Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 Mei 2015

RS, Dokter, dan BPJS Kesehatan (FACHMI IDRIS)

Artikel Lutfhie Hakim (Kompas, 13 Mei 2013) berjudul "Kewajiban Kerja Sama BPJS-Rumah Sakit Swasta" perlu diklarifikasi.

Dalam artikelnya, Lutfhie menyebutkan bahwa pernyataan Presiden bahwa rumah sakit harus dipaksa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan adalah salah. "Sepertinya Presiden kurang memperoleh informasi yang  benar tentang bagaimana kerja sama rumah sakit swasta dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," ujar Lutfhi.

Kebetulan penulis tahu persis ceritanya. Pernyataan Presiden bermula dari tanya jawab dengan buruh perkapalan saat penyerahan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Seorang penerima KIS mengeluh tentang pelayanan kesehatan. Ada temannya dalam keadaan gawat darurat ditolak rumah sakit (RS) swasta. Diduga latar belakangnya karena status pasien adalah peserta BPJS Kesehatan.

Tentu Presiden kaget. Respons spontan Presiden sangat jelas. Beliau menyatakan akan memberi sanksi bagi RS yang menolak pasien emergensi. Di sini, Presiden jelas tidak salah.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan: "Pimpinan  fasilitas  pelayanan  kesehatan  dan/atau tenaga kesehatan yang  melakukan praktik  atau  pekerjaan  pada fasilitas pelayanan  kesehatan  yang dengan sengaja  tidak memberikan pertolongan pertama terhadap  pasien  yang dalam  keadaan gawat darurat sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal 32 Ayat (2)  atau Pasal  85  Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara  paling  lama 2 (dua) tahun dan  denda paling banyak  Rp 200.000.000 (dua  ratus  juta rupiah)...".

UU ini berlaku 2009. Sementara BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 2014. Ini artinya, jauh sebelum ada BPJS Kesehatan, RS wajib memberikan pertolongan pada pasien emergensi.

Agak aneh apabila kemudian dunia perumahsakitan, khususnya komunitas kedokteran, memberikan respons berlebihan. Terkesan ada "pemidanaan baru" di era BPJS Kesehatan.  Mestinya, RS sangat diuntungkan. Sebelum ada BPJS Kesehatan, posisi RS lebih berat. Ada kewajiban melayani pasien emergensi, tetapi tak ada kepastian apakah pasien atau keluarganya mampu bayar atau tidak. Kondisi ini cenderung menyebabkan sebelum pasien ditolong, diminta deposit sejumlah uang. Apabila uang tidak ada, pasien cenderung ditolak atau "dirujuk" ke RS lain. Ini berbahaya. Bisa saja saat dirujuk, nyawa pasien melayang di jalan.

Mengapa RS diuntungkan? Di dalam Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan, "Pelayanan Fasilitas Kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan BPJS-K dibayar dengan penggantian biaya; dan biaya dimaksud ditagihkan langsung oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS-K setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.".

Memang, apa yang ditulis Luthfie tidak seluruhnya salah. Betul bahwa menurut Perpres Jaminan Kesehatan, ".Fasilitas Kesehatan milik swasta yang memenuhi persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan BPJS-K.".  Namun, di dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagai rujukan Perpres No 12/2013 tidak disebutkan istilah "dapat bekerja sama".  Artinya, kosakata "dapat bekerja sama" ini adalah terminologi Perpres No 12/2013.

Presiden Jokowi memiliki kewenangan merevisi perpres ini, dari terminologi "dapat bekerja sama"  menjadi "wajib bekerja sama". Sekali lagi, Presiden Jokowi tidak salah, kalau suatu saat mewajibkan RS bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Pemidanaan dokter

Pernyataan Presiden juga menjadi bahasan di media sosial,  khususnya oleh dokter yang merasa terusik dengan ancaman sanksi dimaksud. Penulis jadi teringat ucapan Profesor Sjamsu Hidayat, Guru Besar FK UI, yang pernah menyatakan: jadi dokter adalah pilihan, sebagaimana juga menjadi tentara sebagai pilihan. Artinya, risiko dalam tiap pekerjaan sesungguhnya sudah diketahui dari awal saat memilih profesi. Risiko jadi tentara adalah peluru. Profesi lain juga begitu. Namun, sejauh mengerjakan semua itu secara profesional, risiko atas pekerjaan profesionalnya pasti akan terhindari.

Menolong pasien dalam keadaan emergensi bagian dari implementasi sumpah dan etika kedokteran. Selama mengerjakan dengan benar, berdasarkan standar profesi, tak perlu ada kekhawatiran atas pemidanaan dimaksud. Praktisi hukum tahu, praktik kedokteran tak dapat dituntut pada hasil akhir dari pekerjaan kedokteran, tetapi pada benar-tidaknya upaya yang dilakukan dokter.

Dengan demikian, tidak ada alasan dokter khawatir untuk menangani pasien gawat darurat. Jika semua prosedur dikerjakan dengan baik, dokter pasti akan terhindar dari delik pidana.

Berbeda dengan sanksi pidana yang dengan sengaja tidak mau menangani pasien emergensi. Selain melanggar UU, juga ketidak- mauan ini diyakini semangatnya tidak sejalan dengan tujuan seseorang saat memilih berprofesi menjadi dokter, yaitu to serve humanity; sebuah tujuan suci (noble obligation) sebagaimana yang tertulis dalam mukadimah Organisasi Kedokteran Dunia (World Medical Association).

FACHMI IDRIS MANTAN KETUA UMUM IDI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "RS, Dokter, dan BPJS Kesehatan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Manfaatkan Angin Buritan (Kompas)

Pemerintah bersikap realistis dengan mengubah target pertumbuhan ekonomi 2015 menjadi 5,4 persen dari target awal 5,7 persen.

Perubahan target tersebut dilakukan setelah realisasi pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan I tahun ini hanya 4,71 persen.

Dalam penyampaian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 di depan anggota Badan Anggaran DPR pada Kamis lalu, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro tetap optimistis dengan target pertumbuhan tahun 2016. Target pertumbuhan ekonomi tahun depan berada pada kisaran 5,8-6,2 persen.

Bank Indonesia tidak seoptimistis pemerintah. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diprediksi 5,0-5,4 persen, lebih rendah daripada prakiraan awal 5,4-5,8 persen.

Sementara itu, sebagian pelaku bisnis memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak mencapai 5 persen. Alasannya, antara lain, harga komoditas di pasar dunia yang menjadi andalan pendapatan devisa Indonesia tahun depan masih tetap lemah.

