Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 31 Mei 2014

Jalan Menuju Perubahan (Makmur Keliat)

MASIH adakah jalan menuju perubahan? Perubahan untuk apa? Perubahan untuk siapa? Dan, tak kalah pentingnya pula, bagaimanakah kita akan melakukannya?
Perubahan, karena itu, memuat pedoman nilai dan keharusan untuk keberpihakan. Dalam pemahaman seperti ini, proses politik pemilu presiden kerap disebut menjadi momen menentukan untuk menjawab pertanyaan besar terkait jalan menuju perubahan itu. Melalui pemilu, semua partai, gabungan koalisi partai, dan setiap calon presiden dan wakil presiden tengah berusaha keras meyakinkan dan menjanjikan kepada publik adanya perubahan di masa depan. 

Kerja politik untuk perubahan
Namun, dalam banyak kasus di negeri berkembang, jalan perubahan melalui kerja politik demokratik tidak semudah membalik tangan. Kehadiran figur besar dan niat baik juga sepertinya tidaklah cukup. Lihat misalnya kasus Afrika Selatan. Negeri ini melahirkan Nelson Mandela. Namun, kemerdekaan pada 1994 dan penghapusan apartheid serta proses pemilu demokratik yang kemudian terbentang tidak lalu serta-merta menghilangkan berbagai masalah sosial dan kemiskinan.

Hal mirip terjadi di India, negeri tempat kelahiran Mahatma Gandhi. Siapakah yang dapat membantah keagungan integritas pribadi Gandhi sebagai pemberi inspirasi bagi bangsa India? Ia pemimpin besar dan immortal, bukan hanya bagi India. Nilai-nilai pengorbanan dan integritas moralnya telah memberi pengaruh besar melintasi batas geografis India. Namun, berbagai masalah sosial dan ekonomi yang serius hingga kini masih membelit negeri berpenduduk 1,2 miliar ini.

Kini Indonesia juga tengah melakukan kerja politik untuk perubahan itu. Tebaran janji dilakukan beberapa bulan terakhir. Janji untuk melakukan perubahan pasti semakin intensif dalam beberapa bulan ke depan. Melalui liputan media, kita seperti melihat lahirnya "figur-figur" besar dalam diri sosok capres dan cawapres dalam pentas politik kita. Tentu saja dengan janji dan komitmen melakukan perubahan. Suka atau tidak suka, konstruksi yang tengah dibangun sangat nyata. Setiap pasangan capres/cawapres adalah sama dengan jalan perubahan itu sendiri. 

Tentu saja tak ada yang salah dengan keseluruhan proses ini. Penyelenggaraan pemilu di mana pun pasti menjadi arena kompetisi gagasan untuk melakukan perubahan. Kampanye hanya akan jadi masalah jika gagasan perubahan itu tidak memijak bumi dan tidak menyentuh substansi pemutusan dengan hal-hal buruk dan negatif dari masa pemerintahan sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, jalan menuju perubahan ini kemungkinan akan menjadi jalan berbatu dan tak berujung ketika dihadapkan dengan tiga isu strategis. Ketiga isu ini kesemuanya lahir dari kebutuhan untuk penguatan negara.

Tiga isu perubahan
Pertama, terkait isu penegakan hukum. Negara adalah kumpulan aturan hukum. Negara disebut lemah jika kumpulan aturan hukum hanya dipahami sekadar dokumen belaka. Negara juga disebut tak berdaya jika aturan hukum tunduk pada mekanisme jual-beli transaksional. Dalam sistem presidensial, peran kepala negara seharusnya sangat vital dalam penegakan hukum. Secara konstitusional, jabatan presiden dalam sistem presidensial harus dikonstruksi dalam gagasan sebagai penegak hukum utama (chief law enforcer). Presiden sebagai penegak hukum utama itu tersirat dari adanya wewenang memberikan rehabilitasi, grasi, amnesti, dan abolisi. Wewenang seperti ini adalah operasionalisasi dari otoritas dirinya sebagai penegak hukum utama itu. Ringkasnya presiden bukan sekadar kepala pemerintahan, melainkan sekaligus kepala negara.

Karena itu, tidak benar sepenuhnya jika seorang presiden tak diizinkan melakukan intervensi dalam proses penegakan hukum. Dalam makna yang sangat substansial, presiden sebagai penegak hukum utama tak boleh ragu-ragu menjalankan perannya. Jika memang dibutuhkan, ia harus dapat mendorong negara menjadi aktif, terutama dengan menggerakkan institusi Kejaksaan Agung, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dilihat dari sudut pandang ini, penilaian terhadap prestasi dan pengalaman setiap capres dan cawapres dalam penegakan hukum tentu saja akan sangat membantu dalam merekonstitusikan peran kepala negara sebagai penegak hukum utama itu di masa depan. Ringkasnya agenda penegakan hukum pada dasarnya agenda penguatan kedaulatan negara di sisi domestik.    

Kedua, terkait kebutuhan membangun budaya politik. Asumsinya, penguatan negara sukar dilakukan jika masih mengandalkan budaya politik lama. Dua karakter utama budaya politik lama adalah terkait proses bangunan karier politik dan mata rantai kekuatan modal dari setiap pasangan capres/cawapres dalam pemilu. Indikatornya misalnya apakah sosok capres/cawapres menyandarkan basis dukungan politik atas dari garis keluarga di partai. Apakah pasangan capres/cawapres telah membangun karier politiknya dari tataran lokal hingga tataran nasional? Apakah pasangan capres dan cawapres itu akan menjadi tawanan kalangan pemodal untuk mendanai kampanye pemilunya? 

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini penting untuk dijawab. Tujuannya menciptakan harapan bahwa masih ada jalan  luas keluar dari apa yang disebut "hukum besi oligarki" di institusi kepartaian Indonesia. Proses demokrasi yang telah berlangsung lebih dari 15 tahun seharusnya masih memberikan ruang bagi proses seleksi dan sirkulasi elite yang egaliter. Idealnya pasangan capres/cawapres dapat jadi "bukti hidup" untuk membantah pandangan sebagian pengamat politik yang menyatakan demokrasi kita hanya memberikan manfaat bagi oligarki elite di tingkat partai dan pemodal besar di kalangan bisnis.

Ketiga, terkait isu pemerataan dan kesejahteraan. Tak ada yang meragukan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di tahun-tahun mendatang. ADB memproyeksikan pertumbuhan tahun ini masih akan mencapai 6 persen. Bank Dunia dan IMF memproyeksikan angka 5,3 persen.

Namun, di tengah-tengah optimisme pertumbuhan itu terdapat fakta menyedihkan yang harus dijawab tiap capres/cawapres. Misalnya, rasio gini yang terus meningkat 10 tahun terakhir, melewati angka 0,4, sehingga sangat rawan memicu konflik sosial. Pada saat yang sama, kapasitas dan struktur anggaran negara sangat terbatas untuk mengatasi melebarnya ketimpangan itu. Struktur anggaran tersedot untuk subsidi energi yang pada 2014 diperkirakan mencapai lebih dari Rp 328,7 triliun. Ini berarti hampir 25 persen dari total APBN Rp 1.849,8 triliun.

Asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam APBN 2014 adalah 105 dollar AS per barrel. Mengingat penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar dan kesulitan besar Indonesia meningkatkan produksi minyak dalam jangka pendek, subsidi energi kemungkinan jauh lebih besar dihitung dalam rupiah. Hitungan Menkeu sendiri menyebutkan setiap pelemahan seribu rupiah per dollar akan mengakibatkan subsidi BBM naik Rp 20 triliun.

Kebijakan penghapusan subsidi energi mungkin dapat jadi solusi untuk konsolidasi fiskal. Tetapi, liberalisasi harga satuan energi pasti akan meningkatkan inflasi dan membawa dampak berat bagi masyarakat bawah. Memperkuat rasio pajak terhadap PDB juga tidak mudah untuk mengatasi keterbatasan kemampuan APBN ini. Sepuluh tahun terakhir rasio itu tak pernah melebihi angka 12 persen. Keseluruhan isu strategis ini harus diperhatikan dan dikawal para pemilih. Tujuannya sederhana: untuk membuat "jalan perubahan" tak menjadi "perubahan jalan" setelah pemilu berakhir.   

MAKMUR KELIAT
Pengajar FISIP Universitas Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006724484
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Media dan Pemilu 2014 (Sabam Leo Batubara)

HASIL hitung cepat Kompas Pemilu Legislatif 2014 menunjukkan, PDI-P mendapat 19,17 persen, Partai Golkar 15,0 persen, Gerindra 11,77 persen, Partai Demokrat 9,47 persen, PKB 9,17 persen, PAN 7,47 persen, PKS 7,02 persen, PPP 6,73 persen, Nasdem 6,70 persen, Hanura 5,11 persen, PBB 1,45 persen, dan PKPI 0,94 persen.

Menyikapi hasil pemilu itu dapat diajukan paling tidak tiga pertanyaan. Pertama, mampukah media nasional membantu mewujudkan harapan Letjen (Purn) TNI Sayidiman Suryohadiprojo sebagaimana dikemukakannya pada tulisan "Membangun Masyarakat Gotong Royong Modern" (Kompas, 7/4)?

Mantan Gubernur Lemhannas itu mengharapkan, antara lain, terbentuknya kepemimpinan nasional baru pada 2014 yang terdiri atas orang-orang yang kuat keyakinannya pada Pancasila, teguh-kuat hasratnya menjadikan bangsa Indonesia maju sejahtera dan berbahagia, serta dapat membangun sistem Pancasila dalam wujud terbangunnya masyarakat gotong royong modern yang mengutamakan harmoni di antara anggota.

Harapan itu sepertinya masih saja menjadi harapan yang dicita-citakan, das Sollen. Meski Sayidiman berpendapat bahwa sejak dulu masyarakat Indonesia memang hidup bergotong royong, kenyataan menunjukkan kebiasaan bergotong royong hanya sebatas pada acara perkawinan, kematian, ataupun memotong padi di desa. Di luar itu, dalam meraih jabatan lurah, kepada daerah, misalnya, tidak ada lagi semangat gotong royong cerminan kebersamaan.

Tingkat impian
Tidak terwujudnya koperasi sebagai bangun ekonomi nasional selama 68 tahun ini mengindikasikan semangat gotong royong modern baru pada tingkat impian.

Di parlemen kita apa pernah ada semangat gotong royong mendahulukan kepentingan rakyat banyak? Pada era hasil pemilu (pertama) 1955, parpol tampil saling menjatuhkan sehingga kabinet tidak mampu berusia cukup lama. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, parpol hidup sekadar jadi kawula rezim berkuasa. Di era reformasi, parpol lebih mengutamakan kepentingan parpolnya dan pribadi pengurus.

Tahun-tahun terakhir ini, media massa sarat berita tentang perilaku orang-orang parpol yang bergiat di legislatif dan eksekutif terlibat tindak korupsi. Masih menjadi tantangan apakah hasil Pemilu 2014 dengan dorongan media dapat mereformasi performa penyelenggara negara dari mendahulukan kepentingan kelompok/pribadi menjadi mengutamakan kepentingan nasional.

Kedua, mengapa dalam upaya peduli terhadap rakyat media cetak lebih loyal daripada parpol? Dalam satu hal, lembaga media cetak the mainstream mempunyai kesamaan dengan parpol. Eksistensi atau kehidupannya ditentukan oleh pilihan dan dukungan khalayak atau rakyat.

Sulit sintas
Perbedaannya, perusahaan media menyadari benar tanpa memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayaknya, media tersebut sulit sintas. Oleh karena itu, media tertantang setiap hari berusaha merebut kepercayaan publik. Hasilnya, di tingkat nasional dan provinsi media yang terunggul merebut kepercayaan publik menjadi market leader. Fakta- fakta menunjukkan, media yang terunggul di tingkat nasional dan provinsi tersebut dapat mempertahankan keunggulannya dari tahun ke tahun.

Sementara itu, sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2014, parpol hanya peduli kepentingan rakyat pemilih menjelang pemilu, selebihnya sekitar empat setengah tahun kepentingan parpol dan pribadi-pribadi pengurusnya yang mengemuka. Kepentingan rakyat pemilih terlupakan. Sepertinya parpol sadar atau tidak memedomani doktrin Machiavelli, yakni penguasa tidak perlu melaksanakan janji-janji politiknya jika dengan melaksanakannya bertentangan dengan kepentingan penguasa tersebut".

Tidak mengherankan capaian pemilu—enam pemilu di era Orde Baru tidak dihitung karena penyelenggaraannya tidak jujur dan adil—gagal menghasilkan satu atau dua parpol besar, tetapi hanya kumpulan parpol kecil dan sedang-sedang saja. Hasil pemilu seperti itu menjadi penyebab anggota Dewan yang sebagian besar bukan berasal dari parpol presiden terpilih tidak jarang justru mengganggu bahkan merongrong dan menggerogoti keefektifan penyelenggaraan pemerintahan.

Performa parpol kita juga menarik untuk dibandingkan dengan parpol di beberapa negara lain. Persamaan parpol Indonesia, AS, Inggris, Jerman, dan India, misalnya, konstitusinya membolehkan banyak parpol. Namun, rakyat AS cukup puas memiliki dua partai: Demokrat dan Republik. Meski Inggris, Jerman, dan India memiliki sistem multipartai, rakyat cukup puas dan memiliki kepercayaan pada dua partai, yakni Buruh dan Konservatif (Inggris); Uni Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Sosial Demokrat (SPD) (Jerman); serta Kongres dan Bharatiya Janata (India).

Stabil dan efektif
Sejak dulu, hanya dua partai di empat negara itu yang berganti- ganti membangun pemerintahan yang kuat. Di Inggris, Jerman, dan India, kalaupun parpol pemenang pemilu memerlukan koalisi, cukup dengan parpol pemenang ketiga. Tidak mengherankan pemerintahan di negara-negara itu stabil dan efektif.

Ketiga, adakah peluang Pemilu 2014 menghasilkan kepemimpinan nasional baru yang akan efektif memajukan dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat banyak? Peluang cukup besar jika penyelenggara negara mendatang cukup mampu mendeteksi akar persoalan bangsa dan cerdas mengatasinya.

Menurut Sayidiman dalam tulisannya, sekarang ini korupsi merajalela di kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pancasila diabaikan dalam kehidupan bangsa. Sumber gangguan dan ancaman datang dari pengaruh hidup barat yang mengutamakan individualisme-liberalisme dan kuatnya paham neoliberalisme.

Sementara itu, wartawan Mochtar Lubis, lewat pemberitaan harian Indonesia Raya sejak awal 1950-an dan buku Manusia Indonesia (1977), mengemukakan temuannya bahwa manusia Indonesia memiliki karakter dengan delapan kelemahan: berkecenderungan korup; munafik; enggan bertanggung jawab; berjiwa feodal; percaya takhayul; tidak hemat dan boros; tidak senang bekerja keras dan cenderung malas; bisa kejam, mengamuk dan membakar. Kenyataannya kelemahan-kelemahan itu yang senantiasa menggerogoti bangsa.

Sumo dan Jepang
Untuk mengatasi kelemahan sebagaimana dikemukakan dua tokoh, tidak salah jika bangsa kita belajar dari kearifan Jepang. Olahraga sumo adalah cerminan kultur Jepang, kaki harus kukuh terlebih dahulu untuk mampu menghadapi lawan. Budaya Jepang adalah kekuatan bangsa itu dalam menghadapi pengaruh asing.

Sejalan dengan kearifan Jepang, penyelenggara negara hasil Pemilu 2014 patut mempertimbangkan apa yang sebenarnya sudah sejak awal 1950-an diperingatkan oleh Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya, bahwa untuk membuat Pancasila menjadi nyata (das Sein), strateginya adalah dengan memperkuat kaki manusia Indonesia terlebih dahulu, yakni menyehatkan kualitas manusianya, terutama elite bangsanya, dari delapan penyakit.

Hanya dengan membangun Indonesia dengan terobosan seperti itu, kita tidak perlu takut gangguan budaya asing.

Sabam Leo Batubara
Wartawan Senior

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006786453
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Memilih Presiden dalam Karung (W RIAWAN TJANDRA)

SISTEM pemilu presiden yang dianut di negeri ini fondasinya diletakkan pada Pasal 6 dan 6A UUD 1945. Intinya menempatkan partai politik atau gabungan parpol sebagai satu-satunya pintu masuk bagi pengajuan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam proses pemilu presiden.
Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) juga pernah menolak permohonan uji materi UU Pilpres mengenai peluang calon independen untuk bisa maju sebagai calon presiden dalam pilpres, yakni melalui putusan MK Nomor 56/PUU-VI/2008. Pertimbangan MK sangat sederhana karena hanya merujuk dan mengabsahkan secara tekstual rumusan Pasal 6 dan 6A UUD 1945, yang dituangkan dalam UU No 42/2008 tentang Pilpres.

Namun, pada waktu itu, di kalangan majelis hakim MK sendiri juga ada perbedaan pendapat yang antara lain menyatakan bahwa bila Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dianggap sebagai hak konstitusional parpol, maka hak itu merupakan derivasi dari hak-hak dasar warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Seharusnya, MK melihat juga hak-hak konstitusional lain yang diatur dalam UUD 1945, antara lain hak-hak yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.

Transaksi antar-elite
Sebagai implikasi dari Pasal 6 dan 6A UUD 1945 itu, setiap menjelang pencalonan presiden—sejak beberapa kali pemilu hingga kini—dunia politik ketatanegaraan diwarnai kesibukan yang tinggi di kalangan parpol untuk membangun koalisi. Dalam bahasa lebih halus: kerja sama antar-(elite)-parpol untuk menentukan pasangan capres dan cawapres yang akan diusung dalam proses kontestasi pilpres.

Koalisi antarparpol, meskipun dalam putusan MK No 14/PUU-XI/2013 akan ditiadakan sebagai konsekuensi penghapusan limitasi ambang batas pencalonan presiden mulai tahun 2019, saat ini tetap menjadi boarding pass untuk memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 terkesan memiliki nilai ganda dalam menyikapi proses pencalonan presiden karena memungkinkan pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Hal inilah yang oleh UU Pilpres ditafsirkan bagi keharusan adanya ambang batas bagi perolehan suara parpol atau gabungan parpol dalam syarat pencalonan pasangan capres dan cawapres.

Di saat MK sebagai institusi yang dinisbahkan sebagai penafsir tunggal atas konstitusi (the sole interpreter of the constitution) dalam putusannya tak memberi pilihan yang pasti terhadap tafsir Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 itu, maka mekanisme pilpres kali ini tetap membuka celah bagi transaksi antar-(elite)-parpol menjelang pencalonan presiden. Mekanisme pencalonan presiden tetap tersandera praktik transaksional koalisi parpol meskipun dibungkus dengan berbagai upaya penghalusan bahasa politik.

Publik tetap sulit berharap akan kepastian presiden dan cawapres yang terpilih nanti tidak tersandera dan menjadi tawanan koalisi parpol. Apalagi jika mencermati realitas politik Senayan selama ini—yang cenderung sangat lentur dalam mematuhi peraturan tata tertib yang dibuatnya sendiri dalam pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan—sulit ditepis kekhawatiran bahwa presiden dan aparat eksekutifnya akan tetap berpotensi terganjal dalam mengeksekusi sejumlah kebijakan yang harus melewati otorisasi politik Senayan.

Selama banyak peraturan perundang-undangan masih memungkinkan "bala tentera" Senayan bergerilya hingga satuan-satuan kerja di lingkungan eksekutif, sulit dihindari adanya replikasi dan duplikasi praktik- praktik politik transaksional yang menjadikan eksekutif sebagai "sandera" demokrasi ala parlementerisme Senayan walaupun kini semua pasangan capres dan cawapres berwacana mengenai penegasan sistem presidensial.

Sangat penting praktik-praktik politik ketatanegaraan semacam ini juga menjadi bahan yang diperdebatkan dalam kampanye para pasangan capres dan cawapres. Dengan demikian akan terbentuk kesadaran publik untuk menolak terulangnya praktik-praktik politik transaksional dalam sistem presidensial "rasa" parlementer seperti selama ini.

W RIAWAN TJANDRA
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006742010
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Reforma Agraria dan Pengadilan Pertanahan (Bahrul Ilmi Yakup)

SETELAH setengah abad lebih usia UU Pokok Agraria No 5/1960, pemerintah baru tergerak berupaya melengkapinya dengan UU Pertanahan yang sekarang rancangannya sedang dibahas Komisi II DPR.
Meski tanpa jaminan akan diselesaikan DPR periode 2009-2014, upaya pemerintah itu layak diapresiasi dengan semboyan "masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali".  

Rancangan UU Pertanahan (UUP)  yang diajukan pemerintah sedikitnya memuat   dua gagasan konstruktif cemerlang  pada tataran ide, dalam artian cukup memihak hajat hidup rakyat banyak. Oleh karena itu, kedua gagasan itu perlu terus dijaga dan diperjuangkan agar  tak mengalami distorsi dan aborsi.  Kedua gagasan itu adalah reforma agraria  dengan institusi: tanah obyek reforma agraria (TORA) yang diatur dalam Bab V Pasal 41-50  dan gagasan penyelesaian sengketa dengan lembaga khusus pengadilan pertanahan.

TORA  merupakan konsep hukum sekaligus lembaga hukum yang berupaya mendayagunakan tanah sebagai instrumen pemerataan keadilan untuk rakyat miskin. Melalui tanah, rakyat memang lebih mudah disejahterakan. Sebaliknya, melalui tanah pula rakyat sangat gampang dimarjinalkan dan dimiskinkan. Oleh karena itu, gagasan TORA mendayagunakan tanah yang dikuasai negara untuk didistribusikan atau diredistribusikan kepada rakyat miskin merupakan gagasan afirmatif yang pantas diapresiasi dan didukung.

Meski demikian, gagasan TORA  haruslah dikonstruksikan dan diaplikasikan secara tepat sasaran dan tepat guna agar tidak mengalami distorsi  sehingga dalam  implementasinya TORA mampu membendung dan mengantisipasi  perilaku  birokrat dan petugas pertanahan agar tidak memanipulasi persyaratan administratif sehingga penerima TORA sejatinya bukanlah rakyat miskin, melainkan orang kaya yang memiliki akses dan kemampuan menyediakan persyaratan administratif secara formal.

Dalam konteks ini, lembaga TORA sebaiknya dikonstruksikan dan disandingkan dengan fenomena lembaga "berobat gratis" dan bantuan langsung tunai (BLT) yang ternyata justru dominan dinikmati oleh rakyat mampu, sedangkan rakyat miskin tetap saja tidak terakomodasi lantaran tak mampu menyediakan persyaratan administratif berupa surat dan dokumen formal. Karena itu, sebaiknya norma pengaturan TORA diperkuat dengan sanksi pidana sangat keras: korupsi. Pemanipulasi TORA, baik birokrat maupun penerimanya, dikategorikan sebagai pelaku korupsi yang dihukum berat. Tidak cukup hanya  diancam dengan pembatalan hak sebagaimana diatur Pasal 49  RUUP.

Yang lebih substansial, pengaturan TORA seharusnya dilakukan secara konkret-limitatif oleh UUP, tidak lagi didelegasikan kepada peraturan pemerintah (PP) sebagaimana dimaksud Pasal 50 RUUP, karena pemerintah sering kali gagal menerbitkan PP sebagai aturan hukum konkret pelaksanaaan UU.

Salah satu rujukannya, sampai saat ini cukup banyak PP yang dikehendaki sebagai norma pelaksanaan  UU No 5/1960  tak diterbitkan pemerintah yang menyebabkan beberapa norma UU No 5/1960 tak dapat dilaksanakan secara efektif. Pengalaman demikian seharusnya jadi batu uji dan pelecut  DPR untuk memproduksi UU yang lebih komprehensif  dan berkualitas.

Pengadilan pertanahan
Untuk menyelesaikan sengketa pertanahan secara efektif dan efisien, RUUP mengintroduksi pengadilan pertanahan. Secara historis-kronologis, gagasan pembentukannya sudah lama muncul sebagai respons pengalaman empiris bahwa penyelesaian sengketa pertanahan oleh pengadilan umum dan pengadilan tata usaha negara (PTUN) selama ini selalu berlarut-larut, berbiaya sangat konsumtif, dan akhirnya lumpuh sebagai putusan di atas kertas. Sayangnya, konsep pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus masih sumir dan absurd yang sangat berpotensi hanya menyambung dan mengubah nomenklatur fenomena kegagalan kinerja  peradilan umum dan PTUN.

Konsep dan konstruksi pengadilan pertanahan sebagai peradilan khusus sebaiknya diperkaya dengan melakukan dekonstruksi terhadap peradilan khusus yang sudah ada, antara lain pengadilan pajak, pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial (PHI), dan pengadilan tipikor, yang secara empiris sebetulnya tak punya keistimewaan dalam prestasi dan kinerja. Ironisnya, peradilan tipikor sulit dibedakan sebagai lembaga pengadilan atau lembaga penghukuman. Sebab, para hakim tipikor secara umum telah kehilangan independensi dan obyektivitas dalam mengadili yang justru menafikan jiwa dan substansi pengadilan sebagai penegak hukum dan keadilan yang dimaksud Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.

Pembentukan pengadilan pertanahan seharusnya merujuk pada konstruksi kekuasaan kehakiman yang diatur Bab IX Pasal 24 UUD 1945 berikut UU pelaksanannya. Selanjutnya diperkaya aspek filosofi, teori, dan empiris peradilan khusus yang sudah ada di berbagai negara.

AS dan Inggris merupakan negara yang banyak memiliki peradilan khusus yang secara efektif dan tepat tujuan telah sukses memaknai dan memberi karakter peradilan khusus sebagai  pilar penegakan hukum yang berkeadilan. Salah satu isu  yang harus jadi perhatian dalam  melakukan pembahasan pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus dalam RUUP adalah menyangkut lembaga hakim ad hoc. Konsep dan konstruksi lembaga hakim ad hoc harus jelas menyangkut  sumber, wewenang, dan bagaimana cara pengisiannya.

Jangan sampai mengulangi pengalaman naif lembaga hakim ad hoc yang ada pada PHI dan pengadilan tipikor saat ini yang ternyata tidak ada beda karakter dengan hakim karier. Terlebih lagi setelah Mahkamah Agung memermanenkan hakim ad hoc pada PHI dan pengadilan tipikor  dengan alasan tidak tersedia dana untuk melakukan seleksi.

Bahrul Ilmi Yakup
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK);  Advokat dan Konsultan Hukum BUMN;Ketua Pusat Kajian BUMN

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006213137

Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Memilih Jalan Kekerasan (Kompas)

APAKAH sepak terjang kelompok Boko Haram yang menginjak- injak nilai-nilai kemanusiaan di Nigeria benar-benar tidak bisa dihentikan?
Pertanyaan itu yang pertama-tama muncul setelah membaca berita tentang semakin merajalela dan ganasnya sepak terjang kelompok Boko Haram di Nigeria. Harian ini kemarin memberitakan, Boko Haram—kelompok yang terkait dengan jaringan teroris Al Qaeda—telah membunuh 33 petugas keamanan: 18 tentara dan 15 polisi.

Tentu pembunuhan itu membuat Pemerintah Nigeria seakan limbung, tak berdaya menghadapi kelompok radikal yang memilih jalan kekerasan untuk mewujudkan keinginannya itu. Padahal, sebelumnya Presiden Nigeria Goodluck Jonathan berjanji akan mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghancurkan Boko Haram. Bahkan, masyarakat internasional pun, termasuk PBB, memberikan dukungan penuh pada usaha Nigeria untuk melawan Boko Haram.

Akan tetapi, pembunuhan terhadap 33 petugas keamanan itu memberikan gambaran bahwa yang dilakukan pemerintahan Goodluck Jonathan masih kurang. Apalagi, usaha membebaskan lebih dari 200 siswi sekolah yang diculik Boko Haram, bulan lalu, belum juga menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Sepanjang 2011, Boko Haram telah membunuh 600 orang.

Mengikuti perkembangan situasi di Nigeria, kita lantas bertanya: mengapa orang atau sekelompok orang dengan bermantelkan agama secara mudah meneror, bertindak jahat, dan bertindak brutal terhadap orang lain? Mengapa mereka dengan tanpa merasa bersalah menginjak-injak nilai kemanusiaan untuk memaksakan kehendaknya? Mengapa mereka cenderung menganggap dirinya paling benar dan orang atau pihak lain salah?

Mengapa mereka memilih jalan kekerasan untuk mempertahankan sikap dan pendiriannya yang dianggapnya paling benar dan orang lain salah? Kekerasan—yang terungkap dalam sikap doktriner, otoriter, eksklusif, dan kekerasan fisik—merupakan jalan yang paling pendek untuk memutlakkan suatu pandangan atau penafsiran.

Padahal, kekerasan bertentangan dengan hakikat agama sebagai sumber kedamaian, terbuka terhadap penalaran, dan terbuka untuk semua orang. Namun, mengapa mereka, Boko Haram—juga kelompok-kelompok lain di banyak negara, termasuk di negeri kita ini—tetap memilih jalan kekerasan yang bertentangan dengan ajaran agama apa pun.

Kita akui bahwa tanpa melibatkan Tuhan dan agama, sesungguhnya manusia telah membuat sejarah konflik berdarah-darah tiada henti di banyak belahan dunia. Pertanyaannya adalah apakah ini hakikat keberadaan manusia: berbuat jahat terhadap orang lain dengan segala cara. Fenomena seperti ini harus dicermati dan diantisipasi di Indonesia agar jalan kekerasan tidak menjadi pilihan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006924068
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Kampanye Hitam dan Negatif (Kompas)

KECENDERUNGAN kampanye hitam dan negatif terasa begitu gencar, yang dikhawatirkan merusak prinsip demokrasi, bahkan kehidupan berbangsa.
Secara etik, kampanye hitam dan negatif menjelang Pemilu Presiden 2014 tidak dapat dibenarkan. Lebih-lebih karena kampanye hitam merupakan fitnah sebab tidak didasarkan pada fakta, tetapi kepalsuan dan kebohongan. Tidak kalah memprihatinkan kampanye negatif yang mengacu pada fakta, tetapi dengan sengaja dilepaskan dari pemaknaan dalam konteksnya. Bukan kebenaran yang dicari, melainkan semangat melecehkan.

Tidak jelas siapa yang memulai, kampanye hitam dan negatif begitu marak, saling sahut-sahutan dalam ruang publik dengan menggunakan media. Amplifikasinya berlipat-lipat oleh penggunaan multimedia, termasuk media sosial. Kegaduhannya luar biasa, benar-benar mengusik upaya mencari kebenaran dan kebaikan bersama.

Realitas ini sungguh ironis karena masa kampanye seharusnya menjadi momentum penting untuk membahas secara kritis tentang visi, misi, dan program kerja para calon presiden-calon wakil presiden. Begitu kuatnya kecenderungan melakukan kampanye hitam dan negatif sampai-sampai narasi tentang cita-cita besar soal pembangunan bangsa seperti tenggelam.

Praktis tidak mencolok perdebatan kritis tentang visi, misi, dan program kerja pasangan calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Hanya sayup-sayup terdengar suara kaum cerdik cendekia tentang cita-cita dan perjuangan Indonesia lebih baik. Tidak sedikit cerdik cendekia terlibat dalam kampanye hitam dan negatif yang sungguh bertolak belakang dengan upaya mendirikan budaya unggul.

Dampak kampanye hitam dan negatif tidak hanya merugikan para pasangan calon, tetapi juga menyesatkan masyarakat. Suka atau tidak, kampanye hitam dan negatif yang melecehkan akal sehat sangatlah sensitif dan berpotensi menimbulkan ketegangan. Tidak mengherankan, berbagai kalangan sudah mengingatkan bahaya ketegangan, yang dapat saja memuncak menjadi kekerasan, jika kampanye hitam dan negatif tidak segera dihentikan.

Berbagai bentuk kampanye hitam dan negatif tidak hanya menyesatkan dan menjauhi prinsip kebenaran dan kebaikan, tetapi juga bertentangan dengan makna perdamaian yang hendak diperjuangkan dalam pemilihan presiden yang demokratis. Jika pemilihan presiden-wapres dilakukan dalam ketegangan dan kekerasan, Indonesia akan melangkah surut sebagai bangsa berbudaya.

Pemilihan presiden bagaimanapun merupakan pertarungan bermartabat, bukanlah perang, karena tidak ada yang dipersepsikan sebagai musuh yang harus dikalahkan untuk dihancurkan. Siapa pun yang menang dalam pemilihan presiden-wapres 2014 memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan, mendorong Indonesia lebih maju dan terbang lebih tinggi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006925604
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 30 Mei 2014

Kekerasan di Kepala Kita (Radhar Panca Dahana)

KETIKA pemain belakang Barcelona, Dani Alves, dilanggar dengan keras oleh lawannya, pemain belakang Real Madrid, Pepe, anak remaja di sebelah saya sekonyong-konyong berteriak, "Sudah... senter aja... senter aja!" Wajah remaja 14 tahun itu serius menatap kotak kaca, seolah ia berada langsung di stadion kesebelasan favoritnya, Nou Camp, Spanyol.
"Senter" sebuah istilah sepak bola tarkam (antarkampung) yang artinya menendang bola dengan kuat ke arah bagian penting tubuh orang lain, seperti kepala, dada, atau bagian alat vital. Keterkejutan saya dengan seruan keras anak itu tak ada apa-apanya ketimbang rasa kaget dan sedih saat mendengar jawaban yang saya dengar darinya ketika saya tak kuasa bertanya, "Biar apa di-senter?" "Ya, biar mati aja sekalian!" Kedua biji matanya tidak lepas dari layar kaca TV.

Lain ruang dan waktu, seorang gadis kelas II SMP menuliskan kegelisahannya via Twitter kepada sang pacar tentang salah seorang teman sekelasnya yang terus mengganggu dan menggoda agar mau menjadi kekasihnya. "Padahal kan aku sudah jadi pacar kamu," kicaunya di gadget yang sangat canggih. "Kurang ajar, biar nanti gw tabok bolak-balik tu co!" Twit balasan datang dari sang pacar. "Ya, pukulin aja ampe abis," segera sang gadis kembali berkicau, "jangan tanggung, ampe mampus biar ntar gw yg nguburin."

Asyik. Cerita di atas mungkin mengasyikkan, entah bagi kalangan remaja atau pembaca umumnya. Semua itu memang cerita, tapi bukan fiksi atau imajinasi rekaan seorang pengarang. Kisah itu adalah realitas yang benar terjadi, bukan hanya pada dua remaja yang menjadi ihwal kisah di atas. Namun, boleh jadi juga pada (puluh) jutaan anak-anak kita, generasi muda Indonesia yang menjadi penjaga republik dan bangsa ini nanti. Kekerasan sudah bersemayam dan hampir permanen dalam kepala mereka, dalam pikiran dan sudut-sudut di ruang imajiner mereka. Apa yang sebenarnya terjadi?

Yang terjadi adalah sebuah proses internalisasi kekerasan (juga vandalisme, seksualisme, verbalisme/banalisme, dan lain-lain), fisik dan psikis, virtual dan imajinatif, ke dalam diri anak-anak kita secara intens hampir tiada henti, setiap hari bahkan mungkin tiap jam di sekujur usia mereka. Sebuah proses yang terjadi tanpa kita sadari di saat kita tidak bisa menerima kenyataan kita–representan dari lembaga-lembaga tradisional—telah menjadi pecundang melawan apa yang disebut sebagai "lingkungan".

Guru-guru baru
Anak-anak negeri ini, terutama di daerah urban, sudah cukup lama mengalami semacam disorientasi, sebagaimana dikonstatasi banyak pihak, lantaran mereka kehilangan figur yang dapat mereka gugu (menjadi acuan nilai, moral, dan lainnya) maupun tiru (ikuti langkah dan perbuatannya) alias guru. Tiga kekuatan tradisional yang selama ini bertugas menjaga nilai dan menjadi contoh dari kemuliaan dan keluhuran sebuah adab atau budaya: negara (yang direpresentasi oleh sekolah formal), agama (ustaz, masjid, atau pengajian), maupun adat (orangtua/keluarga) ternyata tidak berdaya menghadapi hanya satu lawan: lingkungan.

Bila tiga kekuatan tradisional itu lekat dengan stigma yang kaku, lokal, struktural-feodal, menjemukan, cenderung otoriter dan fundamentalistik, tertutup dan membentengi diri (seperti umumnya bangunan sekolah, masjid/gereja, dan rumah-rumah modern) juga lamban, dalam arti berkembang dengan kecepatan yang kecil; sementara lingkungan sebagai lawan mereka adalah ruang egaliter, terbuka, kosmopolit, global, fun, entertaining, fresh alias segar dan selalu baru, serta bergerak dengan velocity tinggi, yang tak habis menggoda siapa pun yang berenang di dalamnya.

Semua hal di atas diwakili oleh sebuah dunia "lain" yang dalam setidaknya dua dekade belakangan ini begitu gencar dipenetrasi sehingga ia tidak hanya menjadi alternatif dari dunia nyata (real reality), tetapi juga menjadi dasar acuan yang bisa digunakan untuk meneguhkan eksistensi, hingga prestasi, prestise, maupun gengsi. Dunia khayal dan virtual yang hadir bersama berbagai genre produk canggih teknologi media informasi, mulai dari telepon seluler dengan program atau fitur-fiturnya, media sosial, internet, game daring, komik, candid video, Youtube, hingga saluran TV kabel yang menyediakan 15 saluran khusus film (movies) 24 jam setiap harinya.

Realitas virtual itu tidak hanya membuat seorang anak bisa bergeming di depan layar kaca, katakanlah untuk "nonton bioskop" hingga 3-4 kali sehari (tradisi yang dahulu hanya kita lakukan sekali seminggu), tapi juga merebut fokus atau perhatian mereka yang terebut atau tergeser dari aktivitas tradisional yang ditawarkan oleh tiga lembaga lama di atas.

Tiga lembaga di mana sebenarnya (bangsa) kita mencoba mempertahankan daya hidupnya lewat transmisi nilai, moralitas, etika, dan estetika yang dikembangkan ratusan bahkan ribuan tahun oleh nenek moyang. Tiga lembaga yang hanya mampu termangu menyaksikan hidup anak-anak biologis dan kultural mereka tiap menit tenggelam dalam gelombang virtual yang bercahaya di layar LCD mereka.

Mereka berenang pergi meninggalkan orangtua sosial-spiritual-kultural mereka, tanpa ngeri, prihatin, dan sesal sama sekali. Mereka bahagia. Kita pun terseret ikut "berbahagia". Bagaimana tidak realitas hyper-modern itu menjadi orang(tua) terdekat mereka bila intensitas perjumpaan dan komunikasi (juga proses internalisasinya) dengan realitas baru jauh lebih tinggi dibanding siapa pun yang mewakili lembaga-lembaga tradisi di atas, bahkan termasuk orangtua biologisnya sendiri?

Apa sebenarnya yang mereka dapatkan dari dunia atau guru-guru baru itu? Tidak lain spekulasi-spekulasi khayali yang mengisi lorong dan sudut-sudut ruang imajiner, intelektual, mental, bahkan spiritual anak-anak kita. Baik tentang norma atau tindakan sosial atau relasi antara manusia, kemungkinan-kemungkinan ekstrem yang dapat dilakukan manusia, bahkan "penciptaan" realitas-realitas baru yang belum pernah jadi preseden bahkan di dunia imaji generasi pendahulunya.

Bila generasi tahun 1960-an hingga awal 1980-an menikmati kekerasan dalam film-film silat Mandarin, mereka hanya menemukan tubuh yang babak belur atau sedikit darah menetes di ujung bibir atau hidung, maka hari ini kita melihat kekerasan itu dalam bentuk yang paling ekstrem, bukan hanya belati yang menembus leher atau kepala, tubuh yang terpotong dua, pedang yang melesak dada dan mengoyak jantung yang terburai keluar, tetapi juga komplet dengan erangan keras dan cipratan darah di sekujur layar kaca. Kekerasan itu begitu cermat, detail, dan rajin mengisi semua ruang kesadaran juga bawah sadar anak-anak, juga kita, ternyata.

Orangtua yang ingkar
Bila kemudian muncul berbagai kasus mengiriskan yang semua menjadi preseden dalam kehidupan sosial dan kultural kita, dia hanya menjadi konsekuensi logis dari kenyataan baru—yang tak kita sadari dan tak mampu atasi—di atas. Dengan kondisi fisis dan psikisnya yang memang rapuh dan labil, anak-anak yang tidak cukup ketat mendapat pengawasan itu akan mendapat dorongan yang tidak kuasa mereka tahan untuk mengekspresikan dunia imajiner itu dalam kenyataan.

Pada awalnya ia berbentuk spekulasi-spekulasi dalam kepala, lalu muncul dalam verbalisme seperti kisah di awal tulisan ini, dan ketika ada situasi yang mendorong/menekan mereka akan merealisasikannya, kadang tanpa mereka pahami atau sadari kenapa dan apa akibatnya. Bagaimana seorang anak belasan tahun memperhitungkan semua sebab dan akibat (sosio-kultural) untuk memukuli adik kelasnya hingga mati.

Seorang paman juga belasan tahun memerkosa keponakannya sendiri yang baru berusia tiga tahun. Seorang anak tetangga 13 tahun melakukan kekerasan seksual (paedofilia) kepada beberapa tetangganya yang belum lewat usia delapan tahun. Anak 14 tahun mencekik neneknya yang melarang ia bermain game hingga tewas tanpa ia sadari. Dan, puluhan kasus yang bisa Anda sebut sendiri.

Bila kemudian reaksi kita diwujudkan dalam bentuk sanksi dan hukuman, mengeksklusi sang pelaku dari sekolah dan kehidupan sosialnya (ke penjara anak-anak) serta memecat guru atau pimpinan dinas pendidikan, apa kemudian masalah terselesaikan? Kita tahu sendiri jawabannya. Bila para petinggi keamanan dan dunia pendidikan, hingga pemerhati dan pelindung anak-anak berseru keras untuk memberi hukuman maksimal kepada pelaku (yang juga anak-anak), apakah masalah akan lerai dan kekerasan dapat ditekan hingga minimal? Anda bisa memberi jawaban sendiri.

Semua solusi itu bukan hanya gagal mengidentifikasi substansi masalah, membaca kenyataan yang kini berkembang, tapi juga menjadi semacam alibi atau pengingkaran diri sebagai salah satu musabab dari semua tragedi di atas. Kita mungkin tidak akan pernah sadar apalagi mengakui, demi gengsi, prestise kosong, dan gaya hidup, kita justru membiayai semua kebutuhan pendidikan kekerasan itu. Pihak keamanan mengeluarkan biaya negara untuk melakukan pembiaran atau permisi terjadinya semua proses itu di depan mata mereka. Dan, sekolah meminta Rp 360 triliun dari uang rakyat untuk membiayai sistem pendidikan yang mengajarkan asas kebebasan individual, berekspresi, berserikat, hingga hak asasi yang keliru pada anak-anak didik mereka.

Di bagian lain, kaum elite dan banyak orang dewasa (orangtua) memproduksi pikiran dan perbuatan–yang terdiseminasi dengan baik melalui media massa di berbagai foranya—di mana contoh-contoh kekerasan dan deviasi seksual menjadi ilham anak dan cucunya. Kekerasan itu, teror bahkan teroris itu ada, tidak sembunyi, tapi kita pelihara dan biayai untuk berdiam di dalam diri kita, dalam rumah, dalam tas kerja hingga pikiran, perasaan dan mungkin cara kita menghayati Tuhan.

Bagaimana semua pihak yang berwenang masih saja memberlakukan pola penghukuman dan penalti yang sudah begitu ortodoksnya, untuk mengatasi soal yang begitu modern dan futuristik ini? Mengapa mereka tidak pernah mencoba memahami kebudayaan itu apa, sebelum sesumbar mengatakan, "Ada masalah budaya dalam hal ini?" Mengapa terlalu banyak kita memproduksi diksi dan semantika hampa? Apa memang telah sehampa itu hidup kita?

Radhar Panca Dahana
Budayawan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006784200
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menakar Jurnalisme Prasangka  (Atmakusumah)

PENDERITAAN subyek berita akibat "jurnalisme prasangka" seperti diuraikan S Sinansari Ecip di harian Kompas, baru-baru ini, merisaukan setiap pakar jurnalisme dan pengamat kebebasan pers. Sebab, jurnalisme semacam itu tak memenuhi standar jurnalisme profesional yang berpedoman pada kode etik jurnalistik.
"Sebagian liputannya mengandung hasil yang kurang akurat. Data yang kurang akurasinya itu langsung ditodongkan kepada orang atau lembaga tertentu (obyek liputan) dengan publikasi yang dahsyat," demikian digambarkan dalam tulisan Ecip berjudul "Awas, Jurnalisme Prasangka" pada Kompas edisi 2 April 2014.

Laporan seperti itu dapat terjadi karena kelalaian dan kurang uletnya para wartawan pengelola media pers yang memberitakan persoalan yang dialami oleh subyek berita tersebut. Bisa jadi juga karena media pers itu tak independen, tetapi memiliki kepentingan politik atau ekonomi tertentu yang bukan merupakan kepentingan publik pada umumnya.

Kemungkinan lain, media itu memang bukan media pers arus utama yang profesional yang sudah memiliki kelengkapan persyaratan untuk dapat menjalankan program peliputan investigasi atau penyidikan. Media pers profesional lazimnya punya kemampuan mengerahkan sejumlah wartawan berpengalaman.

Peliputan investigasi butuh biaya cukup besar dan tak jarang menelan waktu lama karena laporan itu perlu disajikan secara obyektif: berimbang dan fair (adil), tidak diskriminatif, serta tidak berprasangka. Bekal lain dalam penyajian karya jurnalisme investigasi tentulah keberanian, tanggung jawab, dan soliditas redaksi karena sering harus menghadapi tanggapan yang sangat kritis, terutama dari pihak subyek laporan itu yang merasa dirugikan atau dicemarkan.

Dengan demikian, laporan investigasi pers profesional perlu memberikan gambaran peristiwa atau persoalan secara lengkap atau yang dalam istilah jurnalistik dikenal sebagai obyektif dan komprehensif. Jadi, upaya peliputan pers yang ideal tidak bertujuan "pukul dulu, urusan belakang," seperti yang dikhawatirkan oleh Sinansari Ecip.

Memang, media pers kita tidak lepas dari kemungkinan menyajikan karya jurnalistik yang tidak adil. Laporan seperti ini dapat muncul dalam berita-berita cepat atau seketika yang mungkin perlu segera diberitakan meski hanya berdasarkan sumber-sumber yang belum lengkap. Misalnya, informasi baru bersumber dari kepolisian, kejaksaan, atau sidang pengadilan yang masih berkelanjutan.

Hak jawab
Penggunaan hak jawab dengan langsung memberikan keterangan tertulis atau lisan kepada redaksi media pers ataupun pemanfaatan mediasi oleh Dewan Pers antara subyek berita dan media pers termasuk di antara empat cara penyelesaian konflik akibat pemberitaan. Keempat jalur ini dapat menjadi pilihan sejak awal, bukan seperti dikatakan oleh Sinansari Ecip bahwa "pengaduan kepada polisi atau pengadilan tidak dilarang asal setelah diadukan kepada Dewan Pers."

Akan tetapi, apabila kasus itu sudah berada di jalur hukum, Dewan Pers tidak akan dapat diminta sebagai mediator, kecuali jika pihak pengadu menarik kembali pengaduan itu dari lembaga penegak hukum. Paling-paling, jika diminta, Dewan Pers hanya dapat mengirimkan saksi ahli ke pengadilan. Majelis hakim, ketika mulai menyidangkan delik pers, kadang-kadang masih menawarkan kepada penggugat untuk berdamai dengan tergugat melalui penggunaan hak jawab atau mediasi oleh Dewan Pers.

Di manakah hak jawab dapat disajikan pada media pers cetak atau media massa lainnya? Sinansari Ecip menyindir pemuatan hak jawab yang pendek dalam rubrik "Surat Pembaca" sehingga tidak terjadi perimbangan yang adil, terjadi pelaksanaan hak jawab yang tidak memadai.

Sebenarnya hak jawab tidak selamanya dimuat di rubrik "Surat Pembaca". Ada kalanya klarifikasi subyek berita yang serupa dengan hak jawab disajikan sebagai berita baru dengan huruf-huruf judul dan kolom yang lebih mencolok daripada berita awal yang ditanggapi. Redaksi, memang, memiliki kewenangan untuk memilih cara penyajian dan melakukan penyuntingan bagi seluruh isi medianya, termasuk hak jawab.

Dewan Pers-Komisi I DPR
Empat jalur tempuh yang dapat dilalui oleh khalayak ketika bersengketa dengan media pers juga telah disepakati oleh Komisi I DPR dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Dewan Pers pada 6 Juni 2000. Namun, penggunaan hak jawab tetap ditempatkan pada urutan jalur yang pertama.

Komisi I DPR sependapat dengan Dewan Pers agar ditempuh jalur yang lazim berlaku di negara-negara lain dan Indonesia selama ini jika terjadi konflik antara publik dan media pers.

Pertama, penyelesaian melalui penggunaan hak jawab. Upaya ini memberikan kesempatan kepada perseorangan atau kelompok masyarakat yang menjadi narasumber atau obyek pemberitaan untuk mengemukakan versinya yang berbeda atau bertentangan dengan isi berita yang sudah dipublikasikan atau disiarkan. Ini adalah jalur yang paling singkat, paling praktis, serta tidak menelan energi dan biaya.

Kedua, penyelesaian melalui Dewan Pers sebagai mediator. Apabila kedua pihak tidak dapat dicapai penyelesaian, mereka dapat meminta Dewan Pers sebagai mediator. Penyelesaian melalui Dewan Pers biasanya memerlukan waktu lebih lama, mungkin selama beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan, bergantung pada sederhana atau peliknya persoalan yang dihadapi.

Ketiga, penyelesaian melalui jalur hukum. Cara penyelesaian terakhir—jika salah satu atau kedua pihak merasa tidak puas dengan rekomendasi dan putusan Dewan Pers atau salah satu pihak atau keduanya tidak berniat meminta bantuan Dewan Pers—dapat ditempuh jalur hukum melalui pengadilan. Seperti dikatakan oleh Komisi I DPR, ini adalah "jalan paling panjang" yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa: bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini adalah upaya yang paling menelan energi dan biaya.

Keempat, boikot media pers. Selain menyepakati ketiga jalur di atas, Komisi I DPR juga menyarankan alternatif menggunakan social punishment dengan memboikot atau tidak menggubris media pers yang oleh Komisi I DPR disebut "tidak jujur". Dengan kata lain, masyarakat dapat melakukan tindakan: tidak membeli media pers cetak seperti surat kabar, tabloid, dan majalah; tidak mendengarkan siaran radio; atau tidak menonton siaran televisi yang "tidak jujur" atau disengketakan.

ATMAKUSUMAH
Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS); Ketua Dewan Pers 2000-2003

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005971648
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Perginya Kursi Perempuan (Adriana Venny)

KOMISI Pemilihan Umum sudah mengumumkan daftar anggota legislatif terpilih hasil Pemilu 2014. Terdapat 97 nama perempuan dari semua (560) anggota DPR. Artinya, kita hanya akan memiliki 17 persen perempuan yang akan mewakili seluruh rakyat Indonesia di badan legislatif.
Sejak merdeka, Indonesia belum pernah mencapai 30 persen representasi perempuan di parlemen. Pada Pemilu 2014, jumlah keterwakilan perempuan bahkan jeblok lagi di angka 14 persen dibandingkan dengan Pemilu 2009 yang hampir 19 persen. Padahal, sesuai dengan hasil penelitian di negara-negara seluruh dunia, 30 persen adalah angka minimal untuk dapat mengubah kebijakan hingga lebih responsif jender.

Kebijakan itu dikenal dengan affirmative action: kebijakan khusus sementara dengan kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang harus diproteksi. Meski kita sudah 68 tahun merdeka dan belum pernah mencapai 30 persen, kelak kebijakan bisa ditinjau ulang bila 30 persen sudah tercapai.

Hari-hari kemarin saya berkabung melihat rekan-rekan berlatar aktivis masyarakat sipil: calon anggota legislatif perempuan berkualitas berguguran. Padahal, mereka harapan besar bagi perubahan proses pembuatan legislasi yang berpihak kepada kaum rentan.

Namun, setelah melihat bahwa jumlah perempuan hasil Pemilu 2014 hanya berkisar 17,5 persen, marah sudah tak terbendung lagi. Akumulasi angka di setiap pemilu yang bahkan tidak pernah mencapai 20 persen. Ini adalah utang bangsa Indonesia kepada kaum perempuan Indonesia. Dampaknya jelas sangat besar, perempuan tak menikmati manfaat pembangunan secara maksimal. Justru kehidupannya semakin buruk setelah produk legislasi yang dihasilkan tidak responsif jender. Lebih dari 250 perda diskriminatif terhadap perempuan di seluruh Indonesia telah dihasilkan parlemen lokal.

Tidak kondusif
Situasi yang tak kondusif bagi perempuan berkiprah di dunia politik semacam di Indonesia sudah diramalkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Salah satu penelitinya, Farzana Bari, dalam risetnya, Women's Political Representation: Issues and Challenges, menggambarkan tantangan yang umumnya dihadapi perempuan ketika ingin terjun dalam dunia politik. Pertama adalah faktor ideologi (misalnya anggapan bahwa perempuan tidak cocok masuk dunia politik); kedua, faktor politik (perempuan susah masuk dalam atmosfer klub patriarkal); ketiga, faktor sosial kultural (tingkat pendidikan perempuan yang lebih rendah, atau beban domestik misalnya); keempat, tiadanya sumber ekonomi untuk modal kampanye (data seluruh dunia menunjukkan perempuan lebih miskin daripada laki-laki).

Empat faktor tersebut diyakini adalah sumber masalah minimnya tingkat partisipasi perempuan di politik. Adapun strategi yang biasanya dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi perempuan sehingga berhasil duduk di parlemen dan kemudian menggulirkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kelompok marjinal, antara lain, adalah kuota jender. Sistem pemilu yang dibangun harus memperhatikan adanya tindakan khusus sementara minimal 30 persen yang dikawal hingga pemilu berakhir.

Dalam sistem pemilu di negara-negara lain digambarkan bahwa kursi perempuan tidak dapat diganggu gugat. Bahkan, partai politik tak bisa masuk ke parlemen jika ia tak mempunyai komposisi 30 persen perempuan untuk didudukkan di parlemen. Di negara seperti ini, kuota menjadi bagian dari ambang batas parlemen.

Dalam kasus Indonesia di Pemilu 2014, adanya 37 persen caleg perempuan dalam daftar calon tetap (DCT) ternyata tidak berbanding lurus dengan perolehan suara perempuan yang hanya 14 persen. Artinya, kuota tidak terproteksi dengan baik. KPU sebenarnya memiliki regulasi memproteksi komposisi jumlah caleg perempuan di setiap dapil dengan memberikan sanksi kepada parpol yang tak memenuhi 30 persen caleg perempuan: di dapil tersebut partai itu dicoret.

Kenyataannya, regulasi tersebut tak cukup. Seharusnya KPU memiliki regulasi lebih bahwa hasil pemilu di setiap dapil juga harus memenuhi kuota 30 persen. Caranya dengan memberikan kursi kepada caleg perempuan dengan suara terbanyak di bawah laki-laki. Cara seperti ini mungkin akan menyingkirkan caleg laki-laki dengan suara terbanyak terakhir. Akan tetapi, langkah ini terpaksa diambil jika tidak mau Indonesia disebut negara terbelakang dengan keterwakilan perempuan yang selalu rendah.

Apalagi, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan uji materi untuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif. Dalam putusannya, tersirat MK memprioritaskan keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif. Pasal 215 yang berbunyi "mempertimbangkan" dimaknai jadi mengutamakan keterwakilan perempuan. Meski putusan ini baru diberlakukan pada Pemilu 2019, KPU harus cukup percaya diri menerapkan ini pada pemilu sekarang.

Dua cara di atas adalah contoh proteksi yang bisa dilakukan negara kita dengan berlandaskan pada spirit akan pentingnya tindakan khusus sementara. Soalnya, angka 14 persen adalah kemunduran bagi bangsa Indonesia. Kita seharusnya malu kepada negara yang baru merdeka seperti Timor Leste yang tingkat keterwakilan perempuannya sudah hampir 40 persen. Jaminan kuota itu ada dalam Magna Charta yang tak bisa diganggu gugat laki-laki.

Intervensi program agar semua bisa berjalan adalah keharusan. Perempuan memang tidak bisa dibiarkan terjun bebas seorang diri. Ia harus diproteksi. Tanpa itu, sampai dengan kiamat, Indonesia tak akan pernah mencapai keterwakilan 30 persen. Jika memang sudah ada intervensi program tetapi kemudian upaya afirmasi masih tetap gagal, ini perlu segera dievaluasi. Yang jelas, sistem pemilu yang berjalan saat ini tak mungkin tetap dipertahankan.

Harus ada terobosan baru menjawab semua tantangan di atas. Perempuan Indonesia harus merebut kembali kursi mereka yang hilang di parlemen, sekarang atau tidak sama sekali. Kursi itu adalah suara dan aspirasi kaum yang selama ini terlupakan.

Adriana Venny
Doktor Filsafat UI dan Pendiri Lembaga Partisipasi Perempuan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006784154
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: MK Tegaskan Netralitas TNI (Kompas)

MAHKAMAH Konstitusi menegaskan netralitas anggota TNI-Polri dalam Pemilu Presiden 2014 yang akan berlangsung 9 Juli mendatang.
Putusan MK yang diputuskan secara bulat oleh sembilan hakim konstitusi pada 28 Mei 2014 seharusnya mengakhiri kontroversi soal perlu tidaknya diterbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang khusus mengatur soal penegasan boleh tidaknya anggota TNI-Polri memilih dalam pemilu presiden.

Ketidakpastian hukum soal hak pilih anggota TNI-Polri muncul dalam rumusan Pasal 260 UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden yang menyebutkan, "Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 anggota TNI dan anggota Polri tidak menggunakan haknya untuk memilih." Karena adanya penegasan waktu "tahun 2009 anggota TNI dan Polri tidak menggunakan haknya untuk memilih", terbuka ditafsirkan bahwa pada 2014, anggota TNI dan Polri bisa menggunakan hak pilihnya.

Pemerintah mengantisipasi soal hak pilih anggota TNI-Polri dan masalah pemungutan suara serentak di luar negeri dalam pemilu presiden dengan menyiapkan draf perppu. Ketidakharmonisan terjadi karena UU Pemilu Anggota DPR telah diperbarui, sedangkan UU Pemilu Presiden masih menggunakan undang-undang lama, yakni UU No 42/2008. Ketidakpastian hukum inilah yang dipersoalkan mantan Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim dan menguji undang-undang itu ke MK.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa anggota TNI-Polri tetap netral dan tidak menggunakan haknya untuk memilih. MK berpendapat putusan anggota TNI-Polri tidak menggunakan haknya untuk memilih adalah kebijakan pembuat undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan, mengacu pada UU TNI dan UU Polri, MK menegaskan kembali posisi anggota TNI dan Polri untuk bersikap netral serta tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Putusan MK itu patut diapresiasi karena mulai didiskusikan kembali soal hak pilih anggota TNI-Polri. Penegasan MK melalui putusannya seharusnya mengakhiri kontroversi soal hak pilih anggota TNI-Polri yang mengarahkan presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang soal hak pilih TNI-Polri.

Penegasan MK soal netralitas TNI-Polri dan penegasan anggota TNI-Polri tidak berpolitik praktis harus menjadi pedoman bagi pimpinan serta anggota TNI-Polri. Pimpinan TNI-Polri, termasuk intelijen, dituntut benar-benar menjaga lembaganya dari kemungkinan ditarik ke lapangan politik praktis untuk kepentingan politik kekuasaan. Kekhawatiran itu wajar mengingat sejumlah purnawirawan TNI-Polri menjadi tim pemenangan pemilu presiden, bahkan menjadi calon presiden. Kita meyakini TNI di bawah Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman bekerja profesional mengamankan jalannya Pemilu Presiden 2014 agar tetap berkualitas.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006909097
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Rakyat Mesir Memilih Tokoh Militer (Kompas)

KEMENANGAN Abdul Fatah El-Sisi, mantan pemimpin militer Mesir, dalam pemilu presiden beberapa hari lalu, tidaklah mengejutkan.
Menurut perhitungan sementara, mantan orang kuat di jajaran militer Mesir itu memenangi lebih kurang 93 persen dari 23,9 juta suara. Sebanyak 25 juta lebih dari 54 juta pemilih yang terdaftar telah menggunakan haknya dalam pemilu presiden kedua setelah Revolusi 2011.

Dengan demikian, jumlah pemilih yang menggunakan haknya tidak mencapai 50 persen, tetapi hanya 46 persen. Jumlah pemilih yang menjatuhkan pilihan kepada Sisi ini lebih banyak ketimbang yang menjatuhkan pilihan kepada Muhammad Mursi dalam Pemilu 2012. Ketika itu, Mursi mendapat dukungan 13 juta suara. Ini artinya, posisi Sisi lebih kuat dari sisi dukungan rakyat, dibandingkan Mursi.

Walaupun kemenangan Sisi itu sudah dapat ditebak sebelumnya, dengan menyingkirkan pesaingnya, Hamdin Sabahi, yang hanya mengantongi sekitar 3 persen suara atau 756.000 suara, toh tetap menggoda orang untuk tahu: mengapa rakyat Mesir yang sudah memiliki pengalaman diperintah oleh seorang presiden berlatar belakang militer tetap menjatuhkan pilihan kepada Sisi yang purnawirawan jenderal dan menyingkirkan Mursi lewat gerakan militer yang menelan korban jiwa begitu banyak?

Melihat situasi dan keadaan Mesir setelah tumbangnya Mursi yang dari hari ke hari semakin tidak aman, maka alasan perlunya pemulihan keamanan dan stabilitas menjadi pilihan utama rakyat Mesir. Latar belakang Sisi yang militer dan intelijen sangat dibutuhkan untuk merestorasi keamanan dan stabilitas Mesir. Rakyat Mesir tidak menginginkan Mesir tergelincir seperti Irak dan Afganistan yang dijerat konflik tiada henti. Hamdin Sabahi tak mungkin mewujudkan harapan rakyat itu.

Sisi juga dinilai sebagai tokoh politik yang memiliki program realistis, tidak sekadar omong kosong, dalam setiap kampanyenya. Mereka ingat, Mursi gagal mewujudkan janji kampanyenya dalam 100 hari pertama masa kepresidenannya, sekurang-kurangnya memulihkan stabilitas politik dan keamanan, juga ekonomi. Dibandingkan dengan Sabahi, program Sisi juga dinilai lebih realistis. Sabahi, misalnya, berjanji akan memberikan 1.400 dollar AS kepada setiap orang muda Mesir jika ia menang. Dari mana uang tersebut akan diperoleh Sabahi meski dia kaya?

Satu hal lagi yang menjadi faktor kemenangan Sisi adalah dukungan kaum Muslim moderat yang menginginkan Mesir benar-benar aman dan damai. Namun, pada akhirnya, semua akan menunggu apakah Sisi benar- benar mampu mewujudkan cita-cita Revolusi 2011—menjadikan Mesir sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia serta bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak seperti rezim sebelumnya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006909665
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 28 Mei 2014

Revolusi Sekali Lagi (Donny Gahral Adian)

SETIAP ajang pemilihan umum sejatinya adalah pergelaran ideologi. Namun, sering kali, setiap kandidat sekadar menyampaikan visi-misi tanpa basis ideologis yang jelas. 

Kebanyakan mereka merumuskan sesuatu yang sangat kuantitatif. Kuantifikasi senantiasa menyelewengkan perhatian publik dari basis ideologis yang dipakai.  Menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen per tahun, misalnya. Hal itu bisa dicapai melalui peningkatan investasi asing secara inkremental. Apa yang luput dari metode ini adalah fakta investasi asing tak sebangun dengan lapangan pekerjaan. Sebab, sebagian besar lari ke sektor keuangan, bukan riil. Di sini proposal Jokowi tentang "revolusi mental" (Kompas, 10/5) menarik dicermati.

Revolusi
Revolusi harus berjalan dua kali di republik ini. Setelah revolusi fisik yang membebaskan bangsa dari kolonialisme, saatnya republik ini mengalami revolusi nonfisik untuk membebaskannya  dari diri sendiri. Sebuah diktum psikologi sosial mengatakan, "mereka yang bebas dari ketakutan biasanya mengidap ketakutan akan kebebasan". Artinya, mental kuli sulit dilepaskan dari bawah sadar kita sebagai bangsa. Kita, misalnya, lebih suka menjual kekayaan alam melalui kontrak karya yang merugikan ketimbang mengelola sendiri. Aset-aset milik BUMN banyak disewakan kepada perusahaan asing, bukannya dikelola sendiri. Pertumbuhan kepribadian bangsa kita berhenti pada  mentalitas makelar, bukan industriawan.

Perekonomian bertumbuh cukup pesat. Daya beli masyarakat naik cukup signifikan. Pertentangan kelas semakin mengabur. Saat ini buruh dan majikan bersandingan di jalan raya menaiki motor gede yang sama. Persoalannya, pertumbuhan ekonomi ini dilakoni oleh orang-orang yang takut terhadap kebebasan. Alih-alih memanfaatkan anggaran belanja sendiri untuk membangun infrastruktur, kita lebih suka meminjam uang lembaga keuangan asing dengan sederet syarat merugikan. Bukan rahasia lagi setiap proyek dari pinjaman luar negeri mengharuskan kita merekrut konsultan asing dengan gaji dollar. Konsultan lokal hanya pelengkap yang dibayar murah. Belum lagi pemasok kebutuhan proyek ditunjuk dari perusahaan negara kreditor.

Pesannya cukup gamblang. Kita harus menyudahi mentalitas "tangan di bawah" dan memulai mentalitas "tangan di atas". Yang memberi posisinya lebih tinggi daripada yang diberi. Bangsa ini defisit kepercayaan diri. Defisit itu berakibat pada lumpuhnya harga diri. Lumpuhnya harga diri berarti hilangnya agensi atau kepelakuan. Ekonom Amartya Sen mengatakan bahwa kesejahteraan harus memuat kepelakuan. Kesejahteraan yang dibangun dari belas kasih orang lain bukanlah kesejahteraan. Jelas di sini betapa variabel mentalitas sangat bahkan lebih fundamental ketimbang finansial.

Sayangnya, republik ini dibangun tanpa visi mentalitas jelas. Kita senantiasa menggaungkan visi ekonomi yang sangat kuantitatif. Padahal, di balik angka-angka itu bersembunyi patologi ketakutan terhadap kebebasan. Kita takut mandiri. Kita lebih menikmati ketergantungan. Stabilitas harga kebutuhan pokok, misalnya, dapat dicapai melalui impor atau membangun kedaulatan petani.

Kita sering kali memilih yang pertama. Yang terpenting adalah pertumbuhan dan stabilitas. Perkara apakah pertumbuhan itu memukul nilai tukar petani bukan soal yang patut dipergunjingkan. Pertumbuhan finansial sering kali berbanding terbalik dengan proses pendewasaan mental sebuah bangsa.

Aras ideologis
"Revolusi Mental" Jokowi tampaknya berdiri di atas aras ideologis yang lebih luas. Ia meletakkannya di atas nasionalisme yang dikerucutkan pada (meminjam gagasan Bung Karno): kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian bangsa. Nasionalisme jenis ini bukan sekadar jargon, tetapi apa yang saya sebut sebagai a working nationalism (nasionalisme yang bekerja).  Sebab, nasionalisme tersebut menuntut sebuah tindakan konkret baik pada tingkatan aktor maupun sistem. Pemimpin nasionalis harus sadar betapa kebijakannya kelak pasti terbentur pada sistem yang dibangun berdasarkan mentalitas "tangan di bawah". Sebab itu, nasionalisme menuntut sebuah perubahan radikal baik di tataran aktor maupun sistem. Kebijakan untuk meningkatkan taraf hidup petani harus diiringi perubahan tata kelola perniagaan yang berpihak pada impor pangan.

Nasionalisme, pertama-tama, mengharuskan kita berdaulat secara politik. Kedaulatan di sini harus dipahami bukan semata-mata teritori atau geografi. Kedaulatan adalah wewenang penuh yang dimiliki oleh sebuah bangsa untuk menentukan bulat lonjong nasibnya sendiri.

Kita memiliki kewenangan, tetapi sekali lagi, takut untuk menggunakannya. Kita dapat menentukan sendiri sistem politik  yang paling tepat untuk bangsa ini. Namun, kenyataannya, kita menelan mentah-mentah demokrasi liberal yang sesak dengan kesejarahan, habitus, dan tradisi masyarakat Anglo-Amerika. Kita mengukur keberhasilan politik kita dengan penggaris lembaga-lembaga demokrasi Barat. Padahal, penggaris demokrasi mereka tidak pernah mengukur derajat solidaritas sosial, melainkan semata-mata fairness sebuah persaingan politik.

Kedua, kita harus mandiri secara ekonomi. Mentalitas makelar harus dibuang jauh-jauh. Saban hari investor dari sejumlah negara datang mencari peluang investasi di Indonesia. Yang sering terjadi, pelaku usaha kita jadi makelar belaka. Sebuah peluang usaha ditawarkan kepada asing dengan kepemilikan saham timpang. Bahkan, sering kali, pelaku usaha kita hanya menjadi operator bagi bisnis orang asing dengan ganjaran saham kosong. Sumber daya alam milik adalah milik kita. Sudah selayaknya, pelaku usaha kita yang mengupayakannya dengan modal dan jerih payah sendiri. Investor asing boleh dilibatkan, tetapi dengan opsi buy back yang jelas. Jangan kita semata-mata menjadi operator bagi duit orang lain.

Terakhir, berkepribadian dalam kebudayaan adalah harga mati. Kita memang bangsa majemuk secara kebudayaan. Namun, kemajemukan itu perlu memiliki identitas kultural bersama yang kokoh. Feodalisme tak boleh jadi identitas kultural itu. Sebab, feodalisme setali tiga uang dengan ketergantungan. Revolusi mental patut diselenggarakan guna mewujudkan bangsa mandiri, toleran, dan memiliki semangat gotong royong. Sistem pendidikan jangan sekadar menciptakan lulusan terbaik untuk jadi kuli di perusahaan asing. Pendidikan juga jangan sekadar menciptakan manusia pintar, tetapi tak punya kepekaan sosial terhadap mereka yang kurang beruntung. Nalar persaingan memang baik untuk meningkatkan kinerja. Namun, tanpa dibarengi nalar kerja sama atau gotong royong, bangsa ini sesungguhnya kosong secara kepribadian.

Akhirul kalam, "revolusi mental" adalah bagian dari perubahan ideologi yang sangat fundamental. Sudah saatnya republik ini diselenggarakan berdasarkan patokan ideologis yang jelas dan terpilah (clear and distinct). Tanpanya, republik ini akan kembali jatuh ke tangan pemimpin yang salah urus. Pemimpin yang mengurus republik dengan mentalitas "tangan di bawah".

Donny Gahral Adian
Dosen Filsafat UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006587609
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Membumikan Politik LN (Darmansjah Djumala)

MENJELANG Pemilihan Presiden 9 Juli 2014, hawa politik Indonesia dipenuhi oleh manuver parpol untuk membangun koalisi.
Lobi dan silaturahim politik lintas partai bergulir kencang. Program dibincangkan, visi-misi disama-persepsikan agar nanti solid dalam pelaksanaannya lima tahun ke depan. Namun, coba periksa program partai politik itu, nyaris hanya menyentuh isu-isu domestik, seperti ekonomi, lapangan kerja, pendidikan, dan kesehatan.

Bisa dimengerti karena isu ini dianggap seksi untuk mendulang suara konstituen. Memang, tak ada yang salah dengan gejala ini. Hanya masalahnya kemudian adalah bagaimana menempatkan semua program domestik  ini dalam bingkai hubungan ekonomi luar negeri? Galibnya penganut ekonomi terbuka, Indonesia tidak bisa menafikan tarikan arus globalisasi dalam perekonomiannya. Oleh karena itu, kebijakan domestik yang diunggulkan tersebut harus dikait-laraskan dengan politik luar negeri.

Inilah tugas berat pelaksana diplomasi dan politik luar negeri: menciptakan koneksitas antara program domestik dan politik luar negeri. Bagaimana caranya? Mari tengok program calon-calon presiden yang ada. Dengan pertimbangan idealisme dan garis politik partai atau alasan taktis untuk mendulang suara, program calon-calon presiden berorientasi kepada rakyat dan ekonomi kerakyatan.

Diplomasi kerakyatan
Untuk menjamin koneksitas antara politik luar negeri dan program pro rakyat, tak ada cara lain kecuali "membumikan" politik luar negeri agar memberikan manfaat nyata bagi rakyat. Setidaknya ada dua tataran  yang dapat dijadikan basis untuk membuat politik luar negeri membumi dan bermanfaat bagi rakyat.

Pertama, tataran orientasi kebijakan. Tantangan bagi pelaku diplomasi dan politik luar negeri lima tahun ke depan adalah menerjemahkan komitmen politik yang pro rakyat tadi. Kata kunci dalam konteks ini adalah "ekonomi kerakyatan", yang per
definisi diartikan sebagai kebijakan yang berorientasi pada sebanyak-banyaknya kepentingan rakyat.

Akan tetapi, dalam banyak kasus, ekonomi kerakyatan kerap dimispersepsikan sebagai kebijakan yang tidak pro bisnis, tidak ramah terhadap modal asing, dan bahkan anti kapitalisme. Sejatinya ekonomi kerakyatan tak perlu diperlawankan dengan ekonomi kapitalis (yang dengan demikian dianggap anti modal dan tak pro bisnis) karena keduanya memang dua hal yang berbeda.

Kapitalisme adalah paham, sementara ekonomi kerakyatan adalah orientasi kebijakan. Keduanya tak perlu didikotomikan. Ekonomi  kapitalis juga dapat berorientasi kerakyatan, seperti menggelontorkan modal secara masif untuk mengembangkan potensi petani dan nelayan. Industrialisasi pertanian dan perikanan adalah sedikit dari banyak contoh bagaimana modal tak memusuhi ekonomi kerakyatan dan bagaimana ekonomi kerakyatan tidak anti modal.

Bagaimana tafsir diplomasi dan politik luar negeri atas ekonomi kerakyatan? Ajaran dasar hubungan internasional mengatakan: politik luar negeri adalah cerminan politik dalam negeri. Seturut itu, politik luar negeri adalah subordinasi dari politik nasional. Jika politik nasional pro rakyat, diplomasi dan politik luar negeri juga harus berorientasi rakyat dan ekonomi kerakyatan.

Dalam bingkai pikir semacam ini tak salah jika pelaksanaan politik luar negeri harus mengedepankan diplomasi ekonomi yang memberikan manfaat langsung bagi rakyat: diplomasi ekonomi kerakyatan. Diplomasi semacam ini harus  mempromosikan hubungan ekonomi perdagangan dan investasi yang menyentuh langsung potensi rakyat dan yang membuka lapangan kerja. Menarik investasi asing dan mengarahkannya untuk sektor pertanian, perikanan, peternakan,  infrastruktur, industri manufaktur berbasis desa, dan menggenjot ekspor produk  yang dihasilkan kalangan bawah dapat dirujuk sebagai model diplomasi ekonomi yang membumi dan memberi manfaat bagi rakyat.

Imbas kerakyatan
Kedua, pilihan isu dalam diplomasi juga dapat menentukan apakah politik luar negeri memberikan manfaat langsung bagi rakyat. Secara umum ada kesan di kalangan rakyat bawah bahwa politik luar negeri dan diplomasi itu elitis dan mendunia. Mungkin rakyat bertanya apa manfaat isu nuklir, G-20 atau perubahan iklim bagi peningkatan harkat hidup mereka. Dalam perspektif rakyat, isu itu  "jauh tinggi di awan", tak tergapai. Untuk ikut terlibat di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka pun tak mampu karena tak berpijak.

Alhasil, dalam situasi seperti ini posisi rakyat bagaikan "menggapai awan tak sampai, menginjak bumi pun tak menjejak". Di sinilah, sekali lagi, terasa ada keperluan untuk menciptakan koneksitas antara apa yang diperjuangkan diplomat dan kebutuhan rakyat. Harus diakui bahwa keterlibatan Indonesia dalam deliberasi isu-isu global dapat mendongkrak citra sebagai negara yang memikirkan kemaslahatan umat manusia.

Namun, dalam upaya membumikan diplomasi dan politik luar negeri baik, kiranya jika segala komitmen dan kepemimpinan Indonesia di forum perubahan iklim, misalnya, dapat berimbas pada kehidupan rakyat. Komitmen dan target pengurangan emisi karbon yang signifikan yang sudah dideklarasikan dapat menjadi credentials bagi Indonesia untuk mendapat dukungan internasional, baik dalam bentuk dana, teknologi, maupun peningkatan kapasitas dalam program adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim bagi petani dan nelayan. Dengan cara ini komitmen global Indonesia mampu menciptakan imbas kerakyatan bagi golongan menengah bawah.

Peran aktif di forum pembangunan sosial dunia harus berimbas pada pemberdayaan perempuan di pedesaan dan remaja putus sekolah. Kepedulian terhadap nasib TKI bermasalah di luar negeri mungkin bisa dirujuk juga sebagai pelaksanaan diplomasi dan politik luar negeri yang membumi dan berdampak langsung terhadap kepentingan rakyat kecil. Untuk menjamin agar program pro rakyat benar-benar dapat dilaksanakan dalam tataran operasional diperlukan diplomasi berjemaah yang melibatkan semua pemangku kepentingan politik luar  negeri.

Darmansjah Djumala
Diplomat, Saat Ini Bertugas di Polandia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006740187
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Perlindungan Sosial untuk Pekerja (Axel van Trotsenburg)

TIGA dekade terakhir merupakan cermin keberhasilan para pekerja di Asia Timur-Pasifik. Jutaan penduduk telah terangkat dari kemiskinan dan negara-negara yang satu generasi sebelumnya tergolong miskin kini telah mengintegrasikan dirinya ke dalam rantai nilai global—suatu prestasi yang melebihi kawasan lain mana pun di dunia.

Namun, kemajuan kita dalam perlindungan sosial belum berhasil mengimbangi kemajuan dalam penciptaan lapangan kerja. Lebih dari setengah jumlah pekerja di sejumlah negara bekerja dalam sektor informal tanpa ditunjang peraturan ketenagakerjaan dan kebijakan perlindungan sosial.

Hal ini berarti manfaat-manfaat mendasar, seperti fasilitas kesehatan dan jaminan bagi mereka yang tidak bekerja, praktis tidak terjangkau oleh demikian banyak penduduk yang sebenarnya telah bekerja keras.

Agar kawasan Asia Timur-Pasifik dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan kesejahteraan bersamanya, menurut hemat kami, para penentu kebijakan di kawasan ini sebaiknya mempertimbangkan penerapan kebijakan sosial agar manfaatnya dapat dinikmati oleh semua tenaga kerja, apa pun bentuk pekerjaan yang mereka miliki dan di mana pun mereka bekerja.

Paket-paket sederhana yang didanai secara nasional dan ditujukan bagi penduduk tidak bekerja, seperti yang diterapkan di Thailand, Vietnam, dan Tiongkok, akan dapat dinikmati oleh para pekerja informal juga. Program-program lain, seperti kebijakan kesehatan universal di Thailand, akan memangkas biaya kesehatan bagi para pekerja dan mendorong mereka untuk semakin sering memanfaatkan layanan tersebut. Indonesia kini telah memulai program kesehatan universal serupa.

Model jaminan sosial baru tersebut akan membantu menutup kesenjangan kebijakan yang ada yang kini masih mengesampingkan perempuan, kaum muda, dan pekerja berketerampilan terbatas.

Mereka terpaksa mengambil pekerjaan yang tidak memiliki perlindungan, tidak tercakup dalam peraturan, dan tidak terkena pajak, seperti tertera dalam bukti empiris pada laporan terbaru Bank Dunia, East Asia Pacific at Work: Employment, Enterprise and Well-Being.

Selain itu, riset kami menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen penduduk berusia 15-24 tahun tidak memiliki pekerjaan dan mengenyam pendidikan atau pelatihan. Pengabaian akan hal ini dapat menyulut kebencian dan bahkan kekerasan.

Apabila dikombinasikan dengan peningkatan kesenjangan pendapatan antara mereka yang memiliki kontrak kerja resmi dan mereka yang tidak, negara-negara ini mungkin akan dihadapkan pada bauran potensi gejolak sosial.

Kebijakan dan penegakan hukum
Kenapa kelompok-kelompok yang rentan dalam masyarakat kita tidak tersertakan dalam jaminan sosial? Akar masalahnya adalah kombinasi dari dua hal: kebijakan yang relatif ketat di atas kertas dan tidak adanya penegakan hukum secara tegas yang mendorong semakin banyak tenaga kerja ke sektor informal.

Sebagai contoh, beberapa kebijakan, misalnya sistem pembayaran pesangon yang tinggi di Indonesia, menghambat penciptaan lapangan kerja. Para pemilik usaha cenderung tidak mengambil tenaga kerja baru jika memiliki kewajiban membayar biaya pesangon yang jumlahnya empat kali lipat daripada pesangon di Eropa Barat.

Beragam tantangan ini dapat menjadi peluang. Kawasan Asia Timur dan Pasifik memiliki sejarah peraturan ketenagakerjaan dan kebijakan perlindungan sosial yang relatif singkat sehingga dapat menerapkan suatu model baru dengan biaya yang relatif rendah. Sekarang adalah waktu yang tepat. Seiring melambatnya pertumbuhan di Asia Timur-Pasifik, kini banyak negara merencanakan reformasi struktural untuk memformalkan ekonomi mereka.

Konstituen utama
Penentu kebijakan juga tidak boleh melupakan para konstituen utama: pemilik usaha dan penanam modal. Mari kita bantu sektor swasta untuk terus berinvestasi dan berinovasi, terutama badan usaha berskala kecil dan menengah, yang membentuk sebagian besar lapangan kerja di kawasan ini. Sering kali badanbadan usaha ini terbentur berbagai halangan dalam mengembangkan usaha mereka. Peraturan sebaiknya mempermudah perluasan usaha, bukan membatasinya.

Keragaman ekonomi di kawasan ini tentunya, menyebabkan prioritas kebijakan yang berbeda pula di masing-masing negara. Untuk kebanyakan negara yang masih bersifat agraris akan terbantu dengan kebijakan-kebijakan yang mendorong peningkatan produktivitas di bidang pertanian.

Ekonomi dengan kawasan perkotaan yang berkembang—Tiongkok, Indonesia, Filipina, dan Vietnam—akan terbantu dengan adanya kawasan perkotaan yang berfungsi lebih baik, dilengkapi dengan infrastruktur dan sektor jasa yang lebih baik.

Tentunya, seiring dengan peningkatan urbanisasi di Asia Timur-Pasifik, kebijakan tentang ketenagakerjaan dan jaminan sosial perlu disesuaikan dengan berbagai tantangan serta peluang yang dihadapi oleh warga kota dan daerah sekitarnya. Para penentu kebijakan memiliki pilihan untuk mengkhawatirkan adanya aglomerasi perkotaan ini atau menimba manfaat darinya.

Bank Dunia berkomitmen untuk bekerja dengan negara-negara Asia Timur-Pasifik dalam upaya perancangan dan penerapan kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang manfaatnya dapat dirasakan oleh semua warga dan tidak hanya para pekerja yang menerima upah.

Model baru tersebut dapat mendorong peningkatan permintaan domestik dan memungkinkan terciptanya gelombang baru pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kawasan ini sekaligus memastikan pemerataan manfaat pembangunan hingga dapat dinikmati oleh kaum masyarakat yang paling membutuhkan perlindungan sekalipun.

Axel van Trotsenburg
Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006784631
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pendidikan Sains (Elisabeth Rukmini)

SEORANG teman dekat saya bercerita tentang protes  anaknya mengenai hasil ulangan IPA kelas V SD. Soal gurunya demikian: "Air terjun adalah energi …" (titik-titik).

Sang anak menjawab "energi gerak". Jawaban itu disalahkan. Ketika ditanyakannya kepada gurunya, jawaban yang benar adalah "energi listrik".

Ada lagi seorang ibu yang mengeluhkan salah satu soal ulangan IPS kelas V SD: "Penandatanganan kedaulatan Indonesia (27 Desember 1949) dilakukan di ... dan ....." Jawaban anaknya: "Jakarta dan Den Haag". Jawaban itu disalahkan oleh gurunya karena yang benar adalah "Indonesia dan Belanda".

Jawaban guru hanya satu yang benar, jawaban murid menyatakan dapat lebih dari satu yang menurut dia benar dengan logika pikir dan hasil cernanya terhadap topik IPA dan IPS yang diberikan guru kepadanya. Sayang kisah ini berhenti pada kekecewaan sang anak yang memberi jawaban benar tetapi dianggap salah.

Kisah di atas mewakili tak hanya pendidikan sains, tetapi juga menyisakan pekerjaan rumah pendidikan karakter. Dalam sains, ilmu alam, dan ilmu sosial, banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan satu jawaban benar. Kalaupun hanya dapat dijawab dengan satu jawaban benar, tetap ada jalan pikir yang dapat dijelaskan.

Bila guru memberikan soal isian (titik-titik), tidaklah berarti pasti hanya satu jawaban yang benar. Pada contoh di atas, murid belajar relativitas. Karakter relativitas, ukuran atas hal-hal yang benar dan yang keliru. Bila guru memfasilitasi ini, walaupun soalnya hanya mengisi isian singkat, tetapi isian itu jawabannya tidak hanya satu, maka kelas juga akan diperkaya dengan jawaban yang beragam. Ketika soal dibahas, murid akan melihat ternyata ada jawaban lain yang benar. Di dalamnya tersirat penghargaan atas kebenaran yang beragam.

Satu lagi contoh kasus di tingkat menengah. Dalam pelajaran IPA, guru mengajak murid ke lapangan rumput. Guru meminta murid menebarkan kuadran 30 cm x 30 cm dan mengamati apa yang ada dalam kuadrannya. Mayoritas kelas melaporkan melihat rumput dan tanah. Jika guru menerima saja pengamatan ini, maka tak ada pembentukan karakter saintis di dalamnya. Lain halnya bila guru mau bersusah payah menambah aturan main dengan meminta murid menggali 1 cm-10 cm dan mencatat secara berkala. Ada karakter ketelitian, kesabaran, relativitas, rekam jejak, pluralitas yang sekaligus dipelajari.

Sejarah para penemu yang berpengaruh secara sosial budaya juga perlu diperkenalkan sebagai bagian pendidikan karakter. Penemuan telepon, telegraf, komputer hanya sedikit contoh kisah nyata karakter ilmuwan yang tumbuh dan berpengaruh terhadap sejarah dunia. Penemu sistem perdagangan, mata uang, koperasi jelas membangun keterbukaan dan kemajuan bangsa.

Dari para penemu, murid belajar nilai-nilai kerja keras, ketangguhan, ketelitian, keterhubungan dengan manusia, kesuksesan yang tidak instan. Dari penemuan mereka, murid belajar sains, teknik, matematika, ekonomi, keuangan, sistem kenegaraan yang membantu perubahan sosial. Dari para ilmuwan dan penemu perempuan, siswa dapat belajar tak hanya temuannya, tapi juga semangat melawan penindasan pada masanya. Secara tak langsung, ada karakter kebangkitan, feminisme, berbelarasa.

Masih gagap
Sayangnya, kita sering kali memisahkan pendidikan karakter dengan pendidikan sains. Sains dianggap sebagai hard sciences, sedangkan pendidikan karakter adalah soft sciences. Mengapa tidak belajar sekaligus karakter dan sains?

Setelah Kurikulum 2013 menuai protes atas keterburuan pemerintah menerapkannya, yang dijawab Mendiknas dengan mengemukakan keunggulan kurikulum tersebut, di lapangan memang masih ada kegagapan melaksanakannya. Ide kurikulum integratif tentu sangat baik. Termasuk di dalamnya menggabungkan pendidikan sains dan karakter. Tetapi, di dalamnya diperlukan perubahan paradigma yang seketika dan berbalik arah.

Pun jika pelaksanaan kurikulum ini ditunda, bukanlah jaminan ada revolusi cara pandang di tingkat sekolah kita. Pada taraf keputusan karenanya juga diperlukan revolusi. Setuju atau tidak setuju, dilaksanakan atau tidak dilaksanakan segera, tetap menuntut persiapan tingkat sekolah dan guru.

Biasanya pergantian pemerintahan juga diikuti pergantian pejabat. Tak terkecuali di bidang pendidikan. Namun, yang diperlukan kini bukanlah ganti pejabat ganti kurikulum, melainkan estafet kurikulum dengan perubahan seketika paradigma di lapangan. Hal yang terakhir jelas perlu pembimbingan.

Karena itu, gerakan mendayagunakan ahli pendidikan yang sevisi integratif untuk membantu perubahan paradigma jelas diperlukan.

Kepada para capres, mari kita titipkan revolusi di tingkat kelas dan guru untuk tetap meneruskan semangat kurikulum integratif.

Elisabeth Rukmini
Akademisi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006787426
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Dukungan bagi Palestina (Kompas)

DUKUNGAN Gereja Katolik bagi pembentukan negara Palestina merdeka ditegaskan lagi oleh Paus Fransiskus dalam lawatan baru-baru ini ke Timur Tengah.
Posisi Vatikan memang mengacu pada gagasan pembentukan dua negara terpisah antara Israel dan Palestina, yang harus hidup berdampingan secara damai. Vatikan juga mendukung ide internasionalisasi kota suci Jerusalem. Dengan mendorong pembentukan dua negara terpisah, Vatikan sekaligus mengakui, bangsa Palestina dan Israel sama-sama mempunyai hak membentuk negara merdeka di tanah airnya sendiri.

Israel sudah mendirikan negara merdeka sejak 1948. Sebaliknya, upaya Palestina mendirikan negara sendiri terus-menerus dihalangi Israel, antara lain, dengan tetap menduduki wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza sejak perang 1967. Selama wilayah pendudukan tidak dikembalikan, konflik Israel-Palestina dipastikan tidak akan pernah selesai.

Persoalannya bertambah rumit karena campur tangan asing. Sejumlah negara Timteng, misalnya, tidak mendukung dan mengakui eksistensi Israel sebagai negara merdeka. Sebaliknya, sejumlah negara Barat mendukung Israel untuk mencegah pembentukan negara Palestina merdeka. Posisi Vatikan merupakan jalan tengah yang memberikan peluang sama kepada kedua bangsa untuk mendirikan negara sendiri-sendiri, berkoeksistensi damai dan saling menghargai sebagai sesama keturunan Abraham.

Paus Fransiskus, seperti juga pemimpin Gereja Katolik sebelumnya, tampak hati-hati dalam membangun komunikasi dengan pemimpin Palestina dan Israel karena persoalan yang dihadapi mengandung sensitivitas tinggi. Konflik Palestina-Israel sudah berlangsung berabad-abad, terutama selama satu abad terakhir. Inti persoalannya terletak pada perebutan sebidang tanah yang mengandung nilai kultural, historis, dan religius.

Masih belum dapat diukur dampak atas posisi Vatikan yang menekankan pembentukan dua negara terpisah. Namun, lawatan Paus ke Timteng baru-baru ini menambah dorongan terhadap proses perdamaian sebagai pilihan terbaik dalam menyelesaikan konflik. Sungguh mengesankan ketika Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan Presiden Israel Shimon Peres menerima ajakan Paus untuk bersama-sama berdoa di Vatikan bagi perdamaian. Jika tidak ada halangan, doa perdamaian dilaksanakan 6 Juni mendatang di Vatikan.

Kehadiran Paus, akhir pekan lalu di Timteng, juga membuat konflik Israel-Palestina kembali mendapat perhatian besar dunia internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak 2011, konflik Palestina-Israel terkesan terdesak ke belakang oleh pergolakan yang melanda beberapa negara Timteng, seperti Libya, Mesir, dan Suriah.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006882092
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Kontestasi Bermartabat (Kompas)

MASA kampanye pemilu presiden belum dimulai, tetapi hawa kampanye pilpres sudah mulai terasa, terutama di media sosial.
Bahkan, Komisi Pemilihan Umum baru menetapkan pasangan capres-cawapres pada 31 Mei 2014. Setelah ditetapkan, barulah kedua pasangan calon itu resmi sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Masa kampanye resmi akan dimulai 4 Juni hingga 5 Juli 2014.

Jauh sebelum kampanye, media mulai memperbincangkan persaingan antara bakal capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla dan bakal capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Persaingan antartim sukses keduanya juga muncul di media sosial, selebaran, spanduk, dan klaim dukungan dari kedua pasangan yang akan berkontestasi dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014.

Di media sosial dan selebaran, kita mendapati substansi kampanye hitam yang tidak berdasarkan fakta dan lebih merupakan fitnah ataupun kampanye negatif yang lebih banyak mengupas fakta dan kebijakan negatif kandidat. Polarisasi dukungan terhadap kedua tokoh itu tampak dan kentara.

Menyongsong pemilu presiden, Tanwir Muhammadiyah mengeluarkan Maklumat Kebangsaan Menghadapi Pemilihan Presiden yang, antara lain, menyerukan agar capres-cawapres serta pendukungnya bersaing secara kesatria dan bermartabat serta tidak mempraktikkan kampanye hitam. Kita mendukung seruan itu. Kita menggarisbawahi komitmen tim pemenangan kedua capres yang berjanji meninggalkan kampanye hitam. Mengumbar fitnah melalui kampanye hitam harus ditindak!

Kontestasi pemilu presiden haruslah lebih bermartabat. Kampanye hitam yang lebih banyak merupakan fitnah sudah saatnya ditinggalkan. Pertarungan gagasan kedua pasangan calon untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, sebagaimana dinyatakan Pembukaan UUD 1945, justru harus mengemuka. Bagaimana membersihkan Indonesia dari virus korupsi yang setelah 16 tahun reformasi belum berhasil diatasi? Bagaimana merajut tenun kemajemukan Indonesia yang sejak awalnya merupakan bangsa yang majemuk? Bagaimana mengantarkan Indonesia mengantisipasi krisis pangan dan energi yang cepat atau lambat pasti akan tiba? Bagaimana strategi pasangan calon untuk memuliakan manusia dan hak asasi manusia?

Kita berharap Pemilu 9 Juli 2014 sebagai tahap akhir konsolidasi demokrasi dapat dilalui dengan kedewasaan politik pemilih dan elite. Kedewasaan pemilih hendaknya tidak diganggu dengan pernyataan elite yang kadang justru tidak dewasa. Pasangan calon juga harus menghindarkan politik uang karena itu akan mematikan demokrasi.

Transisi kekuasaan damai melalui pemilu dan berpuncak pada terpilihnya presiden dan wapres baru pada
20 Oktober 2014 adalah legacy yang berharga dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan TNI-Polri juga harus bersikap profesional untuk mengantarkan transisi kekuasaan damai tersebut.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006878366
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 26 Mei 2014

Mengantisipasi El Nino 2014 (Paulus Agus Winarso)

MENJELANG  kuartal II tahun 2014, media massa Australia santer menginformasikan gejala alam global dengan naiknya suhu muka air laut kawasan Samudra Pasifik sekitar Mei-Juli 2014.
Informasi ini diperkuat oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang dalam "NASA Science News" 19 Mei 2014 menjelaskan, di perairan global ada indikasi akan hadirnya gejala alam yang mirip dengan kegiatan El Nino periode 1997/1998.

El Nino pada tahun 1997/1998 berdampak terhadap munculnya bencana kekeringan dan kebakaran hutan di kawasan Asia dan Afrika, sebaliknya bencana banjir di kawasan Amerika dan Eropa.

Di Indonesia selain telah menghancurkan swasembada pangan juga melahirkan bencana kebakaran lahan dan hutan. Untuk pertama kalinya, bencana asap meluas dan merebak lintas batas (transboundary haze pollution) ke negara-negara anggota ASEAN.

Organisasi PBB seperti FAO dan UNESCO menyimpulkan, ada hubungan dampak bencana ini dengan lahirnya krisis ekonomi global tahun 1998. Artinya, kegiatan gejala alam El Nino dengan kenaikan suhu muka laut di kawasan Samudra Pasifik di atas 3-4 derajat celsius dari normal bulanannya telah terjadi pada abad ke-20. Akankah kondisi ini terulang sekarang? Penjelasan berbagai pusat iklim negara yang lebih menguasai ilmu cuaca dan iklim global seperti Australia, Jepang, Inggris, dan AS mengiyakan akan hadirnya kegiatan gejala alam yang dampaknya pada kawasan global. Namun, beberapa kalangan pakar cuaca dan iklim dari NOAA (Mike McPhaden dari NOAA's Pacific Environmental Laboratories di Seattle, AS) masih belum dapat memastikan bahwa indikasi dan hasil pengamatan satelit pada 6 Mei 2014 akan berlanjut dengan giatnya gejala alam El Nino seperti El Nino episode 1997/1998.

Karena hingga kini masih belum ada informasi yang tersedia, tulisan ini akan mencoba untuk meninjau situasi dan kondisi cuaca khususnya wilayah Indonesia. Ulasan dan pemikiran ini bersifat pribadi yang terbuka untuk didiskusikan sebagai langkah dan upaya mengantisipasi aktivitas El Nino 2014.

Curah hujan berkurang
Berdasarkan kajian kegiatan El Nino periode sebelum 1980-1990 yang berlangsung di Pusat Meteorologi dan Geofisika (PMG) atau BMKG sebelum tahun 1990, dampak gejala alam El Nino 1981/1982 dan 1987/1988 adalah pengurangan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia tengah dan timur serta sebagian kecil Indonesia bagian barat.

Pada awal kegiatan El Nino turun hujan dengan kecenderungan curah hujan di atas normal. Kajian terbatas ini memberi petunjuk bahwa sebelum episode gejala alam El Nino meningkat, umumnya diawali dengan tingginya curah hujan di sebagian besar kawasan Indonesia.

Kondisi dampak mulai berubah kala memasuki periode El Nino terpanjang dalam catatan sejarah kegiatan El Nino (episode 1991-1994) dan kegiatan El Nino tertinggi kenaikan suhu muka air laut 1997/1998. Kedua kegiatan El Nino ini—dengan kondisi curah hujan yang berbeda—berdampak pengurangan curah hujan.

Artinya, kondisi alam khususnya peredaran udara selalu beragam dan berubah meski nama kegiatan tetap sama.

Mengapa dampak kegiatan gejala alam El Nino berbeda? Sebab, ada unsur pendukung lain seperti intensitas matahari yang menjadi sumber energi bumi. Dengan mempertimbangkan masih adanya kelemahan, para ahli cuaca dan iklim belum berani memastikan akan hadirnya El Nino ini meski indikasi telah tampak bulan Mei 2014 ini.

Dengan perkembangan kondisi cuaca dan iklim kawasan Indonesia yang curah hujannya masih berlangsung hingga menjelang akhir Mei 2014, sebenarnya ada kemiripan dengan gejala setiap menjelang musim kemarau untuk sebagian besar wilayah sejak 2010.

Musim hujan 2013 juga berlangsung hingga Agustus 2013 dan musim kemaraunya cenderung pendek. Apakah kondisi ini akan menghantar ke episode gejala alam El Nino 2014? Ini tentu pertanyaan bagi kita yang ingin mengetahui perkembangan kondisi cuaca dan iklim.

Di Jawa khususnya ibu kota negara, Jakarta, hadirnya hujan yang mirip musim hujan bulan Januari ini merupakan kondisi langka. Curah hujan berkepanjangan mulai siang hingga malam meski mulai berkurang.

Dari kondisi awan harian yang menunjukkan adanya pola awan di sekitar ekuator merupakan bentuk adanya pumpun (pertemuan angin) yang dalam  ilmu cuaca meteorologi disebut Inter Tropical Convergence Zone
(ITCZ)/Zona (Daerah) Pertemuan Angin Antar Tropik. Lebih jauh kondisi ITCZ terpantau jelas pada setiap musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia sejak 2010. Akankah kondisi akan berubah?

Untuk menjawab ini, tentu penting mencermati dan memperhatikan dari perkembangan kegiatan matahari khususnya perkembangan bintik (sunspot). Ada hubungan hampir linier bahwa naiknya sunspot akan menaikkan pancaran radiasi ke bumi dan menaikkan suhu muka laut dan terjadi El Nino. Data NASA menunjukkan, aktivitas sunspot sangat tinggi 1985-1995 yang melahirkan El Nino terpanjang (1991-1994) dan suhu laut tertinggi di Pasifik (1997/1998).

Kondisi 2014
Kini tahun 2014 masuk dalam periode sunspot 2010-2020 dan saat ini hingga lewat kuartal I tahun 2014 berada pada puncak. Namun, kegiatan ternyata cenderung turun atau separuh dari kondisi sunspot sebelumnya.

Akibatnya muka bumi cenderung dingin daripada hangat. Dengan mengacu pada kondisi ini, maka yang akan berkembang adalah kegiatan episode dingin. Ini tecermin dari pola aliran udara selama Mei 2014 yang menunjukkan belum hadirnya tekanan rendah di belahan bumi utara di sekitar Asia Tenggara.

Kondisi cuaca dan iklim yang kondusif dan cenderung basah sepertinya akan berlangsung dalam satu hingga beberapa bulan mendatang. Adapun kegiatan El Nino 2014 kecil peluangnya menyamai episode 1997/1998. Kecuali bila ada perkembangan kebumian lain seperti letusan gunung di kawasan ekuator Indonesia yang mengubah sistem peredaran udara ekuator.

Inilah catatan dan opini pribadi yang setia mengamati dan memperhatikan kondisi peredaran udara global, regional, dan lokal Indonesia.                  .

Paulus Agus Winarso
Pengajar Akademi Meteorologi dan Geofisika

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006742183
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Legitimasi dari NU dan Kiai (Imam Anshori Saleh)

SETIAP peristiwa pemilihan umum, apakah itu pemilihan umum legislatif, pemilihan umum kepala daerah, atau pemilihan presiden/wakil presiden, organisasi massa, termasuk organisasi keagamaan, selalu dibawa-bawa dan dilibatkan oleh orang-orang tertentu.
Partai-partai politik suka mengklaim organisasi keagamaan tertentu sebagai miliknya untuk mencapai tujuan tertentu. Sebut saja, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selalu mengklaim warga Nahdlatul Ulama (kaum nahdliyin) adalah pendukung partainya. Alasannya, PKB dideklarasikan oleh tokoh-tokoh dan petinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), seperti KH Abdurrahman Wahid, KH Bisri Musthofa, dan KH Muchith Muzadi. Partai Amanat Nasional (PAN) mengklaim didukung warga Muhammadiyah karena didirikan oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais.

Penulis ingin mengulas khusus untuk NU dan para kiai. NU tidak hanya diklaim oleh PKB, tetapi juga oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) karena pada waktu pemerintahan Orde Baru, PPP merupakan hasil fusi dari partai-partai Islam. Maka, saat ini setidaknya ada dua parpol yang mengklaim didukung oleh warga nahdliyin. Kedua partai sah-sah saja mengklaim seperti itu walaupun kenyataannya , dalam hal pilihan politik, kaum nahdliyin bebas mendukung partai apa saja, calon anggota legislatif,  calon kepala daerah, calon presiden dan calon wakil presiden yang mana saja. Realitasnya, anggota-anggota legislatif di pusat (DPR) dan daerah (DPRD) yang berasal dari warga NU diusung partai-partai non-NU ataupun PPP, seperti oleh Partai Golkar, PDI-P, PAN, Gerindra, Nasdem, Hanura, dan PKS. Warga NU yang kini menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah juga tidak selalu diusung oleh PKB atau PPP, tetapi juga oleh partai-partai lain.

KH Abdurrahman Wahid pernah mengeluarkan pernyataan yang amat terkenal, "NU tidak ke mana-mana, tetapi ada di mana-mana". Pernyataan itu agaknya yang menjustifikasi warga NU boleh mendukung partai mana pun, kepada calon anggota legislatif, calon gubernur, calon bupati, serta calon presiden dan calon wakil presiden mana pun. Keanggotaan di NU itu sangat cair. Untuk menjadi warga NU tidak perlu anggota, tidak pernah ditarik iuran, dan kewajiban-kewajiban lainnya. Yang menandai kaum nahdliyin, paling-paling setiap shalat Subuh membaca doa qunut, kalau meninggal diperingati dengan tahlilan, salat tarawihnya 23 rakaat, dan sebagainya. Jadi, klaim-klaim sebagai warga NU boleh dilakukan siapa pun. Termasuk dalam konteks menghadapi semua ritual pemilihan umum.  

Kiai pemberi legitimasi
Bagaimana dengan klaim restu dari kiai? Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, saat ini dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ramai-ramai mengunjungi kiai-kiai terkemuka, terutama kiai-kiai yang memiliki pesantren. Lalu, di akhir setiap kunjungan, para capres/cawapres minta didoakan dan direstui. Yang ditangkap dan diberitakan oleh media massa, capres/cawapres yang "sowan" itu telah direstui oleh  kiai yang disowani tadi. Para kiai tidak pernah menolak tamu. Sebenarnya kiai tidak pernah menolak tamu. Sifat kiai itu mengayomi kepada siapa pun yang datang.

Siapa saja yang datang, dengan motif apa pun, selalu diterima dengan baik. Islam memang mengajarkan perlunya menghormati tamu. Ketika dimintai restu pun selalu dipeluk, direstui, dan didoakan.  Kalau, misalnya, ada dua calon bupati datang dalam kesempatan yang berbeda, keduanya pasti diterima, didoakan, dan direstui.

       Direstui dan didukung adalah dua kata yang memiliki arti berbeda. Restu itu sifatnya netral, sementara dukungan itu sudah menunjukkan keberpihakan. Kiai biasanya sebatas merestui. Oleh yang sowan atau tim suksesnya lalu "diolah" menjadi dukungan. Inilah yang kemudian sering disalahpahami, seolah kalau sudah bertamu kepada kiai itu sudah mendapat dukungan tunggal. Akhirnya kiai terbiasa jadi pemberi legitimasi untuk calon-calon peserta kontestasi dalam pemilu.

Mereka menjadi merasa "GR", gegeden rumongso. Celakanya lagi, kalau sudah merasa mendapat restu dari kiai itu, ada ribuan santri berada di belakang kiai tadi. Padahal, realitasnya, santri-santri pada zaman sekarang tidak sebagaimana yang dibayangkan tadi hanya nurut, sami'na waatha'na, mendengar dan patuh. Santri-santri dan kaum nahdliyin sekarang sudah berpikir sangat kritis. Mereka tidak hanya melek huruf, tetapi juga sudah melek media massa dan  media sosial.

Kiai itu masing-masing mempunyai maqam atau posisi kapasitas. Kepada kiai tertentu, ahli fikih, nahdliyin atau para santri akan bertanya tentang hukum halal dan haram. Kiai ahli tariqah, nahdliyin dan para santri berguru untuk olah spiritual, kiai ahli ilmu alat, tempat berguru dalam memahami kitab-kitab klasik (kitab kuning), dan  sebagainya.  Yang tidak memahami sosiologi kiai akan selalu digeneralisasi, kiai dianggap mempunyai segala rupa keahlian. Maka, para calon yang datang kepada kiai selalu  berekspektasi yang berlebihan: restu, doa, dan dukungan.

Di tengah persaingan para calon untuk meraih dukungan dari para kiai untuk tujuan tertentu, akhirnya terjadi pengaburan makna gradasi antara doa, restu, dan dukungan. Melalui kepiawaian memainkan opini dan publikasi di media massa, pada akhirnya masyarakat mendapat pemahaman yang keliru. Bahkan, pada akhirnya merendahkan martabat para kiai karena seolah menjadi "pabrik restu" atau menjadi komoditas yang dimanfaatkan oleh para calon atau pendukung calon. Dalam konteks ini, saya sangat setuju dengan pernyataan Slamet Effendy Yusuf, salah satu ketua PBNU, yang dimuat di sebuah media massa, "Jangan bawa-bawa NU dan ulama".

Imam Anshori Saleh
Pernah nyantri di beberapa pesantren di Jombang dan Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006786558
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger