Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 31 Juli 2017

TAJUK RENCANA: Barat Terus Jadi Sasaran (Kompas)

Barat dan aliansinya terus menjadi sasaran teroris. Tiga orang tewas di Jerman; di Sydney, polisi menangkap empat orang yang akan meledakkan pesawat.

Seorang bersenjata mendatangi dan menyerang sebuah kelab malam di kota Constance, Jerman, menewaskan satu orang dan menyebabkan empat orang lain mengalami cedera serius, Minggu (30/7). Seorang pengunjung tewas ditembak orang tersebut dan penyerang akhirnya juga tewas.

Diduga penyerang berkebangsaan Irak, tetapi bukan pencari suaka. Dia diduga berumur 34 tahun dan sudah lama tinggal di Jerman. Namun, belum jelas apa motif penyerangan tersebut.

Dua hari sebelumnya, Jumat (28/7), seorang dengan senjata tajam menyerang kerumunan orang di supermarket di Hamburg, Jerman, dan menewaskan satu orang. Mengetahui korbannya tewas, dia berbalik dan menyerang pengunjung lain hingga empat orang cedera.

Rencana serangan teror berhasil diungkap polisi antiteror di Australia, Sabtu (29/7), dengan menangkap empat orang di Sydney. Pada Desember 2016, bersamaan dengan Natal, kepolisian Australia juga menggagalkan rencana pengeboman di Melbourne. Saat itu, Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menjelaskan, rencana tersebut adalah bagian dari rencana teroris.

Di Australia, Juni lalu, Khayre (29) yang berasal dari Somalia menembak mati seorang laki-laki dan menyandera seorang perempuan di sebuah apartemen. Tiga polisi yang terlibat tembak-menembak dengan Khayre dalam upaya membebaskan sandera tersebut cedera. Adapun Khayre tewas. Aksi Khayre itu diklaim oleh Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Tidak hanya itu, Khayre juga diduga terkait dengan rencana penyerangan terhadap barak tentara Australia pada 2009. Ia pun pernah membunuh seorang warga Australia keturunan China.

Terkait penangkapan di Sydney, Turnbull menegaskan, keamanan ekstra diberlakukan di semua bandara, baik domestik maupun internasional. Dengan penangkapan ini, Pemerintah Australia tetap menempatkan serangan teroris pada level menengah.

Namun, Kepala Polisi Federal Australia Andrew Colvin menyatakan, polisi belum mendapatkan informasi lengkap tentang lokasi, tanggal, dan jam serangan. Mengutip keterangan seorang perempuan, kantor berita Australia, ABC, mengatakan, anak dan suaminya yang ikut ditangkap tidak mempunyai kaitan dengan terorisme.

Berbeda dengan Jerman yang banyak menerima pengungsi, Australia membatasi jumlah pengungsi masuk ke negaranya. Namun, ancaman teroris rupanya tidak paralel dengan kebijakan tersebut.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Barat Terus Jadi Sasaran".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Mengkaji Kebijakan Perberasan (Kompas)

Pembatalan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47 Tahun 2017 yang mengatur harga eceran tertinggi beras patut mendapat apresiasi.

Peraturan tersebut—ditarik kembali saat masih dalam proses pelegalan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia—sempat mengundang kontroversi. Pasalnya, peraturan itu ingin mengatur semua jenis kualitas beras pada satu harga dan berlaku sama di seluruh Indonesia.

Kita menghargai keputusan Menteri Perdagangan mencabut peraturan tersebut karena pada satu sisi menunjukkan pemerintah bersedia berdialog dan mendengar masukan masyarakat. Di sisi lain, kita juga harus memberikan masukan bahwa pencabutan tersebut memperlihatkan pemerintah belum terlalu paham persoalan mendasar tentang beras.

Kontroversi harga eceran tertinggi beras disebabkan pemerintah ingin harga berada pada aras Rp 9.000 per kilogram di seluruh Indonesia. Pemerintah tahun lalu menyinyalir harga beras di atas Rp 10.000 per kg disebabkan panjangnya rantai tata niaga dan permainan pedagang yang ingin mendapat untung terlalu tinggi.

Selama dua pekan terakhir media diramaikan oleh tindakan Satgas Pangan terhadap PT IBU karena diduga memanipulasi kualitas beras yang dijual ke konsumen. Hal itu seperti membuka kotak Pandora perberasan sekaligus kesempatan menyelesaikan persoalan secara mendasar, menyeluruh, dan terintegrasi.

Dari penjelasan pelaku perberasan dapat ditarik benang merah bahwa persoalan harga beras ada pada produksi, pengolahan, penyimpanan, dan distribusinya. Ada kekhawatiran produksi beras tidak sebesar angka resmi Kementerian Pertanian. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan temuan Badan Pusat Statistik dan Ombudsman Republik Indonesia tentang kemungkinan luas panen berbeda dari angka resmi pemerintah.

Sambil memperbaiki akurasi data produksi beras, pemerintah perlu segera memiliki kebijakan pangan menyeluruh dan terintegrasi dari hulu hingga hilir, dari pemerintah pusat hingga daerah, serta antarlembaga. Dari kebijakan tersebut lalu diturunkan menjadi kebijakan beras dan sumber karbohidrat nasional.

Pemerintah juga perlu menyusun kebijakan jangka menengah, yaitu agroindustri seusai panen beras agar harga tak dibebankan semata pada bulir beras karena padi dan beras memiliki banyak produk samping bernilai ekonomi. Adapun kebijakan jangka pendek menyangkut produksi beras dan sumber-sumber karbohidrat lokal lain.

Dari pengalaman tersebut, ke depan pemerintah perlu berhati-hati dalam menetapkan harga beras karena akan memengaruhi petani menanam, pedagang menjual, dan kemampuan Bulog menyerap gabah yang semuanya berpatokan pada harga pembelian pemerintah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Mengkaji Kebijakan Perberasan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: NIIS, Indonesia, dan Timteng (MUHAMMAD JA'FAR)

Masuknya militan Indonesia di jaringan Marawi, Filipina, menunjukkan bahwa persoalan terorisme di negeri ini akan semakin rumit. Diperkirakan ada arus balik kepulangan anggota Negara Islam di Irak dan Suriah ke negara masing-masing di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Fenomena ini dikhawatirkan akan membentuk jaringan baru teroris yang bersimpul di kawasan Asia Tenggara. Artinya, ancaman masif NIIS kini berada di halaman depan negara kita.

Sebenarnya, dalam hal pemberantasan dan pencegahan terorisme, terutama NIIS, Indonesia memiliki perangkat suprastruktur dan infrastruktur sosio-kultur yang menjadi kelebihan dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah (juga Eropa). Jika kelebihan ini dioptimalkan, agenda pemberantasan dan pencegahan terorisme tak lagi hanya dijalankan secara tunggal oleh negara, juga bisa melibatkan kekuatan sosio-kultur "di luar" negara.

Modal berharga

Pertama, perangkat suprastruktur ini berupa kesadaraan kolektif sosio-kultural-religi. Modal ini sangat strategis sebagai tameng menghadapi ancaman terorisme, khususnya infiltrasi doktrin dan gerakan NIIS. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan, 89,6 persen warga negara Indonesia tidak setuju dengan NIIS. Sebanyak 91,3 persen di antaranya mendukung negara untuk melakukan pelarangan terhadap NIIS. Selain itu, 9 dari 10 (89,3 persen) warga Indonesia menganggap NIIS ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila dan UUD 1945.

Ini potret kuantitatif modal suprastruktur yang dimiliki Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan pada toleransi, perdamaian, dan welas asih. Sementara negara-negara di kawasan Timur Tengah justru sebaliknya: identik dengan perang, konflik, dan kekerasan. Identitas sosio-kultural-religi negara-negara di sana lebih lekat dengan konfrontasi ketimbang persuasi dan toleransi. Kondisi ini memudahkan NIIS untuk bergerak menyebarkan ideologinya, merekrut anggota, dan melancarkan aksi terornya.

Kedua, Indonesia juga memiliki infrastruktur sosio-kultur-religi, yaitu keberadaan dan peran organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, dan Persatuan Islam (Persis) yang jumlahnya hingga ribuan. Selama ini peran sosio-kultur yang dijalankan secara "swadaya" oleh ormas- ormas tersebut telah meringankan beban tanggung jawab negara. Dengan atau tanpa uluran tangan negara, ormas-ormas tersebut konsisten menjalankan perannya, termasuk pembendungan ideologi NIIS.

Dalam survei nasional "Potret Keberagamaan Muslim Indonesia" tahun 2016 oleh Alvara Research Center, sebanyak 50,3 persen (79,04 juta jiwa) Muslim Indonesia mengaku berafiliasi ke NU dan 14,9 persen (22,46 juta jiwa) berafiliasi ke Muhammadiyah. Sisanya tersebar ke ormas-ormas lain dan yang tidak berafiliasi ke ormas mana pun. Jadi, separuh populasi Indonesia terafiliasi dengan ormas-ormas yang memiliki horizon kultural-religi yang toleran dan damai. Ini modal sangat berharga untuk memberantas dan menangkal NIIS. NU dan Muhammadiyah juga memiliki ratusan cabang dan ribuan sayap organisasi pemuda dan wanita. Kedua ormas ini juga memiliki ribuan lembaga pendidikan (pesantren dan sekolah), rumah sakit, masjid, lembaga keuangan, dan lembaga sosial.

Semua lembaga tersebut merupakan kantong-kantong sosio-kultur yang memiliki kapasitas pemberdayaan dan edukasi yang sangat besar. Langsung maupun tidak, agenda pemberdayaan ataupun edukasi yang dijalankan NU dan Muhammadiyah di semua institusi pendidikan dan kantong-kantong kulturalnya selama ini telah membantu secara signifikan proses deradikalisasi. Berpuluh juta warga Indonesia selamat dari infiltrasi paham dan gerakan NIIS berkat edukasi kultural dan formal yang dijalankan kedua ormas itu. Tanpa peran dari ormas-ormas tersebut, NIIS mungkin telah berhasil merekrut anggota dan simpatisan jauh lebih banyak dari angka 10 juta jiwa (4 persen dari total populasi Indonesia), sebagaimana hasil riset The Pew Research Center (2015).

Jika peran yang dijalankan ormas-ormas itu disubstitusikan ke dalam peran negara, tentu setara dengan kerja struktural kenegaraan yang sangat berat dan anggaran besar. Ormas-ormas itu selama ini telah menjadi "invisible hand" yang membantu meringankan tugas negara dalam menanggulangi dan memberantas ancaman terorisme, terutama NIIS. Ormas itu telah jadi benteng sosio-kultur yang menghadang infiltrasi doktrin dan gerakan NIIS. Terkait terorisme, posisi dan peran ormas-ormas Islam di Indonesia mayoritas "berdiri bersama dengan", dan menyokong, negara. Mayoritas menyemai spirit toleransi dan perdamaian, bukan anarki dan teror.

NIIS di Timur Tengah

Beda dengan Indonesia, di Timur Tengah agenda pemberantasan dan pencegahan terorisme sepenuhnya di pundak dan tertumpu pada kapabilitas negara. Negara aktor tunggal yang tidak memiliki mitra strategis "di luar" dirinya. Ini membuat tugas dan peran negara di kawasan Timur Tengah jadi sangat berat, sementara problem terorisme itu sendiri melibatkan anasir-anasir yang terkadang berada "beyond" jangkauan tangan negara, yaitu jaringan transnasional. Sudah hampir 5 tahun energi Pemerintah Suriah dan Irak terkuras oleh problematika NIIS. Di Mesir, Arab Saudi, Yaman, Afganistan, juga Eropa, negara dipusingkan aksi teror NIIS tanpa ada bantuan anasir-anasir ormas.

Kalaupun ada ormas Islam di negara- negara Timur Tengah, posisi dan perannya berada pada dua kemungkinan. Pertama, posisi dan perannya "berseberangan" dengan negara. Ormas di Timur Tengah lebih kental visi politis ketimbang visi sosio-kulturalnya sehingga lebih sering berhadap- hadapan (vis a vis) dengan negara ketimbang berdiri bersama-sama negara. Di Mesir, misalnya, terdapat Ikhwanul Muslimin (IM) yang sejak era pendiriannya berada dalam posisi "di seberang" negara. IM dikenal sebagai organisasi "bawah tanah" yang tidak sevisi dengan Pemerintah Mesir sehingga tidak bisa diajak berduet mengatasi problematika kebangsaan-kenegaraan Mesir. Pasca-"Musim Semi Arab" yang menumbangkan Hosni Mubarak terlihat jelas kerasnya vis a vis antara negara (Mesir) dan IM.

Kedua, jika tidak vis a vis negara, posisi dan peran ormas-ormas di Timur Tengah "netral dari" urusan kenegaraan. Mereka berkiprah hanya di "dunia"-nya sendiri, terpisah dari dinamika kenegaraan dan kebangsaan. Aktivitas ormas hanya dalam lingkup ritual simbolik tanpa rasa sosial-kultural sehingga kontribusinya pada persoalan kebangsaan-kenegaraan sangat minimal. Bagi negara di Timur Tengah, posisi ormas semacam ini berada dalam konteks "adanya sama dengan tidak adanya". Gerakan people power yang terjadi pada era Musim Semi Arab hanya bersifat temporer. Gerakan ini kemudian mati dan tak mampu mengawal jalannya spirit Musim Semi Arab sehingga visinya gagal terimplementasi. Tunisia, Libya, Yaman, Mesir, dan Suriah kini semakin menjadi sasaran empuk NIIS.

Tak ada ormas Islam dengan aktivitas sosio-kultur yang semarak membuat posisi negara di Timur Tengah cenderung sendirian ketika berhadapan dengan problem terorisme NIIS. Tidak ada kekuatan sipil di luar negara yang bisa dijadikan mitra strategis menjalankan agenda perang melawan NIIS. Negara tak mendapatkan "bantuan gratis" dari gerakan sipil Islam melalui peran sosio-kulturnya, seperti yang dirasakan Indonesia melalui peran NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya.

Modal suprastruktur dan infrastruktur sosio-kultural yang dimiliki Indonesia, bagi negara-negara di Timur Tengah (juga Eropa) ibarat keajaiban dan mimpi. Tak terbayangkan oleh mereka ada negara di mana separuh populasinya terafiliasi ke dalam ormas-ormas yang kiprahnya secara tidak langsung meringankan tanggung jawab negara untuk menciptakan stabilitas sosial dan keramahan kultural.

Perlu "cetak biru" kerja sama

Namun, sejauh ini negara (pemerintah Indonesia) belum menunjukkan agenda yang secara aktif berupaya merangkul ormas-ormas tersebut sebagai mitra strategis dalam menjalankan agenda-agenda terkait dengan penanggulangan dan pemberantasan terorisme, terutama NIIS. Modal suprastruktur dan infrastruktur yang kita miliki tidak teraktualisasikan dengan nyata dan optimal. Pemerintah terkesan abai dengan modal sosio-kultur ini.

Hingga saat ini negara belum memiliki cetak biru dan program kerja sama penanggulangan terorisme yang komprehensif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan kantong-kantong sosio-kultur dari ormas-ormas Islam. Negara berjalan sendiri dengan platform formal-strukturalnya, sementara ormas-ormas Islam tersebut juga (dibiarkan) berjalan secara swadaya. Kalaupun ada langkah-langkah dari pemerintah untuk merangkul ormas dalam penanganan terorisme, hal itu lebih bersifat seremonial semata, tidak sampai pada tataran membentuk sebuah cetak biru kerja sama dan kemitraan yang terintegrasi, komplementer, dan substitutif.

Dalam rangka pemberantasan dan pencegahan terorisme, sebuah keniscayaan bagi pemerintah untuk merangkul dan menyinergikan kekuatan dengan ormas-ormas. Jika tidak, potensial muncul konsekuensi berikut.

Pertama, jika pemerintah bergerak hanya sebagai aktor tunggal, bisa dipastikan tingkat efektivitas dan efisiensinya sangat rendah. Sebab, struktur perangkat keamanan kita masih belum terintegrasi. Sebagai komparasi, negara-negara Eropa yang sudah mapan saja tidak bisa optimal mencegah masuknya paham dan gerakan teror NIIS.

Kedua, jika tak ditunjang negara, energi dan daya tahan ormas-ormas dalam menghadapi gempuran ideologi dan gerakan NIIS akan semakin melemah. Bagaimanapun, energi dan daya tahan ormas tersebut memiliki ambang batas, sementara infiltrasi paham dan gerakan NIIS semakin hari semakin masif. Fenomena jaringan Asia Tenggara di Marawi membuktikan hal ini. NU dan Muhammadiyah, misalnya, tidak selamanya bisa membentengi infiltrasi paham dan gerakan NIIS jika negara (pemerintah) tidak memperkuat dirinya atau mengajak ormas-ormas tersebut berduet membendung NIIS. Tidak ada pilihan lain bagi negara selain bersinergi dengan ormas-ormas tersebut untuk membendung NIIS.

Eksistensi ormas yang jumlahnya sangat banyak ini adalah keajaiban yang seharusnya membuat Indonesia berada selangkah lebih maju dari negara-negara Timur Tengah dan Eropa dalam pemberantasan dan pencegahan terorisme, terutama NIIS. Tentu sangat disayangkan jika potensi ini tidak dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah Indonesia.

MUHAMMAD JA'FAR

Ketua Pusat Kajian Hubungan Strategis Indonesia-Timur Tengah

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "NIIS, Indonesia, dan Timteng".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Matinya Empati Sosial (HERRY TJAHJONO)

Belakangan ini mata kita dicelikkan oleh setidaknya dua kejadian bully yang dilakukan anak atau remaja.

Menggegerkan? Bisa ya, bisa tidak karena terlalu sering kita menyaksikan kejadian sejenis, terutama melalui media sosial. Secara statistik mungkin tak semua terlacak dan terekspos. Namun, yang jelas dua kejadian yang menimpa anak di bawah umur dan anak berkebutuhan khusus itu hanya puncak gunung es di tengah masyarakat kita.

Tentu banyak penyebabnya. Namun, salah satu yang utama adalah empati (sosial) yang kian atau secara sarkastis: mati. Kata empati (empathy) ditemukan pada 1909 oleh EB Titchener. Jika kita mengadaptasi Daniel Goleman (dalam karyanya, Focus-The Hidden Driver of Excellence), bisa dipelajari bahwa salah satu kompetensi (sosial) penting adalah empati. Empati mengarahkan fokus kita, fokus kepada pihak lain yang memuluskan hubungan kita dengan orang-orang dalam kehidupan kita.

Secara singkat disebutkan ada empati kognitif: aku memahamimu!, empati emosional: aku merasakan sakitmu!, kepedulian empatis: aku di sini untukmu! Jika kita perhatikan, para pelaku bully itu ialah mereka yang hancur semua elemen empatinya, baik empati kognitif, emosional, maupun kepedulian empati. Nalar (cipta) mereka tak mampu memahami atau mengerti kondisi orang lain, emosi (rasa) mereka tak mampu ikut merasakan kesakitan atau penderitaan orang lain, kehendak (karsa) mereka jauh dari keinginan untuk hadir bersama orang lain di sekitar.

Pengamat sosial Devie Rahmawati, dikutip dari sebuah media daring, mengatakan: "Agresi sosial yang menyasar para peserta didik berkebutuhan khusus menjadi sebuah isyarat, tidak hadirnya produk nilai-nilai moral dari institusi pendidikan. Sekolah atau kampus selama ini hanya memfokuskan diri pada upaya memproduksi pengetahuan umum tanpa disertai produksi keterampilan sosial dan membangun empati terhadap sesama.

Pengamatan yang relatif tepat sebab empati (sosial) dibentuk oleh nilai-nilai diri. Miskinnya empati atau kosongnya nilai-nilai diri yang baik dan mulia itulah yang melahirkan para pelaku bully itu. Nilai-nilai ini yang menuntun dan mengarahkan pilihan-pilihan hidup serta perilaku atau tindakan manusia. Bahkan, Stephen Covey menempatkan nilai-nilai diri sebagai salah satu konsep terpentingnya tentangmanusia reaktif dan proaktif.

Pada manusia reaktif, dia sangat dibatasi hukum "stimulus-respons" yang sempit dan terbatas. Pilihan respons dan perilakunya sangat dikuasai suasana hati dan lingkungan tanpa landasan nilai kokoh, sedangkan manusia proaktif tak demikian. Di antara garis "stimulus-respons" ada sebuah "ruang" yang berisikan kebebasan untuk memilih respons atau perilaku. Kebebasan memilih respons yang didasari nilai-nilai diri. Disebutkan pula, nilai-nilai diri ini berkembang pada masa-masa awal kehidupan atau kanak-kanak sebagai hasil interaksi dan pengalaman kita dengan orang-orang yang penting dalam kehidupan kita, terutama orangtua.

Mengikuti patron

Sekarang kita diingatkan kembali betapa pentingnya pendidikan dan penanaman nilai-nilai pada anak (didik). Anak belajar nilai-nilai dirinya melalui interaksi dengan lingkungannya, dari yang terdekat sampai yang terjauh. Pertama, keluarga: bagaimana orangtua mengajarkan nilai-nilai berdasarkan prinsip kepatuhan.

Kepatuhan anak bukan kepada sosok orangtua (atau siapa pun yang dianggap senior dalam keluarga), tetapi kepatuhan pada nilai-nilai yang ditetapkan dalam sebuah keluarga. Agar anak patuh kepada nilai, orangtua harus lebih dulu menjalankan nilai-nilai yang diajarkan (walk the talk). Orangtua menjadi patron, teladan yang menjalankan nilai-nilai yang membentuk empati sosial. Prinsip kepatuhan terhadap nilai ini sangat penting dan mendasar. Dengan patuh pada nilai (yang sudah terinternalisasikan dalam diri), di mana pun anak berada, ia akan menjalankan nilai itu tanpa perlu kehadiran fisikal orangtuanya.

Kedua, sekolah: bagaimana guru dan struktur sekolah mengajarkan, menciptakan, dan mengondisikan suasana egaliter, kesetaraan, dan nilai moral yang lebih kompleks sebagai pembentuk empati sosial. Perilaku bullyterjadi ketika pelaku merasa sebagai subyek, dan korban obyek. Pelaku sebagai pihak superior dan korban inferior. Obyek inferioritas ini bisa dilatari berbagai aspek, mulai dari kelemahan, kekurangan fisik-psikis, sampai latar belakang sosial ekonomi dan politik (termasuk SARA).

Devie Rahmawati juga menambahkan, berdasarkan studi di Barat, individu berkebutuhan khusus memang memiliki potensi lebih besar untuk mengalami perundungan, yaitu 46 persen, dibandingkan dengan individu lain, yaitu 10 persen. Kondisi ini yang mendorong individu berkebutuhan khusus sering mengalami kasus perundungan. Studi menunjukkan, 73 persen mereka akan digoda atau dijadikan obyek lelucon, 53 persen diasingkan, 47 persen diberikan label-label tak positif, dan sepertiganya mengalami perundungan secara fisik. Saya ingin menambahkan, anak berkebutuhan khusus, sadar atau tidak, dianggap sebagai "obyek inferior" oleh para pelaku. Maka, sekali lagi, sekolah menjadi tempat terbaik menanamkan nilai-nilai egaliter (dan nilai moral) yang membentuk empati sosial.

Ketiga, negara: tentu termasuk semua dimensi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Perilaku elite politik di semua dimensi itu, terlebih pada era digital ini, merupakan proses pendidikan nilai yang efektif bagi anak dan remaja. Selain ketiga dimensi itu, tentu "perilaku" sejumlah lembaga atau organisasi masyarakat turut berperan besar dalam konteks pendidikan nilai ini.

Jika para elite, lembaga masyarakat, dan tokoh (termasuk agama) mempertontonkan perilaku (dari verbal sampai fisik) yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan mulia terhadap kemanusiaan, hal itu yang akan "dipatuhi" anak. Lihatlah bagaimana antarelite tokoh itu saling menyerang yang lainnya sebagai obyek, korban yang inferior. Perilaku bully antarelite itu dilihat, ditonton, dan dibaca dengan sedemikian gamblang oleh nyaris semua anak di negeri ini. Maka, anak akan "mematuhi" nilai-nilai buruk yang "diajarkan" elite dan tokoh itu sekaligus mematikan empati sosial mereka.

Masalah pendidikan nilai ini menjadi tugas besar bersama yang sangat rumit. Kenapa? Sebab, antara pendidikan nilai keluarga, sekolah, dan negara harus sinkron. Jika anak dididik nilai mulia dan manusiawi dalam keluarga, tetapi dia belajar yang sebaliknya di sekolah atau dari negara, anak akan mengalami konflik nilai diri yang juga kontraproduktif bagi perkembangan kepribadian dan perilakunya. Masa depan bangsa ini sebagian besar ditentukan mereka. Jika kita mendidik mereka sebagai pelakubully, pada gilirannya mereka juga akan membentuk bangsa ini sebagai "bangsa pem-bully". Matinya empati sosial akan membahayakankepribadian dan eksistensi bangsa ini pada masa mendatang.

HERRY TJAHJONO

Terapis; Budaya Perusahaan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Matinya Empati Sosial"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Paradigma Baru Bantuan Sosial (HARI HARJANTO SETIAWAN)

Salah satu tugas konstitusional pemerintah adalah menyejahterakan rakyat. Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan empat tujuan bernegara, salah satunya adalah mewujudkan kesejahteraan umum.

Oleh karena itu, program pemberantasan kemiskinan menjadi agenda pokok dari setiap periode pemerintahan, tak terkecuali pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Pemerintah mempertahankan program bantuan kepada warga prasejahtera. Presiden memberikan arahan, semua bantuan sosial diberikan secara nontunai melalui sistem perbankan dengan sekeping kartu. Tujuannya agar lebih mudah mengontrol, mengecek, dan mengurangi terjadinya penyimpangan.

Berbekal kartu kombo, masyarakat penerima bantuan atau yang biasa disebut keluarga penerima manfaat (KPM) bisa membeli aneka kebutuhan di warung gotong royong elektronik (e-warong).

Dalam konteks ini, penulis berkepentingan meluruskan sejumlah bias dalam artikel Husein Sawit, "Menyoroti Pelaksanaan Awal Bantuan Pangan Nontunai" (Kompas, 29/6). Di antara yang dipersoalkan Husein, penjatahan 10 kilogram beras dan 2 kg gula per bulan hanya akan meningkatkan konsumsi karbohidrat, padahal problem umum masyarakat miskin adalah kekurangan protein.

Menurut Husein, kalau bantuan sosial sedianya dimaksudkan untuk meningkatkan gizi KPM, mengapa telur atau susu tidak masuk sebagai itembantuan pangan sebagaimana diuji coba Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Kementerian Sosial sebagai pelaksana program, dinilai Husein, melenceng dari rekomendasi TNP2K.

Husein berpendapat, penyediaan gula di e-warong seharusnya "direm" dan dialihkan ke telur dan minyak goreng. Keberadaan e-warong juga dikritik Husein dengan menyebutnya sebagai "sangat dipaksakan, bertambah pesat dalam waktu singkat".

Masalah lain yang dipersoalkan Husein adalah penggunaan data yang disuplai Kementerian Sosial sangat jauh berbeda dengan data di lapangan. Ia menduga, Kementerian Sosial masih menggunakan basis data lama, padahal telah ada data terbaru tahun 2015.

Husein mempertanyakan, ke mana dan mengapa basis data terpadu mutakhir yang telah disiapkan dengan susah payah tidak dipakai?

Lintas sektor

Kartu di tangan KPM hanya dapat dipakai untuk membeli bahan pangan di e-warong berupa beras, gula, minyak goreng, telur, dan tepung. Jadi, telur dan minyak goreng—seperti disinggung Husein—sudah lama tersedia di e-warong.

Memang, saat ini belum tersedia susu. Namun, terlalu sembrono mengaitkan ketiadaan susu dengan kesan pemerintah abai dalam pemenuhan gizi masyarakat. Keberadaan telur sudah menjadi pembuktian sikap jelas pemerintah dalam menjaga pemenuhan gizi masyarakat.

Selain itu, pemenuhan makanan dengan kandungan protein tidak berhenti hanya dari keberadaan telur di e-warong. Pemerintah juga menyediakan pemberian makanan tambahan (PMT), yakni makanan kaya protein dalam sekeping biskuit.

Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek memberikan secara simbolis program PMT kepada lebih dari 1.000 anak balita gizi buruk, ibu hamil, dan anak sekolah di alun-alun Kroya, Jawa Tengah, pada medio Juni 2016. Seremoni ini disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.

Momen ini menunjukkan bahwa pelaksanaan bantuan pangan nontunai (BPNT) bukan monopoli Kementerian Sosial. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berperan penting menggerakkan Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) dalam penerbitan kartu. Kementerian BUMN juga berperan melibatkan PT Telkom mengingat pengoperasian kartu mengusung teknologi electronic data capture (EDC) berbasis internet. Dengan demikian, bantuan sosial (bansos) bisa menjangkau saudara-saudara kita di wilayah perbatasan, terpencil, dan terluar.

Berdasarkan penjelasan ini, sulit dipahami ada kesan program ini milik satu kementerian. Kementerian mana yang dimaksud Husein? Pernyataan ini justru sangat disayangkan. Pada saat program ini butuh sinergi dan koordinasi lintas sektor, Husein justru berpikir sektoral.

Verifikasi dan validasi data

Soal data, Husein kembali melakukan kesalahan fatal. Pada dasarnya, untuk penggunaan data, Kementerian Sosial mengacu pada UU No 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.

Beleid ini mengamanatkan kementerian untuk melakukan verifikasi dan validasi data tiap dua tahun sekali. Sumber data yang digunakan adalah Basis Data Terpadu (BDT) 2015, dulu disebut sebagai Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin. BDT berbasis pada hasil pendataan Badan Pusat Statistik (BPS) RI.

Tahun 2017, Kementerian Sosial melakukan verifikasi dan validasi data kemiskinan melalui aplikasi Sistem Informasi dan Konfirmasi Data Sosial Terpadu (Siskadasatu), memanfaatkan teknologi digital milik pemerintah kabupaten/kota. Data BPS dikelompokkan per kota dan kabupaten. Kemudian dilakukan verifikasi dan validasi berjenjang dari tingkat RT dan RW serta kepala desa/lurah. Di forum ini, data digodok dalam musyawarah desa atau kelurahan sebelum diteruskan kepada camat.

Dari sini, laporan bergerak ke bupati/wali kota hingga gubernur. Selanjutnya, aliran data kembali naik ke Menteri Sosial untuk pemutakhiran.

Keterlibatan perangkat pemerintahan di level RT dan RW sangat penting. Mereka unit terkecil, tetapi tahu persis dinamika warganya. Siapa warga yang layak atau tidak menerima bantuan.

Alur verifikasi dan validasi menunjukkan validitas data ditentukan banyak aktor, dari pusat hingga daerah. Semua level bertanggung jawab memastikan data yang disampaikan benar-benar valid sehingga bantuan tepat sasaran. Masyarakat dilibatkan dalam semangat kolegial, keterbukaan, dan partisipatif. Prinsip bottom up berlaku. Ini berbeda dengan persepsi Husein yang melihat bansos secara top down.

Di atas semua itu, mekanisme penyaluran bansos nontunai menciptakan perubahan mendasar. Kini, akses perbankan tidak lagi monopoli orang kaya atau kelas menengah-atas.

Penyaluran bantuan sosial nontunai yang benar-benar dirasakan oleh KPM lebih baik dibandingkan dengan metode penyaluran bantuan sebelumnya. Hasil penelitian Puslitbang Kementerian Sosial menunjukkan, sebesar 80,7 persen KPM menyatakan puas, 17,3 persen sangat puas terhadap e-warong sebagai penyalur bantuan sosial nontunai, dan hanya 2 persen yang menyatakan kurang puas.

Kini, lapisan masyarakat prasejahtera dapat mengakses layanan perbankan, atau minimal mereka bisa menabung. Inilah strategi nasional keuangan inklusif (SNKI) yang mencatatkan lompatan besar pembangunan di Indonesia. Paradigma baru dalam bantuan sosial telah hadir.

HARI HARJANTO SETIAWAN

, PENELITI PADA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL KEMENTERIAN SOSIAL RI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Paradigma Baru Bantuan Sosial".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Perdamaian Al-Aqsa (BROTO WARDOYO)

Insiden yang terjadi di kompleks Al-Aqsa mengingatkan masyarakat internasional betapa perlu mengupayakan penyelesaian konflik Palestina-Israel yang telah macet selama lebih dari satu dasawarsa. Langkah Israel melakukan penutupan kemudian memasang detektor logam di pintu masuk Masjid Al-Aqsa menimbulkan kontroversi.

Israel menegaskan bahwa penempatan detektor logam tersebut diperlukan untuk menjamin keamanan petugas-petugas keamanan Israel yang menjaga lokasi kompleks Al-Aqsa. Palestina, di sisi lain, melihat langkah tersebut sebagai upaya mencegah kebebasan beribadah di masjid Al-Aqsa.

Terlepas dari perdebatan tersebut, setidaknya terdapat tiga isu penting yang harus ditangani dengan segera dan secara serius oleh masyarakat internasional.

Tiga isu penting

Pertama, insiden yang saat ini berkembang terjadi justru ketika tren kekerasan mengalami penurunan selama Juni 2017 bila dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Catatan kekerasan yang dirilis oleh dinas intelijen domestik Israel, Shabak, memperlihatkan bahwa pada Juni 2017 hanya terjadi 94 serangan. Pada Mei 2017 tersua 144 serangan dan pada April 2017 tercatat 118 serangan.

Khusus untuk wilayah Yudea-Samaria (Tepi Barat tanpa Jerusalem) pada Juni lalu terjadi 72 serangan. Itu juga memperlihatkan tren penurunan jika dibandingkan dengan 113 serangan (Mei) atau 89 serangan (April).

Serangan di wilayah Jerusalem juga mengalami penurunan dari 30 serangan pada Mei (27 serangan pada April) menjadi hanya 21 serangan pada Juni. Artinya, insiden justru terjadi manakala situasi keamanan lebih kondusif.

Kedua, insiden dipicu oleh terjadinya serangan yang dilakukan oleh tiga penduduk Arab-Israel. Dengan kata lain, insiden yang terjadi saat ini tidak dipicu oleh adanya serangan dari pemukim Palestina. Pemicu insiden ini mengindikasikan adanya permasalahan yang lebih serius dalam hubungan antaretnis di Israel seiring dengan derasnya arus masuk imigran.

Dalam beberapa tahun terakhir, para imigran baru tersebut mengubah peta politik di Israel mengingat keberadaan mereka mendorong kemenangan partai-partai sayap kanan.

Tidak mengherankan jika kemudian partai-partai sayap kanan yang berkuasa berusaha memberikan kompensasi politik bagi para pemilihnya tersebut melalui kebijakan pembangunan permukiman Yahudi yang dilakukan secara masif.

Permukiman baru

Dari data yang dikeluarkan Biro Statistik Sentral Israel, sejak Bibi Netanyahu berkuasa dari 2009 hingga 2016, jumlah permukiman baru mencapai lebih dari 14.000 atau rata-rata lebih dari 1.700 per tahun. Permukiman baru tersebut sebagian dibangun di wilayah sengketa meskipun label resminya tetap "pertumbuhan alami".

Pembangunan permukiman yang dilakukan secara terstruktur itu memunculkan dua masalah. Pertama, tensi dalam hubungan antara Israel dan Palestina menjadi semakin meningkat. Beberapa benturan yang terjadi antara pemukim Yahudi dan pemukim Arab-Palestina di wilayah-wilayah sengketa menjadi semakin sering terjadi.

Kedua, keberadaan para imigran juga meningkatkan tensi dalam hubungan antaretnis di Israel. Temuan Israel Democracy Institute memperlihatkan ada senjang yang semakin lebar dalam indeks relasi Arab-Yahudi.

Ketiga, insiden Al-Aqsa saat ini berlangsung di tengah situasi regional yang kurang kondusif bagi Palestina.

Setidaknya ada tiga hal yang berkontribusi negatif dalam penanganan insiden ini. Pertama, soliditas internal Arab sedang dalam situasi yang buruk pascaperseteruan antara Saudi-Mesir dan Qatar.

Pertarungan internal Arab ini berjalan seiring dengan meningkatnya tensi Saudi-Iran. Di setiap insiden jejak pertarungan politik antara Saudi dan Iran bisa ditemukan, mulai dari Irak, Suriah, Palestina, hingga Qatar. Kedua, kebijakan Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Donald Trump cenderung tidak kondusif bagi stabilitas di kawasan.

Terakhir, insiden ini berlangsung ketika proses negosiasi antara Israel dan Palestina sudah mandek lebih dari satu dasawarsa. Upaya untuk meredakan ketegangan akibat insiden Al-Aqsa membutuhkan kerja sama antarbanyak negara.

Dalam jangka pendek, upaya untuk mendorong penghentian langkah-langkah keamanan Israel harus dilakukan. Penggunaan kebijakan penutupan sebenarnya merupakan strategi standar yang sesuai dengan standar operasi dinas-dinas keamanan Israel dalam kasus terjadinya serangan. Namun, ketika langkah ini dilakukan di kompleks Al-Aqsa, implikasinya menjadi berlipat.

Penempatan detektor logam merupakan bagian dari kebijakan penutupan tersebut. Kebijakan penutupan sendiri memiliki beberapa tingkatan yang berbeda.

Penutupan penuh bisa dilakukan dalam cakupan wilayah yang luas ataupun terbatas. Dalam kasus Al-Aqsa saat ini, kebijakan penutupan penuh secara terbatas merupakan kebijakan yang diimplementasikan.

Pada taraf yang lebih rendah, Israel juga mengenal penutupan terbatas yang biasanya dilakukan ketika tensi kekerasan sudah mulai berkurang. Israel bisa dipaksa untuk menggeser penutupan penuh ke penutupan terbatas.

Dalam jangka yang lebih panjang, upaya untuk mendorong negosiasi antara Israel dan Palestina harus dilakukan. Pun jika upaya ini masih mengalami kegagalan karena beragam alasan, terutama mengingat sensitivitas politik dari pilihan tersebut, baik di Israel maupun di Palestina, setidaknya saluran-saluran komunikasi yang lebih intens bisa kembali dibangun.

Berkurangnya komunikasi

Salah satu hal yang hilang seiring dengan mandeknya proses negosiasi antara Israel dan Palestina sejak awal 2000-an adalah berkurangnya saluran komunikasi. Negosiasi yang tidak lagi dilihat sebagai pilihan yang tepat di Israel dan Palestina memunculkan kebijakan yang tak lagi sinkron di antara kedua pemerintahan.

Di Israel, kemandekan proses perdamaian memunculkan peningkatan kekuatan politik partai-partai sayap kanan dan religius. Di Palestina, kemandekan proses perdamaian meningkatkan profil politik Hamas dan kelompok-kelompok yang lebih radikal yang memaksa Fatah untuk mengambil kebijakan unilateral, termasuk dengan mengupayakan pengakuan melalui PBB.

Berkurangnya saluran komunikasi tersebut membuat isu minor sekalipun bisa bergerak liar dalam hubungan keduanya.

Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia, sikap pemerintah jelas: mendukung proses perdamaian dan berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Maka langkah pemerintah yang dengan segera mendesak Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), maupun AS, untuk segera menekan Israel, sudah tepat.

Selama ini AS memang memainkan peran dominan dalam perundingan perdamaian Timur Tengah. Meskipun baru Perjanjian Camp David yang menunjukkan hasil nyata—mengakhiri konflik Israel dan Mesir—sementara berbagai upaya lain yang dimotori AS tidak selalu berhasil, bagaimanapun AS adalah satu-satunya pihak yang memiliki kekuatan politik memadai untuk memaksa Israel.

Pilihan untuk mendorong OKI memberikan tekanan terhadap Israel juga sudah tepat. Demikian halnya dengan langkah untuk mendorong pertemuan DK PBB guna membicarakan masalah ini.

Hanya saja, keefektifan langkah-langkah multilateral tersebut masih tetap minimal. Terkait DK PBB, misalnya, usul agar DK PBB menjatuhkan resolusi tentu akan menjadi perdebatan tersendiri yang memakan waktu. Jika resolusi difokuskan pada upaya mengatasi ketegangan, tentunya diperlukan bahasa diplomatik yang lebih "netral" untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Terlepas dari seberapa efektif pilihan-pilihan tersebut, tekanan untuk menghentikan penggunaan kekerasan harus tetap dilakukan. Kesucian kompleks Al-Aqsa seharusnya memberikan kesadaran akan perdamaian.

BROTO WARDOYO, ANGGOTA STAF PENGAJAR DI DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Perdamaian Al-Aqsa".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Integritas Pejabat Publik//Kualitas Bukti Bayar Tagihan//Dewan Arsitektur Kota (Surat Kepada Redaksi Kompas)

Integritas Pejabat Publik

Dua faktor utama yang menyangkut integritas publik adalah apakah seseorang memiliki kepiawaian dalam jabatannya serta apakah dia seseorang yang jujur dan dapat dipercaya dalam menyelenggarakan pekerjaannya.

Mengacu kepada kedua kriteria itu, sejumlah anggota DPR yang terseret kasus korupsi dapat kita kategorikan tidak memiliki integritas ataupun kredibilitas. Rekam jejak perilaku politik seseorang di era terbuka seperti sekarang dapat diikuti dengan rinci.

Anggota DPR merupakan hasil pemilihan umum. Perubahan atas ketidakpuasan terhadap kinerjanya baru dapat dilakukan sampai pemilihan umum berikutnya. Korupsi oleh lembaga yang tak lagi memiliki integritas ataupun kredibilitas seharusnya dapat ditanggulangi oleh pemimpin eksekutif yang memiliki itikad baik, integritas, dan kredibilitas dengan berbagai perangkat hukum dan ketatanegaraan.

Kita lihat hal itu tecermin dalam kasus SN yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi KTP elektronik. Bagaimana setiap mereka yang terserempet atau potensialakan terserempet kasus ini bereaksi tanpa rasa malu. Bagaimana sejawat sekitarnya bersikap melindungi dan mempertahankan posisi yang bersangkutan dalam kedudukan organisasinya.Proses hukum terkendala dengan memanfaatkan kaidah normatif tanpa nurani.

Suatu terobosan yang elegan diperlukan agar korupsi di Indonesia, seperti pernah disitir Ali Sadikin, sebagai sumber kehancuran republik tercinta ini jangan sampai terjadi.

Sudah waktunya Presiden Joko Widodo sebagai pemegang amanah rakyat menunjukkan tindakan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Jangan mencari kompromi politik dengan politikus yang jelas-jelas berkarakter koruptif.

HADISUDJONO SASTROSATOMO

Pasar Manggis, Setiabudi, Jakarta Selatan

Kualitas Bukti Bayar Tagihan

Saya sangat menghargai usaha PLN dan Telkom dalam memudahkan para pelanggan membayar tagihan listrik dan telepon di toko-toko swalayan yang banyak tersebar di Indonesia.

Saya amat terbantu karena toko-toko swalayan itu cukup banyak jumlahnya yang dekat rumah. Setruk tanda bukti bayar pun cukup dengan secarik kertas kosong (maksud saya tanpa kop atau sejenisnya).

Sebetulnya itu tidak masalah. Namun, ada bukti bayar yang memakai kertas jenis halus dan agak mengilat yang, bila disimpan dalam hitungan bulan, tulisannya akan luntur, hilang.

Untuk itu, saya mohon kepada pihak terkait lebih meningkatkan pelayanannya dengan memberi tanda bukti bayar yang memadai, yang tulisannya tidak luntur mengingat fotokopi bukti bayar itu untuk beberapa urusan diminta agar dilampirkan.

SRI SETYO PERTIWI

Kompleks Depkop, Jalan Radar Auri, Cimanggis, Depok, Jawa Barat

Dewan Arsitektur Kota

Setelah reformasi berjalan dan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki wewenang yang amat besar dan bersemangat untuk mengatur dan merencanakan pembangunan fisik kota. Besarnya wewenang ini tak jarang disalahgunakan.

Di sisi lain ada pemda yang tak punya kemampuan mengembangkan kota. Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, misalnya, merupakan satu dari 10 destinasi unggulan. Sejak ditetapkan menjadi daerah otonom, pemda di sana nyaris tidak punya ide dan kreativitas mengembangkan wisata. Jalan-jalan masih sempit, tak ada trotoar, lampu jalan terbatas, kota tak tertata agar bersih dan menarik (Kompas, 20/5).

Cukup sering dimuat di harian ini tentang otonomi daerah. Umumnya masyarakat mengeluhkan pembangunan fisik kota, terutama infrastruktur. Banyak celah melakukan penyimpangan. Sering dijumpai pekerjaan yang dilaksanakan pemda tanpa rencana matang, bongkar pasang, asal jadi, dan bermutu rendah.

Saya usulkan kepada pemerintah agar mendorong masyarakat membentuk lembaga swadaya di setiap kota di Indonesia. Kita sebut saja Dewan Arsitektur Kota—beranggotakan pakar dalam tata kota, arsitektur, dan lanskap—yang memberi masukan kepada pemda dalam bentuk saran dan kritik membangun.

RAUYAN MARTOAMIDJOJO

Mantan Dosen Fakultas Teknik Arsitektur UNS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Urusan Perbankan, Oh Repotnya... (Surat Kepada Redaksi Kompas)


Urusan Perbankan, Oh Repotnya...

Saya adalah nasabah Bank Mayapada. Tanggal 14 Juni 2017 pukul 08.57 saya hendak mengambil uang dari rekening tabungan di Mayapada pada mesin ATM BCA cabang Dr Sutomo Surabaya dengan nomor mesin ATM Z51M.

Saat mengambil uang sejumlah Rp 1.250.000, dalam proses tiba-tiba mesin ATM berhenti dan muncul tanda "ATM is out of service" alias rusak seketika. Uang yang akan saya ambil tidak muncul.

Langsung saya menuju layanan pelanggan (CS) BCA. CS itu menjelaskan bahwa mesin ATM adalah vendor. Jika ada masalah uang yang tidak muncul, saya harus mengurus ke bank penerbit, yakni Mayapada. Dari ketentuan sesama bank, jika memang murni kesalahan ATM, uang akan kembali ke nasabah.

Pukul 10.00 saya melapor ke Mayapada Jalan Mayjen Sungkono, dengan CS Saudari Misda. Menurut penjelasan Saudari Misda, uang saya telah terdebit layaknya transaksi normal. Saya sangat terkejut karena saya tidak mengambil uang sepersen pun, karena uang tidak keluar. Pelaporan pun dibuat.

Selang tiga hari CS menelepon dan hasilnya uang saya memang terdebit. Saya sangat kecewa dengan hasil tersebut. CS mencoba proses ulang ke Mayapada untuk pelaporan berikutnya, saya diminta menunggu 14 hari kerja.

Sampai sekarang pun saya belum menerima penyelesaian yang terbaik dari pihak Bank Mayapada karena memang uang tidak saya terima. Saya mohon klarifikasinya.

Jalan Kutei 2, Surabaya

Saya nasabah BCA sejak 1993 dan pengguna GoPay sejak Maret 2017. Selama ini saya menggunakan online banking BCA untuk mengisi ulang GoPay tanpa masalah.

Pada 20 Juli 2017 pukul 20.50 sampai 21.10 saya melakukan transaksi pengisian ulang GoPay, tetapi gagal sampai lima kali dengan pesan "Sistem Tidak Tersedia".

Saat saya periksa catatan histori transaksi malam itu, kelima transaksi tersebut tercatat gagal. Namun, pada 21 Juli 2017 pagi, saya sadari bahwa ternyata BCA telah mendebit uang saya atas transaksi gagal tersebut. Sangat aneh, transaksi tercatat gagal, namun pendebitan tetap terjadi.

Saat saya lapor ke Halo BCA, diketahui bahwa online banking BCA bermasalah pada 20 Juli 2017 malam. Personel BCA menjanjikan uang tersebut akan segera ditransfer paling lambat 1 Agustus 2017. Saya merasa dirugikan karena kesalahan bukan pada saya dan tidak ada informasi tentang adanya gangguan internet banking.

Jingganagara, Kotabaru Parahyangan

Tanggal 8 Juni 2017 saya setor tunai di mesin setor tunai Bank BNI Pusat Kediri, Rp 1,1 juta. Setelah itu ada notifikasi bank offline dan saya disilakan menghubungi call center.

Keesokan harinya, ketika saya komplain, katanya tidak perlu khawatir. Uang akan cair dalam waktu 14 hari kerja. Akan tetapi, sampai detik ini saya belum menerima uang saya dari Bank BNI.

Ternyata, bapak saya juga mengalami nasib serupa. Ia menyetor Rp 10 juta di mesin setor tunai yang kemudianoffline/error dan sampai sekarang juga belum cair.

Tanggal 20 Juli 2017 malam saya menelepon call center BNI Jakarta. Petugas call center menanyakan, laporannya di call center atau di kantor? Saya infokan di kantor BNI. Namun, setelah dicek keterangannya, ternyata tidak ada koreksi dari Bank BNI Kediri.

Maka keesokan harinya saya disarankan ke Bank BNI lagi untuk membuat pelaporan. Lho, jadi apa gunanya laporan saya awal? Buat apa saya mendapat nomor pelaporan?

Rejomulyo Estate, Kediri

Saya pemilik kartu kredit BRI 55200201xxxxxxxx. Pada saat akan saya tutup, ternyata saya ada kelebihan bayar Rp 10.006.650. Pada hari itu juga, 29 Mei 2017, saya membuat permohonanrefund dengan nomor laporan 13719046. Saat itu petugas berjanji menyelesaikan dalam waktu 20 hari kerja.

Pada tanggal 13 Juli 2017 saya menelepon ke bagian kartu kredit, diterima oleh Adel. Ketika saya tanyakan mengapa pengembalian uang belum masuk ke rekening saya, petugas Adel beralasan bahwa fotokopi KTP yang saya kirimkan tidak jelas.

Sungguh mengherankan. Mengapa tidak ada konfirmasi ke nomor HP saya? Bukankah di database BRI ada nomor HP saya?

Jalan Borobudur Agung Barat, Malang

Tanggal 10 Juli 2017, ada iklan di Kompasdan Instagram BNI tentang kampanye diskon Rp 71.000 di McDonald's. Karena tergiur dengan promo tersebut, akhirnya saya rela jauh-jauh ke McDonald's STC Senayan. Saya mengajak teman-teman kantor.

Ternyata, saat transaksi dengan kartu kredit BNI, promo tidak berlaku. Nyatanya kartu kredit saya ditolak dengan alasan kartu berlogo Visa tidak ikut promo, padahal di iklan promo berlaku untuk kartu Visa maupun Master. Sila cek di kolom komentar Instagram BNI, ternyata banyak juga bernasib sama dengan saya.

Demikian pula halnya dengan Garuda Travel Fair. Dalam acara tersebut kartu BNI saya malah dikenai surcharge 3 persen. Dalam acara pameran Inacraft, malah kartu kredit saya tidak bisa digunakan, padahal di media gencar dibilang cashless alias tanpa uang tunai.

Seharusnya acara-acara besar seperti di atas bisa memanjakan nasabah, bukan malah bikin malu.

Jalan Palmerah Utara, Jakarta Barat

Saya mentransfer uang antarbank dalam negeri via Mandiri Online melalui websitepada tanggal 6 Juni 2017 pukul 15.54 dengan nominal Rp 4.900.000.

Saat memasukkan kode token setelah mendapat "sms challenge", saya menunggu 1-2 menit. Namun, setelah itu ternyata transaksi gagal. Saya ulangi lagi sampai tiga kali dan semuanya gagal. Lalu saya cek saldo, ternyata sudah berkurang. Saya cek saldo di bank penerima (CIMB Niaga), ternyata dana belum masuk.

Saya menelepon 14000 tidak mendapat solusi, hanya diminta menunggu 1 x 24 jam. Jika uang masih belum masuk, saya harus ke kantor cabang Bank Mandiri untuk memproses.

Jalan Mulyosari Prima Utara IV, Surabaya

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2017, di halaman 13 dengan judul "Urusan Perbankan, Oh Repotnya...".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger