Masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan, terutama mengenai defisit, mengundang perhatian banyak pihak termasuk Presiden Joko Widodo.

Defisit tahun 2018 memang relatif besar, ditaksir akan sampai Rp 10 triliun. Pemerintah sudah menalangi Rp 4,9 triliun. Dalam pertemuan di Munas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) 2018, Presiden memberi tugas kepada BPJS Kesehatan untuk menyelesaikan defisit ini, tidak untuk minta dana lagi ke pemerintah.

Mengapa direksi BPJS Kesehatan harus mampu mengatasi defisit ini? Saat ini memang ada pendapat yang  menuntut pemerintah meningkatkan premi, termasuk pembayaran pemerintah ke penerima bantuan iuran (PBI). Namun, masalah tak sesederhana itu. Menaikkan besaran premi melaluilui sumber dana pemerintah mempunyai implikasi menambah ketidakadilan. Apa yang terjadi sebenarnya?

Pendekatan komersial

BPJS Kesehatan, meski dirancang sebagai sebuah asuransi kesehatan sosial, secara praktis di dalamnya menggunakan pendekatan asuransi komersial. Di BPJS Kesehatan ada berbagai segmen yang masuk tiga golongan besar: PBI yang dibayar pemerintah, pekerja penerima upah (PPU) yang dibayar oleh pekerja dan lembaga tempat bekerja, dan pekerja bukan penerima upah (PBPU), yaitu masyarakat yang membayar sendiri dengan 3 level kelas.

Masyarakat bisa memilih kelas di PBPU. Harga premi tertinggi (kelas 1) di kelompok PBPU adalah Rp 80.000. Secara logika, kenaikan premi tentunya berdasarkan pada data segmen mana yang merugikan.

Berdasarkan data dari Wakil Menteri Keuangan yang dibahas di DPR, beberapa waktu lalu, tampak bahwa premi yang dibayarkan pemerintah untuk masyarakat miskin dan tidak mampu (PBI) tidak merugikan. Tahun 2017 masih ada Rp 4,6 triliun yang tersisa. Bahkan, sejak tahun 2014, selalu ada sisa dengan nilai total selama empat tahun sekitar Rp 23,3 triliun.

Peserta PPU di mana ada ASN dan pekerja formal swasta juga tidak merugikan. Selama empat tahun, iuran yang diterima dibandingkan dengan beban yang dikeluarkan BPJS Kesehatan masih ada sekitar Rp 12,1 triliun. Dana yang tidak terpakai di segmennya untuk menutup kerugian segmen lainnya.

Segmen pekerja informal (pekerja bukan penerima upah) bersifat merugikan dengan jumlah sangat besar (minus Rp 16,6 triliun tahun 2017). Total selama 4 tahun ini pekerja informal minus sampai Rp 47,3 triliun.

Tampaklah bahwa sejak 2014, PBPU bermasalah. Data di Kementerian Kesehatan (dibahas di Munas Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia di Makassar tahun 2016) menunjukkan hal serupa. Rasio klaim PBPU di atas 1.300 persen pada 2014, sementara PBI di bawah 80 persen.

Dengan demikian, ada masalah adverse selection di kelompok PBPU, di mana yang mendaftar adalah kelompok yang sakit yang membutuhkan biaya tinggi. Fenomena adverse selection merupakan hal yang biasa terjadi di asuransi kesehatan komersial.

Masalah ketidakadilan

Situasi defisit ini terkait erat dengan keadilan. Siapa penerima manfaat BPJS Kesehatan? Sejak 2014-2016, dana PBI dan PPU masih sisa, sementara PBPU  merugikan. Artinya, dana APBN dan APBD yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu (PBI), sebagian dimanfaatkan oleh peserta PBPU yang relatif lebih mampu. Oleh karena itu, sikap pemerintah tidak menaikkan PBI yang saat ini Rp 23.000 dan PPU, merupakan keputusan tepat.

Sebagai catatan, beberapa pihak menyarankan agar sebaiknya PBI dinaikkan menjadi Rp 36.000. Namun, bukti empiris dari Wamenkeu menunjukkan dana PBI  yang dibayarkan pemerintah untuk masyarakat miskin dan tidak mampu masih cukup.

Pertanyaan lebih lanjut apakah tepat jika dana PBI digunakan oleh masyarakat mampu?

Pasal 14 UU SJSN (2004) menyatakan bahwa penerima bantuan iuran adalah fakir miskin dan orang tidak mampu. Oleh karena itu, berdasarkan UU SJSN, pilihan pemerintah untuk tidak menaikkan premi PBI sudah tepat. Jika PBI dinaikkan, akan semakin banyak dana yang seharusnya untuk masyarakat miskin dan tidak mampu yang dipakai oleh masyarakat yang relatif lebih mampu.

Pekerja formal (PPU) juga tidak bermasalah. Jadi, tidak tepat jika diminta membayar lebih banyak ke BPJS Kesehatan.

Dengan demikian, segmen yang bermasalah adalah PBPU. Maka, pertanyaannya adalah mengapa premi PBPU tidak dinaikkan oleh pemerintah?

Ada banyak alasan untuk tidak menaikkan saat ini. Logika manajemen perlu dipergunakan, yaitu apa penyebab defisit di PBPU. Tarif premi yang rendah dengan paket manfaat pelayanan luas adalah salah satu penyebab. Penyebab lain adalah inefisiensi pelayanan dan masalah peserta PBPU yang tidak aktif.

Dalam hal peserta PBPU, sesuai UU SJSN dan UU BPJS, BPJS Kesehatan punya tanggung jawab mengumpulkan premi  dari masyarakat melalui pembayaran langsung. Tahun 2017, peserta PBPU  25 juta. Berdasarkan data Wamenkeu, peserta yang rutin membayar hanya 54 persen.

Logikanya sebelum premi dinaikkan, masalah pengelolaan iuran PBPU dibereskan dulu, juga masalah inefisiensi pengelolaan BPJS. Ini tanggung jawab BPJS Kesehatan yang harus diperbaiki.

Jika defisit PBPU tetap membesar, kenaikan premi PBI dari APBN-APBD akan dinikmati masyarakat yang relatif lebih mampu. Selain itu, kewajiban BPJS Kesehatan mendanai kebijakan kompensasi untuk daerah yang belum memiliki fasilitas kesehatan memadai untuk memenuhi kebutuhan medis peserta semakin tidak terwujud.

Sebagai catatan, sampai tahun keempat, kebijakan kompensasi yang diperintahkan UU SJSN baru dalam tahap pengembangan. Situasi ini bertentangan dengan UU SJSN dan sila keadilan sosial Pancasila.

Tugas BPJS Kesehatan

Defisit  yang disebabkan kepesertaan perlu ditangani oleh BPJS Kesehatan. Selain langkah peningkatan efisiensi, BPJS Kesehatan harus mengelola peserta PBPU agar defisit di kelompok ini tidak terus membesar. Peserta PBPU perlu diteliti dan dikelompokkan kembali. Peserta PBPU yang tidak membayar teratur benar-benar tidak mampu, perlu dimasukkan ke kelompok PBI dengan didanai pemerintah (APBN-APBD).

Dengan demikian, ada dasar hukum bagi pemerintah untuk membayar premi PBI. Apabila terbukti mampu, peserta PBPU wajib membayar teratur dengan premi yang dinaikkan berdasarkan manfaat yang diterima.

Masyarakat mampu perlu membayar premi dengan teratur, tanpa harus menggunakan dana bagi PBI atau dari PPU yang belum terpakai. Dengan demikian, diharapkan terjadi keadilan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.