Pemerintah harus bersikap optimistis di tengah keraguan pelaku bisnis. Persoalan ekonomi yang dihadapi tidak mudah, tetapi juga bukannya tidak dapat dikelola untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah telah melakukan sejumlah langkah untuk meningkatkan sumber pertumbuhan ekonomi terpenting Indonesia, yaitu konsumsi dalam negeri.

Salah satu langkah adalah menaikkan besaran penghasilan tidak kena pajak untuk wajib pajak pribadi, dari Rp 24,3 juta menjadi Rp 36 juta per orang per tahun. Harapannya akan ada penghasilan yang dapat dibelanjakan lebih banyak untuk pangan dan produk industri sehingga terjadi efek berganda pada putaran roda ekonomi.

Sebelumnya pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi, yaitu keringanan pajak untuk perusahaan yang menginvestasikan kembali dividennya di Indonesia, memberikan bebas visa kunjungan singkat untuk wisatawan dari 30 negara baru, memberlakukan letter of credit untuk produk sumber daya alam, dan merestrukturisasi industri reasuransi domestik.

Pemerintah juga didukung angin buritan untuk meningkatkan daya beli masyarakat berupa dana bantuan desa dan dana APBN untuk proyek infrastruktur.

Meski demikian, peluru tersebut hanya akan berdaya guna jika digunakan dengan tepat. Untuk meningkatkan konsumsi masyarakat yang berkelanjutan, pemerintah harus dapat menciptakan lapangan kerja berkualitas, mendorong tumbuhnya pelaku kewirausahaan. Akan sangat baik jika kedua hal itu diciptakan di desa dan luar Jawa.

Karena itu, dana desa dan proyek infrastruktur diarahkan menciptakan lapangan kerja bagi rakyat—termasuk ketika proyek infrastruktur dibiayai dana asing— serta mendukung tumbuhnya industri berbahan baku lokal, terutama agrobisnis.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Manfaatkan Angin Buritan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Prospek Gejala Alam El Nino 2015 (PAULUS AGUS WINARSO)

Curah hujan sudah mulai berkurang secara meluas di wilayah Indonesia, tiupan angin timur terasa mantap, menandai dimulainya periode musim kemarau.

Kondisi ini sesuai dengan informasi awal musim kemarau dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, yang secara keseluruhan cenderung mendekati kondisi normal.

Namun demikian, karena informasi disusun awal tahun 2015, perlu adanya pembaruan sesuai perkembangan cuaca dan iklim yang terjadi hingga Mei ini.

Tulisan ini seiring dengan perkembangan signifikan setelah suhu muka laut kawasan ekuator Samudra Pasifik timur wilayah Indonesia, menyimpang mendekati atau lebih dari  1 derajat.

Di kawasan ekuator Samudra Pasifik, empat kawasan menjadi tolok ukur akan hadirnya gejala alam El Nino. Kawasan paling barat ekuator disebut kawasan Nino 4, kawasan ekuator bagian tengah disebut kawasan Nino 3, dan kawasan timur terbagi di belahan utara sebagai kawasan Nino 2 dan belahan selatan sebagai kawasan Nino 1.

Apabila dalam pengamatan setiap bulan pada masing-masing kawasan menunjukkan penyimpangan suhu muka laut di atas 1 derajat celsius, berarti telah giat gejala alam El Nino. Pemantauan suhu muka laut pada Mei menunjukkan, mulai Nino 4 di Samudra Pasifik barat, Nino 3 di bagian tengah, dan Nino 1 di bagian timur, terukur penyimpangan suhu muka laut. Hal ini memenuhi kriteria giatnya gejala alam El Nino.

Informasi akan hadirnya gejala alam El Nino telah merebak dan dibahas media massa di Amerika Serikat. Sebaliknya Biro Meteorologi Australia menginformasikan bahwa peringatan dini bahwa gejala alam El Nino dalam kondisi normal. Meski demikian, di situs Biro Meteorologi Australia awal Mei 2015, prakiraan berubah. Disebutkan kondisi El Nino giat, namun tidak ada tingkat kegiatannya (lemah, sedang, dan kuat).

Penelusuran lebih lanjut menunjukkan, gejala El Nino 2015 akan memberikan konsekuensi dampak yang parah ke semua kawasan Bumi. Dampak itu antara lain kurangnya curah hujan akibat kondisi suhu muka laut dingin di wilayah Indonesia sementara di kawasan ekuator Samudra Pasifik hangat.

Belum pasti

Hal ini sama dengan kondisi 2014 saat beredar informasi gejala alam El Nino 2014 akan giat. Kenyataannya, gejala hangat tidak lebih dari  1-2 bulan dan selebihnya normal.

Tahun 2014, musim hujan berlangsung hingga Juni-Juli, dan mulai lagi akhir November 2014. Berarti informasi tentang akan giatnya gejala alam El Nino perlu pengembangan dan pemahaman lebih saksama.

Pengalaman akan dampak gejala El Nino sebelumnya, seperti 1982-1983, 1987-1988, 1991-1994, 1997-1998, dan 2002-2003, menunjukkan bahwa naiknya suhu muka laut dipicu giatnya bintik Matahari. Periode bintik Matahari giat terjadi pada siklus 19 (1955-1965), siklus 21 (1976-1986), siklus 22 (1987- 1998), dan siklus 23 (1999-2010) dengan kegiatan gejala alam El Nino 2-4 kali per siklus,

Dari pengalaman saat gejala El Nino giat 1982-2002, umumnya diawali dengan meningkatnya curah hujan di musim hujan di wilayah Indonesia dan melemahnya angin pasat di kawasan ekuator Samudra Pasifik.

Kondisi gejala El Nino 2015 yang diinformasikan berbagai pusat informasi iklim negara maju, seperti AS, Inggris, dan Australia, bila disesuaikan dengan lemahnya kegiatan bintik Matahari siklus 24 (periode 2011-2021) perlu menjadi pertimbangan pertama.

Kedua kita cermati kondisi musim hujan 2015 dari akhir November 2014 hingga awal Mei 2015. Apakah curah hujan terukur cukup hebat (misalnya 2 kali jumlah normal musim hujan)? Sepertinya kondisi curah hujan masih dalam kisaran normal atau sedikit di atas normal.

Dari pemantauan angin pasat, tampak bahwa kawasan Samudra Pasifik tengah menunjukkan kondisi angin pasat atau angin timuran dominan bertiup di kawasan Samudra Pasifik barat, sedang di sekitar Papua dominan tiupan angin barat.

Beberapa kegiatan gejala alam El Nino  berdampak pada musim kemarau kering di wilayah Indonesia mulai 1982-1983 hingga 2002-2003. Dampak kondisi kering umumnya diawali dengan giatnya curah hujan di awal tahun. Artinya bila pada 2015 ini akan giat gejala alam El Nino, maka pada periode 2014/2015 curah hujan umumnya melebihi rerata.

Unsur kedua sebagai tolok ukur giatnya gejala alam El Nino adalah melemahnya angin pasat yang bertiup di atas ekuator Samudra Pasifik. Saat giat musim hujan umumnya angin barat mulai dominan bertiup di atas wilayah, khususnya di atas kawasan Papua Barat hingga Papua Niugini. Namun, kenyataannya kondisi angin pasat yang cukup kencang masih bertiup di atas kawasan tropis Samudra Pasifik.

Hanya sesekali, mulai akhir April hingga pertengahan Mei 2015 terpantau angin barat cukup kencang bertiup di atas Papua atau kawasan Samudra Pasifik barat. Dengan naiknya suhu muka laut kawasan ekuator Samudra Pasifik pada akhir April 2015 yang mendekati 1 derajat, secara definitif memang telah berlangsung gejala alam El Nino. Giatnya gejala alam El Nino ini telah digembar-gemborkan pada 2014 oleh media massa internasional. Kenyataannya pada 2014 memang telah berlangsung gejala alam El Nino, namun periodenya cukup singkat.

Apakah pada 2015 gejala alam El Nino yang secara resmi telah diinformasikan oleh pusat informasi iklim negara maju akan berkembang seperti gejala alam El Nino terkuat pada abad ke-21, yaitu pada 1997-1998?

Suatu hal yang jelas dan pasti bahwa gejala alam El Nino yang giat pada periode mulai 1982-1983 hingga periode 2002-2003 umumnya diaktivasi naiknya kegiatan Matahari  yang dapat dicermati dengan jumlah bintik-bintik di permukaan Matahari.

Periode kegiatan gejala alam El Nino 1982-2003 didukung giatnya jumlah bintik Matahari yang pada puncaknya dalam sebulan lebih dari 100-200 bintik, namun dalam periode sejak 2010-2021 yang mencapai puncak pada 2014-2015 menunjukkan kuantitas bintik Matahari kurang dari 100 bintik.

Siklus bintik

Dengan demikian, siklus bintik Matahari periode saat ini 2010-2021 (masuk siklus nomor 24) merupakan periode siklus Matahari terendah bila dibandingkan dengan siklus sebelumnya, yaitu siklus nomor 21 periode 1977-1988, siklus 22 periode 1988-1999, dan siklus 23 periode 1999-2010.

Kondisi siklus Matahari 24 yang kini berlangsung hampir sama kondisinya dengan periode siklus Matahari 20 periode 1966 -1977, di mana saat periode berlangsung tiga kali kegiatan gejala alam El Nino, namun kurang berdampak kondisi kemarau kering, seperti kejadian gejala alam El Nino yang terjadi 1982-2002.

Dari semua penelusuran dengan mencermati pengalaman berlangsungnya peristiwa alam yang tercatat, kesimpulannya adalah gejala alam El Nino memang sedang dan akan berlangsung. Namun, menilik pengalaman kegiatan gejala alam  El Nino 2014, naiknya suhu hanya berjangka tidak lebih dari dua bulan, namun akan berdampak pada kondisi kurang hujan pada periode Agustus-pertengahan November 2014.

Kondisi 2014 mungkin dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk meninjau lebih jauh prakiraan kondisi suhu muka laut. Kawasan perairan Indonesia bagian tengah sebelah timur dan perairan Indonesia bagian timur akan mengalami kondisi suhu rendah atau di bawah normal yang mengisyaratkan peluang kurang hujan ada di sebagian wilayah bagian tengah dan sebagian wilayah timur hingga akhir tahun. Sedangkan wilayah bagian barat dan sebagian bagian tengah sebelah barat sedikit hangat dan peluang hujan cukup banyak hingga normal.

PAULUS AGUS WINARSO PENGAJAR SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Prospek Gejala Alam El Nino 2015".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kesewenangan atas Guru PNS DKI

Sejak Januari 2015 kami para guru Pemerintah Provinsi DKI terpaksa dengan sabar menerima perlakuan tidak menyenangkan.

Hak-hak kami sebagai pegawai diberikan seenaknya. Tidak sepadan dengan kewajiban yang kami kerjakan. Belasan bahkan banyak yang puluhan tahun mengabdi belum pernah merasakan menerima gaji pada tanggal 1 karena transfer selalu mundur, padahal seharusnya PNS menerima gaji setiap tanggal 1.

Belum lagi tunjangan kinerja daerah yang turun sesuka hati. Ditahan-tahan seperti tidak ikhlas. Ditambah lagi sertifikasi triwulan pertama yang tidak kunjung cair sementara di provinsi lain lancar.

Jangan terus-menerus memperlakukan guru sewenang-wenang. Guru tidak pernah menuntut berlebihan. Berikan hak kami seperti yang seharusnya. Tidak ingatkah bahwa tanpa guru negara ini tidak akan maju. Jangan karena kami diam saja kami diperlakukan seenaknya.

GURU PNS DI DKI JAKARTA, NAMA DAN ALAMAT PADA REDAKSI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi "

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

‎Partai Minus Gagasan

Partai politik adalah salah satu syarat berjalannya mekanisme demokrasi negara. Kesempurnaan demokrasi muncul dari kompetisi antarparpol dan publik memilih alasan-alasan tertentu sebagai dasar mendukung salah satu parpol.

Apakah kepartaian bisa menyediakan alasan-alasan rasional bagi publik? Agenda partai adalah dasar diferensiasi antarparpol yang terbentuk dari gagasan parpol dan karakteristik basis massa dalam hubungan resiprokal (Neumann, 1982). Produksi gagasan wajib ada dalam kehidupan sebuah parpol (Macridis, 1988).

Namun, agaknya idealitas kepartaian sulit diwujudkan. Dua perhelatan parpol besar—Munas Partai Golkar dan Muktamar PPP pada akhir 2014—malah menghasilkan dualisme kepemimpinan. Sebaliknya Kongres Partai Demokrat dan Kongres PDIP tak mampu menghasilkan pemimpin baru.

Empat kongres partai terbesar itu menunjukkan bahwa masih ada masalah-masalah mendasar kepartaian di Indonesia. Pertama, pragmatisme politik menghambat produksi gagasan partai. Parpol hanya menjadi instrumen politisi mengakses sumber daya negara. Pertempuran fungsi legislatif-eksekutif oleh Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat, perpecahan Aburizal Bakrie-Agung Laksono (Partai Golkar) dan Djan Faridz-Romahurmuziy (PPP) adalah imbas pragmatisme politik personal.

Kedua, kentalnya patronase politik dalam partai. Pola semacam ini menghasilkan perkembangan parpol yang tidak sehat karena ketua partai seolah adalah pemilik partai. "Restu ketua partai" menjadi faktor determinan yang wajib diperoleh tokoh baru untuk muncul dalam parpol. Padahal, fleksibilitas jaringan para kader justru dapat memunculkan pembaruan partai, termasuk soal gagasan dan agenda.

Maka, kompetisi antarparpol bukan soal menjual gagasan dan agenda untuk perluasan pengaruh. Parpol dengan basis massa ideologis, seperti PKB, PDIP, PKS, PPP, PAN, dan PBB dengan konstituen loyal, tereduksi hanya menjaga suara.

Untuk membenahi parpol, perlu mendorong fleksibilitas sumber daya politik kader dan mengakomodasi gagasan kader daerah sebagai penguatan kelembagaan partai. Parpol menjadi sehat karena bekerja dalam sistem egaliter.

Kedua, merancang grand design partai, yang meliputi gagasan utama, agenda parpol, dan blue print strategi implementasi. Dengan demikian, kongres berfungsi sebagai pembawa perubahan, bukan sekadar rutinitas suksesi.

SAYFA AULIYA ACHIDSTI, MAHASISWA DAN PENELITI DI PASCASARJANA MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi ".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Mengapa Kita Pesimistis (ANTON HENDRANATA)

Di awal terpilihnya Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk memimpin bangsa ini, mereka disambut meriah dengan gegap gempita. Bukan hanya oleh rakyat Indonesia sendiri, melainkan juga oleh bangsa-bangsa besar di dunia.

Optimisme yang melempem, bahkan menuju kesirnaan, secara naluri muncul kembali ke permukaan. Gairah bangsa ini meletup kembali. Harapan besar menuju Indonesia yang kuat dan disegani secara aklamasi ada di pundak pemimpin baru dengan gaya santun merakyat.

Harus diakui, di awal pemerintahan JKW-JK, mereka langsung dihadapkan pada situasi yang teramat sulit. RAPBN 2015 yang dirancang pemerintah sebelumnya tidak cocok dengan Nawacita yang dicanangkan oleh mereka.

Ujian pertama, yang memerlukan nyali, ialah menaikkan harga bensin dan solar pada November 2014 ketika harga minyak dunia naik tajam. Rakyat tersentak dan mengeluh. Saya kira ini reaksi normal karena kenaikan harga BBM pasti akan menaikkan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Inflasi yang naik tinggi akan menyengsarakan rakyat kebanyakan.

Pelaku ekonomi dan analis dikagetkan oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) yang langsung merespons kenaikan suku bunga dari 7,50 persen menjadi 7,75 persen, dengan alasan untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan memastikan tekanan inflasi tetap terkendali. Padahal, ini kan harga yang diatur pemerintah, yang bersifat sementara dan tak permanen, di mana inflasi akan turun lagi secara perlahan.

Rasional dan terukur

Kegelisahan akibat kenaikan harga BBM dan suku bunga BI untungnya tidak berlangsung lama. Di luar dugaan, harga minyak dunia anjlok hingga pernah di bawah 50 dollar AS per barrel pada Januari 2015.

Kondisi ini tidak disia-siakan pemerintah. Pada 1 Januari 2015, reformasi migas dicanangkan. Subsidi bensin dicabut dan hanya memberikan subsidi tetap untuk solar Rp 1.000 per liter. Normalnya pencabutan subsidi BBM akan ditolak rakyat, tetapi kali ini tidak karena dibarengi penurunan harga bensin menjadi Rp 7.600/liter dari Rp 8.500/liter dan solar menjadi Rp 7.250/liter dari Rp 7.500/liter. BI sebagai otoritas moneter menurunkan suku bunga menjadi 7,50 persen.

Tidak ada yang menyangka reformasi migas bisa secepat itu. Pemerintah baru terbebas dari sandera subsidi BBM yang setiap tahun selalu menjadi beban dan ganjalan berat APBN. Penghematan dari subsidi BBM menyebabkan ruang fiskal pemerintah melebar. Keinginan JKW-JK untuk membangun infrastruktur, yang selama ini bobrok, secara intensif dan berkelanjutan seharusnya sangat realistis.

Subsidi energi yang berkurang drastis dari Rp 350 triliun pada 2014 menjadi hanya Rp 138 triliun di 2015 menjadi angin segar buat APBN pertama pemerintahan JKW-JK. Postur APBN-P 2015 menjadi lebih produktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat. Rencana fantastis bahwa pengeluaran untuk membangun infrastruktur meningkat 63 persen; dari sebelumnya Rp 178 triliun menjadi Rp 290 triliun pada 2015. Kalau ini bisa direalisasikan dan konsisten diteruskan selama lima tahun pemerintahan JKW-JK, fundamental perekonomian Indonesia akan sangat kuat. Potensi tinggi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mudah dicapai, dengan tren inflasi yang turun dan stabil, disertai dengan nilai rupiah yang rasional dan terukur.

Niat mulia ini sayangnya tak mudah dilakukan. Selalu ada tantangan dari kubu yang melihat dari sudut pandang yang berbeda. Dalam enam bulan pemerintahan JKW-JK, situasi politik masih penuh ketidakpastian. Isu pergantian kabinet selalu diembuskan politisi, yang tentunya membuat resah para pembantu presiden. Rakyat pun mulai bosan melihatnya: kapan, ya, elite politik berdamai dan satu visi untuk menuju Indonesia hebat?

Situasi semakin berat. Perekonomian pada kuartal I-2015 terlihat sangat lesu dengan hanya tumbuh 4,7 persen. Profit perusahaan anjlok, pelaku usaha cenderung menurunkan target produksi dan penjualan. Tekanan inflasi meningkat karena kenaikan harga minyak dunia. Bank mengalami kesulitan untuk menyalurkan kreditnya, tecermin dari pertumbuhan kredit yang hanya 11,3 persen pada April 2015, sementara rupiah masih berkutat di atas Rp 13.000 per dollar AS.

Kemunculan isu bahwa BI bisa diintervensi dan tidak independen makin membumbui lemahnya perekonomian domestik. Kalau melihat logika dan kronologi kebijakan moneter dan makroprudensial yang diambil, rasanya BI masih berintegritas, apalagi undang-undang menjamin independensi BI. Ketika ini dilanggar, kepercayaan akan luntur dan bisa menimbulkan biaya ekonomi sangat mahal, yang merusak sendi perekonomian.

Oleh karena itu, menjadi sangat penting bahwa ada koordinasi dan komunikasi yang positif antara pemerintah dan BI, termasuk dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tentunya koordinasi dan komunikasi yang menghargai peran dan kontribusi masing-masing.

Realisasi penerimaan pajak yang kurang memuaskan di kuartal I dan kemungkinan besar target kenaikan pajak 30 persen sulit terealiasi. Rasanya target pertumbuhan ekonomi pemerintah 5,4 persen kurang realistis, perkiraan kami hanya 5-5,1 persen pada 2015.

Dengan situasi politik dan ekonomi yang memprihatinkan, ditambah kondisi global yang tak menentu, terutama kapan Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya, adalah reaksi yang cukup wajar kalau insan ekonomi mulai getir terhadap kepemimpinan JKW-JK. Tingkat kepercayaan masyarakat mulai menurun, rasa kecewa mulai menyelimuti optimisme di awal pemerintahan JKW-JK.

Beri kesempatan

Euforia kepemimpinan JKW-JK mulai meredup. Pasar saham dan pasar obligasi mengalami tekanan. Investor asing sudah mulai mundur perlahan dari perekonomian Indonesia. Di saat kita hampir sepakat pada 2015 merupakan tahun yang sulit dan bergejolak, lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's (S&P) malah memberikan penilaian positif terhadap perekonomian Indonesia. S&P sangat mengapresiasi kebijakan pemerintahan JKW-JK, terutama penghapusan subsidi BBM yang dinilai tidak produktif.

Gonjang-ganjing politik tidak berpengaruh signifikan terhadap penilaian S&P pada perekonomian Indonesia. Kelihatannya decouplingantara politik dan ekonomi masih berlaku untuk Indonesia. Politik jalan sendiri dengan hiruk-pikuknya, sedangkan ekonomi jalan sendiri dengan tantangan domestik dan eksternalnya.

Oleh karena itu, mengapa kita sebagai bangsa harus pesimistis, sementara pihak luar yakin kepada Indonesia di masa depan. Penilaian positif dari lembaga pemeringkat sekaliber S&P saya kira madu yang memberikan spirit bagi pemerintahan JKW-JK. Obat manjur mencabut subsidi BBM, walaupun terasa pahit dalam jangka pendek, saya rasa akan berbuah manis kalau realisasi pembangunan infrastuktur dijalankan dengan konsisten.

Konektivitas antardaerah akan berjalan mulus, distribusi barang dan jasa akan berjalan lancar. Pembangunan regional akan secara kontinu menuju konvergensi, bukan divergensi. Semua itu pada akhirnya akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan kekuatan ekonominya. Kita beri pemerintah kesempatan membuktikan janjinya, sambil menunggu penilaian S&P untuk mendapatkan peringkat investasi (investment grade) pada tahun depan?

ANTON HENDRANATACHIEF ECONOMIST PT BANK DANAMON INDONESIA TBK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Mengapa Kita Pesimistis".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

SN Dikti dan Publikasi Internasional (SYAMSUL RIZAL)

Pada 20 Mei 2015, Hari Kebangkitan Nasional, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengeluarkan surat edaran Nomor 01/M/SE/V/2015 tentang Evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Salah satu yang dievaluasi adalah Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti).

 SN Dikti memang menjadi trending topicdi kalangan para staf pengajar di universitas. Penyebabnya jelas: SN Dikti membidik para profesor yang tidak mempunyai publikasi internasional. Terkadang para profesor ini punya nama dan institusi yang besar. Tetapi, karena tak punya publikasi internasional, profesor ini tak mungkin dilibatkan dalam proses pendidikan di program studi S-3. Bahkan, kalau profesor dan doktor yang tak punya publikasi internasional ini bergabung dalam sebuah prodi S-3, maka prodi ini berdasarkan SN Dikti terancam untuk dibubarkan.

Tidak semua jadi doktor

Indonesia memang sudah begitu lama bermain-main dengan kualitas pendidikan doktornya. Padahal, tidak semua orang mesti menjadi doktor. Para profesornya pun, terutama di kota-kota besar, tanpa dasar sering dibesar-besarkan oleh media. Mereka bahkan jauh lebih mirip dengan para selebritas daripada ilmuwan.

 Munculnya SN Dikti, membuat para ilmuwan seperti ini merasa terpojok. Menurut SN Dikti, publikasi internasional adalah instrumen yang paling cocok untuk menjaring promotor yang pantas membimbing S-3. Yang menjadi dasarnya adalah output dari hasil pembimbingan yang harus menghasilkan 2 publikasi internasional bagi kandidat doktor. Dengan demikian, menjadi tidak logis apabila para promotornya justru tidak mempunyai publikasi internasional. Seharusnya promotor juga punya sedikitnya 2 buah.

 Ada tiga alasan utama, mengapa masalah publikasi internasional ini harus dipertahankan dalam SN Dikti. Pertama, pada diskusi-diskusi awal, saat pembentukan dan penggabungan Kemenristek dan Dikti diwacanakan, kita berharap universitas akan dipacu ke arah riset yang semakin bermutu.

Kalau universitas diletakkan di bawah Kemendikbud, maka dikhawatirkan riset di universitas tidak ada yang mengurus implementasinya. Begitulah kira-kira, alasan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menggabung Kemenristek dan Dikti.

Fokus riset

 Karena kita ingin fokus dalam masalah riset, maka tidak bisa tidak, masalah publikasi internasional menjadi melekat di dalamnya. Ini berarti, masalah publikasi internasional menjadi semacam roh bagi Kemenristek dan Dikti. Menafikan publikasi internasional dalam Kemenristek dan Dikti, berarti kita secara sengaja mengarahkan institusi ini bergerak tanpa roh: hanya badan saja. Kalau manusia hanya punya badan saja dan tidak mempunyai roh, maka tempatnya sudah berpindah ke alam kubur.

Alasan kedua, publikasi internasional kita sudah kalah terlalu jauh bila dibandingkan sesama negara ASEAN yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit daripada jumlah penduduk kita. Masalah ini sudah sering sekali dibahas. Ini fakta yang sangat memalukan dan sekaligus memilukan bangsa dan negara kita. Kita tentu saja tidak mau dan tidak rela, bangsa kita dihina dan dipermalukan, karena ilmuwan dari bangsa ini tidak mau berupaya maksimal untuk melakukan perlawanan terhadap fakta yang sangat menyedihkan ini.

Alasan ketiga, di tengah kurangnya dana pemerintah untuk membangun infrastruktur dan lain-lain, Pemerintah Indonesia, telah menggelontorkan begitu banyak uang untuk menggaji para profesor di Indonesia. Di samping itu, usia pensiun para profesor pun sudah diperpanjang menjadi 70 tahun. Belum lagi pemerintah yang telah begitu banyak mengalokasikan dana untuk penelitian di universitas.

 Dari mana dana ini diperoleh pemerintah? Sebagian besar dari pajak yang harus ditanggung rakyat, sebagian lagi dari kebijakan tak populer yang harus dipertaruhkan Jokowi-JK: menaikkan harga BBM.

Kalau para profesor masih berkilah dan berkeluh kesah untuk menelurkan publikasi internasional, setelah mengetahui fakta-fakta yang dikemukakan di atas, maka kita pantas untuk turut berduka cita. Kalau tidak mau melakukan riset dan memublikasikannya secara internasional, tugas mulia apalagi yang pantas dan yang harus dibebankan kepada para profesor?

Para ilmuwan Indonesia harus mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi untuk menjaga marwah negara bangsa ini. Di seluruh sudut dan sektor, panji-panji nasionalisme ini harus dikibarkan, termasuk juga di sektor riset, yang di dalamnya berisi para profesor dan doktor.

Publikasi atau mati

Dalam editorialnya yang berjudul Publish or Perish, Watts (1992) mengemukakan: tidak ada jalan lain untuk memastikan bahwa riset yang kita lakukan itu bermutu atau tidak, atau bahkan betul atau salah, jika kita tidak memublikasikannya. Artikel atau manuskrip harus dikirim ke jurnal yang dapat dipastikan bahwa para juri (reviewers) adalah para ahli yang sangat menguasai bidangnya, yaitu peers.

Proses peer review adalah proses yang paling penting untuk menjamin publikasi internasional yang dilahirkan dapat dipublikasi atau tidak.

 Bagi para pengarang, proses peer reviewadalah kesempatan untuk memperoleh bantuan dari respected colleagues, sehingga manuskrip dapat direvisi dan ditingkatkan kualitasnya.  Dengan demikian, proses peer review ini, bukanlah proses yang harus ditakuti atau dihindari, tetapi justru proses yang harus dihadapi secara riang gembira para profesor dan peneliti sejati.

Setelah dipublikasi, tulisan kita menjadipublic domain yang siap untuk dikritisi dan diapresiasi. Di sini kita bisa memantau, siapa saja yang mengutip tulisan kita.

Dengan demikian, riset yang kita lakukan tak berhenti sebagai laporan riset saja. Tetapi, harus dipertanggungjawabkan pula kepada komunitas ilmiah secara internasional untuk mendapatkan umpan balik (feedback).

Berkah SN Dikti

Saya ingin berbagi pengalaman ketika sempat menjadi Direktur Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (2009-2014). Sebelum ada SN Dikti, sangat sulit bagi kami untuk mendirikan prodi S-3.

Di samping persyaratan yang tidak jelas, rasanya kami "kurang dipercaya" untuk mendirikan prodi S-3. Setelah SN Dikti diberlakukan, sekarang di hampir semua cabang ilmu, kami memiliki prodi S-3.

Mengapa demikian? Karena untuk mendirikan prodi S-3, SN Dikti menuntut adanya publikasi internasional dari pengajarnya dan sebagian besar profesor dan doktor di Unsyiah mempunyai publikasi internasional.

Bahkan dengan adanya SN Dikti sekarang ini, beberapa profesor dan doktor dari Unsyiah sudah mulai memublikasikan hasil penelitian bersama mahasiswa S-1-nya di jurnal internasional. Sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan, sebelum adanya desakan SN Dikti.

SYAMSUL RIZAL GURU BESAR UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "SN Dikti dan Publikasi Internasional".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pendidikan dalam Masyarakat Kredensial (A HELMY FAISHAL ZAINI)

Berita mengenai 18 perguruan tinggi yang diduga mengeluarkan ijazah palsu sungguh sangat meresahkan kita bersama. Berita itu juga memperpanjang daftar suram wajah pendidikan kita.

Di antara sekian problem yang masih menghiasi pendidikan kita, soal mekanisme evaluasi dan minimnya riset, misalnya, maka soal ijazah palsu ini juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Apa yang diungkapkan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir bahwa ada 18 perguruan tinggi yang ditengarai melakukan praktik jual-beli ijazah patut untuk kita prihatinkan dan juga layak untuk kita sesalkan. Lebih dari itu, lebih penting lagi untuk kita sikapi adalah apa sesungguhnya akar persoalan dari praktik jual-beli ijazah palsu tersebut.

Formalistik-pragmatis

Saya tertarik untuk mengutip pendapat sosiolog Randall Collins. Dalam bukunya yang terkenal, The Credential Society: A Historical Sociology of Education and Stratification (1979), ia mengatakan bahwa gejala yang dialami negara-negara berkembang di dunia adalah gejala kredensialisme. Suatu penyakit sosial yang lebih menekankan aspek legalitas dan formalitas belaka.

Collins dengan sangat jitu membidik perilaku sosial masyarakat modern yang cenderung legal-formalistik, kaku, dan prosedural. Keadaan yang demikian sesungguhnya boleh jadi pangkal bencana sosiologis, sebab kebudayaan yang lebih mengedepankan formalitas lambat laun akan meninggalkan substansialitas itu sendiri. Padahal, substansi itu, bagaimanapun, keadaannya, jauh lebih penting dibandingkan dengan formalitas.

Dalam logika masyarakat kredensial, yang utama dan yang terutama adalah ijazah. Ijazah adalah supremasi tertinggi yang digunakan sebagai senjata dalam mengarungi kehidupan sehari- hari, terutama dalam dunia kerja yang cenderung kapitalistik seperti hari ini.

Dengan dinamika pergerakan masyarakat kredensial yang begitu dinamik tersebut, hari ini kita memasuki apa yang disebut Udiansyah (2012) dengan inflasi kredensialisme. Inflasi kredensialisme adalah keadaan di mana kita berada pada ruang-ruang pendidikan yang cenderung lebih mengedepankan sikap kapitalis, pragmatis, dan tak rasional lagi.

Keadaan demikian sesungguhnya merupakan arus balik tujuan nasional pendidikan kita. Tujuan nasional pendidikan kita, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Bab II, Pasal 3 menyebutkan"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Jadi tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk menemukan jati dirinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Artinya, keberhasilan pendidikan berada pada apakah ia berhasil mencetak manusia beriman dan bertakwa dalam menjalani kehidupan sehari-hari, bukan pada seberapa panjang deretan titel kesarjanaan yang berhasil ia capai.

Iman dan takwa adalah ranah afektif, dibuktikan dengan moralitas dan perilaku sehari-hari, sementara deretan titel kesarjanaan adalah ranah kognitif. Dua hal yang sungguh jauh berbeda.

Arus balik tujuan pendidikan yang lebih mengarah kepada masyarakat kredensial, yang cenderung mementingkan formalitas belaka itu, sesungguhnya tak terlepas juga dari peran lembaga pendidikan yang makin hari semakin berwatak kapitalistik. Kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak sedikit lembaga pendidikan yang didirikan atas dasar berorientasi keuntungan.

Motif pendirian lembaga pendidikan yang bermuara pada keuntungan inilah yang menjadi lahan subur persemaian praktik jual-beli ijazah palsu. Masyarakat yang formalistik dan cenderung pragmatis bertemu dengan lembaga pendidikan yang berorientasi keuntungan dan kapitalistik, meminjam istilah orang Jawa, adalah ibarat tumbu ketemu tutup(jodoh).

Ritual pesantren

Kita sesungguhnya memiliki catatan sejarah yang bisa dijadikan acuan dan contoh nyata tentang bagaimana membangun, mengelola, serta merawat "idealisme" lembaga pendidikan. Catatan sejarah itu dimiliki orang- orang pesantren. Dulu orang membuat pesantren selalu diawali ritual-ritual mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara berpuasa dan juga berdoa. Ritual tersebut adalah medium dalam rangka mencari keridaan Tuhan. Artinya, landasan dan motif utama pendirian lembaga pendidikan bukanlah materi.

Apa yang dilakukan lembaga pendidikan hari ini, yang cenderung pragmatis itu, sesungguhnya berbalik 180 derajat dari apa yang diwariskan nenek moyang kita. Mendirikan lembaga pendidikan dengan motif materi memang tak sepenuhnya buruk, tetapi-persoalannya kemudian- arus materialisme tersebut lambat laun ternyata menggerus substansi praktik pendidikan itu sendiri. Alhasil, yang terjadi kemudian adalah sebagaimana yang kita hadapi hari ini: banyak praktik jual-beli ijazah bertebaran.

Saya sepakat dengan langkah yang dilakukan Kemenristek dan Dikti yang akan segera mencabut izin operasional perguruan tinggi yang terbukti melakukan praktik jual-beli ijazah. Lebih dari itu, Kemenristek dan Dikti juga harus menarik dan mencabut seluruh ijazah yang terbukti didapatkan dari proses jual-beli.

Dalam pada itu, banyaknya kalangan masyarakat yang meyakini bahwa angka 18 perguruan tinggi yang diduga melakukan praktik jual-beli ijazah itu sesungguhnya sangat sedikit, hendaknya dijadikan kerangka masukan bagi Kemenristek dan Dikti mengusut sejauh mana keakutan praktik jual-beli ijazah ini. Sebab, sangat mungkin kasus ini adalah fenomena gunung es, yang tampak adalah puncaknya saja

A HELMY FAISHAL ZAINIANGGOTA KOMISI X DPR RI 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Pendidikan dalam Masyarakat Kredensial".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Selesaikan Sengketa secara Damai. (Kompas)

Beijing menuduh Amerika Serikat menghasut negara yang memiliki tumpang tindih klaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan agar berhadapan dengan Tiongkok.

Tuduhan Beijing itu dilontarkan setelah Menteri Pertahanan AS Ashton Carter, di Hawaii, Rabu (27/5), meminta negara yang memiliki klaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan untuk secara permanen menghentikan pembangunan di gugus pulau di perairan itu. Carter menambahkan, "Kami menginginkan semua persengketaan diselesaikan secara damai, dan menentang langkah militerisasi atas persengketaan wilayah yang ada."

Laut Tiongkok Selatan memiliki potensi konflik yang tinggi. Ada enam negara yang memiliki tumpang tindih klaim wilayah di perairan itu, yakni Brunei, Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan, dan Tiongkok.

Dalam berhadapan dengan Tiongkok yang merupakan negara raksasa, baik dalam jumlah penduduk maupun dalam kekuatan angkatan bersenjata, posisi empat negara ASEAN agak tertekan. Namun, dengan bayang-bayang AS di belakangnya, Filipina berani bergerak secara leluasa di perairan itu sehingga kapal-kapal Filipina paling sering berurusan dengan kapal-kapal patroli Tiongkok.

Kedekatan Filipina dan AS yang sering diwujudkan dalam latihan militer bersama Filipina dan AS di perairan tersebut diprotes Tiongkok. Padahal, latihan serupa sudah dilakukan sejak lama. AS, melalui Armada VII yang beroperasi dari Diego Garcia di Samudra Hindia hingga Guam di Samudra Pasifik, menganggap penting keleluasaan kapal-kapal bergerak di Laut Tiongkok Selatan. Oleh karena Laut Tiongkok Selatan merupakan jalur perdagangan laut yang terpenting di dunia.

Ketegangan Tiongkok dan AS di Laut Tiongkok Selatan meningkat ketika baru-baru ini AS merilis foto-foto satelit yang menunjukkan Tiongkok melakukan pembangunan besar-besaran di salah satu gugus pulau yang masih menjadi tumpang tindih klaim wilayah. Bukan itu saja, Tiongkok pun secara sepihak menjadikan wilayah udara di atas gugus pulau yang dibangun itu sebagai zona militer khusus.

Tiongkok menyebut foto-foto pembangunan di gugus pulau yang dirilis AS itu dilakukan untuk menakut-nakuti negara-negara kawasan. Mungkin tuduhan Tiongkok itu benar, tetapi sesungguhnya bukan itu persoalan utamanya. Persoalan utamanya adalah Tiongkok harus menghentikan proses pembangunan yang dilakukannya karena itu dilakukan di wilayah tumpang tindih klaim. Selesaikan dulu persengketaan wilayahnya, baru pembangunan boleh dilakukan. Apa yang dikatakan oleh Menteri Pertahanan AS Ashton Carter sudah benar. Selesaikan sengketa secara damai. Dan, itu dapat dilakukan jika negara-negara yang bersengketa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, tanpa ada yang merasa lebih kuat daripada yang lain.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Selesaikan Sengketa secara Damai".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jumat, 29 Mei 2015

PRAPERADILAN: Dikabulkan Bukan Berarti Tak Korupsi. (Khaerudin)

Tersangka korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi yang dikabulkan permohonan praperadilannya tidak berarti bahwa dia tidak melakukan korupsi sebagaimana disangkakan kepadanya. Praperadilan bukanlah sidang yang menguji pokok perkara dugaan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada seseorang.
Hakim tunggal dalam sidang praperadilan atas penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Haswandi, tengah mengambil sumpah saksi yang dihadirkan oleh KPK  dalam sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Jumat (22/5).
KOMPAS/WISNU WIDIANTOROHakim tunggal dalam sidang praperadilan atas penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Haswandi, tengah mengambil sumpah saksi yang dihadirkan oleh KPK dalam sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Jumat (22/5).

Sidang praperadilan bukanlah tempat untuk menguji alat bukti yang dimiliki KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka kasus korupsi. Pengujian alat bukti tersebut baru dilakukan dalam sidang pokok perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi setelah tersangka korupsi duduk di kursi terdakwa.

"Tidak ada logika dan landasan hukumnya untuk bisa menyimpulkan bahwa diterimanya permohonan praperadilan berarti yang bersangkutan bersih atau bebas dari korupsi. Seseorang dinyatakan tidak korupsi atau bebas semata harus berdasarkan putusan hakim dalam (sidang) perkara pokoknya," ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bondan, di Jakarta, Kamis (28/5).

Terbukti atau tidaknya seseorang melakukan korupsi baru bisa diuji di sidang pokok perkara dengan majelis hakim berisi lima orang, bukan di praperadilan yang disidangkan hakim tunggal. Artinya, tersangka korupsi yang dikabulkan permohonan praperadilannya tidak berarti dia tidak terbukti melakukan korupsi.

"Persepsi bahwa seorang tersangka yang dikabulkan permohonan praperadilannya tidak melakukan korupsi itu tidak benar. Praperadilan bukan untuk menguji alat bukti sangkaan tindak pidana korupsi ke yang bersangkutan. Persepsi ini yang harus diluruskan," ujar Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi SP.

Persepsi salah

Belakangan ini, persepsi salah bahwa seorang tersangka kasus korupsi yang permohonan praperadilannya dikabulkan hakim tunggal berarti tidak melakukan korupsi justru berkembang. KPK pun terkena imbas persepsi salah ini. Tiga kali kalah di praperadilan membuat KPK dipersepsikan sembarangan, tidak hati-hati, bahkan tak punya bukti menetapkan seseorang menjadi tersangka korupsi.

Padahal, jika melihat rekam jejak KPK mendakwa dan menuntut pelaku korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi, tidak ada satu alasan pun untuk meragukan bukti-bukti yang dimiliki KPK. Selama ini, KPK belum pernah kalah di Pengadilan Tipikor. Tersangka kasus korupsi yang diusut KPK selalu berhasil dibawa ke pengadilan tipikor dan dinyatakan bersalah oleh majelis hakim. KPK punya rekor keberhasilan 100 persen dalam membuktikan seorang terdakwa melakukan korupsi.

Semua keberhasilan itu terjadi dalam sidang pokok perkara di pengadilan tipikor. Alat bukti yang dimiliki KPK diuji dan terbukti bisa meyakinkan majelis hakim bahwa terdakwa memang melakukan korupsi.

Namun, rupanya rekor 100 persen berhasil membuktikan terdakwa korupsi di pengadilan tipikor ini membuat jeri para pelaku korupsi. Mereka kini mengubah medan pertempurannya dengan KPK. Para pelaku korupsi sekarang ini mati-matian berusaha agar dirinya tak sampai diadili di pengadilan tipikor. Kini, praperadilan pun dijadikan ajang pertempuran utama koruptor. Di sini, KPK ternyata dengan mudah bisa dikalahkan meski mereka menggunakan dalil-dalil hukum yang terasa aneh dan janggal.

Terakhir, putusan hakim Haswandi yang mengabulkan permohonan praperadilan mantan Direktur Jenderal Pajak dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Haswandi menyatakan, penyidikan terhadap Hadi tidak sah karena penyelidik dan penyidik KPK dalam kasus ini tidak sah secara hukum. Menurut Haswandi, penyelidik dan penyidik KPK dalam kasus Hadi bukan berasal dari kepolisian.

Hal ini tentu membingungkan karena Haswandi merupakan ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menyidangkan perkara korupsi Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng. Dalam sidang tersebut, Haswandi menyatakan keduanya terbukti bersalah melakukan korupsi dan tak sekali pun mempersoalkan penyelidik dan penyidik KPK.

Publik pun bertanya-tanya karena proses pengusutan kasus korupsi Anas dan Andi serupa dengan yang terjadi dalam kasus korupsi Hadi.

Pertempuran berbeda

Pertempuran KPK dengan pelaku korupsi hakim tunggal di praperadilan dan lima hakim dalam satu majelis di pengadilan tipikor jelas berbeda. Di praperadilan, hakim tunggal bisa menafsirkan sendiri pasal-pasal hukum untuk mengabulkan permohonan tersangka korupsi. Sementara di pengadilan tipikor, lima hakim tentu tak bisa begitu saja mengabaikan alat bukti materiil yang diajukan KPK, termasuk sejumlah kesaksian dari mereka yang melihat, mendengar, dan mengetahui praktik korupsi yang dilakukan terdakwa.

Apalagi jika alat bukti yang dimiliki KPK dalam sidang di pengadilan tipikor cukup menohok terdakwa, misalnya pemutaran hasil penyadapan telepon atau rekaman video saat pelaku melakukan korupsi. Tentu saja majelis hakim pengadilan tipikor wajib mempertimbangkan alat-alat bukti tersebut dalam proses persidangan.

Dengan demikian, meski kalah di praperadilan, tak ada alasan bagi KPK untuk tidak melanjutkan pengusutan kasus korupsinya. Harus dipahami, kerja KPK sangat penuh kehati-hatian. Bahkan, sejak tingkat penyelidikan karena undang-undang melarang KPK menghentikan penyidikan di tengah jalan. Karena itulah, saat masih dalam tahap penyelidikan, KPK sudah menemukan minimal dua alat bukti seseorang melakukan korupsi.

Jika sudah sampai ke tahap penyidikan, KPK berarti sudah punya lebih dari dua alat bukti yang cukup yang bisa menyimpulkan seseorang menjadi tersangka. Filosofi kerja para penyelidik dan penyidik KPK yang sangat hati-hati ini dibuktikan dengan keberhasilan mereka di pengadilan tipikor. KPK tak pernah kalah. Mereka yang didudukkan KPK sebagai terdakwa di pengadilan tipikor selalu dinyatakan terbukti bersalah oleh majelis hakim.

Jadi, seperti yang disebutkan di awal tulisan, tersangka korupsi yang menang di praperadilan bukan berarti mereka tidak korupsi. Apakah benar korupsi atau tidak, akan diuji dalam persidangan di pengadilan tipikor. Yang jelas, KPK belum pernah kalah di pengadilan tipikor. (KHAERUDIN)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Mei 2015, di halaman 5 dengan judul "Dikabulkan Bukan Berarti Tak Korupsi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger