Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 31 Mei 2016

TAJUK RENCANA: Memutakhirkan Industri Pertahanan (Kompas)

Pertahanan negara berkaitan dengan perkembangan industri pertahanan karena punya peran penting menjaga stabilitas nasional dan internasional.

Kita masih membutuhkan uraian lebih gamblang dari pernyataan itu. Namun, itulah yang diucapkan penerbang senior Marsdya (Purn) Eris Herryanto pada diskusi bertema "Redefinisi Peran Indonesia di Asia-Pasifik Abad Ke-21 dari Aspek Pertahanan" di Jakarta, Sabtu (28/5).

Memberi ilustrasi, Eris menyebutkan, mulai tahun 2010 hingga 2029 Indonesia sedang membangun industri pertahanan. Tujuh program yang disebut Eris adalah pembuatan propelan, rudal, tank medium, kapal selam, dan pesawat tempur, serta roket dan radar.

Sejatinya program industri pertahanan seperti produksi kendaraan taktis dan persenjataan sudah ada setidaknya sejak 1923, yang kemudian menjadi PT Pindad di Bandung. Apa yang kita kenal sebagai IPTN kemudian PT DI, yang dimodernisasi Prof BJ Habibie dimulai tahun 1976, meski sebagai Lembaga Persiapan Industri Penerbangan Nurtanio sudah dibuka tahun 1966. Mantan Menhan Juwono Sudarsono mengatakan, kalau soal teknologi, bangsa Indonesia tidak perlu diragukan. Yang harus banyak dipelajari adalah kemampuan pemasaran/manajemen.

Memang itu bukan perkara mudah, apalagi jika orientasi pengambil keputusan masih pada pembelian produk peralatan militer impor. Untunglah dengan terbitnya UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan, hasrat mengimpor bisa dibendung. Impor hanya bisa untuk peralatan militer yang belum bisa diproduksi sendiri.

Yang ingin kita wacanakan, seberapa relevan industri pertahanan bagi pembangunan sistem pertahanan nasional, khususnya menghadapi perubahan ancaman pada dekade kedua abad ke-21 dan dekade selanjutnya. Jika melihat perkembangan terakhir di Laut Tiongkok Selatan, adu otot masih diperlihatkan oleh kuasa-kuasa besar. AS dan Tiongkok semakin sering mengerahkan kapal perang, bahkan AS sempat menerbangkan pengebomnya sebagai unjuk kekuatan.

Kita tetap membutuhkan penguasaan atas produksi peralatan militer, tetapi di sisi lain kita menyadari adanya kemungkinan perang informasi. Ketika perang dengan peralatan militer dipandang terlalu brutal dan butuh biaya besar, perang informasi yang diwujudkan dengan perang robotik bisa dilakukan dengan biaya lebih sedikit.

Yang tak boleh dilupakan, bergesernya jenis perang yang mengarah pada perang generasi keempat, atau yang juga sering dikaitkan dengan perang asimetrik, di mana si kecil David berpotensi mengalahkan si besar Goliath.

Wacana di atas kita angkat kembali agar kita tidak keliru memberi prioritas. Jangan sampai kita terpesona pada produksi kapal atau pesawat, padahal kita dihadapkan pada ancaman perang siber.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Memutakhirkan Industri Pertahanan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Membuat NIIS Terjepit (Kompas)

Pasukan koalisi dibantu pasukan Pemerintah Irak dan Suriah menggempur Fallujah dan Raqqa, dua kota utama Negara Islam di Irak dan Suriah.

Bahkan, pasukan koalisi dikabarkan sudah menguasai 80 persen kota Fallujah. Namun, Pemerintah Irak harus menyelamatkan ribuan warga yang terjepit di tengah pertempuran. Fallujah adalah kota di sebelah barat Baghdad yang menjadi salah satu basis utama Negara Islam di Irak dan Suriah.

Pekan lalu, Raqqa, sebuah kota di Suriah yang selama ini dianggap sebagai ibu kota Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), juga terus digempur pasukan koalisi dibantu pasukan setempat. Penyerbuan ke Raqqa hanyalah pintu masuk bagi pasukan koalisi untuk dapat menguasai Tabqa, kota yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Raqqa. Di Tabqa inilah dikabarkan NIIS menyimpan banyak persenjataan perangnya.

Dipimpin pasukan elite, pasukan Pemerintah Irak terus bergerak maju ke dalam kota Fallujah sejak pukul 04.00, Senin (30/5). Namun, mereka mendapat perlawanan dari anggota NIIS dengan cara melakukan bom bunuh diri di pinggiran Fallujah. Bom bunuh diri ini telah menewaskan sejumlah anggota pasukan Irak.

Fallujah adalah benteng pertahanan kedua di Irak setelah Mosul, dan kota pertama yang jatuh ke tangan NIIS sejak tahun 2014. Fallujah merupakan kota yang pernah menjadi ajang pertempuan terberat antara pasukan koalisi AS dan pengikut setia Presiden Saddam Hussein.

PM Irak Haider al-Abadi memperkirakan terdapat sekitar 50.000 warga sipil yang terjebak di Fallujah dan harus diungsikan. Anggota militan NIIS biasa menggunakan penduduk sipil sebagai tempat berlindung.

Juru bicara pasukan koalisi Steve Warren mengatakan, lebih dari 70 anggota NIIS, termasuk Maher al-Bilawi, salah satu komandan tempur NIIS, tewas dalam operasi pembebasan ini. Puluhan ribu anggota pasukan ikut ambil bagian dalam operasi ini.

Gempuran terhadap dua kota ini diyakini akan makin mempersempit ruang gerak militan NIIS. Namun, apakah gerakan para militan ini akan berhenti seiring dengan penguasaan dua kota utama tersebut, banyak orang yang masih meragukan.

Kelompok militan NIIS berupaya membangun basis baru di Afrika utara dan beberapa negara di Timur Tengah. Di negara masing-masing, seperti kelompok Boko Haram di Nigeria, mereka melakukan aksi kekerasan yang meniru cara-cara NIIS.

Semua negara sepakat untuk membebaskan kota-kota yang selama ini di bawah cengkeraman NIIS. Namun, perlu dicari cara yang efektif untuk mencegah menyebarnya paham kekerasan mengatasnamakan agama, daripada yang kita lihat sekarang.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Membuat NIIS Terjepit".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 Juni dan 1 Oktober untuk Pancasila (ASHADI SIREGAR)

Dua tanggal almanak biasa dikaitkan dengan Pancasila, 1 Juni sebagai hari lahirnya dan 1 Oktober penanda kesaktiannya. Hari lahir itu selama Orde Baru secara sistematis dicoba-hilangkan dari memori bangsa. Dan sepanjang era itu, setiap 1 Oktober dipasang bendera setengah tiang. Rezim Orde Baru menyebut sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Mungkin tidak ada yang mempersoalkan bagaimana kaitan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di satu pihak dan kesaktian Pancasila di pihak lain. Menjadikan 1 Oktober sebagai hari perkabungan nasional akibat terbunuhnya sejumlah perwira TNI tentunya didukung alasan yang kuat. Setiap bangsa perlu memiliki momen-momen yang dapat dimaknai untuk menumbuhkan kesadaran atas identitas dan solidaritas bangsa.

Namun, menjadikannya sebagai momen guna mengagungkan Pancasila atas dasar kesaktiannya merupakan pembodohan rakyat. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ditandai dengan menumbuhkan kesadaran rasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bung Karno sebagai pemikir dan pencetus dasar negara ini mendekati Pancasila secara rasional. Pidato 1 Juni 1945 berisi rasionalisasi yang dilengkapi referensi konseptual atas Pancasila sebagai dasar negara. Sementara Jenderal Soeharto mengajak rakyat mendekati Pancasila secara mistis. Terminologi kesaktian hanya dapat dihayati dengan kesadaran mistis, tidak atas dasar rasionalisme.

Pendekatan konseptual Bung Karno tecermin dalam tulisan- tulisan otentik pribadi dan pidato tertulis dan lisannya sebelum dan sewaktu menjadi presiden. Sementara kecenderungan pemikiran Jenderal Soeharto tidak dapat diketahui dari masa sebelum menjabat presiden.

Pendekatan konseptual terkandung dalam pidato tertulis (yang disiapkan Sekretariat Negara) dan dibacakan Jenderal Soeharto dengan cara datar dan dingin. Sedangkan kecenderungan otentik personal tecermin saat pidato lisan maupun penampilan dalam temu wicara dengan kelompok-kelompok masyarakat yang disiapkan aparat birokrasi negara.

Dalam setiap kesempatan itu ujaran-ujaran lisan pendekatan mistis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara disosialisasikan kepada rakyat.

Mistifikasi kehidupan bernegara

Pancasila sebagai dasar negara perlu didekati dengan kesadaran rasional, dengan kembali kepada gagasan dasar yang dikembangkan Bung Karno. Perlu dibongkar ulang rekayasa intelektual dijalankan oleh Angkatan Darat yang dimotori almarhum Jenderal Nugroho Notosusanto untuk meniadakan faktor Soekarno melalui penataran Pancasila.

Terdapat dua arus besar sosialisasi Pancasila selama Orde Baru. Pertama, secara struktural diwujudkan dengan gaya doktriner melalui perumusan butir-butir yang jumlahnya disesuaikan dengan level target dari indoktrinasi. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diselenggarakan secara luas pada berbagai lapis masyarakat bersifat doktriner, jauh dari nilai dasar berbangsa dan bernegara sebagaimana diharapkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945.

Kedua, secara simbolik, melalui berbagai wacana yang bersifat mistifikasi Pancasila. Di antaranya dengan hari berkabung atas terbunuhnya perwira TNI, dengan ritual untuk menghayati kesaktian Pancasila. Kehikmatan beraroma mistis di monumen Lubang Buaya ini dalam konteks kenegaraan menjauhkan masyarakat dari penghayatan rasional kehidupan bernegara. Upaya peyakinan terus-menerus sepanjang Orde Baru tentang hancurnya kekuatan anti Pancasila berkat kesaktian Pancasila.

Kehidupan bernegara dengan basis keyakinan mistis merupakan bencana bagi suatu bangsa negara modern. Jika aparat birokrasi negara, militer, polisi, bahkan elite masyarakat juga menghayati keyakinan mistis semacam ini, kiranya hanya dapat dibayangkan untuk kehidupan bernegara abad ke-16. Sulit membayangkan masa depan negarapada abad ke-21 dengan basis budaya negara yang dibangun selama 30 tahun oleh Orde Baru.

Karena itu, langkah mendesak adalah demistifikasi atas Pancasila. Termasuk juga meniadakan konteks mistis dalam kehidupan kenegaraan. Ritual "ruwatan", misalnya, memiliki signifikansi bagi kehidupan keluarga, tetapi sama sekali tidak punya makna bagi negara.

Presiden RI bukan kepala keluarga, melainkan kepala negara. Negara merupakan sistem yang terdiri dari komponen-komponen politis, sosiologis, dan ekonomis yang integrasinya atas dasar kepentingan rasional yang bertolak dari acuan nilai bersama (shared value). Karena kepercayaan bahwa kehidupan bernegara dapat ditata atas dasar mistis, hanya akan menjerumuskan kita ke dalam Orde Baru Kedua.

Makna perkabungan nasional

Ditumpasnya kekuatan anti Pancasila, atau berbagai pemberontakan, perlu disikapi dengan pemahaman kesejarahan yang bersifat rasional, bukan dengan irasionalitas keyakinan saktinya Pancasila. Setiap keberhasilan dan kegagalan pada hakikatnya berasal dari strategi dan operasi yang dijalankan secara rasional. Dengan rasionalitas ini pula 1 Oktober dapat disikapi sebagai hari perkabungan nasional, bukan untuk ritual kesaktian Pancasila.

Meninggalnya sejumlah perwira TNI pada 1 Oktober 1965 merupakan tragedi yang patut dikenang. Film Gerakan 30 September karya almarhum Arifin C Noer yang diputar berulang selama Orde Baru menggambarkan adegan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan segerombolan militer yang disebut sebagai pasukan Cakrabirawa. Begitu juga adegan rapat-rapat yang berlangsung dihadiri oleh orang sipil yang digambarkan sebagai PKI di satu pihak dan militer di pihak lainnya.

Menelusuri tragedi 1 Oktober tidak mengurangi makna perkabungan bagi para perwira TNI. Ini merupakan tugas sejarawan, termasuk TNI sendiri, untuk mengungkap seluruh tabir yang menyelimuti penculikan dan pembunuhan itu, agar tragedi dan perkabungan dapat dihayati secara rasional.

Sejumlah pertanyaan kunci perlu dijawab, sebab yang melakukan penculikan dan pembunuhan, baik dalam buku sejarah ala Nugroho Notosusanto maupun film semidokumenter Arifin C Noer, adalah bagian dari pasukan Cakrabirawa, pengawal kepresidenan.

Soalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Cakrabirawa dibentuk atas unsur-unsur angkatan. Personel Cakrabirawa yang terlibat adalah Letkol Untung dan awak pasukannya yang berasal dari Angkatan Darat. Tidak pernah dibukakan bagaimana rekrutmen pasukan Cakrabirawa ini, khususnya yang berasal dari Angkatan Darat.

Apakah bergabungnya Letkol Untung dan awak pasukannya ke dalam Cakrabirawa, atas permintaan Presiden Soekarno dan Komandan Cakrabirawa, ataukah atas penugasan Komandan Kostrad sebagai induk pasukannya?

Begitu pula dalam sejarah resmi digambarkan adanya perwira- perwira Angkatan Darat yang berhasil dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sipil dari PKI. Untuk itu perlu ditelusuri tipologi "kedunguan" dari perwira Angkatan Darat yang begitu mudah dipengaruhi dan digerakkan oleh orang sipil.

Garis komando yang sering dipujikan dalam lingkungan militer dapat diambil alih oleh orang sipil, yang notabene dalam buku sejarah dan film Arifin C Noer orang ini tidak jelas posisinya dalam kepengurusan PKI.

Satu Oktober 1965 dapat dijadikan titik tolak dalam penelusuran sejarah bangsa. Siapa tahu kita akan sampai pada kesimpulan bahwa dengan terbunuhnya para pahlawan revolusi, yang kemudian disusul pembunuhan massal (belasan, puluhan, ratusan ribu korban rakyat Indonesia, yang mana pun bilangannya, perlu verifikasi) akibat eksploitasi konflik horizontal yang bersifat laten dalam masyarakat, maka kita memang sangat layak punya Hari Perkabungan Nasional.

Perkabungan untuk suatu bangsa yang sanggup membunuhi sesama manusia tanpa rasa bersalah.

ASHADI SIREGAR, PENELITI MEDIA DAN PENGAJAR JURNALISME, BERMUKIM DI YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "1 Juni dan 1 Oktober untuk Pancasila".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Hukuman yang Merendahkan (M ALI ZAIDAN)

Ditandatanganinya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 sebagai revisi atas UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak dapat disambut suka cita. Pasalnya, perppu tersebut merupakan respons pemerintah terhadap merebaknya kekerasan terhadap anak yang terjadi secara sistematis dan meluas.

Untuk menjadi UU, perppu tersebut masih harus menempuh jalan panjang dan berliku. Hal ini mengingat proses politik di DPR yang diwarnai berbagai kepentingan, di samping masih adanya pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Masyarakat di satu pihak menyambut kehadiran perppu ini dengan antusias dan adanya harapan dapat ditanggulanginya kejahatan seksual, terutama terhadap anak-anak. Namun, pada sisi lain, beberapa kalangan—terutama dokter—belum ada kesepakatan apakah tindakan kastrasi tidak bertentangan dengan etika kedokteran yang sejatinya untuk mempertahankan hak hidup seorang pasien atau setidak-tidaknya menolong pasien dalam batas-batas yang manusiawi.

Hukuman dalam bentuk pengebirian dalam Perppu No 1/2016 dapat dinilai telah mengembalikan semangat untuk membalas dendam terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini disebabkan karena, di negara-negara modern, sistem hukuman tidak lagi memperkenankan dijatuhkannya hukuman fisik.

Dikecualikan dari konsep ini, yakni ketentuan yang terdapat dalam qanun yang berlaku di Aceh karena acuannya adalah hukum Islam. Meski demikian, dalam perkara perzinaan (overspel) hukuman rajam tidak diikuti dengan konsisten. Satu dan dua hal disebabkan jenis hukuman itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang melarang dijatuhkan hukuman yang bersifat corporal punishment, hukuman badani (fisik).

Pada era sekarang, hukum dapat dipandang sebagai refleksi keberadaban suatu bangsa. Begitu juga jenis-jenis hukuman yang diancamkan akan mencerminkan tingkat kebudayaan yang telah dicapai oleh suatu masyarakat bangsa bersangkutan.

Sifat membalas

Perjalanan sejarah sering kali tidak linear, tetapi bersifat sirkuler. Artinya, hukuman dengan tujuan untuk membalas yang sejak lama telah ditinggalkan, sekarang malah muncul kembali sebagai respons maraknya kejahatan, dan kegagalan sistem peradilan pidana memberikan hukuman yang efektif terhadap kejahatan maupun penjahat. Teori retributif yang pernah dikembangkan sejak zaman Immanuel Kant telah bergeser ke arah teori resosialisasi dan bahkan rehabilitasi dengan dikedepankannya konsep keadilan restoratif.

Hukum maupun hukuman bukan semata-mata untuk pembalasan, atau perbaikan (resosialisasi). Hukum maupun hukuman juga dimaksudkan agar memulihkan keseimbangan yang terganggu akibat tindak pidana dengan mewajibkan kepada si pelanggar untuk mengganti kerugian terhadap korban dalam hal tindak pidana itu menimbulkan kerugian materiil.

Akan halnya terhadap tindak pidana yang tergolong luar biasa, di samping dijatuhkannya hukuman badan (penjara) dan denda, juga pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi merupakan konsekuensi dianutnya idedouble track system yang menggabungkan jenis hukuman (punishment) dan tindakan (treatment).

Dalam konteks perppu di atas, sepanjang berkaitan dengan hukuman kastrasi telah menghidupkan kembali teori pidana klasik di mana hukuman dimaksudkan sebagai sarana pembalasan, yakni kejahatan dibalas dengan kejahatan pula. Implisit di dalam konsep itu mengandung nuansa apa yang disebut oleh Hobbes dengan homo homini lupus, yang konsekuensinya: manusia yang satu merupakan ancaman bagi manusia yang lain. Untuk menghilangkan ancaman itu, si pengancam harus dibinasakan.

Di sini fungsi negara dipertaruhkan. Dalam tingkatan tertinggi negara bertanggung jawab atas ide dihidupkannya kembali konsep klasik yang semata-mata ditujukan untuk membuat jera pelaku. Padahal, seperti kata Cesare Beccaria, sesungguhnya penjeraan itu tidak pernah muncul dari hukuman yang berat, tetapi ditimbulkan dari pidana yang patut.

Hukuman manusiawi

Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 1984 mengesahkan konvensi yang menentang penyiksaan, tindakan lain yang kejam, tidak manusiawi atau tindakan/hukuman yang merendahkan (Convetion Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).

Indonesia telah meratifikasinya dengan UU No 5/1998. Konsekuensinya, cara-cara yang tidak manusiawi dalam penegakan hukum, baik yang menyangkut proses penyidikan sampai peradilan, harus dihindarkan. Begitu juga ketentuan legislasi maupun hukuman yang dijatuhkan harus menghindarkan bentuk- bentuk hukuman yang merendahkan manusia, yang bersifat kejam, dan tidak manusiawi.

Meskipun hukuman kastrasi dipandang sebagai upaya terakhir di mana penerapannya harus seselektif mungkin, disebabkan karena pengulangan atau menimbulkan korban yang meluas, jenis hukuman itu tetaplah akan menimbulkan akibat yang tidak humanis. Pemberatan ancaman pidana yang secara alternatif diancamkan, seperti pidana mati, seumur hidup, atau 20 tahun jauh lebih manusiawi daripada hukuman badan yang pelaksanaanya masih diperdebatkan.

Hukuman kebiri dalam perppu hanya dijatuhkan terhadap pelaku yang telah dewasa. Akan tetapi, dengan diperberatnya hukuman, landasan filosofis maupun sosiologis hukuman kastrasi telah kehilangan relevansinya.

Konvensi di atas merupakan salah satu ketentuan universal yang dijiwai semangat self determination dan tetap mengindahkan prinsip the rule of lawyang telah disetujui Indonesia.

Konsekuensinya, kita pun harus menyesuaikan peraturan perundang-undangan maupun sistem penitensieragar Indonesia tidak dipandang sebagai negara yang melanggar hak asasi manusia.

M ALI ZAIDAN, DOSEN ILMU HUKUM UPN "VETERAN" JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Hukuman yang Merendahkan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Presiden Ramah Anak (SUSANTO)

Kejahatan seksual terhadap anak merupakan kasus serius. Kasusnya terus meningkat, baik kuantitatif maupun kualitatif.

Modusnya pun kian tak berperikemanusiaan: mulai dari bujuk rayu, paksaan, hingga perkosaan, disertai pembunuhan bahkan mutilasi. Opsi pidana mati bagi pelaku dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disambut gembira sebagian masyarakat.

Anak merupakan kelompok rentan. Sekitar 75 persen korban kekerasan seksual adalah usia anak. Komitmen Presiden Joko Widodo yang memasukkan kejahatan seksual sebagai kejahatan luar biasa layak diapresiasi. Selama ini, tak sedikit kasus kejahatan seksual hanya dipandang sebagai pelanggaran kesusilaan, bukan kejahatan kemanusiaan.

Merebaknya kejahatan seksual terhadap anak bukan semata dipengaruhi minimnya pidana terhadap kejahatan seksual. Ada faktor lain, seperti rentannya ketahanan keluarga yang berujung pada kerentanan anak menjadi korban dan pelaku, mudahnya akses terhadap materi pornografi yang menginspirasi seseorang melakukan kejahatan seksual. Kecenderungan korban kejahatan seksual yang tak tertangani dan mendapat rehabilitasi dengan baik juga menyebabkan ia rentan melakukan kejahatan yang sama.

Dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang". Penetapan perppu oleh Presiden juga tertulis dalam Pasal 1 (4) UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: "Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa."

Subyektivitas Presiden dalam menafsirkan "hal ihwal kegentingan yang memaksa" yang menjadi dasar diterbitkannya perppu, akan dinilai DPR. Persetujuan DPR ini dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak).

Komitmen Presiden

Penyelenggaraan perlindungan anak yang efektif memang memerlukan paket reformasi sistem yang terpadu. Konsekuensianya, perlu sejumlah komponen: pendekatan norma dan kebijakan, pendekatan kelembagaan dan layanan, pendekatan pendidikan keluarga, pendekatan perubahan perilaku berbasis masyarakat.

Penerbitan perppu merupakan subsistem reformasi perlindungan anak yang fundamental. Norma dan kebijakan bukan jurus tunggal menyelesaikan masalah kejahatan seksual pada anak yang ruwet dan kompleks. Namun, hadirnya kebijakan yang berpihak kepentingan terbaik anak, pilar penting yang memengaruhi perubahan perilaku publik.

Terbitnya Perppu No 1/2016 secara inheren telah menandai terjadinya perubahan paradigma besar dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Pertama, perlindungan anak menjadi prioritas isu yang mendesak ditangani, kompleksitas masalah yang ada dapat dikategorikan masuk stadium "genting" sehingga perlu diambil langkah segera. Kedua, norma hukum yang ada belum memberikan efek jera. Untuk menekan tingginya kasus kejahatan seksual anak perlu pemberatan hukuman bagi pelaku.

Ketiga, ketertarikan kepada lawan jenis melakukan hal natural, karena setiap manusia memiliki "insting seksual" sebagaimana insting mencari makan dan juga rasa lapar. Insting ini dalam dunia sains disebut "libido". Namun, hasrat seksual yang liar dan tak terkendali dan dilampiaskan kepada anak merupakan bentuk kejahatan dan tak bisa dibiarkan.

Liarnya perilaku seksual yang menjadikan anak sebagai obyek, merupakan masalah serius karena membahayakan hak hidup dan tumbuh kembang anak, sehingga perlu perlakuan khusus sebagai bentuk perlindungan hak asasi anak. Memang, tak semua yang memiliki nafsu liar dan perilaku seksual menyimpang, karena dorongan biologis. Sebagian efek domino dari pikiran dan mental yang sakit. Sehingga, treatment terhadap pelaku kejahatan seksual berulang tak hanya hukuman tambahan. Jika teridentifikasi masalah kejiwaan, perlu rehabilitasi psikis secara tuntas.

Spirit hukuman tambahan (salah satunya) dalam bentuk kebiri, sejatinya bukan semata-mata berperspektif hukuman, tetapi inheren sebagai rehabilitasi.

Keempat, hasrat seksual tak boleh dihilangkan, karena bersifat given dan bagian dari HAM. Penyiksaaan terhadap pelaku juga tak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan komitmen konstitusional. Namun, perilaku seksual yang liar dan membahayakan anak perlu ada intervensi agar ada perubahan perilaku, pulih, normal, dan terkendali sebagaimana manusia umumnya.

Pekerjaan rumah

Sikap sebagian eksponen pegiat HAM yang kurang sependapat dengan perppu perlu dihormati, tetapi semangat Presiden juga perlu diapresiasi. Apalagi mazhab HAM Indonesia merupakan mazhab HAM konstitusional. UUD 1945 mengenal "HAM pembatasan". Pasal 28J menyebutkan: "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain..."

Sementara, Pasal 73 UU No 39/1999 tentang HAM menyebutkan: "Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang- undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa".

Berkaca pada konstitusi dan regulasi tersebut, tafsir HAM harus berimbang. Korban kejahatan seksual umumnya mengalami efek negatif jangka panjang dalam sejarah kehidupannya. Masa depannya porak poranda, sebagian cacat seumur hidup bahkan meninggal dunia. Kondisi ini tentu perlu keberpihakan dalam menafsirkaan HAM dan bukan condong sebelah ke HAM pelaku.

Pekerjaan rumah terbesar adalah menyegerakan penerbitan PP sebagai tindak lanjut perppu, agar tak menimbulkan kegamangan, kebingungan, dan kesalahpahaman masyarakat, terutama terkait hal teknis eksekusi hukuman tambahan.

Prinsipnya, perppu merupakan bentuk perlindungan terhadap HAM anak yang rentan jadi korban dan anak sebagai korban. Bagi pelaku yang bukan vonis mati dan seumur hidup, intervensinya tak semata-mata pendekatan pemidanaan. Perlu pendekatan rehabilitasi, agar kelak seusai menjalani masa pidana, tak rentan melakukan kejahatan seksual berulang.

SUSANTO, WAKIL KETUA KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Presiden Ramah Anak".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pajak Progresif Jabodetabek//Konversi Sapi ke Daging (Surat Pembaca Kompas)

Pajak Progresif Jabodetabek

Konon di Tokyo dan Osaka, Jepang, mau memiliki satu mobil saja dipersulit. Pajak tinggi, beragam iuran, dan denda. Mau parkir pun sulit dan tarifnya selangit.

Belum lagi dengan sopan santun berkendara. Di jalan arteri atau jalan tol harus ikut irama. Jika kecepatan rata-rata 80 km/jam, jangan berkendara dengan kecepatan di bawah atau di atasnya, karena akan berurusan dengan polisi lalu lintas.

Mobil rusak 30 persen atau lebih, jangan bawa ke bengkel, ongkos derek dan perbaikan bisa lebih mahal daripada beli mobil baru. Lebih baik lapor ke kotapraja, penderek akan membawa mobil Anda ke tempat daur ulang.

Jakarta kebalikan Tokyo dan Osaka. Warga leluasa beli mobil karena pajak ringan. Tarif parkir murah. Boleh seenaknya di jalan, mau berleha-leha dengan kecepatan rendah atau sekalian ngebut. Mogok di jalan tol ada mobil derek gratis ke bengkel terdekat. Rabu (4/5) pukul 15.00 saya pulang dari Plaza Semanggi dan tiba di Bekasi Barat pukul 19.30. Hari itu semua jalan arteri dan tol dipadati mobil warga Jabodetabek yang mau ke luar kota mengisi libur panjang.

Sabtu (7/5) pukul 12.00 saya dengar info di Radio 104,6 FM seantero Jakarta macet. Bisa jadi karena sebagian besar orang Jabodetabek punya mobil, banyak yang dua atau lebih.

Sudah saatnya Pemprov DKI dan Pemda Bodetabek duduk bersama merancang peraturan daerah tentang pajak kendaraan bermotor (PKB) progresif ekstrem. Usulan besar PKB bisa disesuaikan. Tahap awal untuk mobil ke-1 PKB tetap 100 persen, 200 persen untuk mobil ke-2, 300 persen mobil ke-3, 400 persen mobil ke-4.

Kombinasi cc dan volume dihitung ketat sehingga mobil besar ber-cc kecil dikenai PKB kriteria di atas ditambah volume. PKB progresif ekstrem membuat pemasukan PKB secara umum naik pesat karena pemilik yang menjual mobilnya pasti menuntut pembeli agar seketika memproses balik nama dengan melunasi Pajak Penjualan (PPn) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).

Rencana Pemprov DKI menerapkan pelat nomor ganjil-genap dijamin kandas, warga sudah memiliki banyak mobil dengan variasi pelat nomor. Electronic road pricing (ERP) dipastikan mandul. Beli banyak mobil sanggup, apalagi sekadar bayar belasan ribu rupiah untuk melewati area ERP.

ZULKIFLY, PONDOK PEKAYON INDAH, BEKASI, JAWA BARAT

Konversi Sapi ke Daging

Mencermati tulisan Ibu Enny Sri Hartati, Direktur Indef, di harian Kompas, Senin (23/5), "Fenomena Kenaikan Harga Daging Sapi" bersama ini disampaikan, bahwa angka konversi penulis yang menyebutkan bahwa daging 654.000 ton setara 5,45 juta ekor sapi atau 120 kilogram daging per ekor adalah tidak masuk akal.

Apabila setiap tahun dibutuhkan pemotongan sebanyak 5,45 juta ekor sapi, dalam waktu tiga tahun ke depan populasi sapi Indonesia yang berjumlah 15 juta ekor sudah akan habis.

Hasil survei Institut Pertanian Bogor tahun 2012 dan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin) Kementerian Pertanian tahun 2015, rata-rata produksi daging per ekor sapi adalah 175,93 kilogram (untuk sapi lokal dan peranakan), dan 250,88 kilogram per ekor (untuk sapi impor).

Badan Pusat Statistik menyampaikan bahwa kebutuhan daging sapi tahun 2015 sebanyak 653.980 ton atau setara dengan 3,8 juta ekor sapi. Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa kebutuhan daging sapi tahun 2015 adalah 510.900 ton setara 3 juta ekor.

Menurut Asosiasi Produsen Daging dan Feedloter Indonesia (Apfindo), ternak sapi yang ready stock tahun 2015 sebanyak 2,3 juta ekor atau setara 391.300 ton daging.

Dengan demikian, angka konversi sapi ke daging yang digunakan adalah berkisar 170 kilogram per ekor hingga 175 kilogram per ekor.

DEWA NGAKAN CAKRABAWA, KABID DATA NONKOMODITAS PUSDATIN KEMENTERIAN PERTANIAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Koruptor Adili Koruptor (IMAM ANSHORI SALEH)

Dunia peradilan kita sedang terluka parah. Dua kasus suap yang terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung belum selesai diusut, pada Senin (23/5) lalu dua hakim tindak pidana korupsi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, kota kecil yang sunyi.
HANDINING

Terlepas apakah dua kasus suap dengan tersangka Andri Tristianto Saputra, pegawai di Mahkamah Agung, dan Edy Nasution, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melibatkan hakim atau tidak, aroma suap membuat peradilan kita semakin terpuruk. Kasus tertangkapnya dua hakim tindak pidana korupsi di Kepahiang semakin meyakinkan bahwa suap-menyuap di pengadilan sudah menjadi kenyataan yang memalukan sekaligus memilukan.

Lagi-lagi kita menyebut dua kasus di Jakarta dan satu kasus di Kepahiang itu sebagai "gunung es" yang apabila mau serius dikeruk lebih dalam, puluhan bahkan ratusan "bongkahan es" kasus serupa akan mudah ditemukan.

Sebelumnya, di Medan, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara juga terjaring operasi tangkap tangan KPK. Mahkamah Agung tergagap-gagap dan kehilangan kata-kata untuk menjelaskan mengapa terus terjadi penyuapan terhadap para "pemegang otoritas" keadilan itu.

Bagaimana dengan pengawasan dari Badan Pengawas Mahkamah Agung dan bagaimana pengawasan ketua Pengadilan Tinggi terhadap hakim-hakim dan aparat pengadilan jajarannya.

Eksternal dan internal

Sejumlah faktor menjadi penyebab maraknya praktik suap di pengadilan. Tidak perlu jauh-jauh mencari kambing hitam dari faktor eksternal.

Ada beberapa faktor internal yang diduga kuat menjadi penyebab suburnya penyuapan kepada aparat pengadilan. Pertama, tentu rendahnya integritas para hakim. Kedua, karena serba tertutupnya pengadilan dalam membuka akses informasi yang diperlukanmasyarakat.

Ketiga, dalam membuat putusan, para hakim nyaris tanpa pertanggungjawaban kepada institusi horizontal maupun vertikal. Para hakim begitu mudah "berlindung" di balik kebebasan hakim. Siapa pun dan institusi mana pun tidak boleh mencampuri hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal ini yang sering menjadikan "bungker" bagi para hakim untuk memainkan perkara yang ditanganinya.

Menurut catatan Koalisi Pemantau Peradilan, dua hakim tindak pidana korupsi (tipikor), Janner Purba dan Toton, adalah hakim tipikor keenam dan ketujuh yang ditangkap KPK (Kompas.com, 24/5/2016).

Hakim tindak pidana korupsi yang pertama terjerat kasus korupsi adalah Kartini Julianna Mandalena Marpaung. Hakim pada Pengadilan Tipikor Semarang itu ditangkap oleh KPK pada 17 Agustus 2012.

Kartini ditangkap bersama Heru Subandono yang juga hakim di Pengadilan Tipikor Pontianak. Keduanya tertangkap tangan seusai melakukan transaksi suap di halaman Pengadilan Negeri Semarang.

KPK juga pernah menahan hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Pragsono, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi di DPRD Grobogan, Jawa Tengah, pada Desember 2013. KPK menetapkan Pragsono sebagai tersangka sekitar Juli 2013. Dia ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan hakim ad hocTipikor Palu, Sulawesi Tengah, Asmadinata.

Berikutnya hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bandung, Ramlan Comel. Ramlan ditahan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial diKota Bandung.

Yang mulia menjadi tercela

Jika yang tertangkap tangan kebanyakan hakim tipikor yang bertugas mengadili para terdakwa koruptor, sungguh sangatlah ironis. Hakim yang korup sehari-hari menangani perkara korupsi. Jadi, hakim-hakim koruptor harus mengadili para koruptor.

Bagaimanapun hakim-hakim yang bermental koruptor itu akan kehilangan sensitivitas ketika menanganiperkara korupsi, sebab dalam benaknya seolah melakukan korupsi itu sebagai hal yangbiasa. Mereka akan kehilangan penghayatan ketika menuliskan pertimbangan hukum. Hakim yang diharapkan memutus dengan obyektif dikhawatirkan akan lebih mengedepankan subyektivitasnya.

Berdasarkan data yang dikutip dari Pengadilan Negeri Bengkulu, Kamis (26/5/2016), Janner dan Toton kerap satu majelis mengadili perkara korupsi. Dari ketokan palu keduanya, umumnya para terdakwa divonis ringan, bahkan sepuluh di antaranya divonis bebas.

Hakim menghukum ringan dan membebaskan terdakwa bukanlah hal yang dilarang. Yang tercela adalah jika hakim menghukum ringan dan membebaskan terdakwa karena hakimnya disuap.

Hakim menerima suap dan korupsi sangat bertentangan dengan tuntutan profesionalisme hakim. Profesi hakim adalah benteng terakhir dalam integrated justice system di negara mana pun. Di dalam diri hakim dipersonifikasikan berbagai simbol kearifan. Kode etik hakim memuat janji hakim untuk menjalankan profesi luhur (officium nobile) ini.

Di Indonesia keluhuran martabat hakim mengacu pada simbol-simbol: kartika, "cakra", "candra", "sari", dan "tirta". Sifat "kartika" (bintang) melambangkan ketakwaan hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang beradab.

Sifat "cakra" (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan.

"Candra" (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh pengabdian pada profesinya.

"Sari" (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa.

"Tirta" (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapa pun, tanpa pamrih, dan tabah.

Dalam kontekstujuh hakim tipikor yang tertangkap tangan karena suap dan hakim-hakim lain yang berperilaku sama, mereka sudah kehilangan sifat-sifat yang seharusnya disandang seorang pengadil.

Kalau sifat-sifat itu sudah tidak melekat pada mereka, mereka telah kehilangan predikat "yang mulia". Tugas Mahkamah Agung dan segenap pemangku kepentingan adalah menyelamatkan ribuan hakim yang masih baik.

Sikap permisif yang selama ini dikesankan pimpinan MA akan melapangkan jalan bagi hakim-hakim yang terhormat menjadi tercela. Sebuah negara yang berkeadilan akan semakin sulit terwujud jika pilar-pilar keadilan, yakni para hakim kita, masih koruptif.

IMAM ANSHORI SALEH, PENGAMAT HUKUM DAN PERADILAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Koruptor Adili Koruptor".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senin, 30 Mei 2016

Partai dan Usia Pensiun Kapolri (HIFDZIL ALIM)

Sikap DPR terbelah terkait polemik perpanjangan usia pensiun jabatan kepala Polri. Partai politik di DPR terbagi menjadi dua.

Kelompok pertama setuju dengan perpanjangan masa jabatan kepala Polri. Sementara kubu lainnya menolak. Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PAN, dan PPP mendukung diteruskannya kekuasaan Jenderal Badrodin Haiti di tubuh kepolisian. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, dan PKS ada di seberangnya, bersikeras agar Presiden memilih pemimpin baru bagi korps seragam coklat.Apakah sikap partai di DPR dalam polemik usia pensiun kepala Polri menunjukkan berjalannya fungsi representasi bagi rakyat. Atau malah sebaliknya—meminjam bahasa Roy C Macridis (1996)—sedang memainkan fungsi perantara (brokerage). Partai mewakili kepentingan, kelompok, dan kelas sosial tertentu?

Filter hukum

Untuk menguji fungsi apa yang sedang dipentaskan oleh partai politik, perlu digunakan filter khusus. Hukum dapat dimanfaatkan sebagai penyaring yang konsisten—walau tak berada di ruang hampa—atas laju kebijakan parpol. Pada bagian ini, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah hukum yang dimaksudkan itu.

Pasal 30 Ayat (2) UU Kepolisian pada pokoknya menyebutkan, umur pensiun polisi umumnya sampai 58 tahun, dapat diperpanjang hingga usia 60 tahun apabila yang bersangkutan memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan. Ketentuan lebih lanjut tentang frasa "keahlian khusus dan sangat dibutuhkan" diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Masalahnya, sampai opini ini dirangkai, penulis tak menemukan PP yang spesifik bicara tentang syarat dan batasan perpanjangan usia pensiun polisi. Dengan kata lain, pemerintah belum menerbitkan aturan pelaksana tentang kriteria "keahlian khusus dan sangat dibutuhkan" sebagai basis hukum memperpanjang usia pensiun polisi.

Ada dua jalan keluar menghadirkan PP itu. Pertama, memaksa presiden menerbitkan PP dalam waktu dekat. Akan tetapi, sepertinya opsi ini agak susah mengingat ada mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dilalui. Kecuali presiden sudi memprioritaskan penyusunan rancangan PP itu, mau tidak mau harus ditempuh jalan keluar yang kedua: memohon pertimbangan atas kriteria "keahlian khusus dan sangat dibutuhkan" kepada lembaga lain.

Mahkamah Agung adalah lembaga yang dapat dimohon supaya memberi pertimbangan atas penentuan syarat "keahlian khusus dan sangat dibutuhkan". Cantolannya berupa Pasal 37 UU No 14/1985. MA dapat memberi pertimbangan hukum kepada lembaga negara baik diminta maupun tidak. Pendek kalimat, apakah usia pensiun kepala Polri dapat diperpanjang atau tidak, seyogianya parpol di DPR—dan juga presiden—bersedia menunggu pertimbangan dari MA, sebagai filter hukum, atas bunyi Pasal 30 Ayat (2) UU Kepolisian.

Nirfungsi perantara

Hukum, sekali lagi, juga mampu menyaring apakah fungsi representasi atau fungsi perantara yang sedang diperankan parpol dalam polemik usia pensiun kepala Polri. Katakanlah, usia pensiun Jenderal Badrodin Haiti tak dapat diperpanjang, maka calon kepala Polri yang akan menggantikan harus juga memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan hukum secara umum.

Calon kepala Polri adalah perwira tinggi aktif dengan memperhatikan kepangkatan dan karier. Artinya, deretan jenderal polisi yang akan memasuki masa pensiun tidak didudukkan sebagai calon. Jika tetap diajukan, usia berpotensi menjadi masalah untuk mengocok-ulang pemimpin kepolisian.

Kepolisian dituntut untuk menjunjung tinggi kebenaran dalam penegakan hukum serta menjamin kepastian berdasarkan hukum. Tri Brata dan Catur Prasetya menjiwai polisi—termasuk kepala Polri—untuk taat hukum. Ini sangat penting. Sebab, kepolisian akan menjadi pengayom dan panutan berhukum bagi masyarakat. Calon kepala Polri tidak boleh menabung potensi masalah di internal ataupun eksternal lembaga bayangkara.

Hukum melalui Pasal 11 UU No 2/2002 menyediakan aturan mainnya. Presiden mengajukan nama, partai memberikan persetujuan. Presiden bertugas menggodok nomine pemimpin besar kepolisian dengan masukan dari komisi kepolisian. Partai menyatakan setuju atau menolak pilihan presiden.

Anggap saja, calon kepala Polri pilihan presiden sesuai dengan harapan masyarakat, kebijakan berikutnya ada di tangan parpol di DPR. Parpol betul-betul sedang diuji. Parpol yang sedang memainkan fungsi perantara akan menolak calon kepala Polri dan mengembalikannya kepada presiden. Selanjutnya, manuver politik dilakukan untuk menekan presiden agar mengambil calon kepala Polri yang dinilai bisa bekerja sama dengan partainya sendiri, bukan bekerja pada yang lain.

Kalau skema di atas yang akan berlaku, fungsi brokerage parpol sedang bergerak dan menanggalkan fungsi perwakilan kepentingan rakyat. Parpol hanya mewakili kepentingan kelompok atau elitenya sendiri. Dan ini bukan kebijakan yang bagus bagi masa depan parpol. Parpol seharusnya memilih untuk nirfungsi perantara. Tidak menjadi tangan panjang dari oknum kelompok atau elite yang berpikir oportunis terhadap kekuasaan.

Pemilihan kepala Polri menjadi satu momentum yang langka bagi parpol untuk menunjukkan sejatinya peran representasi, sekaligus juga sebagai ujian apakah parpol masih bisa diharapkan sebagai wadah politik yang sehat dan berkemanusiaan atau sekadar tempatnongkrong-nya para oligarki.

HIFDZIL ALIM, PENGAJAR ILMU HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Partai dan Usia Pensiun Kapolri".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Ujian Sentralitas ASEAN di LTS (ARFIN SUDIRMAN)

Para pemegang kebijakan di ASEAN saat ini sedang menunggu hasil keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional terkait status legalitas klaim sepihak Tiongkok yang terkenal dengan istilah nine dash line (sembilan garis putus) di Laut Tiongkok Selatan.

Pertanyaan menarik adalah, di tengah masifnya modernisasi alutsista militer Tiongkok di kawasan, apa langkah yang harus dilakukan ASEAN? Terlepas dari hasil keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional terkait legalitas nine dash line yang diklaim secara sepihak oleh Tiongkok, dunia lagi-lagi harus berhadapan dengan unilateralisme suatu negara yang sulit dicegah oleh rezim internasional mana pun.

Unilateralisme sebelumnya terjadi ketika Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak pada 2003 dengan dalih mencegah senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction/WMD), yang hingga saat ini tidak ditemukan, tanpa restu dari PBB. Jika menilik jauh sebelumnya pun kita tahu ketidakberhasilan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mencegah Jerman dan AS keluar dari keanggotaan LBB sehingga mengakibatkan pecahnya Perang Dunia (PD) II pada 1939 yang dipicu oleh unilateralisme Jerman yang menginvasi Polandia.

Sejarah pun terulang kembali. organisasi internasional yang seharusnya menjadi tata kelola supranasional yang memiliki otoritas untuk mengatur negara-negara di dunia menjadi tidak efektif karena ulah satu atau dua negara yang memiliki kapabilitas relatif lebih kuat ketimbang negara-negara di sekelilingnya.

Kompleksitas keamanan

Tahun ini, anggaran militer Tiongkok sudah mencapai 146,67 miliar dollar AS. Bandingkan dengan total anggaran militer seluruh negara ASEAN yang hanya 37,8 miliar dollar AS. Melihat kenyataan ini, maka tidak heran, efek penggentar Tiongkok jauh melebihi kapabilitas relatif negara-negara kawasan ASEAN.

Alih-alih mempererat kerja sama dan sentralitas ASEAN, negara-negara anggota ASEAN lebih cenderung mencari langkah pencegahan untuk menyelamatkan diri masing-masing dengan pilihan: mencari aliansi militer dengan kekuatan sejajar, seperti AS, atau bergabung dengan bujuk rayu Tiongkok.

Bipolaritas skala kecil pun terjadi di kawasan Asia Tenggara dengan Tiongkok dan AS sebagai kekuatan rivalitas baru dan ASEAN sebagai arena.

Tak perlu diragukan lagi bahwasanya Tiongkok tak mungkin mendapat tekanan dari aktor sub-nasional, seperti kalangan akademisi, LSM, ataupun media dalam negerinya sebagai antitesis dari kebijakan klaim sepihak ini karena semua elemen negara Tiongkok akan diarahkan untuk mendukung klaim sepihak ini. Karena itu, memanfaatkan diplomasi jalur 1,5 atau 2 yang melibatkan jaringan kelompok masyarakat sipil adalah hal sulit, bahkan mustahil diandalkan.

Dengan demikian, praktis baik ASEAN maupun komunitas internasional lain harus mengandalkan kekuatan kolektif pada tingkat antarpemerintah (G to G) baik di dalam ASEAN, dan jika perlu mengisi kekosongan efek penggentar ini oleh negara lain yang seimbang, yang tentu saja dikemas dengan diplomatis agar tak terkesan ASEAN perlahan-lahan meninggalkan prinsip netralitas dan non-intervensinya.

Langkah Filipina dan Vietnam yang mengubur dalam-dalam sejarah hitamnya dengan AS pada masa PD II dan Perang Dingin perlu dipertimbangkan untuk dieksploitasi secara halus oleh ASEAN. Konektivitas erat kedua negara anggota ASEAN dengan AS di bidang militer perlu ditindaklanjuti dalam forum-forum pilar pertama ASEAN Political Security Community (APSC).

Setidaknya jika Tiongkok bersikeras atas klaim sepihaknya di Laut Tiongkok Selatan (LTS), APSC dapat dijadikan komitmen pertahanan bersama meskipun tidak sampai kepada pembentukan pakta pertahanan.

Berikutnya, lobi-lobi intensif ke negara-negara yang cenderung berpihak kepada Tiongkok, seperti Laos dan Kamboja, untuk tetap kembali kepada negosiasi penyusunan dokumen code of conduct(COC) yang merupakan pedoman berperilaku di kawasan LTS serta pentingnya menegakkan UNCLOS sebagai norma internasional yang existing dan didasarkan atas konsensus internasional.

Dengan demikian, faktor sejarah (seperti argumen Tiongkok mengenai traditional fishing ground pada kasus di Natuna, Maret 2016) dan tradisi—yang umumnya menjadi argumen "klasik" sengketa perbatasan—seharusnya bukan lagi menjadi satu-satunya justifikasi mutlak.

Kompleksitas keamanan di kawasan diperparah dengan bebasnya Tiongkok mengaplikasikan nine dash line-nya melalui proyek pembangunan reklamasi pulau buatan, karang, landasan pacu udara, dan militerisasi yang dapat membuktikan secara de facto bahwa pulau-pulau kecil di Kepulauan Spratly adalah bagian dari kedaulatan Tiongkok.

Selama pembangunan situs- situs tersebut berlangsung selama kurang lebih sejak 2013, tindakan nyata untuk membendung keberlanjutan pembangunan tersebut sejauh ini adalah justru datang dari militer AS melalui diplomasi pertahanannya.

Artinya, terdapat kesadaran dari pihak-pihak yang bersengketa dengan Tiongkok di LTS bahwa tak mungkin menghadapi militer Tiongkok secara head to headkarena efek penggentar yang tak seimbang antara negara-negara anggota ASEAN dengan Tiongkok.

Karena itu, diplomasi pertahanan yang diperagakan AS bertujuan selain untuk menggertak Tiongkok, juga berupaya untuk memperlambat pembangunan situs-situs yang menjadi dasar klaim sepihak Tiongkok di LTS hingga keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional definitif dan "memaksa" Tiongkok untuk kembali ke negosiasi dokumen COC.

Penyeimbang kekuatan

Pertimbangan untuk melibatkan AS sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan sebetulnya tidak dapat dibaca semata-mata untuk menyelamatkan ASEAN dari perpecahan ataupun intervensi AS di kawasan, secara geopolitik dan geoekonomi pun sebetulnya negara-negara besar di dunia sangat bergantung pada stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara.

Saat ini, 66 persen kargo perdagangan LNG di dunia dengan total nilai 5,2 triliun dollar AS per tahun melewati Laut Tiongkok Selatan. Sebanyak 1,2 triliun dollar AS di antaranya terkait langsung dengan kepentingan AS akan kebutuhan energi. Karena itu, maka akan terlalu mahal biayanya jika opsi konflik terbuka dipilih oleh Tiongkok, ASEAN, dan AS.

Dengan demikian, ujian bagi sentralitas ASEAN adalah bagaimana ASEAN memanfaatkan netralitasnya untuk merangkul tidak hanya negara-negara anggotanya agar kompak menghadapi klaim sepihak Tiongkok, tetapi juga mengoptimalkan jaringan kerja sama dengan negara-negara di luar kawasan, terutama AS yang selama ini menjadi mitra strategis ASEAN untuk menjadileverage agar dapat menjembatani kesenjangan kekuatan di kawasan melalui tekanan politik internasional yang bertujuan untuk menandingi jurus "pendekar mabuk" (drunken master)-nya Tiongkok agar tidak sampai mengarah kepada konflik maritim terbuka.

Tentu saja langkah-langkah tersebut bukan tanpa risiko. Andaikan Tiongkok tidak mengindahkan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional dan tidak menghargai kepentingan negara-negara yang bersengketa di LTS—kemungkinan yang masih sangat mungkin terjadi—wibawa Mahkamah Arbitrase Internasional dan ASEAN akan runtuh dan potensi Perang Dingin baru akan dimulai dari kawasan Asia Tenggara.

Jika ini yang terjadi, alih-alih berhadapan dengan kekuatan militer terbesar kedua di dunia, perlu langkah diplomasi perbatasan untuk menangguhkan potensi konflik terbuka menjadi status quo sampai ada kerelaan dari setiap pihak untuk kembali ke negosiasi penyusunan dokumen COC yang sudah berjalan sejak DOC 2002.

Konsekuensi logis untuk mendorong proses ini tentu saja akan memakan waktu sangat lama dan bergantung kepiawaian negosiasi setiap pihak agar tidak ada salah satu pihak yang kehabisan kesabarannya sehingga memilih opsi perang terbuka.

ARFIN SUDIRMAN, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL; DIREKTUR EKSEKUTIF PUSAT STUDI ASEAN FISIP UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Ujian Sentralitas ASEAN di LTS".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger