Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 29 September 2016

Negara dan Sumber Daya Alam (HARIADI KARTODIHARDJO)

Sangatlah tepat di dalam Nawacita disebut ada persoalan negara tidak hadir. Ketidakhadiran negara itu dapat disebabkan berbagai hal. 

Salah satunya berupa privatisasi peran intervensi negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam hal ini, peran negara diambil untuk kepentingan perorangan atau kelompok penyelenggara negara itu sendiri atas nama daerah dan sektor-sektor.

Harapan negara hadir semestinya bukanlah hadir secara fisik belaka, melainkan hadir dengan kelahiran baru yang dapat memegang nilai dan norma sebagai negara. Kebijakan penataan ruang dan lingkungan hidup dapat dianggap relatif terbebas dari kepentingan sektor-sektor tersebut secara langsung. Semua sektor memerlukannya.

Secara ideal dua undang-undang yang mengaturnya, yaitu UU Penataan Ruang dan UU Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), telah memandatkan kepentingan sektor-sektor dalam memanfaatkan ruang berdasarkan kriteria agar dipenuhinya kepentingan publik, yaitu tidak dilampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK (2016), semua provinsi telah memiliki peraturan daerah mengenai penataan ruang, kecuali Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kecilnya hubungan antara keberadaan peraturan daerah dan banyaknya konflik penggunaan hutan serta lahan.

Dalam 15 tahun terakhir, terutama di luar Pulau Jawa, perkembangan industri ekstraktif, seperti tambang ataupun perkebunan kelapa sawit, dan akibat perkembangannya mengikuti mekanisme pasar (intervensi negara tidak hadir) telah mengurangi fungsi kawasan hutan negara ataupun hilangnya lahan-lahan pertanian tanaman pangan produktif secara signifikan. Misalnya, secara nasional kawasan konservasi yang menjadi tambang seluas 1,3 juta hektar. Demikian pula hutan lindung menjadi tambang seluas 4,9 juta hektar. Itu berarti ancaman bagi pertanian tanaman pangan bukan hanya lahan tanaman pangan berkurang, melainkan pasokan sumber daya air juga akan semakin menyusut.

Di Pulau Jawa juga serupa. Sawah dan lahan-lahan pertanian produktif dikonversi dari waktu ke waktu, baik akibat perkembangan perkotaan dan perumahan, industri ekstraktif seperti semen, maupun hilangnya fungsi lahan pertanian itu akibat tidak adanya pasokan air yang diperlukan.

Tidak berjalannya pengendalian ruang tersebut juga disebabkan oleh tidak berjalannya pembangunan ekonomi berbasis ekoregion yang dipandu melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan harus diadopsi oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang ataupun Menengah oleh pusat ataupun daerah, kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) bagi pelaksanaan kebijakan, rencana ataupun program sebagaimana dituangkan dalam UU PPLH.

Dari proses Nota Kesepakatan Bersama/Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (NKB/GNSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui bahwa implementasi UU PPLH itu secara politik dalam lima tahun terakhir dihambat oleh semua sektor pembangunan yang berbasis ekonomi.

Mengapa negara tidak hadir?

Fungsi negara yang dijalankan pemerintah/pemerintah daerah di lapangan dapat dikalahkan oleh privatisasi peran intervensi negara akibat setidaknya dua hal. Pertama, kapasitas penyelenggaraan pemerintahan yang terbatas (materiil, moril) telah terbeli oleh nilai triliunan rupiah dari rente ekonomi ataupun kewajiban usaha-usaha pembayar pajak yang sengaja tidak dipenuhi.

Misalnya, dalam laporan pelaksanaan NKB KPK 2013 terdapat perusahaan tambang yang tidak clear and clean dan tidak membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) senilai puluhan triliun rupiah. Juga perusahaan kebun di Riau, misalnya, yang dilaporkan Dinas Perkebunan Provinsi Riau (2016), di mana dari 474 perusahaan, 127 perusahaan di antaranya tidak berizin. Kantor Pajak Provinsi Riau juga melaporkan, dari jumlah perusahaan yang berizin itu, yang membayar pajak hanya sepertiganya. Hal itu dikonfirmasi oleh Komisi A DPRD Provinsi Riau, awal Agustus 2016, yang melaporkan bahwa dari target pajak daerah dari perkebunan Rp 24 triliun hanya diterima Rp 9 triliun.

Pemberi izin dan perusahaan turut andil dan membiarkan situasi tersebut dengan cara tidak bersedia memberikan data perusahaan kepada petugas pajak. Dengan situasi seperti itu, artinya terdapat potensi Rp 15 triliun per tahun di Riau untuk membeli pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh negara.

Kedua, akibat adanya state capture, yaitu upaya sekelompok orang, di dalam dan di luar pemerintahan, yang memengaruhi isi peraturan dan/atau pengambilan keputusan sehingga menguntungkan mereka dan pada waktu yang sama merugikan kepentingan publik. Akibatnya, mereka dapat menjalankan misi buruknya melalui regulasi atau keputusan yang sah.

State capture dalam pengelolaan sumber daya alam dapat mengakibatkan alokasi pemanfaatan sumber daya cenderung untuk kelompok usaha tertentu, pajak yang dibayar lebih rendah dari yang seharusnya, izin usaha dapat diperluas dan/diperpanjang walaupun tak sesuai ketentuan ataupun syarat kinerja usaha—terutama terhadap dampak sosial dan lingkungan—dapat diperlonggar. Namun, dalam waktu sama terjadi keputusan-keputusan transaksional dengan biaya tinggi yang harus dibayar perusahaan.

Sejauh perusahaan mempunyai rente ekonomi tinggi, bukan hanya karena usahanya secara finansial menguntungkan, melainkan juga akibat membayar pajak yang rendah atau tidak membayar pajak sama sekali, maka biaya-biaya transaksional tersebut tidak menjadi kendala. Namun, apabila iklim usahanya buruk, seperti yang dialami usaha hutan alam produksi saat ini, usaha-usaha itu cenderung bangkrut. Meskipun begitu, bangkrut dan rusaknya hutan alam itu tidak serta- merta merugikan pengusahanya karena seluruh kekayaan alam yang dimanfaatkan milik negara.

Kedua hal itu di atas mengakibatkan tindakan-tindakan di lapangan harus dianggap legal, karena sesuai peraturan perundang-undangan, tetapi jiwa dan substansinya penuh sengketa sehingga walaupun legal tetapi tidak memiliki legitimasi secara sosial. Demikian pula posisi pemerintah/pemda serta aparat keamanan bukan menjadi instrumen negara yang dapat melakukan intervensi pasar pemanfaatan sumber daya alam, melainkan menjadi bagian dari mekanisme pasar itu sendiri. Maka, siapa yang kuat, dialah yang menang.

Ibarat di sebuah pasar, siapa yang punya uang, dialah yang bisa membeli barang, tidak peduli orang lain dapat memperoleh barang itu atau tidak. Itulah yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kehadiran negara justru bersaing dengan kebutuhan masyarakat banyak karena negara berfungsi sebagai private.

Kondisi demikian itu menyebabkan hal- hal yang menjadi kepentingan publik, seperti lingkungan hidup, ataupun hal-hal yang menjadi kepentingan golongan masyarakat yang lemah secara politik, seperti petani, diabaikan. Maka, mudah dimengerti mengapa UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tak bisa berjalan. Permintaan lahan untuk pangan itu, ketika peran negara digantikan oleh free riders, tidak ada yang akan memenuhinya. Karena permintaan itu tidak disertai dengan kesanggupan bersaing dengan membayar biaya transaksi, sebagaimana permintaan lahan yang sama untuk non-pertanian telah disediakan senilai triliunan rupiah.

Peran penting tata kelola

Persoalan-persoalan di atas hanya dapat diselesaikan apabila negara dapat fokus untuk menyelesaikan soal hak/status dan fungsi hutan/lahan. Kepastian property rights dan keadilan alokasinya, baik secara ekonomi maupun institusi, akan menghidupkan insentif pemanfaatan sumber daya bagi yang rakyat kecil ataupun pengusaha besar. Juga meminimumkan perilaku free riders dan situasi transaksional, karena adanya kejelasan lokasi, penguasaan, ataupun fungsi sumber daya alam akan memperkecil peluang terjadinya manipulasi.

Bagaimana melakukannya? Nawacita yang populer sejak dua tahun lalu masih tumpul ketika memasuki ruang politik pengelolaan sumber daya alam di lapangan, di mana jiwa Nawacita harus diwujudkan bentuknya. Berbagai bentuk perubahan untuk perbaikan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional juga belum mampu menggeser privatisasi peran negara di lapangan itu.

Untuk itu, yang mungkin dapat dilakukan adalah membuka jaringan privatisasi peran negara itu melalui keterbukaan informasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Di samping itu, penegasan presiden sekali lagi dalam pemberantasan korupsi sangat diperlukan. Demikian pula janji pimpinan KPK pada awal pelaksanaan jabatannya untuk memperkuat pencegahan korupsi harus diwujudkan. Untuk itu, KPK perlu tetap fokus dan desain pemberantasan korupsi di sektor-sektor sumber daya alam untuk memecah jaringan privatisasi peran negara.

Di samping itu juga perlu melakukan penguatan fungsi koordinasi dan supervisi guna mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam. Itu artinya, kedua program KPK, pencegahan dan penindakan, perlu diintegrasikan agar dapat saling menunjang.

Pengalaman saya melakukan fasilitasi dalam pelaksanaan perbaikan tata kelola seperti itu, di kementerian/lembaga ataupun di tingkat provinsi dalam dua tahun terakhir, sangat tidak efektif apabila tidak diikuti koordinasi dan supervisi KPK. Hal tersebut dapat dipahami karena kehadiran negara, kalaupun memang sudah hadir, baru sebatas fisiknya. Sementara nilai dan normanya sebagai negara yang sesungguhnya masih tertinggal.

HARIADI KARTODIHARDJO, GURU BESAR KEBIJAKAN KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR; NARASUMBER GNSDA-KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Negara dan Sumber Daya Alam".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tohokan yang Menjerat (RADHAR PANCA DAHANA)

Saat ini di lima gelanggang remaja di wilayah DKI Jakarta tengah berlangsung babak penyisihan Festival Teater Jakarta untuk yang ke-44 (tahun). Hampir setengah abad. Sebuah prestasi fenomenal.
DIDIE SW

Setidaknya ia telah berperan penting dalam memelihara semangat berteater anak muda, yang jatuh bangun dan didera "kemiskinan" sepanjang usianya, serta membina calon penonton teater, dari kalangan remaja (sekolah menengah) hingga mahasiswa. Walau usia panjang dan matang itu tidak setara dengan mutu pertunjukan dan teaterawannya yang saya kira bergeming teguh, tak ada kemajuan berarti, bahkan dibandingkan pendahulunya di era 1970 dan 1980-an, jika tidak bisa dibilang stagnan, bahkan mundur. Tentu saja, semua ada penyebabnya, yang ternyata lebih banyak bersifat eksternal ketimbang internal dunia teater itu sendiri.

Seperti yang terjadi saat ini, festival yang diselenggarakan teaterawan muda itu, dengan bantuan dana dari (Suku) Dinas Pariwisata DKI, ternyata harus membayar sewa gedung (pemerintah) yang mereka gunakan dengan tarif per lima jam. Agak ajaib, untuk kegiatan pembinaan seni anak muda, uang pemerintah (negara/rakyat) digunakan untuk membayar fasilitas pemerintah (negara/rakyat). Bukan sekadar jeruk makan jeruk, kenyataan ini menunjukkan cara berpikir yang lumayan kacau.

Belum lagi ditambah fakta, para juri mendapat pembayaran (honor) e-budgeting, menurut istilah mereka, tetapi dalam pengertian sesungguhnya dibayar via transfer bank sebulan-dua, bahkan empat bulan kemudian. Dalam kasus lain, saya dan teman-teman seniman Jakarta pernah melakukan protes keras beberapa hari di panggung terbuka di depan gerbang Taman Ismail Marzuki (TIM) ketika gubernur mengeluarkan kebijakan mengganti semua aparatus kerja pusat kesenian historis itu dengan birokrat mentah pengalaman. Kebijakan itu berlanjut dengan menerapkan tarif semua fasilitas (negara) yang ada di dalamnya, bahkan untuk tiap lembar pamflet, poster, dan baliho yang dipasang di kawasan budaya itu.

Maka, sekali lagi kita diperlihatkan bukti bagaimana pemerintah negeri ini (di semua levelnya) begitu naif dalam soal makna hingga peran dan fungsi kesenian, serta kebudayaan dalam arti umumnya. Terlebih mengenai keragaman sifat, bentuk, hingga manfaat produknya, dinamika, dan proses yang terjadi di dalamnya, apalagi relasi sosial yang terjadi di antara para pelakunya.

Itulah yang menyebabkan antara lain kekacauan atau kerancuan legitimatif saat pemerintah, di tingkat kementerian hingga pusat negara, memberikan penghargaan kepada pelaku atau produsen seni dan budaya. Seperti penghargaan yang diberikan kepada 50 lebih insan dan institusi budaya, beberapa hari lalu (Jumat, 23/9), yang memunculkan kontroversi di arus bawah tentang kualitas, kapasitas, dan peran tokoh budaya yang terpilih, mekanisme, kriterium atau dasar-dasar pemilihan, serta bagaimana reputasi dan integritas dari para anggota dewan pemilihnya.

Seorang dramawan senior pernah mengeluh kepada saya karena penghargaan negara kepadanya sekadar berupa piagam dan uang Rp 10 juta (yang mungkin tak hingga sebulan menguap dalam kebutuhan konsumtif metropolitan). Saya sendiri pernah menerima penghargaan serupa, berupa sebuah pin sejenis pin anggota Korpri dan selembar piagam hasil cetakan sederhana dibalut pigura berwarna perak, berharga di bawah Rp 100.000 perak.

Seniman, kesenian, dan kebudayaan ternyata masih sekadar mainan murahan, sebagian lagi menjadi mimpi buruk bagi pemerintah, di pusat ataupun daerah.

Kebijakan menyedihkan

Saya menyaksikan sendiri bagaimana kondisi taman budaya di sejumlah kota provinsi yang menyedihkan, dari fasilitas fisik hingga program-program yang mengisinya. Di Medan, selain disengketakan pemerintah kotanya (diisukan akan dijual kepada pihak swasta untuk dijadikan kompleks komersial), gedung pertunjukan utamanya selalu digenangi air hingga sebatas paha manusia dewasa saat hujan lebat. Tempat itu kini lebih sering disebut "taman buaya" kata pekerja seni-budaya setempat.

Yang jelas, di salah satu ibu kota besar (kelima di Indonesia), dana negara yang diberikan kepada dewan kesenian setempat hanya di kisaran Rp 75 juta per tahun, yang bahkan tidak cukup untuk membiayai satu pertunjukan modern. Di ibu kota kedua terbesar negeri ini pun, hanya memiliki satu gedung pertunjukan yang penggunaannya harus berebut dengan acara-acara non- artistik dan non-kultural.

DKI Jakarta, sebagai Ibu Kota, pusat pemerintahan, bisnis, dan acuan artistik dan budaya bagi wilayah-wilayah lain negeri ini, bahkan di seantero region Asia Tenggara, menampilkan wajah sama menyedihkan, apabila tak bisa disebut mengerikan. Mengerikan karena kondisi buruk di atas diciptakan dengan sengaja oleh para penguasanya, yang banyak dielu, dibanggakan, juga dibela oleh rakyat kebanyakan. Baik gubernur maupun wakil gubernur petahana, hingga deputinya yang mengurus kebudayaan pun kini dicalonkan empat partai sebagai bakal pemimpin daerah sangat istimewa ini.

Istimewa karena dengan APBD-nya yang lebih dari Rp 60 triliun setahun, fasilitas seni budayanya, seperti di auditorium di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan, bocor tak henti di dalam ruang pertunjukan, tanpa pernah ada perbaikan berarti. Istimewa karena Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM), yang begitu istimewa sejarah dan perannya, dianggap sang gubernur tidak memiliki cukup kemampuan untuk dikelola para senimannya. Sebagai warga baru Jakarta mungkin dia tidak mengerti bagaimana sejarah setengah abad PKJ-TIM telah melahirkan tokoh, budayawan, seniman penuh reputasi (bahkan di tingkat internasional), lewat kepengurusan seniman-seniman yang katanya embisil dalam manajemen itu.

Kebijakan baru gubernur beserta aturan yang diturunkannya saat ini bukan hanya menciptakan hambatan dan kesulitan yang kian sulit diatasi para seniman, justru kini menjadi ajang arisan kelompok-kelompok amatir dan non-artistik yang punya kemampuan finansial untuk menyewa fasilitasnya. Tak ada lagi dukungan, apalagi bantuan, seperti yang dahulu saya, misalnya, selalu menerima dana bantuan (baik dari manajemen PKJ-TIM lama, Dewan Kesenian, maupun Yayasan Kesenian Jakarta) dalam jumlah cukup signifikan untuk memproduksi sebuah pertunjukan. Sekarang bayar, bayar, dan bayar demi PAD. Orang kaya bernama Jakarta itu ternyata masih mengeruk uang dari kemiskinan seni(man).

Tohok dan jerat itu

"Jakarta sudah kaya, tidak butuh uang seniman!" kalimat keras itu diucapkan Wakil Gubernur DKI Saiful Djarot, di panggung aksi demo kami tahun lalu, di depan banyak seniman, wartawan, tokoh-tokoh publik yang diundang, dan masyarakat umum. Bahkan, di hadapan publik yang sama, sang petahana menyetujui belasan tuntutan tertulis kami kepada Pemprov DKI.

Sang cawagub usungan PDI-P saat ini itu pun menorehkan tanda tangan persetujuannya di atas kertas tuntutan seniman tersebut, beralas punggung yang penulis sendiri sodorkan. Lalu, di sisi mikrofon panggung, kami berpelukan dan melirihkan di telinga masing-masing, "Kita adalah saudara". Lirih di bibir, tetapi lantang di pengeras suara.

Namun, apa yang terjadi kemudian, hingga detik ini? Semua seniman, bahkan banyak pihak mafhum, kondisi kebudayaan bukannya justru meningkat dan hangat, malah kian suram dan mengimpit seperti tergambar dalam paparan di atas. Masyarakat seni budaya Jakarta telah terjerat janji Wagub Djarot, dan sebagai pihak—yang memang selalu lemah—mereka tak berdaya, bahkan sekadar untuk menuntut kembali.

Berkali-kali masyarakat seni- budaya Jakarta, termasuk melalui Deputi Gubernur Sylvina Murni, mengajukan usulan untuk melakukan dialog langsung dengan pemimpin tertinggi DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, untuk memberi masukan, bekerja sama membangun Jakarta sebagai kota budaya, kota acuan artistik Indonesia dan ASEAN. Namun, hingga hari ini tidak kesampaian. Sang deputi yang paling kerap diminta mewakili, tentu saja, memberi banyak janji. Namun, janji itu gagal menjadi mimpi.

Saya tidak tahu apakah sang gubernur pernah menjumpai seniman dalam kesempatan-kesempatan lain, entah karena hubungan pribadi, interes pribadi, atau untuk kebutuhan kampanye. Namun, yang jelas, saya lihat dan rasakan sebagai pekerja seni-budaya asli Jakarta selama lebih dari 40 tahun, kesenian dan kebudayaan di Ibu Kota bukan hanya dipojokkan, dimanipulasi, demi kepentingan politik sempit, terhina, bahkan ditohok keras oleh ketakpedulian dan ketidakpahaman gubernurnya sendiri.

Dalam Pilkada DKI mendatang, mungkin duo Ahok-Djarot akan memenangi pemilihan dengan mudah, begitu perkiraan banyak orang, termasuk saya. Petahana itu boleh jadi keras pendirian dan kasar retorikanya, tapi lebih mulia dari itu semua, ia memiliki satu kualitas utama: jujur. Satu nilai universal yang mendasari moralitas, yang begitu langka di kalangan elite kita belakangan ini. Nilai yang jauh lebih penting ketimbang wajah ramah, halus, santun tetapi menyembunyikan kemunafikan, kebohongan dan ambisi yang jauh lebih keras, kasar, bahkan manipulatif dan koruptif.

Namun, apakah lalu Jakarta harus menerima nasib sebagai kota budaya yang remuk dan terpuruk, setengah abad setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan, dan puluhan tahun lagi saat—sesuai prediksi hingga ramalan—gubernur petahana menjadi penguasa utama negeri, entah sebagai presiden atau wakilnya? Saya harus tegas menyatakan: tidak boleh dan tidak bisa! Mari kita sama membuktikannya.

RADHAR PANCA DAHANA, BUDAYAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Tohokan yang Menjerat".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Berita Jangan Bertaksa//Untuk Petani//Upah SPG (Surat Pembaca Kompas)


Berita Jangan Bertaksa

Saya setuju dengan saran Prof Dr Edi Subroto, yang dimuat dalam Surat Pembaca Kompas (15 September 2016 ). Ia mengingatkan agar pemberitaan hendaknya menggunakan susunan yang tidak taksa, tidak ambigu, atau tidak bertafsir ganda. Dengan demikian, pembaca dapat menangkap pesan yang disampaikan kepadanya.

Namun, bahasa tidak hanya berfungsi informatif (memberi keterangan). Ada juga fungsi kreatif (memberi hiburan) yang banyak dimanfaatkan dalam lelucon, dan kenyataannya sering menjadi katarsis rakyat dalam menyikapi kehidupannya.

Misalnya dalam lawakan Srimulat (lihat Kosa Kata dan Ungkapan Humor Srimulat, karya Sari Endahwarni, 1994) terdapat contoh berikut.

A: Didengar tetangga itu tidak pantes. Kamu kalau dikasih hati….

B: Apa?

A: Kalau dikasih hati, kamu begitu.

B; Wong tiap hari tempe. Kok hati. Tempe, ikan asin!

Pendengar atau penonton tahu bahwa dikasih hati itu adalah taksa. Dan itulah hiburan untuk kita semua.

DJOKO KENTJONO, CIREUNDEU RT 002 RW 007 CIPUTAT TIMUR, TANGERANG SELATAN

Untuk Petani

Terkait artikel Saudara Dwi Andreas Santosa di Kompas, 26 September 2016, berjudul "Petani Riwayatmu Kini", kami sampaikan tanggapan berikut.

Disebutkan penduduk petani pedesaan semakin miskin dan terus meningkat dari 62,75 persen (September 2015) menjadi 63,08 persen (Maret 2016). Ini tidak sesuai data BPS, yang menyebutkan pada September 2015 jumlah penduduk miskin 28,51 juta orang (11,3 persen), pada Maret 2015 ada 28,59 juta orang. Artinya turun 80.000 orang.

Penduduk miskin pedesaan turun 50.000 dari 17,94 juta orang jadi 17,89 juta orang. Ini ditunjang hasil survei CSIS 26 September 2016: angka kebahagiaan penduduk perdesaan naik 62,8 persen dibandingkan perkotaan. Menurut publikasi BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pertanian (termasuk perikanan) Agustus 2016 mencapai 101,56 atau naik 0,17 persen terhadap Juli 2016. Kenaikan NTP akibat persentase kenaikan pada Indeks Harga yang Diterima Petani lebih besar daripada Indeks Harga yang Dibayar Petani.

Indeks Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) juga naik 0,05 persen, yaitu 110,02 pada Juli 2016 dan menjadi 110,08 pada Agustus 2016. Artinya, kemampuan petani membeli biaya produksi usaha tani sedikit meningkat. Memang jumlah petani semakin menurun dari tahun ke tahun karena terjadi proses transformasi menuju negara industri.

Kebijakan pengendalian impor dan mendorong ekspor telah membuat neraca perdagangan pertanian surplus. Impor pangan terus turun dan tahun 2016 tidak ada lagi impor bawang merah.

Untuk data impor beras, perlu dicermati jenis impor menurut kode HS. Impor beras 2016 berupa beras bentuk lain untuk pakan ternak dan beras untuk penderita diabetes. Terkait impor jagung, pada 2015 Indonesia menekan 56 persen impor jagung Januari-Juli 2016. Kami optimistis 2017 tak impor jagung lagi.

AGUNG HENDARDI, KEPALA BIRO HUBUNGAN MASYARAKAT DAN INFORMASI PUBLIK, KEMENTAN

Upah SPG

Menanggapi surat Bapak Martin Hendra (Kompas, 28/8) dengan judul "Wanprestasi Upah SPG", kami menyampaikan klarifikasi berikut.

Memang pihak Legal Production menjanjikan pembayaran honor sales promotion girl (SPG) paling cepat 2 minggu setelah event, terhitung dari 18 Juli 2016. Karena ada salah komunikasi di pihak kami, kami telah mengumumkan kepada pihak SPG pembayaran diundur dari 4 Agustus jadi 18 Agustus 2016.

Kami telah membagikan honor itu kepada tenaga kami antara tanggal 2/8, 14/8, 17/8, dan 25/8. Anak Bapak Martin Hendra atas nama Ivonne dan Michelle menerima pada 25/8.

Kesepakatan pembayaran upah tanggal 18 Agustus 2016 itu dilakukan pihak Legal Pro dengan salah satu orangtua SPG. LP (Pak Boyo) hanya sebagai saksi.

Perihal kehilangan kartu perdana memang benar terjadi, tetapi bukan senilai Rp 16 juta, jauh di bawah itu, dan kami membagi tanggung jawab kepada semua SPG dan TL.

Untuk penggantian uang tiket atas nama Michelle Hendra dan pemotongan satu hari absen atas nama Ivonne Hendra telah dibayarkan Senin, 29/8.

Saya juga meminta maaf kepada PT Telkomsel Tbk, Optimus Communication, Local Partner Event Organizer, dan Pak Boyo sebagai partner lokal karena mereka tak seharusnya dilibatkan dalam tulisan.

YUDHISTIRA RAMADHAN, LEGAL PRODUCTION, PASAR BARU, JAKARTA PUSAT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pendidikan 24 Jam (AHMAD FUADI)

Koran terkemuka The New York Times(10/2/2016) menurunkan tulisan berjudul "In Indonesia, Madrassas of Moderation", yang mengapresiasi Pondok Modern Gontor sebagai pesantren penting dan alumninya banyak menjadi orang berpengaruh di negeri ini.

Kebetulan, September ini Gontor mengadakan syukuran hari jadi yang ke-90 tahun dan dihadiri Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, dan para menteri (Kompas, 20/9).

Apa yang membuat Gontor berdiri teguh selama 90 tahun dan konsisten memberi kontribusi besar? Apa pula pelajaran yang bisa ditarik bagi dunia pendidikan Indonesia?

Bebas memilih warna

Sejak didirikan tahun 1926, Gontor terus melahirkan alumni yang ikut melawan penjajah dan mengisi kemerdekaan. Yang menarik, alumni tidak berkumpul di satu sudut aliran saja, tetapi mereka tersebar di spektrum yang luas, beragam ormas, partai, dan aliran pemikiran, yang tak jarang berkompetisi satu sama lain.

Tidak heran kalau alumninya ada yang menjadi pimpinan Nahdhatul Ulama, tapi juga ada yang memimpin Muhammadiyah. Ada yang jadi pemikir Islam modern, ada pula yang mendalami sufi klasik. Ada yang jadi guru mengaji di kampung-kampung, dan ada pula yang menjadi menteri atau duta besar di sejumlah negara.

Warna-warni alumni Gontor bisa dipahami sebagai konsekuensi langsung dari motonya "Gontor di Atas dan untuk Semua Golongan" dan penekanan pada spirit kebebasan.

Dalam kurikulumnya, siswa diajarkan beragam mazhab pemikiran fikih dan argumentasi masing-masing. Sementara kiai dan guru tidak pernah mendikte santri untuk mengikut salah satu mazhab tertentu. Lebih luas lagi, siswa bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup.

Jiwa bebas yang positif ini tampaknya yang memungkinkan lulusan kreatif mencari jalan untuk mengabdi di masyarakat.

Pendidikan 24 jam

Sebagai pelengkap diskusi tentang full day school di Indonesia, baik juga kita tengok bagaimana pengalaman Gontor dan pesantren lain menerapkan pendidikan 24 jam sehari, 7 hari seminggu, sejak berabad-abad lalu.

Siswa pesantren di usia SMP dan SMA tidak pulang ke rumah, tetapi tidur, makan, belajar, dan hidup di dalam pesantren, di bawah asuhan guru dan kiai yang juga tinggal di sana. Mereka belajar mandiri, mengurus diri sendiri, mulai dari mencuci baju, mengatur makan, sampai mengatur jadwal belajar.

Salah satu pimpinan Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal, mengatakan, inilah pendidikan total. Gontor percaya apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan di dalam pondok adalah pendidikan.

Dengan demikian, kegiatan belajar di kelas, yang berjalan 6 jam sehari, hanya sebagian kecil dari proses pendidikan itu sendiri. Penanaman karakter lebih banyak berjalan di luar kelas, di asrama, di aktivitas ekstrakurikuler, dan dalam interaksi santri dengan kiai, guru, dan teman-teman mereka dari beragam suku dan bangsa.

Ribuan santri Gontor memang berasal dari semua provinsi di Indonesia dan mancanegara, seperti Australia, Singapura, sampai Amerika Serikat. Penanaman karakter ini dirancang terencana dan dikawal dengan penegakan disiplin tegas dan konsekuensi yang jelas. Karakter anak dirawat setiap waktu oleh kiai dan guru yang juga berfungsi sebagai role model(uswatun hasanah).

Estafet nilai

Terlepas dari ketatnya kegiatan pendidikan 24 jam itu, mungkin yang paling menentukan keberhasilan Gontor adalah penggunaan software yang dikenal dengan Panca Jiwa. Setiap awal tahun ajaran, selama sepekan penuh, ribuan santri dan guru dikumpulkan bersama di aula untuk mendengarkan para kiai dan ustaz senior mengestafetkan nilai Panca Jiwa dan meng-install nilai-nilai ini di hati siswa. KH Hasan mengatakan banyak orang yang mewariskan nilai, tetapi nilai itu tidak dipakai dan disebarkan, Gontor tidak mewariskan, tetapi mengestafetkan sehingga bisa diteruskan.

Panca Jiwa yang diterapkan dengan sungguh-sungguh itu meliputi: jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa berdikari, jiwa ukhuwah islamiyah, dan jiwa kebebasan. Dari software ini, Gontor berniat melahirkan generasi muda yang berbudi luhur, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas.

Pembentukan karakter

Di usianya yang ke-90 tahun, Gontor bisa menjadi success story bagaimana lembaga pendidikan yang mengutamakan pembentukan karakter akan menghasilkan manusia merdeka yang bermanfaat luas.

Tantangan buat Gontor adalah bagaimana para kiai dan guru senior bisa pula mengestafetkan pengelolaan pondok ke generasi penerus. Patah tumbuh hilang berganti. Jika berhasil, insya Allah di usia ke-100 tahun kelak, Gontor semakin bermanfaat.

AHMAD FUADI, PENULIS NOVEL NEGERI 5 MENARA; ALUMNUS PONDOK MODERN GONTOR; GEORGE WASHINGTON UNIVERSITY; DAN ROYAL HOLLOWAY, UNIVERSITY OF LONDON

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Pendidikan 24 Jam".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Proses Konsultasi Peraturan KPU di DPR (FADLI RAMADHANIL)

Kewajiban konsultasi peraturan Komisi Pemilihan Umum dengan pemerintah dan DPR sudah sejak lama dinilai tidak tepat. Prinsip paling mendasar yang dilanggar adalah kepastian kemandirian penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

Hal ini semakin mendapatkan soroton ketika di dalam Pasal 9 Huruf a Undang-Undang No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) sebagai regulasi pilkada terbaru menyebutkan salah satu kewenangan KPU adalah "…menyusundan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat".

Kekeliruan proses konsultasi

Pengaturan ini tentu saja semakin memperdalam kekeliruan proses konsultasi peraturan KPU yang telah ada sebelumnya. Jika di dalam UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu tidak ada frase "keputusannya bersifat mengikat", UU No 10/2016 justru semakin menutup kemungkinan KPU mandiri sepenuhnya dalam menyusun peraturan sebagai salah satu kewenangannya sebagai lembaga penyelenggara pemilu.

Akibat pengaturan ini, draf peraturan yang sudah disusun KPU mesti "diperiksa" terlebih dahulu oleh DPR dan pemerintah. Jika ada yang tidak sesuai menurut DPR dan pemerintah, mereka akan mengeluarkan rekomendasi untuk mengubah peraturan KPU. Rekomendasi inilah yang bersifat mengikat dan wajib dituruti KPU.

Jika dilihat dari prinsip kemandirian kelembagaan penyelenggara, kewajiban konsultasi kepada DPR dan pemerintah jelas sesuatu yang keliru. Hal ini karena sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU dijamin kemandiriannya oleh konstitusi, sebagaimana disebut di dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945. Menyusun peraturan teknis penyelenggaraan pilkada merupakan salah satu kewenangan KPU yang tidak boleh diintervensi dan dicampuri oleh siapa pun.

Oleh sebab itu, ketika ada kewajiban untuk mengonsultasikan peraturan KPU kepada pemerintah dan DPR di dalam UU Pilkada, ini jelas ketentuan yang inkonstitusional. Di samping itu, jika melihat konstruksi Pasal 9 Huruf a UU No 10/2016, yang mengatur tentang konsultasi peraturan KPU, menyebutkan bahwa "konsultasi dilakukan oleh KPU dengan DPR dan pemerintah". Hal itu berarti mulai dari proses dan hasil konsultasi yang dikeluarkan dalam bentuk rekomendasi kepada KPU haruslah dikeluarkan atas nama kelembagaan DPR dan pemerintah.

Pertanyaannya sekarang, apakah proses konsultasi dan rekomendasi yang dikeluarkan kepada KPU sudah secara legal-formal dan konstitusional dikeluarkan atas nama DPR dan pemerintah? Faktanya tidak. Proses konsultasi hanya terbatas dilakukan Komisi II DPR (alat kelengkapan) dan Dirjen Otonomi Daerah (wakil Kemendagri) bersama dengan KPU.

Sikap pemerintah sebagai salah satu pihak yang sah di dalam proses konsultasi juga mengherankan, khususnya untuk keputusan memperbolehkan orang berstatus terpidana percobaan menjadi calon kepala daerah. Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang hampir selalu mewakili pemerintah dalam proses konsultasi peraturan KPU di DPR, anehnya justru bersikap berbeda dengan apa yang disampaikan Menteri Dalam Negeri.

Akan sangat mudah dilacak bagaimana sikap Menteri Dalam Negeri yang menyatakan setuju dengan KPU terkait dengan terpidana percobaan menjadi bakal calon kepala daerah. Sikap KPU pun jelas: seorang yang menjalani hukum percobaan karena status hukumnya adalah seorang terpidana, maka tidak bisa yang bersangkutan dinyatakan memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah. Namun, melihat keputusan akhir dari konsultasi, bisa dikatakan apa yang disetujui oleh Dirjen Otonomi Daerah bukanlah sikap Menteri Dalam Negeri yang ia wakili, apalagi sikap pemerintah.

Proses semestinya

Kalau ingin konsisten dengan apa yang diatur di dalam UU Pilkada, maka proses yang berlangsung selama ini jelas sebuah proses yang keliru dan tidak tepat. Sebab, sebagaimana mandat dari Pasal 9 Huruf a UU No 10/2016, maka mestinya rekomendasi dari proses konsultasi mesti dikeluarkan dalam bentuk dokumen formal dari lembaga DPR, dan lembaga Presiden sebagai pembentuk undang-undang.

Untuk dokumen formal dari DPR, apa yang dibahas Komisi II mestinya dibawa ke dalam Rapat Paripurna DPR untuk dapat didengar oleh semua peserta rapat, dan kemudian disahkan menjadi dokumen resmi yang dikeluarkan atas nama kelembagaan DPR. Begitu juga rekomendasi yang dikeluarkan atas nama pemerintah. Proses konsultasi dan pembahasan yang diikuti Kementerian Dalam Negeri mesti dilaporkan kepada Presiden.

Jika Presiden sudah sepakat dengan apa yang akan direkomendasikan kepada KPU, barulah kemudian dikeluarkan dokumen resmi dari Presiden atau Sekretariat Negara perihal rekomendasi terkait dengan peraturan KPU yang selesai dibahas. Proses konsultasi dalam pembahasan peraturan KPU yang melibatkan tiga institusi resmi negara (KPU, DPR, dan pemerintah) tidak bisa diikat hanya dengan kesimpulan dalam bentuk notulensi rapat yang dilakukan selama ini.

Dampak yang akan ditimbulkan dari proses konsultasi yang tidak konsekuen dengan apa yang dimaksud di dalam UU Pilkada bisa jadi sangat besar. Salah satunya adalah proses formal penyusunan peraturan KPU sangat mungkin akan dipersoalkan jika model proses penyusunannya tidak taat terhadap apa yang diatur di dalam UU Pilkada.

FADLI RAMADHANIL, PENELITI PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI (PERLUDEM)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Proses Konsultasi Peraturan KPU di DPR".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Mengapa Trump Imbangi Hillary (WIMAR WITOELAR)

Pada 6 November 2016, lebih dari 100 juta pemilih di Amerika Serikat akan menentukan presiden mereka untuk empat tahun berikutnya. Saat ini, polling menunjukkan kecenderungan berimbang antara calon Partai Republik, Donald Trump, dan calon Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Sungguh aneh keadaan berimbang ini, padahal perbedaan keduanya begitu mencolok, sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah pemilihan presiden modern.

Donald Trump adalah pengusaha besar yang belum pernah memegang jabatan publik. Ia bicara terus terang, tak malu menjadi awam politik dan minim pengetahuan. Trump sangat terkenal sebagai orang kaya dan selebritas yang punya acara populer "Reality TV", juga mensponsori kontes kecantikan dunia.

Ia sering mengucap kalimat yang jarang terdengar dalam politik santun, seperti rencana melarang Muslim masuk wilayah AS untuk mewaspadai terorisme, akan mengusir imigran yang tidak lengkap suratnya, khususnya dari Meksiko, dan membangun tembok tinggi di perbatasan dengan Meksiko. Sikapnya meremehkan minoritas hitam dan Latin, juga perempuan, yang membuatnya tidak didukung warga yang menjunjung tinggi pluralisme dan demokrasi di AS.

Sebaliknya, Hillary Clinton sebagai calon Partai Demokrat punya kualifikasi yang bertolak belakang: berpengalaman dalam pemerintahan dan publik. Ia senator dari Negara Bagian New York dan sebelumnya menjadi Menteri Luar Negeri, jabatan yang dianggap nomor dua setelah Presiden Barack Obama.

Hillary sudah menjadi bakal calon Presiden tahun 2008 sampai ia dikalahkan Obama dalam konvensi Partai Demokrat. Pengalaman tidak langsung sebagai tokoh publik dibangun sebagai Ibu Negara, istri Presiden Bill Clinton tahun 1992-2000. Hillary sangat mendukung kaum hitam dan minoritas lain.

Perbedaan mendasar

Perbedaan di antara kedua calon presiden terlihat juga dalam agenda lingkungan. Hillary dan Obama sangat mendukung mitigasi perubahan iklim melalui forum PBB dan LSM internasional. Sebaliknya, Trump tidak percaya pada bahaya perubahan iklim dan menganggap perjuangan melawan pemanasan global hanya membatasi bisnis berkembang. Sikap Trump yang mengecilkan ilmu membuatnya tidak didukung warga AS berpendidikan.

Berarti Hillary menguasai dukungan orang terpelajar dan orang hitam, dua kelompok kekuatan yang sering disebut Koalisi Obama saat mengalahkan dua calon presiden terakhir, John McCain (2008) dan Mitt Romney (2012).

Polling pemilih menunjukkan gejala yang sangat cair. Banyak sekali polling yang dilakukan dengan berbagai metode, tetapi secara pukul rata sekarang Trump memimpin sampai 4 persen, sering dengan beda dalam margin of error. Keadaan ini terbalik dari posisi Hillary setelah konvensi kedua partai Juli 2016.

Waktu itu, Hillary melompat dari posisi di bawah Trump sampai memimpin 7-13 persen. Trump mengambil kembali kepemimpinan setelah Hillary kalah dalam liputan media terhadap pernyataannya yang dianggap melecehkan pendukung Trump (menyebut deplorable) dan terserang pneumonia ringan. Bisa dikatakan, Hillary banyak melakukan unforced errors yang menguntungkan lawan walaupun Trump juga banyak mengecewakan. Kedua calon presiden AS sekarang termasuk yang tidak populer di kalangan pemilih.

Ketidaksukaan orang pada Trump disebabkan oleh sikapnya yang eksklusif dan berubah- ubah, juga kebohongannya selama kampanye. Jaringan televisi NBC pernah menerbitkan daftar 117 kebohongan dan pemutarbalikan posisi sejak ia mulai kampanye Juni 2016. Daftarnya luas dengan isu terkenal yang telah disebut di atas dan janji akan mendeportasi 11 juta imigran yang sudah lama tinggal di AS, pajak dan kebijaksanaan ekonomi, posisi aborsi yang berbalik tiga kali dalam sehari, dan menuduh Obama bukan kelahiran AS.

Sebaliknya, kejujuran Hillary diragukan pada penggunaan server pribadi untuk urusan dinas selama menjadi Menlu, kerancuan antara Clinton Foundation dan urusan negara, serta kesehatan pribadinya. Ketidakjujuran ini tidak spektakuler seperti akrobatik logika Donald Trump, tetapi kenapa Trump dukungan yang seimbang?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus rajin mengikuti pengamat politik di AS, di mana demokrasi memberi tempat pada semua orang yang bisa mencuri perhatian publik. Penjelasan yang paling bisa diterima adalah bahwa medan komunikasi sekarang jauh berbeda dari pemilihan sebelumnya. Namun, yang tidak berubah adalah bahwa politik demokratis ditentukan oleh akses informasi, baik calon maupun pemilih.

Menguasai panggung

Artinya, orang yang bisa menguasai panggung mendapat perhatian publik. Berbeda dengan panggung politik dulu yang hanya dilihat pemerhati politik, panggung politik Pilpres AS 2016 bisa diakses semua orang. Audiens politik AS 2016 lebih luas dari pengamat politik.

Donald Trump sangat dikenal oleh penonton TV, serupa dengan Kim Kardashian dan keluarga, ketenaran mereka lebih ditentukan daya tarik TV dan media sosial. Trump menggunakan Twitter sebagai panggung ekspresi, cukup 140 karakter.

Karena ucapan Trump itu asyik didengar, lepas dari setuju atau tidaknya kita, maka dia mudah sekali mendapat liputan TV. Dia hampir tidak mengeluarkan uang untuk liputan TV atau iklan.Isi ucapannya membingungkan dan tidak masuk akal, orang tidak ambil pusing. Kalau salah mudah diralat dalam kesempatan tampil berikutnya. Bahkan, media bersaing meliput Trump untuk ucapan dan koreksinya.

Siapa punya panggung, dia yang menang. Makin keras volume suara, makin banyak didengar. Itulah dasar kekuatan Donald Trump. Sebaliknya, Hillary Clinton adalah orang serius generasi lalu. Ia mengandalkan rekam jejak, kecerdasan, dan kekuatan konsep. Ini masih laku di kalangan terpelajar, tetapi membosankan bagi lainnya.

Jadi, kita tinggal melihat, apakah warga terpelajar dan pluralis yang membangun mosaik budaya AS bisa menyelamatkan AS melalui kekuatan di kotak suara.

WIMAR WITOELAR, INTERMATRIX COMMUNICATION

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Mengapa Trump Imbangi Hillary".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Setelah Debat yang Dinanti (Kompas)

Bagi sekitar 100 juta penonton, termasuk di Indonesia, debat antara calon Presiden AS Hil- lary Clinton dan Donald Trump adalah debat yang jomplang.

Hillary terlihat tenang, siap, dan piawai memaparkan programnya. Sementara Trump bahasa tubuhnya terlihat "tak sabar", bicaranya tidak fokus, dan kosong.

Mungkin untuk pertama kalinya kita melihat debat resmi dua calon presiden negara adidaya yang tak menginspirasi, terlebih di saat dunia sedang mengalami krisis besar. Sebutlah, ancaman terorisme yang makin menakutkan, banjir pengungsi yang terparah setelah Perang Dunia II, peperangan yang tiada akhir, dan munculnya virus-virus baru yang lebih mematikan.

Hanya sekadar perbandingan, kita bisa sejenak menengok pada debat antara John F Kennedy dan Richard Nixon pada tahun 1960, yang dijuluki sebagai "debat terpenting" dalam sejarah pemilihan Presiden AS. Kala itu dunia sedang mengalami krisis besar karena terbelah oleh Perang Dingin, ancaman nuklir, dan perang ideologi. Itu juga merupakan debat pertama yang disiarkan langsung oleh televisi dan dianggap menguntungkan Kennedy yang berpenampilan lebih menarik. Namun, kedua tokoh ini menyajikan tontonan menarik tentang keluasan pengetahuan, ketajaman berpikir, kefasihan berbicara, tanpa kehilangan kesantunan.

Debat Hillary-Trump tetap menjadi perhatian karena berbagai jajak pendapat menunjukkan posisi keduanya kini sama kuat, padahal Pemilu AS tinggal beberapa pekan lagi. Artinya, debat ini menjadi penting bagi rakyat AS yang belum menentukan pilihan.

Sementara bagi pemirsa di luar AS, debat menjadi semacam barometer tentang apa yang akan terjadi pada hubungan dua negara seandainya yang menjadi presiden adalah Hillary atau Trump. Benarkah tak akan ada yang berubah? Untuk Indonesia, misalnya, apakah akan serius menyikapi secara kritis gertakan Trump yang pernah menyatakan tak akan mengizinkan orang Islam masuk ke AS?

Model debat semacam itu juga sudah kita adopsi dalam pemilihan presiden dan kepala daerah. Sejumlah televisi di Indonesia secara bergilir mengadakan siaran debat langsung antarkandidat.

Hanya saja, debat yang terjadi biasanya adem-adem saja, tetapi situasi yang panas justru terjadi di antara pendukung fanatik tiap calon. Tiap kubu berupaya melakukan "pembunuhan karakter", khususnya di media sosial, seperti yang kita lihat saat ini setelah pencalonan Gubernur DKI.

Ini memang bagian dari demokrasi. Namun, akan lebih produktif jika semangat itu disalurkan dalam wujud kritik untuk perbaikan kebijakan yang sedang dijalankan saat ini. Karena nantinya, siapa pun yang terpilih akan menjadi pemimpin seluruh warganya, bukan konstituennya saja.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Setelah Debat yang Dinanti".

Bagi sekitar 100 juta penonton, termasuk di Indonesia, debat antara calon Presiden AS Hil- lary Clinton dan Donald Trump adalah debat yang jomplang.

Hillary terlihat tenang, siap, dan piawai memaparkan programnya. Sementara Trump bahasa tubuhnya terlihat "tak sabar", bicaranya tidak fokus, dan kosong.

Mungkin untuk pertama kalinya kita melihat debat resmi dua calon presiden negara adidaya yang tak menginspirasi, terlebih di saat dunia sedang mengalami krisis besar. Sebutlah, ancaman terorisme yang makin menakutkan, banjir pengungsi yang terparah setelah Perang Dunia II, peperangan yang tiada akhir, dan munculnya virus-virus baru yang lebih mematikan.

Hanya sekadar perbandingan, kita bisa sejenak menengok pada debat antara John F Kennedy dan Richard Nixon pada tahun 1960, yang dijuluki sebagai "debat terpenting" dalam sejarah pemilihan Presiden AS. Kala itu dunia sedang mengalami krisis besar karena terbelah oleh Perang Dingin, ancaman nuklir, dan perang ideologi. Itu juga merupakan debat pertama yang disiarkan langsung oleh televisi dan dianggap menguntungkan Kennedy yang berpenampilan lebih menarik. Namun, kedua tokoh ini menyajikan tontonan menarik tentang keluasan pengetahuan, ketajaman berpikir, kefasihan berbicara, tanpa kehilangan kesantunan.

Debat Hillary-Trump tetap menjadi perhatian karena berbagai jajak pendapat menunjukkan posisi keduanya kini sama kuat, padahal Pemilu AS tinggal beberapa pekan lagi. Artinya, debat ini menjadi penting bagi rakyat AS yang belum menentukan pilihan.

Sementara bagi pemirsa di luar AS, debat menjadi semacam barometer tentang apa yang akan terjadi pada hubungan dua negara seandainya yang menjadi presiden adalah Hillary atau Trump. Benarkah tak akan ada yang berubah? Untuk Indonesia, misalnya, apakah akan serius menyikapi secara kritis gertakan Trump yang pernah menyatakan tak akan mengizinkan orang Islam masuk ke AS?

Model debat semacam itu juga sudah kita adopsi dalam pemilihan presiden dan kepala daerah. Sejumlah televisi di Indonesia secara bergilir mengadakan siaran debat langsung antarkandidat.

Hanya saja, debat yang terjadi biasanya adem-adem saja, tetapi situasi yang panas justru terjadi di antara pendukung fanatik tiap calon. Tiap kubu berupaya melakukan "pembunuhan karakter", khususnya di media sosial, seperti yang kita lihat saat ini setelah pencalonan Gubernur DKI.

Ini memang bagian dari demokrasi. Namun, akan lebih produktif jika semangat itu disalurkan dalam wujud kritik untuk perbaikan kebijakan yang sedang dijalankan saat ini. Karena nantinya, siapa pun yang terpilih akan menjadi pemimpin seluruh warganya, bukan konstituennya saja.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Setelah Debat yang Dinanti".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger