRD kabupaten/kota; juga memilih kepala desa.

Dalam banyak pemilu/pilkada, ditengarai terjadi politik uang, kampanye hitam, gugatan seusainya pilkadabahkan pembakaran kantor pemda/KPU daerah, karena salah satu pihak menganggap pilkada tidak jujur dan tidak adil (yang kemudianterungkap setelah penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK bahwa di beberapa daerah ada putusan MK mengenai sengketa pilkada yang ditentukan dengan uang). Juga belum jadi kebiasaan calon yang kalah menyampaikan pidato ucapan selamat dan mengakui kekalahannya.Pendukung kandidat yang menang juga belum biasa menyampaikan penghargaan kepada yang kalah danpendukung kandidat yang kalah belum biasa menyampaikan selamat kepada yang menang. Kondisi ideal sikap masyarakat itu harusdiawali oleh terselenggaranya pemilu/pilkada yang bebas,rahasia, jujur, adil, dan transparan.

Jika dicermati, di setiap daerah, gesekan politik terasa lebih keras bila menyangkut kompetisi memperebutkan posisi politik di tingkat daerah ketimbang di tingkat nasional.

Pada tahun 2017 akan ada pilkada serempak di 101provinsi/kabupaten/kota, termasuk diibu kota negara,Jakarta. Karenakomposisi penduduknya yang lengkap,mewakili semua unsur kebinekaan Indonesia, Jakarta adalah potret Indonesia kecil. Gubernur DKI Jakarta juga memiliki hak protokoler setingkat menteri, suatu hal yang tak dimiliki gubernur lainnya. Tokoh- tokoh elite politik nasional, jugasemua media massa besar, ada di Jakarta. Itulah Jakarta, pusat dinamika politik nasional. Akibatnya, gaung pilkada DKI yang semarak itumenasional, menjadi perhatian semua orang Indonesia di segenap penjuru negeri. Mengingat strategisnya nilai politik di Ibu Kota, persaingan akan keras sekali.

Pemilihan umum (presiden dan legislatif), serta pilkada yang berlangsung rutin lima tahun sekali, termasuk pilkada Jakarta, haruslah menjadi sarana penting bagi pendidikanpolitik serta memantapkan keindonesiaan kita sebagaibangsa yang majemuk.Akhir-akhir ini, media sosial dipenuhi berita-berita pilkada DKI. Masing-masing menjagokan calonnya dan menjatuhkan lawannya. Sayangnya, di sana-sini terselipfitnah dan caci maki yang merusak pendidikan politik.

Sesungguhnya rakyat Jakarta beruntung mendapatkan tigapasangancalon yang muda-muda dan energik pada Pilkada DKI 2017. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (50 tahun)-Djarot Saiful Hidayat (54),pasangan berlatar belakang Tionghoa-Belitung dan Jawa; politisi dengan gebrakanpembangunan yang spektakulerserta pukulan keras pada praktik korupsi di DPRD DKI Jakarta. Ahok telah dua kaliikut pilkada Belitung Timur; satu kali pemilu legislatif), DPR; dan satu kali pilkada DKI Jakarta. Djarot dua kali ikut pilkada wali kota Blitar; satu kali ikut pileg, DPR; dan satu kali pileg di tingkat DPRD.

Kedua, Anies Baswedan (47)-Sandiaga Uno (47),gabungan akademisi dengan pengusaha yang santun, yang masing-masing telah mencapai karier tertinggi di bidangnya. Anies pernah menjabat rektor diUniversitas Paramadina dan pernah menduduki jabatan Mendikbud. Sandiaga Uno, pengusaha muda yang sukses dan sempat menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).

Ketiga, pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (38)-Sylviana Murni (58), kombinasi militer dan PNS karier di Pemprov DKI. Agusberpangkat mayordengan lingkup kepemimpinan di tingkat batalyon adalah tokoh yang menonjol pada tingkatnya, dan di jenjang pendidikannya, di dalam dan di luar negeriselalu mencapai prestasi terbaik. Sylviana Murni, PNS yang menguasai seluk-beluk birokrasi, sudah mencapai pangkat tertinggi di lingkungan PNS (eselon I), sempat menjabat Wali Kota Jakarta Selatan dan Deputi Gubernur.

Dalam demokrasi, orang boleh senang dan memilih tokoh tertentu dengan kadar yang biasa sampai yang fanatik. Bolehtak senang dantak memilih tokoh tertentu, juga dari kadar yang biasa sampai fanatik. Yang tak boleh adalah fitnah,anarki, dan menghasut untuk berbuat destruktif.

Dalam kasus pilkada DKI Jakarta, bisa diperkirakan Ahok punya kelompok pendukung yang fanatik karena gebrakannya, tetapi juga punya oposisi yang fanatik karena kebijakannya melawan kepentingan-kepentingantertentu; juga karena iaterlalu kasar, kerap menyakiti atau diyakini sekelompok masyarakat haram untuk dipilih. Sementara pasangan Anies dan Sandiaga relatif tidak punya oposisi yang fanatik karena kesantunannya. Tetapi juga belum tampak adapendukung yang fanatik karena rekam jejaknya pada masa lalu belum dikenal masyarakat. Agus Harimurti dan Sylviana Murni juga belum memiliki pendukung fanatik.Juga tidak punya kelompok oposan fanatik.

Buang sentimen dan kebencian

Guna meningkatkan kualitas demokrasi, kita perlu bekerja keras menjadikan pilkada DKI Jakarta yang sedang mendapatkan sorotan publik nasional ini menyenangkan;membalik tren yang sedang berkembangbelakangan ini di mana penyebarluasanberitahoax, fitnah, dan kampanye hitam dengan cepat menyebar dalam jaringan sosial media.Secara umum, kehidupan politik negeri ini perlu terus dipelihara agar semakin demokratis, tetapi jangan membiarkan berkembangnya kebencian. Jika dibiarkan, gesekan-gesekan yang terjadidalam pemilu dan pilkada yang berlangsung rutinbisa membahayakanpersatuan nasional.

Sebaiknyalah pada setiap pilkada yang berlangsungtidak diwarnai sentimenyang berlebihan untuk saling menjatuhkan. Apalagi diwarnai tema, pilihlah putra daerah atau orang seiman, yang berbeda dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sepatutnyalah meletakkanpenilaiankepantasan seseorang untuk memimpin pada ukuran-ukuranyang umum mengenai integritas, intelektualitas, kapabilitas, dan akuntabilitas, yang sesuai dengan konstitusi, khususnya Pasal 27: "Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan...". Negara kita bukan Lebanon yang mengavling-ngavling jabatan politik berdasarkan aliran agama dan politik: Kristen Maronit, Phalangist, Druze, Islam Sunni, dan Islam Syiah.

Menurut hemat saya, keindonesiaan kita akan tuntas jika seorang kiai dari Aceh yang sangat mengenal Bali, dicintai rakyat Bali, menjadi gubernur Bali; seorang pedanda Hindu dari Bali yang sangat memahami Banten, dicintai rakyat Banten, menjadi gubernur Banten; seorang pendetadari Papua yang sangat mengenal Aceh, dicintai rakyat Aceh, menjadi gubernur Aceh; seorang ulama suku Sasak yang sangat mengenal Sulawesi Utara, dicintai rakyat Sulawesi Utara, menjadi gubernurSulawesi Utara; seorang cendekiawan Muslim orang Minang yang sangat paham Nusa Tenggara Timur, dicintai rakyat NTT, menjadi gubernurNTT; seorang Katolik dari Flores yang sangat mengenal Kalimantan Selatan, dicintai rakyat Kalimantan Selatan, menjadi gubernurKalimantan Selatan.

AS memerlukan lebih dari 180 tahun setelah merdeka baru bisa memiliki Presiden John F Kennedy, seorang Katolik di masyarakat Protestan danmemerlukan lebih 230 tahun setelah merdeka baru memiliki Presiden Barack Obama yang berkulit hitam di mayoritas kulit putih yang sangat dominan.

Kita melihat dengan penuh kebanggaan, pada masa lalu Suwarna orang Sunda menjadi Gubernur Kalimantan Timur dan Kaltim maju; Mohammad Noor, orang Madura, minoritas di Jawa Timur, menjadi gubernur legendaris di Jawa Timur. Ali Sadikin, orang Sunda menjadi gubernur legendaris di tanah Betawi. Lalu ada Ali Hasbi, orang Aceh, jadi Bupati Boyolali; Sitorus seorang Batak-Kristenmenjadi BupatiCilacap; dan Hasan Slamet, orang Banten-Muslim menjadi Gubernur Maluku yang mayoritasnya Kristen. Panglima Kodam Siliwangi pertama adalah Jenderal AH Nasution, orang Batak; rektor Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta yang legendaris pernah dijabat Prof Herman Johannes, orang Rote, NTT, danProf TeukuJacob,orang Aceh.

Saya optimistisakan datangnya waktu di mana setiap orang Indonesia akan punya kesempatan yang sama untuk meraih setiap jabatan publik di negeri ini. Semoga....

SISWONO YUDO HUSODO

Ketua Pembina Yayasan Universitas Pancasila

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Pilkada dan Keindonesiaan Kita"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUjK RENCANA: Baku Berbahasa Indonesia (Kompas)

Dari tiga sumpah dalam Sumpah Pemuda 1928, sumpah tentang bahasa Indonesia nyaris kurang memperoleh momentum.

Sementara kedua sumpah lainnya memperoleh porsi ruang, perhatian, dan wacana yang luas dalam pembicaraan sehari-hari.

Padahal, ketiganya—bangsa, tanah air, dan bahasa—merupakan tiga syarat eksistensial dan strategis sebuah negara (Indonesia). Karena itu, seruan mantan Menpora Abdul Gafur tentang terabaikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi meletupkan keprihatinan kita. Bahkan, bukan hanya penggunaan kalimat dan kosakata asing dalam ruang publik, melainkan juga penggunaan bahasa lebih sebagai pengikat lingkungan sosial ataupun usia tertentu.

Pujian kita sampaikan tentang upaya profetik sejumlah pemuda dari berbagai daerah dan suku pada 28 Oktober 1928 itu. Namun, pada saat yang sama, kita generasi penerus mengembangkan sikap dan tindakan yang sebaliknya. Kesatuan berbahasa Indonesia yang dijiwai nasionalisme—sari pati dan roh Sumpah Pemuda—kedodoran. Bahasa sebagai lambang, mengutip filsuf Wittgenstein, dalam konteks kita, bahasa Indonesia tergerus.

Kita bangga bahasa Indonesia mampu menjadi sarana pemersatu dalam berkomunikasi dengan ratusan suku. Senyampang itu fungsi pemersatu sekaligus lambang suatu bangsa direcoki perusakan bertubi-tubi yang dari sisi lain dikonfirmasi sebagai dinamika bahasa Indonesia.

Bertaburanlah kosakata asing di ruang publik, seperti di gedung perkantoran, pusat perdagangan, apartemen, kompleks perumahan, dan media massa. Karena berada di ruang dan urusan publik, dampak buruknya langsung ke publik. Dengan maksud menyedot daya tarik, kita melalaikan bahasa Indonesia.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia memang tumpul karena sanksi tidak dikenakan kepada pelanggarnya. Mungkin juga bukan dengan cara penerapan legal itu jalan terbaik, sebab kunci pokoknya keteladanan yang bisa lebih efektif dengan masih hidupnya budaya paternalistik (tokoh panutan).

Kesadaran berbahasa baku (dalam tulisan) yang baik dan benar berkembang oleh keteladanan, terutama di lingkungan lembaga negara dan swasta, guru dan pejabat, termasuk juga media massa yang semuanya berurusan dengan kepentingan umum.

Bahasa lisan tidak bisa dibakukan—bahasa baku hanya pada bahasa tulis—tetapi kalau dibiarkan bisa meliar. Apalagi kalau yang baku pun tergerus, bisa terjadi di masa depan bahasa Indonesia merosot kembali sebagailingua franca (bahasa pergaulan), dan meliar.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Baku Berbahasa Indonesia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Menunggu Kongres Fatah (Kompas)

Partai Fatah yang dipimpin Presiden Palestina Mahmoud Abbas akan mengadakan kongres menjelang akhir 2016. Ini kongres pertamanya sejak 2009.

Kongres yang akan diadakan di Ramallah, Tepi Barat, itu dianggap penting bagi masa depan Fatah dan juga masa depan Palestina, mengingat empat negara Arab menekan Abbas untuk menerima kepulangan pesaing lamanya, pengusaha Mohammed Dahlan, yang selama ini hidup di pengasingan di Uni Emirat Arab (UEA). Keempat negara Arab itu tergabung dalam "Kuartet Arab" dan terdiri dari Arab Saudi, Mesir, Jordania, dan UEA.

Dahlan sebelumnya adalah tokoh terkuat Fatah di Jalur Gaza. Ia diusir ke luar dari wilayah Palestina pada tahun 2011 dan menetap di UEA.

Walaupun ada penegasan bahwa kongres itu tidak terkait suksesi di Partai Fatah, analis menilai, kongres, yang kemungkinan diselenggarakan pada akhir November mendatang, diadakan Abbas untuk mengonsolidasikan kekuatannya. Abbas diperkirakan akan menggunakan kongres itu untuk menempatkan orang-orang yang loyal kepadanya pada posisi-posisi strategis di Fatah. Penilaian itu dilandaskan pada pertanyaan, mengapa setelah tujuh tahun berlalu tanpa kongres, tiba-tiba pada tahun ini diadakan, setelah ada tekanan dari Kuartet Arab untuk menerima Dahlan?

Keempat negara Arab itu berargumen, tekanan terhadap Abbas untuk menerima kembali Dahlan dimaksudkan guna mendorong rekonsiliasi di antara faksi di Palestina. Argumen mereka, seandainya Abbas dapat menyelesaikan persoalan internalnya di Fatah dengan Dahlan, peluang rekonsiliasi yang lebih luas dengan faksi-faksi di Palestina akan semakin terbuka lebar.

Oleh karena, selain perpecahan di dalam Fatah, Fatah juga berkonflik dengan kelompok militan Hamas. Pada tahun 2007, Hamas merebut wilayah Jalur Gaza, yang hampir saja berujung pada perang saudara di Palestina. Jajak pendapat yang dilaksanakan baru-baru ini memperlihatkan bahwa 65 persen responden di Palestina pesimistis tentang kemungkinan terjadinya rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas. Hanya 31 persen responden yang optimistis bahwa hal itu dapat dicapai.

Jangankan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas, rekonsiliasi di dalam Partai Fatah pun diragukan banyak orang. Apalagi, Dahlan yang didukung Kuartet Arab itu baru-baru ini meminta agar Abbas mundur dari jabatannya. Bahkan, Minggu lalu, dalam wawancaranya dengan BBC, Dahlan secara terbuka mengkritik Abbas.

Melihat kenyataan itu, penting bagi kita untuk menunggu pelaksanaan Kongres Partai Fatah dan melihat bagaimana Abbas menyikapi tekanan dari keempat negara Arab tersebut untuk menerima Dahlan. Kita sangat berharap Abbas menempatkan kepentingan Palestina di atas segala-galanya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Menunggu Kongres Fatah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Demokrasi adalah Proses (BONI HARGENS)

Ada apa dengan Dimas Kanjeng Taat Pribadi? Bagaimana kita menjelaskan logika politik mereka yang mengeksploitasi isu SARA? Apakah perubahan sosial itu diukur dari hasilnya atau dari proses yang dialektis?

Sudah sering kita memakai istilah "pragmatisme". Barangkali kata ini yang dapat menjelaskan persoalan yang kita hadapi hari ini. Pragmatisme adalah pandangan filosofis yang menekankan kegunaan praktis dari segala sesuatu. Sebuah gagasan atau tindakan hanya bisa dibenarkan kalau ada kegunaan praktisnya dalam hidup.

Setidaknya begitu benang pintal sejak Charles Sanders Peirce (1839-1914) memulai pragmatisme sebagai gerakan politik di Amerika pada dekade 1870-an. Di tangan penerusnya. seperti William James (1842-1910) dan John Dewey (1859–1952), pragmatisme mendapat penguatan.

Namun, persoalannya, ketika kebenaran hanya diukur dari nilai kegunaan, manusia akan cenderung berorientasi pada hasil, bukan pada proses. Itulah yang terjadi dengan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo.

Orang berbondong-bondong, bahkan yang bergelar doktor, datang ke pedepokan Dimas Kanjeng untuk menggandakan uang. Kaum pragmatis tentu membenarkan tindakan itu. Namun, peradaban bukan soal untung- rugi. Dan, apa yang dilakukannya membuktikan ketidaktaatan yang radikal terhadap proses.

Perubahan mental dan pola pikir yang dikentalkan dengan istilah "revolusi mental"-nya Presiden Jokowi adalah substratum dari perubahan sebuah masyarakat atau bangsa. Tidak ada perubahan mendasar yang dibangun dari mental cari gampang danpola pikir berorientasi untung.

Dalam praktik, kaum pragmatis didukung sepenuhnya oleh kaum neoliberal yang mengagungkan kemajuan ekonomis sebagai indikator pembangunan. Akibatnya, maju-mundur peradaban tidak lagi dilihat dari seberapa dalam dan bermakna proses dialektika sosial berlangsung, tetapi dilihat dari berapa dan apa yang didapat.

Kematian proses

Padahal, peradaban demokratik menekankan proses dan segala nilai yang terkandung di dalamnya. Tentang ini, ada catatan bagus ditulis oleh Colette Rausch (2012). Dalam analisisnya tentang demokrasi di Myanmar, Rausch menegaskan bahwa demokrasi adalah sebuah perjalanan. Di dalamnya, proses adalah substansi yang terpenting. Bagaimana kita membangun proses itulah yang menentukan makna dari demokrasi an sich.

Dalam banyak praktik, proses itu sudah mati. Korupsi politik yang masih menjadi beban bagi demokratisasi adalah penghinaan secara fatal terhadap proses. Penilapan adalah upaya menjadi kaya dalam sekejap dengan mencampakkan proses.

Begitu pula mereka yang berpolitik secara kotor. Ada hasrat meraih kekuasaan dengan memainkan isu suku, agama, ras, dan golongan. Demokrasi dibajak untuk kerakusan politik dan kebodohan yang menyesatkan. Fakta ini sudah sering terjadi dalam pertarungan elektoral, termasuk menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lagi ramai.

Rasa-rasanya, Indonesia yang kaya sumber alam, suku, agama, bahasa, dan ras terlalu mahal untuk didagangkan. Namun, dalam setiap pemilu selalu muncul para pecundang yang merusak kebinekaan. Boleh jadi benar apa yang ditulis Elizabeth Pisani (2014), setelah ia berkeliling Indonesia bahhwa Indonesia ini kekasih buruk yang raksasa, a giant bad boyfriend. Bangsa besar yang kaya tetapi rusak karena patronase, korupsi, dan inkompetensi birokrasi.

Pisani, yang juga menulis The Wisdom of Whores (2008), heran, kenapa bangsa yang beradab tak peduli dengan nasib pekerja seksual, tetapi malah selalu ribut soal politik kekuasaan. Mungkin Pisani menangis kalau tahu cerita di balik layar: bagaimana tempat- tempat hiburan dijadikan sapi perah ormas-ormas tertentu dan orang politik, sehingga begitu dibenahi oleh orang seperti Ahok di Jakarta atau Risma di Surabaya, banyak yang melawan. Di jalan, mereka berteriak "atas nama rakyat". Ruang publik dijadikan panggung sandiwara atas nama "kebebasan demokratik".

Lilin di ujung terowongan

Mengagungkan proses tak berarti upaya perubahan hanyalah sebuah proses. Di negara ini, banyak masalah yang dibongkar dan diusut tetapi tidak pernah tuntas. Pemimpin gagal sering beretorika atas nama "proses" untuk membela diri.

Itulah yang terjadi, misalnya, dengan kasus kematian aktivis hak asasi manusia, Munir. Sejak 2004, kasus ini dibuka tetapi selalu gelap. Ini bukan proses yang dimaksud. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, belum lama ini, kasus Munir sudah politis. Itulah yang menjelaskan kenapa kasus ini tidak pernah tuntas dalam 10 tahun pemerintahan SBY.

Proses yang benar dan berkualitas mesti melibatkan motivasi dan intensi yang baik untuk kebaikan itu sendiri dan di luarnya. Kalau diibaratkan dengan perjalanan dalam terowongan gelap, proses yang sejati selalu mengarah pada lilin yang menyala di ujung terowongan. Ada tujuan yang pasti dan kepastian dalam tujuan. Akankah lilin itu menyala di tangan Jokowi sehingga kotak pandora kematian Munir terpecahkan?

BONI HARGENS

Direktur Lembaga Pemilih Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Demokrasi adalah Proses".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Mendudukkan Makna Pengaruh (FAROUK MUHAMMAD)

Istilah trading in influence yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "memperdagangkan pengaruh", selama beberapa waktu terakhir menjadi pembicaraan publik. Ini terutama sejak KPK menggunakannya untuk memperkuat sangkaan kepada tersangka tindak pidana korupsi.

Dalam kasus aktual operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Ketua DPD Irman Gusman, Ketua KPK Agus Rahardjo tegas menyebut apa yang dilakukan Irman Gusman termasuk "memperdagangkan pengaruh".

Istilah "memperdagangkan pengaruh" sendiri tidak kita temukan dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ataupun UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tapi terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), khususnya merujuk Pasal 18, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No 7/2006.

"Dagang pengaruh"

Ahli hukum berbeda pendapat soal penerapan klausul trading in influencesesuai Pasal 18 UNCAC. Sebagian ahli menyatakan dapat langsung diberlakukan dan sebagian lain menyatakan bahwa trading in influenceUNCAC dalam UU No 7/2006 ini belum dapat diimplementasikan karena belum dijabarkan lebih lanjut dengan perundangan organik. Atas alasan ini, sejumlah pihak, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), menginisiasi wacana perubahan UU Tipikor dan/atau RUU KUHP dengan memasukkan pasal "memperdagangkan pengaruh" ini.

KPK sendiri tidak pernah menjadikantrading in influence sebagai rujukan utama untuk menersangkakan seseorang meski kerap mengaitkan kasus tipikor dengan klausul ini. Meski demikian, perlu dicermati dengan saksama karakteristik delik trading in influence berbeda dengan delik suap (bribery).

Oleh karena itu, mengaitkan korupsi berupa suap dengan memperdagangkan pengaruh rawan melanggar asas legalitas sebagaimana ditentukan Pasal 1 Ayat 1 KUHP. Alasannya, delik "memperdagangkan pengaruh" belum tegas diatur dalam hukum positif di Indonesia. Karena itu, jalan terbaik tentu saja mengatur delik ini melalui revisi UU (baik UU Tipikor maupun UU KUHP) sehingga jelas pengertian, batasan, pembuktian, dan terpenting sanksi-nya agar dapat dijadikan rujukan dalam proses hukum.

Kejelasan batasan delik "memperdagangkan pengaruh" penting dan mendesak segera diatur agar tidak menimbulkan ekses yang kontra-produktif, termasuk potensi mispersepsi yang traumatik di kalangan penyelenggara negara yang bisa menghambat kinerja positif. Di sisi lain, aturan tegas dan penjabaran delik ini dalam UU mencegah KPK dari pelanggaran asas legalitas sehingga menutup celah abuse of power yang bisa melemahkan upaya pemberantasan korupsi, baik akibat lemahnya dalil hukum KPK maupun serangan balik pihak-pihak yang ingin melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Pengaruh positif

Penulis ingin mendiskusikan secara lebih serius hal ihwal "pengaruh" ini. Berangkat dari sejumlah kasus tipikor di mana KPK mengaitkan dengan klausul "memperdagangkan pengaruh", merebak kekhawatiran dan ketakutan di kalangan penyelenggara negara dalam menggunakan kewenangan dan pengaruhnya untuk kepentingan publik. Mereka khawatir dikriminalisasi. Terlebih bagi pejabat publik yang dipilih melalui pemilu, dalam hal ini menjadi wakil rakyat dan senator (anggota legislatif).

Bagi anggota legislatif, "pengaruh" sejatinya melekat bahkan menjadi semacam raison d' etre seorang pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Karakteristik lembaga legislatif dengan tiga fungsi utamanya, yaitu legislasi, pengawasan, dan penganggaran—yang ketiganya dijalankan dalam kerangka representasi (keterwakilan) rakyat/daerah—otomatis (dan tidak dapat dihindari) menimbulkan pola interaksi dengan dasar optimalisasi kewenangan dan "pengaruh" atas kebijakan pemerintah.

Jika kita pahami tujuan pemilu sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat, maka makna di balik tujuan itu sesungguhnya adalah rakyat memberikan mandat kepada wakilnya untuk mengambil dan memengaruhi kebijakan untuk kepentingan mereka. Bahkan, mandat itu jelas ditegaskan dalam UU. UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menegaskan, salah satu tugas dan kewajiban anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat serta memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.

Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban tersebut, lembaga legislatif (DPR/DPRD) memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, sementara DPD memiliki hak untuk mengajukan, membahas, dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu. Selanjutnya, setiap anggota legislatif memiliki hak, antara lain mengajukan pertanyaan serta menyampaikan usul dan pendapat.

Dengan konstruksi tersebut sejatinya melekat pada pribadi setiap anggota legislatif atau wakil rakyat kemampuan "memengaruhi" kebijakan yang dibuat dan/atau dijalankan oleh eksekutif, bahkan "pengaruh" itu harus dilaksanakan secara aktif demi kepentingan rakyat yang diwakilinya. Penulis menyebutnya sebagai "pengaruh positif", yang merupakan bagian integral dalam kerangka representasi politik. Tanpa "pengaruh" hilanglah basis argumentasi hadirnya pemilu, wakil rakyat, dan keterwakilan (representasi).

Tak perlu khawatir

Dengan pemaparan di atas, penulis ingin mengajak penyelenggara negara tidak perlu khawatir dan takut mengoptimalkan "pengaruh positif" yang dimiliki untuk mempromosikan dan memperjuangkan kepentingan publik. Tentu sepanjang tidak melawan hukum dan/atau koruptif berupa adanya "embel-embel" materi, baik secara riil maupun berbentuk janji, dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain.

Sensitivitas dan responsibilitas wakil rakyat/daerah terhadap permasalahan dan kepentingan rakyat/daerah harus terus didorong dan ditingkatkan sebagai bentuk tanggung jawab pelaksanaan tugas dalam menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, seluruh instrumen yang mendukungnya harus dihargai, termasuk upaya mengefektifkan "pengaruh positif" yang dimiliki.

Penulis yakin lembaga penegak hukum, khususnya KPK, akan bertindak cermat dan berhati-hati dalam mengaitkan suatu kasus dengan klausul "memperdagangkan pengaruh". Kita pasti mendukung upaya pemberantasan korupsi yang semakin efektif. Karena itu, menjadi kebutuhan mendesak untuk mengatur trading in influence dalam (revisi) UU Tipikor dan/atau KUHP. Tujuannya agar klausul tersebut bisa diterapkan secara efektif, tidak menimbulkan ekses yang kontraproduktif, serta memberi pengertian dan batasan yang jelas, dalam hal ini penekanannya terjadi penyalahgunaan wewenang dan perbuatan memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum.

FAROUK MUHAMMAD

Wakil Ketua DPD RI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Mendudukkan Makna Pengaruh".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jokowi Vs Pungutan Liar (OCE MADRIL)

Presiden Joko Widodo geram atas terungkapnya pungutan liar di Kementerian Perhubungan. Jokowi terlihat marah dan memberikan perintah tegas agar pungutan liar diberantas. Setelah itu, terbitlah kebijakan operasi sapu bersih pungutan liar yang menjadi salah satu prioritas dalam paket kebijakan reformasi hukum.

Pungutan liar adalah tipe korupsi administratif. Dalam berbagai studi sering disebut sebagai street-level corruption, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah yang biasanya dalam bentuk suap atau pemerasan yang diterima dari pihak-pihak yang berurusan dengan pemerintah karena perizinan atau bentuk pelayanan lainnya (Carl Dahlstrom, 2011).

Akibat buruknya adalah hak konstitusional warga negara atas pelayanan publik yang baik dan jaminan atas kepastian hukum terganggu oleh ulah oknum nakal pelaku pungli ini.

Sejak Orde Lama

Jokowi bukanlah presiden pertama yang geram atas maraknya praktik pungutan liar. Jauh sebelumnya, presiden pertama republik ini, Soekarno, juga marah atas korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan melalui pungutan-pungutan tak resmi. Untuk merealisasikan komitmen anti pungli, Soekarno membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan).

Badan ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1959. Bapekan berkedudukan langsung di bawah presiden dan diisi figur-figur yang dipandang bersih pada waktu itu. Ketuanya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Fungsi utamanya menerima dan menyelesaikan pengaduan publik. Pengaduan ini bisa berasal dari masyarakat atau dari aparatur negara sendiri, terutama ihwal korupsi di birokrasi.

Irene Tinker dan Millidge Walker (1959), dalam artikel Indonesia's Panacea: 1959 Model, menceritakan, pembentukan Bapekan menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya keseriusan Pemerintah Indonesia memberantas korupsi dan pungli di lembaga pemerintahan. Ini merupakan jawaban Presiden Soekarno yang pada waktu itu tengah dikritik atas maraknya penyelewengan kekuasaan di tubuh pemerintahannya.

Kehadiran Bapekan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyampaikan pengaduan korupsi. Tidak hanya korupsi besar, tetapi juga korupsi dalam jumlah kecil, termasuk di institusi militer. Sayangnya, Bapekan tidak berumur panjang. Badan ini dibubarkan pada 1962.

Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto juga tak kalah marahnya atas pungli. Soeharto menginstruksikan Operasi Tertib (Opstib). Melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977, operasi itu resmi dilancarkan. Kinerjanya cukup baik, terlihat dari ribuan kasus yang ditangani dan aparatur yang disanksi. Namun, sama seperti Bapekan, operasi ini dihentikan tanpa alasan yang jelas pada 1981.

Evaluasi kelemahan

Nyatanya republik ini telah lama berjuang untuk memberangus pungli. Presiden silih berganti memerangi pungli, tetapi tak juga berhasil.

Ada beberapa kelemahan selama ini. Pemberantasan pungli selalu dilakukan dengan pendekatan ad hoc. Strategi temporal melalui terapi kejut (penangkapan) dan pembentukan tim/satgas selalu menjadi pilihan. Dikatakan ad hoc karena upaya memerangi pungli jarang yang berumur panjang. Itu pun dilakukan secara parsial. Pendekatannya selalu penegakan hukum tanpa memperbaiki tata kelola. Padahal, tata kelola yang buruk inilah pangkal masalah pungli.

Tidak mengherankan jika pengaturan pemberantasan pungli mengandung kelemahan, misalnya masalah kewenangan. Lembaga yang dibentuk tidak dibekali dengan kewenangan yang cukup untuk memberantas pungli sekaligus memperbaiki tata kelola pemerintahan.

Maka, masalah fundamental tidak pernah teratasi. Muncul kesan bahwa gerakan ini menyesuaikan diri dengan keinginan presiden yang kadang bercampur dengan kampanye untuk sekadar meraih simpati publik.

Kelemahan lainnya adalah memudarnya komitmen politik presiden. Lembaga yang dibentuk tidak mendapatkan dukungan politik yang konsisten sehingga menemui berbagai kesulitan dalam bekerja.

Pengalaman membuktikan bahwa ada saja lembaga-lembaga yang tidak mau atau menolak untuk bekerja sama. Ujung dari pudarnya komitmen politik ini adalah pembubaran lembaga yang dibentuk. Bisa dipastikan, lembaga bubar, program bubar, dan masalah yang sama muncul kembali.

Zaman Jokowi

Saat ini bagaimana dengan kebijakan Presiden Jokowi? Dilihat dari tim yang dibentuk dengan kepolisian sebagaileading sector, kebijakan itu mengesankan kentalnya pendekatan represif daripada perbaikan tata kelola. Tim ini memiliki kemiripan dengan pola kerja lembaga yang dibentuk pada Orde Lama dan Orde Baru.

Jika operasi anti pungli hanya salah satu program, Presiden Jokowi harus melengkapinya dengan paket perbaikan tata kelola pemerintahan. Harus ada jembatan yang menghubungkan antara penegakan hukum represif dan perbaikan tata kelola. Setidaknya transparansi birokrasi ditingkatkan dan proses birokrasi dibuat sederhana. Sistem pengawasan internal juga harus diperkuat karena pungli seperti benalu yang selalu menempel pada sistem yang tak transparan, berbelit-belit, zonder pengawasan.

Setelah itu, diperlukan komitmen politik. Kita berharap komitmen politik anti pungli ini dijalankan secara serius oleh Presiden Jokowi dengan memimpin langsung perang melawan pungli. Meminjam konsep Jon St Quah (2009), komitmen politik adalah syarat pertama keberhasilan pemberantasan korupsi.

Tanpa adanya komitmen politik, kebijakan anti korupsi akan menemui jalan buntu atau kegagalan. Rezim presiden sebelumnya telah membuktikan sulitnya menjaga komitmen politik ini. Apakah kali ini Presiden Jokowi akan mampu menjaga konsistensi komitmennya dan menaklukkan pungli?

OCE MADRIL

Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM; Saat Ini Sedang Riset Doktoral di Van Vollenhoven Institute Universitas Leiden, Belanda

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Jokowi Vs Pungutan Liar".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Mengurus Surat Pindah//Metromini ”Ngetem”//Jadwal Pesawat (Surat Pembaca Kompas)

Mengurus Surat Pindah

Adik saya pemegang kartu tanda penduduk dengan alamat rumah saya di Bintaro Sektor 9, Kota Tangerang Selatan, Banten. Karena KTP akan habis masa berlakunya—tepatnya Oktober 2016—dan karena dia sudah menikah serta memiliki rumah tangga sendiri, ia meminta tolong kepada saya untuk mengurus surat pindah.

Sebagai warga yang berusaha taat peraturan, saya mengikuti prosedur birokrasi untuk mengurus pemindahan KTP itu. Tanggal 3 Oktober 2016, saya meminta surat pengantar RT dan RW, selesai satu hari. Demikian juga ke kantor kelurahan dan kecamatan. Saya datang tanggal 5 Oktober 2016 dan dilayani dengan cepat.

Langkah selanjutnya, saya ke dinas kependudukan di Serpong karena menurut persyaratan terbaru dinas kependudukan yang mengeluarkan surat pindah. Tanggal 11 Oktober 2016, saya ke kantor Disdukcapil dan mendapat nomor antrean C234.

Begitu banyak orang antre. Sampai pukul 12.00, saat istirahat makan siang, baru sampai nomor antrean 98. Saya bertanya kepada petugas, kira-kira pukul berapa dipanggil. Jawabannya bisa pukul 16.00 atau lebih. Saya tidak mungkin menunggu seharian di kantor itu, maka saya pun pulang.

Seorang petugas menjelaskan, jika mau nomor kecil datang saja pukul 06.00. Saya mengikuti saran itu. Namun, ketika sampai, saya sudah mendapat nomor antrean 79. Saya menunggu sampai pukul 11.00 sampai akhirnya dokumen diterima. Menurut informasi petugas, proses membutuhkan tujuh hari kerja.

Betapa susahnya prosedur yang harus dilewati hanya untuk mengambil surat pindah. Padahal, tanpa KTP, kita susah melakukan berbagai aktivitas. Dari verifikasi tiket kereta api, pesawat, sampai transaksi di bank, semua membutuhkan bukti KTP.

DIONESIA SEBAYANG

Puri Bintaro, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten

Metromini "Ngetem"

Keadaan ini sudah berlangsung lama. Setiap pagi pukul 05.00 sampai pukul 09.00, di sepanjang ruas Jalan Rawa Bambu dan Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, terjadi kemacetan parah yang menyengsarakan pengguna jalan. Sumber kemacetan adalah kawasan menjelang dan sepanjang terowongan (underpass) dekat Robinson Department Store, arah Pancoran.

Ini gara-gara sejumlah metromini yangngetem di ruas jalan terowongan tersebut. Ironisnya, ruas jalan di terowongan itu justru terlarang untuk dilalui, apalagi menjadi tempat ngetemangkutan bertrayek.

Tidak ada alasan bagi Dishub DKI Jakarta untuk tidak mengetahui keadaan itu karena setiap pagi selalu melintas petugas berseragam Dishub DKI Jakarta naik sepeda motor dinas. Petugas tentu menyaksikan kondisi sekaligus merasakan kemacetan yang ditimbulkan, tetapi berlalu begitu saja seolah tidak ada sesuatu yang salah.

RM TAMPUBOLON

Pasar Minggu, Jakarta Selatan

Jadwal Pesawat

Tanggal 16 Oktober 2016, saya memesan tiket pesawat Kalstar KD-965 Balikpapan-Melak untuk penerbangan 24 Oktober 2016 pukul 12.10. Karena berangkat dari Jakarta, saya memesan tiket Garuda GA-0562 Jakarta-Balikpapan pada 24 Oktober 2016 pukul 06.15.

Namun, 50 jam sebelum keberangkatan, Ibu Atika dari Kalstar Balikpapan menghubungi saya. Ia mengabarkan perubahan jadwal Kalstar menjadi pukul 09.15 (2 jam 55 menit lebih awal dari jadwal semula) dengan alasan adamaintenance pesawat dan hanya ada satu penerbangan dari Balikpapan-Melak.

Akibat perubahan itu, saya harus mengubah jadwal tiket Garuda Jakarta-Balikpapan dengan konsekuensi kena penalti dan membayar selisih harga tiket Garuda Rp 1,2 juta.

Saya menghubungi Ibu Sipa, Supervisor Kalstar Balikpapan, Bapak Bayu, juga Ibu Ningrum dari Kalstar pusat Jakarta, tetapi tidak ada pertanggungjawaban atas kerugian yang saya alami. Kalstar hanya bersedia mengembalikan uang tiket atau menjadwal ulang penerbangan.

Akhirnya saya terbang dengan Garuda GA-560 Jakarta-Balikpapan 25 Oktober 2016 pukul 05.00, membayar penalti dan selisih tiket Rp 642.400, serta menjadwal ulang Kalstar KD-965 Balikpapan-Melak menjadi 25 Oktober 2016 pukul 10.25.

MARCELLA A LONATRISTA

Srengseng Raya RT 010 RW 003, Kembangan, Jakarta Barat

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Dari BPJS sampai ICU, Oh, Repotnya... (Surat Pembaca Kompas)

Tanggal 11 Oktober 2016, saya tiba di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Jalan Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, sekitar pukul 08.00. Saya mendatangi petugas keamanan, menceritakan sekilas masalah saya, dan mendapatkan antrean nomor 106 di antrean F-keuangan. Semakin siang, antrean semakin ramai.

Antrean G untuk cetak kartu dibuka 2 loket (loket 1 dan 2). Antrean F untuk keuangan dibuka 1 loket (loket 3), antrean E untuk TNI/Polri/PNS dibuka 1 loket (loket 4). Loket lain adalah untuk penyampaian keluhan. Dari mereka yang antre, kebanyakan bermasalah hal pembayaran peserta mandiri pada September dan Oktober 2016 yang tidak sesuai kelas dan jumlah peserta BPJS Kesehatan dalam kartu keluarga. Sama seperti masalah saya.

Nomor saya baru dipanggil sekitar pukul 15.30. Kata petugas karena sistem yang belum berjalan sempurna. Baru akan normal Desember 2016. Menurut saya, seharusnya antrean F ditambah 1 loket karena rata-rata 1 nomor membutuhkan waktu 6 menit (sampai pukul 12.00 baru 50 nomor yang dipanggil). Demikian pula untuk antrean E yang sangat lambat.

Tempat duduk yang ada di ruang depan loket tanpa sandaran punggung sehingga terasa melelahkan. Kasihan para orang lanjut usia, ibu hamil, dan ibu yang membawa anak. Setelah nomor antrean saya, masih ada 200 lebih nomor yang belum dipanggil.

Waktu delapan jam terbuang sia-sia.

VITA PRIYAMBADA

KOMPLEKS PERHUBUNGAN, JATIWARINGIN, JAKARTA TIMUR

Perbedaan Harga Obat

Belum lama ini, pemerintah memberi tahu bahwa apotek rakyat akan ditutup karena ada masalah dalam pemasaran obat. Menurut saya, seharusnya pemerintah mengkaji secara mendalam permasalahan sebelum bertindak.

Saya mengonsumsi obat setiap hari. Obat untuk jantung Nitrokaf 2,5 mg produksi Kimia Farma, harga eceran tertinggi (HET) Rp 312.972 per dos. Harga di Apotek Kimia Farma Rp 310.000 dan di apotek rakyat Rp 190.000 per dus. Mengapa ada selisih begitu besar?

Contoh lain adalah obat untuk darah tinggi Hytroz 2 mg. Di apotek rakyat Rp 50.000 dari HET Rp 126.000 per blister. Amlodipine 5 mg Rp 15.000 dari HET Rp 36.000 per dus. Di apotek rakyat lebih murah 50 persen dari HET, sedangkan di apotek umum rata-rata harga berdasarkan HET dan bahkan masih ada yang menambah dengan pajak.

Pemerintah perlu menyadari bahwa Indonesia sudah lebih dari 71 tahun merdeka, tetapi pelayanan BPJS Kesehatan masih jauh dari harapan rakyat. Tidak seindah yang diiklankan di televisi. Banyak pasien yang memilih membeli obat di luar daripada tersiksa di rumah sakit.

SARTOMO

JALAN ISA, RT 004 RW 008, SUKABUMI UTARA, KEBON JERUK, JAKARTA BARAT

BPJS Kesehatan dan KIS

Berawal dari peraturan pemerintah yang mengharuskan seluruh rakyat Indonesia membuat kartu BPJS Kesehatan, saya sekeluarga mengikuti peraturan itu untuk membuat kartu BPJS Kesehatan.

Desember 2015, ada kader di desa tempat saya tinggal akan mengganti kartu BPJS Kesehatan kami sekeluarga dengan kartu Kartu Indonesia Sehat (KIS) dengan persyaratan, BPJS Kesehatan harus lunas serta menyerahkan bukti pembayaran dan kartu BPJS Kesehatan asli agar mendapatkan kartu KIS.

Setelah diserahkan semua, kami sekeluarga mendapatkan kartu KIS. Menurut kader yang menawarkan dan dari informasi BPJS Kesehatan, dengan memiliki kartu KIS, sudah tidak membayar iuran setiap bulan.

Namun, permasalahan yang timbul sekarang, ketika adik saya akan dibuatkan kartu BPJS Kesehatan oleh perusahaan terdapat tunggakan sekitar Rp 1,5 juta. Ternyata iuran dan tunggakan itu masih berjalan selama 10 bulan ini dan harus dibayar. Padahal, kartu tidak pernah dipakai. Saya merasa dibohongi dan disusahkan. Di wilayah saya juga ada yang bermasalah sama.

DERY RIVALDI

KP SIDANGKARSA RT 006 RW 007, SUKAMAJU BARU, TAPOS, KOTA DEPOK, JAWA BARAT

Obat Pasien BPJS Kesehatan

Saya sekeluarga merasa nyaman berobat, baik rawat inap maupun pemeriksaan ke dokter di RS Pelni Petamburan, Jakarta Barat. Namun, kecewa ketika mengambil obat di apotek RS Pelni setelah pemeriksaan berkala dari dokter. Saya sering tidak mendapatkan obat lengkap sesuai resep dokter, sebagian disuruh mengambil pada lain hari.

Kejadian itu bukan hal baru dan sudah sering saya alami. Demikian juga dengan pasien lain. Bukti terakhir ketika pemeriksaan berkala, 19 Agustus, salah satu obat, yaitu Aptor, menurut petugas apotek RS Pelni, belum tersedia. Saya pun bolak-balik datang, tetap tidak tersedia.

Ketika pemeriksaan berkala ke dokter pada 23 September 2016, saya sempat mendatangi apotek RS Pelni, obat baru tersedia, tetapi dari Aptor diganti menjadi Farmasal. Pengalaman terbaru adalah ketika mengurus pengambilan obat setelah pemeriksaan berkala dari dokter, petugas apotek kembali menyatakan bahwa obat tidak semua tersedia dan meminta mengambil pada hari lain untuk obat Concor dan Allopurinol.

Ketika saya bertanya, mengapa obat selalu ada saja yang tidak tersedia, petugas apotek menyatakan bahwa ini masalah dari BPJS Kesehatan. Mudah-mudahan yang berwenang memperbaiki pengadaan obat yang banyak dikonsumsi pasien. Jadi, pasien mendapatkan kepastian ketersediaan obat.

LAKSANA SINULINGGA

JALAN FLAMBOYAN RT 002 RW 006, CIPUTAT, KOTA TANGERANG SELATAN, BANTEN

Tagihan BPJS Kesehatan

Saya pemegang kartu BPJS Kesehatan nomor 0001435319717 dengan dua tanggungan keluarga dalam BPJS Kesehatan. Sebelum membayar saya cek di aplikasi BPJS Kesehatan, dua anggota keluarga saya tidak aktif kepesertaannya dan diharuskan membayar sesuai tagihan.

Tanggal 16 September 2016, saya membayar sesuai tagihan yang tertera, Rp 1.873.000, melalui Kantor Pos Kabupaten Nabire, Papua. Setelah itu, saya cek melalui aplikasi BPJS Kesehatan, pembayaran sudah masuk, dibuktikan dengan dua anggota keluarga saya sudah aktif dalam kepesertaan BPJS Kesehatan dan tidak terlihat tagihan yang muncul alias Rp 0.

Permasalahan muncul pada akhir September 2016 ketika saya mencoba mengecek melalui aplikasi BPJS Kesehatan. Tagihan yang sebelumnya Rp 0 berganti dengan tagihan Rp 1.873.000 yang artinya pembayaran yang saya lakukan tanggal 16 September 2016 tidak masuk ke sistem BPJS Kesehatan. Anehnya, status kepesertaan tetap aktif.

Menjadi masalah ketika memasuki awal Oktober 2016 ketika setiap peserta BPJS Kesehatan harus membayar premi bulanan, tagihan tetap tidak berubah, Rp 1.873.000. Berkali-kali saya hubungi call center BPJS Kesehatan ataupun ke Kantor Cabang BPJS Kesehatan Kabupaten Nabire, tetapi sampai saat ini tidak ada penyelesaian. Pihak BPJS Kesehatan mengakui ada kesalahan sistem.

RONALD AMAHORSEYA

JALAN RE MARTHADINATA, SIRIWINI, KABUPATEN NABIRE, PAPUA

Ketersediaan Ruang ICU di RS

Pelayanan kesehatan cukup krusial. Kesalahan atau tidak tanggap layanan berdampak fatal, terutama dalam situasi darurat. Saya harus kehilangan ayah, 30 Juni 2016, karena pelayanan rumah sakit di Jakarta mengecewakan. Keterbatasan ruang rawat intensive care unit (ICU) mengharuskan saya berpindah-pindah sampai tiga rumah sakit di Jakarta.

Perjalanan pertama, 28 Juni 2016 pukul 22.00, berawal dari RS Omni Pulomas, Jakarta Timur. Saat itu, dokter di UGD menyampaikan keterbatasan ruang rawat ICU dan belum mendapatkan arahan dari dokter ginjal yang merawat ayah saya.

Saya dan keluarga harus mencari sendiri rumah sakit sehingga kami berbagi tugas mencari rumah sakit lain. RS Omni Pulomas melarang pihak keluarga menggunakan mobil ambulans untuk memindahkan pasien ke rumah sakit lain dengan alasan prosedur rumah sakit tujuan tidak mudah.

Setelah mendatangi lima rumah sakit di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, dan Salemba, Jakarta Pusat, selama sekitar 4,5 jam, saya dan keluarga memindahkan pasien ke RS Cikini, Jakarta Pusat, tempat yang bersangkutan melakukan hemodialisis pada tanggal yang sama. Namun, ruang ICU penuh sehingga harus mencari rumah sakit lain.

Kami juga menghubungi lima rumah sakit lain melalui telepon, antara lain RS Pondok Indah dan RS Medistra, yang menginformasikan ketersediaan ruang ICU dengan ketentuan harus membayar uang muka. Saya dan keluarga setuju dan membawa pasien ke RS Medistra, 29 Juni. Setelah mendapatkan tindakan dan perawatan di ruang ICU, ayah saya meninggal pada 30 Juni 2016.

Sebagai jenis layanan yang berdampak besar terhadap kelangsungan hidup manusia, pelayanan kesehatan seharusnya terintegrasi dalam suatu sistem yang baik. Ketersediaan ruang rawat ICU di Ibu Kota merupakan hal mendasar yang tidak logis untuk dijadikan sebagai alasan. Pencarian ruang rawat ICU antar-rumah sakit harus dilakukan secara manual oleh pihak keluarga pasien. Tindakan ini jelas sangat memakan waktu dan memengaruhi kondisi pasien.

MONASISCA NOVIANNEI

JALAN JATI PALEM, PULOGADUNG, JAKARTA TIMUR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2016, di halaman 13 dengan judul "Dari BPJS sampai ICU, Oh, Repotnya...".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger