Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 Juli 2021

Daya Lenting Bangsa Diuji (Redaksi Kompas)


KOMPAS/AGNE SWETTA PANDIA

Warga Kota Surabaya, Jawa Timur, menikmati suasana lalu lintas yang tidak ramai pada masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, Minggu (25/7/2021) dengan bersepeda di Jalan Ir Soekarno (MERR). Jalan tersebut berada di wilayah Gunung Anyar yang berbatasan dengan Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo.

Gelombang kedua Covid-19  yang kita hadapi saat ini ditandai dengan adanya lonjakan kasus harian hingga empat kali lipat dari kasus harian tertinggi pada gelombang pertama. Kendati kini kurva sudah mulai menurun, penurunan tersebut belum signifikan.

Kasus harian tertinggi pada gelombang pertama tercatat pada 30 Januari 2021, yaitu 14.518 kasus. Pada gelombang kedua, kasus harian melonjak hingga 56.775 kasus di 15 Juli 2021. Kemarin, kasus harian sudah mulai menurun, yaitu 38.679 kasus, tetapi masih jauh di atas gelombang pertama.

Situasi serupa juga terjadi di India. Gelombang tertinggi pertama terjadi pada 17 September 2020, yaitu 97.894 kasus per hari. Gelombang tertinggi kedua pada 7 Mei 2021 tercatat 414.188 kasus per hari. Kenaikannya pun 4,2 kali lipat. Namun, kasus harian di India telah jauh menurun dari gelombang pertama. India membutuhkan waktu 32 hari untuk menekan jumlah kasus harian hingga ke posisi gelombang pertama. Pada 24 Juli, jumlah kasus harian semakin kecil,  40.284 kasus.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Aktivitas pengambilan gambar pranikah di jalan Tanjung Karang, Jakarta Pusat, pada hari terakhir perpanjangan PPKM darurat atau PPKM level 4, Minggu (25/7/2021). PPKM level 4 bertujuan untuk membatasi pergerakan masyarakat guna mengatasi penularan Covid-19.

Kita tentu berharap dengan kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang konsisten serta dibarengi kedisiplinan seluruh warga. Maka, pada 17 Agustus mendatang, saat merayakan kemerdekaan, kita pun bisa menggapai penurunan signifikan. Kasus konfirmasi positif di Indonesia sudah berada di bawah posisi gelombang pertama dan terus mengecil.

Semoga, ini menjadi pertanda dari mulai melandainya kurva kematian.

Penurunan serupa juga harus terjadi pada angka kematian. Di India, angka kematian pada gelombang kedua naik 3,9 kali lipat dari gelombang pertama. Pada gelombang kedua, angka kematian tertinggi terdata 5.015 kasus per hari pada 23 Mei 2021. Dalam waktu 34 hari, angka kematian berhasil ditekan ke posisi gelombang pertama, yaitu 1.287 kasus.

Pada gelombang pertama di Indonesia, angka kematian per hari tertinggi tercatat 476 kasus pada 28 Januari lalu. Pada gelombang kedua, kasus kematian per hari, naik  3,3 kali lipat, hingga mencapai 1.566 kasus. Kemarin, 25 Juli 2021, angka kematian mulai menurun menjadi 1.266 kasus. Semoga, ini menjadi pertanda dari mulai melandainya kurva kematian.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warga antre melakukan verifikasi data saat akan mencairkan bantuan sosial tunai (BST) di Kelurahan Peninggilan, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (24/7/2021). Hari itu, sebanyak 1.562 warga Kelurahan Peninggilan diundang untuk mencairkan dana BST sebesar Rp 300.000. Pemerintah daerah di Jabodetabek menyalurkan BST mulai awal pekan ini.

Kebijakan PPKM darurat yang dilakukan mulai tanggal 3 Juli telah terbukti berhasil menekan mobilitas penduduk. Hal itu terlihat dari data indeks  mobilitas Google. Per tanggal 21-25 Juli, PPKM level 4 pun diterapkan dan mulai berbuah pada penurunan angka kasus. Karena itu, perpanjangan seminggu ke depan harus terus diefektifkan.

Menghadapi kondisi yang tidak mudah ini, daya lenting bangsa dan kita semua diperlukan. Pada satu sisi harus memiliki kemampuan untuk menahan dampak tekanan, pada sisi lain punya kemampuan memulihkan diri. Indonesia sebagai bangsa pejuang, dan dikenal bersemangat solidaritas yang tinggi, memiliki modal untuk menghadapinya.

"Dua pejuang yang paling berkuasa adalah kesabaran dan waktu," kata Leo Tolstoy. 


Sumber: Kompas.id - 26 Juli 2021


Sabtu, 24 Juli 2021

TAJUK RENCANA: Refleksi Setelah Bezos Mengangkasa (Redaksi Kompas)


JOE RAEDLE/GETTY IMAGES NORTH AMERICA/GETTY IMAGES

Kru kapssul New Shepard Blue Origin (kiri-kanan) Wally Funk dan Jeff Bezos berjalan bersama setelah terbang ke antariksa dengan roket, Selasa (20/7/2021), di Van Horn, Texas, Amerika Serikat.

Sembilan hari setelah miliarder Richard Branson mengangkasa dengan Virgin SpaceShip Unity, giliran miliarder lain, yakni Jeff Bezos, Selasa (20/7/2021).

Pendiri Amazon.com itu sukses terbang ke ruang angkasa, menguatkan keterjangkauan antariksa bagi warga "kebanyakan". Kebanyakan yang dimaksud baru terbatas pada kriteria kemampuan fisik dan jiwa yang berbeda dengan antariksawan generasi awal tahun 1960-an yang umumnya berasal dari pilot pesawat tempur. Dalam kapsul Blue Origin yang ditumpangi Bezos, ada saudaranya, Mark; perempuan pilot Wally Funk (82); serta remaja lulusan SMA, Oliver Daemen (18).

Selebihnya wisata angkasa—setidaknya saat ini—masih terbatas bagi kalangan eksklusif. Ongkos sekali terbang 28 juta dollar AS atau sekitar Rp 392 miliar (Kompas, 21/7/2021).

Diproyeksikan dengan situasi dan kondisi Tanah Air, penerbangan Branson dan Bezos bisa menjadi satu paradoks superironis. Seseorang mengeluarkan dana Rp 392 miliar untuk wisata berdurasi sekitar 10 menit, betapa pun spektakuler destinasinya. Pada saat yang sama, di negara kita, tak sedikit warga yang harus bergulat untuk mendapatkan 2 dollar AS atau sekitar Rp 30.000 setiap hari demi menyambung hidup.

JOE RAEDLE/GETTY IMAGES/AFP

Kru New Shepard Blue Origin (kiri ke kanan) Oliver Daemen, Jeff Bezos, Wally Funk, dan Mark Bezos berpose bersama setelah terbang ke antariksa, Selasa (20/7/2021), di Van Horn, Texas, Amerika Serikat.

Ironi lebih terasa jika kita kontraskan aktivitas turisme angkasa dengan kondisi penanggulangan pandemi yang masih tersuruk di negara kita, yang oleh media asing justru disebut sebagai episenter Covid-19. Semoga kita bisa menyikapi kontras ini dengan arif.

Kemajuan memang diperuntukkan bagi mereka yang punya visi jauh ke depan, bekerja keras untuk mencapai tujuan masa depan, dan mengatasi berbagai remeh-temeh perpolitikan. Tentu kita masygul, menjelang 76 tahun merdeka, masih terus berkubang dalam masalah kebutuhan dasar, permasalahan dasar pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Sosok Richard Branson dan Jeff Bezos bukan saja membuka jalan bagi manusia untuk melanglang ke antariksa, melainkan tak berhenti di situ. Dalam visi mereka, ikhtiar itu ditujukan untuk menyehatkan Bumi dengan pindah aktivitas ke ruang angkasa. Membuka koloni baru jika Bumi tak layak huni lagi.

JOE RAEDLE/GETTY IMAGES/AFP

Lauren Sanchez menyimak konferensi pers ketika kekasihnya, Jeff Bezos, berbicara tentang penerbangannya ke antariksa dengan kapsul New Shepard, Selasa (20/7/2021), di Van Horn, Texas, Amerika Serikat.

Dengan keberhasilan menerobos antariksa, yang disebut sebagai "perbatasan terakhir" (the last frontier), mereka sudah berinvestasi banyak untuk riset keantariksaan, membuat roket peluncur yang andal, menguasai teknis penerbangan antariksa berawak, meluncurkan manusia ke ruang angkasa dan membawanya kembali ke Bumi dengan aman, serta tentu punya pikiran untuk menambang berbagai industri kompetitif lain. Ada sejumlah material unggul, misalnya untuk farmasi, yang bisa dibuat murni jika diramu di kondisi tanpa gravitasi.

Ketinggalan satu-dua abad ini yang harus menjadi kerisauan kita. Apa boleh buat, sekarang kita sedang mengerahkan segenap akal budi untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Ketika seusai pandemi, kita jangan abai terhadap berbagai pekerjaan rumah di pundak jika ingin menjadi bangsa yang besar seperti jargon yang sering kita kumandangkan 

Sumber: Kompas.id - 22 Juli 2021



Kamis, 22 Juli 2021

PENANGANAN PANDEMI: Turbulensi Kehidupan (YASRAF A PILIANG)


DIDIE SW

Didie SW

Hari-hari terakhir ini lukisan kehidupan anak bangsa amat memprihatinkan, mencekam, bahkan menakutkan. Hampir setiap kali kita membuka postingan pesan Facebook, WAG atau Twitter, berderet panjang berita tentang teman, adik, kakak, ibu, ayah atau sanak saudara lainnya yang terinfeksi Covid-19, dirawat di rumah sakit, diisolasi mandiri, dijemput ambulans, sekarat di tempat tidur, hingga mengembuskan napas terakhir.

Juga, berita-berita media tentang rumah sakit-rumah sakit yang kewalahan menampung pasien, kelangkaan tabung oksigen, jalan-jalan yang ditutup, antrean di pemakaman—semuanya adalah lukisan muram anak bangsa yang tengah berjuang keras untuk hidup.

Semua ini tidak hanya tentang aroma ketakutan, kesedihan dan derai air mata, tetapi juga tentang lorong ketakpastian hidup. Anak bangsa ini ada di lorong panjang ketakpastian itu: antara terinfeksi atau imun, sehat atau sakit, negatif atau positif, pulih atau meninggal, tetap di rumah atau bepergian, dapat makan atau kelaparan, terus bekerja atau diberhentikan.

Pasung ketidakpastian ini menelikung segenap lapisan masyarakat, setiap kelas sosial, semua kelompok gaya hidup, seluruh suku dan segala ras—tidak ada yang tersisa. Inilah titik ambang batas (threshold) dalam dunia kehidupan, yang menyisakan kebimbangan dan kegamangan hidup—the turbulence of lifeworld.

Dalam segala keterbatasan, manusia tentu berupaya melepaskan diri dari telikung ketakpastian ini. Misalnya, upaya pemerintah memberlakukan aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat mulai tanggal 3 Juli lalu di beberapa wilayah.

Meskipun belum maksimal, setidaknya ada efek perubahan gerak-gerik masyarakat—individu, kelompok, komunitas—ke arah kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

Meningkatnya penjualan beberapa jenis vitamin dan suplemen setidaknya juga menjadi indikator bahwa masyarakat berusaha meningkatkan imunitas tubuh mereka. Artinya, dalam telikung ketidakpastian, gerakan "perang melawan virus" itu tetap hidup!

Efek kepanikan dari turbulensi ini telah mengancam ketahanan fisik, sosial, ekonomi dan budaya.

Turbulensi sosial

Pandemi Covid-19—khususnya varian baru Delta—layaknya hantaman tsunami, telah menimbulkan kekacauan, ketakpastian dan turbulensi dalam kehidupan sosial. Efek kepanikan dari turbulensi ini telah mengancam ketahanan fisik, sosial, ekonomi dan budaya.

Turbulensi secara filosofis adalah keadaan antara atau mengambang: antara keberaturan dan kekacauan, antara kepenuhan dan kehampaan, antara determinisme dan indeterminisme, antara ada dan tiada, antara yang dapat diprediksi dan tak-dapat diprediksi, antara integrasi dan disintegrasi, antara kesatuan dan keterpecahan, antara sehat dan sakit, atau antara hidup dan mati. (Serres, 1998)

Turbulensi lahir karena ada pengganggu atau recok (noise), seperti virus atau parasit. Dan, Covid-19 adalah sang pengganggu itu, yang merecoki kehidupan anak bangsa.

Virus dan parasit sama-sama pembonceng, perecok, pembajak dan penumpang gelap pada tubuh manusia sebagai inang, yang dapat menimbulkan efek kerusakan multi-dimensi. Ada hubungan asimetris antara parasit dan inang. Inang memberi semuanya, dan tak mengambil apapun.

Sebaliknya, parasit mengambil semuanya dan tidak memberi apapun. (Serres, 1995). Pandemi Covid-19 menimbulkan turbulensi kehidupan karena ia merecoki kehidupan biologis, sosial, ekonomi, politik dan kultural anak bangsa, bahkan merusak peradaban—the noise of civilization.

DIDIE SRI WIDIYANTO

Didie SW

Turbulensi menciptakan ambang batas bersifat multidimensi: fisik, sosial, psikis dan kultural. Ambang batas adalah sesuatu yang mengambang atau terombang-ambing pada garis batas. (Kristeva, 1991). Pandemi Covid-19 telah menciptakan titik ambang batas fisik: antara imun dan terinfeksi, antara sehat dan sakit, antara hidup dan mati.

Ia juga menciptakan kondisi ambang batas psikis: antara aman dan terancam, antara tenang dan takut, antara lepas dan terkungkung. Ia juga menciptakan ambang batas sosial: antara berkumpul dan berjarak, antara kebebasan dan isolasi, antara integrasi dan disintegrasi. Kondisi ambang batas ini telah memperkelam lorong ketakpastian.

Covid-19 telah menimbulkan kekacauan, keacakan dan ketakpastian dalam aneka skala. Ketakpastian lalu membawa pada kondisi ketakter-prediksi-an maksimum pada aneka sistem, karena tingginya jumlah pilihan-pilihan dan sifatnya yang acak: sosial, ekonomi, politik, budaya, seni. (Campbell, 1984).

Tetapi, harus diingat, recok sudah setua sejarah penciptaan manusia, yang sudah ada sejak awal kejadian manusia di bumi. Iblis yang merayu Adam dan Hawa agar memakan buah kuldi adalah satu bentuk recok pertama. Recok kemudian menjadi "panggung belakang" dari seluruh sejarah kehidupan manusia hingga kini dan juga seterusnya nanti. (Serres, 1998).

Selain itu, pandemi Covid-19, layak pula menjadi sebuah bahan refleksi diri tentang makna kehidupan. Beban derita dan ketakutan yang dialami manusia akibat pandemi Covid-19 memang tidak terlukiskan. Akan tetapi, dalam kondisi normal, bukankah manusia itu juga virus dan parasit?

Covid-19 telah menimbulkan kekacauan, keacakan dan ketakpastian dalam aneka skala.

Meniru perilaku virus, manusia juga pembonceng dan recok bagi manusia lain serta alam. Manusia menguras sumberdaya alam demi pemuasan hasrat, tanpa pernah memberi apapun sebagai imbalan. Manusia juga "mempermudah" pandemi Covid 19, karena virus "membonceng" pada kemudahan yang disediakan teknologi produksi, transportasi, dan distribusi global ciptaan manusia.

Meskipun demikian, "perang melawan virus" toh harus tetap digelar demi mempertahankan hidup. "Bio-politik" adalah jalan politik untuk mempertahankan hidup dalam sebuah sistem dan kondisi yang ada. Sementara, bio-power adalah "hidup yang menjadi sasaran komando politik," (Foucault, 1986).

Anak bangsa kini terlibat di kedua bentuk "politik" ini. Di satu pihak, setiap orang harus mempertahankan hidup dalam ancaman hebat pandemi, dengan segala cara. Di pihak lain, pemerintah menggunakan otoritasnya untuk mengatur, mengendalikan dan membatasi masyarakat, demi mengurangi dampak pandemi Covid-19.

Konflik terjadi, ketika ada jurang antara bio-politik dan bio-power, yaitu kontradiksi antara gerak-gerik masyarakat dalam mempertahankan hidup dan gerak gerik pemerintah dalam mengatur. Kian besar jurang antara gerak-gerik masyarakat dan pengaturan pemerintah, kian besar efek turbulensi dan ketakpastian yang ditimbulkan dalam perang melawan virus, seperti yang terjadi di beberapa negara.

Sebaliknya, kian melekat chemistry antara suasana batin masyarakat dan langkah kebijakan, program dan gerak-gerik pemerintah, kian tangguh mesin perang anak bangsa melawan virus.

DIDIE SW

Didie SW

Resiliensi budaya

Seberat apapun beban kehidupan, respons melawan virus harus diberikan, untuk tetap bertahan hidup. Resiliensi adalah respons kognitif, perilaku dan emosi yang fleksibel terhadap aneka kesulitan, yang sangat ditentukan oleh sikap dalam menghadapinya.

Ia adalah jalan untuk membangun kebertahanan dan bangkit dari kesulitan bersifat disruptif, seperti pandemi Covid-19. (Neenan, 2018).

Aneka cara, metode, dan teknik telah dilakukan oleh berbagai elemen bangsa untuk meningkatkan kebertahanan menghadapi efek pandemi. Proses pemulihan mungkin akan panjang, yang akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru. (Fiksel, 2015)

Akan tetapi, resiliensi harus didukung oleh pemahaman komprehensif, terintegrasi dan mendalam tentang virus dengan segala dimensinya. Selain sudut pandang virologi, virus harus dilihat dari sudut pandang lebih luas dan terintegrasi: sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan keagamaan.

Patografi adalah pendekatan lintas-disiplin macam ini, sebagai ramuan narasi historis, biologis, sosial, politik, ekonomi dan kultural penyakit dan penularannya. Inilah metanarasi tentang krisis atau penyakit di ruang-waktu tertentu, termasuk pandemi Covid-19 dan aneka variannya. (MacPhail, 2014)

Dalam perang melawan Covid-19, selain lintas-disiplin, diperlukan pula pendekatan lintas-sektoral dan lintas-institusional. Pada tingkat akademis, perlu dihasilkan pemikiran, konsep, sistem, bentuk atau produk-produk terkait virus melalui aneka temuan ilmiah lintas-disiplin, yang melibatkan aneka disiplin kedokteran, virologi, sains, teknologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, kebudayaan, seni, dan lain-lain.

Pada tingkat kepemerintahan, perlu kebijakan, program dan tindakan lintas-sektoral dan lintas-institusional terintegrasi. Pada tingkat masyarakat, perlu gerakan akar rumput tingkat individu, komunal dan sosial dalam semangat "gotong royong" mengatasi masalah bersama, melampaui segala perbedaan sosial-politik.

Selain itu, perlu optimalisasi dan integrasi atas tiga upaya yang tengah dilakukan. Pertama, memaksimalkan kepatuhan terhadap prosedur kesehatan yang sudah digariskan secara nasional. Kedua, memaksimalkan imunitas diri sesuai dengan kemampuan, dan bila memungkinkan menemukan gagasan-gagasan inovatif terkait kebertahanan dan imunitas.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Yasraf A Piliang

Ketiga, intensifikasi pendekatan diri kepada Tuhan melalui doa, karena agama mengajarkan bahwa segala penyakit pasti ada obatnya. Memang, virus tak bisa dibasmi karena ia bagian historis keseimbangan alam. Tetapi, ia harus dilawan untuk meredam guncangan turbulensi dan efek merusaknya pada kehidupan. Semoga anak bangsa diberi kekuatan, imunitas dan kesehatan.

Yasraf A Piliang Pemikir sosial dan kebudayaan ITB 

Sumber: Kompas.id - 22 Juli 2021


Rabu, 21 Juli 2021

KETAHANAN KELUARGA: Keluarga Benteng Pertahanan Utama Melawan Korona (MARGARETHA ARI ANGGOROWATI)


KOMPAS/SUPRIYANTO

Supriyanto

Kluster keluarga telah menjadi penyumbang besar dalam penyebaran kasus Covid-19. Dikatakan kluster keluarga dapat menularkan 10 kali lebih tinggi dari kluster lainnya. Pada bulan Januari 2021, 40,1 persen penyebaran Covid-19 di DKI Jakarta disebabkan oleh kluster keluarga. Jika seharusnya keluarga menjadi tempat yang paling aman bagi seseorang maka pada penyebaran virus Covid-19 justru sebaliknya keluarga menjadi wilayah paling berbahaya dalam penularan Covid-19.

Kluster keluarga terjadi ketika anggota keluarga tertular virus Covid-19 saat berada di rumah. Hal ini dapat terjadi karena salah satu anggota keluarga terpapar virus Covid-19 kemudian ia akan menularkan kepada anggota yang lain.

Penularan di dalam keluarga menjadi sangat mudah karena di dalam keluarga sulit untuk menerapkan protokol kesehatan (prokes) setiap saat. Hal ini menjadi lebih cepat terjadi karena sebagian besar keluarga diam di rumah di saat dilakukan pembatasan mobilitas masyarakat, namun di sisi lain masih ada anggota keluarga yang melakukan aktifitas di luar rumah dan berpeluang terpapar virus Covid-19. Saat di dalam rumah, terjadi interaksi antar anggota keluarga secara dekat dan peluang penularan terjadi.

Penularan di dalam keluarga menjadi sangat mudah karena di dalam keluarga sulit untuk menerapkan protokol kesehatan (prokes) setiap saat.

Benteng pertahanan 

Melakukan isolasi permasalahan penularan virus Covid-19 dan pencermatan khusus penanganan penularan dalam kluster keluarga menjadi penting untuk dilakukan. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Keluarga menjadi salah satu pusat kekuatan sebuah populasi dan memiliki potensi dalam peningkatan kesejahteraan.

Secara fisik memang keluarga menjadi demikian rawan terhadap penyebaran Covid-19, tetapi dengan "kecerdasan dan komitmen kuat" keluarga maka gempuran virus Covid-19 akan dapat ditahan dalam sebuah benteng pertahanan keluarga. Jika saat ini keluarga menjadi lubang hitam penyebaran Covid-19 maka di sisi lain justru keluarga juga menjadi peluang benteng kekuatan kita untuk melawan penyebaran virus Covid-19.

Menjaga kesehatan keluarga menjadi hal utama dalam memutus rantai penyebaran virus. Vaksin akan membantu bagaimana setiap individu dalam keluarga menjadi lebih kuat terhadap serangan virus Covid-19, tetapi hal utama yang turut menentukan adalah perilaku setiap individu untuk lebih taat dalam menjaga kesehatan.

Komitmen untuk menjaga prokes di dalam dan di luar rumah dan mematuhi seluruh aturan pemerintah harus menjadi bagian dari kesepakatan di dalam keluarga. Komitmen di dalam keluarga diharapkan akan lebih mudah dibangun jika dibandingkan dengan berbagai himbauan dari luar baik pemeritah maupun masyarakat.

Kesadaran untuk melindungi sesama anggota keluarga diharapkan dapat menumbuhkan motivasi setiap orang untuk ketat menjaga prokes di mana pun berada. Jika ada salah satu keluarga terpapar virus Covid-19 diharapkan keluarga menjadi pihak pertama yang mengawal dan terus membantu seseorang melewati masa-masa perjuangan untuk pulih sesuai protokol dan aturan yang ada.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga yang terkonfirmasi Covid-19 menunggu bus sekolah uuntuk menjalani perawatan di RT 03 RW 03 Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, Jumat (21/5/2021). Lebih dari 80 orang di RT tersebut terkonfirmasi Covid-19.

Menopang keluarga

Penanganan terhadap tiap individu dalam masa penyebaran virus Covid-19 secara langsung oleh pemerintah akan sangat memberatkan. Upay luar biasa oleh pemerintah sudah dilakukan dengan melakukan pelayanan kesehatan yang maksimal, vaksin, dan lain-lain. TNI/Polri dikerahkan untuk membantu melakukan layanan kesehatan, pemberian vaksin, menjaga keamanan pelaksanaan pada masa pembatasan dan sebagainya.

Peran pemerintah seharusnya dapat dilakukan untuk menjaga utamanya pada level keluarga. Setiap keluarga kemudian menjaga seluruh anggota keluarganya. Peran-peran dalam keluarga harus dioptimalkan. Hanya pada keluarga-keluarga tertentu dengan kondisi terbatas pemerintah kemudian turun tangan secara langsung.

Keluarga harus dapat memahami apa saja yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan seluruh keluarga dari penyebaran virus Covid-19. Bagi keluarga terdampak dapat memahami kebutuhannya dan mengkomunikasikan dengan mengakses berbagai layanan yang sudah disediakan pemerintah.

Keluarga harus dapat memahami apa saja yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan seluruh keluarga dari penyebaran virus Covid-19.

Lingkungan terkecil seperti RT dan RW sampai saat ini sudah banyak bergerak untuk membantu warganya. Keterbukaan dan komunikasi setiap keluarga kepada lingkungan setempat menjadi kunci kemampuan tiap keluarga untuk menjadi berdaya. Sampai saat ini mungkin masih banyak keluarga yang tergagap-gagap dalam menghadapi pandemi Covid-19. Mereka tidak tahu harus bagaimana dan harus kemana ketika di keluarga mereka ada yang terkena dampak dari berbagai sisi.

Secara teknis peran pemerintah dalam mendampingi keluarga dapat dibagi sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari setiap kementerian lembaga. Peran ini kemudian akan berinteraksi ke masyarakat melalui mekanisme perangkat desa yang sudah sampai ke level terkecil yaitu RT. Sebagai contoh BKKBN dimana salah satu tupoksi BKKBN adalah pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan tingkat nasional dalam pembangunan keluarga melalui ketahanan dan kesejahteraan keluarga", dapat ambil bagian secara khusus.

Diperlukan perluasan peran BKKBN untuk membantu memberdayakan keluarga agar menjadi kuat dan tangguh di masa pandemi. Para kader BKKBN di setiap RT dapat membantu untuk melakukan sosialisasi dan penjelasan teknis terkait bagaimana menjaga kesehatan keluarga di wilayahnya masing-masing. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan melalui jaringan komunikasi digital. Mereka dapat pula diberi peran untuk mengawasi perilaku masyarakat di lingkungan terdekat.

DOK PEMERINTAH KECAMATAN BOJONG

Pemerintah Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah melakukan sosialisasi terkait pembatasan akses masuk Dusun Duren, Desa Kajenengan kepada warga setempat, Jumat (28/5/2021). Di dusun itu, ada 41 orang yang terpapar Covid-19.

Peran Polri juga dapat diperluas tidak hanya melakukan pengawasan langsung di jalan-jalan dan wilayah-wilayah umum tetapi bisa melakukan hal yang lebih luas misal para Polwan bekerja sama dengan ibu-ibu PKK setempat melakukan koordinasi terkait petunjuk teknis apa saja yang harus dilakukan oleh tiap keluarga agar dapat bertahan dalam empasan virus Covid-19.

Pembinaan terhadap keluarga tidak cukup hanya dilakukan dengan berbagai imbauan dan sosialisasi. Imbauan 5M rasanya tidak cukup lagi. Serangan virus Covid-19 yang semakin ganas menuntut adanya kemampuan dan kesadaran tiap keluarga untuk memproteksi secara kuat keluarganya masing-masing. Apa yang harus dilakukan dana apa yang tidak boleh dilakukan.

Serangan virus Covid-19 yang semakin ganas menuntut adanya kemampuan dan kesadaran tiap keluarga untuk memproteksi secara kuat keluarganya masing-masing.

Pengetahuan ini harus diberikan dalam sebuah petunjuk teknis yang jelas dan secara simultan diawasi pelaksanaannya oleh pihak-pihak yang diberi wewenang. Keluarga tidak sekadar tahu bahwa harus pakai masker dan cuci tangan, tetapi mereka harus bisa mencermati kondisi kesehatan anggota keluarganya masing-masing khususnya jika menunjukkan gejala-gejala ke arah infeksi virus Covid-19.

Setelah mengetahui maka kemudian memahami apa yang harus dilakukan untuk segera memberi dukungan dan bantuan kepada anggota keluarganya. Hal ini menjadi sangat penting agar tidak semua mereka yang bergejala dikirim kepada rumah sakit dan di sisi lain mereka juga dapat menghindari dan mampu memproteksi anggota keluarga lain agar tidak tertular. Jika mereka membantu anggota keluarga tanpa pengetahuan yang cukup maka isolasi mandiri yang dilakukan justru menjadi kluster baru penularan.

Baca juga: Meningkatkan Ketahanan Keluarga

Pemahaman dan kemampuan keluarga dalam menghadapi pandemi Covid-19 harus segera diperkuat. Keluarga menjadi sumber kekuatan utama untuk menghadapi Covid-19. Penguatan keluarga harus dilakukan sekuat mungkin dalam masa distribusi vaksin dilakukan. Menahan kekuatan selama menuju tercapainya kekebalan komunal menjadi titik kritis. Pada titik inilah peluang kerjasama antara pemerintah dan setiap keluarga akan terbuka dalam sebuah proses penyelamatan di masa pandemi.

Sudah saatnya setiap keluarga Indonesia semakin kuat, bertumbuh dan berkembang walau harus dibentuk dengan melewati masa-masa sulit pandemi Covid-19. Meraih berkah dan memaknai setiap pengalaman adalah guru terbaik bagi setiap keluarga untuk terus berjuang. Jangan bebankan semua kepada usaha pemerintah. Setiap keluarga adalah berdaya.

Margaretha Ari AnggorowatiStatistisi Ahli Madya BPS, Dosen Polstat STIS 


Sumber: Kompas.id - 19 Juli 2021


Sabtu, 17 Juli 2021

TAJUK RENCANA: Ketidakpuasan di Afrika Selatan (Redaksi Kompas)


AP

Warga mendorong bahan makanan hasil jarahan dengan troli saat kerusuhan berlanjut di Provinsi KwaZulu Natal, Afrika Selatan, Kamis (15/7/2021).

Penjarahan supermarket berlangsung di beberapa wilayah di Afrika Selatan. Korban jiwa berjatuhan. Ancaman kesulitan ekonomi yang lebih berat muncul.

Penjarahan supermarket terjadi setelah mantan Presiden Jacob Zuma dipenjara. Kekacauan yang diawali protes masyarakat terhadap apa yang terjadi atas Zuma itu berlangsung berhari-hari. Menurut The New York Times, sedikitnya 117 orang meninggal dan kerugian material mencapai jutaan dollar AS. Kerusuhan itu disebut sebagai yang terburuk setelah politik apartheid berakhir pada 1994.

Kompas edisi 16 Juli 2021 menulis laporan dari Pemerintah Afrika Selatan, bahwa telah terjadi 208 penjarahan dan vandalisme. Sekitar 800 toko dijarah. CNN menyebutkan, lebih dari 1.200 orang ditangkap. Patroli petugas keamanan pun ditingkatkan guna mencegah kerusuhan yang dipicu oleh kelompok-kelompok anak muda miskin.

Penjarahan tak pelak memukul rantai distribusi makanan serta memutus jaringan transportasi, terutama di Provinsi KwaZulu-Natal, yang merupakan tempat Zuma berasal. Gangguan pada jalur distribusi dan kerusakan toko membuat warga kesulitan mendapat bahan pokok. Masyarakat pun kian menderita di tengah ekonomi yang terpukul pandemi Covid-19.

AFP/GUILLEM SARTORIO

Polisi mencari penjarah di dalam sebuah pusat perbelanjaan di Vosloorus, Johannesburg, Afrika Selatan, Senin (12/7/2021).

Kekacauan dipicu pemenjaraan Zuma, pekan lalu. Ia diperintahkan oleh pengadilan untuk dipenjara selama 15 bulan karena dinilai menghina pengadilan. Selama beberapa waktu terakhir, Presiden Afrika Selatan periode 2009-2018 itu memang menolak untuk bersaksi dalam penyelidikan korupsi. Setelah lengser dari kekuasaan, Zuma menghadapi sejumlah kasus, termasuk dugaan korupsi.

Apa yang dialami oleh Zuma dinilai hanya menjadi pemicu, bukan penyebab utama, penjarahan dan kekacauan di Afrika Selatan. Kondisi sosial di Afrika Selatan saat ini cukup menggelisahkan. Angka pengangguran mencapai 34 persen, yang sebagian di antaranya akibat pandemi Covid-19. Situasi ekonomi diperkirakan akan kian berat mengingat tak sedikit manajer dan karyawan yang kehilangan penghasilan karena toko mereka hancur.

Gelombang penjarahan tak bisa dilepaskan dari ketidakpuasan warga, terutama kaum muda. Meski penjarahan sama sekali tidak bisa dibenarkan, hal tersebut tetap menunjukkan ada persoalan serius yang perlu diatasi oleh otoritas. Angka pengangguran yang tinggi tak ubahnya api dalam sekam yang setiap saat siap menyala.

AP PHOTO/THEMBA HADEBE

Warga mendorong keranjang belanja berisi barang-barang yang dijarah di kompleks perbelanjaan Naledi, di Vosloorus, sebelah timur Johannesburg, Afrika Selatan, Senin (12/7/2021).

Kelompok usia muda mendominasi populasi Afrika Selatan yang mencapai 57 juta. Hampir 30 persen berusia 0-14 tahun, sedangkan warga berusia 15-24 tahun dan 25-54 tahun masing-masing sebanyak 16,8 persen dan 42,37 persen.

Menjawab kegelisahan kaum muda merupakan tugas utama pemerintah di negara dengan struktur demografi seperti Afrika Selatan. Kita pun berharap apa yang terjadi di Afrika Selatan segera teratasi dan kehidupan ekonomi negara itu dapat membaik meski di tengah tekanan akibat pandemi. 


Sumber: Kompas, 17 Juli 2021


Jumat, 16 Juli 2021

BIROKRASI: Birokrasi dan Politik di Pemerintahan (MIFTAH THOHA)


Peranan kekuasaan parpol dalam sistem kepemerintahan dan kenegaraan semakin hari semakin menarik untuk dianalisis. Semenjak awal reformasi 1999, kehadiran parpol dalam pemerintahan semakin bertambah. Kehidupan parpol sejak kemerdekaan 1945 dalam membangun tata kepemerintahan dan kenegaraan sudah banyak dirasakan.

Sebelum ada sistem demokrasi, pejabat yang memimpin lembaga pemerintahan hanya birokrat yang membuat kebijakan dan mewujudkannya. Birokrat adalah pejabat yang profesional, kompeten, dan ahli di bidangnya yang diperoleh melalui lembaga pendidikan dan pelatihan dan meniti kariernya secara otomatis dengan cara mobilitas.

Sekarang, di zaman sistem demokrasi, jabatan dalam organisasi pemerintahan dan kenegaraan tidak dipimpin oleh birokrasi, tetapi dipimpin pejabat politik. Parpol merupakan perwujudan dari kekuasaan rakyat, sedangkan birokrasi merupakan wujud kekuasaan pejabat.

Parpol menurut tabiatnya adalah organisasi yang mencari kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan (Bung Karno). Oleh karena itu, begitu suatu partai atau kumpulan partai memenangi pemilu, mereka akan memimpin lembaga pemerintahan dan menjadikan birokrasi pemerintah sebagai subordinasi politik. Dalam pemerintahan yang dipimpin pejabat politik, tugas utamanya membuat keputusan atau kebijakan politik.

Dengan demikian, mulailah terbentuk sistem kerja antara kekuasaan membuat keputusan atau kebijakan di tangan pejabat politik, dengan pelaksana keputusan atau kebijakan yang dilakukan oleh pejabat birokrasi. Akhir-akhir ini kita mengenal sistem oligarki politik.

Sistem ini salah satu model pemerintahan demokrasi yang penekanan kekuasaannya berada di tangan kelompok parpol yang berkuasa. Kekuasaan di eksekutif ini bahkan didukung oleh mayoritas suara di legislatif. Pemerintahan oligarki politik semacam ini cenderung dan sama artinya dengan pemerintahan otoriter, lawan sistem pemerintahan demokrasi.

Sistem oligarki politik ini merisaukan tatanan kehidupan pemerintahan yang demokratis. Banyak parpol yang cenderung menggunakan kekuasaan politiknya melebihi kekuasaan rakyat yang diwakilinya.

Hubungan kerja politik dan birokrasi

Pada awal pemerintahan demokrasi tahun 1998, ketika presiden dijabat BJ Habibie, banyak undang-undang direvisi dan dibentuk. Sebut saja UU pemerintahan, UU kepegawaian, UU kepartaian, UU pemilu, UU susunan dan kedudukan DPR, DPRD, MPR, dan diciptakan UU baru tentang kebebasan pers atau UU tentang demokrasi.

Sayang, saat itu terlambat tak diciptakan hubungan kerja yang bisa mewujudkan pemerintahan demokrasi yang good government. Akibatnya, sampai sekarang dirasakan hubungan keduanya dalam suatu pemerintahan yang demokratis tidak mencerminkan hubungan yang co-equality, tetapi hubungan kekuasaan antara pejabat yang memimpin dan pejabat yang dipimpin.

Kekuasaan memang nyawa dalam suatu organisasi, tetapi jangan diobral penggunaannya. Tak jarang dijumpai jika pejabat politik atau menterinya melakukan korupsi, pejabat birokrasinya ikut terlibat. Ini juga terjadi di pemerintahan daerah.

Pendekatan kekuasaan di atas erat kaitannya dengan hubungan antara jabatan politik dan jabatan karier birokrasi yang belum pernah ditata dengan baik. Posisi subordinasi pejabat birokrasi pemerintah di bawah kendali jabatan politik menjadikan sangat sulit bagi pejabat birokrasi lepas dari pengaruh politik pemegang jabatan politik yang jadi atasannya.

Model hubungan kerja birokrasi dan politik

Di Amerika Serikat (AS), dalam perkembangan ilmu politik dan ilmu pemerintahan (public administration), lebih didahulukan untuk mengenalkan ilmu politik daripada ilmu public administration. Ilmu politik dikembangkan dengan mengemukakan kajian yang tekanannya untuk merumuskan kebijakan (Warren Bennis, 1966), sedangkan ilmu public administration dikembangkan untuk melaksanakan kebijaksanaan (Martin Albrow, 1970).

Kedua ilmu itu dikembangkan dengan baik sekali sehingga bisa diterapkan dalam aktivitas lembaga pemerintahan dalam sistem demokrasi. Dalam menata hubungan kerja antara pejabat birokrasi dan pejabat politik, banyak model yang dikemukakan. Sebagian model sudah pernah diterapkan di negara kita untuk masa pemerintahan yang cukup lama.

Model hubungan kerja antara pembuat keputusan dan pejabat yang merealisasikan keputusan tidak co-equality. Yang terjadi, dalam setiap sistem organisasi kepemerintahan, gambaran yang ada adalah antara pejabat yang berkuasa dan pejabat yang dikuasai, atau secara lebih eksplisit antara pejabat politik dan pejabat birokrasi dikuasai oleh kekuasaan pejabat politik.

Dalam model Marxis yang dikenalkan oleh Karl Marx, atau model executive ascendancy (AS), pejabat birokrasi dikuasai pejabat politik. Model ini pernah dilaksanakan selama lebih dari 32 tahun oleh Presiden Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru.

Dalam pemerintahan Orde Baru saat itu, hanya ada tiga kekuatan politik: dua berupa partai politik, dan satunya golongan bukan partai politik, tetapi bertindak sebagai partai politik. Satu kekuatan politik yang tidak berupa partai politik menguasai pemerintahan dan kenegaraan. Birokrasi pemerintah dikuasai oleh kekuatan politik yang bukan partai politik.

Ini termasuk model yang aneh, belum ada di negara mana pun yang menggunakannya, tetapi bisa berjalan lama sekali selama 32 tahun pada pemerintahan Orde Baru.

Model yang belum pernah dicoba atau model yang masih menjadi angan-angan adalah model di mana kekuatan birokrasi mempunyai kedudukan yang sama dengan kekuatan politik (co-equality with the executive). Kekuatan birokrasi itu adalah kekuatan keahlian, kekuatan kompetensi, dan kekuatan profesionalisme.

Birokrasi itu diambil dari calon-calon yang terdidik dari bawah sampai pendidikan tertinggi melalui pelatihan. Oleh karena itu, jika kekuasaan politik itu memberikan reward pada pengalaman pejabat birokrasi, akan terbentuk tim kerja (teamwork) yang saling mengisi kekurangan di satu pihak dengan kelebihan pihak lain.

Dahulu, pada zaman pemerintahan Orde Baru, ada dua nomenklatur yang menyebut suatu organisasi pemerintah yang dipimpin oleh menteri. Satu nomenklatur disebut kementerian, untuk menamakan organisasi politik yang dipimpin menteri dari partai politik, dan satu lagi disebut departemen, untuk kementerian.

Istilah departemen menunjukkan bahwa di kementerian itu ada pejabat birokrasi yang berperan selain menteri. Suatu contoh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa juga disebut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Model ini di AS dinamakan bureaucratic sublation model, yang mendudukkan kekuatan birokrasi co-equality with the executive.

Jika model ini diberlakukan, penataan karier aparatur sipil negara (ASN) bisa dilakukan oleh pejabat birokrasi karier. Pejabat pembina karier birokrasi harus dipegang pejabat karier birokrasi, dalam hal ini sekretaris jenderal di kementerian dan sekretaris daerah di tiap-tiap pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota.

Bukan seperti sekarang ini, dalam Undang-Undang ASN ditentukan bahwa pejabat pembina karier ASN dipegang oleh pejabat politik, dari presiden didelegasikan kepada menteri, dan kepala daerah.

Semoga model bureaucratic sublation yang mendudukkan pejabat birokrasi sederajat dengan kedudukan pejabat politik bisa menjadi pertimbangan model hubungan kerja pejabat birokrasi dan pejabat politik.

Miftah Thoha Guru Besar (Ret) Universitas Gadjah Mada 

Sumber: Kompas.id - 16 Juli 2021


Kamis, 15 Juli 2021

REFLEKSI PENDIDIKAN: Belajar Memanusia (IWAN PRANOTO)

Jika diketikkan 'mencetak SDM' di Google, akan berderet lebih dari satu juta rujukan terkait frasa ini. Penggunaan kata 'mencetak' dengan diimbuhi kata 'SDM' seperti paket kombo lengkap dalam mendehumanisasi. Kata mencetak sudah mengeksploitasi, apalagi ini dieksplisitkan lagi dengan SDM.

Sumber daya manusia (SDM) dalam KBBI diartikan sebagai "potensi manusia yang dapat dikembangkan untuk proses produksi." Istilah aslinya human resource, populer di abad ke-20.

Awalnya, istilah ini dicetuskan sebagai sebuah kiasan guna menghargai kapasitas manusia. Namun, seperti banyak istilah, harapan dan kenyataan kerap bertolak belakang. Dalam berjalannya waktu, yang terjadi justru esensi kemanusiaan dalam istilah itu semakin memudar. Ini yang dikritisi dengan tajam melalui makalah "A Human is not a Resource" (McGaughey, 2020). McGaughey menegaskan bahwa dengan istilah itu, manusia telah diturunkan derajatnya dan menjadi sumber, suplai, atau modal.

Dampaknya, tanpa direncanakan, "pembendaan" pekerja ini menyusupi akal dan menyebar di masyarakat. Istilah ini, lanjutnya, sekarang melumrah, bertebaran di judul buku teks, papan nama, istilah keseharian, dan menjadi penghela utama gig economy: gagasan keliru bahwa manusia merupakan sebuah sumber daya.

Penggunaan kata SDM tersebut sama sekali bukan urusan sepele. Menurut McGaughey, "Kata itu berpengaruh. Kata membawa makna." Konyolnya, data menunjukkan, setiap kali prinsip utama dari teori 'sumber daya manusia' diterapkan sepenuhnya, hasilnya di capaian kemakmuran pekerja malah memburuk (Idem, 2020).

Rasanya tak mungkin ada ibu yang rela anaknya kelak menjadi sumber daya, sejajar dengan batubara atau bensin.

Rasanya tak mungkin ada ibu yang rela anaknya kelak menjadi sumber daya, sejajar dengan batubara atau bensin. Demikian pula seorang guru ataupun pemimpin institusi pendidikan sudah seharusnya gusar jika ada yang menginstruksikan siswa dicetak menjadi SDM.

Namun, pada sisi lainnya, sudah semestinya seseorang menjalani pendidikan untuk menerampilkan dirinya agar dapat bekerja dan mencukupi dirinya sendiri secara material dan finansial. Jadi, usaha mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja dan mencari nafkah merupakan hal sesuatu yang lumrah dan mulia.

Memanusia

Begawan pendidikan konstruktif Mochtar Buchori di masa hidupnya berkali-kali mengingatkan, pendidikan harus memfasilitasi pelajar untuk belajar menafkahi dirinya dan juga memuliakan kehidupannya.

Sekitar setengah abad sebelumnya, pemikir pendidikan dan Rektor IKIP Sanata Dharma, Pater N Driyarkara, memanggungkan istilah hominisasi dan humanisasi dalam pendidikan. Beliau menekankan perbedaan antara usaha seseorang menjadi hominid dan menjadi human. Menurut KBBI, hominid diartikan sebagai "suku yang mencakupi manusia dan makhluk mirip manusia yang telah punah."

Tidak seperti hominid lain, manusia harus menjadi hominid dan manusia sekaligus. Seorang manusia harus mampu menghidupi dirinya secara badani dan sekaligus menumbuhkan dirinya menjadi manusia yang berperangai halus dan berbudi. Pendidikan (melalui keluarga, masyarakat, atau sekolah) sebagai sebuah kreasi peradaban bertugas memfasilitasi dua sasaran tersebut sekaligus.

KOMPAS/SUPRIYANTO

Supriyanto

Melalui perspektif kecerdasan, guru manajemen Stephen Covey merumuskan model manusia utuh secara lebih eksplisit dan operasional (Covey, 2004).

Menurutnya, seorang manusia dalam hidupnya harus dapat memenuhi empat kebutuhan pertumbuhan: badan, akal, hati, dan jiwa. Khususnya, seorang manusia perlu mampu menyediakan dirinya pangan, papan, sandang, dan juga menjaga kesehatan tubuhnya.

Kemudian, dia harus mampu serta tetap berhasrat untuk belajar dan mengasah akalnya. Dia juga perlu cakap merawat hubungan emosional serta sosial dengan masyarakat dan dengan dirinya sendiri. Yang terakhir, dia perlu merawat kesadaran agungnya untuk mewariskan dunia yang lebih baik bagi generasi selanjutnya.

Namun, dengan semakin dahsyatnya pragmatisme, sasaran hominisasi dan humanisasi tadi tidak berjalan harmonis dalam pendidikan. "Di zaman teknologi ini," kata Rama Driyarkara, "bisa saja orang hanya memburu kecakapan kerja dan bukan perkembangan manusia" (Driyarkara, 2006, hlm. 363).

Perlu dicatat, kalimat itu sama sekali bukan berarti bahwa menjadi hominid tak penting, bahkan kurang penting dibanding menjadi manusia, tetapi setiap manusia perlu mengembangkan keduanya berbarengan. Pendidikan dari tataran paling dasar sampai paling tinggi perlu menjaga kemajuan, keterpaduan, dan keharmonisan dua sasaran tadi.

Masalah yang muncul dalam praktik pendidikan bukan karena kedua sasaran tadi tak berkembang beriringan, tetapi justru pendidikan berjalan beriringan tetapi di dua jalur rel yang berbeda.

Pengajaran "dua rel"

Masalah yang muncul dalam praktik pendidikan bukan karena kedua sasaran tadi tak berkembang beriringan, tetapi justru pendidikan berjalan beriringan tetapi di dua jalur rel yang berbeda. Sekelompok siswa melalui satu jalur menyiapkan diri untuk segera masuk dunia kerja dan kelompok lainnya melalui jalur lainnya meneruskan mempelajari keilmuan lebih dalam dan lebih lama.

Akibatnya, segregasi dan pengkastaan melalui pendidikan, mau diakui atau tidak diaku, telah terjadi.

Di masa revolusi industri pertama, kedua, sampai ketiga yang dicirikan berturut-turut sebagai langkah memesinkan, memproduksi massal, dan mengotomasi; dunia industri dan perdagangan menganggap sistem pengajaran dua rel itu cocok dengan keperluan industri. Sampai abad lalu sejumlah kantor dagang, institusi komersial, bahkan organisasi buruh di beberapa negara industri, menyokong sistem pengajaran dual-track atau rel ganda tadi.

Sejumlah pendidik dan pebisnis pragmatis juga mengompori dengan pertanyaan apa gunanya siswa sekolah menengah, yang akhirnya akan memasuki jenis pekerjaan bergaji-rendah, perlu belajar lebih tinggi dari jenjang SMA?

Lebih jauh, mengapa mereka perlu belajar filsafat, sejarah, dan sastra? Ini rangkaian pertanyaan retorika yang sudah akrab di dunia pendidikan.

Dermawan Peter Thiel menyeriusi pertanyaan atau tantangan tadi dengan menawarkan "beasiswa" bagi para remaja cerdas yang mau meninggalkan pendidikan tinggi dan langsung berlatih mengembangkan usaha rintisan (start-up) berbasis web (Clynes, 2017). Ada yang mengritisi Thiel, tetapi cetusan idenya berhasil mengusik kemapanan pendidikan.

Menurut Presiden Universitas Harvard, Larry Summers, pendidikan tinggi memang perlu berubah, tetapi menggunakan dana filantrofi guna membujuk para pelajar untuk meninggalkan perguruan tinggi merupakan gagasan yang "sangat berbahaya."

Di abad silam, pemikir dan pereformasi pendidikan paling berpengaruh AS, John Dewey, sudah menentang keras ide sistem pendidikan rel ganda ini.

Di abad silam, pemikir dan pereformasi pendidikan paling berpengaruh AS, John Dewey, sudah menentang keras ide sistem pendidikan rel ganda ini. Pendidikan yang sekadar memuaskan permintaan "end user" akan memandang siswa sebagai konsumen playlist pengetahuan (Roth, 2012). Menurut Dewey, pengajaran rel ganda ini hanya akan memperparah ketimpangan.

Di dekade ketiga di abad ke-21 ini, sistem pengajaran dua rel itu semakin meragukan. Dunia hari ini dicirikan dengan laju perkembangan pengetahuan dan difusinya yang super pesat. Konsekuensinya, menurut teknolog John S Brown, waktu paruh pengetahuan dan keterampilan di zaman ini hanya lima tahun.

Brown menambahkan, di masa lalu, siklus mengadopsi pengetahuan/teknologi baru mengikuti tahap inovasi (penemuan), sindikasi (litbang), dan periode panjang difusi (masuk pasar) yang stabil dapat digambarkan seperti sebuah huruf 'S' besar. Itu zaman saat pengetahuan mencair lambat, tetapi sekarang pengetahuan mencurah deras.

Akibatnya, sekarang kurvanya terdiri dari rangkaian banyak kurva 'S' berukuran kecil. Jarak dari inovasi sampai difusi dan munculnya inovasi baru lain (substitusi) terjadi semakin singkat dan sering.

Periode grafik 'S' itu pada zaman inovasi TV berwarna lebih dari 70 tahun, tetapi sekarang komputer dengan ratusan peranti lunaknya sudah berkali-kali berganti hanya dalam 10 tahun. Dengan laju perubahan seperti itu, siswa dan pekerja dituntut menguasai pengetahuan baru seperti berenang di jeram yang aliran airnya kuat, cepat, dan berubah terus-menerus. Maka, seorang pekerja di zaman ini butuh terus belajar keahlian baru.

Dengan laju perubahan seperti itu, siswa dan pekerja dituntut menguasai pengetahuan baru seperti berenang di jeram yang aliran airnya kuat, cepat, dan berubah terus-menerus.

Bahkan, seseorang yang secara sengaja berlatih dengan kecakapan tertentu untuk sebuah pekerjaan spesifik pula tidak mungkin mampu bertahan di kariernya, yang sekarang lebih dari 60 tahun, tanpa belajar pengetahuan lain serta memutakhirkan keterampilannya.

Ini berarti pelajar yang mengikuti rel yang semula diarahkan untuk segera bekerja juga perlu mengembangkan dirinya dalam berpikir dan kecakapan umum lainnya, sama seperti temannya yang di rel pendidikan umum. Tak beda.

Sebaliknya, pendidikan tinggi umum seperti universitas semakin menginginkan lulusannya memiliki pengalaman praktik di dunia kerja sebelum lulus. Pelajar di institusi pendidikan umum juga diarahkan memahami praktik dunia industri secara nyata.

Tampak bahwa dua jalur di sistem pengajaran rel ganda itu sudah konvergen mendekat. Zaman pengetahuan-mencurah-deras ini telah membuat segregasi pengajaran dua rel tadi tidak sekontras di abad silam. Gairah dan terampil belajar untuk mengembangkan diri relevan bagi pelajar di jalur mana saja. Siswa di kedua rel sama-sama perlu belajar memanusia.

Akhirnya, apa pun strategi pembangunan yang digagas, manusia tidak boleh dijadikan sumber daya. Bahkan seorang manusia yang mungkin terlahir dengan kemampuan berbeda yang mungkin dianggap tidak cukup sebagai komponen "produktif" untuk industri, dirinya tetap seorang manusia yang sedang memanusia.

Iwan Pranoto Guru Besar Institut Teknologi Bandung 


Sumber: Kompas.id - 15 Juli 2021


Powered By Blogger