Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 April 2019

ARTIKEL OPINI: Merajut Pertumbuhan Ekonomi (ANTON HENDRANATA)

Perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah dan makin kompleks. Ke depan, tren pertumbuhan ekonomi nasional cenderung menurun dan bahkan mandek.

Sesudah krisis ekonomi global tahun 2008, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5,5 persen, dengan rata-rata pertumbuhan 6,1 persen selama 2010-2013. Namun, selama lima tahun terakhir (2014-2018), pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5 persen, tertekan oleh lemahnya perekonomian global.

Karena itu, pekerjaan rumah terbesar bangsa ini adalah bagaimana Indonesia keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5 persen? Bagaimana agar kita tidak terperangkap pendapatan menengah (midle income trap), padahal berlimpah bonus demografi? Bagaimana menurunkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) agar makin efisien dan produktivitas tenaga kerja meningkat?

Kita tidak perlu pesimistis, meratap, dan mengeluh melihat perekonomian ekonomi Indonesia. Juga ketika perekonomian nasional ingin tumbuh cepat, tetapi selalu terganjal defisit neraca transaksi berjalan yang membengkak. Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi "terpaksa" direm dengan kenaikan suku bunga acuan BI (BI7DRR) demi menjaga stabilitasi rupiah.

Perekonomian Indonesia yang selalu didukung komoditas primer (batubara dan kelapa sawit) perlu segera ditransformasi. Potensi ekonomi yang berlimpah dan bonus demografi harus dioptimalkan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak boleh menurun sebelum mencapai titik keemasan.

Akselerasi pertumbuhan

Indonesia justru harus mengakselerasi pertumbuhan pada saat perekonomian global melambat. Indonesia membutuhkan model pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang bisa menyerap 1,8 juta angkatan kerja baru per tahun agar tidak muncul masalah sosial.

Sebagai catatan, perekonomian Indonesia pernah berjaya dengan tumbuh 10,9 persen pada 1968, kemudian 9,9 persen pada 1980. Sebelum krisis ekonomi dan moneter tahun 1997/1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi, 7,5-8,2 persen tahun 1994-1996.

Melihat historis ini, kita seharusnya optimistis dan bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi dan menjanjikan. Walaupun harus diakui, kondisi ekonomi global 10 tahun terakhir tidak semudah beberapa dekade sebelumnya. Perekonomian Indonesia seharusnya fleksibel dan adaptif menghadapi dinamika dan ketidakpastian tantangan global pada zaman ini.

Ini artinya mendorong pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi bukanlah barang langka yang tidak bisa diwujudkan. Potensi membenahi perekonomian Indonesia masih terbuka lebar sehingga prediksi Indonesia akan menjadi negara terbesar keempat dunia tahun 2030, menurut Standard Chartered Plc, bukanlah isapan jempol.

Pemerintahan saat ini berusaha membalikkan keadaan dan mulai terlihat dampak dan sinyal positifnya. Harus disadari, kita tidak akan melihat dampak positif ini secara masif dan signifikan dalam jangka pendek karena segudang masalah yang dihadapi bangsa ini.

Yang terpenting adalah arah perbaikan sudah benar dan tepat, walaupun belum sempurna. Dengan kondisi yang ada, semua pihak perlu menyadari bahwa semua permasalahan yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak mungkin dapat dituntaskan dalam 5-10 tahun tanpa cacat cela.

Saat ini arah pembangunan Indonesia semakin benar dan terarah, serta konsisten memperkuat fundamental ekonomi dan berkesinambungan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai merangkak naik sejak 2016 dengan kualitas pertumbuhan semakin baik, tecermin dari tingkat pengangguran dan disparitas yang terus menurun.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah melewati titik terendah tahun 2015, yaitu 4,88 persen, kemudian naik sedikit ke 5,03 persen tahun 2016, dan terus berlanjut pada 2017 dan 2018, berturut-turut tumbuh 5,07 dan 5,17 persen. Pencapaian ini harus dilihat secara jernih dan perlu disyukuri karena pada saat bersamaan, pertumbuhan ekonomi dunia masih stagnan dan melambat. Perekonomian global (terutama negara maju) mulai terjerat dengan masalah struktur penduduk, di mana usia produktif relatif terbatas dan menanggung beban berat dari usia lanjut, serta tingkat produktivitas yang menurun.

Peluang Indonesia melepaskan diri dari pertumbuhan ekonomi sekarang ini dan mengakselerasinya cukup besar. Jalan yang bisa memuluskan ini adalah mendorong investasi lebih masif ke dalam perekonomian domestik, di samping tetap menjaga dan mendorong terus konsumsi rumah tangga. Tahan inflasi agar daya beli masyarakat terjaga, terutama masyarakat level bawah.

Melihat historis pertumbuhan investasi dalam perekonomian nasional, Indonesia pernah mengalami pertumbuhan investasi yang prima, selain konsumsi rumah tangga. Tahun 2010-2012, pertumbuhan investasi 8,5-9,1 persen. Sayangnya, selama 2013-2016 cenderung turun hanya 4-5 persen. Kondisi ini secara perlahan mulai menunjukkan tren meningkat pada 2017 dan 2018 dengan pertumbuhan 6,2 dan 6,7 persen.

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, paling tidak Indonesia membutuhkan pertumbuhan investasi sekitar 10 persen. Artinya diperlukan pertumbuhan investasi sekitar satu setengah kali lipat investasi tahun 2018, yang tercatat 6,7 persen.

Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia tahun 2017 sangat jelas menunjukkan betapa ketatnya persaingan mendatangkan investor ke perekonomian domestik. Investasi Raja Salman di Indonesia hanya 6 miliar dollar AS; hanya sepersepuluh dibandingkan investasinya ke China, 65 miliar dollar AS.

Investor asing jadi kunci

Menggandeng investor masuk ke Indonesia bukanlah perkara mudah. Negara lain pun berlomba mencari dukungan investasi untuk perekonomian negaranya. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menarik investor agar menanamkan modal di Indonesia.

Kuncinya adalah seberapa jauh infrastruktur yang dimiliki Indonesia bisa membuat investor tergiur dan makin membuka kotak pandora tingginya potensi ekonomi Indonesia yang sangat unik dan tidak dimiliki negara lain.

Berdasarkan data, daya saing Indonesia masih belum kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Stok infrastruktur Indonesia berada di bawah rata-rata dunia, yaitu 70 persen. Kajian Prospera, stok infrastruktur Indonesia hanya 42 persen, penghitungan Bank Dunia lebih rendah lagi, 38 persen.

Lebih lanjut, dari sisi kualitas infrastruktur, menurut The Global Competitiveness Report, Indonesia berada di peringkat ke-52 di dunia. Indonesia masih berada di bawah Thailand (43), Malaysia (22), dan Singapura (2).

Berdasarkan penelitian Bank Dunia (2017), sangat jelas menunjukkan
ketidakcukupan suplai infrastruktur berada di urutan keempat yang menjadi masalah berbisnis di Indonesia.
Sementara penghambat lainnya dari peringkat pertama hingga ketiga, yaitu (1) korupsi, (2) ketidakefisienan birokrasi pemerintah, dan (3) akses pembiayaan.

Alhasil, menurut Bank Dunia, peringkat kemudahan berusaha di Indonesia 2018 di bawah negara-negara tetangga. Indonesia di peringkat ke-73, sedangkan Vietnam (69), Brunei Darussalam (55), Thailand (27), dan Malaysia (15).

Pemerintah sangat menyadari kondisi ini dan meresponsnya dengan strategi dan kebijakan yang berorientasi masa depan. Oleh karena itu, akselerasi pembiayaan infrastruktur digenjot habis-habisan. Selama periode 2015-2019, total pembiayaan infrastruktur naik signifikan lebih 2,5 kali lipat menjadi Rp 1.820 triliun, dibandingkan dengan tahun 2010-2014 sebesar Rp 679 triliun.

Bukan hanya infrastruktur yang menjadi perhatian utama pemerintah. Tiga elemen dasar lain, yang tidak kalah penting dan tidak terpisahkan adalah (1) peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), (2) peningkatan teknologi, dan (3) dukungan kelembagaan.

Idealnya, ketersediaan infrastruktur akan memberikan penguatan sistem logistik nasional yang bisa melayani dengan baik seluruh kepulauan Indonesia dan ketersediaan energi. Pusat pertumbuhan Indonesia akan sangat kedaluwarsa jika masih bertumbuh di Pulau Jawa karena seharusnya menggerakkan potensi ekonomi di luar Jawa.

Kemudian, peningkatan kualitas SDM adalah pemerataan layanan pendidikan yang seluas-luasnya kepada masyarakat, disertai dengan peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan.

Dukungan kelembagaan perlu untuk perbaikan kemudahan berusaha, peningkatan tata kelola, dan birokrasi yang efisien. Terakhir adalah peningkatan teknologi. Ini menyasar pada penguatan riset dan pengembangan, peningkatan SDM yang memiliki keahlian tinggi, dan pemanfaatan teknologi digital.

Empat elemen dasar di atas tidak mudah dijalankan dan pasti banyak tantangannya. Jadi, kuncinya adalah kita harus optimistis dan tetap semangat sehingga memiliki energi ekstra sebagai bangsa Indonesia yang jaya dan berdaulat. Kita sudah meniti reformasi dari keempat elemen dasar tersebut. Kita harus jaga momentum ini, bersatu, dan bersinergi dari segala lini (pemerintah, BI, OJK, LPS, perbankan, BUMN, BUMD, pengusaha, dan rakyat) menuju Indonesia yang lebih baik.

Indonesia harus membuat terobosan menyeluruh di setiap sektor ekonomi. Inisiasi sudah dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla,
dari pembangunan infrastruktur di Jawa dan luar Jawa hingga pemangkasan regulasi dan perizinan yang menghambat agar iklim investasi menarik dan lebih sehat.

Melanjutkan yang baik dan memperbaiki yang masih kurang tentunya membutuhkan energi ekstra. Diperlukan hati yang tulus, semangat yang berkobar, dan kebersamaan (unity).

Terobosan pemikiran ekonomi baru harus bertakhta di negeri ini supaya berdampak kepada kemaslahatan rakyat Indonesia. Akan salah besar anggur segar tetap dimasukkan ke dalam kirbat (pundi/kantong) yang tua. Anggur ini akan bocor karena kirbatnya sudah usang dan rapuh.

Anton Hendranata Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia Tbk

Kompas, 30 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Kaisar Baru Jepang (Kompas)

GETTY IMAGES/TOMOHIRO OHSUMI

Para pejalan kaki memotret foto kaligrafi yang memperlihatkan nama era baru kekaisaran Jepang, Reiwa, di Distrik Ginza, Tokyo, 1 April 2019. Reiwa menandai awal kekaisaran baru, Naruhito (59), penerus Kaisar Akihito (85) yang akan turun takhta, Selasa besok.

Pangeran Naruhito esok diangkat menjadi kaisar baru Jepang. Ia akan memasuki periode yang penuh dinamika dan tantangan bagi Jepang.

Upacara kenaikan takhta itu akan ditandai dengan prosesi khusus, yang akan mengiringi Naruhito memasuki era kekaisaran baru, Reiwa, yang berarti 'keselarasan yang indah'.

Namun, berbeda dengan ayahnya, Kaisar Akihito, yang naik takhta saat ekonomi Jepang mencapai puncaknya, Naruhito akan memasuki kondisi yang berbeda dan penuh dinamika.

Meskipun Jepang saat ini masih menjadi kekuatan ekonomi ketiga dunia, pertumbuhan Jepang relatif stagnan. Jepang diprediksi tidak akan bisa kembali ke masa kejayaan tahun 1980-an. Namun, stabilitas ekonomi di negara ini diprediksi bisa melewati berbagai krisis global.

Jepang juga menghadapi tantangan lain, yaitu populasinya yang semakin menua. Pada 2018, Jepang telah melewati tonggak baru saat 20 persen dari populasinya yang sekitar 127 juta, berusia 70 tahun ke atas. Jumlah itu akan meningkat menjadi sepertiga populasi pada tahun 2050.

Tantangan juga terjadi di bidang keamanan. Sampai saat ini militerisasi tidaklah populer di mata rakyat Jepang. Trauma bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki telah membuat rakyat Jepang bertekad untuk tidak terlibat ataupun mengalami kembali penderitaan perang. Selama menjadi kaisar, Akihito merupakan sosok yang konsisten mengampanyekan perdamaian dan mengingatkan rakyat tentang bahaya perang.

Kaisar Naruhito akan memulai jabatannya saat terdapat ancaman nyata di kawasan. Selama tahun 2017, misalnya, Korea Utara telah menggelar enam kali uji coba senjata nuklir. Negosiasi denuklirisasi Korut yang digagas Amerika Serikat saat ini menghadapi jalan buntu.

Namun, ancaman utama bagi Jepang adalah dominasi China yang saat ini merupakan kekuatan ekonomi kedua di dunia dan giat memperkuat angkatan bersenjatanya. Jepang, yang pasca-Perang Dunia II memiliki konstitusi yang pasifis, kini mulai mengendurkan belenggunya untuk beradaptasi dengan ancaman yang ada.

Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe, Jepang perlahan-lahan melonggarkan aturan pertahanannya. Selain membentuk Dewan Keamanan Nasional dan menaikkan anggaran pertahanan, Pemerintah Jepang juga sedikit demi sedikit "merevisi" fungsi pasukan bela negara ke arah fungsi militer pada umumnya.

Meskipun kaisar tidak memiliki kekuasaan politik, bagi rakyat Jepang, kaisar memiliki arti penting untuk menjaga tradisi dan memelihara harapan masyarakat. Kaisar Naruhito dituntut bijak dalam menjalankan mandatnya dengan menjaga keseimbangan antara harapan masyarakat dan tantangan nyata yang dihadapi Jepang di kawasan.

Kompas, 30 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Usulan Revisi Aturan Upah (Kompas)

Seusai bertemu pimpinan serikat pekerja di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kesepakatannya untuk merevisi PP No 78/2015 tentang Pengupahan.

Dukungan Jokowi terhadap revisi PP ini sebenarnya bukan hal baru karena pernah disampaikan dalam kampanye di depan sukarelawan buruh di Bandung, sebelum pelaksanaan pilpres 17 April. Namun, gagasan revisi PP itu dikhawatirkan akan memunculkan pro-kontra mengingat aturan yang berlaku sekarang ini dinilai sudah bisa memberikan kepastian serta relatif mampu menekan terjadinya gejolak perburuhan terkait pengupahan dan kenaikan upah.

MUCHLIS JR/BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN

Dalam pertemuan dengan pimpinan serikat pekerja, Presiden Joko Widodo membicarakan rencana peringatan Hari Buruh 1 Mei mendatang. Pertemuan berlangsung hangat di Istana Kepresidenan Bogor, Bogor, Jumat (26/4/2019) pagi.

Dari sisi pelaku usaha, dengan PP No 78/2015, kenaikan upah sudah bisa diprediksi sehingga lebih memudahkan bagi mereka untuk membuat perencanaan. Bagi buruh, PP ini juga menjamin kenaikan upah setiap tahun. PP dinilai juga mampu memberikan kepastian bagi calon angkatan kerja baru.

Namun, dari setiap kalangan pengusaha dan pekerja, ada yang menghendaki PP direvisi. Pengusaha yang diwakili Apindo menginginkan PP direvisi dan kenaikan upah didasarkan pada inflasi tiap-tiap daerah, bukan lagi pada pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi seperti sebelumnya. Tujuannya agar tak memberatkan pengusaha.

Sementara itu, kalangan buruh, seperti diwakili pimpinan SP yang bertemu Jokowi di Istana Bogor, juga menghendaki PP direvisi karena formula upah dalam PP No 78/2015 dinilai tak mencerminkan keadilan bagi buruh. Kenaikan upah yang mendasarkan pada pertumbuhan dan inflasi semata dinilai tak mampu menutup kebutuhan hidup layak (KHL) yang mencakup 60 item. Mereka juga menghendaki dilakukannya survei mengenai KHL ini sebelum ditetapkannya upah minimum.

Bagaimana menjembatani semua kepentingan ini? Presiden Jokowi menekankan jangan sampai revisi merugikan salah satu pihak, baik itu pengusaha maupun buruh. Namun, formula pengupahan seperti apa yang dimaksud? Meski komitmen memperbaiki sistem pengupahan ini berangkat dari janji politis Presiden terkait pilpres, isu ini relevan kita diskusikan, khususnya menyambut Hari Buruh 1 Mei ini.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Sejumlah buruh berjalan kaki di Jalan Raya Banjaran yang tergenang banjir di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (10/4/2019).

Menjaga harmoni hubungan industrial sekaligus menjamin kesinambungan sektor usaha dan perekonomian, serta pada saat yang sama menjamin terus membaiknya kesejahteraan buruh, adalah keinginan kita semua. Tantangan kita, bagaimana menyeimbangkan semua kepentingan itu tanpa mengorbankan salah satu.

Kita juga tak ingin kegaduhan terkait upah ini menciptakan situasi kurang nyaman dan tak kondusif bagi iklim berusaha dan kenaikan upah mengancam daya saing serta prospek penciptaan lapangan kerja dalam jangka panjang di tengah tren kian menurunnya lapangan kerja di sektor formal.

Survei JETRO terbaru menyebut Indonesia tak lagi menjadi tujuan investasi menarik bagi investor Jepang, antara lain, karena upah buruh. Kenaikan upah tak dibarengi peningkatan produktivitas. Namun, kita tak bisa menyalahkan buruh karena produktivitas rendah atau menuding buruh sebagai penyebab hengkangnya investor. Di sinilah tanggung jawab bersama pemerintah dan dunia usaha menaikkan kualitas pekerja. Pemerintah juga harus tegas pada pengusaha mampu yang nakal karena tak membayar upah pekerja secara layak.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ribuan buruh dari berbagai organisasi berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, bertepatan dengan Hari Buruh, Selasa (1/5/2018). Mereka menuntut perbaikan kesejahteraan.

Kompas, 30 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Merenungkan Ulang Makna Serikat Buruh (REKSON SILABAN)

Serikat buruh, sejak awal kelahirannya pada abad ke-19 di Inggris, berkembang sebagai wadah yang mewakili buruh memperjuangkan perbaikan kesejahteraan buruh.

Semula serikat buruh (SB) dibentuk hanya mewakili pekerja ahli (skilled workers) karena menganggap pekerja tidak ahli tidak cocok bergabung dalam wadah organisasi formal SB. Mungkin karena ada perbedaan karakteristik upah, pendidikan, isu, dan aspirasi. Hal senada terjadi di Amerika Serikat saat SB pekerja ahli American Federation of Labor (AFL) menolak upaya pekerja tidak ahli bergabung. Pekerja tidak ahli tersebut akhirnya membentuk wadah sendiri bernama CIO (Congress of Industrial Organization), yang sukses mengembangkan jumlah keanggotaan karena merekrut pekerja industri baja dan otomotif.

Akhirnya bergabung

Akhirnya, pada 1955, AFL dan CIO memutuskan bergabung dalam satu wadah tunggal dengan nama baru AFL-CIO, dengan jumlah anggota 15 juta orang. Peristiwa yang sama diikuti SB Inggris dan negara Eropa lainnya. Mereka memutuskan bersatu dengan satu alasan, memperkuat posisi runding  menghadapi pemilik modal dan penguasa prokapitalis.

Keputusan untuk memadukan semua buruh dalam satu wadah perjuangan, pada sejarah selanjutnya mampu membuat perjuangan SB lebih kuat dan disegani. Tidaklah mengherankan banyak produk konvensi internasional ILO dan UU proburuh lahir pada periode 1950 sampai 1970-an.

Dari sinilah awal konfederasi serikat buruh internasional (ITUC) mensyaratkan prinsip representativeness sebagai salah satu syarat untuk berafiliasi dengan ITUC. Syarat lainnya adalah independent dan democratic governance.

Prinsip representasi menjadi penting untuk SB supaya memiliki hak mengatasnamakan aspirasi buruh. Sebagaimana terjadi dalam logika demokrasi, semakin tinggi representasi sebuah lembaga, maka semakin tinggi kesahihan klaim. Dari tiga prinsip ITUC tadi, SB Indonesia menghadapi masalah dalam hal representasi dan independensi. Mayoritas SB yang terdaftar di Depnaker tidak memiliki kecukupan representasi, hanya memiliki anggota kecil dan berpusat di dua-tiga kota. Namun, tidak adanya aturan threshold, seperti UU Partai Politik, membuat SB tetap eksis dengan label nasional, sekalipun kecil.

Independensi SB juga jadi masalah besar karena dalam dua pemilu terakhir, SB terbuka mendukung partai-partai tertentu dan terlibat dalam kampanye resmi. Mereka membela diri dengan mengatakan bahwa fenomena tersebut juga dilakukan SB Eropa, Amerika, dan banyak negara lainnya. Padahal, ada perbedaan karakteristik sangat jelas antara kita dan mereka, yaitu keberpihakan politik SB Inggris ke Partai Buruh Inggris, begitu juga dengan DGB Jerman ke Partai SPD, atau kedekatan AFL-CIO ke Partai Demokrat Amerika Serikat. Semua berlangsung tanpa imbal jasa politik, misalnya diiming-iming jadi menteri kabinet, pejabat komisaris BUMN, atau jabatan politik lain. Keberpihakan politik sepenuhnya karena alasan kecenderungan kesamaan garis ideologis dan kesamaan aspirasi. Itu sebabnya dalam kampanye justru serikat buruh yang mendanai.

Redefinisi gerakan

Dalam sejarah pergerakan buruh, pasang surut kekuatan SB selalu terkait dengan kondisi ekonomi suatu negara. Apabila ekonomi negara didominasi sektor pertanian, biasanya kekuatan SB lemah. Pada masa pertumbuhan besar industri manufaktur, jumlah anggota SB bertumbuh cukup besar.

Namun, saat ekonomi didominasi industri sektor jasa, kekuatan SB pasti melemah. Inilah faktor utama yang membuat mengapa kekuatan SB di negara industri maju menurun drastis ketimbang era 1970-an, saat industri padat karya mereka relokasi ke negara berkembang, digantikan industri sektor jasa.

Menurunnya anggota SB selanjutnya menurunkan kekuatan berunding SB. Selain karena menurunnya jumlah massa pendukung sebagai kekuatan pressure group, SB juga kehilangan dukungan finansial dari iuran anggota yang mengecil. Masalahnya, era keberhasilan SB yang pernah dinikmati negara industri maju tidak terjadi di negara berkembang lainnya. Mengapa?

Sebab, tingkat pertumbuhan industrialisasi di negara berkembang tidak sempat memasuki era tenaga kerja penuh (full-employment). Pertumbuhan industrialisasi berlangsung bersandingan dengan tingginya pengangguran dan pekerja informal. Hal ini diperburuk lagi dengan munculnya disrupsi pekerjaan dengan kehadiran Revolusi Industri 4.0 yang meruntuhkan konsep lama atas definisi majikan dengan pekerja.

Pekerjaan di masa depan akan diwarnai jenis pekerja mandiri, sistem kerja bagi hasil, pekerja daring, dan pekerja start up yang tidak memerlukan majikan ataupun bantuan jasa perundingan dari SB.

Dengan demikian, tantangan pengorganisasian buruh di masa depan tidak hanya sebatas bagaimana menyatukan kekuatan pekerja ahli dan pekerja tidak ahli (seperti  isu masa lalu), tetapi bagaimana membuat pekerja informal, pekerja sektor jasa, pekerja mandiri, tertarik bergabung dengan SB.

Syarat pertama adalah dengan mereformasi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Khususnya yang berkaitan dengan redefinisi UU bagi pekerja yang juga merangkap sebagai majikan/pemilik usaha (pemilik Grab, pekerja bagi hasil, pekerja daring, bisnis start up). Profesi baru ini belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya tentang perlindungan upah, jaminan sosial, pajak, cara berserikat, mekanisme penyelesaian konflik kerja, dan sebagainya.

Reformasi kedua berkaitan dengan perumusan isu pengorganisasian yang dikampanyekan SB yang menarik bagi pekerja nontradisional tadi. Ini mengingat isu upah, jaminan sosial, perjanjian kerja, bukan lagi isu penting untuk menarik mereka bergabung dengan SB. Jenis pekerja ini lebih menyukai isu kepastian regulasi berbisnis dan kepuasan bekerja.

Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, jumlah pekerja manufaktur sebagai basis utama keanggotaan SB terus menurun. Saat ini jumlah pekerja manufaktur untuk usaha skala besar (> 19 orang) berjumlah 6,6 juta orang. Sementara pekerja sektor jasa (> 19 orang) bertumbuh terus menjadi 7,5 juta orang.

Kecenderungan itu akan terus membesar dengan makin besarnya penetrasi sektor jasa dalam perekonomian Indonesia. Dengan konsep konvensional, aktivis serikat buruh sedang menyaksikan makin kurang relevannya perjuangan SB di masa depan.

Apabila SB hanya merepresentasi porsi kecil buruh, sementara mayoritasnya tak terwakili, apakah perjuangan SB masih bisa dikatakan demokratis, representatif, dan independen?

Selamat Hari Buruh.

Rekson Silaban Analis Indonesia Labor Institute

Kompas, 30 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ANALISIS EKONOMI: Ritel Pasca-Pemilu 2019 (ARI KUNCORO)

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Pada saat artikel ini ditulis, data ritel triwulan I-2019 dan setelahnya belum tersedia. Walau demikian, data yang ada tetap bisa digunakan karena perkembangan industri ritel tak lepas dari siklus belanja dan menabung, khususnya saat hari-hari besar dan libur panjang.

Saat ini siklus tersebut tampak berputar di triwulan II karena antara tahun 2014 dan 2018, hari raya Idul Fitri terjadi antara Juni-Juli. Untuk tahun 2014, 2015, 2016, dan 2017 triwulan II, pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran hampir selalu melambat cukup tajam dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu masing-masing 4,64 persen, 2,76 persen, 3,80 persen, dan 3,46 persen. Hal ini menunjukkan pola umum bahwa belanja besar (buying-spree) terjadi di triwulan I.

Bisnis daring masih terlalu kecil volumenya untuk memengaruhi siklus belanja dan ada kecenderungan bergerak ke produk premium. Adanya waralaba, seperti Indomaret dan Alfamart, membuat masyarakat kelas menengah bawah dapat membeli barang kebutuhan sehari-hari dalam bundel yang lebih kecil. Walau jadi pesaing bagi peritel besar untuk barang kebutuhan sehari-hari, secara keseluruhan rutinitas ini tidak mengubah siklus belanja.

Satu perubahan terjadi di triwulan II-2017, pertumbuhan perdagangan besar dan eceran relatif melemah dibandingkan triwulan sebelumnya. Akan tetapi, kali ini diikuti pertumbuhan yang cukup kuat dari subsektor hotel dan restoran.
Tampaknya, ekspektasi masyarakat untuk perekonomian yang lebih baik dan hari libur/cuti bersama yang panjang digunakan untuk kegiatan-kegiatan konsumsi gaya hidup dan pengalaman (leisure) tanpa harus mengerem belanja ritel secara berlebihan.

Data sisi produksi PDB Indonesia menunjukan bahwa tahun 2014 sampai 2018 triwulan II mencatat pertumbuhan tertinggi untuk industri makanan dan minuman, yaitu sekitar 8 persen (yoy), kecuali tahun 2014 dengan angkanya sekitar 10 persen.

Sebaliknya, tekstil dan pakaian jadi hampir selalu mengalami pelambatan di triwulan II. Barang-barang elektronik dan optik juga punya pola yang sama dengan tekstil dan garmen, kecuali tahun 2017. Pertumbuhan tertinggi untuk barang elektronik dan optik biasa terjadi pada triwulan IV.

Harga barang yang tidak murah (big ticket items) memerlukan akumulasi tabungan yang cukup lama selain menunggu diskon dari peritel. Untuk tekstil dan garmen, pola seperti ini hanya terjadi tahun 2017 dan 2018. Kesimpulannya, dalam dua tahun terakhir masyarakat mempunyai tabungan dan daya beli yang cukup untuk membeli kedua barang ini sekaligus walau realisasinya hampir selalu terjadi di triwulan IV.

Perilaku belanja masyarakat untuk barang yang tidak tergolong tahan lama dapat ditelusuri dari data konsumsi produk domestik bruto (PDB). Sepanjang 2014-2018 kecuali di tahun 2018, pengeluaran untuk pakaian dan alas kaki mempunyai pertumbuhan tertinggi di triwulan II.

Sementara itu, puncak dari pertumbuhan pengeluaran untuk hotel dan restoran lebih sulit diprediksi karena tergantung kapan dan jumlah hari libur. Siklusnya selalu bergeser dari suatu triwulan ke triwulan lain setiap tahun.

Secara umum, pengeluaran untuk perlengkapan rumah tangga/barang tahan lama dan pengeluaran leisure dapat bersifat substitusi atau komplementer. Pada saat ekspektasi terhadap peningkatan pendapatan di masa depan tidak terlalu baik, masyarakat umumnya memilih mengurangi pengeluaran untuk perlengkapan rumah tangga untuk mempertahankan leisure (jalan-jalan dan kulineran).

Hal ini merupakan potensi disrupsi pada bisnis ritel. Sebaliknya, jika prospek ke depan baik, masyarakat dapat meningkatkan pengeluaran untuk leisuremaupun perlengkapan rumah tangga sekaligus.

Ekspektasi konsumen
Survei keyakinan konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dapat digunakan untuk memproyeksikan ekspektasi ke depan. Survei Maret 2019 memberikan kisi-kisi apa yang mungkin terjadi di sektor ritel triwulan I-2019 dan sesudahnya. Antara Januari-Maret 2019, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun tipis dari 125.5 menjadi 125.1. Walaupun masih dalam kisaran optimis, data itu menunjukan masyarakat masih berhati-hati dalam pengeluarannya.

Tampaknya, perhelatan pemilu membuat masyarakat tetap konservatif dalam membelanjakan pendapatannya. Hal ini terlihat dari minat konsumen untuk membeli barang tahan lama, seperti televisi, komputer, dan telepon genggam, yang menurun tipis pada maret 2019 (Survei IKK BI Maret 2019) dibandingkan triwulan sebelumnya. Walau demikian, survei itu juga menangkap bahwa ekspektasi konsumen terhadap peningkatan pendapatan di masa depan tetap tinggi.

Hal ini tersirat dari pengamatan perjalanan penulis (anecdotal evidence), restoran-restoran kelas menengah tetap penuh saat makan siang baik di kota-kota seperti Jakarta, Medan, Surabaya, maupun kota menengah seperti Bandung, Yogyakarta, Solo, bahkan Purwokerto, Tegal, Kutoarjo, Madiun, dan Banyuwangi.

Kombinasi ekspektasi kenaikan pendapatan dan konservatisme dalam membelanjakan pendapatan menciptakan akumulasi tabungan di bulan-bulan yang akan datang yang dapat direalisasikan jadi belanja ritel di luar makanan dan minuman.

Dengan melihat siklus belanja di atas, akumulasi keinginan mengonsumsi yang masih terbendung, potensi tabungan, dan tuntasnya pemilu tanpa kegaduhan yang berlarut diperkirakan akan menggeser siklus buying spree ritel ke Juni dan Juli 2019.

Kompas, 30 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senin, 29 April 2019

ARTIKEL OPINI: Jawaban atas Persoalan Regulasi Hulu Migas (PRI AGUNG RAKHMANTO)

Pada 23 Januari 2019, Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet terbatas dan membahas mengenai revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ini adalah sinyal positif yang membawa harapan baru akan terselesaikannya revisi UU Migas, yang sejak direkomendasikan oleh Panitia Khusus Angket Bahan Bakar Minyak pada 2008 prosesnya hanya berkutat di DPR.

Penyelesaian revisi UU Migas sangat penting karena di bawah Konstitusi UUD 1945, UU Migas adalah payung hukum tertinggi bagi penyelenggaraan pemerintahan di bidang migas. UU Migas adalah rujukan dari semua regulasi yang berkaitan dengan kebijakan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan sektor migas di Tanah Air. Dalam hal ini, tidak terkecuali adalah regulasi di sektor hulu migas.

Ketidakpastian

Selama bertahun-tahun, di tataran implementatif, muara persoalan regulasi di sektor hulu migas Indonesia pada dasarnya adalah masalah ketidakpastian (uncertainty), yang selalu berkaitan dan berkutat dengan tiga aspek utama berikut: (1) ketidakpastian hukum (aturan); (2) ketidakpastian fiskal (ekonomi); dan (3) proses administrasi/birokrasi/perizinan yang tidak sederhana.

Ketidakpastian di dalam menerapkan aturan main dan ketidakpastian dalam aspek fiskal sering diidentikkan dengan kondisi tidak dihormatinya kontrak kerja sama migas yang berlaku (dishonored of contract sanctity). Kondisi ini adalah yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh  para pelaku usaha dan investor, tak terkecuali di hulu migas, di mana pun.

Penerbitan peraturan baru, kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dengan maksud baik, masih belum dapat secara efektif menjawab dan menyelesaikan masalah ketidakpastian terkait ketiga aspek utama tersebut.

Dalam berbagai kasus dan tingkatan tertentu, beberapa upaya tersebut justru menambah kompleksitas permasalahan yang ada. Salah satu contohnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2018 tentang Kegiatan Pasca-Operasi pada Kegiatan Hulu Migas. Pasal 20 dan 21 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 15/2018 menyebutkan bahwa kontrak yang lama harus mengadopsi aturan ini, yang artinya menuntut adanya perubahan atau penyesuaian isi ataupun pelaksanaan kontrak.

Pasal 11 menyebutkan adanya kewajiban bagi kontraktor untuk mengalokasikan dan menyetorkan dana, yang artinya memiliki implikasi terhadap arus kas dan hitungan keekonomian suatu investasi migas.

Sementara Pasal 6 yang menyebutkan bahwa di dalam pelaksanaannya aturan ini tidak hanya akan melibatkan kontraktor dan SKK Migas, tetapi juga Direktorat Jenderal Migas dan pihak/instansi lain terkait, akan memiliki konsekuensi terhadap aspek administrasi dan birokrasi serta perizinannya.

Di tingkatan peraturan presiden, ada Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi yang memiliki implikasi terhadap aspek keekonomian pengembangan lapangan gas.

Sementara itu, di tingkat peraturan pemerintah, dua aturan yang dianggap akan dapat memberikan kepastian dan sekaligus memberikan insentif fiskal untuk hulu migas, yaitu PP No 53/2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan Kontrak bagi Hasil Gross Split dan PP No 27/2017 (revisi atas PP No 79/2010), juga belum efektif mengatasi persoalan ketidakpastian yang ada. Penyebabnya, karena di tataran implementasi administrasi dan birokrasinya masih harus menunggu diterbitkannya peraturan-peraturan pelaksana di bawahnya, baik di tingkat menteri maupun direktur jenderal.

Prinsip dasar

Terus berkutatnya regulasi sektor hulu migas Indonesia dengan ketidakpastian pada tiga aspek utama di atas pada dasarnya adalah karena ada tiga prinsip dasar yang hilang dari UU Migas. Ketiga prinsip dasar yang hilang adalah: (1) tidak diterapkannya prinsip lex specialis dan assume and discharge di dalam masalah perpajakan; (2) tidak dipisahkannya urusan administrasi bisnis dan keuangan kontrak pengusahaan migas (persoalan cost recovery misalnya) dengan urusan administrasi pemerintahan dan sistem keuangan negara; serta (3) tidak diterapkannya prinsip single door bureaucracy yang mengurus hal administrasi/birokrasi/ perizinan kontrak pengusahaan migas.

Sebagaimana diketahui bersama, sistem pengusahaan hulu migas kita menggunakan sistem kontrak bagi hasil produksi (production sharing), baik itu net split maupun gross split. Untuk dapat berjalan secara optimal, sistem kontrak ini memerlukan ketiga prinsip dasar tersebut. UU No 8/1971 tentang Pertamina sebagai landasan pengelolaan migas pada masa lampau memiliki ketiga prinsip dasar tersebut, sementara UU No 22/2001 tentang Migas yang sampai saat ini masih berlaku tidak memilikinya.

Sebagai akibatnya, kerangka peraturan dan tata kelola hulu migas nasional, yang sampai saat ini masih didasarkan pada UU Migas tersebut, cenderung selalu "berkonflik" atau tidak sinkron dengan bentuk kontrak pengusahaan migas yang digunakan sehingga memunculkan ketiga masalah utama di atas.

Persoalan ketidakpastian terkait regulasi hulu migas yang ada tidak akan dapat diselesaikan secara parsial, dengan hanya disiasati melalui penerbitan berbagai aturan pelaksana di bawah undang-undang. Periode sesudah 2001 hingga saat ini telah mengajarkan dengan sangat jelas, pendekatan dan cara parsial semacam itu tidak mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan yang ada.

Diperlukan langkah dan cara yang lebih fundamental, yaitu melalui revisi UU Migas, di antaranya untuk mengembalikan keberadaan dan penerapan ketiga prinsip dasar di atas. Jawaban atas persoalan ketidakpastian regulasi hulu migas ke depan, dengan demikian, terletak pada seberapa jauh penyelesaian revisi UU Migas yang dilakukan dapat mewujudkan hal itu.

UU Migas baru yang solid dan berkualitas akan menciptakan kepastian, yang merupakan salah satu prasyarat utama bagi masuk dan bergulirnya investasi di sektor migas. Sebaliknya, UU Migas baru yang (tetap) compang-camping akan terus memicu dan melahirkan beragam ketidakpastian, yang menghambat investasi dan aktivitas usaha di sektor migas.

Menyelesaikan revisi UU Migas dan menghasilkan UU Migas baru yang solid dan berkualitas berarti secara langsung ataupun tidak langsung menyelesaikan persoalan ketidakpastian regulasi migas yang ada dan secara konkret memulai langkah besar di dalam menarik dan menggerakkan investasi migas di Tanah Air.

Presiden Jokowi telah memulai langkah tersebut. Kini tinggal bagaimana jajaran pemerintahan di bawahnya menindaklanjuti dan merealisasikannya.

Pri Agung Rakhmanto Pendiri ReforMiner Institute, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti

Kompas, 29 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Daya Tahan Negara (Kompas)

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga berdoa bersama saat acara kenduri Sadranan di Dusun Metep, Desa Wonodoyo, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (26/4/2019). Tradisi itu digelar setiap bulan Ruwah (penanggalan Jawa) untuk menghormati arwah leluhur serta meningkatkan silaturahmi antarwarga sebelum memasuki bulan Ramadhan.

Di tengah munculnya kekhawatiran terhadap kekuatan kohesi masyarakat, daya tahan Indonesia meningkat, menurut Indeks Negara Rentan.

Peringkat Indonesia dalam Fragile States Index (Indeks Negara Rentan/INR) tahun 2019 membaik, menjadi 70,4 dari nilai tahun 2018 sebesar 72,3. Semakin besar nilai indeks, berarti negara itu semakin rentan. Indeks yang dikeluarkan lembaga nirlaba Fund for Peace ini mengukur 12 indikator yang dibagi ke dalam empat kelompok indikator.

Kelompok indikator kohesi mengukur, antara lain, keamanan negara: siapa mengontrol aparat keamanan serta hubungan antara keamanan dan kewarganegaraan; pengelompokan berdasarkan suku, etnis, dan agama, juga para elite masyarakat; serta fragmentasi di antara kelompok-kelompok di masyarakat, terutama yang berbasis ciri sosial atau politik, akses terhadap layanan dan sumber daya yang tersedia, serta inklusi ke dalam proses politik.

Kelompok ekonomi mengukur penurunan ekonomi anggota masyarakat, ketimpangan kesejahteraan, dan keluarnya anggota masyarakat dari suatu negara. Kelompok politik mengukur legitimasi negara, layanan publik, serta hak asasi manusia dan penegakan hukum. Sedangkan kelompok sosial mengukur tekanan demografis, pengungsi di dalam dan luar wilayah negara, serta intervensi pihak luar.

Dari 12 indikator, skor Indonesia naik—yang artinya kerentanan meningkat—pada kelompok indikator kohesi, yaitu fragmentasi elite dan ketidakpuasan (grievance) kelompok-kelompok di masyarakat serta pada kelompok indikator sosial, yaitu tekanan demografis.

Indeks ini mengingatkan ada pekerjaan rumah bersama untuk menjaga ketahanan negara. Indeks ini sekaligus mengajak kita semua, terutama para elite negara, bekerja bersama memperbaiki akses masyarakat secara adil terhadap sumber daya ekonomi dan sosial serta meningkatkan partisipasi warga di dalam proses politik.

Kita telah melalui tahap pemungutan suara Pemilu 2019 dan secara de facto merasakan ada pengelompokan cukup nyata di masyarakat akibat pilihan politik.

Apabila kita percaya pada Indeks Negara Rentan, menarik mengikuti pandangan ekonom Raghuram Rajan dalam The Third Pillar (2019). Mantan Gubernur Bank Sentral India dan Direktur Riset Dana Moneter Internasional itu berpendapat, agar masyarakat hidup sejahtera dan merasa bahagia, perlu keseimbangan di antara tiga pilar, yaitu negara, pasar, dan komunitas. Komunitas, yaitu kelompok sosial di dalam suatu lingkungan tertentu di dalam negara yang kadang memiliki warisan budaya dan sejarah yang sama.

Melihat kondisi masyarakat global, termasuk Indonesia, menghadapi serbuan ekonomi pasar bebas yang diamplifikasi secara digital, memperkuat komunitas dengan mendorong menemukan nilai-nilai bersama untuk menangkal pengaruh buruk, mulai dari berita bohong hingga aparat pemerintah yang nakal, dapat meningkatkan ketahanan negara. Apalagi, sebagian besar masyarakat kita masih mengandalkan hubungan yang erat di dalam komunitasnya.


Kompas, 29 April 2019




Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Kemakmuran Bersama (Kompas)

KOMPAS/ANITA YOSSIHARA

Presiden China Xi Jinping berjabatan tangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelum memulai pertemuan bilateral menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) di Gedung Balai Agung Rakyat di Beijing, China, Kamis (25/4/2019).

Dahulu kala, perang adalah sesuatu yang normal. Perdamaian menjadi sebuah "perkecualian" di tengah ancaman perang yang bisa terjadi setiap saat.

Masa suram itu sudah berlalu lama. Sekarang, menurut para ahli, perdamaian justru telah menjadi sesuatu yang normal. Perang jarang terjadi. Bahkan, perang berskala besar yang melibatkan banyak negara sudah tak pernah terjadi lagi selama lebih kurang 70 tahun terakhir. Tentu saja konflik-konflik bersenjata di sejumlah wilayah di dunia masih ditemui, tetapi semuanya berskala kecil dan bersifat lokal.

Dalam buku Enlightenment Now, pemikir humanis Steven Pinker mengatakan, perdamaian lebih menguntungkan ketimbang perang. Gagasan bahwa perdamaian jauh lebih membawa manfaat daripada perang terutama dikembangkan pemikir liberalisme pada abad silam.

Pembagian kerja di antara negara-negara dalam proses produksi berjalan baik jika tak ada perang. Pasokan barang dan jasa akan lancar, sehingga bisa membawa kesejahteraan, hanya jika perdamaian terjamin atau tak ada perang besar yang berkecamuk. Dengan kata lain, perang wajib dihindari karena mengancam kesejahteraan.

Seharusnya spirit semacam ini pula yang sesungguhnya melatarbelakangi berbagai bentuk kerja sama di dunia sekarang, termasuk Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) yang dipromosikan China. Diumumkan Presiden Xi Jinping tahun 2013, pendanaan megaproyek infrastruktur oleh Beijing itu bertujuan menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika. Pembangunan infrastruktur yang dibiayainya meliputi jalan raya, pelabuhan, dan rel kereta.

Ambisi China membiayai megaproyek infrastruktur di sejumlah negara mendapat kritik. Disebutkan, karena antara lain tidak transparan, skema pembiayaan itu menempatkan negara penerima dalam jebakan utang.

Dilaporkan oleh The New York Times, Sri Lanka terpaksa menyewakan sebuah pelabuhan kepada China selama 99 tahun karena tak mampu membayar utang yang dikucurkan dalam skema Prakarsa Sabuk dan Jalan. Isu transparansi dan keberlanjutan kemudian menjadi perhatian banyak kalangan terkait BRI.

Dalam pertemuan puncak kedua BRI, di China, pekan lalu, Presiden Xi berusaha meyakinkan dunia bahwa skema pembiayaan ini berlangsung dalam prinsip keberlanjutan.

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang datang ke pertemuan itu mengingatkan, pemerataan di antara negara-negara perlu diperhatikan dalam BRI sehingga mampu mengatasi ketimpangan. Konektivitas dalam BRI, bagi Indonesia, harus dipahami sebagai upaya untuk mengurangi jarak antarnegara demi terwujudnya kemakmuran bersama.

Bagaimanapun kerja sama dengan pihak asing dalam mencapai apa yang disebut sebagai kemakmuran bersama tak seperti membalikkan telapak tangan. Kehati-hatian dan prinsip mengutamakan kepentingan nasional harus selalu dikedepankan sehingga nantinya yang terwujud bukan malah bertambahnya ketimpangan di antara negara-negara.

Kompas, 29 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

PARODI: Kalah dan Menang (SAMUEL MULIA)

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seseorang yang pernah membuat saya jatuh cinta seperti orang tak waras. Waktu pertama saya berkenalan dengannya beberapa tahun lalu, kemudian menjalani hubungan asmara, saya pikir dia pas banget dengan apa yang saya inginkan.

Tetapi, hasil akhirnya bukan seperti dalam film dengan akhir yang bahagia. Saya kesal sekali.

Kalah

Hari ini saya mau bercerita bagaimana kekesalan itu bisa berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Sehingga waktu saya bertemu dengannya beberapa minggu lalu, saya seperti bertemu dengan teman biasa saja.

Tak ada kekesalan yang bercokol di hati. Saya melewati pertemuan itu dengan rasa sukacita, mengobrol ke sana dan kemari, dan mengakhirinya dengan tidak menjadi lebay dan tidak ada mulut yang bersuara: "Ah… seandainya aku bisa sama dia."

Di masa saya kesal karena hubungan asmara itu tak bisa berlanjut, karena alasan yang tak perlu saya beberkan, saya sudah seperti orang gila rasanya. Saya baru pertama kali mengetahui bahwa kalau orang tersakiti, dan dasar hidupnya kebetulan juga tidak sejahtera, yang pertama kali diserang kebutaan adalah matanya. Baru kemudian kehilangan akal.

Kira-kira selama dua tahun lamanya saya menjadi buta dan kehilangan akal. Hidup dalam kebencian yang sangat. Saya marah dan kesal karena merasa kalah. Saya merasa ada orang yang mampu mengalahkan saya.

Saya merasa kalah karena tak dapat mencapai keinginan untuk menjadi pacarnya. Karena di kepala, saya telah merancangkan masa depan yang sangat baik kalau seandainya kami dapat menjadi pasangan. Di masa itu, saya benar-benar KO karena kekalahan itu.

Saya pikir hidup dalam kebencian dan dalam kekecewaan itu tak akan menghabiskan tenaga dan pikiran. Ternyata saya keliru. Sangat keliru. Saya lelah sekali menanggung kebencian itu. Berpikir negatif ternyata membuat saya terengah-engah seperti ikut lari maraton. Ketika kekesalan itu menguasai saya, saya benar-benar tak dapat berpikir jernih.

Ketidakjernihan membuat saya berpikir bagaimana caranya saya dapat menyakiti dan membuat hidupnya sengsara. Energi saya benar-benar dikuras habis oleh kebencian. Saat orang sudah tak dapat berpikir jernih, ia tak dapat lagi melihat hal yang baik. Semua pokoknya salah. Semua yang hanya dapat dilihat adalah keburukan.

Maka, sekarang saya dapat memberi nasihat kepada Anda sekalian, jangan pernah membenci. Menjadi kesal tentu sah-sah saja, tetapi jangan membenci. Karena sekali Anda membiarkan diri Anda dirasuki kebencian, seperti saya dulu, Anda akan buta dan kehilangan akal.

Dan percayalah, Anda tak akan senang menjadi buta dan kehilangan akal. Capeknya setengah mati.

Kalah tetapi menang

Nah, setelah dua tahun berlalu, di suatu siang saya sedang leyeh-leyeh di sofa. Seingat saya hari itu libur. Hari masih pagi, sekitar pukul 09.00, saat saya berbaring di sofa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saya seperti mendapat tenaga baru, pemikiran baru, dan saya bangkit dari sofa.

Di saat saya berdiri itu, mulut saya berkata, saya mau hidup sejahtera, saya tak mau menjalani kehidupan seperti ini. Saya tak mengatakan bahwa saya tak mau lagi membenci, tetapi saya hanya mau menghentikan batin yang kelelahan. Saya mau bahagia, saya mau sejahtera.

Anda tak bisa membayangkan, pagi itu saya seperti orang disengat listrik. Sejujurnya saya tak tahu dari mana datangnya kemampuan untuk menyerah, untuk mengakui bahwa saya ini kalah dan dia tak bisa jadi pacar saya.

Pada saat saya berucap bahwa saya tak mau kelelahan lagi, saat itu saya memang kalah, tak dapat meraih cita-cita saya menjadikan dia pacar saya, tak dapat meraih cita-cita untuk menjadi pasangan yang oke ocre. Tetapi, di saat itu juga, saya merasa menang.

Saya menang karena saya akhirnya berani mengakui kekalahan. Saya menang karena melalui kelelahan itu, saya menghentikan diri saya dilalap oleh rasa benci. Saya menang atas kebencian dan memilih untuk tidak buta mata dan kehilangan akal.

Saya menang karena saya dimampukan mengubah kebencian menjadi keadaan sejahtera. Bisa saya katakan, itu benar-benar sebuah kemenangan yang dahsyat. Mungkin inilah yang dimaksud dengan ungkapan kalah tetapi menang.

Peristiwa itu mengajarkan saya, menang itu bukanlah semata-mata kemampuan mengalahkan sesuatu atau seseorang. Menang itu juga adalah kemampuan menerima kekalahan dengan hati yang sejahtera. Menang itu kemampuan seseorang melepaskan diri dari dilalap api kebencian.

Ketika saya merasakan kemenangan itu, rasanya seperti ada beban besar sekali yang terlepas dari badan saya. Mungkin seperti seorang dokter mengangkat tumor dari tubuh. Yang namanya lega itu tak bisa dibayangkan dan dituliskan. Senangnya luar biasa.

Mungkin itu seperti keluar dari lorong yang sungguh gelap kepada terang yang benderang. Saya seperti diberi kacamata dengan lensa yang tepat sehingga saya dapat membaca dengan jelas.

Rasa senangnya benar-benar tak terkirakan. Maka, saya sarankan Anda untuk mencobanya. Apalagi kalau saat Anda membaca tulisan ini, mata Anda kabur karena kebencian yang sangat dan karena Anda merasa kalah.

Siang itu, ketika saya bertemu dengannya, saya bertemu dengan membawa kemenangan. Kemenangan yang lahir dari sebuah keberanian mengakui kekalahan.

Kompas, 28 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger