Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 29 November 2014

Nawa Cita dan Negara Pemberdaya (Abdul Hakim Garuda Nusantara)

JOKO Widodo sebagai presiden baru bakal menghadapi masalah ekonomi mahaberat yang tak sempat diselesaikan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebagaimana telah disiarkan sejumlah media, termasuk Kompas, masalah ekonomi yang menantang itu berderet. Antara lain subsidi bahan bakar minyak yang mendekati 4 persen produk domestik bruto (PDB) serta mendominasi dan memeras anggaran negara, defisit infrastruktur berat yang menyengsarakan rakyat miskin kota dan desa yang bergantung pada jalan dan irigasi bagi produktivitas dan pemasaran hasil pertanian, pengangguran terbuka ataupun terselubung yang setiap tahun terus meningkat, birokrasi layanan publik yang korup dan tak efisien, serta meningkatnya ketimpangan pendapatan yang mengancam kohesi sosial dan membuat masyarakat bangsa rentan terhadap retorika populis yang berbahaya (Hall Hill http://www.insideindonesia.org).

Masalah lain berkaitan dengan pangan, energi, dan air bersih. Tentu saja masalah ekonomi mahaberat itu akan menjadi prioritas Jokowi untuk mengatasinya. Nawa Cita merupakan visi dan misi Jokowi, menggambarkan tak sekadar daftar keinginan, tetapi juga komitmen mendayagunakan negara bagi terwujudnya keamanan, keadilan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan budaya.

Nawa Cita ingin menghadirkan negara sebagai aktor utama untuk memfasilitasi dan memproteksi berbagai usaha guna mengangkat harkat dan martabat rakyat yang dibelenggu kemiskinan dan keterbelakangan menuju ke tingkat yang setara atau mendekati kesejahteraan rakyat negara maju.

Memosisikan negara sebagai aktor utama untuk mengatasi masalah ekonomi, politik, sosial, hukum, dan budaya bukanlah sesuatu yang baru. Hal itu sudah sejak dulu merupakan amanah konstitusi. Masalahnya, dari era Soeharto sampai ke masa SBY, dan nanti zaman Jokowi, kemampuan negara selalu terbatas sehingga tak terhindarkan bahwa pemerintah harus mengundang partisipasi perusahaan swasta dalam membangun infrastruktur layanan publik, seperti, jalan tol, bandara, pelabuhan, pengadaan air, layanan kesehatan, pendidikan, listrik, dan telekomunikasi.

Neoliberal
Pada titik ketika pemerintah membuka pintu bagi partisipasi swasta di bidang layanan publik ini, kita menyaksikan sebagian masyarakat sipil kita menggugat kebijakan pemerintah tersebut sebagai neoliberal, merugikan rakyat, dan melanggar UUD 1945. Berbagai gugatan hukum dilakukan koalisi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap UU Kelistrikan, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan sebagainya karena mereka mencium aroma ideologi neoliberal di balik berbagai UU itu.

Pada pemerintahan DKI di bawah Jokowi, mempertahankan perjanjian kerja sama swasta dan perusahaan daerah air minum produk Sutiyoso digugat oleh koalisi LSM karena diduga menjalankan kebijakan neoliberal yang melanggar UUD 1945.

Sejumlah kasus itu mengundang pertanyaan hukum fundamental, yakni apakah kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengadaan layanan publik itu sebuah praktik neoliberal atau sesungguhnya implementasi dari konsep negara yang memberdayakan rakyat yang sesuai dengan amanah konstitusi. Apakah UUD 1945 memosisikan negara sebagai penghasil produk atau justru sebagai penjamin produk dalam konteks ketersediaan, keterjangkauan, aksesibilitas, dan berkualitas.

Mencermati dan merenungkan kembali alinea IV Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945, sampailah kita pada pengertian bahwa UUD 1945 tidak menganut konsep negara yang memisahkan secara tajam antara negara, masyarakat, dan pasar sebagaimana yang kita jumpai di negara-negara liberal pertengahan abad ke-19 di Eropa dan Amerika yang sejak 1980-an dihidupkan kembali oleh para pendukung neoliberalisme. Ia juga tidak menganut konsep serba negara yang mengarah ke totalitarianisme sebagaimana dipraktikkan negara komunis.

Namun, sebagaimana dikatakan Mohammad Hatta, UUD 1945 mengedepankan kerja sama antara negara, swasta, dan koperasi atau ekonomi rakyat. Pandangan Hatta ini terukir dalam Pasal 33 UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" (Pasal 33 Ayat 2) dan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" (Pasal 33 Ayat 3).

Kemakmuran rakyat
Di sana kata kuncinya adalah dikuasai negara dan guna sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, negara tidak berarti selalu sebagai pemain tunggal penghasil produk, tetapi demi efisiensi, ketersediaan, keterjangkauan, aksesibiltas publik, dan kualitas, negara dapat dan kadang-kadang harus bekerja sama dengan atau memberikan tugas kepada swasta untuk menghasilkan produk yang diperlukan publik.

Dengan demikian, jelas, UUD 1945 tidak antipasar, tidak menolak kerja sama dengan atau menugaskan pihak swasta guna menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan publik. Inilah sesungguhnya konsep negara yang memberdayakan yang dianut konstitusi kita, yang mengedepankan kerja sama antara negara, pasar (swasta), dan masyarakat sipil guna menghasilkan produk yang diperlukan bagi pemberdayaan rakyat.

Menurut Pedro Costa Goncalves dari Universitas Coimbra, Portugal, dalam konsep negara yang memberdayakan, negara wajib menjalankan tugas-tugas berikut. Pertama, memastikan pembagian jasa-jasa esensial di bidang energi, air, pengelolaan limbah, telekomunikasi, pengangkutan, penyiaran, dan pos. Kedua, memastikan dan melindungi hak para pengguna jasa-jasa esensial. Ketiga, memastikan perlindungan dan pemajuan persaingan.

Keempat, memastikan keseimbangan yang adil dan efisien antara kepentingan publik dan kepentingan privat. Kelima, memastikan dan memercayai solusi pasar yang dipromosikan negara, seperti sertifikasi jasa oleh pihak swasta di berbagai bidang, antara lain produk makanan organik, keamanan produk industri dan mesin, serta perlindungan kualitas lingkungan. Keenam, menjamin dan melindungi aset publik lainnya, misalnya keselamatan, kesehatan, dan pekerjaan.

Dengan demikian, negara harus mengembangkan standar regulasi yang mampu mengawal pelaksanaan tugas-tugas negara tersebut. Demikian Pedro Costa Goncalves. Dalam rangka pelaksanaan konsep negara yang memberdayakan sebagaimana terukir dalam alinea IV Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945, pemerintah Jokowi diharapkan menjalankan kebijakan ekonomi dan hukum. Pada satu sisi, itu mengundang kepercayaan dan gairah aktor di pasar untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam menghasilkan produk yang dibutuhkan publik. Di sisi lain, itu meniscayakan tercapainya tujuan diadakannya kerja sama publik-privat: ketersediaan, keterjangkauan, aksesibilitas bagi publik, dan berkualitas.

Pemerintah Jokowi perlu mengevaluasi melalui prosedur yang transparan berbagai bentuk kerja sama publik-privat yang sudah berjalan dalam pengadaan produk yang diperlukan rakyat. Melalui pelaksanaan negara pemberdaya, diharapkan Nawa Cita mampu menghadirkan negara untuk memberdayakan rakyat. Selamat bekerja.

Abdul Hakim G Nusantara
Advokat/Arbiter; Ketua Komnas HAM Periode 2002-2007

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010293088
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Metakognisi Nenek Fatimah (Rhenald Kasali)

KETIKA para elite sibuk membuktikan soal perkalian, Nenek Fatimah (dan juga politisi Senayan) justru kesulitan memecahkan "soal bagi-bagian".
Harta suami Nenek Fatimah (tanah 3.600 m2) sudah dijual, lalu dibagi-bagi untuk keempat anaknya. Sisa uang dipakai untuk membeli tanah dari menantu seluas 397 m2 dan ditempati bersama kedua anaknya. Ia tak habis pikir, di usia tuanya (90 tahun) dituntut anak dan menantunya senilai Rp 1 miliar dari tanah yang kini ditempatinya.

Sang mantu punya pandangan berbeda. Uang katanya belum diterima. Gugatan Rp 1 miliar pun diajukan. Tetapi, uang bukanlah tujuan, ujar sang mantu. Ia ingin pengakuan. Nenek renta pun diseret ke pengadilan. Pengacara menunjukkan dalilnya ada.

Di parlemen, hal serupa kita saksikan. Sebanyak 44 jabatan pada 11 komisi ditambah empat badan (Baleg, BURT, Banggar, dan Majelis Kehormatan) harus bisa dibagi dengan adil. Tetapi, orang-orang pandai itu gagal membagi. Ada apa sebenarnya di negeri ini? Kian terdidik, mengapa kian sulit berbagi? Tak banyak sarjana yang paham bahwa untuk menggunakan kecerdasan dibutuhkan kecerdasan juga.

Metakognisi lemah
Jika di atas langit ada langit, di atas kognisi juga ada kognisi. Itulah kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan (metakognisi), yang kalau dipakai dengan baik bisa melahirkan manusia-manusia bijak yang lidahnya lembut dan kacamatanya bening. Secara matematika Anda benar 25 dibagi lima adalah lima. Tetapi, dalam kehidupan ada kebajikan, keadilan, empati sosial, rasa persatuan, kekeluargaan, hubungan jangka panjang, dan pertimbangan lain di samping nafsu angkara dan keserakahan. Tanpa metakognisi, orang yang kognisinya kuat jadi terlihat bodoh. Belas kasih, keadilan, rasa hormat, dan kebijaksanaan disingkirkan demi "dalil kemenangan".

Para penegak hukum dan wakil rakyat juga terperangkap dalam waham kognisi yang sangat kuat dengan dalil-dalil dan rumus kekuasaan. Padahal, hukum ditegakkan bukan untuk kebenaran logika dan siapa yang menguasai atau yang benar semata. Ia bukanlah sebuah simbolic game seperti matematika kognisi yang menyederhanakan representasi dan keberalasan. Hukum ditegakkan untuk membentuk keadilan, dan begitu kita gagal melakukannya, ia dapat membahayakan struktur bangunan demokrasi bak sebuah bendungan besar yang alih-alih memberi manfaat bagi pertanian, malah menyumbat arus perubahan sosial (Martin Luther King, Jr).

Nurhalim (menantu Fatimah) dan istrinya (Nurhana) mungkin saja benar dan tahu dalil hukum lebih baik dari ibunya yang buta huruf. Tetapi, ia tak cukup cerdas untuk menaklukkan kecerdasannya di tengah-tengah empati sosial yang menempatkan ibu sebagai sosok yang dihormati. Apalagi kita hidup dalam peradaban kamera yang serba terbuka.

Sama saja dengan para aktor politik yang berkuasa. Mereka yang memegang palu dan duduk di barisan pemimpin bisa menetapkan siapa saja yang boleh duduk di jabatan yang akan dibagikan. Tetapi, arogansi dan kebencian bukanlah sesuatu yang diinginkan pemberi suara.

Metakognisi dari bawah
Ada yang menyatakan kognisis tentang kognisi itu didapat para bijak bestari di usia lanjut. Saya menyatakan, metakognisi justru dibentuk sedari muda, dari kanak-kanak hingga remaja dan saat seseorang menggali ilmu di perguruan tinggi. Justru dengan menyaksikan si mulut-mulut besar bertengkar di panggung politik atau anak yang mengadili ibunya di ruang sidang pengadilan, kita bisa membaca seberapa baik mereka dididik di usia muda. "Seberapa baik" itu berbeda dengan seberapa pintar menurut ukuran-ukuran yang ada di dalam rapor atau ijazah. Ia tak tecermin dalam nilai matematika, bahasa, sejarah, atau IPA kalau pendidikan tidak kita ubah. Ia juga tak didapat dengan memberi les Kumon kepada anak-anak secara intensif atau memenangi olimpiade-olimpiade sains.

Pendidikan itu bukan memisah-misahkan kognisi dengan non-kognisi sehingga menambah mata ajaran atau jumlah guru. Seharusnya, sambil berhitung, anak-anak mengingat aturan permainan. Sambil membuat work sheet keuangan, seorang calon akuntan diajak melihat pergulatan rakyat kecil mengais sampah. Dan sambil mendalami dalil-dalil hukum, seorang calon sarjana diajak berdialog dengan keluarga narapidana (apalagi salah sasaran) dan hartanya habis untuk membayar pengacara.

Di atas hukum ada keadilan, di atas kertas ada kebenaran, dan di atas ilmu pengetahuan ada kebijaksanaan. Para ilmuwan harus mulai terbiasa mengajarkan cara-cara berpikir di atas dalil-dalil kognisi untuk mencetak politisi-politisi berbudi luhur dan anak harimau yang tak menerkam ibunya sendiri di kala lapar.

Rhenald Kasali
Guru Besar FE UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010341490
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Konflik TNI-Polri (Al araf)

PENYERANGAN markas Brimob oleh oknum anggota TNI kesatuan Batalyon Infanteri 134/Tuah Sakti di Batam kembali menambah rentetan panjang kasus konflik TNI-Polri.
Konflik TNI-Polri seakan tidak ada hentinya pada era reformasi ini. Lebih kurang di tahun 2014 saja terdapat lima kasus bentrok TNI-Polri.

Konflik yang berulang kali terjadi antara oknum anggota TNI dan Polri tidak dapat dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Konflik oleh aparatur negara itu telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan dalam beberapa kasus menggunakan senjata sebagaimana terjadi di Batam, Kepulauan Riau.

Peristiwa demi peristiwa bentrokan di antara kedua institusi itu tidak hanya membuat masyarakat takut, tetapi juga membuat masyarakat khawatir dan bertanya-tanya akankah konflik itu berakhir?

Peristiwa penyerangan markas Brimob oleh oknum Batalyon Infanteri 134 di Batam merupakan bentuk kejadian yang sangat memprihatinkan. Selama berjam-jam para oknum anggota TNI menyalahgunakan senjatanya dengan menembakkan senjata mereka ke markas Brimob, Batam. Sebelum melakukan penyerangan ke markas Brimob, para oknum anggota TNI itu melakukan pembongkaran gudang senjata dan melakukan insubordinasi sebagaimana diungkapkan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno.

Dalam hukum militer, ketakpatuhan anggota atas perintah atasannya (insubordinasi) merupakan bentuk pelanggaran yang serius. Wajar saja jika Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dalam menyikapi peristiwa Batam menyatakan bahwa prajurit TNI yang tidak disiplin dan tidak mematuhi perintah atasan sama saja dengan gerombolan bersenjata. Berdasarkan sikap KSAD itu, sepantasnya sanksi hukuman yang maksimal diberikan kepada oknum anggota TNI yang melanggar dan melakukan tindakan insubordinasi.

Tindakan insubordinasi sebagaimana terjadi di Batam merupakan tindakan yang tidak pantas dicontoh prajurit TNI di mana pun. Dalam organisasi TNI, kesatuan TNI terikat dalam satu rantai komando dan anggota TNI harus tunduk serta patuh pada perintah atasan sepanjang perintah itu tidak melawan hukum.

Rantai komando dalam TNI itu sepenuhnya ditujukan untuk menjalankan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara yang memiliki tugas pokok menjaga kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang TNI). Dengan demikian, tindakan penyerangan oleh oknum anggota TNI di Batam jelas-jelas menyimpang dari fungsi dan tugas pokok TNI.

Namun, tindakan anggota TNI di Batam yang mengabaikan perintah atasannya tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor kepemimpinan komandan. Dalam organisasi TNI, leadership yang baik akan memengaruhi ketaatan anak buah kepada atasannya. Sebaliknya, leadership yang buruk akan berakibat pada ketidaktaatan anak buah kepada atasannya. Dalam konteks itu, menjadi penting bagi pimpinan TNI untuk tidak hanya menghukum anggota TNI yang melakukan insubordinasi, tetapi juga mengevaluasi kinerja komandan batalyon hingga komandan wilayahnya. Dalam peristiwa di Batam, para komandan dapat dianggap tidak mampu melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap pasukan.

Pengungkapan peristiwa konflik TNI-Polri di Batam secara transparan dan akuntabel sangat dinantikan publik. Apalagi konflik itu mengakibatkan jatuh korban dari warga sipil dan militer. Siapa pun yang melanggar, baik itu dari anggota TNI maupun dari anggota Polri, perlu diproses secara hukum dan diberikan sanksi hukuman. Untuk tujuan itu, menjadi
sangat baik jika Presiden Joko Widodo memerintahkan Menko Polhukam membentuk tim investigasi yang tidak hanya terdiri dari unsur TNI-Polri, tetapi juga terdiri dari Komnas HAM, Kompolnas, dan ahli forensik independen.

Pembentukan tim investigasi dengan melibatkan elemen lain di luar TNI-Polri bertujuan menciptakan akuntabilitas dan transparansi dalam mengusut peristiwa penyerangan yang telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Selama ini, kerja tim investigasi gabungan TNI-Polri dalam mengusut kasus-kasus bentrokan di antara anggota kedua institusi tersebut dinilai kurang transparan dan akuntabel.

Solusi
Konflik TNI-Polri yang terjadi selama ini disebabkan oleh berbagai macam faktor. Faktor tersebut antara lain semangat  esprit de corps (jiwa korsa) yang keliru, budaya penghormatan terhadap hukum yang rendah, arogansi, faktor kesejahteraan yang rendah, disiplin dan kendali komandan yang lemah, dugaan keterlibatan di dalam bisnis ilegal, minimnya komunikasi antara anggota TNI dan Polri, serta sanksi hukum yang tidak maksimal terhadap anggota yang melanggar hukum.

Untuk mencegah terulang kembali konflik antara TNI dan Polri, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah perbaikan di dalam kedua institusi tersebut. Langkah itu di antarnya memperbaiki kesejahteraan anggota TNI-Polri, memperkuat kendali pasukan dan kontrol senjata oleh para komandan, meluruskan kembali pemahaman esprit de corps (jiwa korsa) yang keliru, memperbaiki proses perekrutan dan pendidikan, menindak anggota-anggota yang terlibat dalam kegiatan bisnis ilegal, dan membangun komunikasi yang konstruktif antara anggota TNI dan Polri.

Langkah penting lainnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengevaluasi secara kritis terhadap keberadaan struktur komando teritorial dan melakukan agenda reformasi peradilan militer melalui revisi Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 demi terciptanya akuntabilitas hukum yang baik di lingkungan TNI. Di sisi lain, peran Kompolnas perlu dimaksimalkan agar dapat efektif mengawasi kepolisian.

Konflik TNI-Polri bukanlah sebuah prestasi, melainkan peristiwa yang memprihatinkan dan menyedihkan. Karena itu, sangat diharapkan oleh publik agar semua anggota TNI-Polri dapat menjalankan fungsi dan tugasnya untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat, bukan malah terlibat dalam konflik yang  meresahkan serta menimbulkan rasa ketidakamanan dalam masyarakat itu sendiri.

Al Araf
Direktur Program Imparsial

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010289942
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mari Bekerja (Mohammad Abduhzen)

PIDATO Presiden Joko Widodo pada pelantikan 20 Oktober 2014 menarik untuk dibahas. Dalam pidato yang terdiri atas 824 kata itu, sebelas kali Presiden menyebut kata "bekerja keras", "bekerja sekeras-kerasnya", "kerja besar", atau "kerja" saja. Belakangan, kata "kerja" jadi nama kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla: Kabinet Kerja.
Pidato itu memang terasa tak begitu indah, kecuali sedikit pada paragraf terakhir. Namun, ungkapannya gamblang, pesan yang disampaikan Presiden mudah dipahami oleh siapa pun.

Dari rasa bahasa, terkesan Presiden menyiratkan "jangan (hanya) banyak bicara, kita harus banyak bekerja". Imbauan Presiden kiranya mengena karena bangsa ini terlalu banyak berwacana.

Padahal, kita tahu, perubahan hanya mewujud jika ada kerja yang nyata. Kerja, bukan sekadar bergerak, menggunakan dan atau membuat alat, tetapi juga terkait dengan budaya. Kerja dan kinerja belum jadi satu tata nilai masyarakat kita sehingga merealisasikan anjuran bekerja Presiden memerlukan respons terencana.

Pertama, masyarakat harus disadarkan bahwa bekerja dan kinerja adalah satu keniscayaan. Manusia tercipta untuk bekerja, baik untuk sintas maupun kualitas hidupnya. Oleh sebab itu, selain dianugerahi kemampuan beradaptasi, manusia juga diberi kekuatan mengintervensi untuk mengubah lingkungan. Kemuliaan manusia terletak pada karyanya, apakah ia berkontribusi pada kemaslahatan atau kemudaratan. Jika maslahat, ia mulia melebihi kadar malaikat. Sebaliknya, apabila kemudaratan yang disumbangkannya, ia hina lebih rendah dari kawanan hewan.

Kedua, masyarakat perlu difasilitasi dan didorong agar memfasilitasi lapangan kerja. Orang tidak bekerja belum tentu karena tak mau bekerja, tetapi mungkin tak tersedia lapangan kerja, perolehan dan jenis pekerjaan tidak memadai, atau tak terpikir untuk menciptakan pekerjaan buat dirinya dan orang lain. Arah kebijakan dan strategi ketenagakerjaan kita, tampaknya, belum terpadu dengan strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan kebudayaan, khususnya pendidikan. Alhasil kualifikasi tenaga kerja kita rendah—lebih dari separuh pekerja kita maksimal hanya tamatan SD—dan terjadi banyak pengangguran terdidik.

Selain itu, lulusan pendidikan banyak bekerja tak sesuai bidangnya; anak petani dan anak nelayan disekolahkan agar tak jadi petani atau nelayan seperti orangtuanya. Padahal, pertanian dan kelautan adalah takdir negeri ini. Peningkatan kualifikasi dan sinkronisasi ketenagakerjaan hendaknya jadi agenda penting  bagi pemerintah baru yang selain bervisi kerja, juga bertekad mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri.

Pendidikan vokasional
Ketiga, perlu penataan dan pengutamaan pendidikan vokasional—yang sekarang kurang efektif dan seperti dianaktirikan—untuk disesuaikan dengan arah dan prioritas baru pembangunan ekonomi dan kebudayaan.

Pendidikan memang tak semata mempersiapkan orang bekerja. Namun, secara filosofis, alasan utama pendidikan diselenggarakan untuk memenuhi aspirasi pragmatis masyarakat: mempertahankan dan mempermudah kehidupan. Sejak Aristoteles, pengetahuan bekal bekerja, yaitu "techne", telah diajarkan bersama episteme (pengetahuan "ilmiah") dan phronesis (kearifan). Pragmatisme pendidikan memprioritaskan pendidikan pada kemampuan praktis yang berguna bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dengan demikian, pendidikan harus bersifat vokasional alias kejuruan.

Sejarah pendidikan kita sebenarnya diawali ide sekolah kerja, di antaranya dari Raden Dewi Sartika dan Mohammad Syafei.  Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri pada 1904 yang mengajarkan berbagai kepandaian perempuan, termasuk membaca dan menulis. Setelah kemerdekaan, sekolah perempuan itu dilebur jadi sekolah kepandaian putri (SKP) yang selanjutnya diganti sekolah kesejahteraan keluarga tingkat pertama dan tingkat atas (SKKP dan SKKA).

Sementara Syafei, diinspirasi oleh John Dewey (1859-1952) yang terkenal dengan learning by doing-nya, dan pengaruh pendekatan pragmatik pemikir pendidikan Jerman, George Kerschensteiner (1854-1932), mendirikan sekolah Indonesische Nederland School (INS) pada 31 Oktober 1926  di Kayu Tanam, Sumatera Barat. Kurikulum INS berpusat pada pelajaran pekerjaan tangan. Menurut Syafei, perbuatan atau aktivitas adalah saluran terbaik pengetahuan menuju jiwa atau kesadaran seseorang.

Setelah kemerdekaan, pendidikan vokasional dikembangkan dari sekolah menengah tingkat pertama selama tiga atau empat tahun yang dapat dilanjutkan ke tingkat menengah atas. Sekolah teknik (ST), misalnya, dapat melanjutkan ke sekolah teknik menengah (STM), sekolah guru B (SGB) melanjutkan ke sekolah guru atas (SGA), sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) melanjutkan ke sekolah menengah ekonomi atas (SMEA). Lulusan sekolah kejuruan tingkat atas dapat ke pendidikan tinggi atau (belakangan) ke politeknik atau diploma yang sejurusan. Di luar jalur itu terdapat balai latihan kerja (BLK) yang cukup representatif melatih keterampilan tertentu bagi tenaga kerja, baik lulusan kejuruan maupun umum.

Sekarang, sekolah kejuruan dimulai sekolah menengah keterampilan (SMK) setara SMA yang substansi kejuruannya relatif sama dengan sebelumnya. Setelah itu tersedia politeknik tiga tahun, yang sejak periode lalu dikembangkan juga D-4 (sarjana terapan). Pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh juga didirikan akademi komunitas setara D-1 dan D-2 yang tidak begitu jelas arah dan tujuannya, kecuali untuk mengatrol angka partisipasi pendidikan tinggi. Sementara BLK tetap ada, tetapi bak kerakap tumbuh di batu.

Berbeda dengan negara maju, pendidikan kejuruan di negeri ini dianggap "kelas dua" dan tak banyak diminati karena anak muda terobsesi jadi sarjana, lalu bekerja sebagai pegawai negeri. Untuk mengatasi hal itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bukannya memperbaiki kualitas dan daya serap terhadap lulusannya, tetapi  bertubi-tubi menghebatkannya dalam iklan. Jika pendidikan kejuruan hebat, penghasilan alumninya tinggi, tentu pendidikan vokasional jadi prioritas.

Sebuah momentum
Suksesi kali ini hendaknya dijadikan momentum untuk merombak sistem pendidikan nasional secara fundamental, total, dan gradual dengan mengutamakan pendidikan vokasional. Untuk itu diperlukan pengkajian mendalam tentang kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Apakah akan mengembangkan tenaga kerja terdidik/terlatih di level bawah yang pasarnya tampak luas atau tenaga kerja di tingkat madya dan tinggi.

Pilihan pertama menuntut modifikasi pendidikan menengah pertama. Misalnya SMP plus satu atau dua tahun yang dibarengi dengan perluasan dan penguatan di jalur pendidikan nonformal. Namun, perlu dipertimbangkan kaitannya dengan rencana wajib belajar 12 tahun.

Sementara pilihan kedua memerlukan penataan jenjang dan jenis sekolah menengah atas. SMK mungkin ditingkatkan jadi D-1, D-2, atau diintegrasikan dengan akademi komunitas. Sementara itu, SMA kiranya cukup dua tahun, pada tahun ketiga murid telah dipilah untuk persiapan ke perguruan tinggi atau ke vokasional. Namun, perlu diingat, pengembangan jenis kejuruan perlu disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja yang akan dikembangkan pemerintah, di antaranya kelautan, perikanan, dan pertanian serta kejuruan yang terkait ekonomi kreatif dan kekayaan budaya.

Mohammad Abduhzen
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010212655
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Uni Eropa Menekan Israel (Kompas)

MESKIPUN belum satu suara, keputusan para pemimpin dan parlemen Eropa untuk membahas pengakuan atas Palestina adalah sebuah langkah maju.
Adalah Swedia, salah satu negara anggota Uni Eropa, yang pertama kali mengakui kemerdekaan Palestina. Pengakuan itu dimaklumkan pada Oktober lalu. Apa yang dilakukan Swedia itu diikuti oleh para anggota parlemen di Inggris, Irlandia, dan Spanyol.

Pengakuan kemerdekaan Palestina oleh Swedia itu sudah menimbulkan reaksi keras dari Israel, apalagi disusul oleh para anggota parlemen tiga negara lainnya. Meskipun, misalnya, di Inggris, pengakuan itu dinyatakan oleh para anggota parlemen dari partai oposisi, tetap saja memberikan isyarat yang kuat bagi Israel untuk tidak terus mengulur-ulur waktu agar segera menyelesaikan persoalannya dengan Palestina.

Sebenarnya, sikap dan pendirian negara-negara Uni Eropa sudah jelas dan tegas. Menurut mereka, penyelesaian masalah Palestina tidak ada lain kecuali solusi dua negara yang independen dan demokratik. Kedua negara hidup berdampingan secara damai sebagai tetangga.

Sikap tersebut yang terus-menerus ditekankan. Oleh karena itu, Uni Eropa tergabung dalam kelompok yang disebut "Kuartet" yang terdiri dari Uni Eropa, PBB, AS, dan Federasi Rusia. Kelompok ini dibentuk pada tahun 2002 dengan meluncurkan "peta jalan damai".

Akan tetapi, usaha untuk mewujudkan perdamaian tersebut dapat dikatakan nyaris tidak ada kemajuan. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya. Terakhir, pecah lagi perang Gaza, 8 Juli-26 Agustus 2014. Konflik bersenjata ini menewaskan tak kurang dari 2.200 orang, sebagian korban tewas adalah orang Palestina.

Bukan tidak mustahil, perang semacam itu akan pecah lagi pada masa mendatang apabila belum tercapai kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Kesepakatan damai itu pun sangat sulit diwujudkan. Semua pihak, termasuk Uni Eropa, berpendapat bahwa perdamaian di Timur Tengah membutuhkan suatu solusi regional yang komprehensif, yang lengkap, yang adil. Adalah mustahil tercipta perdamaian apabila tidak ada keadilan.

Kita selama ini mencatat, perdamaian hanya diucapkan baik oleh para pemimpin Israel maupun Palestina. Sementara itu, pelaksanaannya tidak ada. Perdamaian tidak mungkin terwujud kalau hanya satu pihak yang menghendaki; harus kedua-duanya.

Oleh karena itu, kita harapkan bahwa sikap para pemimpin dan parlemen Uni Eropa kali ini benar-benar akan menjadi tekanan yang sangat kuat bagi Israel dan tentu juga AS sebagai pendukungnya. Dengan demikian, kita masih bisa berharap bahwa perdamaian akan benar-benar terwujud atau sekurang-kurangnya kedua belah pihak serius mengupayakan perdamaian.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010378811
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Mengawasi Dana untuk Desa (Kompas)

KOMISI Pemberantasan Korupsi mengingatkan penyaluran dana desa yang besarnya mencapai Rp 73 triliun rawan dikorupsi.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi dasar hukum adanya dana dari pemerintah pusat yang dialirkan ke desa. Setiap desa akan mendapatkan dana sekitar Rp 1 miliar. Dengan asumsi Indonesia punya 73.000 desa, akan ada aliran dana ke desa yang besarnya sekitar Rp 73 triliun.

Peringatan dari Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas itu sangat masuk akal. Busyro mengingatkan ada potensi terjadinya salah sasaran dalam penyaluran dana ke desa, termasuk transformasi sosial yang terjadi setelah dana desa disalurkan. Keinginan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar yang akan meminta KPK ikut mengawasi penyaluran dana desa patut dihargai. Sikap Menteri Marwan paling tidak menunjukkan semangatnya untuk mencegah terjadi salah guna pemanfaatan dana desa.

Dana desa sebesar Rp 1 miliar dimanfaatkan sebagai isu kampanye pada saat pemilihan presiden. Dan bukan tidak mungkin, perangkat desa segera menuntut janji kampanye itu untuk bisa diimplementasikan pada tahun 2015. Tuntutan tersebut wajar karena memang ada janji kampanye untuk penyaluran dana desa dan juga ada dasar hukum soal itu. Niat untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa menjadi salah satu dari sembilan program unggulan Presiden Joko Widodo.

Kita mendukung adanya penyaluran dana ke desa, tetapi kita memandang perlu disusun mekanisme penyaluran dana desa dan pemanfaatannya. Harus ada sistem yang mengatur dana desa dimanfaatkan untuk kepentingan apa saja yang diperbolehkan undang-undang, termasuk untuk pengembangan badan usaha milik desa.

Pendampingan terhadap perangkat desa diperlukan agar para perangkat desa juga tahu bagaimana memanfaatkan dana desa untuk kepentingan transformasi sosial di sebuah desa menjadi lebih baik. Mekanisme pengawasan juga harus dibangun berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Mekanisme pengawasan itu bisa dibuat dengan menggunakan instrumen teknologi informasi yang memuat tentang pemanfaatan dana desa dan bagaimana ruang publik dibuka agar mereka bisa ikut mengawasi pemanfaatan dana desa.

Pendampingan terhadap perangkat desa dan mekanisme pengawasan pemanfaatan dana desa adalah dua hal yang harus diperhatikan sebelum dana desa disalurkan. Dalam UU Desa, setiap desa harus membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang penyusunannya melibatkan Badan Permusyawaratan Desa. Pada tahap inilah diperlukan pendampingan agar pemanfaatan dana desa tidak digunakan untuk kepentingan konsumtif, tetapi harus untuk kepentingan produktif yang bisa mempercepat proses transformasi sosial sebuah desa.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010377033
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 28 November 2014

Mufakat untuk Kebudayaan (Radhar Panca Dahana)

SETIAP pagi dini sekali, setelah siuman dari tidurnya, sebelum ia melakukan kegiatan, bahkan shalat sebagaimana diajarkan ayah dan ustaznya, Tuan Fulan akan keluar rumahnya, memasuki taman kecil di depan, berjongkok, membungkuk, dan bersujud untuk mencium tanah.
Tuan ini tidak begitu tahu persis kapan ia mulai kegiatan itu, tetapi jelas sudah sangat lama, mungkin sejak ia akil balig.

Seperti dorongan tak tertahan, Tuan yang berasal dari sebuah pulau purba di timur negeri ini merasakan tanah sebagai bagian "tak terhindar" dari dirinya, diri kemanusiaannya. Dengan menyentuh semua yang paling murni dari kehidupan: tanah pagi, udara bersih, dan embun sebagai H2O termurni yang dihasilkan alam. Jika itu berkesesuaian dengan cerita para tetua di desanya, bahwa ia keturunan akhir salah satu nenek moyang warga adat setempat yang muncul dari tanah, laut (air), dan udara, Tuan Fulan tak begitu peduli.

Dalam pengertian kita, manusia modern, Tuan Fulan mewakili jutaan dan miliaran manusia di muka bumi ini, sebagaimana juga Anda yang jika memeriksa diri memiliki kegiatan serupa. Kegiatan yang secara personal berisi sebuah pegangan atau acuan abstrak dan idealistis bernama: nilai (value). Inilah dasar awal kesadaran manusia mengetahui diri dan hidupnya cukup berharga untuk dipertahankan menghadapi segala tantangan zaman; manusia perlu menjaga bukan hanya keberadaan, melainkan juga kemuliaan.

Apa yang terjadi pada Tuan Fulan—juga Anda—sebenarnya sebuah langkah pertama dalam upaya manusia secara kolektif membangun apa yang kita sebut kemudian sebagai kebudayaan. Kegiatan rutin yang kemudian jadi tradisi atau adat (keduanya berasal dari bahasa asing, tetapi maknanya kongruen), yang jika dilakukan secara kolektif, dari sebuah masyarakat atau komunitas akan menciptakan tingkat kedua dari proses pembudayaan: norma (norms). Sebuah tingkat, sebagaimana yang pertama, tak membutuhkan bahkan belum muncul penilaian sosial (social judgement) apakah tradisi normatif itu bersifat negatif (destruktif) atau positif (konstruktif). Bisa salah satu, bisa keduanya.

Baru di tingkat kedua ini saja, kita, warga dari sebuah bangsa dan sebuah negara, dapat meninjau diri sendiri—sebagai individu, komunitas, dan seterusnya—apakah ia berada dalam sebuah norma—yang merupakan mufakat (konsensus) secara sadar maupun bawah-sadar—dengan bentuk dan dampak yang membangun (positif) atau merusak (negatif)? Ketika kita, misalnya, mengambil dua buah lembar kertas dari laci simpanan kertas kantor kita (milik perusahaan atau negara) untuk katakanlah menulis surat pribadi atau membungkus makanan, apa yang terasa signifikan dalam diri kita? Sebuah kewajaran normal (yang secara etimologis berakar pada norms) karena dilakukan hampir seluruh orang tanpa perasaan bersalah, atau sadar betapapun itu hanya dua lembar kertas sebenarnya ia contoh nyata perilaku yang koruptif?

Maka mari kita jadikan dunia sekeliling cermin reflektif untuk memahami realitas diri kita sendiri? Bagaimana kita dan ribuan orang lain bersepeda motor di lalu lintas padat Ibu Kota, mengantre tiket sepak bola, berebut proyek yang ditawarkan pemerintah, berkompetisi di lapangan olahraga, bersaing dengan toko/pedagang yang punya komoditas serupa dengan dagangan kita. Apakah secara normatif Anda melakukan tindakan yang tampaknya secara kolektif lumrah, alamiah—sehingga tak menerbitkan rasa bersalah atau "dosa"—padahal sesungguhnya dalam norma lain keliru, a-sosial, bahkan kejahatan?

Berbudaya satu, Indonesia
Sebuah kebudayaan pada intinya sebuah kerja dari agregat-agregat tradisi atau adat yang dilakukan manusia, baik di tingkat personal, komunal, hingga nasional. Kerja kebudayaan yang semula hanya bermaksud untuk kebertahanan (survivality) dari hidup makhluk bernama manusia, menjadi niat untuk memuliakan (honor, dignity) ketika mereka, gerombolan (crowd) yang kemudian menjadi masyarakat (society) itu meninggikan level kebudayaannya dari norma sektoral yang mereka tradisikan menjadi sebuah kumpulan kebenaran dan kebaikan bernama moralitas. Sebuah acuan abstrak-idealistis yang dimufakatkan sejumlah gerombolan normatif (normative crowds) untuk terciptanya kerja sama, harmoni, atau sebuah keteraturan hidup (order), di mana kecenderungan individual atau kelompok/sektarian tak ganggu keseluruhan.

Di tingkat ketiga mufakat maya (abstractive consensus) inilah sebuah kebudayaan pada tingkat awal tercipta dalam diri sebuah masyarakat atau bangsa. Inilah argumen kunci, bagaimana bangunan sebuah bangsa tak akan tercipta tanpa fondasi kebudayaan yang menegakkan tiang-tiangnya. Dalam kasus negeri ini, betapapun saya kerap menyatakan Sumpah Pemuda 1928 adalah sebuah pernyataan kebudayaan, ketimbang maklumat politik, tetap saja akan terasa tak sempurna karena ia mengabsensi frase krusial dan vital: "berbudaya satu, budaya Indonesia".

Frase vital inilah yang akan memberi signifikansi atau penjelasan kuat apa makna, posisi, dan peran dari tiga frase sebelumnya. Dan harus kita akui bersama, setelah hampir 70 tahun negeri ini merdeka dengan fait accompli berupa proklamasi 1945, kita belum pernah berhasil menunaikan PR atau tugas penting yang jauh lebih tua dari kemerdekaan itu sendiri: memufakatkan apa yang kita bayangkan (baca: harapkan) tentang kebudayaan (nasional) Indonesia (KNI). Karena sesungguhnya, dari komprehensi kolektif yang adekuat tentang KNI itulah tersimpan jawaban-jawaban krusial dan fundamental dari persoalan-persoalan yang mengguncang dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan kita di tengah kerumitan zaman mutakhir ini.

Kita menyadari, pemerintah—di semua sektornya—sebagai penyelenggara negara, dengan pergantian pimpinan, kabinet atau lembaganya yang aneka rupa, ternyata senantiasa lalai mengerjakan PR kebangsaan ini. Secara sadar kita pun menyesalkan aparatus sipil, termasuk kaum intelektual, rohaniwan, hingga para seniman, juga tak merasa kebutuhan ini hal emerjensial dalam realitas hidup kita kini.

Terlebih generasi kita saat ini, di mana tingkat dan fasilitas hidup sudah jauh meningkat ketimbang—setidaknya—para pendiri bangsa, baik dalam kecukupan ekonomis, kesehatan, kekuatan daya pikir dan emosi, maupun limpahan data yang berjuta kali lipat dari apa yang bisa diakses oleh bapak-ibu bangsa kita dahulu, ternyata belum juga berhasil membuahkan karya kebudayaan terbaiknya: gagasan. Sebuah nebula abstrak yang sebenarnya menjadi ruh dari kebudayaan di tiga tingkatan di atas (plus dua tingkatan sesudahnya, etika dan estetika, di mana sebuah kebudayaan bermetamorfosa menjadi (per)adab(an)), yang laiknya menjadi warisan (legacy) penting lain pada generasi-generasi mendatang, di samping warisan material kita yang memalukan.

Warisan gagasan kita
Bagaimana tidak memalukan jika dalam segi material kita hanya mewarisi artefak dalam monumen-monumen rapuh dan jiplakan, berupa gedung pencakar langit, jalan raya, jembatan, hingga tarian, puisi, atau kebiasaan hingga kejahatan sebagai produk-produk budaya mutakhir yang sama sekali tak merefleksikan harta karun budaya yang ditinggalkan nenek moyang kita di 600 suku bangsa negeri ini. Bahkan, dengan bangga kita memasang reklame di jidat kebudayaan kita, nama-nama yang diproduksi secara masif dan global oleh kebudayaan lain, notabene kontinental, baik oksidental atau oriental.

Terlebih sumber daya material yang dimiliki alam negeri ini, dengan pendaman waktu jutaan dan miliaran tahun, yang ternyata hanya dalam hitungan dekade menjadi kerusakan tak terperbaiki, limbah, dan bencana karena kerakusan kontinental kita. Inikah bentuk pertanggungjawaban generasi kita pada anak cucu, meninggalkan tak hanya peninggalan natural dan nurtural yang apkir bahkan secara sistemik merusak? Menciptakan warisan beban yang demikian beratnya, sehingga membuat anak cucu sangat kewalahan dan akhirnya terdesak untuk menerima kenyataan eksistensialnya hanya jadi korban dari zaman yang lebih kejam dari semua jenis kolonialisme masa lalu?

Rasa prihatin terhadap semua masalah fundamental, rasa bersalah pada generasi pendahulu dan penerus itulah yang mendorong Mufakat Budaya Indonesia (MBI), tergerak untuk menunaikan tugas sederhana tetapi besar itu, memufakatkan di antara para penggerak dan pekerja sebuah gagasan tentang lantai fondasi dari kebangsaan dan kenegaraan kita: kebudayaan nasional Indonesia. Majemuk kecil yang berimplikasi besar dan luas ini diharapkan dapat menjadi sekadar warisan idea(listis) yang mungkin menjadi jalan setapak bagi generasi berikut dalam menghadapi rimba hidup yang kembali pada hukum-hukum purbanya yang primitif.

Betapapun mungkin tidak cukup representatif bagi khazanah pemikiran, modern, tradisional hingga spiritual, 150 cendekiawan, budayawan, tokoh spiritual, dan tetua adat akan berkumpul dan berkeringat untuk mencapai mufakat pada 28-30 November 2014 tentang tema besar di atas bersama elaborasi tematiknya. Ini temu akbar kedua di mana Deklarasi Cikini 2009 yang dihasilkan temu akbar pertama (diikuti 80-an peserta) jadi landasan gagasan di mana ternyatakan di dalamnya: kebudayaan nasional Indonesia berbasis realitas historis, geografis, hingga arkeologis sebagai kebudayaan maritim.

Apakah 150 peserta dari berbagai kalangan di tengah kebebasan preferensial hingga di tingkat pemikiran dan klaim kebenaran ini mampu bermufakat? Inilah sebuah ujian laboratoris bagi kebudayaan kita, kebudayaan yang konon menjadi faktor tunggal kita berbangga dan merasa berdaulat, di tengah semua sektor yang melulu jadi pecundang bahkan di level regional kecil, seperti ASEAN.

Apa pun yang dapat dihasilkan, sebuah langkah dari upaya besar yang mesti berlanjut ke masa depan telah kita tapakkan.

Radhar Panca Dahana Budayawan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010340323
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tantangan Berat Jaksa Agung Baru (Mas Achmad Santosa)

KONDISI penegakan hukum di Indonesia telah berada di titik yang sangat mengkhawatirkan. Publik, termasuk kalangan bisnis, sulit merasakan ada kepastian hukum dan keadilan. Tidak jarang hukum digunakan untuk "mengkriminalisasi" mereka yang tidak bersalah atau bahkan "melindungi" mereka yang bersalah.
Persepsi masyarakat terhadap penegakan hukum dan institusi penegak hukum di Indonesia pun sangat negatif. Berdasarkan hasil survei World Justice Project tahun 2014, nilai indeks negara hukum (rule of law index) Indonesia terkait aspek penegakan hukum secara umum berada di antara skor 0,34 (dengan 1,00 sebagai nilai tertinggi).

Salah satu penyebab kondisi di atas adalah masalah korupsi di instansi penegak hukum, termasuk kejaksaan sebagai pilar penting penegakan hukum di Indonesia. Menurut Global Corruption Barometer Survey tahun 2013, institusi pengadilan dan kejaksaan dipersepsikan sebagai salah satu institusi terburuk, yakni dengan nilai 4,4 (nilai 1 adalah sangat bersih dan 5 adalah sangat korup).

Praktik korupsi secara umum dan di instansi penegak hukum ini mengakibatkan rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara lain, bahkan termasuk yang paling rendah di negara ASEAN lain, sebagaimana dipaparkan dalam KPMG Corruption's Impact on the Business Environment (2013).

Akar permasalahan
Jika ditelusuri lebih jauh, akar masalah yang mengakibatkan kondisi di atas terutama bersumber dari kelemahan organisasi institusi penegak hukum, termasuk kejaksaan. Kelemahan organisasi yang paling utama adalah kelemahan leadership (visi, keberanian, dan keteladanan), kelemahan sistem manajemen sumber daya manusia, kelemahan pola penanganan perkara, dan kelemahan sistem pengawasan.

Oleh karena itu, agenda prioritas dari pemerintahan, terutama Jaksa Agung baru, adalah  memperkuat organisasi kejaksaan. Meski selama ini kejaksaan telah melakukan berbagai program untuk menjawab masalah di atas (misalnya melalui program reformasi birokrasi serta pelaksanaan Inpres Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi), belum terlihat perbaikan kondisi yang signifikan belum terlihat.

Hal ini disebabkan antara lain program-program "pembaruan" dijalankan secara proforma (tidak genuine), tidak "radikal", piecemeal (tidak komprehensif), serta tidak didukung anggaran yang memadai.

Pekerjaan jangka pendek
Menjawab akar persoalan di atas, pada titik inilah kejaksaan perlu melahirkan dan membentuk kepemimpinan yang memiliki visi, keberanian, dan keteladanan. Seleksi ketat pejabat strategis, seperti wakil jaksa agung, jaksa agung muda, para sekretaris jaksa agung muda, para kepala kejaksaan tinggi (kajati), dan para direktur di posisi-posisi strategis, perlu dilakukan segera.

Seleksi ulang ini untuk memastikan ada dukungan internal dalam melakukan perubahan dan melahirkan agen perubahan (agent of change) dalam jumlah yang memadai untuk mendorong kerja-kerja pembenahan. Untuk menjadi bagian dari motor pembenahan, para pejabat kejaksaan harus memenuhi persyaratan, (1) memiliki integritas tinggi, (2) mampu mengelola proses perubahan dan organisasi, (3) memiliki pemahaman atas organisasi dan visi yang baik.

Seleksi ulang sebaiknya dilakukan dengan kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta profesional (untuk pelaksanaan assessment individu).

Apabila Jaksa Agung telah melakukan seleksi ketat pejabat-pejabat di atas untuk mendampinginya, ia perlu membentuk tim untuk membantu proses percepatan pembenahan. Tim beranggotakan figur yang berintegritas dan memiliki pemahaman atas masalah dan kebutuhan organisasi serta didukung tenaga profesional. Buka pintu bagi keterlibatan pakar-pakar luar untuk ikut membenahi kejaksaan.

Selanjutnya, pemetaan dan pengawalan pekerjaan yang tertunggak yang bersifat prioritas perlu dilakukan segera, terutama pekerjaan menangkap para buron pelaku kejahatan yang berada di Tanah Air dan di luar negeri, serta pengembalian aset-aset hasil kejahatan yang berada di dalam dan luar negeri (asset recovery). Sebagaimana janji Nawa Cita, penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu juga merupakan pekerjaan rumah yang ditunggu masyarakat.

Sejak awal memulai tugasnya, Jaksa Agung harus membangun dan mengomunikasikan semangat perubahan dan menerapkan secara konsisten budaya organisasi yang baru, misalnya menjatuhkan sanksi keras dan tegas bagi mereka yang melanggar aturan serta diumumkan kepada masyarakat, melarang budaya menjamu atasan, atau melaksanakan kegiatan yang anggarannya tidak jelas, mengumumkan anggaran untuk tiap-tiap unit (agar ada kontrol dari bawahan), membuka saluran komunikasi dan pengaduan masyarakat yang efektif (termasuk penerapan whistleblowing system), serta membangun hubungan kerja yang efektif dengan lembaga pengawas eksternal, seperti Ombudsman RI dan Komisi Kejaksaan.

Akhirnya, koordinasi efektif dengan instansi penegakan hukum, kementerian, dan lembaga terkait, seperti KPK, Kepolisian Negara RI, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kementerian Keuangan, yang telah dirintis oleh Jaksa Agung terdahulu, Basrief Arif, harus semakin ditingkatkan efektivitasnya.

Program Kabinet Kerja di bidang hukum yang bersandar pada Nawa Cita adalah melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Jaksa Agung memiliki peran sentral dalam mewujudkan hal ini.

Pada titik inilah masyarakat menunggu gebrakan dan langkah nyata Jaksa Agung baru untuk mengatasi kelemahan organisasi kejaksaan yang menggambarkan potret buram penegakan hukum Indonesia. Inilah tantangan berat Jaksa Agung baru. Satu tantangan yang membutuhkan keberanian dan keteladanan dalam mengurai benang kusut di wilayah penegakan hukum Indonesia.

Mas Achmad Santosa
Mantan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK;
Mantan Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010340260
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Merdeka adalah Pernyataan Budaya (Sri-Edi Swasono)

TUNTUTAN kemerdekaan mentransformasi diri sebagai tudingan terhadap Majelis Hakim di Pengadilan Den Haag (1928): "…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…".
Joan Robinson (1962), ekonom Cambridge, mengatakan: "…ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme… mazhab klasik menjagoi perdagangan bebas karena menguntungkan bagi Inggris, bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia…."

Sementara Leah Greenfeld (2001), ekonom Harvard, mengatakan: "…pertumbuhan berkesinambungan perekonomian modern ternyata tidak dengan sendirinya berlangsung berkelanjutan, pertumbuhan hanya akan berkelanjutan jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme...."

Widjojo Soejono (2012): kewaspadaan (vigilance) adalah hanya kemerdekaan.

Pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan kemerdekaan tak lain suatu pernyataan budaya, budaya untuk menegakkan onafhankelijkheid—melepaskan diri dari keter¬gan¬tungan, tak lagi berlindung dari belas kasihan penjajahan, keberanian melepaskan diri dari ketertundukan sebagai koelie di negeri sendiri, menegaskan diri sebagai tuan di negeri sendiri, suatu pernyataan budaya meninggalkan underdog mentality-nya kaum inlander.

Kesadaran-kedaulatan berdaulat, mandiri, berharkat martabat, berke¬hidupan cerdas (tak sekadar berotak cerdas), tangguh, digdaya, dan mandraguna merupakan tuntutan budaya yang harus dipenuhi sebagai bangsa merdeka. Barangkali kita gagal unlearning untuk memenuhi tuntutan budaya itu. Kita alpa tak segera menggariskan strategi budaya sebagai bangsa merdeka. Kita lengah-budaya menerima liberalisme dan kapitalisme.

Kita terjerumus mengejar-ngejar to have more, lupa mengejar to be more. Kita terjerumus menge¬jar "nilai tambah ekonomi". Pembangunan nasional harusnya mengejar pula "nilai tambah sosial-kultural" agar mampu meraih makna to be more. Akibatnya hasil utama pembangunan adalah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), itu pun cuma 6 persen. Beginilah jika pembangunan lebih mengutamakan "daulat-pasar"-nya liberalisme dan kapitalisme, bukan mengutamakan "daulat-rakyat".

Dengan pertumbuhan PDB sekadarnya itu, kita sebaliknya banyak kehilangan kedaulatan nasional: kita tak berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri, ekspor-impor, energi, teknologi, transportasi, kelautan, pertahanan (mesiu), tata guna bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita tak berdaulat dalam legitasi nasional. Bambang Ismawan (15/10/2014) sempat mencemaskan 60 persen penguasaan industri penting di tangan asing. Bagaimana keterjajahan ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya kita ajarkan di kelas-kelas ratusan fakultas ekonomi di Indonesia? Berapa banyak lagi kedaulatan nasional akan terenggut oleh keterjajahan akademis ini?

Koreksi kelemahan budaya
Keterjajahan baru ini seharusnya menumbuhkan perlawanan, bukan kepasrahan, selama nasionalisme masih di kandung badan. Seharusnya kita tak perlu cemas sebagaimana dicemaskan Wakil Bupati Sleman (17/10/2014): "…jangan heran orang-orang Singapura nanti berjualan buah di Sleman… jangan kaget orang-orang Malaysia berjualan di pasar tradisional kita…." Kita harus selekasnya koreksi kelengahan-budaya ini dengan mengakhiri servilisme diri.

Kita tidak anti asing, tetapi kita tidak boleh membiarkan dan harus menolak ekonomi asing mendominasi ekonomi nasional. Globalisasi bukan ajang penyerahan kedaulatan. Masyarakat Ekonomi ASEAN harus tetap merupakan forum kerja sama, bukan forum persaingan, apalagi pengangkangan dan ajang perampokan predatorik aset dan kepentingan nasional kita.

Seharusnyalah kita mampu mewujudkan "pembangunan Indonesia", bukan sekadar "pembangunan di Indonesia". Kita sendiri harus mampu menjadi aktor-aktor proaktif pembangunan nasional, bukan sekadar menjadi penonton. Para pemimpin kita tidak seharusnya tiba-tiba saja kagum kepada investor asing seolah-olah investor asing adalah Deus ex machina—dewa penolong, lalu lupa tanggung jawab untuk mandiri dan menyelamatkan penderitaan rakyat.

Kita mengibar-ngibarkan bendera ekstravaganza Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang asal-usulnya karya rekaan mancanegara, yang bukan karya anak negeri melalui Bappenas. Di situlah Indonesia "menari atas kendang orang lain". Di MP3EI ada puncak pimpinan (presiden, wakil presiden, dan ketua harian), ada pula badan koordinasi, ada komite (KP3EI yang didirikan 20/5/2011), dan ada keanggotaannya yang berisi hampir semua anggota kabinet, ada badan pelaksana, ada tim kerja wilayah, dan seterusnya.

Namun, hingga kini kita belum menyaksikan hasil menakjubkan MP3EI, kecuali perkembangan infrastruktur secara rutin-rutin saja selama 2011-2014. Barangkali ini justru merupakan berkah karena MP3EI menawarkan kegiatan dan sarana strategis pembangunan nasional kepada investor-investor asing, menjadikan kita malah bisa tergantung atau tergadai dalam sistem pengelolaan asing. Amat terasa, berkat ke-inlander-an kita, investor asing diposisikan sebagai Deus ex machina—dewa penolong bagi Indonesia.

Kita beruntung bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah bersumpah setia pada Doktrin Trisakti sehingga MP3EI gaya baru yang apa pun tak membuat Indonesia jadi ajang bancaan dan jarahan asing, kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Tidak boleh lagi ada menteri yang manufacturing hope, tetapi harus bisa manufacturing miracles.

Semangat kerja sama
Nasionalisme dan rasa berkedaulatan harus menjadi panduan bagi birokrasi Indonesia menghadapi globalisasi. Dalam pertemuan KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di pinggiran Beijing baru-baru ini, suasana batin APEC tercemari semangat kompetisi ekonomi, di mana seorang kepala negara sempat tergelincir lidah, melenceng dari mindset kerja sama, menggunakan istilah "bersaing", mengucapkan perkataan fair competition dalam APEC yang sebenarnya forum kerja sama.

Berdasar titik tolak di atas, globalisasi harus kita hadapi melalui pendekatan beraliansi dalam skema kerja sama pula, baik substansi maupun mekanismenya. Kita harus proaktif ikut berperan dalam PBB, WTO, APEC, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan lain-lain, yang pada hakikatnya masing-masing merupakan "forum kerja sama"—bukan "forum bersaing", semua paket kerja sama harus disetujui in good faith oleh semua pihak yang bekerja sama.

Prinsip kerja sama harus saling mengamankan konstitusi, kedaulatan dan kepentingan nasional setiap negara. Dalam kerja sama ekonomi internasional, proteksi dan subsidi tidak perlu diha¬ramkan. Keduanya harus tetap merupakan pilihan sebagai stimulus dan motivasi melaksanakan pembangunan nasional kita.

Persaingan global yang tidak ramah harus ditangkal melalui semangat kebersamaan. Sebaliknya kerja sama global harus lebih ditonjolkan demi meredam persaingan yang saling merugikan. Kerja sama bukanlah suatu konspirasi. Kerja sama adalah upaya bersama untuk dukung-mendukung bergotong royong demi mencari manfaat bersama dan bukan untuk mencari kelemahan atau mengintip kelengahan pihak lain, tidak untuk menunggangi dan merampok pihak lain yang lebih lemah dan lengah.

Nasionalisme mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global.

Sri-Edi Swasono Guru Besar UI; Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010340359
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Problem Uji Kir Ibu Kota (Kompas)

MASALAH uji kendaraan bermotor di Ibu Kota menjadi problem tak kunjung selesai. Buku kir palsu dan kendaraan tak layak jalan berkeliaran.
Basuki Tjahaja Purnama, saat menjabat Wagub Jakarta dan kini Gubernur Jakarta, pada 24 Juli 2014 pernah melakukan inspeksi mendadak di lokasi uji kir di Unit Pelaksana Pengujian Kendaraan Bermotor Teknis Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Kedawung, Jakarta Barat. Basuki yang melakukan sidak bersama Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menemukan banyak penyimpangan dan kemudian menutup sementara lokasi uji kir tersebut.

Kemarin, harian ini mengutip penjelasan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto, Polda Metro Jaya menangkap komplotan pemalsu dokumen dan perlengkapan uji berkala kendaraan bermotor. Ada tiga orang yang ditangkap berikut barang bukti, antara lain 350 kartu uji berkala, 10 buku kir siap pakai, dan sejumlah alat bukti lainnya. Kita berharap Polda Metro Jaya mengungkap tuntas komplotan yang ada di balik pemalsuan uji kir tersebut, termasuk kemungkinan melacak keterlibatan pihak lain.

Permainan uji kir sebenarnya bukan hal baru. Sebagaimana diberitakan Kompas, 10 Agustus 1978, Polda Metro Jaya juga membongkar kasus pemalsuan buku uji kir. Penjelasan dari kepolisian tahun 1978 itu disampaikan Komandan Satuan Reserse Letkol Koesparmono Irsan.

Gugatan soal rentang waktu itu kita angkat untuk mengentak kesadaran kita. Apakah kita bangsa pembelajar? Mengapa kita tak bisa memperbaiki berbagai pelayanan publik agar hari ini bisa lebih baik daripada kemarin, dan lusa lebih baik daripada hari ini? Kenyataannya, peristiwa tahun 1978 bisa kembali berulang pada tahun 2014. Kegeraman Basuki saat melakukan sidak di UPT Kedawung pada Juli 2014 belum membawa perubahan.

Kita yakin bahwa ada semangat untuk terus memperbaiki pelayanan kepada publik, termasuk soal kir. Membiarkan uji kendaraan secara berkala hanya dari aspek prosedural bisa mengorbankan manusia. Sudah terlalu banyak kecelakaan terjadi karena kendaraan umum sudah tidak laik jalan, tetapi tetap lolos dalam uji kir. Karena itu, pembenahan secara menyeluruh lembaga pelayanan publik, termasuk soal uji kir, adalah sebuah keniscayaan.

Kita menyaksikan bagaimana wajah kereta api yang telah berubah. Para penumpang yang dulu sering naik di atas atap kini tak ditemukan lagi. Stasiun pun relatif bersih. Penumpang sudah terbiasa menggunakan uang elektronik untuk membeli tiket kereta. Kita melihat bagaimana layanan perpanjangan SIM yang dulu dipusatkan di Samsat kini ada pelayanan bergerak dan mendekati masyarakat. Intinya, perubahan ke arah yang lebih baik bisa dilakukan. Itu tergantung pemimpin dan konsistensi.

Para pengguna uji kir berharap ketika satu lokasi uji kir ditutup—karena memang harus ditutup—harus ada solusi agar tidak mengganggu layanan publik.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010358828
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Wajah Rasialisme AS (Kompas)

IRONI. Inilah ironi negeri yang selama ini selalu memaklumkan dirinya sebagai panglima demokrasi dunia, penjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Penembakan hingga tewas Michael Brown, seorang remaja kulit hitam berusia 18 tahun oleh seorang polisi kulit putih, di Ferguson, Missouri, menegaskan bahwa masalah rasialisme di AS belumlah selesai. Tewasnya Brown dengan enam peluru bersarang di tubuhnya telah mengobarkan kerusuhan rasial, tidak hanya di Ferguson, tetapi juga meluas ke kota-kota lainnya.

Ternyata, terpilihnya Barack Obama, seorang keturunan kulit hitam, sebagai presiden, belum mengakhiri masalah rasialisme di AS. Yang terjadi hanyalah masalah rasialisme tidak dibicarakan lagi, meskipun sebenarnya masih tetap hidup. Rasialisme di AS ibarat api di dalam sekam yang tersentuh angin sedikit saja bisa berkobar, membakar apa saja. Rasialisme, rasisme, tetap merupakan salah satu isu terbesar di Amerika.

Dari catatan yang ada, sejak tahun 1991 hingga 2014, terjadi sekurang-kurangnya sembilan kerusuhan dan konflik berbau rasial. Sebut saja kerusuhan di Los Angeles (1992), Harlem (1992), Florida (1996), Cincinnati (2001), Toledo (2005), dan Oakland (2009). Rasisme yang paling klasik di AS barangkali terjadi pada abad ke-19 dan dekade-dekade awal abad ke-20.

Di masa itu, AS dilanda aksi-aksi brutal, seperti pembunuhan, hukuman mati tanpa pemeriksaan atas orang-orang kulit hitam oleh KKK dan kelompok orang-orang kulit putih lainnya, dan penolakan orang kulit hitam menyewa apartemen, atau menonton film di gedung bioskop yang sama dengan orang kulit putih, atau makan di rumah makan yang sama dengan orang kulit putih.

Zaman sudah berubah. Seharusnya, sikap-sikap dan tindakan berbau rasial, rasis, hilang pula. Tetapi, tidaklah demikian kenyataannya. Mengapa? Itulah pertanyaannya. Mengapa, sistem apartheid masih tetap hidup, jika kita lihat pada masalah kemiskinan, pengangguran, akses pada pendidikan, dan juga kesehatan. Semua itu terjadi seturut garis rasial. Artinya, orang-orang nonkulit putihlah yang banyak menjadi korban sistem apartheid itu.

Carol Anderson dalam artikelnya di The Washington Post, 31 Agustus lalu, menulis sikap-sikap dan tindakan rasis, rasialis, itu terjadi lantaran ada rasa ketakutan dan kegusaran orang-orang kulit putih terhadap perubahan demografis dan prediksi bahwa kaum kulit putih akan menjadi kelompok minoritas pada tahun 2050.

Apakah ketakutan dan kegusaran seperti itu harus diungkapkan polisi yang main tembak terhadap orang kulit hitam yang dianggap selalu bikin onar? Benar yang dikatakan Martin Luther King Jr, "Ketidakadilan rasial tetap menjadi beban orang kulit hitam dan memalukan orang kulit putih." Dan, mencoreng wajah AS, saat ini.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010359066
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 27 November 2014

Pangan dan Regenerasi  Petani (Ngadi)

SALAH satu target Presiden Joko Widodo dalam sektor pertanian adalah swasembada pangan dicapai dalam tiga tahun ini.
Target yang sangat bagus sebab betapa penting swasembada pangan bagi Indonesia. Akan tetapi, pemerintah perlu merobohkan berbagai kendala. Salah satu kendala itu: regenerasi petani di Indonesia.

Minimnya regenerasi petani akan berdampak pada produktivitas lahan dan berujung pada kesulitan mencapai swasembada pangan. Jangankan swasembada, ketergantungan pada impor bahan pangan bisa lebih besar jika tidak ada regenerasi petani yang berkesinambungan.

Problem regenerasi
Regenerasi petani sudah perlu mendapat perhatian sebab jumlah petani terus turun dalam 10 tahun terakhir. Data statistik menunjukkan dalam kurun 2003- 2013 terjadi penurunan jumlah rumah tangga petani sekitar 5,10 juta  (16 persen). Rumah tangga petani di Indonesia pada 2003 berjumlah 31,23 juta dan menurun menjadi 26,14 juta pada 2013. Jumlah rumah tangga petani menurun lantaran yang keluar dari sektor pertanian, meninggal, dan berpindah kerja ke sektor lain lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja baru yang menjadi petani.  

Tiga provinsi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap penurunan rumah tangga petani adalah Jawa Tengah (1,31 juta), Jawa Timur (1,14 juta), dan Jawa Barat (1,12 juta). Pesatnya urbanisasi di ketiga provinsi itu diduga sebagai penyebab utama penurunan jumlah rumah tangga petani. Urbanisasi berakibat pada beralihnya sebagian lahan pertanian menjadi daerah permukiman dan fasilitas umum. Angkatan kerja baru juga lebih memilih bekerja di sektor nir-pertanian karena merasa lebih menjanjikan dari sisi upah dan kelayakan kerja.

Masalah regenerasi petani semakin kentara jika dilihat dari penurunan jumlah tenaga kerja muda di pertanian. Jumlah petani usia muda (15-24 tahun) mengalami penurunan lebih besar dibandingkan dengan jumlah petani usia tua. Jumlah petani usia muda pada 2004 sebesar 5,95 juta menurun menjadi 5,02 juta pada tahun 2012 (BPS, 2005 dan 2013). Angkatan kerja muda tidak lagi berminat bekerja sebagai petani dan memilih bekerja di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi. Suatu keputusan logis karena pertanian memang tidak memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi pekerja.

Penurunan jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia berkon- sekuensi positif dan negatif bagi pertanian. Konsekuensi positifnya: peningkatan luas lahan dan penurunan jumlah petani gurem. Hasil sensus pertanian menunjukkan rerata luas lahan petani meningkat cukup signifikan. Rerata luas lahan pertanian pada 2003 sebesar 0,35 ha menjadi 0,86 ha pada 2013. Jumlah petani gurem menurun dari 19,02 juta pada 2003 menjadi 14,25 juta pada 2013. Keadaan ini memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatan.

Konsekuensi negatifnya: ketahanan pangan terganggu di Indonesia. Meskipun secara kuantitas jumlah tenaga kerja di pertanian masih relatif besar, produktivitas lahan akan menurun. Pertama, sebagian besar petani di perdesaan umumnya sudah berumur tua. Meskipun jumlah mereka besar, produktivitas mereka sudah menurun. Kegiatan pertanian tidak bisa maju karena tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi pertanian.

Kedua, keturunan petani yang memilih bekerja di luar sektor pertanian umumnya adalah keturunan petani yang berhasil. Keberhasilan mereka ditunjukkan dengan kemampuan menyekolahkan anak sampai jenjang pendidikan tinggi. Dengan pendidikan tinggi itu, anak-anak petani tidak mau lagi bertani dan memilih bekerja di sektor lain.  

Alternatif terakhir
Yang tetap menjadi petani akhirnya hanya mereka yang berpendidikan rendah dan kalah bersaing mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian. Pertanian dijadikan sebagai alternatif terakhir setelah seseorang tidak bisa mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung  kemajuan di sektor pertanian menjadi penyebab utama mereka tidak lagi mau bekerja di sektor pertanian. Keengganan ini pun didukung orangtua yang sebagian besar bercita-cita anak mereka tak bekerja di sektor pertanian.

Ketiga, kegiatan pertanian bagi sebagian besar petani dianggap sebagai pekerjaan sampingan meski mereka mengaku bekerja sebagai petani. Alokasi waktu kerja sebagian besar digunakan untuk kegiatan nir-pertanian. Pada waktu panen, petani ini akan menggarap pekerjaan di pertanian. Namun, pada waktu tertentu mereka memilih bekerja sebagai tukang bangunan, pedagang asongan, atau buruh harian di perkotaan. Pekerjaan yang tak fokus ini menjadi penyebab kurang terurusnya lahan pertanian sehingga memiliki produktivitas rendah.

Masalah regenerasi dapat menjadi hambatan utama untuk implementasi program swasembada pangan di Indonesia. Masalah ini berpangkal pada tidak kompetitifnya upah dan pendapatan di sektor pertanian. Upah tenaga kerja di perdesaan tak ada setengahnya dibandingkan dengan upah tenaga kerja nir-pertanian di daerah perkotaan.

Petani juga berhadapan dengan impor produk pertanian yang berharga lebih rendah. Tak ada perlindungan memadai terhadap kehidupan petani agar dapat bersaing dan menangkal membanjirnya produk pertanian dari luar. Petani seperti dibiarkan berjalan sendiri, bahkan subsidi bagi petani kian berkurang.

Oleh sebab itu, kebijakan yang mendukung peningkatan  kelayakan hidup bagi petani mutlak diberikan agar pertanian tetap  menjadi pekerjaan menarik, khususnya bagi generasi muda. Perlindungan terhadap petani dari produk impor, permainan harga tengkulak, ketertinggalan teknologi juga perlu dilakukan. Tanpa regenerasi yang baik, program swasembada pangan canangan Presiden hanya akan jadi wacana yang tak pernah terwujud.

Ngadi
Peneliti Ketenagakerjaan pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010291576
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kolom Agama dalam Perspektif HAM (Todung Mulya Lubis)

NANI Maryani Ramli, seorang perempuan, pada 1956 memiliki surat keterangan penduduk (belum disebut kartu tanda penduduk atau KTP) untuk Daerah Kota Praja Jakarta Raya. Di sana tak tersua kolom agama.
Yang ada hanya kolom nama, jenis kelamin, bangsa (suku), umur (tanggal kelahiran), tempat kelahiran, pekerjaan, dan alamat. Sama sekali tak ada kolom agama. KTP perempuan tersebut dikeluarkan Lurah Petojo dengan stempel kelurahan.

Di Surabaya pada 1958, Soemiati mendapat kartu penduduk warga negara Indonesia yang kolom-kolomnya lebih kurang sama: tak juga memiliki kolom agama. Saat itu tiada yang mempertanyakan mengapa tidak ada kolom agama sebab agama diper- lakukan sebagai kawasan pribadi, dalam arti: merupakan urusan manusia bersangkutan. Negara tak perlu tahu agama apa yang dianut seseorang.

Konsep kewargaan
Kolom agama kala itu tak ada karena, meski dalam jagat politik Indonesia, partai-partai Islam sangat kuat (Masyumi, NU, PSII, Persis, dan lain-lain). Banyak juga partai beraliran nasionalis, sosialis, dan komunis (PNI, PSI, PKI, Murba, dan lain-lain). Apakah tidak adanya kolom agama karena kesepahaman para pemimpin negeri yang menganggap agama bukan urusan negara? Atau, tak adanya kolom agama itu dikarenakan kompromi politik antarsemua kekuatan politik?

Tak ada yang bisa menjawab pasti. Namun, kita bisa berspekulasi bahwa pada zaman yang banyak diasosiasikan sebagai zaman liberal itu, turunannya adalah bahwa konsep kewargaan lebih diutamakan. Yang terpenting apakah seseorang itu warga negara atau bukan. Seorang warga negara bebas memeluk agama atau kepercayaan atau tak beragama sama sekali. Biarlah urusan agama itu terpulang kepada manusia bersangkutan. Nyatanya, pabrik masyarakat kita tetap kukuh meski isinya kumpulan manusia dari beragam agama dan ideologi politik. Negeri ini tetap utuh. Kohesi sosial terjaga.

Kapan isu agama muncul dalam kebijakan pemerintah? Pada 1965, melalui UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, disebutkan dalam penjelasannya bahwa agama yang dipeluk penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tak salah apabila orang menafsirkan, adanya pengakuan negara terhadap agama tertentu ini dipicu juga oleh ketakutan atas bahaya komunisme yang dianggap tak beragama.

Tuduhan kudeta oleh PKI saat itu membuat mutlaknya seseorang memiliki agama jadi penting. Mereka yang tak beragama akan mudah sekali dituduh sebagai komunis dan ditangkap atau hilang. Pertanyaannya: bagaimana dengan agama lainnya, seperti Ahmadiyah, Bahai, Yahudi, dan semua aliran kepercayaan?

Di sinilah diskriminasi itu bermula. Orang Tionghoa sejak 1967 dilarang melaksanakan upacara agama mereka secara terbuka. Lebih jauh dalam KTP tak boleh ada agama Konghucu dan orang Tionghoa harus menggunakan nama Indonesia, bukan nama Tionghoa. Mereka kehilangan hak-hak sipil mereka. Bayangkan, bagaimana nasib penganut agama dan kepercayaan lainnya?

Pengukuhan keberadaan agama yang diakui negara kembali dilakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1470 Tahun 1978 yang ditegaskan Surat Edaran Mendagri No 477/1978 yang intinya hanya mengakui lima agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha. Selanjutnya, dalam Tap MPR No II/MPR/1998 dikatakan bahwa penganut kepercayaan tak boleh mengarah pada pembentukan agama baru dan sedapat mungkin diarahkan bergabung dengan salah satu agama yang diakui negara. Tiada tempat buat agama lain dan kepercayaan.

Baru pada 2000, 35 tahun kemudian, ketika Gus Dur menjadi Presiden, keluar Keppres No 6/2000 yang mengatakan bahwa upacara keagamaan penganut Konghucu bisa dilaksanakan secara terbuka tanpa memerlukan izin. Inilah salah satu produk reformasi yang penting. Sepertinya iklim kebebasan beragama sudah mulai tumbuh dan Presiden Gus Dur yang sangat pro kemajemukan memang memberi angin segar untuk tumbuhnya masyarakat yang pluralistis.

Namun, dalam praktik, iklim masyarakat yang pluralistis itu tidak sepenuhnya mulus. Dalam kartu identitas penduduk atau KTP, misalnya, dalam kolom agama, pemilik KTP tersebut harus mencantumkan agamanya dan agama tersebut harus salah satu dari agama yang diakui. Seorang penganut agama Bahai mengeluhkan bahwa dia tak boleh mencantumkan agama Bahai di kolom agama di KTP-nya. Dia harus menulis salah satu agama yang diakui oleh negara untuk memperoleh KTP itu.

Semua ini mempunyai dampak turunan: kesulitan mengurus dan mencatatkan perkawinan, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak, memperoleh pekerjaan, dan sebagainya. Diskriminasi disyahkan. Akibatnya, banyak orang yang memilih tidak mempunyai KTP. Lebih jauh, dalam masyarakat mereka, yang bukan berasal dari agama yang diakui akan dituduh sebagai tak beragama atau mengikuti aliran agama sesat.

Kebebasan beragama
Meski Reformasi sudah mulai sejak 1998 dan Indonesia memiliki jaminan hak asasi yang kuat untuk menjalankan agama dan keyakinannya, baik itu atas dasar UUD 1945 maupun Kovenan Hak Sipil dan Politik, persoalan kebebasan beragama ini tak mendapat jaminan. Banyak kasus ketika penganut agama minoritas dan agama yang tak diakui negara mengalami intimidasi, teror, dan kesulitan menjalankan agama mereka. Malah, tak sedikit yang dibunuh dan diusir. Warga Ahmadiyah dan Syiah mengalami hal itu sampai hari ini. Kita telah membuat diskriminasi dan segregasi!

Ihwal kolom agama yang harus diisi dengan agama yang diakui hanya satu soal, tetapi ini soal yang sangat mengganggu dan menghambat banyak orang yang  mencari pekerjaan, mendapatkan pelayanan pemerintah, dan sebagainya. UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sepertinya memberi jalan keluar dengan membolehkan kolom agama tak diisi dan mereka tetap bisa memperoleh KTP dan data mereka dicatat dalam database kependudukan.

Namun, dalam praktik, kolom agama itu dipaksakan diisi. Sedi- kit yang berani melawan. Syukur- lah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membikin gebrakan dengan mengatakan bahwa kolom agama itu tidak perlu diisi. Mendagri memulihkan kembali hak warga negara memilih agama mereka dan tak perlu mencatatkannya dalam dokumen apa pun, termasuk KTP.

Langkah Mendagri ini terbilang maju walau seyogianya Mendagri harus melangkah selangkah lagi: menghapus saja kolom agama pada KTP. Harus diakui bahwa pencantuman kolom agama ini sangat mungkin menjadi sumber diskriminasi, dan sebagai negara yang mengakui semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, merupakan kewajiban kita menghilangkan semua peluang terjadinya diskriminasi.

Seandainya secara statistik negara memerlukan data mengenai jumlah penganut setiap agama, data itu bisa diperoleh melalui berbagai survei dan sensus yang secara berkala dilaksanakan.

Perihal kolom agama ini tak perlu diperdebatkan terlalu panjang. Kebanyakan negara di dunia, termasuk negara tetangga dan negara Timur Tengah, tidak punya kolom agama dalam KTP mereka. Kebijakan tentang KTP tanpa kolom agama bukanlah sesuatu yang ahistoris.

Todung Mulya Lubis
Ketua Dewan Pendiri Imparsial

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010291565
Powered by Telkomsel BlackBerry®

BUMN dan ”Jokowinomics” (Fachry Ali)

DALAM tulisan sebelumnya, "Jokowinomics dan BI-OJK" (Kompas, 14/10/ 2014), saya sampaikan bahwa karena kebutuhan memenuhi janji-janji "ideal"-nya, Jokowinomics berkecenderungan menjadi program belanja yang masif dan ekspansif (massive and expansive spending program).
Pandangan ini sejalan dengan yang dirumuskan ekonom Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Budimanta. Dalam tulisannya, "The Concept of Jokowinomics" (The Jakarta Post, 14/10/2014), Budimanta menekankan bahwa—di samping penekanan terhadap kedaulatan pangan dan modernisasi energi—Jokowinomics adalah pembangunan yang dimulai dari wilayah terlemah dalam konteks geografis ataupun sumber daya manusianya untuk menguatkan akses ekonomi dan meningkatkan harapan bagi rakyat. Ringkasnya, building from the periphery (membangun dari pinggiran). Ini sejalan dengan pencandraan Budiman Sudjatmiko tentang Jokowinomics yang memasukkan pembangunan desa sebagai bagian penting di dalamnya (Kompas, 21/10/2014).

Inilah yang menyebabkan Jokowinomics niscaya ditandai program pembelanjaan atau pengeluaran besar-besaran dan ekspansif. Bukankah membangun wilayah pinggiran hampir identik memulai sesuatu dari titik nol? Bukankah membangkitkan harapan kalangan terlemah (terutama karena lebih besar dalam jumlah) memerlukan energi lebih besar daripada yang relatif sudah kuat?

Jalan politik-ekonomi
Dari segi teknikal, ini problematik karena bahkan ketika subsidi bahan bakar minyak telah direduksi sedemikian rupa, kendala fiskal masih berpotensi kuat memengaruhi terjaminnya percepatan terlaksananya program-program raksasa itu. Namun, pada saat yang sama, pelaksanaan Jokowinomics ini secara struktural niscaya terkendala oleh berkinerjanya "sistem ekonomi pasar" di bawah kontrol kaum oligark kapitalis. Gabungan "ekonomi pasar" dan kontrol kuat kaum oligark kapitalis inilah yang menjadi setting struktural pelaksanaan Jokowinomics dewasa ini. Adakah jalan keluar dari dilema ini?

Salah satu pemecahannya adalah dengan menempuh jalan politik-ekonomi, yaitu memanfaatkan kewenangan politik-konstitusional negara atas sumber daya dan aktor-aktor ekonomi yang berada di bawah kontrolnya. Ini berarti Jokowinomics mengejawantahkan diri menjadi constitutional-based economics (ekonomi didasarkan konstitusi). Frasa ini pernah diperkenalkan Prof Jimly Asshiddiqie dalam Konstitusi Ekonomi (2010). Sambil menunjuk isi Pasal 33 dan perubahan judul Bab XIV hasil amandemen dari "Kesejahteraan Sosial" menjadi "Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial" dalam Konstitusi kita, Prof Jimly menyatakan, "...tak dapat disangkal lagi bahwa UUD 1945 adalah Konstitusi Ekonomi."

Akan tetapi, saya lebih melihat tema constitutional-based economics pada antropo-sosiologis dan struktural, yaitu mengacu kepada embedded economy Karl Polanyi dalam The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (1944). Di sini Polanyi menyatakan bahwa market economy, yaitu aktivitas produksi dan sistem pertukaran bertujuan untuk keuntungan yang (kemudian) memengaruhi bentuk kelembagaan dan tata hukum masyarakat, bersifat artifisial, dan politically created (diciptakan secara politik). Dalam konteks sejarah, bahkan ketika The Wealth of Nations (karya Adam Smith, yang menjadi acuan adanya gejala ekonomi pasar) terbit pada 1776, sistem ekonomi pasar belum berkembang dengan sempurna. Satu abad kemudian, saat terjadi Bourgeois Revolution dan Industrial Revolution, yakni ketika kaum borjuis dan industrialis mampu memengaruhi kebijakan negara, barulah market economy dikukuhkan secara politik, demi keuntungan kelas-kelas penguasa ekonomi ini.

Yang dimaksud dengan embedded economy adalah bahwa sistem ekonomi hanya salah satu "anggota" dari sistem-sistem sosial-budaya dan politik lainnya di dalam organisasi sosial. Sistem ekonomi, dengan demikian, tidak berdiri sendiri dan tidak memengaruhi wujud dan kinerja sistem-sistem lainnya. Dalam kalimat Polanyi, konsep ini berbunyi: "The economic system is merely function of social organization" (sistem ekonomi hanyalah fungsi organisasi sosial). Sebagai bagian fungsi organisasi sosial, pasar bukan menjadi persemaian semangat individualisme, melainkan bertugas menjalin hubungan sosial. Mencegah penyalahgunaan fungsi ekonomi, disiplin pasar bukan saja harus ditegakkan lebih ketat (stricter), melainkan juga dimurnikan (purified) untuk memperoleh pertobatan (expiation) ketika penyelewengan dan pertumpahan darah terjadi di dalamnya. Jadi, kinerja pasar (dalam arti aktivitas ekonomi) dijaga demi keutuhan organisasi sosial.

Saya kira, semangat embedded economy ini ditangkap perumus Pasal 33 Konstitusi kita, yaitu: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang terlihat di sini bukan saja gagasan bahwa kinerja sistem ekonomi tidak bisa direduksi hanya menjadi mekanisme pasar, melainkan sumber-sumber daya ekonomi strategis harus dikuasai oleh extra-market actor (aktor luar pasar): negara. Dalam arti kata lain, sumber daya ekonomi secara konstitusional diperlakukan melampaui logika material.

Di atas logika Pasal 33 inilah badan usaha milik negara (BUMN) berada. Dalam arti bahwa BUMN adalah korporatisasi kontrol negara atas kekayaan itu dan dengan demikian bertindak sebagai wakil negara dalam ekonomi. Konsekuensinya, BUMN bukan saja bagian integral embedded economy, melainkan juga proyeksi subyektif negara di dalam dunia material. Apa arti struktural penegasan pandangan ini dalam konteks "peran politik" BUMN dalam Jokowinomics?

Dalam karya mereka, "Ekonomi-Politik Oligarki dan Perorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia" (Prisma, Volume 33, 2014), Richard Robison dan Vedi Hadiz menekankan, pada dasarnya perspektif ekonomi politik melihat perubahan sebagai hasil pertentangan atau persaingan berbagai kekuatan politik-ekonomi di dalam masyarakat. Dalam situasi ketika negara semakin lemah, kaum oligark kapitalis hasil reproduksi rezim Orde Baru bukan saja dengan mudah menyesuaikan diri ke dalam "sistem ekonomi pasar" pasca Presiden Soeharto, melainkan juga berhasil mengambil posisi menguntungkan dalam aneka alur produk legislasi negara. Sebagaimana telah saya ungkap sebelumnya, kaum oligark kapitalis inilah yang bermigrasi ke dalam dunia politik demi—menggunakan frasa Michele Ford dan Thomas Pepinsky dalam Prisma edisi sama—wealth defence (pertahanan kekayaan). Kontrol atas pasar dan dunia politik ini kian mempermudah mereka melancarkan the politics of wealth defence.

Maka, bahkan jauh sebelum kelahiran Jokowinomics, negara pasca Soeharto telah berhadapan dengan kaum oligark kapitalis. Haruskah negara berhadapan dengan mereka? Berdasarkan Konstitusi 1945, negara bukanlah "aktor pasar", melainkan aktor sosial-budaya dan politik serta ekonomi yang kebijakan-kebijakannya harus melampaui kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok masyarakat.

Maka di sini berlaku apa yang disampaikan Joseph Stiglitz dalam tulisannya yang dimuat dalam Government and Markets: Toward A New Theory of Regulation (2010), tentang sifat "personalitas negara" dan impersonalitas ekonomi pasar. Yakni, ketika aktor-aktor yang berkinerja di dalam "ekonomi pasar" menghasilkan barang dan jasa tanpa asumsi socially just (adil secara sosial), kebijakan negara harus bersifat distributive justice (keadilan yang terbagi). Pada hemat saya, pada titik distributive justice inilah berada "subyektivisme" negara. Sesuai Pasal 33 Konstitusi, "subyektivisme" ini bersifat konstitusional karena tujuan keberadaan negara melampaui logika ekonomi.

"Jokowinomics" dan kontrol oligark
Gagasan-gagasan dan rencana-rencana ideal yang terkandung dalam Jokowinomics, dengan demikian, dapat dilihat sebagai refleksi "subyektivisme negara". Sebab, gagasan dan rencana tersebut menolak tunduk pada realisme struktural yang dipaksakan oleh logika ekonomi. Pertanyaannya: apakah Jokowinomics dapat terlaksana di dalam sistem ekonomi pasar di bawah kontrol kaum oligark kapitalis?

Dalam konteks etika dan moral politik, pelaksanaan Jokowinomics dimungkinkan melalui demonstrasi ketulusan dan citra pemerintahan bersih. Citra bersih mengandung daya bujuk politik besar dan merupakan kekuatan riil dalam menggerakkan dukungan dalam dan luar negeri untuk perubahan reformatif. Namun, dalam konteks teknikal, Jokowinomics punya "kaki" di dalam dunia ekonomi: BUMN.

Mengapa ini dimungkinkan? Pertama, karena dalam kalkulasi internal Kementerian BUMN yang dilakukan pada 2010, nilai kekayaan aset semua BUMN pada 2014 akan mencapai Rp 11.000 triliun, yang berarti lebih dari lima kali APBN 2014-2015. Kedua, sumber daya manusia yang direproduksikan BUMN selama ini relatif kompetitif dibandingkan dengan yang dimiliki perusahaan-perusahaan raksasa di bawah kontrol kaum oligark-kapitalis. Ketiga, walau mengalami perkembangan dan kekuatan modal yang tidak merata, jumlah keseluruhannya mencapai 140 BUMN.

Keempat, dan yang terpenting, cakupan bidang usaha BUMN meliputi sektor-sektor strategis ekonomi nasional. Ini terlihat mulai dari perminyakan, pertambangan, kelistrikan, gas, transportasi, pelabuhan, perkebunan, kimia, pupuk, kehutanan, pertanian, kelautan, perbankan, asuransi, permodalan, jasa konstruksi dan jasa penilai, kebandar-udaraan, farmasi, turisme dan kawasan berikat dan manufaktur, perikanan dan kelautan, pos dan telekomunikasi, semen, dan lain-lain. Fakta bahwa kantor-kantor pusatnya menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia sekaligus menunjukkan potensi jaringan bisnis raksasa.

Lepas dari julukan state-directed capitalism (kapitalisme yang dikontrol negara) sebagaimana dengan sinis dinyatakan The Economist (26 Mei 2012), dengan potensi nilai kekayaan aset Rp 11.000 triliun, sumber daya manusia yang relatif mumpuni, dan gerak bisnisnya di sektor-sektor strategis, BUMN secara teoretikal adalah pesaing kuat kaum oligark-kapitalis di Indonesia. Dengan memasukkan BUMN sebagai bagian integral Jokowinomics, di bawah Joko Widodo-Jusuf Kalla negara mempunyai kekuatan teknikal untuk memproyeksikan "subyektivisme"-nya ke dalam dunia ekonomi riil, yaitu melalui apa yang disebut Robert Wade (1990) governing the market. Sebuah program dan metode negara-negara Asia Timur "melawan" mekanisme pasar dengan mengelola pasar untuk melancarkan industrialisasi.

Dilihat dari konteks ini, BUMN bahkan secara konseptual menjadi barisan terdepan Jokowinomics.

Fachry Ali
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia;
Ketua Komite Kebijakan Publik Kementerian BUMN (2006-2011)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010292234
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Perpecahan Partai Politik (Kompas)

PERPECAHAN partai politik sedang menjadi tren. Kini, bibit perpecahan itu melanda Partai Golkar, partai tertua yang ikut mengawal Orde Baru.
Partai Golkar memang belum sepenuhnya pecah. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, ada bibit ke arah perpecahan. Gejala perpecahan terjadi menyusul perbedaan pandangan kapan pelaksanaan Musyawarah Nasional Partai Golkar. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mengklaim mendapat dukungan mayoritas DPD/DPC untuk maju lagi sebagai ketua umum ingin mempercepat pelaksanaan Munas Golkar dari tahun 2015 menjadi tanggal 30 November-4 Desember 2014.

Rencana percepatan munas ditentang sejumlah pengurus Golkar lain yang malah membentuk Presidium Penyelamat Partai Golkar yang akan menggelar munas pada 15 Januari 2015. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono bahkan telah menunjuk penyelenggara munas, panitia pengarah, dan panitia pelaksana. Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan sejumlah tokoh Golkar lain berniat maju dalam pencalonan Ketua Umum Golkar menggantikan Aburizal yang dinilai gagal dalam memenangkan Golkar dalam pemilu legislatif maupun dalam pemilu presiden.

Sebelum Partai Golkar yang berpotensi dilanda perpecahan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga pecah. Kini terjadi dualisme kepengurusan PPP, yakni PPP Romahurmuziy hasil Muktamar Surabaya dan Djan Faridz hasil Muktamar Jakarta. Kedua kubu membawa dualisme kepengurusan PPP itu ke PTUN.

Meskipun perpecahan partai merupakan khas Indonesia, tren itu menimbulkan impresi buruk publik terhadap partai politik. Citra partai politik akan memudar di mata publik, apalagi jika pengurus partai politik gagal mengelola konflik internal. Publik akan punya penilaian bagaimana pengurus partai politik akan mengelola negara jika mengelola partai politik saja tidak bisa.

Partai politik adalah pilar demokrasi. Filosofi partai politik dibuat adalah untuk mendapatkan dan meraih kekuasaan. Sejatinya, tidak pernah ada partai politik yang sengaja didirikan untuk menjadi kekuatan di luar kekuasaan. Posisi partai di luar kekuasaan semata-mata karena pilihan rakyat dan kecakapan para pengurusnya.

Kita berharap Partai Golkar sebagai partai tertua yang terbentuk pada masa Orde Baru mampu mengelola konflik internalnya dan bisa berkontribusi kepada bangsa ini untuk menjadi lebih baik. Konflik berkepanjangan partai politik yang tak kunjung terselesaikan bisa menjadi ancaman terhadap masa depan demokrasi. Kekuatan anti demokrasi akan senang jika pilar demokrasi itu gagal mengelola konflik di tubuh internal partai politik.

Masalah bangsa Indonesia yang demikian kompleks tidak mungkin bisa diselesaikan seorang diri. Harus ada kebersamaan, termasuk dari partai politik, untuk mengatasi masalah bangsa.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010342754
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Profesi Guru dan Lain-lain (Kompas)

PROFESI guru jadi persoalan klasik. Berulang dalam tiga topik, seperti disampaikan Menteri Anies Baswedan: kesejahteraan, kualitas, dan pemerataan.
Klasiknya persoalan guru, selain oleh rumit dan kait- mengaitnya beragam masalah, juga disebabkan tak ada niat baik dari setiap pemerintahan. Adagium "tak ada profesi tidak bersentuhan dengan profesi keguruan" tak diikuti strategi dan tindakan konkret, turunan afirmasi di atas.

Memperbaiki kesejahteraan guru ditolak dengan dalih besarnya anggaran yang perlu disediakan, sebab separuh lebih dari seluruh jumlah pegawai negeri (2,9 juta lebih dari sekitar 4 juta) adalah guru dan dosen. Memperbaiki mutu guru tidak dilakukan dengan membenahi lembaga pendidikan calon guru yang terstruktur dan terencana. Memeratakan sebaran guru tidak dilakukan secara baik, terkendala lebih dari separuh guru itu perempuan yang sulit ditempatkan di luar kota, apalagi di daerah terpencil.

Terlihat kebijakan dan implementasi yang tidak tuntas. Karena serba tanggung, setiap kebijakan pun jadi bulan- bulanan kritik. Contoh proyek sertifikasi guru, yang awalnya dengan sistem portofolio, karena disalahgunakan, lantas pakai ujian tertulis. Para guru bersertifikat dijanjikan dapat tunjangan profesi. Karena tersendat penerimaannya, lagi-lagi dikritik betapa tidak seriusnya niat baik tersebut.

Dari kualitas kompetensi berdasar ijazah, dua tahun lalu Kemdikbud menyatakan 27 persen guru layak mengajar di SD, 58 persen di SMP, 65 persen di SMA, dan 56 persen di SMK. Dengan data itu, kualitas guru secara umum masih memprihatinkan.

Tidak adanya niat baik terlihat dalam mengatasi masalah kesejahteraan dan pemerataan. Masalah besar kecilnya gaji itu relatif. Namun, dengan beban kerja minimal 24 jam tatap muka dalam seminggu, belum lagi persiapan mengajar dan tuntutan Kurikulum 2013, jika guru digaji di bawah UMR, itu membuat prihatin. Merekalah penyiap masa depan bangsa sekaligus "pendidik kedua" anak setelah bapak dan ibu di rumah.

Mendikbud tidak perlu merombak total kebijakan dan tindakan yang sudah baik. Perbaiki saja kekurangannya, realisasikan kebijakan penanganan guru dari pusat, benahi lembaga pendidikan tenaga kependidikan, dan hilangkan tumpang tindih delapan "tuan" profesi keguruan Indonesia.

Kita tidak mengharap Mendikbud merombak total semua warisan Mendikbud sebelumnya. Selain guru, Kurikulum 2013, ujian nasional, dan kekerasan di sekolah tampaknya merupakan empat permasalahan substantif dan mendesak dilakukan Anies Baswedan.

Kita apresiasi kalau Kemdikbud bisa menyelesaikan secara tuntas permasalahan guru. Para pemegang profesi mulia ini niscaya tidak sedih merayakan Hari Guru Nasional tiap 25 November. Dengan bangga pula mereka mendendangkan rintihan Iwan Fals lewat lirik "Oemar Bakri, Oemar Bakri...."

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010341861
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 26 November 2014

Menjadi Percontohan Kurikulum 2013 (Lily Halim)

MENTERI  Pendidikan dan Kebudayaan akan memutuskan "nasib" Kurikulum 2013 pada akhir semester I, berarti Desember tahun ini. Akankah dilanjutkan, dilanjutkan dengan evaluasi, atau ditunda pelaksanaannya?
Semua memang sedang dalam kajian. Yang jelas, belum ada umpan balik dari 6.000 SD  yang menjadi proyek percontohan, Kurikulum 2013 sudah dipaksakan untuk dijalankan.

Tahun 2013 sekolah kami ditunjuk menjadi salah satu SD percontohan. Ibarat dua sisi mata uang, ada rasa senang karena mungkin kami akan lebih paham  lebih dulu dibandingkan dengan SD lain. Namun, ada juga risiko karena ketergesaan dan "bau politik" yang menyengat. Selain kami, total ada 15 SD di Kota Yogyakarta yang menerapkan Kurikulum 2013 di kelas I dan  IV.

Pada tahun pertama, kami para guru berdarah-darah untuk bisa memahami, mengolah, memilah, sekaligus "memasak" agar rasa "kurikulum" tetap enak dan nikmat bagi siswa. Mengapa kami sampai bersusah payah?

Sudah rahasia umum bahwa Kurikulum 2013 disiapkan secara "kejar tayang", serba cepat, dan tergesa-gesa. Kurikulum dan turunannya, yaitu buku, sudah pasti penuh ranjau di sana-sini. Tak hanya itu, bekal pendidikan dan latihan (diklat) untuk kami juga sangat kurang. Maka, agar siswa tidak  menginjak ranjau, sang guru/pendidik harus benar-benar mengolah kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, dan merancang kegiatan dengan pendekatan saintifik, sekaligus penilaian yang otentik.

Sungguh tidak mudah menyiapkan itu semua. Masih untung, salah satu dari kami pernah terlibat litbang SD Eksperimen Romo Mangun. Mengolah dan memasak kembali kurikulum dan buku sudah pernah dilakukannya sehingga dengan segera melihat hakiki Kurikulum 2013. Bagaimana dengan sekolah lain?

Kelebihan dan kekurangan
Di tengah kebingungan melaksanakan pada tahun pertama, kami bersepakat tidak mau terpuruk dan berusaha  memelihara semangat agar siswa tetap terlayani dengan baik.

Di tengah ketergesaan, kekurangan, dan kesalahan buku, kami bersyukur tema-tema Kurikulum 2013 sangat kontekstual alias dekat dengan siswa. Banyak tema yang digemari siswa karena merupakan bagian dari keseharian siswa SD.  Sebenarnya,  Kurikulum 2013 memberikan ruang cukup untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan siswa, juga sikap yang bisa distimulus dari setiap kegiatan. Sayang, keleluasaan untuk eksplorasi kurang sehingga tema bagus, tetapi ruang eksplorasi dibiarkan sepi.

Selama "bergaul dan bekerja sama" dengan dinas dan sekolah sesama percontohan, kami merasakan pendampingan implementasi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pendampingan administrasi. Padahal, guru SD percontohan dan SD-SD di negeri ini membutuhkan pendampingan intensif karena memahami dan melaksanakan apa yang disebut pendekatan saintifik dan penilaian otentik itu tidak mudah. Perlu revolusi mental dari kebiasaan guru "ceramah" menjadi seorang fasilitator. Lompatan tersebut memerlukan perubahan paradigma.

Sebagai SD yang pernah melaksanakan percontohan, kami  bisa mengungkapkan bahwa Kurikulum 2013 secara konsep bagus. Ada dua hal yang nyata beda dengan kurikulum sebelumnya, yaitu pendekatan saintifik dan penilaian otentik. Namun, justru pemerintah kurang memberikan pendampingan maksimal dalam dua hal tersebut.

Tidak heran jika guru bingung, meraba-raba bak berjalan di tempat gelap. Maka, salah satu hal yang perlu diperbaiki adalah pendidikan dan pelatihan guru terlebih dahulu. Kenyataannya, diklat kurikulum tak selalu menambah paham, hanya menambah materi ke sekolah.

Kurangi administrasi
Jika diklat perlu ditingkatkan mutunya, sebaliknya pendampingan formal administrasi dikurangi karena memberatkan. Kami semakin repot melayani permintaan data dan mengisi instrumen dari berbagai pihak.

Siswa SD kami jika ditanya banyak yang senang dengan Kurikulum 2013 karena ada beberapa yang dipraktikkan, didiskusikan. Belajar dengan mengamati, menanya, menganalisis, tetapi untuk itu sang guru perlu menyiapkan  "peta belajar" agar siswa dapat menemukan dan membangun pengetahuannya.

Sebagai guru yang pernah mengalami kurikulum 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013, kegiatan dan tema Kurikulum 2013 memang lebih variatif  sehingga jika dilakukan dengan baik dan benar, pastilah siswa akan senang belajar, bukan menghafal.

Kesimpulannya, Kurikulum 2013 bisa dilanjutkan dengan revisi kesalahan, perbaikan sistem diklat, dan pendampingannya.

Lily Halim Guru dan Kepala SD Kristen Kalam Kudus, Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010296157
Powered by Telkomsel BlackBerry®

RUU Perlindungan Umat Beragama (Rumadi Ahmad)

MENTERI Agama Lukman Hakim Saifuddin, sebagaimana dilansir sejumlah media, menyatakan, Kementerian Agama sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama.
Menurut dia, RUU PUB merupakan hasil forum group discussion yang dilakukan Kementerian Agama dengan melibatkan tokoh-tokoh dari beberapa agama (28/10/2014). Keinginan Kementerian Agama untuk menginisiasi lahirnya UU seperti ini sudah ada sejak lama meski dengan nama berbeda. Tahun 2010, dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri disepakati percepatan pembahasan RUU Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB). Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Tempat Ibadah juga disepakati dinaikkan statusnya menjadi UU.

Gagasan membuat RUU KUB muncul seiring banyaknya kasus kekerasan bermotif agama, termasuk penusukan terhadap pendeta gereja HKBP Ciketing, Bekasi. Jauh sebelum itu, tahun 2003 sudah beredar RUU KUB yang diduga dikeluarkan Litbang Departemen Agama (sebelum jadi Kemenag) meskipun itu tidak diakui. Pada Agustus 2011, beredar dokumen naskah akademik dan draf RUU KUB dari Baleg DPR yang isinya ada kemiripan dengan RUU KUB Litbang Kemenag 2003.

Melindungi
Pertanyaannya, apakah substansi RUU yang hendak diusulkan Kemenag sekarang ini merupakan kelanjutan belaka dari perkembangan di atas, atau ada substansi yang berubah. Pertanyaan ini tentu belum bisa dijawab karena RUU PUB hingga sekarang belum ada naskah akademik dan draf RUU-nya. Apakah hanya mengubah nama dari RUU KUB menjadi RUU PUB, ataukah ada perubahan paradigmatik yang lebih mendasar.

Lukman Hakim mengungkapkan, gagasan pokok dari RUU PUB adalah memastikan perlindungan umat beragama, terutama dalam dua hal: kemerdekaan memeluk agama di satu pihak dan kemerdekaan menjalankan agama sesuai keyakinan yang dipeluk. Jaminan ini sebenarnya sudah ditemukan dalam konstitusi UUD 45. Namun, belum ada UU turunan yang mengimplementasikan jaminan konstitusi.

Lukman menyebutkan, RUU PUB ini diharapkan bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat yang menganut agama di luar Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. "Kami rasakan saat ini ada perilaku diskriminatif terhadap masyarakat di luar keenam agama itu," ujarnya.  Pernyataan ini mengindikasikan adanya spirit berbeda dengan RUU KUB yang sama sekali tidak mempersoalkan posisi agama dan keyakinan di luar enam agama yang diakui negara. Hal ini mengindikasikan ada paradigma melindungi dan menghormati, bukan mengatur dan mengontrol.

Paradigma mengatur dan mengontrol lebih dominan dalam perbincangan RUU KUB yang diproyeksikan sebagai alat mengintegrasi dan perekayasa sosial. Dengan demikian, RUU KUB memang diproyeksikan untuk mengintegrasikan, mengontrol, dan merekayasa masyarakat. Hal itu tak bisa dilepaskan dari kepentingan orang atau kelompok yang memegang kekuasaan. Dari perspektif ini jelas paradigma yang digunakan adalah menempatkan masyarakat sebagai "obyek" yang perlu diintegrasikan, dikontrol, dan direkayasa.

Negara dan kelompok mayoritas adalah "subyek" yang mengontrol, mengintegrasikan, dan merekayasa. Hal ini dilakukan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan negara dan juga mayoritas. Dengan demikian, kepentingan-kepentingan rakyat, terutama minoritas, tetap harus disubordinasikan dalam kepentingan negara dan mayoritas.

Dengan demikian, RUU PUB yang digagas Lukman Hakim akan punya arti penting jika ada spirit sungguh-sungguh untuk melindungi dan memfasilitasi warga negara agar dapat menjalankan agama dan keyakinannya dan tak dihantui diskriminasi. Ini penting ditegaskan karena dalam praktiknya, istilah melindungi sering dibelokkan jadi membelenggu dan membatasi. RUU PUB juga harus dipastikan bisa menghilangkan diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan. Harus diakui, sekarang ini masih ada perlakuan diskriminatif terhadap pemeluk keyakinan keagamaan di luar enam agama yang dianggap sah. Hal ini sudah berjalan puluhan tahun dan tak ada terobosan hukum untuk menghilangkan. RUU PUB harus mampu menerobos hal ini.

Hal ini bisa dilakukan jika definisi agama diperluas sehingga bisa mencakup semua jenis kepercayaan keagamaan, termasuk agama lokal yang banyak hidup di seluruh Nusantara. Bukan pembuat UU yang mendefinisikan sebuah kepercayaan atau tidak, tetapi pemeluknya sendiri. Jika hal ini gagal dilakukan, bukan tak mungkin, meski RUU-nya "perlindungan", justru berisi represi dan legalisasi diskriminasi.

Bukan obat mujarab
Meskipun demikian, harus disadari sejak awal, UU tidak bisa jadi obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan kehidupan beragama. Dalam visi-misi Presiden Joko Widodo disebutkan, salah satu problem pokok bangsa adalah merebaknya intoleransi. Apakah RUU PUB upaya untuk menjawab problem itu? Kalau RUU PUB dimaksudkan untuk menjawab ini, saya bisa pastikan ini bukan jawaban yang tepat. Intoleransi terjadi di mana-mana bukan karena kekosongan hukum, melainkan lebih akibat lemahnya penegakan hukum dan kepemimpinan.

Bukan berarti penulis alergi dengan perumusan aturan kehidupan beragama. Regulasi kehidupan keagamaan pada tingkat tertentu dibutuhkan, tetapi harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, regulasi keagamaan melalui perumusan pasal-pasal dalam UU tak berarti bisa menyelesaikan semua problem kehidupan beragama. Adalah keliru jika ada yang beranggapan bahwa problem kehidupan beragama karena ketiadaan aturan perundang-undangan. Pasal-pasal UU tak ada artinya jika relasi sosial keagamaan di Indonesia tak cukup sehat, aparat pemerintah dan penegak hukum tak punya kapasitas melakukan penegakan hukum, atau budaya hukum tak mendukung. Karena itu, hal yang jauh lebih penting adalah membangun sistem kehidupan keagamaan yang sehat, terbuka, dan adil. Tanpa itu, aturan sebagus dan sedetail apa pun tidak akan banyak gunanya, bahkan bisa menjadi sumber konflik baru.

Kedua, menggunakan paradigma yang benar: dari mengatur menjadi melayani; dari mengontrol menjadi melindungi. Perubahan paradigma ini harus diikuti sense of minority, sebuah sikap sensitif terhadap kebutuhan kelompok minoritas. Sense of minority inilah yang selama ini absen dalam pembahasan kehidupan keagamaan. Dalam soal tempat ibadah, misalnya, mengatur tempat ibadah bagi Muslim di Jawa tak bisa disamakan dengan Muslim di Papua atau Manado. Begitu juga mengatur tempat ibadah umat Hindu di Bali tak bisa disamakan dengan Hindu di Jawa dan seterusnya. Ketiadaan sense of minority ini kemudian melahirkan aturan-aturan yang justru menyulitkan kalangan minoritas. Alih-alih sense of minority, yang dikedepankan justru sikap dan cara berpikir untuk melindungi kepentingan mayoritas dari ancaman minoritas.

Ketiga, harus dipastikan, RUU PUB bisa menghilangkan diskriminasi berdasar agama dan keyakinan, tidak justru melanggengkan diskriminasi. Jika hal itu dilakukan, RUU PUB akan membawa perubahan besar dalam kehidupan berbangsa.

Rumadi Ahmad 
Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Peneliti Senior The Wahid Institute dan Komisioner Komisi Informasi Pusat

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010235312
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger