Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 31 Oktober 2016

Dari BPJS sampai ICU, Oh, Repotnya... (Surat Pembaca Kompas)

Tanggal 11 Oktober 2016, saya tiba di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Jalan Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, sekitar pukul 08.00. Saya mendatangi petugas keamanan, menceritakan sekilas masalah saya, dan mendapatkan antrean nomor 106 di antrean F-keuangan. Semakin siang, antrean semakin ramai.

Antrean G untuk cetak kartu dibuka 2 loket (loket 1 dan 2). Antrean F untuk keuangan dibuka 1 loket (loket 3), antrean E untuk TNI/Polri/PNS dibuka 1 loket (loket 4). Loket lain adalah untuk penyampaian keluhan. Dari mereka yang antre, kebanyakan bermasalah hal pembayaran peserta mandiri pada September dan Oktober 2016 yang tidak sesuai kelas dan jumlah peserta BPJS Kesehatan dalam kartu keluarga. Sama seperti masalah saya.

Nomor saya baru dipanggil sekitar pukul 15.30. Kata petugas karena sistem yang belum berjalan sempurna. Baru akan normal Desember 2016. Menurut saya, seharusnya antrean F ditambah 1 loket karena rata-rata 1 nomor membutuhkan waktu 6 menit (sampai pukul 12.00 baru 50 nomor yang dipanggil). Demikian pula untuk antrean E yang sangat lambat.

Tempat duduk yang ada di ruang depan loket tanpa sandaran punggung sehingga terasa melelahkan. Kasihan para orang lanjut usia, ibu hamil, dan ibu yang membawa anak. Setelah nomor antrean saya, masih ada 200 lebih nomor yang belum dipanggil.

Waktu delapan jam terbuang sia-sia.

VITA PRIYAMBADA

KOMPLEKS PERHUBUNGAN, JATIWARINGIN, JAKARTA TIMUR

Perbedaan Harga Obat

Belum lama ini, pemerintah memberi tahu bahwa apotek rakyat akan ditutup karena ada masalah dalam pemasaran obat. Menurut saya, seharusnya pemerintah mengkaji secara mendalam permasalahan sebelum bertindak.

Saya mengonsumsi obat setiap hari. Obat untuk jantung Nitrokaf 2,5 mg produksi Kimia Farma, harga eceran tertinggi (HET) Rp 312.972 per dos. Harga di Apotek Kimia Farma Rp 310.000 dan di apotek rakyat Rp 190.000 per dus. Mengapa ada selisih begitu besar?

Contoh lain adalah obat untuk darah tinggi Hytroz 2 mg. Di apotek rakyat Rp 50.000 dari HET Rp 126.000 per blister. Amlodipine 5 mg Rp 15.000 dari HET Rp 36.000 per dus. Di apotek rakyat lebih murah 50 persen dari HET, sedangkan di apotek umum rata-rata harga berdasarkan HET dan bahkan masih ada yang menambah dengan pajak.

Pemerintah perlu menyadari bahwa Indonesia sudah lebih dari 71 tahun merdeka, tetapi pelayanan BPJS Kesehatan masih jauh dari harapan rakyat. Tidak seindah yang diiklankan di televisi. Banyak pasien yang memilih membeli obat di luar daripada tersiksa di rumah sakit.

SARTOMO

JALAN ISA, RT 004 RW 008, SUKABUMI UTARA, KEBON JERUK, JAKARTA BARAT

BPJS Kesehatan dan KIS

Berawal dari peraturan pemerintah yang mengharuskan seluruh rakyat Indonesia membuat kartu BPJS Kesehatan, saya sekeluarga mengikuti peraturan itu untuk membuat kartu BPJS Kesehatan.

Desember 2015, ada kader di desa tempat saya tinggal akan mengganti kartu BPJS Kesehatan kami sekeluarga dengan kartu Kartu Indonesia Sehat (KIS) dengan persyaratan, BPJS Kesehatan harus lunas serta menyerahkan bukti pembayaran dan kartu BPJS Kesehatan asli agar mendapatkan kartu KIS.

Setelah diserahkan semua, kami sekeluarga mendapatkan kartu KIS. Menurut kader yang menawarkan dan dari informasi BPJS Kesehatan, dengan memiliki kartu KIS, sudah tidak membayar iuran setiap bulan.

Namun, permasalahan yang timbul sekarang, ketika adik saya akan dibuatkan kartu BPJS Kesehatan oleh perusahaan terdapat tunggakan sekitar Rp 1,5 juta. Ternyata iuran dan tunggakan itu masih berjalan selama 10 bulan ini dan harus dibayar. Padahal, kartu tidak pernah dipakai. Saya merasa dibohongi dan disusahkan. Di wilayah saya juga ada yang bermasalah sama.

DERY RIVALDI

KP SIDANGKARSA RT 006 RW 007, SUKAMAJU BARU, TAPOS, KOTA DEPOK, JAWA BARAT

Obat Pasien BPJS Kesehatan

Saya sekeluarga merasa nyaman berobat, baik rawat inap maupun pemeriksaan ke dokter di RS Pelni Petamburan, Jakarta Barat. Namun, kecewa ketika mengambil obat di apotek RS Pelni setelah pemeriksaan berkala dari dokter. Saya sering tidak mendapatkan obat lengkap sesuai resep dokter, sebagian disuruh mengambil pada lain hari.

Kejadian itu bukan hal baru dan sudah sering saya alami. Demikian juga dengan pasien lain. Bukti terakhir ketika pemeriksaan berkala, 19 Agustus, salah satu obat, yaitu Aptor, menurut petugas apotek RS Pelni, belum tersedia. Saya pun bolak-balik datang, tetap tidak tersedia.

Ketika pemeriksaan berkala ke dokter pada 23 September 2016, saya sempat mendatangi apotek RS Pelni, obat baru tersedia, tetapi dari Aptor diganti menjadi Farmasal. Pengalaman terbaru adalah ketika mengurus pengambilan obat setelah pemeriksaan berkala dari dokter, petugas apotek kembali menyatakan bahwa obat tidak semua tersedia dan meminta mengambil pada hari lain untuk obat Concor dan Allopurinol.

Ketika saya bertanya, mengapa obat selalu ada saja yang tidak tersedia, petugas apotek menyatakan bahwa ini masalah dari BPJS Kesehatan. Mudah-mudahan yang berwenang memperbaiki pengadaan obat yang banyak dikonsumsi pasien. Jadi, pasien mendapatkan kepastian ketersediaan obat.

LAKSANA SINULINGGA

JALAN FLAMBOYAN RT 002 RW 006, CIPUTAT, KOTA TANGERANG SELATAN, BANTEN

Tagihan BPJS Kesehatan

Saya pemegang kartu BPJS Kesehatan nomor 0001435319717 dengan dua tanggungan keluarga dalam BPJS Kesehatan. Sebelum membayar saya cek di aplikasi BPJS Kesehatan, dua anggota keluarga saya tidak aktif kepesertaannya dan diharuskan membayar sesuai tagihan.

Tanggal 16 September 2016, saya membayar sesuai tagihan yang tertera, Rp 1.873.000, melalui Kantor Pos Kabupaten Nabire, Papua. Setelah itu, saya cek melalui aplikasi BPJS Kesehatan, pembayaran sudah masuk, dibuktikan dengan dua anggota keluarga saya sudah aktif dalam kepesertaan BPJS Kesehatan dan tidak terlihat tagihan yang muncul alias Rp 0.

Permasalahan muncul pada akhir September 2016 ketika saya mencoba mengecek melalui aplikasi BPJS Kesehatan. Tagihan yang sebelumnya Rp 0 berganti dengan tagihan Rp 1.873.000 yang artinya pembayaran yang saya lakukan tanggal 16 September 2016 tidak masuk ke sistem BPJS Kesehatan. Anehnya, status kepesertaan tetap aktif.

Menjadi masalah ketika memasuki awal Oktober 2016 ketika setiap peserta BPJS Kesehatan harus membayar premi bulanan, tagihan tetap tidak berubah, Rp 1.873.000. Berkali-kali saya hubungi call center BPJS Kesehatan ataupun ke Kantor Cabang BPJS Kesehatan Kabupaten Nabire, tetapi sampai saat ini tidak ada penyelesaian. Pihak BPJS Kesehatan mengakui ada kesalahan sistem.

RONALD AMAHORSEYA

JALAN RE MARTHADINATA, SIRIWINI, KABUPATEN NABIRE, PAPUA

Ketersediaan Ruang ICU di RS

Pelayanan kesehatan cukup krusial. Kesalahan atau tidak tanggap layanan berdampak fatal, terutama dalam situasi darurat. Saya harus kehilangan ayah, 30 Juni 2016, karena pelayanan rumah sakit di Jakarta mengecewakan. Keterbatasan ruang rawat intensive care unit (ICU) mengharuskan saya berpindah-pindah sampai tiga rumah sakit di Jakarta.

Perjalanan pertama, 28 Juni 2016 pukul 22.00, berawal dari RS Omni Pulomas, Jakarta Timur. Saat itu, dokter di UGD menyampaikan keterbatasan ruang rawat ICU dan belum mendapatkan arahan dari dokter ginjal yang merawat ayah saya.

Saya dan keluarga harus mencari sendiri rumah sakit sehingga kami berbagi tugas mencari rumah sakit lain. RS Omni Pulomas melarang pihak keluarga menggunakan mobil ambulans untuk memindahkan pasien ke rumah sakit lain dengan alasan prosedur rumah sakit tujuan tidak mudah.

Setelah mendatangi lima rumah sakit di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, dan Salemba, Jakarta Pusat, selama sekitar 4,5 jam, saya dan keluarga memindahkan pasien ke RS Cikini, Jakarta Pusat, tempat yang bersangkutan melakukan hemodialisis pada tanggal yang sama. Namun, ruang ICU penuh sehingga harus mencari rumah sakit lain.

Kami juga menghubungi lima rumah sakit lain melalui telepon, antara lain RS Pondok Indah dan RS Medistra, yang menginformasikan ketersediaan ruang ICU dengan ketentuan harus membayar uang muka. Saya dan keluarga setuju dan membawa pasien ke RS Medistra, 29 Juni. Setelah mendapatkan tindakan dan perawatan di ruang ICU, ayah saya meninggal pada 30 Juni 2016.

Sebagai jenis layanan yang berdampak besar terhadap kelangsungan hidup manusia, pelayanan kesehatan seharusnya terintegrasi dalam suatu sistem yang baik. Ketersediaan ruang rawat ICU di Ibu Kota merupakan hal mendasar yang tidak logis untuk dijadikan sebagai alasan. Pencarian ruang rawat ICU antar-rumah sakit harus dilakukan secara manual oleh pihak keluarga pasien. Tindakan ini jelas sangat memakan waktu dan memengaruhi kondisi pasien.

MONASISCA NOVIANNEI

JALAN JATI PALEM, PULOGADUNG, JAKARTA TIMUR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2016, di halaman 13 dengan judul "Dari BPJS sampai ICU, Oh, Repotnya...".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 komentar:

  1. terima kasih kompas.,. jadi masalah yang saya laporkan,langsung di tanggapi oleh pihak bpjs

    BalasHapus

Powered By Blogger