Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Oktober 2018

CATATAN IPTEK: Kontroversi Kolesterol (ATIKA WALUJANI MOEDJIONO)

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN (SET)

Buah-buahan impor yang di jual di gerai pasar swalayan di Mal Kota Kasablanka, Jakarta, beberapa waktu lalu. Konsumsi sayuran dan buah yang cukup berperan dalam menjaga kenormalan tekanan darah, kadar gula, kolesterol darah, dan mengurangi risiko kegemukan.

Selama bertahun-tahun, kita meyakini bahwa kolesterol itu berbahaya dan harus dihindari. Namun, belakangan, Komite Penasihat Penyusunan Panduan Pola Makan untuk Warga Amerika Serikat tahun 2015-2020 mengindikasikan konsumsi kolesterol tidak lagi perlu dikhawatirkan.

Kolesterol adalah zat lemak yang terdapat di setiap sel tubuh dan berperan penting antara lain pada pencernaan makanan, fungsi saraf, produksi hormon seperti estrogen, testosteron, dan kortikosteroid.

Dalam darah, kolesterol bergabung dengan protein (lipoprotein). Yang pertama, lipoprotein densitas tinggi (HDL) membawa kolesterol keluar dari sel menuju hati untuk dihancurkan dan dikeluarkan dari tubuh. Karena itu, disebut kolesterol baik.

Adapun yang kedua, lipoprotein densitas rendah (LDL) yang membawa kolesterol ke sel yang membutuhkan. Jika terlalu banyak, kolesterol itu akan menempel di dinding pembuluh darah. Karena itu, disebut kolesterol buruk. Jika tumpukan kolesterol di dinding pembuluh darah rontok dan menyumbat pembuluh darah, akan terjadi serangan jantung maupun stroke.

Sejumlah peneliti Amerika Serikat (AS) menyatakan, hasil riset menunjukkan kadar kolesterol dalam darah bukan ditentukan oleh asupan makanan, melainkan oleh faktor genetik. Sekitar 85 persen kolesterol dalam tubuh diproduksi oleh hati. Sisanya baru dari makanan. Karena itu, telur yang selama ini dihindari karena dipercaya mengandung kolesterol tinggi kini dianjurkan untuk dikonsumsi mengingat kadar gizi lain seperti protein, kolin, lutein, cukup tinggi.

Menurut Direktur Pusat Penelitian Pencegahan Universitas Yale David Katz serta Steven Nissen, peneliti dan Ketua Bagian Kardiovaskular Klinik Cleveland, yang harus diwaspadai justru lemak trans yang bisa meningkatkan risiko gangguan jantung.

Sebaliknya, laman Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris menyatakan, laporan tentang tidak adanya kaitan antara kolesterol buruk dan gangguan jantung perlu disikapi hati-hati. NHS membahas kajian para peneliti dari AS, Jepang, Swedia, Inggris, Irlandia, dan Italia yang dipublikasikan di BMJ Open.

Menurut NHS, kajian itu untuk mengumpulkan bukti dari sejumlah riset apakah kolesterol LDL terkait dengan kematian pada orang-orang berusia lebih dari 60 tahun. Dari 28 penelitian yang dikaji, 12 penelitian menunjukkan tak ada kaitan antara kolesterol LDL dan kematian. Sementara 16 penelitian lain memperlihatkan kadar kolesterol LDL rendah justru meningkatkan risiko kematian. Hal tersebut berlawanan dengan yang diyakini selama ini.

NHS berpendapat, ada keterbatasan dari kajian itu, yakni pengumpulan data tidak mengikutsertakan penelitian yang relevan, misalnya kadar lemak darah lain (kolesterol total dan kolesterol HDL). Juga faktor kesehatan dan gaya hidup yang memengaruhi hasil penelitian, misalnya orang yang bersangkutan mulai menggunakan statin (obat penurun kolesterol) yang berpengaruh pada penurunan risiko gangguan jantung. Karena itu, NHS menilai kajian tersebut belum menunjukkan bukti kuat bahwa kolesterol LDL baik untuk kesehatan jantung.

NHS tetap menyarankan, perlunya menerapkan pola makan seimbang, banyak sayur, buah, kacang-kacangan, biji-bijian utuh, ikan berlemak seperti salmon, tuna, makerel, berolahraga teratur, tidak minum alkohol, dan tidak merokok. Zat kimia pada rokok yang disebut akrolein menghambat kolesterol HDL sehingga meningkatkan timbunan plak di dinding pembuluh darah.

Panduan Pola Makan untuk Warga Amerika Serikat tahun 2015-2020 merekomendasikan pembatasan konsumsi lemak jenuh, lemak trans, gula, dan garam. Lemak jenuh antara lain terdapat pada mentega, daging berlemak, kulit ayam, keju. Adapun lemak trans ada di margarin, donat, kue, biskuit, makanan yang dipanggang dan digoreng. Itu berarti, sumber kolesterol tetap dibatasi.

Kompas, 31 Oktober 2018
#‎catataniptek #kolesterol #artikelopinikompas #opinikompas 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

STRATEGI BISNIS: Gen Z Merombak Pasar (ANDREAS MARYOTO)

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Ilustrasi

Perbincangan mengenai generasi Z atau gen Z baru saja dimulai, namun mereka mulai mengubah permintaan pasar. Sejumlah korporasi besar global mulai mendengarkan suara mereka yang disebut sebagai generasi posmilenial untuk memastikan produk mereka bisa masuk ke pasar anak muda dan remaja.

Sementara di dalam negeri, sebagian besar korporasi masih sibuk memetakan pasar milenial. Beberapa perusahaan bisa berkejaran waktu dan terlambat memposisikan diri di pasar.

Laman CNBC melaporkan beberapa perusahaan yang sudah menggunakan konsultan gen Z dalam bisnisnya antara lain LinkedIn, Intuit, 3M, Deloitte, Fannie Mae, dan Land-O-Lakes. Ciri-ciri gen Z adalah mereka yang sejak lahir telah menjadi warga digital.

Secara umum, mereka yang termasuk di dalam Gen Z adalah mereka yang lahir setelah tahun 1997, tetapi di Indonesia gen Z ini lebih tepat adalah mereka yang lahir setelah tahun 2000. Sebab, teknologi digital secara masif digunakan di Indonesia pada masa itu.

Korporasi global mulai mendengarkan suara gen Z karena generasi baru ini mulai lulus dari perguruan tinggi. Perusahaan berkepentingan untuk merebut talenta-talenta terbaik dari kampus. Oleh karena itu, mereka membuat cara-cara yang menarik agar perusahaan bisa menjaring lulusan terbaik.

Bagi perusahaan teknologi digital, kompetisi ini mungkin tak terlalu memusingkan karena gen Z telah mengenal beberapa perusahaan digital seperti Facebook, Google, dan lain-lain sejak kecil. Akan tetapi, korporasi mapan yang sudah terengah-engah merebut talenta terbaik di kalangan generasi milenial, kini harus bertarung makin keras untuk merebut gen Z.

Sejak kecil hidup dengan media sosial membuat mereka lebih lekat dengan media ini dibanding dengan media konvensional. Tidak mengherankan bila mereka memiliki bintang tersendiri di luar bintang-bintang yang tersebar di media sosial.

Mereka tidak lagi mengenal bintang-bintang yang tampil di televisi. Namun, mereka mengenal bintang di media sosial yang mungkin hanya memiliki sedikit pengikut. Waktu mereka lebih lama di media sosial dibanding di media konvensional.

Konsultan gen Z Jonah Stilman dan ayahnya David Stilman mengatakan, saat ini sejumlah perusahaan tengah melakukan adaptasi terhadap gen Z di dunia kerja. Ia juga banyak mendapat pekerjaan untuk menata strategi pemasaran perusahaan, mengelola media sosial dengan cara baru, dan menata ulang komunikasi perusahaan dengan kaum gen Z.

Ia mengatakan, ada banyak perubahan yang harus dilakukan ketika korporasi mulai melihat gen Z sebagai pasar baru dan juga talenta baru yang akan direkrut perusahaan.

Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan korporasi-korporasi di Indonesia yang baru saja menyesuaikan diri dengan generasi milenial. Perusahaan-perusahaan masih gemar mempromosikan diri sebagai tempat yang nyaman bagi milenial.

Mereka juga menawarkan produk dan jasa yang disebut sesuai dengan pasar milenial. Perusahaan ini sepertinya berkejaran dengan waktu untuk menarget mereka dan menjalankan bisnis yang menguntungkan sebelum generasi milenial memasuki fase mapan.

Partai politik di Indonesia juga tengah sibuk menggarap pemilih milenial. Padahal, pemilih baru adalah gen Z yang pada tahun depan sudah berusia 17-19 tahun. Mereka bukan lagi milenial. Mereka membutuhkan cara-cara baru. Salah satu pendekatan dengan mereka adalah menampilkan figur yang unik dan intim dengan mereka tanpa perlu memikirkan jumlah pengikut di media sosial.

Di Amerika Serikat, meski pemilu baru akan dilakukan tahun 2020, tetapi mereka telah melakukan riset dan juga menata komunikasi dengan mereka.
Panduan bagi mereka yang hendak memahami dunia gen Z sebenarnya sangatlah mudah. Mereka cukup mengamati perilaku gen Z dalam mengonsumsi media. Media boleh dibilang adalah produk awal yang sensitif terhadap perubahan selera setiap generasi.

Pengamatan bisa mulai dari perubahan jenis media yang dikonsumsi, lama mereka mengonsumsi, topik yang dikonsumsi, figur idola mereka, hingga cara mereka mengonsumsi.

Dari pengamatan itu, perusahaan bisa mempelajarinya dan mengambil contoh perubahan selera atau permintaan sehingga bisa digunakan untuk mengantisipasi pasar masa depan.

Facebook menjadi contoh betapa mereka menyadari perubahan cara bermedia generasi baru dan harus berubah. Mereka telah bersiap untuk menyediakan platform dan layanan yang sesuai dengan selera generasi baru ini.

Kompas, 31 Oktober 2018
#opinikompas #gen-z #industridigital
#strategibisnis
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Oman dan Pesan Perdamaian (Kompas)

AFP PHOTO / OFFICIAL TWITTER ACCOUNT OF BENJAMIN NETANYAHU

Gambar dari akun twitter resmi PM Israel Benjamin Netanyahu menunjukkan sedang bertemu dengan Sultan Qaboos bin Said di Kesultanan Oman di Muskat, Jumat (26/10/18).

PM Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas sama-sama datang ke Oman di tengah terus memburuknya hubungan Israel-Palestina.

Abbas datang tiga hari lebih awal ke Muskat, ibu kota Oman, sebelum Netanyahu hadir pada hari Jumat (26/10/2018). Di Kesultanan Oman, kedua kepala pemerintahan yang sedang bertikai tersebut disambut langsung Sultan Qaboos bin Said.

Seusai bertemu Netanyahu, menteri yang bertanggung jawab pada urusan luar negeri Oman, Yousuf bin Alawi bin Abdullah, menyatakan, Oman menawarkan ide rancangan perdamaian antara Israel dan Palestina, tetapi tidak bertindak sebagai mediator. "Israel adalah sebuah negara di kawasan ini dan kami mengerti itu. Dunia juga melihat fakta ini dan mungkin sekarang saatnya bagi Israel untuk diperlakukan sama dengan kewajiban yang sama," ujarnya.

Namun, Yousuf bin Alawi menegaskan, kehadiran kedua pemimpin yang sedang bertikai di Oman tidak berarti perdamaian akan dapat terwujud dengan mudah. "Kami tidak mengatakan bahwa jalan sekarang mudah dan penuh dengan bunga, tetapi prioritas kami adalah mengakhiri konflik," katanya.

Netanyahu datang ke Muskat membawa rombongan cukup besar, termasuk beberapa pejabat senior dan Kepala Intelijen Mossad, serta penasihat keamanan nasional. Upaya Oman menembus kebuntuan diplomasi antara Israel dan Palestina mendapat dukungan dari Menteri Luar Negeri Bahrain Khalid bin Ahmed Al Khalifa dan Menlu Arab Saudi Adel al-Jubeir.

Utusan Khusus Amerika Serikat untuk Timur Tengah, Jason Greenblatt, menyambut baik upaya damai yang diprakarsai Oman. "Ini adalah langkah yang membantu upaya perdamaian kami dan penting untuk menciptakan atmosfer stabilitas, keamanan, dan kemakmuran antara warga Israel, Palestina, dan tetangga mereka," katanya.

Netanyahu berkunjung ke Oman setelah pendahulunya, Shimon Peres, meresmikan perwakilan dagang di Oman dan Qatar pada tahun 1996. Yitzhak Rabin adalah pemimpin Israel pertama yang melakukan kunjungan ke Oman tahun 1994.

Sebagai negara kecil, Oman selama ini dikenal sebagai negara netral, yang peranannya mirip Swiss di dunia. Oman juga dekat dengan hampir semua negara di Timur Tengah, baik Iran maupun Arab Saudi, dua negara yang berebut pengaruh di kawasan. Oleh karena itu, Oman sering menjadi tempat perundingan perwakilan negara yang saling bertikai di kawasan, seperti kelompok Houthi di Yaman dan wakil dari Arab Saudi.

Namun, langkah Oman yang luar biasa ini mengundang tanya dari musuh Israel, khususnya Iran. Namun, tidak seperti biasanya, Iran menanggapi kedatangan Netanyahu dengan nada tidak garang. Iran hanya menyatakan, "Sekali lagi Israel dan Amerika Serikat mencoba untuk membuat ganjalan ke dunia Muslim."

Kita berharap, ketegangan Palestina-Israel bisa segera mereda dan peran Oman mengingatkan kita pada peran Mesir yang mencetuskan Perjanjian Camp David 1978.

Kompas, 31 Oktober 2018
#tajukrencanakompas #
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Mengembangkan Bahasa Indonesia (Kompas)

Kita apresiasi pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengingatkan agar bahasa Indonesia lebih dikembangkan sesuai tuntutan zaman.

Pernyataan itu terasa pas karena disampaikan saat pembukaan Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XI tahun 2018 yang diikuti 1.031 peserta dari berbagai kalangan. Selain para pakar, guru, dan akademisi, KBI yang berlangsung pada 28-31 Oktober 2018 di Jakarta juga diikuti para pejabat publik, tokoh pegiat bahasa, praktisi/pemerhati bahasa dan sastra Indonesia serta daerah.

KOMPAS/NINA SUSILO

Bangunan berpilar di Jalan Budi Utomo Nomor 1, Jakarta kini menjadi salah satu gedung Kantor Pusat Kimia Farma. Namun, tahun 1926, bangunan ini menjadi saksi perdebatan para pemuda Indonesia untuk menyatukan gerakan menuju kemerdekaan. Kongres Pemuda I tahun 1926 disusul dengan Kongres Pemuda II tahun 1928 menjadi tonggak persatuan Bangsa Indonesia dengan jembatan pemersatunya, Bahasa Indonesia.

Kongres yang mengusung tema "Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia" itu menampilkan 27 orang sebagai pembicara kunci serta 72 pemakalah dari dalam dan luar negeri yang diseleksi sangat ketat. Karena itu, tidak berlebihan jika kita berharap banyak dari penyelenggaraan KBI.

Harapan pertama, tentu saja mengembangkan bahasa Indonesia agar adaptif dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, baik di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun ekonomi, sehingga dengan rasa bangga bisa diterima banyak kalangan. Modal untuk itu sudah ada, antara lain lebih dari 250 juta penduduk menjadi penutur bahasa Indonesia. Namun, perlu digarisbawahi, banyak kalangan, terutama kalangan menengah, yang lebih bangga menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sebagai bahasa pergaulan.

Tidak sedikit pula kalangan menengah yang menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Langkah ini tentu saja tidak salah karena kemampuan bahasa Inggris menjadi kebutuhan bahkan suatu keharusan di tengah kemajuan teknologi. Namun, sebagai catatan, tidak sedikit anak-anak di kota besar yang kesulitan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Selain di sekolah menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar, di rumah pun menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pergaulan dengan orangtuanya.

Harapan kedua, melalui kongres bahasa ini kita bisa menjaga dan mengembangkan sastra sebagai kekayaan bangsa. Karena itu, dibutuhkan strategi dan rumusan kebijakan yang konkret agar sastra, termasuk sastra daerah, bisa lebih menyatu dengan masyarakat, terutama anak didik.

Kedua harapan ini tidak berlebihan karena dalam Kongres Bahasa Indonesia 2018 dibahas berbagai subtema, termasuk ragam bahasa dan sastra dalam berbagai ranah kehidupan. Bahkan, diluncurkan pula buku Sastrawan Berkarya di Daerah 3T, serta berbagai produk kebahasaan dan kesastraan lainnya. Selain itu, 33 rekomendasi dari Kongres Bahasa Indonesia 2013, selama lima tahun 32 rekomendasi di antaranya sudah berhasil dilaksanakan dengan baik.

Akhirnya kita berharap, Kongres Bahasa Indonesia bukan sekadar acara rutin yang digelar setiap lima tahun, melainkan bisa menghasilkan rumusan atau rekomendasi yang menjadi arah kebijakan konkret dalam bidang kebahasaan dan kesastraan. Lebih penting lagi, bisa menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan terhadap bahasa serta kesastraan Indonesia.

Kompas, 31 Oktober 2018
#tajukrencanakompas, #‎kongresbahasaindonesia #bahasaindonesia 
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Kementerian Riset, Badan Riset, Dewan Riset (BAMBANG SETIADI)

HERY CAHYONO

EINSTEIN

"We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them." (Albert Einstein)

Entah mengapa, kalimat sakti dari Albert Einstein itulah yang langsung menyergap ke pemikiran ketika dalam beberapa bulan ini masyarakat, terutama kalangan yang terkait kegiatan riset dan ilmu pengetahuan, mendengar dan membaca dengan gelisah gelombang berita akan didirikan badan riset nasional. Apa hubungan pernyataan Einstein dengan topik artikel ini?

Mungkin begini, ketika kita membuat pembangunan nasional dengan membuat kebijakan riset dan kemudian pada akhirnya tidak mencapai perbaikan seperti yang kita inginkan, bahkan meskipun semua pertimbangan sudah kita anggap benar, maka akan menimbulkan pertanyaan: apa yang akan kita lakukan? Apakah kita harus membentuk badan riset baru?

Logikanya, kita harus mulai memeriksa langkah-langkah sejak awal sehingga dapat mengetahui kebijakan riset mana yang salah. Kalau kita ngotot tak mau mencoba kebijakan lain, pada saat itulah semua masalah riset tersebut menjebak dalam pikiran kita: kita tidak akan menemukan dengan tepat di mana kebijakan yang salah itu. Hanya setelah mengadopsi atau mempertimbangkan pendekatan yang berbeda, kemungkinan besar kesalahannya bisa ditemukan dan selanjutnya dapat diselesaikan. Ini sebenarnya sama halnya dengan masalah kita sehari-hari dan dunia nyata.

Mungkin itulah maksud Einstein mengatakan bahwa kita tak dapat menyelesaikan masalah kita dengan pemikiran yang sama yang kita gunakan ketika kita menciptakannya. Bukan masalah riset, melainkan inovasi.

Apakah riset benar-benar masalah utamanya? Dalam tata pengelolaan daya saing global, yang dihitung, diadu antarnegara setiap tahun adalah inovasi. Bukan riset! Program riset yang dapat berkembang pesat saat ini adalah Pusat Unggulan Iptek (PUI).

Benahi inovasi, bukan riset

Artikel ini ditulis di Kobe, Jepang, hanya satu hari setelah para periset dari sekitar 40 lembaga PUI itu menggelar hasil riset di Universitas Kobe untuk mencari mitra yang bersedia bekerja sama dan mengembangkan riset bersama. Selain itu, forum juga mempertemukan periset dengan para pebisnis yang bersedia memasarkan hasil riset yang mereka lakukan di Kobe. Hasilnya sangat menggembirakan karena dari hasil riset yang dipasarkan itu diharapkan ada 10 MOU yang ditandatangani, ternyata minatnya lebih besar.

Ini artinya, sebuah proses inovasi telah berjalan. Sebab, menurut Edward Robert, ahli inovasi dari MIT ketika menjelaskan mengenai apakah inovasi, rumusnya sangat sederhana: inovasi = riset x komersialisasi. Jadi, riset itu hanya ada gunanya kalau berkembang menjadi inovasi dan itu hanya bisa terjadi kalau hasil riset dapat dipasarkan.

Memasarkan hasil riset sebanyak-banyaknya sehingga menjadi sumbangan besar untuk APBN, misalnya harga paten hasil riset, maka itulah inovasi. Jadi, kita menghadapi masalah inovasi, bukan masalah riset.

Dalam laporan mengenai Global Innovation Index 2018, yang baru dikeluarkan beberapa minggu lalu, jelas peringkat inovasi kita sangat payah, berada di urutan ke-85. Di level ASEAN, Indonesia hanya bisa menang dari Kamboja (96), tetapi sudah kalah dengan Filipina (73), Brunei Darussalam (67), bahkan sudah jauh dari Vietnam yang tahun ini melompat fantastis 12 tingkat menjadi urutan ke-45. Kita sudah dalam posisi amat jauh dengan Thailand (44), Malaysia (35), dan Singapura (5).

Setiap tahun tingkat kemampuan inovasi adalah parameter yang diukur. Komponen riset itu subparameter. Inovasilah yang harus dibenahi, bukan riset. Apa pun yang akan dilakukan dengan riset, termasuk membentuk badan riset, kalau hasil riset tidak dapat dikomersialkan, maka tidak pernah menjadi inovasi. Ketika tidak berkembang jadi inovasi itulah kita menjadi bangsa paria dalam persaingan global.

Dalam dua tahun terakhir ini sedang berjalan proses revisi UU No 18/2002 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dewan Riset Nasional (DRN), dalam rangka memberi masukan terhadap proses revisi UU itu, telah bertemu lebih dari 20 institusi, lembaga pemerintah, LSM—bahkan MPR dan DPR— untuk memberi masukan yang intinya adalah fokusnya penanganan inovasi, bukan penanganan riset. Inti pemikirannya: UU No 18/2002 itu harus diubah jadi UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi.

Peran iptek dan inovasi dalam UU harus sangat jelas jadi sumber kekuatan negara untuk memajukan ekonomi dan kesejahteraan. Bukan hanya jadi pelengkap. Untuk itu, harus ditunjukkan dengan kemauan politik yang kuat. Intinya: presiden adalah komando tertinggi pengembangan inovasi dan presiden jadi Ketua Dewan Riset dan Inovasi Nasional (DRIN). Apakah ini mengada- ada? Tidak! Hampir di semua negara ASEAN, ketua dewan riset adalah perdana menteri atau raja. Juga di Korea dan Finlandia.

DRIN dipimpin langsung kepala negara. Tugas DRIN adalah menetapkan hasil riset yang akan dibiayai negara sehingga bisa menjadi inovasi. Sekali riset itu ditetapkan sebagai inovasi, tidak boleh dipotong oleh siapa pun, termasuk presiden berikutnya. Kalau mau dibentuk suatu badan, DRN mengusulkan suatu Badan Pendanaan Inovasi. Pelaksanaan inovasi didorong dengan pendanaan yang terukur dan programnya ditetapkan langsung oleh DRIN. Kita tidak atau belum perlu suatu badan riset nasional. Sebab, bukan persoalan riset yang terjadi, tetapi inovasi!

Bambang Setiadi Ketua Dewan Riset Nasional

Kompas, 31 Oktober 2018
#opinikompas #‎dewanriset #kementerianrisetdandikti 
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: ”Sura Dira Pangastuti” (MOCHTAR PABOTTINGI)

Laku pangastuti terutama di tengah gejolak "tahun politik" baru bisa ampuh jika kita memahami genealogi termutakhir dari laku sura dira.

Satu sumber penting dari genealogi demikian diberikan oleh Giovanni Sartori. Pada tulisan "Video-Politics and Video-Democracy" (1994), Sartori melakukan refleksi filosofis yang andal. Dinyatakannya bahwa status kemanusiaan kita telah tergelincir dari sifat homo sapiens ke sifat homo videns. Lewat meluasnya adiksi pada televisi, dia sudah mengantisipasi akselerasi kemerosotan homo sapiens lantaran revolusi media sosial satu dasawarsa kemudian.

Sartori menguraikan bahwa homo sapiens bersaksi atas dunia yang disimaknya dengan modal akal budi, sedangkan homo videns bersaksi atas dunia yang ditontonnya semata dengan naluri. Homo videns adalah makhluk produk televisi yang jiwanya "tak lagi bekerja dengan konsep-konsep, dengan pandangan-pandangan abstrak, tetapi dengan imaji-imaji terberi". Beda dengan homo sapiens, mentalitas homo videns tak kuasa membaca hal-hal hingga di balik atau di seberang imaji-imaji itu.

Homo videns sebagai satu versi manusia modern hanya mampu "menonton", tak mampu "menyimak". Dia tak lagi sanggup memahami aneka relasi eksistensial, apalagi mencapai abstraksi universal dan komprehensif. Lantaran mentalnya mengerdil, dia bereaksi terhadap dunia sekitarnya kembali hanya secara naluriah. Serbuan imaji-imaji tanpa batas dan saringan telah menumpulkan daya pikir manusia terkini dan membuat perilaku mereka kembali sulit dibedakan dari perilaku manusia terkuno.

Pada saat-saat tanjakan kontestasi politik, bacaan orisinal Sartori ini bisa menjadi penjelas keluasan dan kedalaman ranah sura dira yang ditimbulkan oleh manusia homo videns serta perkalian negativitasnya. Terutama degradasi dari homo sapiens ke homo videns—dari manusia yang sanggup "membaca" ke manusia yang hanya bisa "menonton"—inilah yang memarakkan rantai laku sura dira yang kini juga cenderung merubung bangsa kita.

Kini homo videns bisa disebut sebagai sumber utama politisasi agama, fanatisme, populisme, fundamentalisme, radikalisme, politik identitas, fabrikasi hoaks, dan waham "pasca-kebenaran (post truth)". Begitu pula miopia, prasangka, laku grusa-grusu, sifat rawan fobia, ucapan temperamental, dalih-dalih ad hoc yang tak bisa dipertanggungjawabkan, serta segala wacana vulgar dan tindakan hasil pikiran pendek atau pretensi monopoli kebenaran. Dalam kontestasi politik, belasan laku sura dira ini hadir bersisian, saling bersenyawa, sambung menyambung mempertebal kegelapan jiwa homo videns.

Semua laku buruk itu pada hakikatnya tersungkup dalam sifat egosentrisme eskapis, yang lahir dari kontradiksi antara keniscayaan untuk bertahan hidup dan ketakmampuan mencerna atau merundingkan hal ihwal di seberang tumpuan ego. Inilah yang melahirkan praksis di mana segenap yang benar atau bajik tiada hentinya dipelintir. Memakai istilah keren yang menipu seolah hal baru, waham "pasca-kebenaran" hanyalah alias dari pelintiran kebenaran, sama halnya "pasca-modernisme" pelintiran modernisme.

Bermula dari menolak tiap otoritas mapan dan narasi besar, dua-duanya jadinya menolak pengukuhan otoritas dan narasi apa pun. Sulit dibedakan dari sofisme Yunani Purba, ia menyuburkan pelbagai laku dan pandangan liar, anarkisme, primitivisme, bahkan selalu siap berpilin praktis dengan semua laku benci, epidemik korupsi, dan sikap anti keadaban.

Sudah pasti kebencian antarkelompok politik akan mudah marak dan merajalela sebab di tengah keniscayaan berinteraksi dalam banjir informasi, cakrawala mayoritas kelompok selaku homo videns terpenjara pada kekeringan dunia imaji mereka sendiri. Yang berlaku di sini mungkin adalah perpaduan antara apa yang disebut Nietzsche hawa nafsu untuk berkuasa (Wille zur Macht) dan "naluri hewan kelompok" (Herdentrieb). Tak mampu atau tak sudi saling menyimak, di sini tiap kelompok pun sama hausnya akan harta dan kekuasaan dan sama terpanggilnya pada laku pongah dan kekerasan.

Lantaran tiap imaji pada diri tiap homo videns hanya dilihat sebagaimana yang terberi, kebenaran sebagai suatu konsep yang reflektif-refleksif mustahil dicapai. Di sini mentalitas homo videns kembali ke taraf termentah, yaitu dalam status alam hewani (the state of nature). Tangkapan "kebenaran" lintas ataupun intra-kelompok atas suatu masalah mengalami multiplisitas kacau yang, sesuai dengan sifat dunia hewani, semuanya bersifat ad hoc, arbitrer, dan saling tolak. Begitu ia hendak direlasikan atau dijadikan alat penghantam lawan dalam pergulatan yang saling menegasikan, ia pun meniscayakan laku pelintar-pelintiran kebenaran.

Paham dan kerinduan perihal kesebangsaan, kesemanusiaan, apalagi kesemestaan persaudaraan tak lagi dipahami apalagi diperlukan. Telah dicampakkan maxim Immanuel Kant bahwa kebajikan suatu tindakan mestilah diukur dari potensi validitas universalnya. Dalam kondisi demikian, pasti maraklah laku homo homini lupus atau, dalam ungkapan Bugis, ade sianre bale—laku saling memangsa seperti segenap ikan dalam samudra. Sebab bagi hewan kelompok mana pun, yang jadi tujuan hanyalah bagaimana mematikan lawan demi merebut tiap bentuk kekayaan ataupun tiap ruang kekuasaan.

Bangsa kita beruntung memiliki banyak pepatah hikmat dengan kandungan luhur universal. Dari kultur Jawa, kita antara lain bersua dengan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti yang bermakna bahwa segenap laku angkara akan lebur oleh laku kasih, lembut, bajik, dan sabar. Empat kata penunjuk kemuliaan itu terangkum dalam kata pangastuti. Sulit bagi kita untuk tidak menangkap kata pangastuti di luar pancaran cahaya iman.

Saya percaya bahwa laku pangastuti sejati hanya bisa lahir dari keterlatihan dalam amalan pembersih kalbu, dari nurani bening berkat ketertempaan di alam hening—dari jiwa yang selalu rindu pada swara ing asepi yang dulu juga dirujuk Clifford Geertz. Sebab, di situlah manusia melebur segala keangkuhannya di depan Zat Yang Maha Menggetarkan. Nabi Muhammad sendiri, yang dipercayai umatnya sebagai paragon budi pekerti, adalah seorang petapa, di dalam ataupun di luar goa. Umumnya umat Islam percaya bahwa Allah-lah pemilik termaha segala jenis keutamaan yang terdeteksi rasa dan rasio, termasuk sifat Kasih, Lembut, Bajik, dan Sabar. Dan mahkota dari progresi Muslim-mukmin-muhsin dan segenap manusia suci adalah laku pangastuti.

Al Quran sangat menekankan pentingnya menjelajahi dan menyimak aneka peradaban lintas zaman dan benua. Ini berarti pemuliaan laku menuntut ilmu dan orang berilmu. Idealnya tak lain agar homo sapiens tetap homo sapiens—makhluk berakal budi yang menyadari dan menghidupi diri sebagai makhluk cahaya yang terus menyongsong Sang Maha Cahaya.

Wacana politik tak bermutu

Laku pangastuti sarat simak dan sarat kasih itulah yang paling kita butuhkan di Tanah Air, lebih-lebih di musim tanjakan kontestasi politik. Kini belasan laku politik sura dira pun terhela ke dalam aneka wacana politik bermutu rendah. Pada momen kontestasi politik yang sejatinya adalah perhelatan nasion-demokrasi, yang digalakkan justru politik identitas. Wacana buruk juga tecermin pada laku meniru- niru Donald Trump yang kian mempertajam perpecahan bangsa Amerika dan merawankan tatanan dunia, apalagi dengan meneriakkan "Yang penting kau menang, bagaimanapun caranya".

Idem ditto adalah rendahnya mutu kampanye di bidang ekonomi. Yang dituju adalah faset-faset atau soal-soal dalam bentuknya yang paling vulgar dan mentah, suapan untuk populisme vulgar-mentah manusia-manusia homo videns. Tak tampak usaha untuk tajam dan utuh menyimak masalah. Tak disorot ancaman kembar mahabiang termutakhir dari kesenjangan ekonomi, yaitu oligarki dan neoliberalisme. Jika ini tak tegas-cerdas diantisipasi, kembar celaka itu akan menggiring kita jadi kere dalam cengkeraman totalitarianisme yang lambat laun akan membunuh nasion-demokrasi kita sekaligus, termasuk ideal-ideal yang paling kita junjung dalam cita-cita kemerdekaan.

Membuka mata kita dari kepercayaan buta pada pasar, Noam Chomsky menegaskan dalam Profit Over People (1999), bahwa "hampir selalu pasar tidak bersifat kompetitif". Oligarki dan tiap perusahaan raksasa meraup keuntungan serakah semaunya. "Mereka," tulis Robert W McChesney, "adalah organisasi totaliter, yang berkiprah pada jalur-jalur nondemokratis." Itu "sangat menggerogoti kemampuan kita membina masyarakat demokratis". Sepak terjang mereka yang maha memiskinkan lebih-lebih lagi berkontribusi menyebarkan pelbagai laku sura dira ke seluruh lapisan masyarakat.

Kita juga perlu mempertanyakan berlanjut-tidaknya imposisi kebijakan dualisme ekonomi kolonial ke dalam perekonomian nasional kita. Kebijakan dualisme inilah yang dulu disanjung De Kat Angelino (1931) dan JH Boeke (1953) atau yang dibongkar JS Furnivall (1939). Ini pun mahabiang kesenjangan ekonomi. Dari artikel cemerlang Ben Anderson, "Old State, New Society: Indonesia's New Order in Comparative Historical Perspective" (1981), kita juga tahu bahwa sebagaimana Orde Baru mengadopsi model kebijakan politik Hindia Belanda, ia pun mengadopsi model kebijakan ekonominya.

Bermula dari sistem ekonomi kolonial, pelaku ekonomi besar di sektor perkotaan dan/atau modern terus diperkaya sedang pelaku ekonomi kecil di sektor perdesaan dan/atau tradisional—lokus mayoritas kita—terus dimiskinkan. Jika betul, ini kudu mutlak diakhiri. Begitu pun pricing policy asimetris kota vs desa, aneka permainan ekspor-impor yang selalu merugikan petani, dan aneka distorsi, konversi, serta diskrepansi alokasi lahan terutama oleh para penghalal cara di kalangan pengembang dan pemilik perkebunan. Juga rangkaian proyek reklamasi pantai pengundang mahabencana lingkungan hampir di seluruh wilayah Tanah Air. Kebijakan ekonomi kolonial Orde Baru inilah penyebab loncatan eksponensial dari ketimpangan penguasaan aset ekonomi, khususnya lahan bangsa kita.

Di atas semuanya, kita menghendaki kebebasan dari obsesi pada pertumbuhan yang justru lebih banyak memiskinkan rakyat. Joseph Stiglitz (2003), misalnya, menganjurkan rangkaian kebijakan ekonomi cerdas penyusut kemiskinan yang sekaligus menaikkan pertumbuhan. Sebelumnya, preskripsi senada telah disampaikan Amartya Sen (1999): "Penyingkiran aneka bentuk rantai kemiskinan itulah substansi pembangunan".

Sulit untuk tak mengindahkan suara profetis Karl Marx bahwa di depan ofensif akumulasi modal segala sesuatu akan "menguap ke udara". Tiap sarana media sosial adalah juga alat ofensif akumulasi modal—pembiak homo videns. Kian membiak homo videns, kian santer pula akumulasi modal. Di depan hukum besi ini, seluruh laku sura dira di pelbagai bidang ekonomi-politik, termasuk re-boost perbudakan seks dan perdagangan manusia, adalah jalan untuk "menguap di udara".

Dalam bahasa Marx (Capital I, 1967), "Vampir tak pernah melepaskan cengkeramannya atas manusia selama pada dirinya masih ada otot, saraf, dan tetesan darah untuk dieksploitasi". Kian tinggi tensi kontestasi politik, kian perlu kita menjaganya dari aneka distorsi. Kian kencang kampanye picik dengan kacamata kuda, kian perlu pula kita menjernihkan nalar dan memperluas cakrawala. Kian merajalela laku muslihat angkara, kian perlu kita bertolak dari alam hening. Kian kuat fiksasi pemberhalaan pada harta dan kekuasaan, kian perlu kita membebaskan jiwa dari naluri hewani.

Singkatnya, kian sura dira, kian pangastuti. Tentu dengan dua piwanti. Pertama, kendati menjadi pembiak terbesar homo videns, televisi dan/atau medsos bukanlah pembiak tunggal dari laku sura dira di zaman modern. Kapan pun, kebiadaban memang selalu membayangi peradaban. Kedua, laku pangastuti bukan panasea, juga bukan solusi tanpa syarat atas seluruh laku sura dira, terutama menyangkut kejahatan luar biasa. Ia sungguh harus ditopang dengan setegar mungkin menegakkan negara hukum.

Mochtar Pabottingi Penyair Profesor

Kompas, 31 Oktober 2018
#opinikompas ‎#suradirapangastuti 
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Keberagaman Etnografis Bangsa (TEUKU KEMAL FASYA)

KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH (DRI)

Penonton antusias menyaksikan lomba Pacuan Kuda Tradisional Gayo yang diselenggarakan untuk memperingati HUT RI ke-70 dari 17-23 Agustus 2015 di Lapangan Pacuan Kuda Belang Bebangka, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, Sabtu (22/8). Pacuan Kuda Tradisional Gayo merupakan acara budaya masyarakat etnis Gayo, meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Acara budaya itu diselenggarakan setahun dua kali saat ini, yakni HUT RI dan HUT kabupaten/kota Bener Meriah atau Aceh Tengah atau Gayo Lues. 

Tahun lalu sejumlah antropolog di Indonesia diminta menulis dalam sebuah antologi bertema "Budaya Unggul Nusantara". Buku ini diharapkan menjadi ensiklopedia etnografi Indonesia dengan konsep naratif yang lebih tebal. Penulis sendiri diminta memilih salah satu budaya unggul dari etnis Aceh.

Penulis memillih menggambarkan tentang Gayo: etnis kedua terbesar di Aceh yang kerap disalahpahami keberadaannya. Provinsi Aceh dianggap memiliki sembilan etnis tempatan (host ethnics) berdasarkan struktur bahasa. Di antara sembilan itu, ada etnis yang paling "ringkih", yaitu Haloban yang bertempat di Pulau Banyak, Singkil, yang jumlahnya hanya ribuan.

Keunikan Gayo

Salah satu keunikan masyarakat Gayo ialah tidak mengenal sistem feodalisme. Struktur geologi dan geografi dengan model pertanian kering di dataran tinggi membuat kultur Gayo berbeda dengan Aceh pesisir.

Sifat antifeodalisme masyarakat Gayo terbentuk sejak lama. Dalam catatan Snouck Hurgronje, masyarakat Gayo tidak membedakan struktur adat dan politik secara ketat. Kekuasaan reje atau kepala desa terlihat luas dengan "batas-batas republik miniaturnya". Ia tidak diatur oleh sistem kekuasaan yang tersubordinasi dengan kekuasaan politik-kultural lebih tinggi, seperti uleebalang yang menguasai sagi atau nanggroe di Aceh pesisir

Meskipun demikian, struktur kekuasaan ini tidak berlangsung secara turun-temurun. Ia dipilih dalam mekanisme musyawarah di antara para saudaro—sistem kekerabatan asli berbasis pertalian darah dari sebuah desa.

Secara umum Gayo dipahami pada tiga hal. Pertama, urang Gayo (masyarakat Gayo), yaitu yang didefinisikan secara sosio-biologis sebagai masyarakat asli Gayo. Kedua, tanoh Gayo (tanah Gayo) meliputi seluruh wilayah kultural, seperti Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Timur (Lokop), Kabupaten Aceh Tenggara (Alas), Kabupaten Aceh Tamiang (Kalul), dan Kabupaten Nagan Raya (Lhok Gayo).

Terakhir, basa Gayo (bahasa Gayo) atau yang menguasai bahasa Gayo (Yusradi Usman Al-Gayoni, 2014). Apakah etnis Jawa atau Aceh jika tinggal di tanah Gayo dan fasih berbahasa Gayo, maka menjadi Gayolah ia?

Budaya dan agama di Gayo tidak mengalami kontestasi nilai secara sengit. Islam menyatu pada dua persilangan, yaitu seni dan adat-tradisi (edet). Lokalitas Gayo memiliki ruang definisi yang solid tentang ritual keagamaan dan ekspresi kesenian yang terbentuk secara harmonis.

Hal itu bisa tergambar pada suasana subuh di dataran tinggi Gayo. Lantunan ayat Al Quran dan shalawat dari masjid dan surau (mersah) terdengar lebih lokal, ritmis, ada nuansa liris, dan etnografis. Alunan zikir itu bertambah khidmat dengan pengaruh irama didong, salah satu seni tari terkenal di Gayo, di tengah balutan alamnya yang sejuk. Senandung zikir itu ibarat nyanyian jiwa yang meneduhkan. Mereka mampu melepaskan diri dari kungkungan Arabesque atau langgam Timur Tengah (Bowen, 1998).

Bagi masyarakat Gayo, apa yang baik secara tradisi, maka baik pula sebagai dunia kehidupan. Mereka tak pernah mengutuk tradisi nenek moyang dengan bidah atau sesat. Salah satu tradisi unik adalah penghormatan pada tanaman kopi. Doa dalam bahasa lokal membahana ketika menepuk-nepuk bunga kopi yang sedang merekah.

Mereka menyebut kopi dengan "siti kewe". "Orom Bismilah/Siti Kewe/Kunikahen ko orom kuyu/Wih kin Walimu/Tanoh kin Saksimu/Lo kin saksi kalammu" (Dengan bismillah/Oh tanaman kopi/Kunikahkan engkau dengan angin/Air menjadi walimu/Tanah menjadi saksimu/Matahari menjadi saksi kalammu) (Raihan Lubis, 2017). Mungkin dengan puitika doa itu kualitas kopi arabika Gayo menjadi salah satu terbaik di dunia.

Salah paham etnografis

Kiranya bukan semata etnis Gayo yang kerap disalahpahami. Ada banyak etnis di Indonesia dilihat dengan mata terpicing-picing karena kurangnya pemahaman secara empatik. Padahal, itulah harta karun bangsa ini berupa kekayaan etnografi, keunikan tradisi, keberagaman bahasa lokal dan dialek, serta pluralisme agama dan keyakinan.

Dalam banyak empiris tradisi dan kejeniusan lokal, praksis religius dan kultural itu telah mengalami proses apropriasi kultural: daya pegas, lenting, dan pejal secara bersamaan. Agama tidak merusak tradisi lokal, tetapi disemai dengan langkah apropriatif. Demikian pula ketika berjumpa dengan tradisi lain, yang terjadi adalah "persilangan budaya"—memakai istilah Denys Lombard—dan bukan pertentangan budaya. Islam dan tradisi lebih mungkin bertemu dan bersemi, tetapi Islam dan politik kerap bersungut dan melahirkan permusuhan.

Namun, gemintang adat dan tradisi dalam bingkai multikulturalisme itu mengalami ketegangan ketika reformasi Indonesia lebih mengurusi domain politik dibandingkan dengan budaya. Akibatnya, muncul "kekerasan monolitik" sejak demokrasi elektoral diberlakukan.

Pemilihan kepala daerah dan presiden secara langsung cenderung menegangkan urat-urat etnografis kita. Asimetrisme politik menghadirkan asimetrisme kultural. Salah satu yang paling menahun ketika terjadi apa yang disebut dengan "ketepatan politis" dalam perbedaan budaya (political correctness) (John Rachman, Identity in Question, 1995).

Praktik "ketepatan politis" ini akhirnya mengabaikan ungkapan berbeda dari ragam budaya. Salah satu keganjilannya adalah penghinaan atas kebudayaan lain/minoritas. Masyarakat cenderung tidak kritis pada keberagaman, skeptis pada perbedaan, dan anti dengan sejarah dan kebudayaan nenek moyangnya. Indonesia dekat dibekap, Arab dan Barat jauh didekap.

Politik model seperti ini akhirnya merusak konsep pedagogi dan kematangan bangsa yang selalu berhasil menemukan titik ekuilibrium untuk harmoni pascakonflik.

Maka, ketika muncul kritikan atas bacaan "Al Fatihah" Presiden Joko Widodo, tidak lain sikap kekanak-kanakan sekaligus kebebalan di tengah kenyataan keberagaman antropolinguistik kita. Pemaksaan ketepatan ungkapan bahasa satu dengan lainnya mengabaikan apa yang di dalam kajian linguistik disebut distinctive unit atau karakter generik setiap bahasa. Tak ada orang asing yang bisa persis sama seperti penutur asli.

Masyarakat Jawa kesulitan membedakan huruf "ha" dengan "kha" atau "ra" yang terucap "ro". Ketika mengucapkan "amin", lidah Makassar kerap membunyikan fonem "g" di ujung ucap atau dengung. Makhraj orang Aceh kerap menyebut "ta" tidak selempang Ustaz Hartanto Saryono, tetapi ada unsur fonem Tamil dengan kontras "ta" pada langit-langit keras.

Apa yang ingin dipermasalahkan dengan keragaman fonetik ini? Bukankah keberagaman bisa menjadi rahmat jika kita saling menghargai dan menjadi laknat jika saling mengolok-olok? Momentum elektoral bisa berlangsung seratus kali lagi, tetapi keberagaman bangsa jangan sampai tergadaikan, apalagi dengan cara murahan.

Teuku Kemal Fasya Antropolog dan Nahdliyin Aceh

Kompas, 31 Oktober 2018
#‎opinikompas #Gayo #etnografis 
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Sistem Integritas Pemilu (REZA SYAWAWI)

KRISTIAN OKA PRASETYADI UNTUK KOMPAS

Suasana ruang rapat Komisi VII DPR, Rabu (24/10/2018). 

Dalam sistem demokrasi, parlemen atau badan legislatif adalah pilar utama Sistem Integritas Nasional. Sebagai badan pengawas, pengatur, dan wakil, parlemen adalah pusat perjuangan untuk memelihara tata kelola pemerintahan yang baik dan untuk memberantas korupsi.

Maka, parlemen harus diisi oleh orang-orang yang punya integritas. Sebab, jika parlemen dilihat sebagai orang yang tidak bermoral, yang membeli, menyuap, memaksa, dan melakukan hal-hal tercela lainnya untuk mendapatkan kekuasaan, parlemen tak akan dihormati, tak akan mampu mengemban tugasnya dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang baik, melawan korupsi meski ada keinginan untuk melakukannya sekalipun (Jeremy Pope, Confronting Corruption, The Elements of National Integrity System, 2000).

Pendapat tersebut patut disandingkan dengan konteks dan problem korupsi di Indonesia. Berdasarkan data perkara korupsi yang ditangani KPK, dalam kurun 2004-2017 ada 144 anggota DPR/DPRD yang jadi pelaku dalam kasus korupsi. Dari segi jumlah, data ini menempati urutan ke-3 terbanyak setelah pelaku dari pihak swasta (184 pelaku) dan birokrat (175 pelaku). Bahkan, dalam kasus terakhir ada puluhan anggota DPRD di Sumatera Utara dan Kota Malang yang terserat dalam pusaran kasus korupsi.

Situasi ini relevan dengan hasil survei Corruption Perception Index (CPI) selama dua dekade pasca-Reformasi bahwa problem korupsi di lembaga legislatif telah jadi momok dalam pencapaian tujuan-tujuan demokrasi. Hal senada juga muncul dalam laporan Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2017 yang masih menempatkan institusi politik (partai politik dan lembaga legislatif) sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Kedua hasil riset ini memberikan pesan bahwa titik lemah pemberantasan korupsi adalah lemahnya inisiatif untuk mencegah dan memberantas praktik korupsi politik.

Fakta ini tentu bukan hal yang menggembirakan, padahal sistem pemilu ditujukan untuk menciptakan sistem demokrasi yang menganut nilai-nilai integritas. Lalu, bagaimana memaknai proses pemilu dengan berlandaskan pada prinsip integritas?

Salah kaprah

Dalam praktiknya, muncul inisiatif, baik dari KPU maupun Bawaslu, untuk menyepakati sebuah pakta integritas (PI) untuk mengikat komitmen peserta pemilu, khususnya bagi partai politik. Salah satu kesepakatan yang dianut bersama adalah untuk mencalonkan individu yang memiliki integritas tinggi.

Sebagai alat dalam sistem integritas, ada pemahaman yang keliru ketika konsep PI yang diimplementasikan dalam proses pencalonan anggota lembaga legislatif. Penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu, hanya menafsirkan PI sebagai komitmen moral, kesepakatan tertulis, bersifat sukarela, tidak berimplikasi terhadap reward and punishment.

Padahal, dalam konsep PI yang telah dikembangkan oleh Transparency International sejak tahun 1990-an, tidak hanya sebatas penandatanganan komitmen di atas kertas. Penandatanganan hanya langkah awal, berikutnya yang jauh lebih penting adalah bagaimana komitmen tersebut dapat dijalankan oleh semua pihak.

Sebagai sebuah sistem, PI didesain untuk menempatkan para pihak dalam porsi tugas dan kewenangannya masing-masing agar tujuan bersama bisa dicapai. Bagi KPU, PI adalah bagian utuh dari sistem integritas dalam penyelenggaraan pemilu. Hal tersebut kemudian diterjemahkan dalam peraturan KPU (PKPU) sebagai pedoman dalam proses pencalonan. Karena itu, muncul sanksi ketika ada pihak yang tidak mematuhi komitmen, yaitu dicoret dari daftar calon karena dinilai tidak memenuhi syarat.

Hal berbeda justru ditunjukkan oleh Bawaslu. Komitmen yang telah disepakati oleh semua partai politik peserta pemilu dianggap bukan kesepakatan yang bersifat sebuah mandat, tetapi kesukarelaan. Alhasil, ketika ada pelanggaran komitmen, tidak berimplikasi terhadap hak partai politik dalam mengajukan calon anggota legislatif.

Konsep PI semacam ini jelas salah kaprah. Sebab, bagaimana mungkin membangun sistem integritas, tetapi memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk mengingkari komitmen integritas itu sendiri. Selayaknya sebuah perjanjian, ada tindakan untuk mengikatkan diri pada suatu kesepakatan yang pasti memiliki konsekuensi hukum tertentu.

Posisi KPU dan Bawaslu yang berbeda dalam menyikapi komitmen integritas akhirnya membuahkan hasil dibatalkannya PKPU yang melarang bekas narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam proses pemilu (14/9).

Dalam kacamata korupsi politik, lembaga penyelenggara pemilu jadi sorotan karena merupakan titik masuk kekuasaan dan jadi alat legitimasi untuk memilih pemimpin dalam sistem politik demokrasi (Meutia Ganie R, Rochman Achwan, Sosiologi Korupsi, 2015). Oleh karena itu, penyelenggara pemilu mestinya melihat ini sebagai momentum memperkuat sistem integritas, baik bagi institusinya sendiri, proses dan tata cara penyelenggaraan, maupun bagi peserta pemilu.

Kehadiran lembaga penyelenggara pemilu yang kuat salah satu prasyarat untuk membangun sistem integritas pemilu. Penyelenggara pemilu adalah "kawah candradimuka" untuk menghadirkan peserta pemilu yang memiliki integritas tinggi.

Bawaslu sepatutnya bersama KPU mendesain sistem seleksi yang ketat bagi peserta pemilu yang akan disodorkan kepada publik untuk dipilih. Mereka bertanggung jawab secara moral dan hukum ketika publik justru disuguhi calon anggota legislatif yang terbukti memiliki kadar integritas buruk.

Penyelenggara pemilu tidak bisa bekerja di ruang hampa. Ada konteks korupsi politik yang seharusnya juga jadi beban dalam proses pemilu. Beban yang sesungguhnya bukan hanya dipikul KPU, juga oleh Bawaslu. Problem korupsi politik ini juga tidak bisa hanya dilihat sebagai tugas penegak hukum karena penyelenggara pemilu ternyata turut andil melanggengkan praktik korupsi politik dengan meloloskan calon dengan rekam jejak yang buruk.

Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Kompas, 31 Oktober 2018
#opinikompas #‎pemilu

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger