Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 Desember 2017

ARTIKEL OPINI: Keluar Waktu Kultural (ACEP IWAN SAIDI)

Tiba lagi kita di pergantian tahun. Jika kita selalu sebut tahun yang akan dimasuki sebagai tahun baru, itu berarti bahwa tahun yang ditinggalkan sebagai tahun lama. Akan tetapi, tidak ada dalam pengetahuan masyarakat tentang tahun lama, setidaknya ia tidak pernah disebut.

Meminjam Jung (1990), hal ini bisa jadi merupakan ketidaksadaran kolektif tentang sebuah keyakinan bahwa masa depan adalah harapan, sedangkan masa lalu kesuraman. Harapan harus ditumbuhkan, kesuraman harus ditimbun. Inilah konotasi waktu yang terus berulang. Inilah mitos waktu (Barthes, 1976).

Dalam mitos waktu demikian, imaji penutur kiranya mengidentifikasi bahwa waktu melintas di atas interval linearitas. Ia membentang dari belakang ke depan. Bersama waktu, masa depan disongsong. Di situ, hidup manusia dilihat sebagai urutan peristiwa dalam narasi (Genette, 1989). Catatan seluruh urutan peristiwa itu lantas membentuk pengetahuan yang disebut sejarah.

Perspektif penghadiran "entitas waktu" pada linearitas sejarah tersebut dalam berbagai hal sering menyebabkan keengganan melihat ke belakang. Masa depanlah yang cenderung didengungkan. Itu sebabnya, sekali lagi, perayaan tahun baru lebih disukai ketimbang mengevaluasi masa lalu (tahun lama). Paling banter, tahun lama hanya dilihat sebagai sebuah kaleidoskop.

Membayangkan kemajuan

Itulah cara manusia modern menyikapi waktu. Modernisme, yang menjadi basis filosofi paradigma modern, mengajarkan bahwa masa lalu itu tidak perlu. Modernisme itu antisejarah, antitradisi (Barret, 1997). Pada percaturan global, perbincangan mengenai hal ini memang sudah kedaluwarsa. Pun demikian di sini, bagi segelintir pemikir, tema di atas juga sudah lusuh. Para seniman kontemporer telah lama hengkang dari perspektif demikian.

Akan tetapi, dalam kehidupan keseharian berbangsa, modernisme telah menjadi paham "melaten", menjadi semacam iman yang menubuh (embodiment). Ini karena lembaga pendidikan kita mengajarkannya hingga kini, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Kurikulum pendidikan sekolah dasar hingga perguruan tinggi boleh berganti, tetapi modernisme sebagai basis filosofisnya bergeming. Kita masih membayangkan kemajuan sebagaimana dulu dibayangkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Kita harus mengejar kemajuan di depan, yang telah dicapai bangsa lain.

Itu sebabnya, visi universitas adalah  menjadi kelas dunia. Sementara program studi yang fokus kepada kebudayaan sendiri tetap menjadi periferi. Di sekolah menengah, pengetahuan dan kekayaan tradisi masih tetap saja ditempatkan sebagai muatan lokal. Terdapat semacam ketakutan bersama, jika tidak menjadi maju seperti bangsa yang diandaikan maju itu, kita akan tergilas.

Oleh sebab itu, ukuran pencapaian pembangunan dalam berbagai bidang adalah nomor urut pada daftar hadir dunia, bukan kemandirian diri yang kokoh sebagai bangsa berkarakter. Presiden Jokowi mungkin menyadari hal ini sebagai kekeliruan sehingga ia selalu menggemborkan pendidikan karakter untuk merevolusi mental. Tapi, bagaimana mentalitas dan karakter bisa dibangun jika kultur dilupakan.

Identitas yang dibayangkan

Ambisi menjadi maju dalam pengertian tersebut akhirnya menyeret kita keluar dari apa yang ingin saya sebut "waktu kultural" yang terbingkai dalam jam kebudayaan. Kita keluar dari situ seraya membayangkan sebuah tempat yang bisa diraih sebagai alamat baru, identitas yang dibangun dari sebuah dinamika tidak berkesudahan: bangsa maju dengan tingkat fleksibilitas yang tinggi. Imajinasi ini tidak hanya milik pemerintah, tetapi juga telah merupakan "kosakata" populer masyarakat.

Tentu kepemilikan pada daya fleksibilitas yang tinggi tersebut penting, tetapi satu hal telah dilupakan, yakni fleksibilitas itu bukan kekuatan tanpa modal dasar. Dengan kata lain, ia tidak dimulai dari ruang kosong. Beranalogi kepada Deleuze dan Guattari (1989), dalam superioritas wacana sosial (baca: global) yang mendominasi, sejatinya kita tetap memiliki "tubuh tanpa organ yang anti-oedipus" yang bersumber dari diri sebagai subyek yang terus menginterupsi.

Deleuze mengidentifikasi "hasrat skizoprenik" dalam tubuh tanpa organ sebagai kebebasan dan keliaran diri. Saya ingin menyebutnya sebagai kebebasan (ekspresi) kultural yang telah meng-alamiah (natural), yang secara genetis diwariskan dari generasi ke generasi. Ia tidak boleh punah apalagi dibuat menjadi punah. Alih-alih demikian, ia harus terus-menerus dibangkitkan menjadi semacam atavisme (penghidupan roh lama pada kebaruan).

Jika kita memaklumi bahwa kebudayaan yang ideal hari ini adalah sebuah instabilitas tak berkesudahan, ekspresi kultural sebagai atavisme itulah yang harus terus-menerus menjadikannya berada dalam ketidakstabilan tadi. Dengan kata lain, dalam tataran global, kebudayaan kita harus terus-menerus menjadi "pengganggu", bukan sebaliknya. Pada titik ideal dalam politik identitas, fleksibilitas adalah daya untuk mewarnai, bukan diwarnai; kekuatan memanggil, bukan dipanggil.

Keberagaman antropologis

Dengan cara itu, hemat saya, kita bisa menikmati pergantian tahun dalam konteks waktu kultural tadi. Harus dipahami bahwa waktu kultural kita tidaklah bergerak di atas interval yang linear, tetapi pada garis yang melingkar. Saya tidak sedang mengatakan bahwa sejarah selalu berulang. Hal yang ingin disampaikan adalah situasi bahwa sebenarnya kita tidak sedang hidup pada abad ke-21, tetapi dalam 21 abad sekaligus.

Di negeri ini, tradisi dan modernitas hidup berdampingan. Fetisisme antropologis dan fetisisme komoditas campur baur. Tuhan klenik dan Tuhan cyborg saling berkelindan. Indonesia adalah negeri keberagaman pada arti yang sebenarnya.

Fakta keberagaman sedemikian sejatinya bukan permasalahan. Sejak awal sejarah, kita telah lahir sebagai bangsa berumpun-rumpun. Keberagaman adalah soal hubungan dalam keberumpunan, relasi dalam kolektivitas. Relasi ini diniscayakan muncul oleh keikhlasan, oleh kebesaran hati untuk tidak membandingkan satu dengan yang lain. Di situ, keberbedaan dilihat sebagai ciri khas kelompok.

Berdasar hal itu, berabad lamanya keberbedaan telah diterima dengan mutlak. Tidak ada upaya saling memaksa, bahkan sekadar memengaruhi agar yang satu mengikuti yang lain. Orang Sunda
tidak pernah meminta orang Batak menjadi Sunda, misalnya. Jika pun terdapat kesalingpengaruhan, dasarnya adalah cinta.

Pernikahan kultur antara Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu (keluarga Presiden Jokowi) tahun ini bisa ditunjuk sebagai contoh. Penambahan gelar Siregar pada Kahiyang adalah peleburan keberbedaan dalam kesadaran kultural. Inilah keberagaman antropologis. Hubungan antaretnik sejak berabad lalu telah memberikan pelajaran ini.

Keberagaman politis

Namun, kini kita acap gagap melihat keberagaman. Ini karena, di luar waktu kultural, keberagaman tidak lagi bertumpu pada nilai-nilai kultural. Alih-alih demikian, tumpuan keberagaman kini adalah kepentingan. Saya ingin menyebutnya sebagai keberagaman politis. Dalam keberagaman politis, posisi diri di hadapan orang lain menjadi fokus utama.

Kita menghargai keberbedaan, tapi dalam relasi itu diri sendiri
(dapat dibaca: kelompok dengan homogenitas kepentingan) harus lebih unggul. Relasi ini lantas disahkan bersama dengan istilah "kompetisi".  Sejauh ini, keberagaman politis sedemikian memang tetap bisa dipersatukan. Tapi,
dasar kebersatuannya juga politis. Lihatlah, kita dapat bersama dalam keberbedaan semata-mata diikat oleh fakta politis bahwa kita hidup di sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berkali-kali ikatan itu hendak lepas,
bukan?

Kehendak diri untuk unggul dalam keberagaman sedemikian lagi-lagi merupakan produk pendidikan modern. Dapat diperiksa, sistem pendidikan modern kita cenderung mencetak  individu unggul ketimbang membangun kultur kebermanfaatan dalam kebersamaan. Benih-benih intoleransi bisa jadi juga berasal dari sini. Tentu ini sebuah ironi. Jam pelajaran sekolah menjadi momen bagi siswa untuk keluar dari waktu kebudayaan dirinya sendiri. Sudah sedemikian jauh. Tapi, tentu kita masih bisa berharap. Selepas jam istirahat, setelah tahun berganti, kiranya kita bisa kembali masuk ke dalam pusaran waktu kultural kita.

Selamat Tahun Baru!

ACEP IWAN SAIDI, Pembelajar Semiotika, Dosen di ITB

Kompas, 30 Desember 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Masalah Pengaderan Politik Bangsa (M ALFAN ALFIAN)

Membaca kembali uraian ilmuwan politik Indonesia generasi pertama Deliar Noer, sampailah kita pada kalimat, "Pemunculan pemimpin hanya mungkin dengan adanya kebebasan". Kalimat itu muncul dalam bukunya, Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa (2001). Apa yang disinyalir doktor ilmu politik lulusan Universitas Cornell ini tidaklah keliru dalam konteks demokrasi. 

Kita dapat membacanya dalam pengertian bahwa tantangan pemunculan pemimpin di alam ketidakbebasan berbeda dengan dalam suasana demokrasi. Di era kebebasan seharusnya kita lebih mudah menghadirkan pemimpin. Namun, justru ketika kita masuk dan berada di era demokrasi, problem pengaderan tidak semulus bayangan semula. Tak mudah menghadirkan pemimpin bangsa. 

Iklim kebebasan telah direspons oleh munculnya berbagai partai politik. Hal yang lazim ini mengingatkan masa awal kemerdekaan ketika  partai-partai berkembang dalam corak ideologisnya. Pola pengaderannya pun bernuansa ideologis.

Deliar Noer mencatat mengemukanya pola kepemimpinan masa revolusi pasca-kemerdekaan, di mana calon-calon pemimpin harus melewati fase magang atau latihan. Dedikasi pada partai atau organisasi pun menguat. Para tokoh masa magang itu berbeda dengan para seniornya yang telah ditempa ujian politik sebelum kemerdekaan. Pola magang bertujuan menguji kesetiaan sekaligus peningkatan kapasitas politik. Partai-partai berlomba menghadirkan kader unggulan dalam kontestasi ataupun mengisi jabatan publik.

Namun, sejarah kepolitikan Indonesia yang begitu dinamis di era Demokrasi Parlementer berubah ke fase-fasenya yang relatif statis pada Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Peran sentral negara, kalau bukan elite kekuasaan, sangat memengaruhi pola pengaderan politik di partai-partai dan masyarakat. Iklim ketidakbebasan tidak menjamin munculnya sosok pemimpin independen, kecuali yang serestu sentral elite kekuasaan. Pada masa Orde Baru pendekatan korporatis diterapkan. Pewadahtunggalan berbagai kegiatan dan profesi dilakukan agar mereka mudah dikontrol negara. Seleksi kepemimpinan hampir selalu melalui campur tangan negara.

Kendati demikian, antitesisnya muncul justru dari ranah masyarakat sipil (civil society). Ruang kebebasan yang sempit mampu memicu kepemimpinan perlawanan. Namun, mereka sekadar kelompok penekan yang marjinal. Negara terlalu kuat masa itu kendati akhirnya masyarakat sipil mampu mendorong perubahan politik ke era reformasi. Dampak sentralitas elite kekuasaan dan kuatnya negara Orde Baru yang mampu membentuk kultur pengaderan politik sesuai caranya masih kuat di era kebebasan dewasa ini.

Paradoks

Apa yang kita jumpai sekarang masih diwarnai paradoks. Era kebebasan sudah terjadi, tetapi pengaderan tidak optimal. Apabila dibandingkan dengan pola kepemimpinan masa revolusi yang berpola magang, nyaris hal itu tidak begitu penting lagi kini.

Para elite partai menganggap pengaderan penting, tetapi mereka lebih meyakini hukum pasar. Dalam konteks kontestasi, kader internal sering kali tidak dianggap penting manakala terdapat tokoh luar atau dari partai lain yang direkomendasikan lembaga survei lebih tinggi elektabilitasnya.

Kalau dulu, dedikasi dan loyalitas itu penting dilakukan kader ke partai, lantas partai pun konsisten dalam memberikan insentif politik, pun tak takut kalah dalam kontestasi karena barisannya kuat, sekarang nyaris tidak penting lagi. Banyak kasus memberi tahu publik bahwa aspek dedikasi dan loyalitas yang telah dipenuhi oleh kader partai tidak memperoleh balasan yang sepadan dari elite kekuasaan partai yang berpola pikir pasar.

Elite itu tidak siap kalah dalam kontestasi, lantas sengaja mendukung kader lain yang tidak terkait dengan aspek dedikasi dan loyalitas. Pola pikir pragmatis itulah yang dominan.

Desakralisasi partai

Ada masalah pokok yang diabaikan di sini, ketika ideologi atau setidaknya identitas politik partai tidak lagi dianggap penting. Kini telah terjadi desakralisasi partai dari alat perjuangan ideologis menjadi sekadar kendaraan politik untuk tujuan praktis kekuasaan.

Kekuasaan hanya perlu diraih dan dibagi-bagi untuk memberlangsungkan pembangunan yang nyaris hanya bisa berjalan apabila struktur insentifnya kuat. Yang berkuasa harus pandai-pandai membuat struktur insentif, membagi-bagi ke seluruh pendukung agar stabilitas politik internal terjaga.

Tidak adanya tradisi oposisi politik yang kuat karena budaya dan sistem juga turut berpengaruh pada pola pengaderan dewasa ini. Kekuatan-kekuatan politik di luar atau di dalam pemerintahan rata-rata punya tradisi pengaderan yang sama. Jawaban cukup mudah untuk menjelaskannya, itu semua dampak sistem. Sistemlah yang membuat para elite politik tidak punya pilihan lain selain melakukan hal-hal yang klise dalam politik praktis. Karena ongkos dalam suatu praktik politik non-ideologis dewasa ini begitu mahal, mereka dituntut pandai-pandai beradaptasi.

Apakah gejala demikian menandai krisis pengaderan politik bangsa? Ataukah sekadar fenomena perbedaan pola pengaderan akibat tuntutan yang berbeda? Bahwa telah terjadi krisis pengaderan partai mungkin cukup tepat kendati bisa identik krisis pasokan pemimpin bangsa. Akan tetapi, harus diakui bahwa tuntutan kepartaian dewasa ini berbeda dengan masa lalu.

Partai-partai di Indonesia sudah masuk fase ketiga, fase persaingan atau kontestasi pragmatisme kalkulatif, bukan lagi perjuangan ideologis (fase pertama) dan fase pembangunan yang berpusat negara.

Fase masa kini punya peluang dan konsekuensinya. Karena bukan entitas yang dipandang sakral atau sangat ideologis, dan secara tuntutan harus mampu bersikap terbuka, partai berpeluang akomodatif bagi hadirnya kepemimpinan yang bersumber masyarakat. Sumber-sumber kepemimpinan masa kita bisa menjadi sangat luas, tak hanya penyedia magang di partai maupun organisasi nonpartai, tetapi juga individu-individu kreatif yang hadir dari tradisi era digital baru. Masalah pengaderan politik bangsa pun harus menjadi tanggung jawab bersama.

M ALFAN ALFIAN

Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Kompas, 30 Desember 2017 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Negeri Ramah terhadap Koruptor (SALAHUDDIN WAHID)

Jajak pendapat harian Kompas (7-9 Juni 2017) mengungkap bahwa masalah terbesar bangsa Indonesia ialah korupsi (42,8 persen), penegakan hukum (17,7 persen), kemiskinan (12,9 persen), dan masalah SARA (10 persen). Yang membuat Indonesia mundur ialah korupsi makin meningkat (26,9 persen), ekonomi memburuk (22,7 persen), hukum tebang pilih (12,6 persen), sumber daya alam dikuasai luar negeri (8,4 persen), dan konflik SARA meningkat (8,4 persen).

Sebaliknya jajak pendapat Transparency Indonesia terhadap pengusaha mengungkap bahwa 60 persen responden menganggap korupsi bukanlah masalah penting.

Pendapat masyarakat bahwa korupsi adalah masalah terbesar bangsa Indonesia dan bahwa yang membuat Indonesia mundur ialah korupsi yang semakin meningkat ternyata tidak membuat pejabat jera melakukan korupsi. Operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap ratusan pejabat negara, baik di kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Kasus KTP elektronik yang merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun dan melibatkan banyak pejabat negara yang masih menjabat membuat masyarakat bertanya-tanya, kok semudah itu para pejabat eksekutif dan legislatif mengeruk uang negara dalam jumlah yang amat besar.

Selama ini disebutkan bahwa koruptor adalah orang yang diduga korupsi dan tertangkap atau dibuktikan telah melakukan tindak pidana korupsi. Yang  melakukan korupsi, tetapi tidak tertangkap atau tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi bukan koruptor. Wajar kalau banyak yang menduga bahwa yang tertangkap adalah puncak dari gunung es pelaku tindak korupsi yang tidak tertangkap. Yang tidak tertangkap jauh lebih banyak daripada yang tertangkap.

Mengapa para pejabat negara tidak jera melakukan korupsi? Menurut saya, para pejabat yang melakukan korupsi (dan juga pengusaha yang terlibat) sudah tidak merasa malu, tidak merasa bersalah, dan tidak merasa takut kepada Tuhan. Tidak ada tersangka yang ditangkap KPK yang terlihat merasa malu saat muncul di depan jurnalis televisi.

Setya Novanto tidak merasa malu dan merasa bersalah melakukan tindakan menghindar dari panggilan KPK sehingga mengalami kecelakaan. Yang mereka takuti hanya dimiskinkan. Kalau hanya dihukum ringan dan tidak dimiskinkan, setelah bebas mereka masih bisa menikmati harta haram mereka.

Penyebab lain ialah karena bangsa Indonesia ramah terhadap koruptor. Tidak ada sanksi sosial terhadap para koruptor atau mereka yang layak diduga korupsi atau pejabat yang sudah disebutkan  mempunyai rekening gendut. Mereka masih dihormati masyarakat. Kita juga tidak berhasil menyelesaikan banyak kasus dugaan korupsi sejumlah pemimpin tertinggi di negeri kita pada masa lalu.

Pengalaman negara lain

Di Korea Selatan, Presiden Syngman Rhee didesak untuk mundur dari melarikan diri ke Hawaii pada 1960. Chun Doo- hwan yang memimpin tahun 1979-1988 dijatuhi hukuman mati. Penggantinya, Roh Tae-woo, dijatuhi hukuman lebih dari 20 tahun karena korupsi dan pengkhianatan. Kedua pemimpin itu diampuni pada 1997. Kim Yong- sam yang memerintah pada 1993-1998 dituduh membawa Korea Selatan ke dalam krisis keuangan Asia, tapi juga menyaksikan putranya dipenjara karena memperdagangkan kekuasaan.

Kim Dae-jung yang memerintah pada 1998-2003 menerima Hadiah Nobel pada 2000 karena pendekatan lunak terhadap Korea Utara, tetapi putranya merusak reputasi itu karena menerima suap dari kalangan pengusaha. Roh Moo-hyun yang memerintah pada 2003-2008 bunuh diri pada 2009 di tengah dugaan anggota keluarganya menerima suap dan kakaknya dijatuhi hukuman pada tahun yang sama.

Lee Myung-bak yang memerintah pada 2008-2013 dipermalukan oleh anak tunggal dan dua saudara lelakinya yang korupsi dana untuk kaum miskin.

Tahun ini Presiden Park Geun-hye, putri Presiden Park Chung-hee, dimakzulkan dan menghadapi hukuman seumur hidup. Dia mengulangi tragedi ayahnya pada 1979 yang ditembak mati oleh kepala intelijennya sendiri dalam sebuah pesta karena Park Chung-hee dianggap sebagai diktator.

Pada awal November 2017, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammad bin Salman menangkap sejumlah besar pangeran dalam keluarga besar Ibnu Saud. Pangeran Abdel Aziz bin Abdullah, salah satu putra mendiang Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud, dilaporkan meminta suaka ke Perancis. Kakak kandungnya, yaitu Pangeran Miteb bin Abdullah, yang menjabat sebagai komandan pasukan elite Garda Nasional, ikut ditangkap pada awal November karena tuduhan korupsi. Selanjutnya diberitakan bahwa Pangeran Miteb dilepaskan setelah bersedia mengembalikan sekitar 1 miliar dolar AS ke kas negara.

Kejaksaan Agung Arab Saudi menyatakan telah membekukan rekening bank milik 367 orang. Pemerintah juga melarang pesawat pribadi ke luar negeri. Kebanyakan dari 320 pangeran, menteri, dan mantan menteri yang ditangkap memilih kompromi dan bersedia mengembalikan harta dan aset mereka kepada pemerintah. Diperkirakan Pemerintah Arab Saudi akan memperoleh dana 50 miliar dollar AS hingga 100 miliar dollar AS dari pengembalian harta itu.

Masih adakah harapan?

Jajak pendapat lain dari harian Kompas(10-13 Oktober 2017) mengungkap bahwa 50,7 persen  responden menganggap bahwa perilaku plagiat, korupsi, dan suap di dalam masyarakat amat parah dan 43,1 persen menganggap hal itu parah. Terhadap pernyataan bahwa kasus korupsi dan plagiat sering terjadi karena tak adanya sanksi yang berat dan membuat jera, 88 persen responden setuju.

Pertanyaan lain ialah "apakah tindakan menyuap dan korupsi dipicu kebiasaan berbohong di masyarakat?" Yang setuju 74,9 persen dan yang tak setuju 23,9 persen. Pertanyaan lain ialah tentang tingkat kebohongan di beberapa kalangan. Di kalangan aparat penyelenggara negara: yang selalu dan yang sering jujur sebanyak 10,5 persen, yang selalu dan sering bohong sebanyak 38,9 persen, yang kadang jujur sebanyak 45,5 persen.

Di kalangan penegak hukum: yang selalu dan yang sering jujur sebanyak 7,5 persen, yang selalu dan yang sering bohong mencapai 43,7 persen, yang kadang jujur 45,3 persen. Di kalangan agamawan: yang selalu dan sering jujur sebanyak 45,7 persen, yang selalu dan sering bohong 9,3 persen, yang kadang jujur sebanyak 38,7 persen.

KPK dibentuk karena dianggap bahwa kepolisian dan kejaksaan tidak cukup mampu untuk memerangi korupsi. Anggapan itu tampaknya sesuai dengan hasil jajak pendapat di atas yang mengungkap bahwa di kalangan aparat penegak hukum, yang sering dan selalu jujur hanya mencapai 7,5 persen. Kini ada gagasan untuk membentuk Densus Tipikor.

Apakah dalam waktu belasan tahun terakhir telah terjadi perbaikan yang amat berarti dalam lingkungan aparat penegak hukum sehingga kita yakin kepolisian  dapat menjalankan tugas di dalam Densus Tipikor dengan baik? Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian tidak terlalu tinggi. Apakah Densus Tipikor dapat bersikap independen dan profesional kalau harus menangani korupsi di dalam kalangan kepolisian?

Dalam jajak pendapat tentang kejujuran di atas, di kalangan pelajar/mahasiswa yang selalu dan sering jujur mencapai 9,8 persen, yang selalu dan sering bohong sebanyak 36,6 persen, yang kadang jujur sebanyak 50,5 persen. Kita juga harus berusaha menaikkan tingkat kejujuran pelajar/ mahasiswa jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang selalu dan sering bohong.

SALAHUDDIN WAHID, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Kompas, 30 Desember 2017
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: ”Dibina” atau ”Dibinasakan” (Kompas)

Ada tren menarik di setiap pengujung tahun. Tiap lembaga membuat evaluasi atau catatan akhir tahun atau refleksi akhir tahun.

Lembaga itu mengevaluasi dirinya sendiri dan mengumumkannya kepada publik tentang apa yang dilakukannya. Mungkin itulah bentuk akuntabilitas. Kemarin, Mahkamah Agung membuat refleksi akhir tahun. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menyebut tahun 2017 adalah tahun "pembersihan". MA mengklaim sepanjang tahun 2017 MA menitikberatkan pada pembersihan badan peradilan.

Kekuasaan kehakiman memunculkan wajahnya yang hitam ketika keadilan diperjualbelikan. Ketika putusan dengan irah-irah, "demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", dalam realitasnya berubah menjadi "keuangan yang mahakuasa". Keuangan bisa membeli segala, termasuk keadilan! Kekuatan uang bisa menentukan berat ringannya tuntutan.

Itu bukan cerita baru. Prof Gary Goodpaster, Guru Besar Emeritus Universitas California, dalam buku suntingan Prof Tim Lindsey, mengatakan, "Sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya—sungguh tidak bisa digunakan untuk dapat memberikan keputusan jujur—tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan korup."

Hatta menyebut semasa kepemimpinannya terdapat 14 hakim dan 7 panitera pengganti ditangkap KPK. Hatta Ali bereaksi keras, "Bagi yang tidak bisa dibina terpaksa akan dibinasakan agar virusnya tidak menyebar ke pegawai yang lain." Diksi "dibinasakan" yang dilontarkan Hatta terbilang keras meski harian ini tidak mengelaborasi lebih jauh definisi operasional soal "dibinasakan" yang diucapkan Hatta Ali.

Kita memaknainya, diksi "dibinasakan" dalam arti kesempatan orang itu tertutup kariernya sebagai hakim. Orang yang korup, orang yang integritasnya diragukan, orang yang punya rekam jejak mengeluarkan memo atau katebelece, orang yang punya hobi melobi kekuasaan untuk mendapatkan jabatan hakim, sebenarnya secara moral tidak pantas menjadi hakim.

Kekuasaan kehakiman yang mandiri harus betul-betul dibersihkan dari hakim yang rakus akan harta dan kekuasaan politik. Namun, itu semua menuntut keteladanan. Pimpinan juga harus menunjukkan sikap moralnya yang sederhana dan tidak bergaya hidup hedonis. Pimpinan peradilan harus punya tanggung jawab moral dan berani bertanggung jawab secara moral ketika ada pimpinan peradilan di bawah terjebak kasus korupsi.

Pembersihan peradilan tak bisa hanya keras-kerasan diksi, tetapi harus ada kekuatan politik untuk "membinasakan" hakim korup yang tak bisa lagi dibina. RUU Jabatan Hakim bisa menjadi jalan untuk membersihkan peradilan

Kompas, 30 Desember 2017 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Harus Tetap Waspadai NIIS (Kompas)

Kalah dan terjepit di Irak dan Suriah, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah bisa berkonsolidasi dan unjuk gigi di negara seperti Afghanistan.

Bukan tidak mungkin kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) akan kembali meneror di beberapa negara, terutama di negara yang kondisinya labil seperti Libya atau Irak. Sepertinya, NIIS mendapatkan keuntungan di Afghanistan sejak kemunculan mereka di tahun 2015 dengan menyerang instalasi militer dan basis kelompok minoritas Syiah.

Keamanan kota Kabul rentan sejak 31 Mei 2017 ketika sebuah truk meledak di kompleks diplomat yang menewaskan 150 orang dan melukai lebih dari 400 orang lainnya, yang sebagian besar warga sipil. Bahkan, serangan terhadap kelompok minoritas Syiah terus terjadi dalam dua tahun terakhir.

Taliban dan milisi NIIS yang berhasrat memperluas pengaruh di Afghanistan memicu berbagai serangan itu. Ledakan hari Kamis (28/12) yang menewaskan 41 warga terjadi 10 hari setelah serangan bom bunuh diri di kantor badan intelijen Afghanistan, yang juga diklaim NIIS.

Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menyebut serangan pada hari Kamis itu sebagai kejahatan kemanusiaan. "Serangan itu bertentangan dengan Islam dan nilai-nilai humanisme," katanya.

Dalam tahun ini setidaknya terjadi 11 kali serangan bom di Kabul yang diklaim dilakukan NIIS. Diawali tanggal 8 Maret, serangan ke rumah sakit militer yang menyebabkan lebih dari 100 orang menjadi korban. Pada 15 Juni terjadi serangan bom bunuh diri ke kerumunan warga Syiah dan menewaskan 4 orang. Tampaknya, NIIS menjadi kelompok sektarian yang punya rekor kekerasan melampaui Taliban di Afghanistan.

Seorang komandan senior NIIS kepada The Guardian menyatakan, kelompoknya akan menggantikan kekuatan Taliban di Afghanistan. "Kami terus melakukan perekrutan. Kami ingin menggantikan Taliban yang sudah pernah bernegosiasi dengan AS. Apa yang mereka kerjakan tidak masuk kategori jihad Islam," katanya.

Dengan serangan ini, seolah NIIS ingin menunjukkan bahwa teror akan terus terjadi kendati mereka kalah dan terjepit di Irak dan Suriah. Bahkan, NIIS juga menegaskan kehadirannya di beberapa negara di Afrika utara, juga lewat teror yang juga menelan korban jiwa.

Mengingat cukup banyak warga yang bergabung, Indonesia harus mewaspadai gerakan NIIS. Penangkapan di wilayah Serawak (Malaysia) dan beberapa daerah di Indonesia harus dimaknai sebagai upaya preventif.

NIIS akan terus menebarkan teror, tetapi kita tidak boleh tunduk dan takut menghadapinya. Masyarakat menjadi filter utama untuk dapat mempersempit gerak-gerik NIIS dan simpatisannya di sini

Kompasn 30 Desember 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Kesukuan dan Kebangsaan (TAUFIK IKRAM JAMIL)

Simposium nasional dengan tema menghormati keberagaman, menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, dilaksanakan di Gedung Nusantara IV MPR, Senin (11/12). Dilaksanakan oleh MPR bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, penyelenggara simposium mendatangkan narasumber dari berbagai unsur seperti agama, adat, akademisi, dan birokrasi.

Simposium tersebut tentu saja penting di tengah kecenderungan persatuan dan kesatuan yang seperti digoyang dari berbagai sisi. Dapat disebutkan bahwa goyangan itu senantiasa pula diwarnai primordialisme, khususnya berkaitan dengan agama dan suku (etnis). Tak jarang pula kedua sosok primordialisme itu saling mengisi untuk suatu kejadian.

Tanpa perlu menunjukkan secara rinci, hal tersebut hampir dapat dicontohkan pada pemilihan kepala daerah gubernur Jakarta, awal 2017. Ihwal agama dan suku diaduk untuk keperluan tertentu. Hal ini kemudian diperlebar sehingga diduga menghasilkan pola politik Indonesia dalam Pemilu 2019, yang tidak hanya memilih anggota legislatif, tetapi juga presiden.

Hampir dapat dipastikan, masih terkendalinya goyangan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa—terutama yang coba dipicu dari sisi kesukuan—disebabkan masih hidupnya potensi persatuan dan kesatuan bangsa dalam setiap suku. Suara perwakilan-perwakilan suku—mulai dari Aceh sampai Nusa Tenggara Timur—yang mengemuka dalam simposium ini masih memperlihatkan potensi tersebut sebagai bagian yang belum terpisahkan dari kehidupan terkini.

Pada suku Melayu, misalnya, hakikat persatuan itu mendapat label khusus, yakni sebagai inti kepribadian sebagaimana diungkapkan oleh Tenas Effendy dalam kitab Tunjuk Ajar Melayu(1994 dan 2015). Dengan demikian, sikap persatuan dipandang sebagai sesuatu yang naluriah sehingga untuk mewujudkannya tidak memandang suku ataupun bangsa. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Melayu senantiasa terbuka kepada suku lainnya.

Tunjuk Ajar Melayu itu juga mencantumkan dasar persatuan dengan tindakan kerja sama tersebut. Ternyata, hal ini merupakan salah satu cara Melayu untuk menjalankan ajaran Islam, misalnya dengan keyakinan bahwa semua manusia di dunia ini adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Dalam ungkapan adat disebutkan: ketuku batang ketakal/ duanya batang keladi muyang/ kita sesuku dengan seasal/kita senenek serta semoyang.

Hal itu senapas dengan yang ditulis Ramlan Surbakti (2013: 57). Menurut dia, persepsi yang sama tentang asal-usul dan sejarah tidak hanya melahirkan solidaritas, tetapi juga tekad dan tujuan yang sama antarkelompok. Solidaritas, tekad, dan tujuan yang sama itu menjadi identitas yang menyatukan mereka sebagai bangsa, membentuk konsep ke-"kita"-an dalam masyarakat.

Kesejagatan

Memang, potensi persatuan berbangsa pada suku-suku itu pula yang jadi tapak berdirinya Republik Indonesia. Bukankah Sumpah Pemuda 1928 tak lain sebagai penggumpalan sikap serupa dari para pemuda atas nama suku ataupun tempat tertentu yang saling mengidentifikasi? Jong Java, Jong Selebes, Jong Ambon, dan Jong Sumatera, misalnya, menunjukkan keberadaan penggumpalan suku dalam wadah yang bernama Indonesia.

Hanya kemudian, di tengah kesibukan pembangunan, kesukuan itu terlupakan. Keseragaman menjadi kata kunci untuk persatuan dan kesatuan. Di sisi lain, eksistensi suku coba digulung di bawah kecemasan yang menunjukkan justru suku dapat memecahkan persatuan. Bersamaan dengan hal itu, Indonesia juga harus berdampingan dengan negara-negara lain dalam pergaulan kesejagatan atau global.

Sampailah kenyataannya pada abad ke-21 ini, pergaulan sejagat  cenderung berusaha menemukan identitas sebagaimana dikaji futuristik seperti  John Naisbitt dan Patricia Aburdene melalui bukuMegatrends 2000. Identitas hanya dapat ditemukan dalam tradisi dan agama, sedangkan sektor lain, seperti politik dan ekonomi, telah bias. Kehidupan agama jadi subur dan kesukuan menjadi sesuatu yang dicari lagi.

Tak mengherankan, misalnya, apabila orang terlihat makin religius yang selalu diwujudkan dalam simbol-simbol agama. Terlepas dari tingkat keimanan, pengalaman—misalnya—menunjukkan, amat jarang ditemui perempuan dewasa berjilbab di Pekanbaru pada awal 1980-an, tetapi sekarang tidak demikian. Sementara otonomi daerah dalam era Reformasi memungkinkan kesukuan ditampilkan, apalagi bagi suku yang mengaitkan eksistensinya dengan agama.

Sebagaimana lazim terjadi, sesuatu yang baru disambut dengan sensitivitas tinggi untuk tidak mengatakannya euforia. Oleh karena setiap suku pada kondisi sensitivitas serupa, sudah jelas keadaan tersebut dapat "diolah" dengan maksud-maksud pragmatis. Sifat elite, apalagi dalam konteks politik, akan selalu memanfaatkannya untuk kepentingan suatu kelompok.

Keadaan ini ditambah kenyataan perkembangan teknologi komunikasi secara luar biasa, padahal budaya ditentukan oleh bagaimana situasi komunikasi terjadi. Tingkat sumber daya masyarakat Indonesia yang belum menggembirakan, misalnya, terlihat melalui minat baca 1:1.000, disuguhkan dengan perkembangan kemanusiaan lain di luar alamnya secara bertubi-tubi. Apalagi sarana komunikasi itu belum lagi menjadi fasilitas pendidikan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan tidak berpihak pada pencerdasan.

Tentu tidak ada kata terlambat. Di antara cara yang bisa dilakukan terutama oleh pemerintah adalah bagaimana kembali mewadahi suku sebagai khazanah bangsa, meletakkannya pada latar depan. Hal ini sebenarnya tercantum dalam Trisakti pembangunan yang dicanangkan pimpinan nasional yang dipegang Joko Widodo-Jusuf Kalla, khususnya berkaitan dengan landasan pembangunan yang beridentitas  tempatan. Tinggal mengelaborasinya lagi, kan?

TAUFIK IKRAM JAMIL, Sastrawan dan Sekretaris Umum Majelis Kerapatan Adat, Lembaga Adat Melayu Riau

Kompas, 30 Desember 2017
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

SURAT KEPADA REDAKSI: Air Mata Guru//Keadilan bagi Wilayah 3T (Kompas)

Air Mata Guru

Dalam Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 03/V/PB/2010 dan Nomor 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya dicantumkan ketentuan kenaikan jabatan dan pangkat dan sanksi yang diberikan kepada guru PNS yang tidak memenuhi ketentuan.

Kenaikan pangkat merupakan penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS terhadap negara, sekaligus dorongan untuk lebih meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya. Namun, kenyataannya untuk naik pangkat, tak sepenuhnya ditentukan prestasi kerja yang dicapai. Ada kebijakan lain yang kurang sehat antara pihak Tenaga dan Fasilitas (Tenfas) Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Deli Serdang dengan guru yang bersangkutan.

Pihak Tenfas dengan sengaja mendatangi sekolah-sekolah negeri untuk menyatakan kesediaan mereka membantu guru agar dapat naik pangkat tanpa perlu memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan di atas, terutama syarat penulisan karya ilmiah. Semua dapat diatasi. Dengan menyetorkan sejumlah uang, guru dapat naik pangkat ke jenjang lebih tinggi. Untuk golongan III biayanya Rp 5 juta dan untuk golongan IV Rp 6,5 juta.

Pihak Tenfas sudah mendapat keuntungan tak terhingga dari guru yang notabene bergaji pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Tujuan yang dicanangkan pemerintah agar mendapatkan kualitas guru yang profesional hanya isapan jempol saja. Tak akan ada perubahan pada diri si guru karena tanpa usaha dan kerja keras segalanya teratasi.

Semoga fenomena ini dapat ditindaklanjuti oleh yang pihak-pihak berwenang.

EDI, Kabupaten Deli Serdang

Keadilan bagi Wilayah 3T

Investigasi jurnalistik mengenai wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal ) mutlak dilakukan secara konsisten oleh media massa dalam membantu pemangku kepentingan mengetahui kondisi obyektif wilayah itu.

Pemerintah dan masyarakat sepatutnya berterima kasih atas laporan akurat media massa mengenai situasi nyata wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal karena bagaimanapun media massa tetap mengeluarkan biaya untuk memproduksi laporan.

Instansi berwenang punya data lengkap pulau mana saja diklasifikasi sebagai wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal.

Namun, kekurangan perhatian terhadap kesejahteraan yang berkeadilan bagi pulau-pulau wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal dapat membuat terulangnya pengurangan luas laut teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasus kekalahan Indonesia dalam mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan jadi pelajaran sangat mahal bagi rakyat Indonesia.

Pulau-pulau di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal merupakan titik-titik pangkal dan krusial dalam menentukan luas laut teritorial dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.

Kekurangan satu saja pulau terdepan otomatis mengurangi luas laut teritorial Indonesia.

Sekalipun pemerintahan Joko Widodo mengutamakan pembangunan infrastruktur khususnya di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal, kondisi nyata ketertinggalan pembangunan infrastruktur transportasi, kelistrikan, telekomunikasi di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal masih banyak.

Hal itu antara lain dapat diketahui dari laporan Kompas edisi 15 Desember 2017 yang berjudul "Bersampan 3,5 Jam demi Sinyal". Memang Kementerian Kelautan dan Perikanan telah membantu sehingga nelayan Natuna tersenyum lebar (Kompas, 16/12), tetapi bagaimana nasib rakyat yang berdiam di pulau-pulau wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal lainnya?

Dalam masa pengabdian Kabinet Presiden Joko Widodo sekarang dan selanjutnya, kiranya percepatan pelaksanaan program pembangunan yang berkeadilan bagi wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal dikeroyok beramai-ramai dan transparan serta terpadu oleh segenap kementerian dan lembaga terkait. Dengan demikian, rakyat setempat benar-benar dapat ikut menikmati tetesan hasil pembangunan yang selama 72 tahun belum didistribusi secara adil.

WIM K LIYONO, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Kompas, 30 Desember 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jumat, 29 Desember 2017

ARTIKEL OPINI: Pembangunan di Tahun Politik (M IKHSAN MODJO)

Memasuki tahun 2018, Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah di berbagai sektor pembangunan. Di bidang ekonomi, misalnya, persoalan yang ada adalah bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari kisaran 5 persen untuk mencegah negara masuk dalam perangkap pendapatan menengah (middle income trap) serta mendapatkan sumber pembiayaan alternatif untuk pendanaan pembangunan.

Perekonomian Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 5,1 persen sepanjang 2017 akibat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tersendat di bawah angka 5 persen. Belum bergairahnya konsumsi ini diperkirakan akan berlanjut pada kuartal keempat 2017 dan paruh pertama 2018.

Begitu juga, mengingat jeda yang ada (lag effect), pembangunan infrastruktur belum akan memberikan dampak riil pada pertumbuhan ekonomi, setidaknya pada dua sampai tiga tahun ke depan.

Hal ini kemudian ditambah oleh dua faktor lain yang saling terkait. Pertama, belum selesainya transisi perekonomian dari basis sumber daya alam ke basis manufaktur dan jasa, yang mengakibatkan tersendatnya pertumbuhan di sektor manufaktur dan ekspor.

Kedua, tersedianya ruang kapasitas terpasang yang cukup besar di kedua sektor ini, yang pada gilirannya mengakibatkan pergerakan sektor investasi domestik tidak akan maksimal. Alhasil, pertumbuhan produk domestik bruto pada 2018 pun tidak akan lebih tinggi dari maksimal 5,3 persen.

Satu hal yang akan membantu pertumbuhan ekonomi pada 2018 adalah membaiknya iklim berusaha yang akan mendorong arus investasi dari luar negeri masuk. Perbaikan iklim berusaha juga akan makin terlihat seiring langkah perbaikan di bidang logistik dan sistem pengarsipan tunggal terpadu yang diterapkan pemerintah melalui paket stimulus ekonomi 15 dan 16 pada bulan Juni dan Agustus 2017.

Selain itu, pada 2018, investasi juga akan terbantu oleh pulihnya alokasi belanja infrastruktur pemerintah yang pada 2017 tercatat meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya menjadi sebesar Rp 317,1 triliun atau meningkat 11 persen dari draf anggaran negara tahun 2017. Di samping infrastruktur, rencana pemanfaatan dana desa pada program pembangunan padat karya juga akan turut menopang pertumbuhan investasi dan daya beli masyarakat di perdesaan pada 2018.

Sementara itu, di sektor pendapatan negara masih menunggu langkah lebih lanjut perbaikan di sektor pajak dan upaya menciptakan instrumen pembiayaan alternatif untuk pembangunan.

Selama 2017, pemerintah dengan dukungan Badan Amil Zakat Nasional dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) telah mencatat beberapa kemajuan di bidang ini seperti mobilisasi keuangan Islam melalui program Zakat for SDGs (Sustainable Development Goals), yang model percontohannya berupa pendanaan pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tenaga air (microhydro) tengah dilakukan di Provinsi Jambi.

Dengan dukungan UNDP melalui Laboratorium Keuangan Inovatif (Innovative Financing Lab), sejumlah instansi seperti Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Otoritas Jasa Keuangan juga tengah menggarap secara serius upaya lain memobilisasi keuangan Islam untuk pembangunan, termasuk di antaranya pendanaan melalui instrumen wakaf.

Dalam bidang pembiayaan pembangunan, UNDP juga mendukung upaya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan untuk kegiatan penandaan anggaran melalui proyek Sustainable Development Financing (SDF) Tahap I yang mengidentifikasi dan menandai outputanggaran yang terkait perubahan iklim.

Terkait dengan hal di atas, dalam konteks perubahan iklim, Indonesia telah berpartisipasi dalam Konferensi Perubahan Iklim Internasional (COP23) pada akhir 2017 sebagai bagian dari komitmen negara untuk memperkuat pelaksanaan tindakan iklim global menyusul Kesepakatan Paris dan mengoperasionalisasikan kontribusi pertama yang ditetapkan sebagai komitmen nasional Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga telah menghasilkan sejumlah instrumen fiskal untuk mendukung komitmen tersebut melalui mobilisasi pembiayaan mitigasi dampak perubahan iklim dan mendorong investasi energi terbarukan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41 persen pada tahun 2030.

Momok terbesar

Di sektor sosial, tantangan terbesar adalah pada upaya mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan yang masih menjadi momok terbesar pembangunan di Indonesia. Pada 2017, angka kemiskinan, walau turun ke angka 10,64 persen, masih di bawah target sebesar 10,5 persen yang ditetapkan oleh pemerintah.

Salah satu dimensi kemiskinan yang masih buruk di Indonesia adalah dimensi kecukupan gizi (malnutrition). Laporan Badan PBB untuk Anak-anak (United Nations Children's Fund/Unicef) tentang kemiskinan multidimensi di Indonesia pada 2017 menunjukkan hampir 37 persen atau satu dari tiga anak Indonesia di bawah usia lima tahun pertumbuhannya terganggu (stunted). Demikian juga satu dari sepuluh anak Indonesia di bawah usia lima tahun ditengarai mengalami kekurangan asupan gizi yang akut (acute malnutrition).

Lebih lanjut, data yang ada juga menunjukkan peningkatan kemiskinan di perkotaan di Indonesia, di mana selama 2017 tercatat peningkatan sebesar 0,33 juta orang miskin di perkotaan meskipun secara persentase tingkatnya menurun.

Salah satu penyebab meningkatnya orang miskin di perkotaan adalah arus urbanisasi yang lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya, di mana diprediksikan sekitar 68 persen penduduk Indonesia akan bertempat tinggal di daerah urban pada tahun 2025. Daerah perkotaan, apabila tidak diambil langkah konkret yang terarah, akan menjadi pusat kemiskinan dan pemiskinan cepat di Indonesia.

Salah satu langkah mengantisipasi peningkatan kemiskinan perkotaan adalah dengan mempercepat penyediaan layanan publik di daerah-daerah perkotaan. Dengan dukungan program Perencanaan Inovatif dan Pembangunan Perkotaan (IPUD) UNDP, pemerintah tengah berfokus pada eksplorasi solusi potensial terhadap berbagai tantangan pembangunan di daerah perkotaan.

Salah satu langkah nyata yang dilakukan adalah perbaikan pengelolaan limbah darat yang dilakukan di Bandar Lampung pada 2017 dengan mengembangkan prototipe spesifik yang memungkinkan keberlanjutan upaya pengelolaan limbah di daerah-daerah lain di Indonesia.

Di tingkat nasional, upaya pemantapan pembangunan juga mendapatkan angin segar dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

Melalui peraturan presiden ini, pengarusutamaan dan lokalisasi upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di sejumlah daerah akan semakin terfokus dan semarak pada tahun-tahun mendatang sehingga memantapkan upaya pembangunan yang sudah ada, termasuk upaya mengurangi angka kemiskinan.

Saat ini beberapa daerah pelopor seperti Provinsi Lampung dan Provinsi Riau merupakan dua dari provinsi yang sudah melakukan beberapa kegiatan pengarusutamaan SDGs dalam perencanaan pembangunannya. Diharapkan, dengan keluarnya peraturan presiden ini, langkah kedua provinsi ini akan diikuti oleh provinsi-provinsi lain sehingga menambah daya dukung bagi pembangunan di Indonesia pada 2018.

Isu ketimpangan

Selain masalah kemiskinan, ketimpangan juga tercatat sebagai satu hal yang akan menjadi beban pada beberapa tahun ke depan, terlepas dari semakin menurunnya angka ketimpangan di mana rasio gini terus menurun dari tahun sebelumnya menjadi 0,393, yang mencerminkan persamaan pendapatan secara progresif.

Ketimpangan masih menjadi persoalan besar yang apabila tidak diantisipasi secara cepat dan cermat akan menjalar ke berbagai persoalan lain di bidang sosial dan politik. Hal ini, misalnya, terlihat dari catatan Oxfam tentang ketimpangan di Indonesia pada 2017 yang menunjukkan bahwa kekayaan dari 1 persen penduduk terkaya sejajar dengan 49 persen penduduk termiskin di Indonesia. Atau secara kolektif, kekayaan empat penduduk terkaya Indonesia mencapai hampir sebesar 25 miliar dollar AS atau setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin Indonesia.

Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index terbaru Indonesia adalah 0,689, di mana ini menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah. Perbaikan dalam IPM menunjukkan adanya pencapaian yang cukup signifikan dalam pembangunan Indonesia di sektor kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Pertumbuhan IPM ini konsisten dengan pola akselerasi selama 25 tahun terakhir di mana telah terjadi peningkatan tidak kurang dari 30,5 persen.

Dalam hal ini tentu saja masih terdapat beberapa catatan, seperti persoalan di bidang jender yang terlihat dari perbedaan IPM untuk pria dan wanita di Indonesia yang masing-masing adalah 0,712 dan 0,66. Indikator ini juga dikonfirmasi oleh survei kekerasan berbasis jender (gender based violence) di Indonesia dari Dana Penduduk PBB (United Nations Population Fund/UNFPA) pada 2017 yang menunjukkan bahwa 41 persen dari perempuan Indonesia pernah mengalami salah satu atau kombinasi dari kekerasan fisik, seksual, emosional, dan ekonomi selama hidupnya, di mana 16 persen mereka mengalami kekerasan ini pada tahun lalu.

Di sisi lain, beberapa program pemerintah untuk memperkecil ketimpangan jender juga telah banyak mendapatkan hasil, yang terlihat dari kenaikan Indeks Global Gender Gap Indonesia dari 0,682 pada 2016 menjadi 0,691 pada 2017, yang menunjukkan perbaikan ketimpangan jender di empat bidang utama, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik.

Artinya, optimisme adanya kelanjutan perbaikan ketimpangan pembangunan jender di empat bidang tersebut bukanlah sesuatu yang tak berdasar.

Sebagai penutup, perekonomian Indonesia diprediksi tumbuh sekitar 5,3 persen pada 2018, dengan konsumsi domestik dan investasi tetap menjadi pendorong utama. Implementasi beberapa kebijakan di sektor sosial, kebudayaan, dan lingkungan yang diuraikan di atas akan mulai dirasakan dan memperkuat dasar-dasar pembangunan di Indonesia pada 2018.

Beberapa tantangan terkait pembiayaan pembangunan akan sangat bergantung pada upaya pemerintah mendorong dan memfasilitasi upaya mendapatkan instrumen keuangan dan pembiayaan alternatif pembangunan yang dilakukan oleh berbagai pihak.

M IKHSAN MODJO, Technical Advisor UNDP

Kompas, 29 Desember 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Peran Indonesia untuk Palestina (HASIBULLAH SATRAWI)

Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan akan memindahkan kedutaan AS ke kota suci tersebut, terasa sangat menohok.

Di satu sisi kebijakan ini secara terang-terangan mengabaikan sejumlah ketentuan dunia, seperti Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 181 (1947) yang menetapkan Jerusalem sebagai kota Internasional, Resolusi 252 PBB (1968) yang meminta Israel menghentikan semua aktivitasnya di Jerusalem, Resolusi 298 PBB (1971) yang menyatakan segala tindakan Israel untuk mengubah status Jerusalem adalah melanggar hukum, dan sejumlah ketentuan lainnya.

Adalah benar kebijakan Trump di atas sesuai dengan UU yang telah disahkan di AS pada 1995 terkait kedutaan Jerusalem (sebagaimana dimuat dalam pidato Trump). Adalah benar bahwa Trump dan pendukungnya meyakini bahwa kebijakan itu demi kepentingan nasional AS. Dan mungkin benar kebijakan tersebut menguntungkan Trump secara politik domestik AS, khususnya saat Trump mulai terdesak secara politik akibat dugaan skandal pemenangan dirinya dalam pilpres lalu.

Namun, sebagai presiden negeri adidaya, sejatinya Trump tidak hanya berpegangan pada UU yang berlaku di negaranya, tetapi juga pada sejumlah ketentuan yang berlaku di dunia, khususnya melalui resolusi PBB. Trump juga harus memikirkan kepentingan, kedamaian. dan ketertiban dunia. Apalagi AS selama ini banyak memprakarsai sejumlah inisiatif perdamaian, termasuk menjadi salah satu mediator upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Perang saudara

Di sisi lain, kebijakan Trump itu diumumkan di tengah terjadi pelbagai macam perang saudara dan persoalan pelik yang melanda sejumlah negara di Timur Tengah (Timteng), khususnya pasca-Musim Semi Arab. Padahal, negara-negara itu selama ini menjadi sandaran sekaligus "keluarga besar" bagi Palestina. Ini menjadikan Palestina tak ubahnya anak yatim piatu.

Mesir yang selama ini selalu berada di garda terdepan dalam membela Palestina belakangan dilanda persoalan ekonomi dan keamanan yang sangat serius. Suriah porak-poranda akibat perang saudara berkepanjangan. Begitu juga Libya dan Yaman. Situasi lebih kurang sama dialami Irak setelah serangan AS pada 2003 hingga bagian cukup besar wilayahnya sempat dikuasai kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) meski Irak berhasil merebut wilayahnya kembali dan mengumumkan kemenangan atas NIIS.

Sementara Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Iran berada dalam posisi saling kunci, khususnya terkait dengan persoalan perang di Suriah dan perang di Yaman. Dalam perang di Suriah, negara-negara ini (terkecuali Iran) sempat berada dalam satu barisan mendukung kelompok revolusi anti-Bashar al-Assad bersama sejumlah negara Barat, termasuk AS. Namun, karena satu dan lain hal, Turki melakukan manuver politik zig-zag dan belakangan merapat ke Iran, Rusia, dan pihak-pihak lain yang mendukung Bashar al-Assad sejak konflik terjadi.

Arab Saudi terus konsisten melawan rezim Al-Assad yang dianggap sebagai perpanjangan tangan Iran di kawasan (walaupun intensitasnya menurun). Bahkan, sampai hari ini Arab Saudi memimpin koalisi sejumlah negara Arab yang melakukan serangan secara langsung di Yaman untuk menghadapi kelompok Houthi yang juga didukung Iran. Semua ini dilakukan Arab Saudi untuk menumpas tangan-tangan Iran di dunia Arab.

Sentimen anti-Iran yang sedemikian kuat di Arab Saudi membawa negara kaya minyak itu bersama sejumlah negara Arab lain (Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir) mengisolasi negara Teluk lain yang juga kaya minyak, yaitu Qatar. Selain karena tuduhan mendukung dan mendanai kelompok teroris, Qatar dianggap tak mau terlalu ketat terhadap Iran. Belakangan hubungan Arab Saudi-Turki juga memburuk karena Turki justru bekerja sama dan mendukung Qatar.

Dukungan kosong

Dalam kondisi seperti itu, apa yang bisa diberikan kepada Palestina? Tak ada, kecuali hanya sebatas kecaman dan kutukan terhadap AS di atas mimbar ataupun konferensi-konferensi darurat. Apa yang dilakukan negara-negara itu terhadap Palestina berbanding terbalik dengan apa yang telah mereka lakukan di Suriah dan di Yaman. Menurut beberapa sumber, negara-negara itu sampai pada tahap mengirim ahli-ahli militer terbaiknya ke medan tempur untuk memenangi peperangan yang ada.

Peran Indonesia

Dalam konteks negara-negara Timteng dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain seperti sekarang, Indonesia bisa mengambil peran penting bagi Palestina mengingat Indonesia tak terlalu memiliki persoalan internal. Yang paling penting adalah karena Indonesia memiliki hubungan sangat baik dan strategis dengan negara-negara yang bisa berperan optimal dalam upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina: Indonesia berhubungan baik dengan Arab Saudi, Turki, Iran, Qatar, Mesir, Jordania, dan yang lainnya. Bahkan, Indonesia juga berhubungan sangat baik dengan AS, Eropa, Rusia, dan China sebagai pihak-pihak yang selama ini berperan penting di pentas politik global, termasuk dalam persoalan konflik Israel-Palestina.

Karena itu, melalui modal besar yang ada di atas, dalam hemat penulis, Indonesia bisa mendorong penyelesaian konflik Israel-Palestina melalui tiga ranah sekaligus, yaitu ranah internal Palestina, ranah Timteng ataupun ranah negara-negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, dan ranah global.

Dalam konteks ranah nasional Palestina, rekonsiliasi di antara faksi-faksi di internal Palestina harus diperkuat, khususnya di antara faksi Fatah yang selama ini cenderung memilih perjuangan dengan cara-cara damai dengan faksi Hamas yang cenderung pada perjuangan bersenjata. Rekonsiliasi ini sangat dibutuhkan untuk menyongsong Palestina yang satu sekaligus bersatu.

Dari rekonsiliasi yang ada, Palestina bisa melakukan penguatan internal, khususnya di kalangan aparat negara. Hingga Palestina mempunyai aparat yang siap untuk menjalankan pemerintahan yang kuat, bersih, dan dipercaya oleh segenap rakyat.

Pada ranah Timteng ataupun negara-negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia bisa mengajak semua negara terkait untuk bersatu dan mengurangi perselisihan yang bersifat sektarian dan kekuasaan politik. Visi Islamrahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta alam) bisa dijadikan sebagai salah satu payung besar menyatupadukan negara-negara itu dalam mendukung perjuangan Palestina.

Sementara dalam ranah global, Indonesia bisa mendorong negara-negara adidaya untuk memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini dengan menjadi mediator yang adil terhadap kedua belah pihak dan tepercaya. Hal ini menjadi sangat penting karena, walaupun konflik Israel-Palestina merupakan persoalan politik murni, konflik ini berdampak secara langsung terhadap hal-hal keagamaan. Itu mengingat wilayah yang diperebutkan terhadap tempat-tempat suci yang diimani oleh pemeluk tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Menyelesaikan persoalan ini secara damai dan abadi sama halnya dengan membendung potensi-potensi konflik secara global. Sebaliknya, menangani persoalan ini tidak secara adil sama halnya dengan membuka potensi-potensi konflik secara global.

HASIBULLAH SATRAWI, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Kompas, 29 Desember 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger