Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 30 Juni 2021

TAJUK RENCANA: Butuh Tindakan Cepat (Redaksi Kompas)

Langkah tegas diperlukan guna mengendalikan pergerakan manusia yang berpotensi membawa virus Covid-19 ke mana-mana. Sejumlah kepala daerah pun mendesak pemerintah pusat turun tangan mengendalikan pergerakan manusia.

KOMPAS/HUMAS PEMKAB BANYUMAS

Bupati Banyumas Achmad Husein didampingi dokter dan tenaga kesehatan berkunjung ke RSUD Margono Purwokerto, Jawa Tengah, untuk menyemangati pasien serta para dokter dalam menghadapi Covid-19, Selasa (29/6/2021).

Sejumlah kepala daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mendesak pemerintah pusat mengambil langkah tegas untuk mengendalikan Covid-19.

Hingga Rabu (20/6/2021), jumlah warga yang terkonfirmasi positif sudah menembus angka 2.156.465. Adapun jumlah orang yang meninggal mencapai 58.024 orang. Sudah lebih dari tiga hari, angka positif harian berada di angka 20.000-an dengan Jakarta sebagai daerah paling parah. Pada Rabu itu tercatat 20.467 terkonfirmasi positif.

Layanan kesehatan di Jakarta dan di kota-kota Pulau Jawa kewalahan menangani lonjakan warga terkonfirmasi Covid-19. Sejumlah pasien meninggal, tak sempat mendapat pelayanan memadai dari rumah sakit.

Mengacu pada data tingkat penularan, selayaknya pemerintah mengevaluasi penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro yang sudah beberapa kali diperpanjang. Mengevaluasi apakah sistem 75 persen kerja di rumah dan 25 persen kerja di kantor berlaku efektif ketika jalanan ternyata masih ramai. Langkah tegas diperlukan untuk mengendalikan pergerakan manusia yang berpotensi membawa virus Covid-19 ke mana-mana.

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Vaksinator memperlihatkan dua jenis vaksin Covid-19, Sinovac dan AstraZeneca, dalam gelaran vaksinasi umum di Megamall Manado, Sulawesi Utara, pada Senin (28/6/2021).

Sejumlah kepala daerah mendesak pemerintah pusat turun tangan untuk mengendalikan pergerakan manusia. Penularan Covid-19 seiring dengan pergerakan manusia. Perlu langkah bersama mengendalikan pergerakan manusia di lingkungan Jabodetabek. Jika memang PPKM mikro dinilai tidak mampu lagi mengendalikan pergerakan penduduk, mungkin perlu diambil langkah agar PPKM lebih efektif untuk pengendalian mobilitas penduduk.

Langkah pemerintah mempercepat vaksinasi layak diapresiasi. Langkah pemerintah menambah layanan kesehatan darurat di sejumlah tempat juga patut dihargai. Namun, langkah kuratif itu perlu didukung dengan langkah preventif di bagian hulu. Batasi pergerakan manusia untuk sementara waktu sampai kurva melandai atau malah menurun.

Perlu langkah bersama mengendalikan pergerakan manusia di lingkungan Jabodetabek.

Bersamaan dengan itu, perlu dilakukan pengetesan secara massal, pengisolasian, dan pelacakan secara agresif. Tulisan Duta Besar Indonesia di Singapura Suryopratomo di harian Kompas, 29 Juni 2021, patut direnungkan. "Ketika kesehatan bisa dijaga dan penularan Covid-19 bisa dikendalikan, akan didapat modal sosial untuk menggerakkan perekonomian. Sebaliknya, ketika sistem kesehatan kolaps akan memperbesar kecemasan dan ketakutan. Ekonomi pun akan terpuruk".

Pembatasan sosial berskala besar, PPKM darurat, PPKM mikro dengan penebalan atau apa pun istilahnya yang mungkin tidak dipahami konsepsinya, pengendalian pergerakan manusia secara ketat, harus jadi pilihan. Organisasi yang diberi otoritas menangani Covid-19 perlu lebih efektif mengendalikan elemen yang terlibat dalam pengendalian Covid-19 dengan satu prinsip, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Pergantian personalia satgas dan tidak aktifnya personalia dalam penanganan Covid-19 tidak boleh mengganggu penanggulangan Covid-19 


Sumber: Kompas.id - 30 Juni 2021


Selasa, 29 Juni 2021

TAJUK RENCANA: Pandemi Masih Jauh dari Usai (Redaksi Kompas)

Kita sudah belajar bahwa penerapan ketat protokol kesehatan dan vaksinasi merupakan cara paling ampuh memutus rantai penularan. Ketika angka kembali meningkat, kita melihat memang ada banyak pelonggaran dan pelanggaran.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga mendapat penjelasan dari petugas saat hendak menjalani tes usap PCR di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (22/6/2021).

Dua sisi wajah zaman membuat kita gagap menghadapi pandemi: kemudahan berinteraksi dan banjir informasi. Dunia agaknya masih lama disandera Covid-19.

Inilah yang kita hadapi hari-hari ini. Perkembangan teknologi telah membuat segalanya menjadi jauh lebih mudah. Transportasi dan komunikasi telah menembus ruang dan waktu, melewati rintangan batas wilayah dan negara.

Ibaratnya perjalanan naik haji, yang dulu harus ditempuh satu bulan dengan kapal uap dari Indonesia, kini dengan pesawat tak sampai satu hari sudah sampai di Tanah Suci. Pergerakan manusia menjadi lebih masif dan intensif.

Demikian pula halnya komunikasi. Ketika dulu fakta harus diverifikasi baru kemudian dipublikasikan dengan kaidah jurnalistik ketat, kini setiap orang bisa menjadi pewarta. Tak ada lagi aturan, yang salah pun bisa menjadi kebenaran sepanjang diterima oleh khalayak. Maka, banyak orang terjebak teori konspirasi dan tidak percaya pandemi.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Calon penumpang antre masuk ke peron Stasiun KRL Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Banten, 17 Mei 2021. Transportasi yang semakin maju dan cepat turut mempermudah penyebaran penyakit menular seperti Covid-19.

Di sisi lain, kemudahan transportasi membuat orang sudah berpindah lokasi sebelum masa inkubasi virus terdeteksi. Akibatnya, penyebaran penyakit, dalam hal ini Covid-19, berlangsung begitu mudah dan cepat.

Setiap orang yang karena tugas atau keperluan harus berpindah-pindah berpotensi menulari dan ditulari. Ketika di sisi lain banyak orang menolak percaya bahwa virus benar- benar ada, terjadilah pelanggaran protokol kesehatan yang membuat angka kasus tak juga turun. Meski memprihatinkan, kita harus mengakui pandemi masih jauh dari usai.

Kalau pada awal pandemi Worldometer mencatat angka 3.299 kasus positif pada 3 Maret 2020, persis setahun kemudian angka menjadi 444.716 kasus (3 Maret 2021). Lebih dari seratus kali lipat. Meski sempat turun, secara umum angka masih terus meningkat. Puncaknya pada 29 April 2021 dengan 903.354 tambahan kasus.

AFP/SAEED KHAN

Area di dekat pelabuhan yang biasanya sibuk di Sydney tampak sepi pada 26 Juni 2021, setelah otoritas menerapkan karantina di beberapa area di pusat kota terbesar di Australia itu. Karantina diberlakukan guna menekan penularan Covid-19.

Ironisnya, ketika kasus dunia mulai menurun, penambahan di Indonesia malah sedang tinggi-tingginya. Kalau pada 29 April 2021 penambahannya 5.833 kasus, pada Senin (28/6/2021) ada penambahan 20.694 kasus. Meningkat hampir empat kali lipat. Otoritas kesehatan memprakirakan, kenaikan kasus di Indonesia masih akan berlangsung dan mencapai puncaknya pada pekan ketiga bulan Juli.

Sebenarnya, selama setahun lebih pandemi kita sudah belajar bahwa penerapan ketat protokol kesehatan dan vaksinasi merupakan cara paling ampuh memutus rantai penularan. Ketika angka kembali meningkat, kita melihat memang ada banyak pelonggaran dan pelanggaran.

Pemerintah sekali lagi memang perlu memperbaiki caranya berkomunikasi dengan publik. Namun, di sisi lain, perlu sanksi tegas bagi mereka yang melanggar aturan. Negara tidak boleh kalah demi kemaslahatan masyarakat yang lebih banyak.

Sumber: Kompas.id - 29 Juni 2021


PERLINDUNGAN DATA PRIBADI: Urgensi Otoritas Independen Perlindungan Data Pribadi (WAHYUDI DJAFAR)

Otoritas perlindungan data pribadi merupakan salah satu kepingan puzzle terpenting, yang akan menentukan efektif tidaknya pelaksanaan dan penegakan hukum perlindungan data pribadi.

DPR dan pemerintah tengah berupaya merampungkan proses pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi (PDP), yang telah tertunda beberapa waktu lamanya.

Salah satu materi krusial yang diperdebatkan adalah perihal keberadaan otoritas independen perlindungan data pribadi. Materi ini tidak dijumpai dalam RUU usulan pemerintah, yang mengusulkan fungsi pengawasan dikelola menteri.

Sementara, hampir semua fraksi di DPR, sebagaimana terekam dalam usulan daftar inventarisasi masalah yang mereka ajukan, menginginkan adanya pembentukan otoritas khusus perlindungan data.

Otoritas perlindungan data pribadi merupakan salah satu kepingan puzzle terpenting, yang akan menentukan efektif tidaknya pelaksanaan dan penegakan hukum perlindungan data pribadi. Otoritas ini merupakan lembaga publik yang berfungsi mengawasi bekerjanya instrumen perlindungan data, memastikan kepatuhan pengendali dan pemroses data, baik individu atau badan privat maupun lembaga publik.

Berbagai model otoritas

Peran kunci lembaga ini termasuk menerima pengaduan dari subyek data, serta memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian sengketa perlindungan data. Praktik di banyak negara memperlihatkan lembaga ini berfungsi sekaligus sebagai regulator, ombudsman, auditor, pendidik, penasihat kebijakan, negosiator, dan penegak hukum perlindungan data.

Pengalaman dari beberapa negara menunjukkan setidaknya ada tiga model kelembagaan perlindungan data: otoritas jamak, otoritas dual, dan otoritas tunggal (Djafar, 2020).

Model multilembaga dipengaruhi legislasi perlindungan data yang bersifat sektoral, akibatnya setiap UU akan membentuk lembaga pengawas sektor. Model ini misalnya diterapkan di Amerika Serikat, karena perlindungan data diatur dalam berbagai UU, seperti Federal Trade Commission Act, The Financial Services Modernization Act, Health Insurance Portability and Accountability Act, dan lain-lain.

Sementara otoritas dual muncul sebagai akibat dari perdebatan mengenai perlindungan data pribadi yang sering kali tidak bisa dilepaskan dari keterbukaan informasi. Hal ini kemudian berpengaruh pada model legislasi, yang berimplikasi pula pada model otoritas pengawasan yang dikembangkan.

Model dua badan dimaksudkan untuk memisahkan antara otoritas perlindungan data, dengan lembaga lain yang memiliki kewenangan hampir serupa, seperti Ombudsman dan Komisi Informasi. Model seperti ini banyak diikuti negara Eropa, seperti Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Belanda, Rumania, Spanyol, dan Swedia.

Sedangkan model otoritas tunggal berangkat dari pertimbangan, meski ada perdebatan antara keterbukaan informasi dan perlindungan data pribadi, namun dengan alasan efisiensi dan efektivitas, banyak negara yang pada akhirnya menyatukan otoritas pengawasannya dalam satu badan sekaligus.

Pengembangan model single authority misalnya dilakukan di Inggris Raya dengan Information Commission Office (ICO), Estonia, Hungaria, Irlandia, Meksiko, dan Jerman untuk tingkat federal. Pada lembaga ini biasanya akan dibangun dua kamar yang berbeda antara perlindungan data dan keterbukaan informasi, termasuk komisionernya. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari adanya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.

Oleh karenanya untuk menjamin penegakan hukum perlindungan data yang imparsial dan adil, diperlukan hadirnya sebuah lembaga yang independen.

Otoritas independen

Frasa independen di sini maknanya adalah dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya terbebas dari pengaruh politik dan ekonomi, agar dapat menjamin perlindungan data secara maksimal. Secara sederhana, independensi otoritas diperlukan sebab undang-undang perlindungan data tidak hanya berlaku mengikat bagi sektor swasta, tetapi juga kementerian/lembaga pemerintah.

Sebagaimana kita ketahui hari ini, pengumpulan dan pemrosesan data pribadi tidak hanya dilakukan oleh swasta dengan motif ekonomi, tetapi juga oleh pemerintah untuk tujuan pelayanan publik dan politik. Oleh karenanya untuk menjamin penegakan hukum perlindungan data yang imparsial dan adil, diperlukan hadirnya sebuah lembaga yang independen.

Kehadiran otoritas independen ini juga akan memberikan banyak keuntungan, karena keberadaannya akan menjadi salah satu indikator penting, untuk menentukan kesetaraan (adequacy) hukum perlindungan data Indonesia dengan negara lain, khususnya negara-negara yang tunduk pada European Union General Data Protection Regulation (EU GDPR).

Urgensi UU Perlindungan Data Pribadi

Kesetaraan hukum perlindungan data sendiri merupakan prasyarat utama dalam melakukan transfer data internasional, baik antar-pemerintah maupun swasta, sekaligus untuk menjamin perlindungan data dari subyek data, di mana pun data pribadinya diproses, mengingat sifat data yang lintas batas (cross border).

Selain kemudahan transfer dan kejelasan jaminan perlindungan bagi subyek data, kesetaraan hukum perlindungan data Indonesia dengan Uni Eropa, juga akan banyak memberikan dorongan bagi pengembangan ekonomi digital, yang berbasiskan pada data.

Hal ini terutama mengingat EU GDPR yang dinilai sebagai standar perlindungan data paling tinggi, komprehensif dan modern, sehingga banyak memengaruhi dilakukannya pembaruan hukum perlindungan data di berbagai negara.

Bahkan untuk mendapatkan keputusan kesetaraan (adequacy decision) dari Komisi Eropa, Jepang dan Korea Selatan telah melakukan amandemen UU Perlindungan Informasi Pribadi mereka, dengan salah satu materinya adalah pembentukan otoritas independen.

Prasyarat independensi

Pertama kalinya kebutuhan pembentukan otoritas perlindungan data pribadi ditemukan dalam European Modernised Convention for the Protection of Individuals with Regard to the Processing of Personal Data (1981), yang menyatakan perlunya pembentukan satu atau lebih lembaga, dengan tanggung jawab penegakan dan kepatuhan hukum perlindungan data.

Perihal serupa juga ditegaskan oleh UN Guidelines for the Regulation of Computerized Personal Data Files (1990), yang memasukkan pembentukan lembaga pengawas independen sebagai salah satu prinsip jaminan minimum perlindungan data. Kemudian diperkuat oleh EU GDPR (2016) mewajibkan pembentukan supervisory authority dengan memberikan pilihan kepada negara untuk membentuk single atau multi supervisory authority.

Independensi ini setidaknya diukur dari lima hal: independensi kelembagaan, independensi komisioner, independensi fungsional, independensi personel, dan independensi anggaran.

Dalam hal kelembagaan, independensi ini terkait erat dengan keberadaan dan status independen yang dijamin oleh undang-undang. Kemudian komisioner terkait dengan proses pengangkatan dan pemberhentian komisionernya, yang harus transparan, bebas dari pengaruh politik, dan jelas masa jabatannya. Selain itu, komisioner yang ditunjuk harus memiliki kompetensi profesional yang diperlukan.

Sementara independensi fungsional berkaitan dengan kekuasaan pengambilan keputusan, yang harus independen dari pengaruh pemerintah maupun sektor swasta. Berikutnya independensi personel menekankan staf otoritas harus dapat menahan diri dari tindakan yang tak sesuai dengan tugas mereka sebagai supervisor.

Sedangkan terkait independensi anggaran, harus dipastikan bahwa otoritas dilengkapi sumber daya anggaran yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan wewenang mereka secara efektif (Kuner, Bygrave, dan Docksey (ed), 2020).

Penerapannya di Indonesia

Dengan persyaratan dan pengalaman praktik di beberapa negara di atas, setidaknya ada dua skenario yang dapat dikembangkan di Indonesia, dalam pembentukan otoritas perlindungan data pribadi, di luar kementerian.

Pertama dengan pembentukan lembaga baru dengan tugas dan fungsi terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum perlindungan data, atau kedua dengan melekatkan tugas dan fungsi tersebut pada lembaga serupa lainnya. Akan tetapi, ketika dilekatkan pada lembaga lain yang telah ada, harus dipastikan otoritas ini dibangun sebagai sebuah kamar yang berbeda dengan sebelumnya.

Dalam pembentukan lembaga negara independen (independent regulatory agency), tantangan terbesarnya adalah belum tersedianya standar yang jelas dalam pembentukannya, tiap UU sektoral mengatur secara berbeda (Mochtar, 2017), juga isu efisiensi anggaran yang menjadi sorotan presiden.

Meski pembentukan otoritas ini semestinya dikeluarkan dari perdebatan efisiensi, mengingat fungsi altruistik negara yang kian berkembang, sehingga mengharuskan hadirnya kelembagaan baru untuk mengelolanya (Ackerman, 2000).

Selain itu, dalam penganggarannya, otoritas ini juga dapat ditopang dengan pendapatan negara bukan pajak, yang berasal dari pelaksanaan fungsi kepatuhan dalam perlindungan data, serta penerapan denda ketika terjadi pelanggaran hukum perlindungan data pribadi.

Pada akhirnya, mengingat semakin mendesaknya kehadiran UU Pelindungan Data Pribadi, untuk menjamin perlindungan hak atas privasi warga negara, pemerintah dan DPR harus segera mencari titik temu perihal pembentukan otoritas perlindungan data ini. Praktik terbaik yang diterapkan dalam pembentukan lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya dapat menjadi rujukan dalam pengembangannya.

Sekali lagi, kehadiran otoritas ini penting, guna menjamin perlindungan data pribadi yang optimal bagi warga negara, dari praktik-praktik eksploitasi dan penyalahgunaan data pribadi.

Wahyudi Djafar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 


Sumber: Kompas.id - 29 Juni 2021


Senin, 28 Juni 2021

INFODEMI: Wabah Disinformasi (IRWAN JULIANTO)

Menyambut hari lahir ke-56 Harian Kompas tanggal 28 Juni ini, makin penting mencamkan pendapat dan saran Ashadi Siregar, agar media arus utama seperti Kompas tetap mempertahankan diri menjadi media pers yang kredibel.

Adalah David Rothkopf, jurnalis dan pakar ilmu politik yang menciptakan kata infodemic ketika menulis kolom opini di The Washington Post 11 Mei 2003 tentang pandemi SARS atau severe acute respiratory syndrome yang melanda dunia waktu itu.

Seperti kita ketahui, SARS adalah sindrom pernapasan akut dan parah yang disebabkan virus korona yang masih semarga dengan SARS- CoV-2, virus penyebab Covid-19. Pandemi yang menjangkiti hampir seluruh negara di dunia ini hingga kini belum terkendali, termasuk di Indonesia.

Menurut Merriam-Webster Dictionary, kata infodemic bukan kata baru, melainkan paduan kata information dan epidemic atau an Epidemic of Information. Begini kutipan opini Rothkopf: "SARS adalah kisah tentang bukan cuma satu epidemi melainkan dua, dan epidemi kedua adalah wabah yang memiliki implikasi jauh lebih besar dibanding penyakitnya sendiri. Ini karena ia bukan epidemi virus, namun lebih ke "epidemi informasi" yang telah mengubah SARS dari suatu krisis kesehatan regional China yang ditangani dengan ceroboh menjadi suatu bencana ekonomi dan sosial global. Epidemi informasi –atau "infodemic—telah membuat krisis kesehatan masyarakat menjadi lebih sulit dikontrol dan dibatasi ruang geraknya."

Rothkopf lebih lanjut memperjelas apa yang dimaksudnya dengan infodemic: "Sejumlah kecil fakta, berbaur dengan ketakutan, spekulasi dan rumor, diamplifikasi dan disebarkan dengan cepat lewat teknologi informasi modern, telah berdampak terhadap ekonomi, politik dan bahkan keamanan nasional maupun internasional sedemikian rupa yang sama sekali tak sebanding dengan realitas awalnya. Ini adalah suatu fenomena yang kita saksikan dalam frekuensi dahsyat beberapa tahun terakhir –bukan cuma reaksi kita terhadap SARS, namun juga reaksi kita terhadap terorisme dan bahkan masalah yang relatif sepele."

Wabah disinformasi

Setidaknya ada dua kamus lain yang juga membuat rumusan tentang infodemiCambridge English Dictionary menyebut infodemi situasi di mana banyak informasi palsu yang disebar masif hingga membahayakan. Sedang Kamus Oxford mendefinisikan infodemi sebagai melimpahnya informasi yang sebenarnya tak dapat diandalkan tentang suatu masalah, yang menyebar dengan cepat dan membuat penanganannya menjadi lebih sulit.

Ketika Covid-19 yang berawal di kota Wuhan di China pada akhir 2019, kemudian merajalela ke seluruh dunia sejak awal 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan bahaya lain: "disinformasi yang berkelindan di seputar pandemi Covid-19 adalah suatu infodemi yang masif dan memperparah pandemi itu sendiri." Adalah UNESCO yang kemudian menciptakan terminologi baru, memodifikasi kata infodemi menjadi disinfodemi, karena memang ancaman pandemi Covid-19 dibayangi oleh wabah disinformasi. Julie Poseti dan Kalina Bontcheva tahun lalu menulis Policy Brief 1 UNESCO berjudul Disinfodemic – Deciphering Covid-19 Disinformation.

Menurut Poseti dan Bontcheva, mengapa akses terhadap informasi berkualitas, penting selama krisis Covid-19, karena setidaknya ada dua hal. Pertama, konektivitas digital berkecepatan tinggi adalah saluran vital yang membantu kita mengatasi pandemi dengan memungkinkan para wartawan dan media yang kredibel menjangkau khalayak luas tentang Covid-19. Juga menghubungkan para pakar kedokteran satu sama lain, termasuk dengan perantara seperti para wartawan secara real time.

Kedua, pada saat yang sama konektivitas massa membawa ancaman informasi yang sesat dan palsu yang diproduksi dan dibagi secara viral. Akibatnya, para wartawan dan tenaga medis yang mengungkap disinformasi ini justru menjadi target serangan mereka yang sudah termakan oleh disinformasi.

Contoh paling gamblang adalah soal tokoh seperti Bill Gates yang sudah memperingatkan ancaman pandemi virus korona seperti SARS dan MERS pada 2015 dan perlunya masyarakat dunia menyiapkan diri dengan penelitian, termasuk penciptaan vaksin terhadap infeksi virus korona, tetapi malah dituding dengan aneka teori konspirasi. Kegiatan vaksinasi Covid-19 untuk menciptakan herd immunity (imunitas kawanan) sempat menghadapi resistensi di beberapa daerah Indonesia. Ada pula seorang pesohor awak band yang menuding Ikatan Dokter Indonesia adalah kacung WHO.

Kaitan dengan "Post-Truth"

Baik kata infodemi maupun disinfodemi sebenarnya berkaitan erat dengan kata post-truth, kata yang dinobatkan oleh Kamus Oxford sebagai kata paling populer pada 2016 gara-gara pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) yang dimenangi Donald Trump.

Trump menaklukkan Hillary Clinton dengan cecaran dan semburan disinformasi, kebohongan, hoaks, hasutan, fitnah, ujaran kebencian, hingga pembunuhan karakter. Taktik agitasi ini lazim dikenal sebagai firehose of falsehood yang sebenarnya diciptakan di Rusia ketika menganeksasi Semenanjung Crimea. Mantra firehose of falsehood sebenarnya mirip demagogi Adolf Hitler, yaitu bahwa kebohongan yang dicecarkan berulang kali akhirnya akan diterima sebagai kebenaran.

Trump juga memanfaatkan strategi propaganda politik komputasional dengan microtargeting terhadap para pemilih AS menggunakan data demografi/psikografi mereka dari hasil penyedotan data puluhan juta akun Facebook oleh Cambridge Analytica. Ini menjadi skandal politik yang mencoreng reputasi Mark Zuckerberg, pemilik Facebook. Cambridge Analytica pun akhirnya tutup, walau sempat masuk ke Indonesia sebelum Pemilihan Presiden 2019.

Membaca data ratusan ribu akun Twitter netizen Indonesia, Cambridge Analytica membagi profil psikografi pemilih Indonesia menjadi tiga kluster. Selain kluster calon pemilih yang cenderung golput (25 persen), ada kluster calon pemilih lain sebanyak 33 persen yang bersifat altruistik atau gampang iba. Terhadap kluster altruistik ini rupanya sudah ada rencana pesan yang diciptakan, yaitu seorang perempuan pada awal Oktober 2018 mengaku ia dipukuli sampai babak belur di Bandung.

Terbukti kemudian ia menjalani operasi plastik di Jakarta. Bisa dibayangkan, jika kebohongan ini tak terungkap, maka sebagian besar dari 33 persen calon pemilih akan beralih pilihan atau jadi golput. Semakin besar golput, akan menguntungkan salah satu calon dan merugikan calon lain. Ini juga terjadi di pilpres AS 2016 yang dimenangi Trump dan referendum Brexit di Inggris.

Post-truth sendiri adalah suatu keadaan di mana individu atau sekelompok orang lebih memercayai apa yang sesuai dengan emosi mereka ketimbang logika dan fakta. Tak berlebihan jika hoaks yang tak lain adalah disinformasi, dijuluki Haryatmoko SJ sebagai "anak kandung" post-truth. Agar post-truth bermanifestasi, dibutuhkan prakondisi yaitu "ruang gaung" (echo chamber). Orang dan masyarakat yang dicecar dengan semburan propaganda dan demagogi ala Hitler dan Trump dengan frekuensi tinggi dan diulang-ulang, di bawah sadar mereka akan terbentuk pembenaran terhadap informasi sesat atau disinformasi tadi.

"Share-bait" dan "Dark Social"

Menghadapi gempuran dan wabah disinformasi atau disinfodemi, seperti dirumuskan oleh Poseti dan Bontcheva untuk UNESCO di atas, kita membutuhkan media pers dan wartawan yang kredibel. Apalagi saat ini media arus utama/konvensional seperti media cetak dan media elektronik makin terdisrupsi oleh media baru berbasis internet atau digital. Memang sekarang media konvensional nyaris semuanya memiliki portal berita/opini online.

Namun alih-alih menjadi portal berita/opini yang kredibel seperti induknya, sebagian lalu tergoda membuat berita sensasional, mengejar kesegeraan dan click-bait. Dari sekitar 40.000-an portal berita/opini online yang ada di Indonesia, hanya sekitar 200-an saja yang terverifikasi di Dewan Pers.

Jika media konvensional ditambah media daring di Indonesia jumlahnya puluhan ribu, maka jumlah akun media sosial (Facebook, Twitter, Youtube dan Instagram), di negeri ini mencapai sekitar seratusan juta. Melubernya informasi dan disinformasi di media sosial jauh lebih dahsyat lagi. Namun yang paling spektakuler jumlahnya adalah akun jejaring sosial seperti WhatsApp, Line dan lain-lain, yang mencapai lebih dari 300 jutaan, melebihi jumlah penduduk Indonesia.

Di jejaring sosial yang dinamai dark social oleh Alexis Madrigal inilah terjadi aktivitas berbagi informasi dan disinformasi yang luar biasa. Click-bait media online ditaklukkan oleh share-bait. Semuanya mengakibatkan maraknya epidemi disinformasi atau disinfodemi.

ARSIP PRIBADI

Irwan Julianto

Menyambut hari lahir ke-56 Harian Kompas tanggal 28 Juni ini, makin penting mencamkan pendapat dan saran Ashadi Siregar, agar media arus utama seperti Kompas tetap mempertahankan diri menjadi media pers yang kredibel. Menjadi rumah pencerah (clearing house), tidak tergoda mengejar sensasi dan jurnalisme berselera rendah.

Irwan Julianto Wartawan Senior, MPH Harvard University, Dosen Fikom UMN 

Sumber: Kompas.id - 28 Juni 2021 


MEDIA SOSIAL: Saling Terkam di Peradaban Digital (DINDA LISNA AMILIA)

Sekitar lima tahun terakhir, komentar pedas nan menyakitkan warganet menjadi makanan kita sehari-hari. Ini masuk dalam sebuah budaya pengenyahkan atau cancel culture, yaitu menolak mereka yang mempunyai pendapat beda.

Membayangkan media sosial diisi dengan komentar yang teratur dan sopan menjadi angan yang mustahil. Sekitar lima tahun terakhir, komentar pedas nan menyakitkan warganet menjadi makanan kita  sehari-hari.

Masih ingat dengan survei Indeks Keberadaban Digital 2020 oleh Microsoft. Indonesia yang lebih dari 73 persen penduduknya merupakan pengguna internet, menduduki peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Peringkat terendah di Asia Tenggara, namun masih di atas Meksiko, Afrika Selatan, dan Russia yang menduduki tiga peringkat terakhir.

Penilaiannya didasarkan pada perilaku warganet di dunia maya, dengan kaitan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, perundungan, tindakan sengaja untuk memancing kemarahan, pelecehan terhadap kaum marginal, penipuan, doxing (penyebaran data pribadi dengan sengaja untuk merusak reputasi, hingga pornografi.

Semua kegiatan yang berkonotasi negatif dalam di atas, masuk dalam sebuah budaya pengenyahkan atau yang lebih dikenal dengan cancel culture. Dalam kamus Cambridge, cancel culture diartikan sebagai cara berperilaku dalam masyarakat atau kelompok, terutama di media sosial, di mana adalah umum untuk menolak dan berhenti mendukung seseorang karena mereka mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyinggung kelompok tersebut.

Tidak terhitung public figure (pesohor), instansi pemerintahan maupun swasta yang sempat di-cancel beramai-ramai oleh masyarakat media sosial yang seakan menjadi institusi pengadilan sosial. Budaya pengenyahan melalui tagar awalnya dimaksudkan untuk menyoroti beberapa kesalahan serius orang-orang yang paling berkuasa, dan menunjukkan solidaritas dengan memerangi ketidakadilan sosial (Romano, 2019).

Umumnya, pengguna media sosial merasa harus saling serang untuk menggiring opini berdasarkan apa yang mereka yakini. Namun tidak semuanya menyadari, setiap manusia punya pikiran kompleks yang tidak selalu hitam dan putih. Gradasi pendapat warga internet membuat warna pendapat menjadi beragam. Meski nampaknya, pendapat tersebut cenderung destruktif dan mewakili apa yang kita sebut sebagai perang informasi.

Kondisi ini diperkuat lebih lagi oleh filter bubble dan echo-chamberFilter bubble adalah cara algoritma bekerja dengan menentukan informasi yang akan kita temukan di internet berdasarkan pola aktivitas kita. Seperti beranda YouTube kita yang itu-itu saja, story dan unggahan Instagram dari orang-orang yang intens berinteraksi dengan kita di platform tersebut.

Filter bubble dan echo-chamber berkontribusi dalam memperkuat bias kita, khususnya bias implisit yang seringkali tidak kita sadari.

Sedangkan eco-chamber merupakan efek dari filter bubble yang diterima media sosial. Dimana ruangan (beranda) media sosial kita hanya akan dipenuhi oleh akun dari orang-orang yang mempunyai sikap yang sama dengan kita. Filter bubble dan echo-chamber berkontribusi dalam memperkuat bias kita, khususnya bias implisit yang seringkali tidak kita sadari. Filter bubble dan echo-chamber ini juga yang akan mengiring kita yang berinteraksi di dunia virtual untuk menemukan in-group alias circle versi virtual kita sendiri.

KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Seorang warga menggunakan ponsel pintarnya untuk mengakses media sosial,  Selasa (18/2/2020), di Jakarta.

Istimewanya, berinteraksi di dunia virtual lebih memuaskan sebab pesan yang kita sampaikan berpotensi dibaca secara langsung oleh lawan bicara. Terkhusus di media sosial yang menjadi perwujudan dari demokrasi digital. Artinya, setiap pengguna yang merupakan rakyat biasa dapat berinteraksi dengan pengguna lain yang merupakan seorang selebriti, politisi, atau tokoh publik.

Interaksi dua arah ini adalah hal baru bagi masyarakat kita dalam kesehariannya yang masih lebih hirarkis. Sebutlah dalam kehidupan nyata, orang awam akan mustahil untuk menyampaikan keluhan secara langsung pada pemerintah. Perlu administrasi yang berbelit-belit untuk bertemu dengan pemimpin. Berbeda dengan media sosial yang meruntuhkan hirarki tradisional tersebut.

Berinteraksi di dunia virtual lebih memuaskan sebab pesan yang kita sampaikan berpotensi dibaca secara langsung oleh lawan bicara.

Pengguna biasa mampu berkomunikasi, berdiskusi, hingga bersolidaritas satu sama lain dan menantang mereka yang memiliki otoritas lebih tinggi atau posisi yang berpengaruh. Itulah yang membuat warga internet menemukan zona nyaman yang baru. Sebuah media sosial yang memberikan afirmasi kesetaraan antar penggunanya.

Sayangnya, kesetaraan dalam berinteraksi tersebut sudah lebih dari sekadar medium kontrol sosial. Jangankan melakukan cancel pada koruptor atau kriminal, orang biasa yang punya unpopular opinion alias opini yang berbeda dari orang kebanyakan pun bisa diberangus dan dienyahkan beramai-ramai oleh pengguna media sosial. Warganet terlena dengan kemudahan memberikan pendapat. Polarisasi seakan menjadi normal baru, ia menginfeksi segala hal, mulai dari politik hingga hiburan, dan membatasi wacana produktif dengan meminggirkan mereka yang tidak segera sejalan dengan ideologi dominan.

Dalam psikologi komunikasi, ada istilah konformitas yang digunakan untuk mengkondisikan nilai seseorang supaya menjadi seragam dengan nilai mayoritas, terlepas dari benar atau tidaknya nilai tersebut. Tentunya, kebebasan berbicara belum hilang, tetapi suaranya hampir tidak mungkin didengar jika tidak sejalan dengan ideologi dominan.

Meminjam istilah imagined communities atau komunitas terbayang dari Benedict Anderson, kali ini coba kita gunakan untuk menggambarkan warganet di Indonesia yang liar dan mudah saling terkam. Dikatakan sebuah komunitas terbayang karena para warganet hidup dalam bangsa yang diimajinasikan dengan batasan-batasan yang mereka buat sendiri. Dalam hal batasan, algoritma bekerja membatasi referensi berpikir serta memperkuat bias kita tanpa disadari. Sedangkan 'bangsa' di sini terkait dengan interpretasi masing-masing individu dalam memaknai dunia virtual mereka.

Bangsa yang diimajinasikan adalah beranda ruang digital para warganet. Dalam komunitas terbayang dunia maya, konsep bangsa dalam skala negara bahkan bisa jadi tidak relevan lagi. Dengan atau tanpa kemampuan menguasai bahasa Inggris, warganet tetap bisa tidak ikut-ikutan melakukan cancel pada figur yang sedang jadi sorotan. Dengan penuturan yang subtil, hingga kasar seperti ujaran kebencian sekaligus.

Dunia virtual menjadi pelarian paling mudah untuk mencaci, mendetoksifikasi racun dan prasangka dari diri sendiri, karena ketidakmampuan kita untuk selesai dengan diri sendiri.

Mungkin, warganet merasa telah mengupayakan konformitas, karena perilaku figur yang sedang di-cancel tidak sejalan dengan 'nilai' kebanyakan mereka. Mungkin juga, cancelation yang warganet lakukan hanya sekadar dari eskapisme dari dunia nyata yang tidak memberikan hidup dalam imajinasi yang mereka mau. Dimana dunia virtual menjadi pelarian paling mudah untuk mencaci, mendetoksifikasi racun dan prasangka dari diri sendiri, karena ketidakmampuan kita untuk selesai dengan diri sendiri.

Lantas, hal ini menggiring pada pertanyaan di mana sebenarnya kehidupan nyata kita, beranda dunia maya atau dunia imajiner sehari-hari yang tak pernah kita miliki?

Dinda Lisna AmiliaPengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi - AWS Surabaya 


Sumber: Kompas.id - 28 Juni 2021


Minggu, 27 Juni 2021

TAJUK RENCANA: Selain Covid-19, Ada Pula Ancaman Iklim (Redaksi Kompas)

Setiap negara, termasuk Indonesia, harus memperlihatkan komitmen dan kontribusi mengerem laju pemanasan global jika tak ingin bencana itu menghampiri kita. Saat diskusi sudah habis, kini waktu berkontribusi.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Rumah yang tenggelam dan ditinggalkan warga di Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (2/9/2019). Abrasi, pasang air laut, dan perubahan iklim yang terus terjadi menjadi persoalan utama di pesisir utara Jawa Tengah.

Ancaman yang dihadapi manusia datang bertubi-tubi. Saat masih terbelenggu oleh Covid-19, kita mendengar ancaman bencana lingkungan akan tiba lebih cepat.

Hari Jumat (25/6/2021) kita membaca berita yang sebenarnya hanya menegaskan apa yang sering kita dengar, yaitu malapetaka iklim. Berdasar draf laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang diwartakan oleh kantor berita Perancis, AFP, bencana lingkungan akibat perubahan iklim diperkirakan datang lebih cepat dari perkiraan.

Sebagai konsekuensi, anak yang lahir hari ini akan mengalami dampak perubahan iklim sebelum mencapai usia 30 tahun. Asia Tenggara akan menjadi salah satu kawasan paling cepat terdampak, diprediksi tak sampai 20 tahun ke depan.

Perubahan iklim yang ditandai terutama oleh fenomena pemanasan global terjadi karena terjadinya aktivitas manusia, khususnya industri yang menggunakan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon. Ditambah, pembukaan lahan melalui pembakaran hutan.

DOKUMENTASI TIM BALAI BESAR KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA

Lokasi pembakaran hutan di Cagar Alam Cycloop, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (18/11/2020).

Dengan laju aktivitas yang ada sekarang, suhu bumi akan naik 1,5 derajat celsius dibandingkan suhu sebelum Revolusi Industri pada 2040. Sekarang ini suhu rata-rata Bumi sudah naik 1,1 derajat celsius dari masa 1850-1900. Perubahan iklim yang terjadi karena itu akan berujung pada malapetaka bagi spesies, ekosistem, dan manusia.

Dalam Perjanjian Paris 2015—ditandatangani 196 negara—ada kesepakatan untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata 2 derajat celsius. Jika mungkin 1,5 derajat saja. Namun, kecenderungan mutakhir memperlihatkan kenaikan suhu menuju 3 derajat. Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika kenaikan setinggi itu yang akan mewujud. Untuk kenaikan 1,5 derajat celsius saja, IPCC meramalkan akan terjadinya kepunahan terumbu karang. Hal ini akan memukul 500 juta penduduk yang sumber pangannya bergantung pada keanekaragaman hayati laut, termasuk penduduk Indonesia.

Untuk kenaikan 1,5 derajat celsius saja, IPCC meramalkan akan terjadinya kepunahan terumbu karang.

Dipaparkan juga jika suhu naik hingga 2 derajat celsius, malapetaka yang akan terjadi antara lain lapisan es di Arktika dan Antartika meleleh dan mengakibatkan air laut hingga setinggi 13 meter. Sungguh mengerikan dampak yang akan terjadi. Selain kacaunya iklim yang membuat 80 juta orang kelaparan parah, bencana juga akan menyebabkan lebih dari 130 juta orang mengalami kemiskinan ekstrem.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Selain membawa tumpukan sampah, gelombang pasang juga menyebabkan abrasi di kawasan Pantai Penghulu Agung, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, seperti terlihat Selasa (9/2/2021).

Sekarang kita sering mendengar laporan, kota-kota pesisir dilanda rob dan banjir. Ditambah pengambilan air tanah yang sesuka hati, tenggelamnya kota dan kawasan pesisir, banyak diyakini menjadi keniscayaan dan tinggal tunggu waktu saja.

Saat ini isu kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim kalah oleh isu pandemi yang memorakporandakan banyak negara. Namun, di tengah kesuntukan pandemi, pihak berwenang di kementerian dan badan serta lembaga lain yang bertanggung jawab atas lingkungan semestinya tak lupa mengerjakan pekerjaan rumah yang ada. Setiap negara, termasuk Indonesia, harus memperlihatkan komitmen dan kontribusi mengerem laju pemanasan global jika tak ingin bencana itu menghampiri kita. Saat diskusi sudah habis, kini waktu berkontribusi 

Sumber: Kompas.id - 26 Juni 2021



ETIKA KEKUASAAN: Pemburu Kekuasaan dan Kerakusan (ZULY QODIR)

Perilaku para pemburu kekuasaan yang rakus tidak pernah hilang di negeri ini. Bak musang berbulu domba, mereka tuna-nurani dan tuna-etika, menggunakan segala cara untuk mencapai keinginannya.

Telah lama kekuasaan diperebutkan. Bahkan, demi kekuasaan, orang rela mati menumpahkan darah sahabat-sahabatnya. Mereka berebut tidak kenal waktu, siang maupun malam bagaikan seekor musang. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan era Orde Baru, pernah berujar pada 2014, "Malam masih menyelimuti kita. Namun, musang berbulu ayam sudah berkeliaran."

Ini kiasan yang sangat dalam bagi para pengejar dan pemuja kekuasaan. Mereka telah bergerak merangsek mengatur segala strategi untuk merebutnya, ketika orang lain masih terlelap dalam mimpi. Kebiasaan seperti itu oleh Menteri Daoed Joesoef dikatakan sebagai tabiat para pengejar kuasa, tampaknya lembut namun beringas, sebab khawatir tidak mendapatkan posisi yang diinginkan sejak semula. Namun, pada komunikasi publik, menampakkan dirinya seakan tidak akan merebut kekuasaan tersebut. Tampak alim, santun, sopan, dan merendah. Seakan-akan hendak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mendapatkan kesempatan atau melanjutkan apa yang telah diukirnya.

Tetapi itulah, para pemburu kekuasaan tidak akan berhenti bergerak dengan berbagai rencana (busuk sekalipun). Membunuh sahabat, kawan dekat, bahkan sanak saudara pun tidak segan dilakukan. Yang terpenting, hasratnya tercapai dengan segala upaya. Namun, sekali lagi, publik tidak mampu membacanya karena dilakukan dengan cara-cara yang tampak simpati, lembut, serta memberikan simpati pada mereka yang diajak bicara.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga melintas di sekitar mural yang menggambarkan tentang orang yang berebut kekuasaan di pagar tembok di Penjaringan, Jakarta, Selasa (21/2/2017).

Musang berbulu ayam

Kayu yang ada di dalam sungai tidak akan pernah menjadi buaya. Begitu pun buaya di sungai tidak akan pernah berubah menjadi kayu. Kayu tetaplah kayu. Buaya tetaplah buaya. Tidak akan terjadi metamorfosa di antara keduanya. Kayu dapat tampak seperti buaya. Demikian pula buaya dapat tampak seperti kayu. Namun, sifat kayu dan buaya tidak akan terjadi perubahan. Inilah yang dikatakan tabiat, karakter, sehingga sampai kapan pun dinyatakan sulit terjadi perubahan. Sifat bengis tetap ada pada buaya, serigala, dan musang. Sifat lembut dan jinak akan tetap ada pada ayam dan domba.

Musang, sebagai binatang, merupakan binatang pemangsa yang ganas. Ayam, itik, kelinci, bahkan kucing dan tikus saja akan dimangsa jika dianggap berbahaya atas dirinya. Bahkan, tidak saja karena dianggap membahayakan si musang, jika musang merasa perlu untuk memangsa, maka dengan sigap si musang akan memangsa dengan geram. Inilah perilaku musang, sebagai binatang buas, haus memangsa siapa pun yang berada di hadapannya.

Sifat bengis tetap ada pada buaya, serigala, dan musang. Sifat lembut dan jinak akan tetap ada pada ayam dan domba.

Ibarat yang sering dijadikan padanan adalah serigala berbulu domba. Serigala merupakan binatang sangat buas. Pemangsa binatang berdarah dingin. Tanpa ampun akan memangsa siapa pun yang berada di depannya. Tidak perlu menjadi musuh serigala, binatang apa saja akan dienyahkan dari hadapannya, apalagi jika dianggap membahayakan dirinya. Inilah perilaku serigala dengan sikap kasar, keras, dan bengis, namun tampak lemah lembut karena mempergunakan bulu domba.

Ayam dan domba sebaliknya, merupakan binatang ternak yang sangat disenangi manusia. Ayam banyak manfaat bagi manusia. Bulunya, kokoknya membangunkan dari tidur pulas, dagingnya ataupun telurnya mengandung protein. Domba, demikian pula, ternak yang jinak. Sangat bermanfaat bagi petani. Pupuknya, anaknya, kulitnya, dagingnya, dan kepalanya. Semuanya bermanfaat untuk manusia. Hampir tidak ada manusia yang ketakutan dengan ayam ataupun domba sebagai binatang piaraan.

Namun, mengapa kiasan tentang musang berbulu ayam dan serigala berbulu domba menjadi sangat populer dalam kosakata di negeri ini. Oleh sebab, perilaku para pemburu kekuasaan yang rakus tidak pernah hilang di negeri ini.

Di kampus, di partai politik, di lembaga pemerintah, kementerian, ataupun lembaga swasta selalu muncul orang-orang yang berpura-pura baik, santun, lemah lembut, sederhana, tawadhu, tidak membutuhkan puja-puji dari sesama, dan tidak menghendaki kekuasaan. Padahal, sejatinya orang tersebut memiliki hasrat yang sangat kuat dalam merebut dan memelihara kekuasaan yang telah diraih dan dimiliki.

Kekuasaan yang telah didapatkan akan dipertahankan dan terus direbut dengan segala metode, namun tidak menampakkan dirinya bahwa dialah sang pemuja kekuasaan. Bahkan, jika diperlukan, akan membuat cerita bahwa orang lain yang sebenarnya haus kekuasaan, dengan menjelekkan dirinya. Memfitnah dirinya sehingga orang simpati padanya.

Perilaku para pemburu kekuasaan yang rakus tidak pernah hilang di negeri ini.

Perilaku kasar, bengis dan urik, tidak jujur ditutup dengan berbagai drama agar yang lain melihatnya sebagai sesuatu yang normal. Seakan tidak ada anomali dan keserakahan di sana. Semua itu dibungkus oleh perilaku ayam dan kambing yang memang santun, lemah lembut dan asli, tidak dibuat-buat.

Sungguh kita menghadapi perilaku banyak manusia yang menutup perilakunya dengan topeng-topeng kesederhanaan. Semua topeng ini dalam bahasa agama disebut sebagai perilaku kaum fasik, berbeda antara yang diucapkan dan yang dilakukan. Apa yang di depan kita dengan di belakang kita. Berbeda antara ucapan dan tindakan.

Manusia penuh dengan topeng seperti itu sungguh membahayakan kita semua. Namun, perlu diingat pula banyak yang terkesima, termakan dan larut dalam tarian irama manusia bertopeng karena bujuk rayuan, ungkapan, kosakata yang dipergunakan dan gerak-gerik yang lembut. Perilaku kaum fasik oleh agama dianggap sangat berbahaya sebab dapat mencelakakan umat manusia yang lebih banyak. Sekalipun dapat menyelamatkan segelintir orang demi meraih apa yang dikehendakinya.

ARSIP PESTA BONEKA

Makhluk-makhluk bertopeng dalam karya kolaborasi Flying Balloons Puppet, Sakatoya, dan Papermoon Puppet Theatre, Senin (5/10/2020), di Yogyakarta.

Tuna-nurani dan tuna-etika

Tumbuhnya manusia-manusia bertopeng, musang berbulu ayam, dan serigala berbulu domba disebabkan hilangnya nurani yang dimiliki sebagian manusia. Bisikan nurani, yang suci, tertutup oleh ambisi yang terus menyelimuti dalam pikiran, dan hatinya. Dalam bahasa agama, bisikan nurani, sebagai bisikan suci, bisikan ilahi, terempas oleh kuatnya bisikan syaitan yang hendak menjerumuskan dalam kesesatan dan kedhaliman yang nyata. Namun, demi meraih kejayaan semu, popularitas duniawi, serta kemewahan zahir, maka bisikan ilahi tertutup segalanya.

Manusia tuna-etika itu lahir sebagai bentuk nyata dari sikap dan perilaku keras kepala yang dimiliki. Dengan demikian, sekalipun telah banyak sahabat, sanak saudara, teman karib, ataupun sesama atasan telah memberikan peringatan, nasihat, dan saran, tetap tidak didengarkan, bahkan semuanya dianggap sebagai penghambat dalam memperjuangkan kemajuan cita-cita.

Para penghamba kekuasaan dan rakus tidak akan pernah mendengar apa yang disampaikan orang lain.

Para penghamba kekuasaan dan rakus tidak akan pernah mendengar apa yang disampaikan orang lain. Orang yang menyampaikan sesuatu secara obyektif sekalipun akan dituduh sebagai cerita bohong tidak sesuai dengan kenyataan.

Manusia-manusia tuna-nurani dan tuna-etika dapat juga dikatakan sebagai manusia yang ingin menang sendiri, sekalipun dalam meraih kesuksesan sebenarnya banyak dibantu orang lain. Namun, seakan-akan kesuksesan yang diraih merupakan prestasi yang didapatkan karena perjuangan sendiri yang telah dilakukan selama ini. Inilah sesungguhnya keangkuhan manusia tuna-nurani dan tuna-etika. Mereka beranggapan apa yang telah diputuskan merupakan yang terbaik. Tidak perlu mengoreksi apa yang diputuskan, sekalipun sebagai sebuah keteledoran dan kesalahan.

Hal yang paling hebat dari manusia-manusia tuna-nurani dan tuna-etika dalam bertindak adalah menjadikan sahabat, kolega, ataupun teman sejawat mendapatkan posisi di sampingnya. Namun, sejatinya posisi yang diberikan kepada para kolega, sahabat, dan sejawat tersebut hanyalah untuk menutup segala ambisi yang dimilikinya. Semua agenda telah dimiliki tanpa sepengetahuan sahabat, kolega, karib, dan teman sejawat. Agenda-agenda tersembunyi tidak pernah diutarakan kepada sahabatnya. Dipendam sendiri dan hanya akan dikemukakan kepada mereka yang memiliki agenda yang sama, yakni: sesama pemuja kekuasaan serta pencari kuasa. Mereka akan membuat persekongkolan dengan sesama pencari kekuasaan. Inilah sebenarnya kerakusan yang nyata namun tertutup selimut kemunafikan!

Para pemuja kekuasaan sebenarnya merupakan manusia yang perilakunya penuh dengan kerakusan duniawi. Namun, karena dibalut dengan sikap sopan, rendah hati, gaya bicara yang renyah, dan penampilan yang seadanya, maka orang lain akan beranggapan itulah sesungguhnya pemimpin yang diharapkan. Padahal, semuanya adalah kepalsuan yang nyata dalam bungkus musang berbulu ayam, serigala berbulu domba. Kerakusan dibungkus dalam kesederhanaan. Kebengisan dibungkus dengan kebajikan. Sungguh berbahaya jika kita terus dikelilingi manusia-manusia demikian. Akan hancurlah peradaban umat manusia.

Saat ini kita tengah berada pada situasi di mana para pemuja kekuasaan sangat tampak jelas di hadapan hidung. Mereka berkeliaran siang malam, pagi-sore. Di mana ada kesempatan, manusia haus kekuasaan dan rakus, akan beraksi, menelikung, memfitnah dan berbuat kasar pada mereka yang tidak direstui. Apalagi terhadap mereka yang dianggap sebagai ancaman dalam mendapatkan apa yang dikehendaki. Inilah zaman di mana pemuja dan rakus kekuasaan mendapatkan ruang karena kemunafikan merajai dunia!

Zuly QodirSosiolog, Ketua Program Doktor Politik Islam UMY 


Sumber: Kompas.id - 27 Juni 2021


Powered By Blogger