Sidang praperadilan bukanlah tempat untuk menguji alat bukti yang dimiliki KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka kasus korupsi. Pengujian alat bukti tersebut baru dilakukan dalam sidang pokok perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi setelah tersangka korupsi duduk di kursi terdakwa.
"Tidak ada logika dan landasan hukumnya untuk bisa menyimpulkan bahwa diterimanya permohonan praperadilan berarti yang bersangkutan bersih atau bebas dari korupsi. Seseorang dinyatakan tidak korupsi atau bebas semata harus berdasarkan putusan hakim dalam (sidang) perkara pokoknya," ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bondan, di Jakarta, Kamis (28/5).
Terbukti atau tidaknya seseorang melakukan korupsi baru bisa diuji di sidang pokok perkara dengan majelis hakim berisi lima orang, bukan di praperadilan yang disidangkan hakim tunggal. Artinya, tersangka korupsi yang dikabulkan permohonan praperadilannya tidak berarti dia tidak terbukti melakukan korupsi.
"Persepsi bahwa seorang tersangka yang dikabulkan permohonan praperadilannya tidak melakukan korupsi itu tidak benar. Praperadilan bukan untuk menguji alat bukti sangkaan tindak pidana korupsi ke yang bersangkutan. Persepsi ini yang harus diluruskan," ujar Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi SP.
Persepsi salah
Belakangan ini, persepsi salah bahwa seorang tersangka kasus korupsi yang permohonan praperadilannya dikabulkan hakim tunggal berarti tidak melakukan korupsi justru berkembang. KPK pun terkena imbas persepsi salah ini. Tiga kali kalah di praperadilan membuat KPK dipersepsikan sembarangan, tidak hati-hati, bahkan tak punya bukti menetapkan seseorang menjadi tersangka korupsi.
Padahal, jika melihat rekam jejak KPK mendakwa dan menuntut pelaku korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi, tidak ada satu alasan pun untuk meragukan bukti-bukti yang dimiliki KPK. Selama ini, KPK belum pernah kalah di Pengadilan Tipikor. Tersangka kasus korupsi yang diusut KPK selalu berhasil dibawa ke pengadilan tipikor dan dinyatakan bersalah oleh majelis hakim. KPK punya rekor keberhasilan 100 persen dalam membuktikan seorang terdakwa melakukan korupsi.
Semua keberhasilan itu terjadi dalam sidang pokok perkara di pengadilan tipikor. Alat bukti yang dimiliki KPK diuji dan terbukti bisa meyakinkan majelis hakim bahwa terdakwa memang melakukan korupsi.
Namun, rupanya rekor 100 persen berhasil membuktikan terdakwa korupsi di pengadilan tipikor ini membuat jeri para pelaku korupsi. Mereka kini mengubah medan pertempurannya dengan KPK. Para pelaku korupsi sekarang ini mati-matian berusaha agar dirinya tak sampai diadili di pengadilan tipikor. Kini, praperadilan pun dijadikan ajang pertempuran utama koruptor. Di sini, KPK ternyata dengan mudah bisa dikalahkan meski mereka menggunakan dalil-dalil hukum yang terasa aneh dan janggal.
Terakhir, putusan hakim Haswandi yang mengabulkan permohonan praperadilan mantan Direktur Jenderal Pajak dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Haswandi menyatakan, penyidikan terhadap Hadi tidak sah karena penyelidik dan penyidik KPK dalam kasus ini tidak sah secara hukum. Menurut Haswandi, penyelidik dan penyidik KPK dalam kasus Hadi bukan berasal dari kepolisian.
Hal ini tentu membingungkan karena Haswandi merupakan ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menyidangkan perkara korupsi Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng. Dalam sidang tersebut, Haswandi menyatakan keduanya terbukti bersalah melakukan korupsi dan tak sekali pun mempersoalkan penyelidik dan penyidik KPK.
Publik pun bertanya-tanya karena proses pengusutan kasus korupsi Anas dan Andi serupa dengan yang terjadi dalam kasus korupsi Hadi.
Pertempuran berbeda
Pertempuran KPK dengan pelaku korupsi hakim tunggal di praperadilan dan lima hakim dalam satu majelis di pengadilan tipikor jelas berbeda. Di praperadilan, hakim tunggal bisa menafsirkan sendiri pasal-pasal hukum untuk mengabulkan permohonan tersangka korupsi. Sementara di pengadilan tipikor, lima hakim tentu tak bisa begitu saja mengabaikan alat bukti materiil yang diajukan KPK, termasuk sejumlah kesaksian dari mereka yang melihat, mendengar, dan mengetahui praktik korupsi yang dilakukan terdakwa.
Apalagi jika alat bukti yang dimiliki KPK dalam sidang di pengadilan tipikor cukup menohok terdakwa, misalnya pemutaran hasil penyadapan telepon atau rekaman video saat pelaku melakukan korupsi. Tentu saja majelis hakim pengadilan tipikor wajib mempertimbangkan alat-alat bukti tersebut dalam proses persidangan.
Dengan demikian, meski kalah di praperadilan, tak ada alasan bagi KPK untuk tidak melanjutkan pengusutan kasus korupsinya. Harus dipahami, kerja KPK sangat penuh kehati-hatian. Bahkan, sejak tingkat penyelidikan karena undang-undang melarang KPK menghentikan penyidikan di tengah jalan. Karena itulah, saat masih dalam tahap penyelidikan, KPK sudah menemukan minimal dua alat bukti seseorang melakukan korupsi.
Jika sudah sampai ke tahap penyidikan, KPK berarti sudah punya lebih dari dua alat bukti yang cukup yang bisa menyimpulkan seseorang menjadi tersangka. Filosofi kerja para penyelidik dan penyidik KPK yang sangat hati-hati ini dibuktikan dengan keberhasilan mereka di pengadilan tipikor. KPK tak pernah kalah. Mereka yang didudukkan KPK sebagai terdakwa di pengadilan tipikor selalu dinyatakan terbukti bersalah oleh majelis hakim.
Jadi, seperti yang disebutkan di awal tulisan, tersangka korupsi yang menang di praperadilan bukan berarti mereka tidak korupsi. Apakah benar korupsi atau tidak, akan diuji dalam persidangan di pengadilan tipikor. Yang jelas, KPK belum pernah kalah di pengadilan tipikor. (KHAERUDIN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Mei 2015, di halaman 5 dengan judul "Dikabulkan Bukan Berarti Tak Korupsi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar