Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 28 November 2014

TAJUK RENCANA: Wajah Rasialisme AS (Kompas)

IRONI. Inilah ironi negeri yang selama ini selalu memaklumkan dirinya sebagai panglima demokrasi dunia, penjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Penembakan hingga tewas Michael Brown, seorang remaja kulit hitam berusia 18 tahun oleh seorang polisi kulit putih, di Ferguson, Missouri, menegaskan bahwa masalah rasialisme di AS belumlah selesai. Tewasnya Brown dengan enam peluru bersarang di tubuhnya telah mengobarkan kerusuhan rasial, tidak hanya di Ferguson, tetapi juga meluas ke kota-kota lainnya.

Ternyata, terpilihnya Barack Obama, seorang keturunan kulit hitam, sebagai presiden, belum mengakhiri masalah rasialisme di AS. Yang terjadi hanyalah masalah rasialisme tidak dibicarakan lagi, meskipun sebenarnya masih tetap hidup. Rasialisme di AS ibarat api di dalam sekam yang tersentuh angin sedikit saja bisa berkobar, membakar apa saja. Rasialisme, rasisme, tetap merupakan salah satu isu terbesar di Amerika.

Dari catatan yang ada, sejak tahun 1991 hingga 2014, terjadi sekurang-kurangnya sembilan kerusuhan dan konflik berbau rasial. Sebut saja kerusuhan di Los Angeles (1992), Harlem (1992), Florida (1996), Cincinnati (2001), Toledo (2005), dan Oakland (2009). Rasisme yang paling klasik di AS barangkali terjadi pada abad ke-19 dan dekade-dekade awal abad ke-20.

Di masa itu, AS dilanda aksi-aksi brutal, seperti pembunuhan, hukuman mati tanpa pemeriksaan atas orang-orang kulit hitam oleh KKK dan kelompok orang-orang kulit putih lainnya, dan penolakan orang kulit hitam menyewa apartemen, atau menonton film di gedung bioskop yang sama dengan orang kulit putih, atau makan di rumah makan yang sama dengan orang kulit putih.

Zaman sudah berubah. Seharusnya, sikap-sikap dan tindakan berbau rasial, rasis, hilang pula. Tetapi, tidaklah demikian kenyataannya. Mengapa? Itulah pertanyaannya. Mengapa, sistem apartheid masih tetap hidup, jika kita lihat pada masalah kemiskinan, pengangguran, akses pada pendidikan, dan juga kesehatan. Semua itu terjadi seturut garis rasial. Artinya, orang-orang nonkulit putihlah yang banyak menjadi korban sistem apartheid itu.

Carol Anderson dalam artikelnya di The Washington Post, 31 Agustus lalu, menulis sikap-sikap dan tindakan rasis, rasialis, itu terjadi lantaran ada rasa ketakutan dan kegusaran orang-orang kulit putih terhadap perubahan demografis dan prediksi bahwa kaum kulit putih akan menjadi kelompok minoritas pada tahun 2050.

Apakah ketakutan dan kegusaran seperti itu harus diungkapkan polisi yang main tembak terhadap orang kulit hitam yang dianggap selalu bikin onar? Benar yang dikatakan Martin Luther King Jr, "Ketidakadilan rasial tetap menjadi beban orang kulit hitam dan memalukan orang kulit putih." Dan, mencoreng wajah AS, saat ini.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010359066
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger