Kita masih membutuhkan uraian lebih gamblang dari pernyataan itu. Namun, itulah yang diucapkan penerbang senior Marsdya (Purn) Eris Herryanto pada diskusi bertema "Redefinisi Peran Indonesia di Asia-Pasifik Abad Ke-21 dari Aspek Pertahanan" di Jakarta, Sabtu (28/5).
Memberi ilustrasi, Eris menyebutkan, mulai tahun 2010 hingga 2029 Indonesia sedang membangun industri pertahanan. Tujuh program yang disebut Eris adalah pembuatan propelan, rudal, tank medium, kapal selam, dan pesawat tempur, serta roket dan radar.
Sejatinya program industri pertahanan seperti produksi kendaraan taktis dan persenjataan sudah ada setidaknya sejak 1923, yang kemudian menjadi PT Pindad di Bandung. Apa yang kita kenal sebagai IPTN kemudian PT DI, yang dimodernisasi Prof BJ Habibie dimulai tahun 1976, meski sebagai Lembaga Persiapan Industri Penerbangan Nurtanio sudah dibuka tahun 1966. Mantan Menhan Juwono Sudarsono mengatakan, kalau soal teknologi, bangsa Indonesia tidak perlu diragukan. Yang harus banyak dipelajari adalah kemampuan pemasaran/manajemen.
Memang itu bukan perkara mudah, apalagi jika orientasi pengambil keputusan masih pada pembelian produk peralatan militer impor. Untunglah dengan terbitnya UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan, hasrat mengimpor bisa dibendung. Impor hanya bisa untuk peralatan militer yang belum bisa diproduksi sendiri.
Yang ingin kita wacanakan, seberapa relevan industri pertahanan bagi pembangunan sistem pertahanan nasional, khususnya menghadapi perubahan ancaman pada dekade kedua abad ke-21 dan dekade selanjutnya. Jika melihat perkembangan terakhir di Laut Tiongkok Selatan, adu otot masih diperlihatkan oleh kuasa-kuasa besar. AS dan Tiongkok semakin sering mengerahkan kapal perang, bahkan AS sempat menerbangkan pengebomnya sebagai unjuk kekuatan.
Kita tetap membutuhkan penguasaan atas produksi peralatan militer, tetapi di sisi lain kita menyadari adanya kemungkinan perang informasi. Ketika perang dengan peralatan militer dipandang terlalu brutal dan butuh biaya besar, perang informasi yang diwujudkan dengan perang robotik bisa dilakukan dengan biaya lebih sedikit.
Yang tak boleh dilupakan, bergesernya jenis perang yang mengarah pada perang generasi keempat, atau yang juga sering dikaitkan dengan perang asimetrik, di mana si kecil David berpotensi mengalahkan si besar Goliath.
Wacana di atas kita angkat kembali agar kita tidak keliru memberi prioritas. Jangan sampai kita terpesona pada produksi kapal atau pesawat, padahal kita dihadapkan pada ancaman perang siber.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Memutakhirkan Industri Pertahanan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar