Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 28 Februari 2014

Parpol untuk Siapa? (Prof. Dr. Komaruddin Hidayat)

 Oleh PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat


PARTAI politik atau parpol adalah prasyarat bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Karenanya, secara normatifteoretis kita tidak boleh anti dan alergi terhadap parpol. 

Ini karena pada dasarnya, dan pada mulanya, parpol didirikan untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan memilih putra-putri bangsa terbaik untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat serta memilih presiden dan wakil presiden. 

Jadi, betapa vital dan berkuasanya parpol bagi negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Namun, pada kenyataannya pelaksanaan demokrasi yang sehat serta membangun parpol yang berkualitas tidaklah mudah. 

Demokrasi dan parpol itu indah dibicarakan di ruang kuliah. Namun, yang kadang terjadi bukannya parpol memberikan kontribusi terbaik pada negara dari sisi program dan kader-kadernya, melainkan beberapa oknum dan elite parpol telah menjadi benalu, bahkan membajak kedaulatan dan kepentingan negara yang kemudian terbelokkan untuk melayani kepentingan dan selera dirinya. Kalau ditanya dan ditelusuri apa dan siapa yang ada dalam ”perut” parpol, jawabannya tidak selalu meyakinkan.

Benarkah parpol-parpol yang ada itu tempat berhimpunnya para pejuang kebangsaan dan pelayan rakyat yang merupakan putra-putri terbaik bangsa? Benarkah cita-cita dan kiprah parpol itu melebur ke dalam spirit dan citacita kemerdekaan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat? 

Saya khawatir semangat dan kultur yang tumbuh dalam parpol disusupi oleh kepentingan kelompok, keluarga dan jejaring bisnis yang hanya ingin mendapatkan perlindungan dan fasilitas negara dengan label demokrasi. 

Ada juga indikasi mereka yang aktif di parpol dan berjuang untuk lolos di kursi DPR lebih didorong untuk mencari pekerjaan baru dengan penghasilan lebih besar serta bergengsi ketimbang yang sudah dijalani selama ini. Maaf, tentu saja tidak semua seperti itu. Kita tidak boleh melakukan generalisasi. 

Tetapi melihat pengalaman yang sudah-sudah dan mencermati daftar calon legislatif yang ada, terdapat beberapa nama yang sungguh kurang layak memerankan posisi wakil rakyat, sementara kondisi bangsa dan rakyat memerlukan perbaikan dan terobosan segera secara cerdas, konseptual, dan strategis. 

Kita ingin mengakhiri keluh-kesah akibat pemerintahan yang tidak efektif namun menelan ongkos sosial dan materi yang amat mahal dengan menampilkan para wakil rakyat yang berkualitas dan kredibel dan pemerintahan yang baru nanti. 

Yang muncul ke permukaan, seakan negara ini dikuasai jejaring parpol, sementara kepercayaan rakyat pada parpol kian turun. Wajah dan retorika parpol muncul di mana-mana, memenuhi ruang publik. Namun, benarkah rakyat merasa terwakili oleh tokoh-tokoh dan sepak terjang parpol selama ini? 

Kalau tidak, parpol yang tengah jungkir balik merayu dukungan dan simpati rakyat itu sesungguhnya untuk apa dan siapa? Yang perlu dipertimbangkan, banyak orang pintar, baik, dan sudah berkeringat melayani rakyat, tetapi tidak disenangi parpol, karena semata mereka itu bukan aktivis parpol dan ide serta kiprahnya dianggap tidak sejalan dengan elite-elite parpol. Ada juga bupati atau wali kota yang prorakyat namun menolak pesanan parpol, lalu kinerja mereka malah diganggu dan diganjal. 

Di sinilah kita dihadapkan pada dilema antara parpol sebagai sebuah keharusan dalam berdemokrasi, di sisi lain kualitas parpol dan praktik berdemokrasi masih sebatas formalisme-prosedural, jauh dari substansi dan fungsi yang sama-sama kita dambakan. Sedemikian runyam dan busukkah kondisi parpol? Amati saja berbagai hasil survei dan pemberitaan kehidupan parpol yang hampir setiap hari kita baca beritanya. Bahkan kita juga bergaul langsung dengan mereka. 

Yang pasti, demokrasi, pilkada, dan pemilu tidak mungkin tanpa parpol. Namun banyak pilkada yang hasilnya mengecewakan. Jika program, kualitas kader, dan pengurus sebuah parpol tidak paham, tidak setia dan tidak mau lebur ke dalam spirit dan agenda bangsa untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, rasanya parpol seperti itu lebih baik bubar saja. Secara moral mereka itu tidak sah untuk hidup. Mereka hanya akan jadi benalu demokrasi. Mereka hanya sibuk dan heboh memperjuangkan dirinya, pengurusnya, dan keluarganya. 

Triliunan uang negara dibelanjakan untuk biaya politik, namun tidak seimbang hasil yang diraihnya. Panggung bangsa dan negara silakan diperebutkan oleh para politisi untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan. Tetapi program dan target yang telah dijanjikan pada rakyat mestilah dipenuhi. Jangan malah saling jegal dan sandera di antara sesama parpol yang berakibat merugikan rakyat banyak. Enough is enough. 

Mari Pemilu 2014 ini kita jadikan momentum dan garis demarkasi untuk berpikir lebih rasional dan bekerja keras dengan menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan parpol. Ajaklah putra-putri bangsa terbaik yang sudah teruji dan punya prestasi diajak bersama-sama memperbaiki kehidupan bernegara yang kedodoran ini, sekalipun mereka itu berada di luar jejaring parpol.


Koran SINDO, Jum'at, 28 Februari 2014 − 06:49 WIB,

Mencegah Penyakit Argentina (Ahmad Erani Yustika)

oleh AHMAD ERANI YUSTIKA, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

Sampul majalah The Economist, edisi 15–21 Februari 2014, menimbulkan gelora saya untuk melihatnya secara detail. Foto memperlihatkan bagian belakang Lionel Messi yang sedang berjalan dengan memakai kostum Argentina bernomor punggung 10. 

Sebagai penikmat sepak bola tentu sampul ini bercerita banyak, sebab dia adalah pemain paling hebat sejagat sekarang, bersaing dengan Christiano Ronaldo. Namun, sebagai ekonom, saya tentu lebih tertarik lagi dengan judul sampul majalah tersebut: The Parable of Argentina. Tentu maknanya segera bisa ditangkap dari sinyal judul tersebut. Benar, Argentina yang sedang terpuruk dan memiliki prospek ekonomi ke depan yang tak menggembirakan. 

Satu abad lalu Argentina disebut sebagai ”the country of the future”, bahkan dianggap akan mengungguli Brasil, Cile, dan beberapa negara besar Eropa (Jerman, Prancis, dan Italia). Faktanya, saat ini Argentina tertinggal jauh ekonominya, bukan hanya dari negara Eropa, bahkan juga dengan tetangganya sendiri. 

Tiga Argumen 

Majalah tersebut menyebut tiga argumen kunci yang menyebabkan ekonomi Argentina terpuruk: kelembagaan yang rapuh, politisi yang berpikiran sempit, dan kebijakan ekonomi yang tak berdamai dengan realitas. Kelembagaan yang keropos merupakan persoalan jamak di negara berkembang, tak hanya eksklusif Argentina. Regulasi tak mengatur detail kegiatan-kegiatan ekonomi sehingga dengan gampang moral hazard menyeruak. 

Jika aturan main telah dibuat, kerap cepat berubah sehingga sulit menjadi panduan pelaku ekonomi. Misalnya, aturan main mengenai investasi. Implikasinya, investor tidak mempunyai kepastian dan jera melakukan ekspansi atau membuka usaha. Parahnya lagi, apabila regulasi sudah tersedia, bahkan lengkap, tapi tak ada penegakan. Jadi, pemerintah sudah membuat kebijakan yang memiliki kekuatan hukum tetap, tapi tak dieksekusi sehingga perilaku menyimpang pun tidak dikenai penalti, seperti praktik pembajakan. 

Nyaris tidak ada perlindungan terhadap hak kepemilikan, meski sudah ada aturannya. Bagaimana dengan tabiat politisi? Pada umumnya perilaku mereka dituntun oleh dua motif. Pertama, pada batas tertentu politisi wajar berpikiran sempit karena ada desakan konstituen atau kepentingan partai. Ini jamak terjadi di mana pun, bahkan dalam sistem yang paling demokratis sekalipun. Kedua, dalam banyak kasus politisi tak memiliki cadangan gagasan yang memadai, apalagi isu yang rumit. 

Mereka tidak mempunyai kapasitas teknis, sehingga mudah sekali pikiran mereka dipengaruhi oleh opini publik yang disuarakan oleh kelompok-kelompok strategis, seperti akademisi, lembaga nonpemerintah, dan lainlain. Sampai sekarang belum ada obat yang manjur untuk mengatasi patologi ini. Terakhir, negara-negara Amerika Latin memang selama ini penganut ideologi ekonomi yang ketat. Watak ekonomi sosialis melekat begitu dalam, sehingga kebijakan populisme dirawat dengan disiplin tinggi, berapa pun ongkosnya. 

Argentina termasuk dalam gerbong ini, sedangkan Brasil relatif dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Jika melihat data makroekonomi Argentina, sebetulnya tidaklah semuanya buruk. Pendapatan per kapita, meskipun makin ke- tinggalandari negara Eropadantetangganya, namun masih tergolong tinggi, yaitu sekitar USD13.000. Indonesia sendiri saat ini pendapatan per kapitanya pada kisaran USD4.000. Pertumbuhan ekonomi fluktuatif, namun pada 2010 tumbuh fantastis 9,2% dan 2011 sebesar 8,9%. 

Tapi pada 2012, pertumbuhan ekonomi jatuh menjadi 1,9% dan pada Triwulan III-2013 naik lagi menjadi 5,5%. Pengangguran sampai Triwulan III-2013 sekitar 6,8%, hampir sama dengan Indonesia. Neraca perdagangannya cukup bagus, di mana pada 2012 surplus USD12,4 miliar, padahal pada saat yang sama Indonesia defisit USD1,63 miliar. Khusus untuk inflasi, kinerja Argentina memang buruk karena selalu pada kisaran 10% (BCRA, 2013). Pada masa lalu memang inflasi ini menjadi persoalan serius di Argentina, bahkan hiperinflasi kerap terjadi di sana (hingga ribuan persen). 

Investasi Kelembagaan 

Data pendapatan per kapita mungkin menarik untuk diselisik lebih lanjut. Jika membandingkan pendapatan per kapita Argentina dengan Brasil, Italia, Jerman, Prancis, Jepang, Inggris, Australia, dan AS pada kurun waktu 100 tahun terakhir, maka berikut ini gambarannya. 

Pada tahun 1900 pendapatan per kapita Argentina 400% lebih tinggi dari Brasil; 250% dari pendapatan per kapita Jepang; 170% dari pendapatan per kapita Italia; sama dengan pendapatan per kapita Prancis; dan sekitar 70% dari pendapatan per kapita AS dan Australia. Apabila data yang sama dilihat kembali pada 2010, perubahan yang terjadi begitu kontras. Pada kondisi 2010, pendapatan per kapita Argentina 30-40% dari pendapatan per kapita negara-negara tersebut, kecuali Brasil (The Economist, 2014). 

Jadi, dalam kurun waktu 110 tahun segalanya telah berubah dan Argentina berada di pihak yang ”kalah”. Persoalan ini bisa diulas secara mendalam, namun dalam ruang yang terbatas ini penting membahas isu yang lebih relevan: apakah Argentina hanya sendirian? Bagaimana mencegah hal ini? Argentina tentu tidak sendirian. Bahkan, ada contoh yang sangat dekat yakni Indonesia. Pada saat mulai melakukan pembangunan ekonomi secara sistematis pada akhir dekade 1960-an, pendapatan per kapita Indonesia masih lebih bagus ketimbang China dan Malaysia. 

Namun, sejak dekade 1990-an, setelah dihajar krisis ekonomi 1997/1998, pendapatan per kapita nasional disusul dengan cepat oleh Malaysia dan China. Sekarang India dan Vietnam membuntuti Indonesia, bahkan pada 2030 kelak pendapatan per kapita India dan Indonesia hampir sama dan pada 2050 India telah melampaui Indonesia (ADB, 2012). Cerita ini menjadi mirip dengan Argentina karena Indonesia sejak lama juga diangankan juga sebagai negara ideal yang akan menjadi poros kemajuan ekonomi. 

Bahkan, saat ini bersama dengan Turki, Brasil, Meksiko, Rusia, China, Korsel, dan India; Indonesia masuk dalam radar ekonomi hebat di masa depan. Tapi jika tak hati-hati, nasib Indonesia akan seperti Argentina saat ini. Lantas, apa pekerjaan rumah yang harus dikerjakan agar peristiwa kelam itu tak terjadi? Saya tak terlampau tertarik dengan ukuran pertumbuhan ekonomi atau pendapatan per kapita, meski boleh saja itu dipakai. Butuh lebih 100 tahun untuk bisa mengejar ketertinggalan dari sisi itu dibandingkan dengan negara maju. 

Namun, kita bisa melampaui negara maju secara lebih cepat apabila mau mengerjakan investasi kelembagaan, pengetahuan (pendidikan), dan kapabilitas negara. Investasi kelembagaan penting untuk membingkai kegiatan ekonomi berjalan secara adil bisa diakses oleh semua orang, dan menjamin kepastian. Pengetahuan berkontribusi kepada cara kegiatan ekonomi dilakukan sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih banyak. 

Kapabilitas negara dimaksudkan sebagai kemampuan mengeksekusi setiap kebijakan yang telah diproduksi. Selebihnya, ideologi memang harus hidup dan jelas, tapi juga mesti berdamai dengan realitas yang berubah setiap hari. Resep ini memang tak menjamin keberhasilan secara utuh, namun sekurangnya bisa meminimalisasi penyakit seperti di Argentina. 


Awareness: Gerbang Prestasi (Amalia E Maulana, PHD)

Oleh AMALIA E MAULANA, PH.D. Brand Consultant & Ethnographer Director, ETNOMARK Consulting @etnoamalia

”Hondamu merek apa?” ”Mbak, tolong belikan Ibu Indomilk yang merek Bendera ya?” ”Saat ini saya sedang minum Aqua yang mereknya Club” Ketiga kalimat tersebut ada yang aneh. 

Bukankah Honda, Indomilk, dan Aqua adalah merek juga? Mengapa ketiganya digunakan untuk menggambarkan produk secara umum? Honda diilustrasikan sebagai ’sepeda motor’. Indomilk digunakan pada saat seorang ibu ingin mengatakan ’susu kental manis’. Aqua sendiri secara luas digunakan pada saat sedang membahas air mineral. Masih banyak perusahaan dan brand manager yang menganggap apabila sebuah brandsudah dianggap sebagai sebuah kategori seperti di atas, itu adalah sebuah prestasi luar biasa. 

Dalam pemahaman saya, bisa saja ini adalah alert tanda bahaya. Jika brand dikenal (aware) tetapi pilihannya adalah brandlain seperti ketiga kasus di atas, maka berapa pun biaya promosi dan komunikasi yang akan dikeluarkannya, yang mendapatkan keuntungan adalah kategori produknya, bukan brandnya secara independen. Situasi ini harus disikapi segera. 

Mengukur Brand Awareness 

Dalam konsep Customer- Based BrandEquity(CBBE) yangdiperkenalkan oleh Kevin Keller, mahaguru branding yang akan hadir di Jakarta minggu depan, pengukuran brandawarenessdigambarkan di bagian bawah dari piramida. Awareness atau dalam istilah Keller disebut Salience menunjukkan pengenalan terhadap sebuah nama brand dan berbagai aspek atau kata kunci yang diasosiasikan dengan brandtersebut. 

Menggambarkan hal-hal yang fundamental dari apa yang dipikirkan oleh konsumen pada saat mendengar sebuah brand disebutkan dan bagaimana kedalaman pemahaman arti kata tersebut di benaknya. Responden sebenarnya berpikir sederhana saja dan tidak bermaksud untuk ’bohong’ dalam riset, tetapi kenyataan bahwa saat ini ada luar biasa banyaknya brand di pasar, membuat semua tipe riset harus didesain ulang dengan memperhatikan keterbatasan benak konsumen dalam ’recall’ awareness. 

Pertanyaan dalam riset pengukuran brand awareness harus memperhatikan beberapa hal karena brand awareness ini terkadang ’tricky’ pada saat kita berbicara sebuah brand yang sudah dianggap sebagai generik seperti contoh terhadap Honda, Indomilk, dan Aqua. Selain itu, dalam riset brand awareness juga masih ada jebakan lain yang menyesatkan. Pada saat sebuah brand sudah proliferasi menjadi berbagai varian dan berbagai kategori (yang menyimpang dari induknya), di sinilah sering terjadi mixed-up, tercampur antara nilai awarenessbrandyang seharusnya dituju vs pemahaman brand benchmark (yang sebenarnya keluar dari konteks pertanyaan). 

Berbagai brandbesar mengembangkan bisnisnya melalui strategi (1) line extension(eksis di banyak varian) dan (2) brand extension (eksis di beberapa kategori produk). Seorang brand manager perlu lebih teliti lagi dalam riset feedback konsumen, karena konsumen punya basis knowledge yang berbeda-beda. Seperti yang kita tahu brand awareness Coca Cola mungkin sudah mendekati angka 100. Namun, yang kita belum tahu adalah seperti apa brand awareness Coca Cola Zero sebagai produk baru mereka. Siapa yang tidak mengenal brand Yamaha di Indonesia? Brand ini sudah sangat dikenal luas. 

Tetapi harus diingat bahwa Yamaha itu bukan hanya digunakan untuk produk motor, tetapi untuk berbagai kategori produk lainnya. Salah satunya yang tidak kalah menonjol adalah Yamaha Music, dari alat musiknya sendiri hingga tempat kursus musiknya yang banyak dijumpai di ruko-ruko. Seperti juga menanyakan brandHonda ke konsumen Indonesia. Yang pertama kali harus jelas dahulu adalah apakah konsumen sedang diajak berbicara tentang mobil Honda atau motor Honda? 

Karena keduanya punya ’makna’ yang belum tentu sama. Bahkan karena pengelola brand mobil dan brand motor ini pun berbeda, bisa jadi mereka memberikan makna yang jika masuk di benak konsumen menjadi simpang siur. Terlebih lagi di berbagai daerah di Indonesia, nama Honda rupanya sudah punya arti yang lebih luas dibandingkan arti awalnya. Di Jawa Timur, misalnya, mayoritas masyarakatnya menyebutkan istilah Honda untuk menyebutkan produk sepeda motor.

Apa pun mereknya, tetap Honda sebutannya. Mungkin sebagian besar dari kita sudah mengenal J-Lo sebagai seorang artis serbabisa, menyanyi, menari dan bermain film. Tetapi belum semua orang yang menjadi target audience-nya menyadari bahwa J-Lo sudah lama berbisnis fesyen dan parfum. Kesulitan dalam riset brand awareness adalah adanya ’halo effect’ dari brand utama yang sudah lebih mapan. Adakalanya riset tidak secara spesifik bertanya produk kategori tertentu sehingga konsumen salah menjawab. 

Namun, ada juga saat di mana konsumen hanya mengandalkan pengetahuan konsumen di produk lain sehingga tanpa sadar ia menyatakan dirinya mengenal JLo parfum padahal ia hanya mengenal J-Lo artis. Dalam riset kepuasan pelanggan, kemungkinan adanya kesalahan dalam memahami pertanyaan dan tercampurnya sebuah informasi dari ’parent brand’ ke ’individu brand’ ini harus diantisipasi. 

Jika dibutuhkan, pertanyaannya harus diulang dengan kalimat pertanyaan yang berbeda. Atau, digunakan alat bantu seperti foto dan penjelasan kategori produk sehingga meminimalkan kerancuan pemahaman segenap produk tersebut. 

Kaveling Benak Konsumen 

Bombardir berjuta nama brand dari sejak bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, membuat benak konsumen penuh sesak. Kaveling di benak tidak ada lagi yang tersisa, semua brandberusaha mencari tempat di sana. Semua brand butuh tempat. Butuh kaveling di benak konsumen. Agar bisa dikenal. Dikaitkan dengan asosiasi kata kunci yang benar. Sebagai seorang pemasar, membangun awareness sebuah brand adalah pekerjaan yang sangat penting. 

_Brandawarenessmerupakan pintu gerbang dalam prestasi pembinaan prestasi sebuah brand. Tanpa awarenessyang cukup, maka percuma mengadakan campaignuntuk mengisi makna, memberikan ’reasons to buy’ dan bahkan promosi untuk mempertahankan loyalitas. 

Menjaga Keindonesiaan (Hasibullah Satrawi)

Oleh Hasibullah Satrawi Direktur Aliansi Indonesia Damai, Jakarta 

SEBAGAI falsafah kehi dupan berbangsa dan bernegara, Bhinneka Tunggal Ika sangat kaya akan makna, yang menegaskan bahwa Indonesia terdiri dari aneka macam perbedaan baik secara agama, suku, bahasa, budaya, maupun lainnya. Namun, walaupun terdiri dari aneka macam perbedaan, Indonesia tetap satu, yaitu Indonesia yang majemuk.
Dengan demikian, Indonesia sesungguhnya dibangun di atas rasa tenggang rasa dan toleransi antarwarga yang berbeda-beda.

Tanpa adanya toleransi dan saling tenggang rasa, aneka macam perbedaan yang ada bisa memecah Indonesia yang satu menjadi kepingankepingan kecil. Semoga hal itu tidak pernah terjadi dalam perjalanan Indonesia ke depan. Dalam beberapa waktu terakhir, keindonesiaan kerap mendapatkan tantangan yang harus diwaspadai bersama.
Kelompok-kelompok ekstrem dan teroris, contohnya, kerap mengabaikan keindonesiaan sebagai akibat dari keberagamaan ekstrem yang mereka yakini. Hingga mereka bercita-cita dan berjuang untuk mengganti negara Pancasila dengan negara agama. Bahkan tak sedikit dari mereka yang mengharamkan penghormatan terhadap bendera Merah Putih dan simbol-simbol negara lainnya.

Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan ne gara sekuler. Indonesia tidak pernah menghalang-halangi rakyatnya untuk beragama dan menjalankan ajaran agamanya secara utuh karena tak ada ajaran agama yang membolehkan aksi kekerasan secara tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, Indonesia melarang keras segala perbuatan yang melecehkan agama dengan semua simbolnya mengingat perbuatan itu dipastikan bisa menimbulkan gesekan dan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat. Hingga, gesekan dan kesalahpahaman yang ada bisa berkembang menjadi sebuah konflik.

Itulah yang tidak dipahami kelompok-kelompok ekstrem seperti kelompok teroris.
Mereka kerap beranggapan bahwa Indonesia adalah n e g a ra k a f i r , m u s y r i k , dan sejumlah label buruk lainnya. Seakan-akan tidak pernah ada suara azan yang setiap saat mengalun syahdu di Indonesia. Begitu juga dengan bunyi lonceng gereja dan simbol-simbol keagamaan lainnya. Seakanakan tidak ada rumah ibadah dan hari raya keagamaan yang senantiasa dirayakan secara bersama-sama melalui hari libur nasional.
Kampanye kebangsaan Masa kampanye beberapa waktu mendatang sangatlah rentan. Banyak orang rela mengeluarkan banyak hal untuk mendapatkan kekuasaan di 2014 ini. Semoga mereka yang bertarung dalam Pemilu 2014 tidak sampai menghalalkan segala macam cara, apalagi sampai menutup mata dan hati sekaligus. Kepentingan yang lebih besar terkait dengan keberlang sungan hidup berbangsa yang damai dan toleran harus jauh dikedepankan ketimbang kepentingan pragmatis untuk mendapatkan kekuasaan.
Apalagi para calon pemimpin bangsa yang akan maju pada Pemilu 2014 (baik legislatif maupun presiden) senantiasa mengklaim demi perubahan dan masa depan Indonesia yang lebih baik.

D i s i n i l a h p e n t i n g ny a m e n g h i n d a r i k a m p a n y e negatif yang bisa menjadi sumbu konfl ik, khususnya bila terkait dengan keagamaan, kesukuan, ataupun hal-hal primordial lainnya. Penting disadari bersama-sama, ne

g e r i y a n g majemuk seperti Indonesia menunjukkan adanya perbedaan yang sepadan dengan jumlah keragaman yang ada, baik dari segi suku, agama, keyakinan, maupun aliran.

Bagi kalangan menengah ke atas (khususnya secara pendidikan), segala perbedaan yang ada tentu akan disemai dalam rajutan toleransi

dan saling menghormati. Itu harapan kita semua. Namun, bagi masyarakat awam, segala perbedaan yang ada masih bersifat rentan bahkan cenderung tabu. Terlepas dari semua kekurangan yang ada, selama ini telah banyak aneka program yang dilakukan banyak pihak (baik pemerintah, kampus, pesan tren, ormas, LSM, ataupun unsur masyarakat lain) yang membawa semangat toleransi dan saling menghormati.

Oleh karenanya, kampanye para calon pemimpin bangsa ke depan harus memperkuat unsur-unsur pendidikan kebangsaan seperti tadi. Bukan justru membodohi masyarakat, apalagi memprovokasi untuk kepentingankepentingan pragmatis.
Menjaga keindonesiaan Keindonesiaan harus senantiasa dijaga dan diperhatikan secara bersama-sama.
Setidak-tidaknya karena tiga alasan utama. Pertama, keindonesiaan merupakan rahmat yang harus disyukuri. Disebut sebagai rahmat karena secara akal manusia, Indonesia yang sedemikian luas mengandung kekayaan alam yang luar biasa dan penuh dengan keragaman hampir mustahil bisa disatukan. Apalagi dalam kurun sekian abad para penjajah bercokol di atas Bumi Pertiwi secara silih berganti.
Hanyalah rasionalisasi takdir ilahi yang membuat Indonesia kemudian menjadi satu dan merdeka dari cengkeraman para penjajah.

Oleh karenanya, sebagai sebuah rahmat, keindonesiaan harus disyukuri bersama. Secara agama, syukur akan menambah bobot dari sebuah rahmat yang ada sebagaimana kerap disampaikan para ustaz dan ahli agama.
Namun, walaupun sebagai rahmat, keindonesiaan bu kanlah rahmat yang turun dari langit begitu saja.

Inilah hal kedua yang membuat keindonesiaan harus senantiasa dijaga secara bersama-sama.

Keindonesiaan ialah rahmat yang diperoleh melalui perjuangan se genap jiwa raga oleh para pejuang bangsa ini.

Baik pejuang yang be ragama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, ataupun agama lainnya. Semua nya bersatu padu untuk mencapai kemerdeka an Indonesia. Sebagai generasi penerus, kita semua berkewajiban menjaga keindonesiaan dan mengisi pencapaian yang telah diraih para pendiri bangsa. Tentu saja kerja berat meng isi keberhasilan para pendiri bangsa membu tuhkan kerja sama yang kuat dari semua pihak, sebagaimana para pendiri bangsa dahulu berhasil memerdekakan bangsa ini melalui semangat kebersamaan. Tanpa adanya kebersamaan, bukan tidak mungkin yang akan terjadi ialah perpecahan dan permusuhan. Hingga, kehidupan berbangsa dan bernegara semakin jauh dari cita-cita luhur yang hendak diwujudkan para pendiri bangsa.

Pada tahap tertentu, aksi kelompok teroris dapat disebut sebagai upaya memecah belah kesatuan bangsa ini.
Melalui semangat keagamaan ekstrem, mereka kerap menihilkan keindonesiaan. Bahkan tak jarang mereka melabeli Indonesia dengan pelbagai macam istilah yang buruk, sebagaimana telah disampaikan.

Ketiga, keindonesiaan menegaskan dan mengedepankan perdamaian ketimbang pilihan lain-lain yang bersifat konfliktual. Mengabaikan keindonesiaan sama halnya dengan mendorong segenap perbedaan yang ada di tengahtengah masyarakat menjadi bola-bola konflik yang dapat meledak setiap saat.

Padahal, Indonesia terdiri dari aneka macam perbedaan.
Segala macam perbedaan yang ada mempunyai dua potensi secara bersamaan, yaitu konflik dan saling menghormati. Dengan kata lain, segala macam perbedaan yang ada di Indonesia sangat berpotensi berubah menjadi sebuah konflik yang berdarah-darah, sebagaimana segala macam perbedaan yang ada juga sangat berpotensi menjadi semangat menuju terwujudnya kehidupan yang penuh harmoni.

Di sinilah pentingnya perspektif keindonesiaan. Sebagai sebuah perspektif, ke i n d o n e s i a a n m e m b u a t potensi saling menghormati lebih berpeluang jika dibandingkan dengan potensi konflik dalam kehidupan yang penuh dengan perbedaan seperti di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan, keindonesiaan merupakan semangat toleransi dan saling menghormati dalam kehidupan yang majemuk. Melalui semangat keindonesiaan, aneka macam perbedaan bisa menjadi sebuah gemerlap hidup yang penuh dengan warna-warni indah. Mari bersama-sama kita menjaga keindonesiaan.

Sumber: Media Indonesia 28 Fabruari 2014

Sekilas info: Jadwal Tahapan Pemilu 2014

Sekilas info: Jadwal Tahapan Pemilu 2014:

Pemilu Legislatif :
1. Tgl 16 Maret - 05 April : Masa Kampanye
2. Tgl 06 - 08 April : Masa Tenang
3. Tgl 09 April : Pemungutan Suara
4. Tgl 07 - 09 Mei : Penetapan Hasil Pemilu Nasional
5. Tgl 11 - 17 Mei : Penetapan Perolehan Kursi & Calon terpilih Anggota DPR
dan DPD
6. Bln Juli - Oktober : Pengucapan Sumpah Janji

Pemilu Presiden & Wapres :
1. Tgl 16 - 13 Mei : Penetapan DPT Nasional
2. Tgl 10 - 16 Mei : Pendaftaran Paslon
3. Tgl 05 - 09 Juni : Penetapan Paslon
4. Tgl 14 Juni - 05 Juli : Masa Kampanye
5. Tgl 06 - 08 Juli : Masa Tenang
6. Tgl 09 Juli : Pemungutan Suara
7. Tgl 26 - 28 Juli : Penetapan Hasil Pemilu
8. Tgl 29 - 31 Juli : Pengajuan Gugatan Perselisihan Pemilu
9. Tgl 02 - 13 Agust : Penetapan Hasil Pemilu Pasca. Putusan MK
10. Tgl 15 - 24 Agust : Kampanye Putaran II
11. Tgl 09 Sept : Pemungutan Suara Putara II
12. Tgl 26 - 27 Sept : Penetapan Hasil Pemilu Putaran II
13. Tgl 27 - 29 Sept : Pengajuan Gugatan Perselisihan Pemilu Putaran II
14. Tgl 09 Okt : Penetapan Hasil Pemilu Pasca Putusan MK
15. Tgl 20 Okt : Pelantikan Pres dan Wapres terpilih.

"Mari SukSeskan Pemilu Demi Masa Depan NKRI"
*semoga bermanfaat*
gunakan hak pilihmu

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tri Dharma PT dan Karier Dosen (Suyono)

USUL Hendra Gunawan dari ITB (Kompas, 25/1) agar urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi ditinjau ulang sungguh menarik.
Hendra menguraikan bahwa tugas utama perguruan tinggi (PT) adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Jadi, pelaksanaan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat merupakan fungsi lanjutan setelah penelitian dan pengembangan iptek dilaksanakan dengan baik.

Dengan pemahaman seperti itu, idealnya pendidikan dan penelitian wajib berbasis penelitian sehingga urutan Tri Dharma PT yang tepat: penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat. Peninjauan urutan itu mendesak dilakukan agar perhatian semua pihak terhadap penelitian berubah sehingga mutu dan produktivitas penelitian meningkat dan pengembangan iptek di Indonesia dapat dipercepat.

Perubahan paling awal sehubungan dengan itu adalah  perku- liahan dan pengabdian akan lebih baik karena berbasis riset. Dengan urutan baru itu, dosen dituntut lebih sering meneliti dengan kualitas terus meningkat juga. Perlu payung hukum baru mengubah urutan itu: peraturan menteri atau peraturan presiden.

Tak ada peraturan perundangan yang dilanggar jika urutan diubah. Memang urutan tak ser- ta-merta mengubah gairah dan produktivitas penelitian dosen. Namun, paling tidak ia dapat menciptakan kondisi baru, apala- gi jika ada pilihan karier dosen yang lebih jelas dan terukur seba- gai kebijakan lanjutan.  

Pada kebijakan lanjutan itu, misalnya, ada tiga jalur karier do- sen yang perlu dirancang siste- matis dan konsisten sejak awal: dosen peneliti dan pengabdi, dosen pendidik, dan dosen birokrat. Karena itu, sejak jadi dosen (asisten ahli), awalannya adalah placement test. Tes ini diberikan setelah diadakan penjelasan dan si- mulasi melalui lokakarya di kampus masing-masing. Dengan tiga jalur itu, proporsi beban satuan kredit semester (SKS) berbeda-beda, sesuai dengan jenis jalur yang dipilih dosen.

Pindah jalur
Untuk dosen peneliti dan pe- ngabdi, misalnya, bidang peneli- tian dan pengabdian setiap semester minimal 9-10 SKS, perkuliahan 6 SKS. Untuk dosen pendidik, perkuliahan minimal 9-10 SKS, penelitian dan pengabdian 6 SKS. Untuk dosen birokrat, perkuliahan dan penunjang minimal 9-10 SKS, penelitian dan pengabdian 6 SKS. Dengan demikian, jumlah beban SKS setiap dosen, jalur mana pun yang dipilih, berada pada rentangan 15-16 SKS.

Sebagai ilustrasi, karena dia- wali dengan placement test, yang menjadi ketua jurusan, misalnya, adalah yang hasil tes manajeri- alnya paling tinggi. Yang jadi dekan, selain hasil placement test paling tinggi, harus pernah jadi wakil dekan atau ketua jurusan. Dan seterusnya sampai ke rektor. Diharapkan kinerja dosen lebih baik, jelas, dan berkualitas sesuai dengan potensi dan pengalaman masing-masing. Sementara itu, yang jadi dosen peneliti benar- benar produktif dan karyanya bermutu. Demikian juga yang menjadi dosen pendidik.

Penjurusan karier dosen, misalnya, dimulai sejak masa kerja tiga tahun, yakni setelah dosen memiliki jabatan fungsional terendah, asisten ahli. Saat prajabatan atau setiap tahun diadakan penjelasan "penjurusan itu" dan disampaikan oleh pemimpin. Bisa dan boleh pindah jalur, dengan syarat sudah 3-5 tahun di jalurnya dan gagal atau tidak produktif dan ada potensi besar di jalur baru. Namun, yang pindah jalur ke dosen birokrat harus tetap melewati jabatan terendah: ketua jurusan.

Perlu dicatat, mengingat formasi jabatan itu sangat terbatas, sekalipun memilih jalur dosen birokrat, ia belum tentu jadi peja- bat. Artinya, tetap ada kompetisi dan seleksi yang ketat untuk memperoleh pejabat yang terba- ik. Hal itu juga berlaku pada jalur dosen peneliti. Sekalipun memilih jalur dosen peneliti, belum tentu ia menjadi peneliti andal dan sangat produktif. Namun, penelitiannya seharusnya lebih banyak daripada dosen yang memilih jalur dosen pendidik.

Pindah jalur, selama jadi dosen, paling banyak dilakukan tiga kali, paling cepat tiga tahun setelah berada di jalur sebelumnya, dan paling lambat 10 tahun sebelum pensiun. Misalnya, jika dosen (bukan guru besar) pensiun pada usia 65 tahun, semula memilih jalur dosen peneliti dan sangat produktif sampai dengan usia 50 tahun bisa saja setelah itu ia pindah jalur ke dosen birokrat. Karena kinerjanya baik, ia terpi- lih jadi ketua jurusan selama empat tahun. Setelah itu, di usia 54 tahun terpilih jadi dekan dan karena kinerjanya amat baik pada usia 58 tahun jadi rektor.

Jadi, di jalur karier mana pun, setiap dosen mestinya mencapai kinerja terbaik dengan kesempatan adil untuk semua. Dengan tiga jalur itu, karier dosen lebih jelas, terukur, dan kinerjanya akan lebih baik karena sistemnya jelas dan terbuka untuk dipilih, pindah jalur, atau pilihan karier.

Ilustrasi lebih teknis: ketika pilihannya pejabat, yang berhak untuk dipilih adalah mereka yang berada di jalur dosen birokrat atau dosen peneliti untuk ketua lembaga penelitian/pengabdian kepada masyarakat. Dengan kondisi ini pula kompetisi lebih sehat dan iklim kerja diharapkan juga lebih baik. Berkarier di jalur dosen peneliti juga menjanjikan.

Yang kurang menjanjikan adalah yang berkarier di dosen pendidik. Dalam kenyataannya, memang ada dosen yang "bakatnya" hanya mengajar dengan sedikit meneliti dan mengembangkan ilmu. Sementara yang lain sangat berbakat meneliti dan mengembangkan ilmu, mengajarnya hanya untuk pelengkap.

Sekelompok lain berbakat jadi birokrat, mengajar dan meneliti sebagai pelengkap. Kelompok ini tak banyak, sejajar dengan sedikitnya kebutuhan tenaga birokrat.

Jika tawaran kebijakan ini dipilih, semua terkondisi bekerja maksimal. Tidak seperti yang terjadi saat ini, yang jadi birokrat mungkin sebagian kurang sepenuh hati menjalankan tugasnya. Demikian juga yang tanpa tugas tambahan, sebagian kurang sepenuh hati mengajar dan meneliti karena ketiadaan jalur karier yang jelas.

Suyono, Guru Besar Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®

KPK Tak Usah Galau (Harkristuti Harkrisnowo)

HARI-hari ini media membahas dilanjutkan atau tidaknya pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai tuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi dan para pegiat anti korupsi.
Pernyataan bahwa kedua RUU ini akan menggerogoti KPK tentu membuat semua orang Indonesia berang. Lalu apakah sumber kegaduhan sebenarnya? Sungguhkah ini manuver politik untuk mendebilitasi KPK?

RUU KUHP sebenarnya bukan RUU yang muncul kemarin sore, tetapi sudah dirancang sejak awal 1970-an untuk menggantikan KUHP sekarang yang sudah berlaku 1915. Tim perancang dipimpin para profesor hukum pidana, dari Prof Sudarto hingga Prof Muladi.

Upaya rekodifikasi dan unifikasi memakan waktu lama dengan banyak perdebatan sengit. Namun, semua sepakat bahwa RUU KUHP perlu untuk menegakkan kembali nilai-nilai dasar sosial (basic social values), berperan sebagai ultimum remedium, dan menjunjung HAM.

Tahun 1986 Buku I selesai. Buku II selesai 1993 dan diserahkan Prof Mardjono kepada Menteri Kehakiman. Namun, upaya Menteri Kehakiman berikutnya, Muladi, agar dibahas di DPR tidak berhasil. Tahun 2004 dibentuk tim RUU KUHP di bawah Prof Muladi untuk menyempurnakan dan harmonisasi empat misi utama: dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, serta harmonisasi dan humanisasi.

Baru pada akhir 2012 RUU KUHP diserahkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diteruskan ke DPR pada 11 Desember 2012.

RUU KUHAP relatif baru karena beranjak dari KUHAP tahun 1981. Tim penyusun diketuai Prof Jur Andi Hamzah dan melibatkan elemen-elemen terkait. Walau ada perdebatan, penyusunan ini dilandasi kesepakatan bahwa penting sekali menegakkan
sistem peradilan kriminal terintegrasi (the integrated criminal justice system) dengan kesamaan asas yang menjunjung tinggi HAM sebagaimana dimandatkan Konstitusi, serta pentingnya mekanisme kontrol guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

Berbagai instrumen HAM internasional juga dijadikan acuan, misalnya Konvensi Anti Penyiksaan, Pendanaan Terorisme, dan Konvensi Korupsi.

Akar polemik
Lalu apa akar polemiknya? Bermula dari pandangan KPK bahwa pembahasan kedua RUU akan mengurangi bahkan menghilangkan kewenangan KPK. Padahal, RUU KUHP bukan semata-mata mengatur korupsi. Dari 766 pasal, hanya 15 pasal tentang korupsi.

RUU KUHP adalah upaya mengindonesiakan KUHP eks penjajah, yang mengatur sebagian besar tindak pidana: mulai dari pengemisan, penganiayaan, pemerkosaan, pencurian, penghinaan, pembunuhan, perdagangan orang, hingga pelanggaran HAM berat. Korupsi tentu penting diatur, tapi apakah pembahasan terhadap 751 pasal—termasuk 211 pasal dalam Buku I tentang Ketentuan Umum—harus ditunda demi menanti pembahasan 15 pasal korupsi? Apalagi ada Pasal 211 yang memberi peluang mengatur lex specialis di luar KUHP,

RUU KUHAP memuat aturan mengenai tata cara polisi mulai dari penangkapan, penahanan, pemeriksaan, sampai lembaga pemasyarakatan, yang berlaku untuk semua tindak pidana, bukan hanya untuk korupsi. Bahkan, hukum acara pidana untuk penanganan korupsi telah diatur secara khusus dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU KPK. Tidak mungkin penanganan perkara pencurian atau penganiayaan sama dengan korupsi. Lex specialis juga dibuka peluangnya dalam Pasal 3 Ayat (2) RUU KUHAP.

Intinya, Pasal 211 RUU KUHP dan Pasal 3 Ayat (2) RUU KUHAP ini mematahkan argumentasi bahwa dengan berlakunya kedua UU ini kelak maka UU pidana di luar KUHP menjadi hilang. Justru kedua RUU ini kelak bila diberlakukan merupakan lex generalis atau ketentuan umum, tetapi eksistensi UU pidana khusus lain yang berperan sebagai lex specialis tetap diakui.

Maka tak akan terjadi penghapusan UU ataupun delegitimasi keberadaan lembaga seperti KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan lain-lain. Tidak betul pendapat KPK bahwa kedua pasal pengecualian hanya berlaku bagi tindak pidana perbankan dan perpajakan.

Harus diakui perancang RUU KUHP luput merumuskan kedua tindak pidana dalam ranah hukum administrasi ini. Namun, lex specialis umumnya lebih ditujukan pada hukum yang masuk dalam satu genre, dalam hal ini hukum pidana UU pidana murni seperti UU Tipikor, Pencucian Uang, Pengadilan HAM, dan Terorisme. Dikatakan oleh Silvia Zorzetto (2012), "…lex specialis… is often used to solve redundancy in law… a tool to prevent the simultaneous application of special and general compatible rules." Tak mungkin ada lex specialis manakala tidak ada lex generalis. Pengaturan delik pokok diperlukan dalam RUU KUHP, diatur lebih khusus dalam UU sektoral.

Kejahatan luar biasa
Istilah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dalam hukum internasional adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi. Konvensi PBB tentang korupsi tak memakai istilah itu walau sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan yang mengurangi kualitas hidup manusia.

Menempatkan UU Tipikor dan UU KPK sebagai lex specialis, bukan hanya hukum materiil tentang korupsi yang diatur, melainkan juga hukum acara pidana. Karenanya, penyelidikan (Pasal 43 dan 44 UU KPK), penyitaan (Pasal 47), dan penyadapan (Pasal 12), sebagian dari kewenangan KPK saat ini, tidak akan diderogasi RUU KUHAP.

Walau demikian, tetap harus diperhatikan bahwa mekanisme kontrol urgen untuk memastikan akuntabilitas penegak. Jika KPK memandang Hakim Pemeriksa Pendahuluan terlampau restriktif, misalnya, harus dicarikan solusi agar KPK tidak dipandang sebagai lembaga yang anti kontrol atau control-proof.

Kegalauan KPK akan potential elimination dengan demikian sebenarnya tidak perlu terjadi. KPK masih diperlukan memberantas kejahatan korupsi.

Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Hukum UI

Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menumpas Pemberantasan Korupsi (Bambang Widjojanto)

BANGSA ini tampaknya tidak cukup serius melakukan pemberantasan korupsi. Indikasi atas kesimpulan itu sangat jelas. Revisi Kitab Hukum Pidana yang disampaikan Presiden kepada DPR pada 11 Desember 2012 telah mengabaikan dan bahkan mengingkari tuntutan rakyat yang menjadi dasar spiritualitas ditumbangkannya rezim koruptif dan nepotistik Orde Baru dan lahirnya rezim Reformasi.
Tuntutan rakyat itu dijustifikasi melalui Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 dan Ketetapan MPR Nomor VIII Tahun 2001 yang menegaskan, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, perlu dibentuk lembaga yang khusus menangani anti korupsi, pencucian uang, perlindungan saksi, dan pembuatan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Perubahan adalah keniscayaan sehingga revisi atas suatu perundangan adalah hal yang lazim, tetapi semua revisi itu terbuka untuk disikapi secara kritis dan dikaji oleh berbagai pihak, termasuk oleh KPK.

Tak jadi rujukan
Lihatlah naskah akademik yang menjadi dasar revisi KUHP itu, ternyata kedua TAP MPR di atas tidak dijadikan rujukan sama sekali. Begitupun berbagai perundangan materiil lain, antara lain UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan perundangan yang mengatur lembaga tertentu seperti UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor serta perundangan lain tidak dikaji secara mendalam dan menjadi bagian penting dalam naskah akademik yang kemudian perlu diserap dalam revisi KUHP.

Yang perlu mendapat perhatian, naskah akademik seperti tersebut dalam publikasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) 2012, menurut jawaban surat Menteri Hukum dan HAM, sudah disiapkan sejak 1982 dan karena itu rujukan referensinya sebagian besar buku-buku terbitan di bawah tahun 2000-an. Bahkan, ada buku terbitan lama sekali yang dijadikan rujukan, seperti Studies Comparative Criminal Law (1874), The Dilemma of Penal Reform (1939), dan Sentencing in Magistrate Court (1962). Apakah ini mungkin karena buku referensi tersebut tak tergantikan hingga masih tetap jadi rujukan? Bukankah ada cukup banyak referensi baru yang memperdebatkan topik seperti dalam buku di atas? Bersyukur ada buku yang agak baru yang dipakai sebagai rujukan, yaitu Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (2009), meski tidak jelas sudah cetakan yang ke berapa.

Kita belum tahu apakah buku-buku mutakhir mengenai perkembangan modus operandi kejahatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang serta perkembangan teori pidana dan pemidanaan yang menjadi referensi rujukannya juga digunakan sebagai dasar referensi naskah akademik. Belum lagi jika ditanyakan apakah pengalaman dan pengetahuan terbaik dari lembaga penegakan hukum di Indonesia dan internasional telah cukup digali, dikaji dan dipertimbangkan, serta diabstraksi jadi kerangka masukan dalam naskah akademik agar perumusan pasal-pasal revisi bisa kompatibel dan antisipatif atas perkembangan modus kejahatan yang kian canggih.

Pertanyaan dasar yang perlu diajukan, apakah benar revisi KUHP tidak mendekonstruksi dan mendelegitimasi sifat extraordinary dari kejahatan korupsi menjadi tindak pidana umum? Apakah benar UU Tipikor tetap menjadi UU yang tetap bersifat lex specialis sesuai revisi KUHP?

Kesimpulan dalam naskah akademik menyatakan secara tegas: "… pembentukan hukum pidana di luar KUHP telah menyimpangi ketentuan umum hukum pidana… dalam kenyataannya membentuk hukum pidana sendiri di luar KUHP… mengakibatkan terjadi problem hukum pidana pada level normatif dan praktik penegakan hukum pidana. Keadaan… diperparah dengan dibentuknya lembaga/ institusi baru yang bersifat independen yang diberi wewenang untuk melakukan penegakan hukum dan pembentukan pengadilan baru…". Kesimpulan itu menegaskan: "…kebijakan kodifikasi menjadi pilihan yang tepat dan meniadakan hukum pidana khusus yang dimuat dalam undang-undang di luar kodifikasi…".

Jadi, sudah disimpulkan bahwa pembentukan lembaga baru, yaitu KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan lainnya, termasuk pengadilan yang bersifat independen, telah merusak sistem hukum pidana yang ada. Apakah kesimpulan ini tak terlalu terburu-buru dan terlalu percaya diri (overconfident) karena diputuskan secara sepihak, elitis, dan eksklusif hanya oleh tim perumus, tidak melibatkan kalangan ahli yang lebih luas dengan multiexpertise, para users dalam perundangan ini, dan masyarakat yang kelak akan mendapatkan dampak dari pengaturan revisi ini. Padahal, perundangan yang hendakdirevisi menyangkut hajat hidup orang banyak.

Apabila kesimpulan di atas dikaitkan dengan pernyataan halaman 158 naskah akademik yang mengemukakan, "… kebijakan kodifikasi merupakan pilihan yang tepat dan meniadakan hukum pidana khusus yang dimuat dalam undang-undang di luar kodifikasi… ". Oleh karena itu, yang diambil kebijakan kodifikasi tertutup dan ditetapkan menjadi pilihan oleh perumus naskah akademik. Itu artinya revisi KUHP akan melakukan penghapusan tindak pidana di luar KUHP yang sekaligus penghapusan hukum pidana khusus, termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang perlu diatur dalam UU yang bersifat lex specialis. Konsekuensi logis lanjutannya, bukan tidak mungkin kelak akan dilakukan penghapusan lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan khusus di bidang pemberantasan korupsi, termasuk pengadilan tipikor. Dengan demikian, pernyataan Menteri Hukum dan HAM dan pejabat lain bahwa UU Tipikor akan diatur secara lex specialis adalah tidak benar. Fakta bahwa pemberantasan korupsi dan lembaga yang diberi mandat untuk itu dilemahkan dan diamputasi adalah sesuatu yang tak terbantahkan.

Kodifikasi tertutup
Hal lain yang penting diperhatikan, model kodifikasi tertutup yang dianut oleh revisi KUHP menegaskan dan menekankan bahwa dalam suatu hukum nasional hanya ada satu sistem hukum pidana dan serta-merta meniadakan pengaturan hukum pidana di luar kodifikasi. Perkembangan jenis kejahatan dan peningkatan modus operandi tidak akan bisa diakomodasi oleh kodifikasi model tertutup. Oleh karena itu, KPK memilih kodifikasi model terbuka karena masih terbuka ruang dan kesempatan untuk mengatur hal-hal khusus yang tidak cukup diatur dengan adanya perkembangan kejahatan selain dari yang diatur di kodifikasi. Lebih-lebih kejahatan korupsi yang masih sangat masif dan bersifat sangat terorganisasi dan kejahatan transnasional, maka dapat dipastikan dengan penanganan atas hukum acara yang bersifat umum dan strategi penanganan yang biasa-biasa saja tidak akan dapat "menaklukkan" korupsi.

Pilihan atas kodifikasi tertutup menyebabkan pengaturan tindak pidana khusus seperti korupsi, pencucian uang, terorisme, HAM, dan narkotika diatur di dalam Buku II Revisi KUHP, kecuali tindak pidana perbankan dan perpajakan. Tim perumus KUHP menggunakan kriteria tertentu untuk menarik masuk suatu jenis tindak pidana khusus ke dalam kodifikasi, yaitu: (1) suatu perbuatan jahat yang bersifat independen; (2) daya berlakunya relatif lestari karena tak berkaitan dengan masalah prosedur atau proses administrasi; dan (3) ancaman hukumannya lebih dari satu tahun pidana perampasan kemerdekaan.

Pada kenyataannya, tim perumus tidak mendefinisikan secara utuh dan menyeluruh pengertian pokok yang dijadikan kriteria tersebut di atas; dan pada konteks tipikor ada banyak tindak tipikor yang terjadinya sangat bergantung pada pelanggaran norma di bidang hukum administrasi sehingga memengaruhi penilaian atas terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan demikian, korupsi seyogianya tidak dapat dimasukkan ke dalam kodifikasi Buku II Revisi KUHP.

Selain itu, ketentuan yang tersebut di dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia dan juga "katanya" digunakan sebagai rujukan revisi KUHP tidak hanya telah menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga menjelaskan dampak luar biasa yang disebabkan oleh kejahatan itu. Misalnya: runtuhnya kepercayaan publik pada birokrasi pemerintahan dan lembaga penegakan hukum, rusaknya nilai etika dan keadilan serta prinsip demokrasi, pelanggaran atas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat selain menghalangi terwujudnya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Karena itu, diperlukan upaya dan sarana yang luar biasa dan tentu saja diperlukan aturan khusus pidana materiil dan hukum acara yang khusus pula.

Beberapa kemunduran
Ada beberapa hal yang dapat dikategorisasikan sebagai suatu kemunduran atas pengaturan pasal tertentu di dalam Buku I KUHP, misalnya: (1) tentang percobaan pidana. Revisi KUHP mengatur perluasan definisi percobaan bukan hanya permulaan pelaksanaan, melainkan juga hingga perbuatan persiapan. Perluasan itu tidak diperlakukan untuk tindak pidana korupsi dan justru diperlukan untuk tindak terorisme; (2) dalam pembantuan. Dalam UU Tipikor, ada suatu norma bahwa pihak yang melakukan pembantuan diancam sama dengan ancaman terhadap pelaku tindak pidana, tetapi di dalam revisi KUHP norma khusus tadi justru dihilangkan.

Kemudian (3) tentang pidana dan pelaksanaan pidana. Pada revisi KUHP ternyata tidak diatur tentang sanksi pidana pembayaran uang pengganti sebagaimana dikenal dalam Pasal 18 UU Tipikor. Tujuan esensial dari UU Tipikor untuk mengembalikan kerugian negara sebanyak-banyaknya tidak dirumuskan dalam revisi; (4) rumusan Pasal 20 UNCAC yang mengatur Illicit Enrichment, yaitu peningkatan kekayaan yang luar biasa dan tidak dapat dipertanggungjawabkan belum dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi; dan Pasal 22 UNCAC mengenai Embezzlement of Property in Private Sector justru dirumuskan sebagai tindak pidana penggelapan bukan tindak pidana korupsi.

Ada cukup banyak hal yang perlu diajukan dan semuanya ada dalam kajian KPK atas revisi KUHAP yang segera dipublikasikan oleh KPK. Akhirnya, seluruh uraian di atas dapat menjawab pertanyaan dasar yang diajukan, revisi KUHP ternyata dapat mendekonstruksi dan mendelegitimasi pemberantasan korupsi. Sifat extraordinary dari kejahatan korupsi akan berubah menjadi tindak pidana umum dan kehilangan sifat lex specialis-nya dan lembaga yang mempunyai mandat untuk melaksanakan pemberantasan korupsi akan kehilangan dasar legalitasnya seperti tersebut di dalam revisi KUHP.

Semoga kita tidak bermain-main dengan kata dan pernyataan atas suatu revisi perundangan yang menyangkut hajat hidup banyak orang dan kepentingan atas bangsa dan negara ini. Optimisme pemberantasan korupsi harus terus dihidupkan meski hujan badai dan gelegar petir korupsi terus menghantam persada dari negeri tercinta.

Bambang Widjojanto, Komisioner KPK

Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Tidak Perlu Dipaksakan (Kompas)

PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang KUHAP dan KUHP telah memicu kontroversi meluas. Kedua draf itu disiapkan oleh pemerintah.
Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyampaikan keberatan. Dalam pikiran pimpinan KPK, revisi RUU KUHAP dan KUHP akan melumpuhkan KPK. Salah satu pasal yang memberatkan KPK adalah hilangnya pasal penyelidikan serta penyadapan yang harus minta izin hakim pemeriksa. Keberatan hilangnya aturan penyelidikan juga datang dari Kepala Polri Jenderal Sutarman.

Sejarah mencatat, pengungkapan korupsi oleh KPK diawali dengan penyelidikan dengan instrumen penyadapan. Kasus gratifikasi yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar tak akan terungkap jika kewenangan penyelidikan dihapus. Korupsi yang melibatkan ketua umum parpol, anggota DPR, pengusaha, hakim, penyelenggara negara, dan advokat tak akan terungkap tanpa penyelidikan.

RUU KUHAP dan KUHP bukan hanya mengatur soal korupsi. Ada ratusan pasal di sana dalam draf yang sudah disiapkan begitu lama bahkan sebelum KPK lahir. Hampir setiap menteri kehakiman punya obsesi mengegolkan kedua RUU tersebut. Namun, kita melihat sebagaimana tecermin dalam analisis KPK, ada muatan pelemahan KPK dalam kedua draf itu. Ada pertautan kepentingan di antara sejumlah pihak untuk melemahkan KPK.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana dikatakan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menegaskan tidak punya niat melemahkan KPK. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, seperti dikutip media, mengatakan, "RUU KUHAP dan RUU KUHP merupakan ketentuan umum sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan."

Namun, naskah akademik RUU KUHAP punya semangat berbeda. "Penyadapan pun dilakukan dengan perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat izin hakim komisaris. Dengan demikian, tidak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin hakim komisaris". Para penyusun naskah akademik bahkan memberikan titik tekan pada frase "tidak kecuali, KPK...."

Berbagai upaya mengamputasi KPK terus dikerjakan. Sebelum Akil ditangkap, UU KPK berulang kali dimintakan uji materi ke MK. UU Korupsi berulang kali coba direvisi. Saat ini, menjelang Pemilu 9 April 2014, pembahasan RUU KUHAP dan KUHP bukanlah waktu yang tepat. Anggota DPR lebih konsentrasi ke pemilu. Repotnya lagi, sejumlah anggota DPR diselidiki KPK terkait korupsi. Ada konflik kepentingan anggota DPR saat membahas RUU KUHAP.

Di tengah kecurigaan politik yang tinggi, kita sarankan pembahasan RUU KUHAP dan KUHP ditunda sampai terbentuk pemerintahan dan DPR baru. Ditundanya pembahasan RUU KUHP dan KUHAP toh tidak akan menjadikan Indonesia kekosongan hukum pidana.

Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Lagi-lagi, Israel Bermain Api (Kompas)

TERBAYANG jelas bahwa proses perdamaian Timur Tengah, antara Israel dan Palestina, akan semakin rumit setelah Parlemen Israel mengusik Masjid Al Aqsa.
Hari Selasa lalu, Parlemen Israel, Knesset, memulai sesi debat untuk memaksakan kedaulatan Israel atas Kompleks Masjid Al Aqsa di Jerusalem. Tindakan Knesset itu segera memancing reaksi keras dari Jordania dan Palestina.

Parlemen Jordania membalas dengan menyetujui mosi untuk mengusir Duta Besar Israel untuk Jordania Daniel Nevo dan menarik duta besarnya dari Israel. Di Kompleks Al Aqsa juga pecah bentrokan antara polisi Israel dan polisi Palestina serta para demonstran Palestina.

Ibarat kata, Israel bermain api: mengobarkan api permusuhan dan mempertebal kebencian dari tidak hanya rakyat Palestina, tetapi juga Jordania. Inilah tindakan provokatif. Tindakan itu tidak hanya akan menciptakan atmosfer yang akan menyuburkan tindak kekerasan, kebencian, tetapi juga meningkatkan konflik.

Ada sementara pihak di Israel yang beranggapan atau bahkan mengklaim bahwa kawasan Temple Mount adalah bagian dari Israel yang direbut dari Jordania pada Perang 1967. Meskipun, sebenarnya lewat traktat perdamaian antara Israel dan Jordania 1994 disepakati bahwa Jordania mendapat hak untuk memelihara dan mengelola semua situs tempat suci umat Islam di Jerusalem Timur itu.

Bahkan, pada 31 Maret 2013, Jordania dan Palestina menandatangani "Kesepakatan Bersama untuk Mempertahankan Masjid Al Aqsa". Inti kesepakatan itu adalah mengakui bahwa Raja Jordania adalah pemelihara dan penjaga tempat-tempat suci di Jerusalem. Dengan demikian, Kompleks Masjid Al Aqsa termasuk di antaranya.

Isu Jerusalem—yang di dalamnya mencakup nasib Jerusalem ke depan, kawasan Al-Haram Al-Sharif atau Temple Mount yang di sana berdiri Masjid Al Aqsa dan The Dome of The Rock, Tembok Barat, tempat-tempat suci lainnya—merupakan isu paling inti dalam konflik Israel-Palestina. Dan, karena itu paling sulit serta paling krusial penyelesaiannya.

Saat Perundingan Camp David II (2000), masalah tersebut pernah dibicarakan antara PM Israel Ehud Barak dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat dengan penengah Presiden AS Bill Clinton. Namun, perundingan tersebut tidak membuahkan hasil, termasuk tidak tercapai kesepakatan tentang kawasan Temple Mount. Dalam pertemuan Annapolis, masalah tersebut dibahas lagi, dan lagi-lagi tidak tercapai kesepakatan.

Akan tetapi, sebenarnyalah, kalau saja Israel memegang teguh perjanjiannya dengan Jordania, tidak akan muncul persoalan baru berkait dengan Masjid Al Aqsa. Di sinilah persoalannya: Israel mengingkarinya. Bisa diperkirakan bahwa tindakan Israel itu harus dibayar mahal. Artinya, perdamaian pun semakin jauh dari jangkauan.

Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 27 Februari 2014

Customer-Based Brand Equity (AGUS W SOEHADI)

Oleh AGUS W SOEHADI, Pengamat Pemasaran Prasetiya Mulya Business School

Dalam waktu dekat Kevin Keller akan mengunjungi Indonesia. Keller bersama Aaker mempengaruhi cara pandang pemasar dalam pengelolaan brand. 

Jika sebelumnya brand merupakan bagian dari produk manajemen, sekarang beberapa perusahaan mulai menempatkan pengembangan dan pengelolaan produk bagian dari brand management. Salah satu argumentasinya adalah brand merupakan salah satu aset/ekuitas yang bernilai bagi perusahaan. Untuk itu, aktivitas pemasaran harus ditujukan untuk memperkuat ekuitas brand. Kontribusi utama Keller adalah menawarkan model customer- based brand equity(CBBE) bagi praktisi pemasaran dalam membangun ekuitas brand. 

Kekuatan dari model ini adalah penggunaan pendekatan disiplin manajerial. Pendekatan ini akan mempermudah praktisi pemasaran dalam merumuskan aktivitas dalam membangun ekuitas brand. Pendekatan yang ditawarkan oleh Keller seperti pendekatan yang dilakukan Kotler pada 1960-an untuk marketing management. Walaupun sudah lebih dari 50 tahun, pendekatan Kotler masih mendominasi cara berpikir praktisi pemasaran. 

Brand dikatakan memiliki ekuitas tinggi jika brand tersebut mampu mengapitalisasi pendapatan atau ”cash flows” jauh lebih baik dibanding tanpa adanya brand. Menurut hasil penelitian Davis (2000) menyimpulkan bahwa 72% dari konsumen mau membayar harga 20% lebih mahal untuk brand yang dipilihnya, relatif terhadap brandkompetitor terdekat; 25% konsumen menyatakan bahwa harga bukan menjadi masalah ketika membeli brand yang disukai; lebih dari 70% konsumen menggunakan brand sebagai petunjuk pembelian produk. 

Disiplin yang ditawarkan oleh Kevin Keller (2013) didasari atas empat pertanyaan utama. Pertama, seberapa jauh perusahaan dapat secara jelas merumuskan identitas brand (who are you?). Kedua, seberapa jauh perusahaan dapat mengembangkan kombinasi atribut performa dan imageryyang memperkuat identitas brand (what are you?). Ketiga, bagaimana tanggapan konsumen baik rasional maupun emosional terhadap identitas yang ditawarkan oleh brand (what about you?). 

Keempat, seberapa jauh interaksi yang terjadi antara konsumen dan brand menyebabkan ikatan di antara keduanya menjadi lebih kuat (what about you and me?) Tulisan ini mencoba untuk mengkaji lebih jauh masingmasing pertanyaan tersebut. 

*** Pertanyaan pertama terkait dengan seberapa jauh perusahaan dapat merumuskan identitas brand secara tepat. Identitas yang tepat akan berpengaruh terhadap brand awareness. Untuk itu aspek yang terkait dengan peningkatan brand awareness menjadi penting seperti: seberapa jauh brand mudah dikenal dan diingat? Jenis ”cues” dan ”reminders” apa yang digunakan? Seberapa jauh brand tersebut mudah diucapkan? 

Pada tingkatan yang lebih luas, keberhasilan membangun brand awareness sangat tergantung kepada seberapa jauh pelanggan mengerti bahwa brand tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sebagai contoh, S-1 Bisnis Prasetiya Mulya, identitas yang dikembangkan pada saat awal peluncurannya adalah pengusaha muda yang sukses. Identitas ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan anak-anak muda yang sukses berusaha dan mandiri secara finansial. 

Pertanyaan kedua terkait dengan seberapa jauh konsumen mengerti dan mempunyai asosiasi yang positif terhadap identitas brand. Asosiasi dapat dibentuk melalui pendekatan performa produk/layanan (brandperformance) atau pendekatan emosi atau personifikasi (brand imagery). Performa produk/ layanan berpengaruh terhadap pengalaman apa saja yang akan dirasakan oleh konsumen, apa yang mereka dengar, dan apa yang dapat diinformasikan oleh perusahaan kepada pelanggannya tentang brand tersebut. 

Merancang dan menyampaikan suatu produk/ layanan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen merupakan prasyarat keberhasilan aktivitas marketing lepas dari apakah produk, layanan, atau organisasi. Jika brand performance terkait dengan atribut intrinsik (atribut yang melekat pada produk/ layanan), sedangkan brand imagery terkait dengan atribut ekstrinsik (atribut yang tidak terkait secara langsung dengan produk/layanan). Sebagai contoh, profil pengguna dapat digunakan sebagai representasi dari citra ideal yang diinginkan oleh target konsumen. 

CR7 digunakan oleh Nike sebagai representasi seorang hero sepak bola. Pendekatan personalitysering juga digunakan untuk mengekspresikan identitas dari si pelanggan. Pengguna Harley Davidson adalah mereka yang mengekspresikan kejantanan dan kebebasan. Lepas dari pendekatan yang akan digunakan, asosiasi brand yang akan dirumuskan harus dapat memenuhi tiga kriteria. Pertama, seberapa jauh atribut yang dikembangkan dapat memperkuat asosiasi brand (strength). Kedua, seberapa jauh atribut tersebut bernilai dan disukai oleh target pelanggan (favourable). 

Ketiga, seberapa jauh atribut tersebut berbeda dengan asosiasi yang dikembangkan oleh brand pesaing (uniqueness). Untuk menciptakan brand equity, brand harus memiliki asosiasi yang kuat, disukai dan unik. Brand yang kuat umumnya memenuhi ketiga indikator tersebut. Sebagai contoh Toyota Avanza secara konsisten mencoba memenuhi ketiga indikator tersebut dengan menawarkan beberapa atribut seperti harga jual kembali, kelegaan, kenyamanan dan pilihan terbaik keluarga. 

Pertanyaan ketiga mencoba untuk memahami bagaimana konsumen bereaksi terhadap stimulus yang ditawarkan oleh brand. Dengan mengetahui reaksi yang diberikan konsumen, perusahaan akan lebih efektif dalam merumuskan asosiasi brand. Reaksi terhadap brand dapat dibedakan atas apa yang dipikirkan (brand judgements) dan dirasakan (brandfeelings) oleh pelanggan terhadap brand. 

Empat indikator yang digunakan oleh pelanggan dalam mengevaluasi brand yaitu: 1) kualitas; 2) kredibilitas (seberapa jauh brand tersebut terlihat kredibel atas dasar tiga dimensi: memiliki keahlian (expertise), dapat dipercaya (trustworthiness), dan disukai (likeability); 3) dipertimbangkan (seberapa jauh konsumen menganggap bahwa brand tersebut sesuai dengan kebutuhannya); dan 4) superior (seberapa jauh brand tersebut unik dan lebih baik dibanding brandlain). 

Pertanyaan keempat adalah bagaimana membuat pelanggan merasa nyaman ketika berhubungan brand (brand resonance). Untuk itu, perusahaan perlu mengembangkan suatu panggung (platform) yang memungkinkan pelanggan dapat berinteraksi dengan brand atau pelanggan lainnya. Sebagai contoh, KFC menyiapkan panggung musik bagi indie band yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan para penggemarnya yang juga pelanggan KFC. Apa yang dapat ditarik pelajaran dari konsep ini adalah peningkatan brand equity mempersyaratkan perusahaan harus dapat menjalankan keempat elemen dalam membangun brand secara baik. 

_Brand dengan identitas dan arti yang tepat akan membuat konsumen percaya bahwa brand tersebut relevan dengan kebutuhannya. Brand yang sangat kuat akan membuat konsumen memiliki ikatan yang kuat dengan brand, dan membuat mereka menjadi ”juru dakwah” yang secara aktif berinteraksi dengan brand dan menyebarkan pengalamannya dengan teman-temannya. 



Status Awas dan Evaluasi Televisi (Khoiri Akhmadie)

Oleh KHOIRI AKHMADIE, ksekutif Produser RCTI, Anggota Tim Buku Panduan Informasi Peringatan Dini Tsunami bagi Lembaga Penyiaran Indonesia oleh BMKG, BNPB, LIPI dan Kominfo, GTZ

Gunung Kelud meletus pukul 22.50 WIB, setelah sebelumnya dinyatakan status Awas pukul 21.15 WIB pada 13 Februari 2014. Ada jeda waktu 95 menit, dari status Awas ke era letusan. Waktu ini tergolong singkat. 

BandingkandenganGunungMerapi di Yogyakarta 25 Oktober 2010. Jarak status Awas Merapi keletusangununghampir33jam. Sementara status Awas Gunung Sinabung ke letusan pertama yang cukup besar 24 November 2011, berjarak hampir 15 jam. Begitu bervariasinya jarak antara status Awas dan letusan gunung berapi, perlu tindakan peringatan dini dengan cepat dan akurat kepada warga terdampak. Dan, salah media yang bisa memberikan informasi dini dengan cepat dan efektif di masa kritis ini adalah televisi dan radio. 

Dua media ini juga bagian dari mata rantai peringatan dini tsunami yang diatur pemerintah selama ini. Mencermati status penyampaian dini status Awas Gunung Kelud13Februari lalu, takbanyak televisi yang menyiarkan begitu cepat. Adasatutelevisiberitayang cepat mengumumkan status Awas Gunung Kelud, karena kebetulansedangacaraprogramberita, saat status Awas diumumkan pukul 21.15 WIB. Namun, sebagian besar televisi menyiarkan kondisi Gunung Kelud setelah meletus pukul 22.50 WIB. 

Tidak adanya peraturan yang mengharuskan media penyiaran bereaksi cepat pascapengumuman status Awas sebuah gunung, membuat sikap media penyiaran berbeda-beda. Sementara dalam peringatan dini tsunami, media penyiaran sudah seragam mengudarakan STOP PRESS, seperti diatur dalam Permen Kominfo Nomor 20/P/ M.KOMINFO/8/2006. BMKG sudah memasang softwarekomputer untuk peringatan dini tsunami di delapan stasiun televisi nasional, dan radio. 

Fungsinya, untuk menyiarkan stop press, lima menit pascagempa, bersamaan dengan data potensi tsunami yang disampaikan BMKG ke media. Stop pressberupa blocking30detik, dilengkapi tunetinggi, untuk membuat masyarakat tahu dan peduli apa yang segera dilakukan. Peringatan dini ini harus cepat diketahui masyarakat, karena tsunami sampai ke pantai hanya perlu waktu 20 hingga 30 menit, pascagempabumidilaut. 

Peringatan Dini Status Awas 

Melihat eskalasi dampak letusan gunung, tak ada salahnya pemerintah juga mengatur keseragaman penyampaian peringatan dini gunung yang berstatus Awas. Mengingat jarak waktuantarastatusAwasdengan letusan, biasanya tidak terlalu lama. Peringatan dini status Awas ini penting, mengingatkan masyarakat akan letusan gunung makin dekat dan tindakan evakuasi oleh pemda dan tim SAR. 

Dibanding penyampaian dini tsunami, dalam peringatan dini status Awas di gunung, peluang ditonton warga terdampak, lebih besar. Karena listrik sebagai sumber daya televisi atau radio, masih menyala. Ini yang terjadi di Gunung Kelud. Sedikitnya 200.000 warga langsung mengungsi, ketika status masuk Awas. Sebagian besar mereka selalu menonton televisi sejak dari status gunung Waspada hingga Siaga. Sementara saat peringatan dini tsunami, sering warga sulit menonton televisi atau mendengar radio, karena listrik mati akibat gempa bumi. 

Kearifan Lokal di Gunung 

Namun saat masa kritis sebuah bencana, masyarakat kadang hanya mengandalkan kearifan lokal. Saat tsunami Aceh 2004 lalu misalnya, masyarakat Pulau Simeulue, pulau yang terdekat dari sumber gempa bumi 8,9 SR, ternyata korbannya kurang dari 10 orang. Masyarakat mengenal Smong yang artinya tsunami. Dengancara gethoktular turun-temurun, Smong mendorong warga menjauh dari pantai, karena air laut surut, yang berarti akan datang tsunami. Takkalahserunya, kearifanlokal di gunung. 

Biasanya dua atau tigahari sebelummeletushewanhewan besar seperti monyet, harimau, ular akan turun gunung. Perilaku hewan-hewan ini dipercaya menjadi pertanda gunung akan meletus. Kasus Kelud, Merapi, dan Sinabung banyak media memberitakan hewan-hewan besar turun gunung beberapa hari sebelum letusan besar. Namun, masih ada kearifan lokal yang cenderung menjadi fatalisme. 

Mereka meyakini ada firasat dari gunung jika akan meletus dan menolak evakuasi. InilahyangolehEmileDurkhaim, sosiolog Prancis, seharusnya bisa dihindari. Karena fatalisme itu, mirip bunuh diri akibat tekanan keadaandisekitarnya, danpasrah tanpa ada usaha penyelamatan. Dalam kasus ini, sering menolakevakuasidantidakpercayahasil analisa PVBMG yang meneliti gunungdenganteknologi canggih. 

Di sinilah media harus berperan mengedukasiwargayangsalahmengartikankearifanlokal. Patut diacungi jempol bagi PVBMG, pemda, dan tim SAR, dalam kasus Gunung Kelud. Berkat peringatan dini status Awas yang disampaikan pada waktu yang tepat dan cepat, 200.000 warga yang berada di kawasan berbahaya 10 kilometer dari puncak Gunung Kelud mengungsi sebelum meletus. Korban pun bisa diminimalisasi. Menjadi pembelajaran pentingbagi mediapenyiaransebagai mata rantai peringatan dini bencana. 

Indonesiamasukdalam ring of fire dengan 127 gunung api. Kini 22 gunung berstatus di atas normal. Ada yang status Waspada, ada yang Siaga. Bukan takmungkin, gunung-gunungitu berubah menjadi Awas. Pada tahap inilah, media penyiaran menjadi sangat penting, untuk menjadi alat peringatan dini secara cepat dan serentak. 

_Diseminasi peringatan dini tsunami yang sudah diatur, selayaknya menjadi acuan bersama dalam penyampaian peringatan dini status Awas gunung berapi, demi menyelamatkan warga dan mengurangi risiko dampak bencana.  


Memberdayakan Pemilih Muda (Dr. Gun Gun Heryanto)

oleh DR. GUN GUN HERYANTO, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Diskusi dengan tema ”Strategi Memenangi Pemilih Muda” yang digelar Redaksi KORAN SINDO dan Sindonews.com, Rabu (26/2), menarik dan inspiratif. 

Forum tersebut memfasilitasi bertemunya para politisi partai politik, analis dan para aktivis muda lintas organisasi. Titik temu pemikiran yang berkembang dalam diskusi, memosisikan pemilih muda sebagai kelompok penting dan menentukan pada Pemilu 2014. 

Substansi Peran 

Secara kuantitatif, jumlah pemilih muda di Pemilu 2014 sangat signifikan. Merujuk data KPU terbaru, kelompok pemilih pemula yang berusia 17–21 tahun, jumlahnya ada 18.334.458. Jika rentang usia diperlebar antara 17–29 tahun, pemilih muda diperkirakan plus minus di angka 53 juta. Tentu tak cukup membahagiakan jika perspektif yang dibangun hanya memosisikan kaum muda sebagai angka yang dikonversikan menjadi suara oleh partai politik. 

Sudah selayaknya saat berbicara pemilih muda, maka seluruh pihak memiliki tanggung jawab untuk memperkuat substansi peran kaum muda dalam penataan demokrasi Indonesia saat ini dan ke depan. Meminjam analogi dunia bisnis, pemilih muda ini merupakan investasi paling prospektif terutama dalam memperkuat transformasi Indonesia melalui mekanisme demokrasi elektoral yang memberdayakan dan menggerakkan. Jika diidentifikasi, ada tiga pelapisan kelompok pemilih muda. 

Pertama, publik umum (general public) yang masih awam, tak memiliki perhatian, dan sangat jarang berinteraksi dengan wacana dan tindakan politik. Sebagian besar mereka memosisikan politik terlebih pemilu sebagai hal di luar dirinya sehingga menjaga jarak. Lapis kedua, adalah kaum muda beperhatian (attentive public) yang mulai kritis, mandiri, independen, anti-status quo, tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan tetapi masih menjaga jarak untuk aktif di politik terlebih dalam perebutan kekuasaan. 

Lapis ketiga, yakni kelompok elite yang selain memiliki karakteristik seperti lapis beperhatian juga memiliki jiwa, semangat, dan motivasi tinggi untuk terlibat penuh dalam beragam aktivitas politik. Kaum muda sendiri akan memilih peran- peran mereka, yakni melakukan integrasi vertikal ke kekuasaan, memilih untuk menjadi pemimpin imparsial (impartial leader), atau mereka tetap menjadi pengikut (follower). S a a t berupaya memenangi pemilih muda, partai, caleg, dan juga capres kerap gamang dalam menerapkan model pendekatannya. 

Jika diidentifikasi, ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi partai saat berjumpa dengan kelompok pemilih muda. Pertama, kenyataan masih banyaknya pemilih muda yang minim pengetahuan tentang pemilu. Kedua, pemilih muda secara umum belum memiliki keajekan dalam konstruksi berpikir sebagai representasi sikap dan tindakan aktor dalam konteks pemilu. Makanya kelompok ini masih kerap dilabeli sebagai massa mengambang (floating mass). 

Praktiknya di pemilu, pilihan anak-anak muda sangat mungkin berubah-ubah atau menjadi swing voters tergantung tingkat kesukaan, penerimaan, popularitas, dan keterpilihan partai di kalangan muda. Ketiga, masalah kesenjangan komunikasi politik (political communication gap) antara partai dan basis-basis pemilih muda. Praktik kerja sporadis partai menjelangpemiludanpendekatanyang berorientasi pemasaran politik semata, dibaca oleh pemilih muda sebagai upaya sematamatamenjadikanmerekasebagai objek dan angka yang akan dikumulasikan untuk kepentingan partai dan politisi saja. 

Model yang dominan digunakan para politisi adalah model linear. Mereka memosisikandirisebagaielite, bukan model reciprocal atau timbal balik yang bisa menginspirasi kaum muda untuk bersinergi dalam politik kekitaan. Keempat, PartyID atau identifikasi kepartaian yang lemah di kalanganpemilih muda. Suasana psikologis pemilih muda saat mengidentifikasi partai dan politisi masih belum membaik. Dampaknya, apresiasi pemilih muda terhadap partai pun terus melemah. Opini buruk perilaku korup para politisi yang setiap hari menghiasi media massa, menenggelamkan gaung harapan penyelenggaraan pemilu. 

Strategi Pendekatan 

Apa pun cara pendekatan partai, caleg dan capres terhadap pemilih muda, penting bagi partai untuk menyiapkan dua hal pokok. Pertama, basis semua aktivitas mendekati pemilih muda ini harusnya literasi politik. Partai memiliki tanggung jawab membuat pemilih muda melek politik dan berdaya. Posisi pemilih muda harus diperkuat dengan pertimbangan kelompok ini akan menjadi salah satu kantong menentukan dalam regenerasi kepemimpinan baik di level nasional maupun lokal. 

Caranya, partai politik, akademisi, kelompok kepentingan, kelompok penekan, pemerintah, dan media massa harus bersama-sama melakukan pengarusutamaan gerakan literasi politik. Mengutip pendapat Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship (2000), singkatnya literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Crick menegaskan, literasi politik lebih luas dari hanya pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela. 

Secara operasional, gerakan literasi politik itu bisa dilakukan melalui upaya mendaftar dan menganalisis isu-isu kontemporer seputar Pemilu 2014 melalui pendekatan CFR (conclusion, finding, recommendation), membuat peer group untuk sharing dan melakukan aksi bersama, menyelenggarakan pendidikan politik di basisbasis pemilih muda. 

Selain itu, juga bisa dengan mengintensifkan diskusi-diskusi politik di ICT (information and communication technology), merekrut kaum muda dalam satu kaderisasi yang utuh mulai dari ajakan masuk ke partai, pelibatan dalam aktivitas politik sehat, pendistribusian ke jabatanjabatan publik di masa mendatang. Kedua, strategi penetrasi ke pemilih muda seyogianya mengedepankan pendekatanpendekatan public relations politik yang bersifat interaksional. Konsep Triple-C patut dipertimbangkan. 

_Hubungan komunitas (community relations), pemberdayaan komunitas (community empowerment) dan pelayanan komunitas (community services) yang akan mempertemukan kepentingan politisi dengan harapan kaum muda. Partai mendapatkan dukungan di bilik suara dan pemilih muda tercerahkan sekaligus terberdayakan. 

 

Sumber: http://www.koran-sindo.com/node/370910
Powered By Blogger