Semula serikat buruh (SB) dibentuk hanya mewakili pekerja ahli (skilled workers) karena menganggap pekerja tidak ahli tidak cocok bergabung dalam wadah organisasi formal SB. Mungkin karena ada perbedaan karakteristik upah, pendidikan, isu, dan aspirasi. Hal senada terjadi di Amerika Serikat saat SB pekerja ahli American Federation of Labor (AFL) menolak upaya pekerja tidak ahli bergabung. Pekerja tidak ahli tersebut akhirnya membentuk wadah sendiri bernama CIO (Congress of Industrial Organization), yang sukses mengembangkan jumlah keanggotaan karena merekrut pekerja industri baja dan otomotif.

Akhirnya bergabung

Akhirnya, pada 1955, AFL dan CIO memutuskan bergabung dalam satu wadah tunggal dengan nama baru AFL-CIO, dengan jumlah anggota 15 juta orang. Peristiwa yang sama diikuti SB Inggris dan negara Eropa lainnya. Mereka memutuskan bersatu dengan satu alasan, memperkuat posisi runding  menghadapi pemilik modal dan penguasa prokapitalis.

Keputusan untuk memadukan semua buruh dalam satu wadah perjuangan, pada sejarah selanjutnya mampu membuat perjuangan SB lebih kuat dan disegani. Tidaklah mengherankan banyak produk konvensi internasional ILO dan UU proburuh lahir pada periode 1950 sampai 1970-an.

Dari sinilah awal konfederasi serikat buruh internasional (ITUC) mensyaratkan prinsip representativeness sebagai salah satu syarat untuk berafiliasi dengan ITUC. Syarat lainnya adalah independent dan democratic governance.

Prinsip representasi menjadi penting untuk SB supaya memiliki hak mengatasnamakan aspirasi buruh. Sebagaimana terjadi dalam logika demokrasi, semakin tinggi representasi sebuah lembaga, maka semakin tinggi kesahihan klaim. Dari tiga prinsip ITUC tadi, SB Indonesia menghadapi masalah dalam hal representasi dan independensi. Mayoritas SB yang terdaftar di Depnaker tidak memiliki kecukupan representasi, hanya memiliki anggota kecil dan berpusat di dua-tiga kota. Namun, tidak adanya aturan threshold, seperti UU Partai Politik, membuat SB tetap eksis dengan label nasional, sekalipun kecil.

Independensi SB juga jadi masalah besar karena dalam dua pemilu terakhir, SB terbuka mendukung partai-partai tertentu dan terlibat dalam kampanye resmi. Mereka membela diri dengan mengatakan bahwa fenomena tersebut juga dilakukan SB Eropa, Amerika, dan banyak negara lainnya. Padahal, ada perbedaan karakteristik sangat jelas antara kita dan mereka, yaitu keberpihakan politik SB Inggris ke Partai Buruh Inggris, begitu juga dengan DGB Jerman ke Partai SPD, atau kedekatan AFL-CIO ke Partai Demokrat Amerika Serikat. Semua berlangsung tanpa imbal jasa politik, misalnya diiming-iming jadi menteri kabinet, pejabat komisaris BUMN, atau jabatan politik lain. Keberpihakan politik sepenuhnya karena alasan kecenderungan kesamaan garis ideologis dan kesamaan aspirasi. Itu sebabnya dalam kampanye justru serikat buruh yang mendanai.

Redefinisi gerakan

Dalam sejarah pergerakan buruh, pasang surut kekuatan SB selalu terkait dengan kondisi ekonomi suatu negara. Apabila ekonomi negara didominasi sektor pertanian, biasanya kekuatan SB lemah. Pada masa pertumbuhan besar industri manufaktur, jumlah anggota SB bertumbuh cukup besar.

Namun, saat ekonomi didominasi industri sektor jasa, kekuatan SB pasti melemah. Inilah faktor utama yang membuat mengapa kekuatan SB di negara industri maju menurun drastis ketimbang era 1970-an, saat industri padat karya mereka relokasi ke negara berkembang, digantikan industri sektor jasa.

Menurunnya anggota SB selanjutnya menurunkan kekuatan berunding SB. Selain karena menurunnya jumlah massa pendukung sebagai kekuatan pressure group, SB juga kehilangan dukungan finansial dari iuran anggota yang mengecil. Masalahnya, era keberhasilan SB yang pernah dinikmati negara industri maju tidak terjadi di negara berkembang lainnya. Mengapa?

Sebab, tingkat pertumbuhan industrialisasi di negara berkembang tidak sempat memasuki era tenaga kerja penuh (full-employment). Pertumbuhan industrialisasi berlangsung bersandingan dengan tingginya pengangguran dan pekerja informal. Hal ini diperburuk lagi dengan munculnya disrupsi pekerjaan dengan kehadiran Revolusi Industri 4.0 yang meruntuhkan konsep lama atas definisi majikan dengan pekerja.

Pekerjaan di masa depan akan diwarnai jenis pekerja mandiri, sistem kerja bagi hasil, pekerja daring, dan pekerja start up yang tidak memerlukan majikan ataupun bantuan jasa perundingan dari SB.

Dengan demikian, tantangan pengorganisasian buruh di masa depan tidak hanya sebatas bagaimana menyatukan kekuatan pekerja ahli dan pekerja tidak ahli (seperti  isu masa lalu), tetapi bagaimana membuat pekerja informal, pekerja sektor jasa, pekerja mandiri, tertarik bergabung dengan SB.

Syarat pertama adalah dengan mereformasi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Khususnya yang berkaitan dengan redefinisi UU bagi pekerja yang juga merangkap sebagai majikan/pemilik usaha (pemilik Grab, pekerja bagi hasil, pekerja daring, bisnis start up). Profesi baru ini belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya tentang perlindungan upah, jaminan sosial, pajak, cara berserikat, mekanisme penyelesaian konflik kerja, dan sebagainya.

Reformasi kedua berkaitan dengan perumusan isu pengorganisasian yang dikampanyekan SB yang menarik bagi pekerja nontradisional tadi. Ini mengingat isu upah, jaminan sosial, perjanjian kerja, bukan lagi isu penting untuk menarik mereka bergabung dengan SB. Jenis pekerja ini lebih menyukai isu kepastian regulasi berbisnis dan kepuasan bekerja.

Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, jumlah pekerja manufaktur sebagai basis utama keanggotaan SB terus menurun. Saat ini jumlah pekerja manufaktur untuk usaha skala besar (> 19 orang) berjumlah 6,6 juta orang. Sementara pekerja sektor jasa (> 19 orang) bertumbuh terus menjadi 7,5 juta orang.

Kecenderungan itu akan terus membesar dengan makin besarnya penetrasi sektor jasa dalam perekonomian Indonesia. Dengan konsep konvensional, aktivis serikat buruh sedang menyaksikan makin kurang relevannya perjuangan SB di masa depan.

Apabila SB hanya merepresentasi porsi kecil buruh, sementara mayoritasnya tak terwakili, apakah perjuangan SB masih bisa dikatakan demokratis, representatif, dan independen?

Selamat Hari Buruh.