KRISTIAN OKA PRASETYADI UNTUK KOMPAS

Suasana ruang rapat Komisi VII DPR, Rabu (24/10/2018). 

Dalam sistem demokrasi, parlemen atau badan legislatif adalah pilar utama Sistem Integritas Nasional. Sebagai badan pengawas, pengatur, dan wakil, parlemen adalah pusat perjuangan untuk memelihara tata kelola pemerintahan yang baik dan untuk memberantas korupsi.

Maka, parlemen harus diisi oleh orang-orang yang punya integritas. Sebab, jika parlemen dilihat sebagai orang yang tidak bermoral, yang membeli, menyuap, memaksa, dan melakukan hal-hal tercela lainnya untuk mendapatkan kekuasaan, parlemen tak akan dihormati, tak akan mampu mengemban tugasnya dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang baik, melawan korupsi meski ada keinginan untuk melakukannya sekalipun (Jeremy Pope, Confronting Corruption, The Elements of National Integrity System, 2000).

Pendapat tersebut patut disandingkan dengan konteks dan problem korupsi di Indonesia. Berdasarkan data perkara korupsi yang ditangani KPK, dalam kurun 2004-2017 ada 144 anggota DPR/DPRD yang jadi pelaku dalam kasus korupsi. Dari segi jumlah, data ini menempati urutan ke-3 terbanyak setelah pelaku dari pihak swasta (184 pelaku) dan birokrat (175 pelaku). Bahkan, dalam kasus terakhir ada puluhan anggota DPRD di Sumatera Utara dan Kota Malang yang terserat dalam pusaran kasus korupsi.

Situasi ini relevan dengan hasil survei Corruption Perception Index (CPI) selama dua dekade pasca-Reformasi bahwa problem korupsi di lembaga legislatif telah jadi momok dalam pencapaian tujuan-tujuan demokrasi. Hal senada juga muncul dalam laporan Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2017 yang masih menempatkan institusi politik (partai politik dan lembaga legislatif) sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Kedua hasil riset ini memberikan pesan bahwa titik lemah pemberantasan korupsi adalah lemahnya inisiatif untuk mencegah dan memberantas praktik korupsi politik.

Fakta ini tentu bukan hal yang menggembirakan, padahal sistem pemilu ditujukan untuk menciptakan sistem demokrasi yang menganut nilai-nilai integritas. Lalu, bagaimana memaknai proses pemilu dengan berlandaskan pada prinsip integritas?

Salah kaprah

Dalam praktiknya, muncul inisiatif, baik dari KPU maupun Bawaslu, untuk menyepakati sebuah pakta integritas (PI) untuk mengikat komitmen peserta pemilu, khususnya bagi partai politik. Salah satu kesepakatan yang dianut bersama adalah untuk mencalonkan individu yang memiliki integritas tinggi.

Sebagai alat dalam sistem integritas, ada pemahaman yang keliru ketika konsep PI yang diimplementasikan dalam proses pencalonan anggota lembaga legislatif. Penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu, hanya menafsirkan PI sebagai komitmen moral, kesepakatan tertulis, bersifat sukarela, tidak berimplikasi terhadap reward and punishment.

Padahal, dalam konsep PI yang telah dikembangkan oleh Transparency International sejak tahun 1990-an, tidak hanya sebatas penandatanganan komitmen di atas kertas. Penandatanganan hanya langkah awal, berikutnya yang jauh lebih penting adalah bagaimana komitmen tersebut dapat dijalankan oleh semua pihak.

Sebagai sebuah sistem, PI didesain untuk menempatkan para pihak dalam porsi tugas dan kewenangannya masing-masing agar tujuan bersama bisa dicapai. Bagi KPU, PI adalah bagian utuh dari sistem integritas dalam penyelenggaraan pemilu. Hal tersebut kemudian diterjemahkan dalam peraturan KPU (PKPU) sebagai pedoman dalam proses pencalonan. Karena itu, muncul sanksi ketika ada pihak yang tidak mematuhi komitmen, yaitu dicoret dari daftar calon karena dinilai tidak memenuhi syarat.

Hal berbeda justru ditunjukkan oleh Bawaslu. Komitmen yang telah disepakati oleh semua partai politik peserta pemilu dianggap bukan kesepakatan yang bersifat sebuah mandat, tetapi kesukarelaan. Alhasil, ketika ada pelanggaran komitmen, tidak berimplikasi terhadap hak partai politik dalam mengajukan calon anggota legislatif.

Konsep PI semacam ini jelas salah kaprah. Sebab, bagaimana mungkin membangun sistem integritas, tetapi memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk mengingkari komitmen integritas itu sendiri. Selayaknya sebuah perjanjian, ada tindakan untuk mengikatkan diri pada suatu kesepakatan yang pasti memiliki konsekuensi hukum tertentu.

Posisi KPU dan Bawaslu yang berbeda dalam menyikapi komitmen integritas akhirnya membuahkan hasil dibatalkannya PKPU yang melarang bekas narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam proses pemilu (14/9).

Dalam kacamata korupsi politik, lembaga penyelenggara pemilu jadi sorotan karena merupakan titik masuk kekuasaan dan jadi alat legitimasi untuk memilih pemimpin dalam sistem politik demokrasi (Meutia Ganie R, Rochman Achwan, Sosiologi Korupsi, 2015). Oleh karena itu, penyelenggara pemilu mestinya melihat ini sebagai momentum memperkuat sistem integritas, baik bagi institusinya sendiri, proses dan tata cara penyelenggaraan, maupun bagi peserta pemilu.

Kehadiran lembaga penyelenggara pemilu yang kuat salah satu prasyarat untuk membangun sistem integritas pemilu. Penyelenggara pemilu adalah "kawah candradimuka" untuk menghadirkan peserta pemilu yang memiliki integritas tinggi.

Bawaslu sepatutnya bersama KPU mendesain sistem seleksi yang ketat bagi peserta pemilu yang akan disodorkan kepada publik untuk dipilih. Mereka bertanggung jawab secara moral dan hukum ketika publik justru disuguhi calon anggota legislatif yang terbukti memiliki kadar integritas buruk.

Penyelenggara pemilu tidak bisa bekerja di ruang hampa. Ada konteks korupsi politik yang seharusnya juga jadi beban dalam proses pemilu. Beban yang sesungguhnya bukan hanya dipikul KPU, juga oleh Bawaslu. Problem korupsi politik ini juga tidak bisa hanya dilihat sebagai tugas penegak hukum karena penyelenggara pemilu ternyata turut andil melanggengkan praktik korupsi politik dengan meloloskan calon dengan rekam jejak yang buruk.