Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 28 September 2020

RABIES: Vaksinasi Menjadi Kunci Penyelamatan (ATIKA WALUJANI MOEDJIONO)


KOMPAS/NIKSON SINAGA

Petugas menunjukkan vaksin rabies di derah endemis rabies, Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara, Sabtu (12/1/2019). Dari total 40.000 anjing di Kepulauan Nias, baru sekitar 5.000 anjing per tahun yang dapat divaksin karena keterbatasan vaksin.

Rabies, suatu penyakit zoonosis, yakni ditularkan oleh hewan ke manusia, masih menjadi masalah di Indonesia. Berdasarkan Masterplan Nasional Pemberantasan Rabies di Indonesiaterbitan 2019, sebanyak 26 dari 34 provinsi di Indonesia masih menjadi wilayah endemis rabies. Karena itu, rabies menjadi salah satu penyakit prioritas nasional untuk ditangani.

Data Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, pada 2013 terjadi penurunan kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dibandingkan dengan 2012, yakni dari 84.750 kasus menjadi 69.136 kasus. Sempat meningkat selama dua tahun, kasus turun lagi pada 2016 menjadi 64.774 kasus. Kematian akibat rabies di Indonesia sepanjang 2013-2018 tercatat 631 orang.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit itu masih endemis di semua benua, kecuali Antartika. Rabies diperkirakan menyebabkan 59.000 kematian per tahun di lebih dari 150 negara. Sebanyak 95 persen kasus terjadi di Asia dan Afrika.

Minimal 70 persen populasi anjing harus divaksinasi untuk memutus rantai penularan di antara anjing dan ke manusia.

Negara-negara yang melaksanakan program eliminasi berhasil menurunkan kasus dan kematian akibat rabies, bahkan bebas rabies. Untuk itu, minimal 70 persen populasi anjing harus divaksinasi untuk memutus rantai penularan di antara anjing dan ke manusia.

Rabies yang ditularkan oleh anjing telah dieliminasi dari Eropa Barat, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Amerika Latin. Sedangkan Australia dan sejumlah negara kepulauan Pasifik tak pernah bermasalah dengan rabies yang ditularkan anjing. Hewan liar, seperti kelelawar, rakun, sigung, dan rubah, menjadi sumber infeksi rabies paling umum di Amerika Serikat dan negara lain.

Masalah di Indonesia, vaksinasi masih jauh dari 70 persen populasi anjing akibat kendala sumber daya finansial, sosial, dan budaya.

Sumber penularan

Rabies disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus, familiRhabdoviridae. Anjing peliharaan merupakan sumber virus paling umum. Lebih dari 99 persen kematian manusia disebabkan oleh rabies yang ditularkan oleh anjing yang terinfeksi atau dikenal sebagai anjing gila.

Virus ditularkan melalui air liur yang masuk ke luka akibat gigitan atau cakaran anjing gila. Masa inkubasi biasanya 2-3 bulan, tetapi bisa bervariasi dari 1 minggu hingga 1 tahun, bergantung pada lokasi masuknya virus dan jumlah virus.

Gejala awal rabies adalah demam disertai nyeri tusuk, kesemutan, ataupun rasa terbakar di lokasi luka. Saat virus menyebar ke sistem saraf pusat, akan terjadi peradangan cepat dan fatal pada otak dan sumsum tulang belakang.

Di otak, virus bereplikasi lebih lanjut menghasilkan gejala klinis. Ada dua manifestasi klinis rabies. Menjadi ganas sebagai bentuk paling umum (80 persen kasus). Sisanya berupa kelumpuhan.

KOMPAS/ P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga membawa anjing peliharaan untuk mendapat vaksinasi antirabies di Pasar Ikan Bojong, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (1/10/2019). Rabies merupakan penyakit menular akut akibatLyssavirus yang menyerang saraf pusat. Penyakit ini menyerang hewan dan manusia.

Gejala lain, menurut laman Mayo Clinic, adalah sakit kepala, mual, muntah, gelisah, cemas, kebingungan, hiperaktif, sulit menelan, air liur berlebihan, halusinasi, hidrofobia (takut air), insomnia, dan lumpuh sebagian tubuh.

WHO serta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat menyatakan, sekali gejala rabies muncul, secara statistik kecil peluang untuk sembuh. Karena itu, jangan tunggu hingga gejala muncul. Segera lakukan imunisasi pencegahan rabies setelah gigitan hewan.

Catatan tertulis pertama tentang rabies ada dalam Mesopotamia Codex of Eshnunna (sekitar 1930 SM). Aturan di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Irak itu menyatakan, jika ada anjing yang memperlihatkan gejala rabies, pemiliknya harus mengambil tindakan pencegahan. Jika ada orang digigit anjing gila dan meninggal, pemiliknya didenda berat.

Pencegahan dan penanganan

Tata laksana GHPR atau pencegahan pasca-pajanan yang harus dilakukan adalah segera membilas dan mencuci luka gigitan atau cakaran secara menyeluruh minimal 15 menit dengan sabun dan air, kemudian diberi antiseptik seperti alkohol 70 persen,povidone iodine, atau zat lain untuk menghilangkan dan membunuh virus rabies.

Luka tidak boleh dijahit untuk mengurangi invasi virus pada jaringan luka kecuali luka yang lebar dan dalam yang terus mengeluarkan darah sehingga perlu jahitan untuk menghentikan perdarahan.

Selanjutnya, dilakukan vaksinasi antirabies (VAR) yang memenuhi standar WHO serta serum antirabies (SAR) atau imunoglobulin rabies sesuai dengan kategori luka gigitan. Pada luka risiko rendah hanya diberikan VAR. Sedangkan pada luka risiko tinggi harus diberikan VAR dan SAR. SAR adalah fraksi plasma imunoglobulin G (IgG) dari donor manusia yang telah mendapat beberapa dosis vaksin rabies dan memiliki antibodi antirabies yang tinggi.

DINAS KESEHATAN NTB

Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat,  Januari 2019, memberikan vaksinasi antirabies (VAR) kepada seorang ibu di atas mobil ambulans.

Panduan WHO, vaksinasi rabies digunakan pada dua situasi berbeda, yakni melindungi mereka yang berisiko terkena rabies (vaksinasi pra-pajanan) dan untuk mencegah perkembangan klinis rabies setelah terjadi gigitan hewan yang diduga menderita rabies (profilaksis pasca-pajanan).

Vaksinasi pra-pajanan harus diberikan kepada orang-orang yang berisiko tinggi terpapar rabies, seperti staf laboratorium yang menangani virus rabies, dokter hewan, pawang hewan dan satwa liar, serta orang yang tinggal atau bepergian ke negara atau daerah berisiko.

Jenis vaksin untuk vaksinasi pra-pajanan dan pasca-pajanan sama, tetapi jadwal imunisasinya berbeda. Serum antirabies atau imunoglobulin rabies hanya digunakan untuk profilaksis pasca-pajanan.

Menurut laman CDC, vaksinasi sebelum pajanan hanya membutuhkan tiga dosis vaksin dan tidak diberikan imunoglobulin rabies. Sedangkan vaksinasi pasca-pajanan, pada orang yang belum divaksinasi perlu satu dosis serum antirabies dan empat sampai lima dosis vaksin.

Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Rita Kusriastuti (kanan) menyuntikkan vaksin antirabies kepada Maria Evy Sengsara (26), vaksinator Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Sikka, Selasa (9/10), di Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Vaksinasi rabies cukup aman. Efek samping kalaupun ada umumnya hanya berupa nyeri, kemerahan, bengkak, atau gatal di tempat suntikan, sakit kepala, mual, dan nyeri otot. Pada suntikan penunjang (ulangan) kadang-kadang terjadi gatal, nyeri sendi, atau demam.

Tanggal 28 September diperingati sebagai Hari Rabies Sedunia. Tanggal ini juga merupakan hari kematian Louis Pasteur, ahli kimia dan mikrobiologi Perancis, yang mengembangkan vaksin rabies pertama. Tema tahun ini adalah "End Rabies: Collaborate, Vaccinate" atau "Akhiri Rabies: Kolaborasi, Vaksinasi".

Baca juga: 26 Provinsi Endemis Rabies

Saat ini telah ada vaksin hewan dan manusia yang aman serta berkhasiat untuk mencegah kematian manusia akibat rabies. Tinggal kesadaran pemerintah dan masyarakat luas untuk menyediakan dan memaksimalkan sarana itu bagi keselamatan manusia secara menyeluruh.

Kompas, 28 September 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

”Ayo Gumunan” (INDRA GUNAWAN M)


ARSIP PRIBADI

Indra Gunawan M

Pak Jakob Oetama, salah satu pendiri Kompas Gramedia, dahulu di muka rapat redaksi kerap memberi dorongan, "wartawan harusgumunan". Maknanya, wartawan harus terheran-heran atau tak habis mengerti begitu melihat gejala, peristiwa, atau ide yang aneh, berbeda, dan menyimpang. Entah sesuatu itu baik atau buruk.

"Jika wartawan tidak gumunan, semua peristiwa akan dianggap biasa. Wartawan tidak punya antusiasme lagi karena menurut dia itu hal yang biasa," seperti ditulis Ninok Leksono dalam buku Yuk, Simak Pak Jakob Berujaryang dikeluarkan Penerbit Buku Kompas (2016).

Memang pandangan ayo gumunan itu berlawanan dengan ojo gumunan, bagian dari adagium kejawen yang bertutur "ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh". Makna yang ingin disampaikan Ki Semar kepada tiga putranya itu adalah "jangan gampang terkejut, jangan mudah heran, jangan sok" menyaksikan atau menghadapi apa yang terjadi.

Tujuannya baik, khusus ojo gumunanbermaksud agar orang tetap tenang dan tak mudah terkesima, apalagi takjub, dalam melihat suatu fenomena atau kejadian. Siapa tahu itu hanyalah "sulapan" atau tipu daya.

Pandangan ayo gumunan, sebaliknya, mengajak orang agar tak hanya berdiam diri, melainkan bertanya, meneliti, membongkar, atau bahkan kalau perlu menggugat apa saja yang tak biasa. Agaknya ini berlaku bukan saja untuk wartawan, tetapi juga bagi para cendekiawan, pejabat, dan warga yang merasa terpanggil melakukan perbaikan demi kemajuan negaranya.

Hemat saya, pandangan ini lebih relevan dengan zaman ketika partisipasi dan kolaborasi telah menjadi norma baru kehidupan. Keheranan yang cuma terpendam di batin bukan saja tak menguntungkan, bahkan dapat merugikan diri sendiri.

ARSIP PRIBADI

Pendiri harian Kompas, Jakob Oetama, bersama Indra Gunawan.

Misalnya, seorang pemuda yang pindah dari desa yang asri dan bebas dari polusi ke Ibu Kota, lalu menetap di daerah dekat bantaran sungai yang airnya kotor, hitam, dan berbau comberan menyengat.

Dalam hal ini, ia sebenarnya mempunyai tiga pilihan. Pertama, protes kepada pengurus RT, RW, dinas kebersihan, sampai ke gubernur perihal lingkungannya yang tercemar. Kedua, memilih hengkang ke tempat yang lebih baik walaupun uang sewanya lebih mahal dan lokasinya lebih jauh dari tempat kerja. Ketiga, membiasakan menerima apa pun keadaannya. Pasrah.

Baca juga : Jakob Oetama, Bekerja dengan Hati

Jika alternatif terakhir yang dipilih, setelah bertahun-tahun, apa yang semula terlihat (kasamata) atau seen menjadi unseen (tak kasatmata). Air kotor sudah tak dilihatnya kotor. Begitu pula bau busuk, sudah tak tercium lagi. Panca inderanya menjadi tumpul, kepekaannya berangsur hilang. Sama seperti orang yang melihat korupsi setiap hari. Karena sudah terbiasa, menjadi ora gumunan lagi.

Sebenarnya frasa ayo gumunan itu dekat dengan rasa ingin tahu (curiosity). Terdorong oleh rasagumunan, orang kepengin tahu, mencari tahu, atau meneliti  lebih jauh. Maka, terbukalah kemungkinan terjadinya penemuan-penemuan baru berupa benda-benda, ide, sistem, atau tersibaknya sisi-sisi tersembunyi, baik yang buruk maupun yang baik.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat suplemen jus fermentasi jambu merah di Laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI, Puspitek, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (2/6/2020). Antioksidan hasil fermentasi jus jambu merah jauh lebih tinggi nilainya daripada jus jambu merah yang tidak difermentasi, yakni lebih mampu meningkatkan sistem imunitas tubuh.

Senantiasa manusia pemula

Dalam ajaran Zen ditekankan agar kita senantiasa bersikap sebagai manusia pemula, betapapun kita sudah berpengalaman ataupun menjadi "pakar" dalam suatu bidang. Jadi, dengan merasa sebagai pemula, rasagumuman itu akan terpelihara terus, seperti anak kecil yang polos. Dalilnya yang terkenal seperti termuat dalam buku Zen Mind, Beginner's Mind atauAkalbudi Zen, Akalbudi Pemula yang disebarluaskan oleh Shunryu Suzuki.

Sebagai contoh, sekalipun telah ribuan kali melihat tanaman kembang sepatu, sewaktu menatapnya kembali, timbul rasa tergelitik karena melihat sesuatu yang baru atau keindahan yang selama ini terlewatkan, seperti teksturnya, warna merahnya, ataupun bentuknya yang unik. Demikian pula tatkala membaca ulang karya novel Dostoyevsky ataupun nonfiksi Viktor Frankl, senantiasa muncul makna baru yang berlapis.

Dalam kata-kata Shunryu Suzuki, "Akal budi seorang pemula itu selalu kosong, bebas dari kebiasaan para pakar, siap untuk menerima, meragukan, dan terbuka dengan segala kemungkinan." Inilah pendekatan pikiran yang melihat segala sesuatu seperti apa adanya, tanpa penambahan, tanpa pengurangan.

Kalau "tiga" katakan "tiga", jangan dipersepsikan sebagai "delapan", ataupun sebaliknya angka "delapan" jangan dikurangi menjadi "tiga". Terimalah kenyataan dahulu, setelah itu pantang menyerah untuk menjelajahi segala macam kemungkinan.

Masih kata Suzuki, "Dalam benak pemula terdapat banyak sekali kemungkinan, tetapi dalam pikiran pakar hanya ada beberapa." Sebuah pernyataan yang kontradiktif atau malah paradoks kebenaran. Seorang pemula gumunan melihat dari luar kotak (out of the box) dan karena polos tak melihat ada limitasi. Sebaliknya seorang pakar dapat terlalu asyik terbenam dalam kotaknya (inside the box).

Akan menjadi lain kalau si pakar itu cukup rendah hati dan terbuka melihat dirinya sebagai pemula. Sekalipun orang luar menyebutnya "pakar", diam-diam ia menyadari bahwa ilmunya sebenarnya sudah ketinggalan oleh laju perubahan. Sementara untuk sejumlah hal, ia juga menyadari, pendekatan keilmuan tak bisa lagi tunggal, tetapi perlu multidisipliner.

KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO

Pengunjung di Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, Minggu (2/2/2020). Kebun Raya Purwodadi yang telah berusia 79 tahun bersama dengan tiga kawasan konservasi serupa mengalami alih kelola dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ke swasta, yakni PT Mitra Natura Raya. Alih kelola bertujuan mendorong manfaat lebih besar untuk masyarakat tanpa mengurangi fungsi utama pelestarian, penelitian, pendidikan, jasa lingkungan, dan pariwisata.

Guncangan zaman

Hari-hari ini, apalagi setelah pandemi Covid-19, kita merasakan situasi serba tak menentu, rumit, mudah guncang, dan kurang jelas mana yang bisa dijadikan pegangan. Itulah intensitas zaman VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).

Sebagian orang berpaling, mendekat ke Tuhan. Betul, tidak salah. Hanya saja, sebagai insan yang dikaruniai akal budi hebat, ada tuntutan untuk proaktif, mencari jalan keluar, dan tidak menunggu.

Dalam hal ini, apa yang pernah diutarakan begawan manajemen Peter Drucker kerap menjadi rujukan, yakni "Bahaya terbesar saat turbulensi bukanlah turbulensi itu sendiri, melainkan bertindak dengan logika hari kemarin." Apa kira-kira yang dimaksud Drucker dengan "logika hari kemarin"?

Hemat saya, agaknya itu adalah logika abad industri (pabrik) yang melihat sesuatu secara linier; hubungan sebab akibat yang bersifat sederhana dan langsung; semua (manusia, organisasi) dilihat sebagai "mesin" demi efektivitas dan efisiensi; bersikap apriori dengan berpikir secara terbalik (reverse thinking); dan percaya segala sesuatu telah tersedia jawabannya.

Tatkala "logika hari kemarin" itu tak berjalan dan satu per satu manusia, institusi, dan perusahaan mulai merosot dan bertumbangan, sikap terbaik adalah kembali ke "petak pertama" (square one), yakni pemula yang gumunan. Nilai-nilai luhur, kearifan manusia bijak, seperti integritas, kerja tuntas, disiplin, dan memanusiakan manusia, tetap menjadi pegangan.

Namun, beberapa pola pikir, model bisnis, strategi unggulan, dan taktik sepertinya sudah kedaluwarsa sehingga perlu perubahan segera. Sayup-sayup seperti terdengar lagi nasihat paling pas, yakni menemukan dirimu lagi dan lagi (reinventing yourself again and again). Kita tentu tak ingin mandek, berhenti di jalan yang begitu akrab dikenali.

REUTERS/DENIS BALIBOUSE

Salah satu pendiri Alibaba Group, Jack Ma, saat menghadiri Forum World Trade Organization "Trade 2030" di Geneva, Swiss, 2 Oktober 2018.

Salah satu bidang yang banyak melakukan eksperimentasi, inovasi, dan terobosan niscaya adalah kegiatan yang bertautan dengan digital (abad digital). Kita mungkin takjub dengan berbagai penemuannya. Menelaah profil para perintisnya bahkan akan membuat kita semakin terkesima.

Ambil contoh, Jack Ma yang "bodoh" di sekolah. Ia sama sekali tak paham teknologi informasi (TI) kecuali bahwa ia gumunan dengan cara kerja internet. Ia kemudian berhasil membangun Alibaba, satu dari dua imperium e-commerce terbesar di dunia.

Contoh lain, Steve Jobs yang putus sekolah setelah enam bulan kuliah, yang mungkin lebih mengerti kaligrafi ketimbang teknologi. Ia kemudian berhasil membangun kerajaan Apple. Mark Zuckerberg, pendiri Facebook yang studinya di bidang psikologi, tetapi tertarik mempelajari codingdengan prestasi sekelas tingkat tiga saja. Juga Elon Musk yang kerap dipandang sebagai expert generalist saja. Ia seorang yang meramu prinsip-prinsip pokok dari berbagai keilmuan.‎

Watak mereka satu sama lain jauh berbeda. Namun, ada sejumlah kesamaan di antara para perintis itu, yakni gumunan, pembelajar sejati, memiliki daya lenting tinggi atau cepat bangkit begitu menemui kegagalan. Dan yang paling utama adalah integrator atau orang yang suka menyambung yang tak tersambungkan (connect the unconnected) atau dalam istilah Steve Jobs connecting the dots, menyambung titik-titik yang bagi orang luar tak ada relevansinya, tetapi justru dari sanalah dimulai penemuannya.

Ada benarnya apa yang diutarakan Einstein bahwa imagination is more important than knowledgeatau imajinasi itu lebih penting dari ilmu pengetahuan. Tentunya, imajinasi yang tadinya melayang-layang kemudian berhasil "dibumikan"; dicoba berkali-kali melalui kegagalan dan akhirnya bisa diterima sebagai inovasi; atau dalam konteks zaman kekinian berupa terobosan inovasi yang disruptif.

Indra Gunawan M, RedakturKompas 1965-1976; Wakil Presiden Direktur Kompas Gramedia 1992-2004

Kompas, 28 September 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

RESENSI BUKU: Petani Menolak Punah (NOER FAUZI RACHMAN)


INSIST PRESS

Sumber Foto : Insist Press

Judul: Petani dan Seni Bertani: Maklumat Chayanovian

Penulis: Jan Douwe van der Ploeg

Judul Asli: Peasants and The Art of Farming: A Chayanovian Manifesto

Penerbit: Insist Press, 2019

Jumlah Halaman: 226 + xxiv halaman

ISBN: 978-602-0857-87-9

Hingga permulaan abad ke-21 ini, kita menyaksikan satu krisis agraria yang utama, yakni pengurangan jumlah petani Indonesia secara nasional. Dari angka Sensus Pertanian tahun 2003 ke 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian berkurang 5 juta, yaitu dari sekitar 31,17 juta menjadi sekitar 26,13 juta. Hasil Survei Pertanian Antarsensus (Sutas) BPS tahun 2018 menunjukkan angka meningkat 27,68 juta. Berapa jumlah usaha pertanian tahun 2023 nanti, akan menjadi angka statistik BPS yang ditunggu-tunggu.

Sebab, utama usaha pertanian ditinggalkan adalah nilai hasil berbanding dengan biaya yang dikeluarkan tidak mampu membuat petani sejahtera, transaksi tanah, dan konversi tata guna tanah pertanian menjadi nonpertanian, konsentrasi penguasaan tanah, baik dengan transaksi perdagangan maupun konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan lan-lain, serta last but not leastmenurunnya minat generasi muda anak-anak petani untuk bertani.

Pengurangan jumlah petani, the death of peasantry, ini adalah penanda penting perubahan zaman ke urbanisasi (E. Hobsbawm, The Age of Extremes, 1994: 289, 415). Berlangsungnya pengurangan jumlah petani tidak hanya di Indonesia, tetapi juga menjadi gejala yang mendunia, seiring kencangnya dan meluasnya kerja ekonomi pasar membuat tenaga kerja, alam, dan uang menjadi barang dagangan dan merusak berbagai ranah kehidupan masyarakat—sebagaimana diungkapkan oleh Karl Polanyi (1944) dalam bukunya, The Great Transformation: The Political and Economic Origin of Our Time.

KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO

Warga dan petani menggelar upacara bendera merayakan HUT Ke-75 Republik Indonesia di areal persawahan di Grumbul Kalibacin, Desa Mandirancan, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (17/8/2020).

Berkurangnya jumlah petani itu menjadi salah satu teka-teki penggerak kajian petani dan perubahan agraria yang semakin bergairah dewasa ini. Hatta, teka-teki itu membawa kita ke pertanyaan penelitian: apa yang membuat petani dalam pertanian keluarga tetap terus bisa melanjutkan hidup dan menolak mati, bahkan membentuk gerakan tandingan, dalam konteks semakin membesarnya kekuatan utama yang bisa mematikan mereka?

Buku karya Jan Douwe van der Ploeg ini sangat cocok dijadikan rujukan untuk memahami relevansi teori agronomi sosial dari Alexander V Chayanov, seorang pemikir agraria Rusia, yang berpengaruh besar hingga sampai ke Indonesia. Pengaruh pemikiran Chayanov di Indonesia pertama-tama melalui ahli-ahli pertanian kolonial Belanda yang datang dan berkiprah di Jawa, seperti Julius Herman Boeke, Gerard Juliaan Vink, pada awal hingga pertengahan abad ke-20. Ilmu usaha tani yang dikembangkan ahli-ahli pertanian Indonesia setelah merdeka mewarisi ajaran-ajaran teoritis Chayanovian ini, dan masih terus diajarkan hingga sekarang.

Chayanov berargumen bahwa karakteristik usaha pertanian keluarga didasari dengan logika kerja yang sama sekali berbeda dari usaha pertanian kapitalis (skala besar, industrial). Khususnya, pertanian keluarga dikelola tidak dengan landasan hubungan modal-tenaga kerja, sebagaimana pertanian kapitalis.

Tenaga kerja dalam pertanian keluarga bukanlah tenaga kerja upahan; dan modal di dalamnya bukan dalam pengertian teori kapitalisme sebagaimana dipahami dan dijelaskan Karl Marx dalam Das Kapital: Kritik der politischen Ökonomie (edisi bahasa Inggris-nya terbit pada 1867).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Orang-orangan sawah atau atau boneka sawah dipasang aktivis Komite Nasional Pembaruan Agraria di depan gerbang Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/9/2020). Orangan-orangan sawah ini mewakili petani dalam menyampaikan pendapat untuk memeringati Hari Tani Nasional.

Dalam pertanian keluarga, modal tidak punya logika untuk menghasilkan nilai lebih sebagai sumber akumulasi. Inilah yang disebut "produksi komoditas secara sederhana" (simple commodity production) tanpa reproduksi modal yang meluas.

Buku ini menegaskan kembali argumen Chayanov bahwa logika yang membimbing unit produksi pertanian keluarga adalah beberapa keseimbangan, terutama keseimbangan antara kerja dan konsumsi serta keseimbangan antara jerih payah dan faedah (Bab 2).

Di dalam keseimbangan kerja-konsumsi, pada intinya petani memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya sendiri dengan senantiasa mencari keseimbangan di antara jumlah tenaga kerja untuk mendapatkan jumlah panenan tertentu. Konsumsi yang dimaksud macam-macam, terutama pangan.

Kalau kebutuhan konsumsi meningkat, sedangkan lahan langka, terjadilah intensifikasi dan perluasan kerja. Intensifikasi mengacu pada penggiatan proses produksi pertanian di lahan. Sementara perluasan kerja tentu bisa kita lihat sehari-hari di kalangan petani kecil di Indonesia ketika mereka mencari kerja di luar pertanian di sela-sela pekerjaan di lahan.

Petani juga perlu menyeimbangkan kerja ekstra (jerih-payah) dan keuntungan ekstra (faedah). Jerih payah ini "dikonotasikan dengan kesengsaraan, kerja sepanjang hari, memeras keringat di bawah terik matahari… bekerja mulai subuh dan di bawah kondisi dingin dan basah kuyup" (hlm 54).

Petani juga perlu menyeimbangkan kerja ekstra (jerih-payah) dan keuntungan ekstra (faedah).

Kenapa hal itu tetap dilakukan? Karena faedah yang ingin didapatkan tidak melulu peningkatan produksi jangka pendek, tetapi juga pertanian yang indah dalam jangka panjang. Jadi, "kerja pertanian bisa saja dialami sebagai kegiatan yang menyenangkan dan bermakna".

Masih banyak keseimbangan lain yang merupakan logika kerja petani. Dalam Bab 3, misalnya, diuraikan keseimbangan antara manusia dan alam-hidupnya, antara produksi dan reproduksi, antara sumber daya eksternal dan internal, antara otonomi dan ketergantungan, serta antara skala dan intensitas. Kaum tani, dengan berbagai keterampilan mereka, memainkan semua keseimbangan itu laiknya seorang seniman.

Buku yang ringkas dan padat (226 halaman) ini adalah bacaan bagus bagi pembelajar pemula di tengah mengemukanya krisis agraria yang melanda petani, dan juga terutama bagi para petani perjuangan dan para pembelanya di negeri ini karena buku ini menyuguhkan perspektif mengenai kekuatan petani untuk terus berlanjut hidup.

Meskipun tetap menempatkan kelas petani sebagai pihak yang bersanding, bahkan bertanding "melawan" kapitalisme pertanian, buku ini menonjolkan cara pandang mikro yang menyasar jantung produksi petani itu sendiri. Bahwa perlawanan petani kecil terhadap proyek-proyek kapitalisme itu sudah menjadi "jiwa" dalam sistem produksi dan reproduksinya, khususnya dalam konteks kontradiksi kapitalisme yang memunculkan celah-celah (interstices) di mana antogonisme kelas terjadi. Argumen ini tersebar di sepanjang bahasan buku ini.

Di bagian akhir bukunya, Van der Ploeg memaparkan bagaimana "jiwa seni" itu kini tengah mengalami berbagai pembaruan, seperti prakarsa-prakarsa pertanian organik, pembentukan jaringan pasar mandiri, hingga peran gerakan petani dunia seperti La Via Campesina.

Yang penting dicatat di sini adalah bahwa "seni melawan" atau menciptakan alternatif itu tidak bisa dijalankan oleh petani tunggal, melainkan mensyaratkan "jejaring yang luas untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan.… Jejaring ini, sebagaimana dulunya, merupakan sistem saraf dari pertanian petani.… Terkadang jejaring ini diubah menjadi mekanisme penting dalam perjuangan sosio-politik petani di pedesaan" (hlm 138).

Terkadang jejaring ini diubah menjadi mekanisme penting dalam perjuangan sosio-politik petani di perdesaan" (hlm 138).

Van der Ploeg awalnya adalah seorang insinyur pertanian lulusan University of Wageningen, Belanda, dengan spesialisasi sosiologi agraria untuk negeri-negeri non-Barat, ekonomi pembangunan, serta metode dan teknis penelitian sosial. Seiring perkembangan akademisnya, Van der Ploeg juga memiliki pengalaman kerja konsultansi di Guinea- Bissau, Ghana, Peru, Pantai Gading, dan Italia.

Setelah mengajar sebentar di University of Leiden, ia bergabung dalam almamaternya hingga kemudian menjadi profesor. Ia juga kemudian menjadi Adjunct Professor dalam bidang sosiologi perdesaan di China Agricultural University, Beijing.

Karya sebelumnya yang berkaliber tinggi dalam kajian petani dan perubahan agraria adalah The New Peasantries: Struggles for Autonomy and Sustainability in an Era of Empire and Globalization (2009). Buku ini menunjukkan kecenderungan yang jelas akan berlangsungnya proses kebangkitan petani yang disebutrepeasantization, yakni proses pembentukan kembali petani yang berproduksi dalam model pertanian keluarga skala kecil.

KOMPAS/KRISTI UTAMI

Para petani memanen bawang putih di di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (2/9/2020). Saat ini ada 400 petani bawang putih di Kabupaten Tegal.

Proses ini bisa dibilang menjadi antitesis dari proses industrialisasi pertanian yang mengonsentrasikan usaha pertanian ke dalam skala raksasa, intensifikasi, spesialisasi dan artifisialisasi, serta disaktivasi pertanian yang akhirnya mengakibatkan pengurangan hingga penghapusan kegiatan-kegiatan pertanian "tradisional". Pembentukan kembali kaum tani itu tampak jelas di Asia dan Amerika Latin, dan juga yang menarik, adalah di Eropa dan Amerika Utara. Buku Petani dan Seni Bertanisemacam menegaskan kembali gagasan utama buku The New Peasantries itu,

Publikasi versi bahasa Indonesia yang menyajikan secara ringkas suatu teori bukan kerja yang mudah berhasil. Pembaca bisa merasa merugi membaca buku-buku teori ilmu sosial karena penerjemahan yang sembrono dan kualitas penyuntingan yang buruk. Namun, tidak akan demikian dengan buku ini.

(Noer Fauzi Rachman, Ph.D., peneliti, penulis, dan pengajar studi-studi agraria, gerakan sosial perdesaan, ekologi politik sumber daya alam, dan psikologi komunitas)

"Versi yang luas resensi buku ini telah dimuat di Rachman, NF (2020) "Bertani adalah Melawan", Jurnal Analisis Sosial Yayasan Akatiga, volume 23 (2):106-113.

Kompas, 27 September 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Sabtu, 26 September 2020

CATATAN URBAN: Jebakan Pesta Rakyat (NELI TRIANA)


KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Kerumunan saat proses pendaftaran Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan sebagai kandidat calon wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan, Banten, di kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Tangsel, Sabtu (5/9/2020).

Kota Tangerang Selatan, Banten, beberapa waktu ini meriah. Spanduk besar dan kecil dengan foto-foto para calon wali kota dan wakil wali kota memasang senyum termanis mereka tersebar di banyak sudut kota. Saat pendaftaran calon pasangan pemimpin di Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat, aturan agar massa pendukung tidak berkumpul, menjaga jarak, dan bermasker dilanggar beramai-ramai.

Kejadian serupa terjadi hampir merata di 270 kabupaten/kota peserta pilkada yang tersebar di sembilan provinsi. Ditindak karena melanggar protokol kesehatan Covid-19? Sejauh ini, tidak.

Padahal, itu baru tahap awal dari proses panjang pemilihan kepala daerah serentak tahun ini. Masa kampanye segera bergulir diikuti masa tenang sebelum pemilihan langsung pada 9 Desember 2020. Selanjutnya, secara garis besar, akan ada proses penghitungan suara sampai sidang pleno KPU penetapan perolehan suara. Kemudian akan ada pengukuhan para pemimpin terpilih secara resmi yang biasanya disertai perayaan di kota/kabupaten masing-masing.

Dalam semua tahap, pelibatan massa selalu berpotensi terjadi lagi meskipun di atas kertas larangan terkait hal itu tertulis. Ancaman sanksi tegas pun ada.

Ketika dihujat massa dan ditegur lembaga berwenang karena melanggar aturan, permintaan maaf bertaburan dari para calon pemimpin atas kerumunan dan potensi penularan Covid-19 yang mereka sebabkan. Itu dinilai sudah cukup.

Namun, maaf tinggal maaf. Nasi sudah menjadi bubur. Kluster pilkada penularan wabah sudah telanjur muncul. Tak kurang anggota KPU, Badan Pengawas Pemilu, para calon pemimpin, hingga orang-orang di lingkaran mereka dan tak tertutup kemungkinan masyarakat yang turut berada di kerumunan saat pendaftaran sudah ada yang tertular wabah.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Simpatisan pasangan bakal calon wali kota dan wakil wali Kota Tangerang Selatan, Muhamad-Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menunggu di luar saat pasangan tersebut mendaftarkan diri di Kantor KPU, Tangerang Selatan, Jumat (4/9/2020).

Menuju tujuh bulan pandemi melanda Indonesia, laju penambahan kasus positif tak putus memecahkan rekor baru hampir setiap hari. Publik masih dirundung derita. Tak hanya ancaman dihinggapi virus korona baru yang bisa berujung sakit Covid-19 parah hingga kehilangan nyawa, tetapi ekonomi sebagian masyarakat berada di ujung tanduk karena terdampak pandemi. Indonesia juga sudah dekat, bahkan dekat sekali, masuk ke jurang resesi.

Tidak seperti proyek infrastruktur pembangunan jalan tol atau program-program pemerintah lainnya yang sangat terukur dan bisa dipastikan kapan proses berlangsung sampai berakhir, pandemi ini tidak diketahui kapan masa berakhirnya. Menangani pandemi butuh kepala jernih, napas panjang, dan strategi untuk mewadahi berbagai perubahan cepat yang tak bisa diperkirakan sebelumnya.

Menyadari seriusnya masalah di negeri ini akibat pandemi membuat banyak pihak bertanya apakah perhelatan demokrasi akbar pilkada secara serentak harus diadakan tahun ini juga.

Namun, pemerintah menegaskan, pilkada tetap berlangsung, antara lain karena tidak ada yang tahu kapan pandemi berakhir. Jadi, kalau ditunda, sulit ditentukan diundur sampai kapan. Selain itu, banyak digaungkan juga sebelumnya bahwa pilkada adalah wujud pemenuhan hak politik rakyat dalam negara penganut demokrasi. Menunda pilkada dianggap menodai demokrasi yang kelahirannya sekitar 22 tahun lalu membuka babak baru kehidupan bernegara selepas era Orde Baru yang sangat sentralistis.

Suara rakyat, suara Tuhan

Bicara demokrasi, kita perlu kembali ke masa lalu di saat pemikiran tentangnya digodok dan dilahirkan diikuti pengembangannya di berbagai negara di dunia. Bicara demokrasi juga tidak bisa lepas dari tumbuh pesatnya kota-kota di dunia sejak beribu tahun silam. Kota-kota dengan konsentrasi tinggi jumlah penduduk dengan berbagai macam latar belakang memunculkan desakan penataan yang lebih baik agar semua orang mendapat tempat memadai di sana.

Pada abad ke-4, filsuf Aristoteles melahirkan pemahaman tentang warga kota yang budiman. Dalam jurnal The Virtues of Urban Citizenship, Frank Cunningham dari University of Toronto, Kanada, mengutip dokumen pemikiran filsuf Yunani tersebut yang ditulis ulang pada abad ke-13 dan pada 1943.

Cunningham menyatakan, warga negara, mengutip Aristoteles, adalah orang yang berbagi dalam pemerintahan dan diperintah. Penerapan konsep warga negara ini bisa berbeda di bawah berbagai bentuk pemerintahan. Akan tetapi, dalam keadaan terbaik, dia adalah orang yang mampu dan bersedia untuk diperintah dan memerintah dengan suatu pandangan demi kehidupan penuh kebajikan.

Pada masa Aristoteles, warga kota mewakili orang-orang berpendidikan, berbudi baik, taat pada hukum yang berlaku, dan memiliki suara atau hak pilih. Konsep warga kota Aristoteles kala itu  masih bias karena kaum perempuan dan budak tidak termasuk mereka yang bisa disebut sebagai warga kota terhormat.

Meskipun demikian, konsep dasarnya yang lantas diadopsi sampai di era modern sekarang adalah suara setiap penghuni kota amat penting, yang mempresentasikan suara publik. Konsep awalnya adalah menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini sebagai kontrol terhadap para pemimpin daerah juga negara untuk tidak bertindak di luar wewenangnya, apalagi sampai merugikan dan mengorbankan nasib rakyatnya.

Dalam perkembangannya, seperti dijabarkan dalam "Cities and Citizenship" oleh James Holston dan Arjun Appadurai (Public Culture, 1996), kota dan demokrasi selalu menjadi panggung politik bagi penguasa, mereka yang berhasrat menjadi penguasa, juga mereka yang meyakini berjuang di jalan itu akan bisa memperbaiki nasibnya.

Selain itu, di era migrasi masal, globalisasi ekonomi, serta pemahaman dan pemenuhan akan hak konstitusional warga yang naik turun, kini kota-kota disebut makin condong mewakili lokalisasi kekuatan global, bukan lagi semata suara rakyat kebanyakan. Dengan demikian, suara publik menjadi semacam piala yang butuh direbut untuk mengantarkan seseorang memenangkan kursi pemimpin di tingkat kota/kabupaten. Selanjutnya, hal ini menjadi modal untuk menembus kursi jabatan di atasnya, bahkan sampai menjadi penguasa negeri.

Pergeseran, kalau bukan melencengnya, demokrasi saat ini dibandingkan dengan konsep awalnya dulu membuat kita bisa melihat kembali apakah pesta rakyat bernama pilkada tetap bisa digelar kala pandemi ini. Dengan segala keterbatasan, terguncangnya negeri akibat pandemi, apakah kita masih mampu menjamin pelaksanaan pilkada sesuai protokol kesehatan? Dan, bagaimanakah wujud jaminannya itu? Apakah bisa benar-benar dipegang dan dituntut pertanggungjawabannya jikalau ternyata meleset dari yang dijanjikan?

Yang kasatmata saat ini, warga masih butuh didampingi secara intensif agar bisa melewati shock akibat pandemi dan memahami dampak pandemi terhadap tiap individu ataupun negara sehingga bisa diajak untuk fokus menjalankan kebiasaan baru patuh pada protokol kesehatan. Pendampingan warga ini menuntut konsentrasi tingkat tinggi, tidak bisa dipecah dengan isu lain yang sama-sama butuh perhatian besar, seperti perhelatan pilkada di separuh lebih daerah dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia.

Pendampingan warga ini menuntut konsentrasi tingkat tinggi, tidak bisa dipecah dengan isu lain yang sama-sama butuh perhatian besar, seperti perhelatan pilkada di separuh lebih daerah dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia.

Penundaan pilkada selama enam bulan atau satu tahun ke depan bisa menjadi opsi baik. Dan, selama periode itu, secara disiplin dijalankan tahapan proses pengendalian pagebluk yang jelas dan terarah. Hal ini akan membuat siapa pun siap menyukseskan pesta demokrasi yang tertunda.

KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA

Warga di Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (24/9/2020), rata-rata tidak bermasker secara benar. Kerumunan serupa banyak ditemukan di daerah lain di Indonesia. Antara pernyataan warga saat disurvei dan praktik sehari-harinya bisa berbeda 180 derajat.

Demokrasi tidak akan mati

Kekhawatiran jika pilkada diundur akan ada kekosongan pemimpin resmi berkekuatan hukum sehingga penanggulangan pandemi di daerah terhambat masuk di akal. Akan tetapi, bukan berarti jawaban dari masalah ini hanya satu, yaitu pilkada tetap diselenggarakan. Ada usulan agar, jika pilkada tetap dilakukan, semua tahapan harus dilaksanakan secara virtual. Namun, apakah infrastruktur yang diperlukan serta publik kita saat ini juga sudah siap?

Pandemi ini bencana nasional. Sudah selayaknya penanganan satu komando dengan memperhatikan karakteristik khas daerah. Butuh pemerintah pusat dan daerah yang solid, satu kata, demi mengatasi masalah mendasar ini.

Demokrasi tidak akan gagal dan lantas mati jikalau pilkada diundur beberapa waktu ke depan. Keselamatan warga kini benar-benar di ujung tanduk. Menempatkan upaya penyelamatan warga sebagai prioritas utama kebijakan merupakan salah satu bentuk mewujudkan demokrasi yang kita anut.

Kompas, 26 September 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger