Menggegerkan? Bisa ya, bisa tidak karena terlalu sering kita menyaksikan kejadian sejenis, terutama melalui media sosial. Secara statistik mungkin tak semua terlacak dan terekspos. Namun, yang jelas dua kejadian yang menimpa anak di bawah umur dan anak berkebutuhan khusus itu hanya puncak gunung es di tengah masyarakat kita.
Tentu banyak penyebabnya. Namun, salah satu yang utama adalah empati (sosial) yang kian atau secara sarkastis: mati. Kata empati (empathy) ditemukan pada 1909 oleh EB Titchener. Jika kita mengadaptasi Daniel Goleman (dalam karyanya, Focus-The Hidden Driver of Excellence), bisa dipelajari bahwa salah satu kompetensi (sosial) penting adalah empati. Empati mengarahkan fokus kita, fokus kepada pihak lain yang memuluskan hubungan kita dengan orang-orang dalam kehidupan kita.
Secara singkat disebutkan ada empati kognitif: aku memahamimu!, empati emosional: aku merasakan sakitmu!, kepedulian empatis: aku di sini untukmu! Jika kita perhatikan, para pelaku bully itu ialah mereka yang hancur semua elemen empatinya, baik empati kognitif, emosional, maupun kepedulian empati. Nalar (cipta) mereka tak mampu memahami atau mengerti kondisi orang lain, emosi (rasa) mereka tak mampu ikut merasakan kesakitan atau penderitaan orang lain, kehendak (karsa) mereka jauh dari keinginan untuk hadir bersama orang lain di sekitar.
Pengamat sosial Devie Rahmawati, dikutip dari sebuah media daring, mengatakan: "Agresi sosial yang menyasar para peserta didik berkebutuhan khusus menjadi sebuah isyarat, tidak hadirnya produk nilai-nilai moral dari institusi pendidikan. Sekolah atau kampus selama ini hanya memfokuskan diri pada upaya memproduksi pengetahuan umum tanpa disertai produksi keterampilan sosial dan membangun empati terhadap sesama.
Pengamatan yang relatif tepat sebab empati (sosial) dibentuk oleh nilai-nilai diri. Miskinnya empati atau kosongnya nilai-nilai diri yang baik dan mulia itulah yang melahirkan para pelaku bully itu. Nilai-nilai ini yang menuntun dan mengarahkan pilihan-pilihan hidup serta perilaku atau tindakan manusia. Bahkan, Stephen Covey menempatkan nilai-nilai diri sebagai salah satu konsep terpentingnya tentangmanusia reaktif dan proaktif.
Pada manusia reaktif, dia sangat dibatasi hukum "stimulus-respons" yang sempit dan terbatas. Pilihan respons dan perilakunya sangat dikuasai suasana hati dan lingkungan tanpa landasan nilai kokoh, sedangkan manusia proaktif tak demikian. Di antara garis "stimulus-respons" ada sebuah "ruang" yang berisikan kebebasan untuk memilih respons atau perilaku. Kebebasan memilih respons yang didasari nilai-nilai diri. Disebutkan pula, nilai-nilai diri ini berkembang pada masa-masa awal kehidupan atau kanak-kanak sebagai hasil interaksi dan pengalaman kita dengan orang-orang yang penting dalam kehidupan kita, terutama orangtua.
Mengikuti patron
Sekarang kita diingatkan kembali betapa pentingnya pendidikan dan penanaman nilai-nilai pada anak (didik). Anak belajar nilai-nilai dirinya melalui interaksi dengan lingkungannya, dari yang terdekat sampai yang terjauh. Pertama, keluarga: bagaimana orangtua mengajarkan nilai-nilai berdasarkan prinsip kepatuhan.
Kepatuhan anak bukan kepada sosok orangtua (atau siapa pun yang dianggap senior dalam keluarga), tetapi kepatuhan pada nilai-nilai yang ditetapkan dalam sebuah keluarga. Agar anak patuh kepada nilai, orangtua harus lebih dulu menjalankan nilai-nilai yang diajarkan (walk the talk). Orangtua menjadi patron, teladan yang menjalankan nilai-nilai yang membentuk empati sosial. Prinsip kepatuhan terhadap nilai ini sangat penting dan mendasar. Dengan patuh pada nilai (yang sudah terinternalisasikan dalam diri), di mana pun anak berada, ia akan menjalankan nilai itu tanpa perlu kehadiran fisikal orangtuanya.
Kedua, sekolah: bagaimana guru dan struktur sekolah mengajarkan, menciptakan, dan mengondisikan suasana egaliter, kesetaraan, dan nilai moral yang lebih kompleks sebagai pembentuk empati sosial. Perilaku bullyterjadi ketika pelaku merasa sebagai subyek, dan korban obyek. Pelaku sebagai pihak superior dan korban inferior. Obyek inferioritas ini bisa dilatari berbagai aspek, mulai dari kelemahan, kekurangan fisik-psikis, sampai latar belakang sosial ekonomi dan politik (termasuk SARA).
Devie Rahmawati juga menambahkan, berdasarkan studi di Barat, individu berkebutuhan khusus memang memiliki potensi lebih besar untuk mengalami perundungan, yaitu 46 persen, dibandingkan dengan individu lain, yaitu 10 persen. Kondisi ini yang mendorong individu berkebutuhan khusus sering mengalami kasus perundungan. Studi menunjukkan, 73 persen mereka akan digoda atau dijadikan obyek lelucon, 53 persen diasingkan, 47 persen diberikan label-label tak positif, dan sepertiganya mengalami perundungan secara fisik. Saya ingin menambahkan, anak berkebutuhan khusus, sadar atau tidak, dianggap sebagai "obyek inferior" oleh para pelaku. Maka, sekali lagi, sekolah menjadi tempat terbaik menanamkan nilai-nilai egaliter (dan nilai moral) yang membentuk empati sosial.
Ketiga, negara: tentu termasuk semua dimensi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Perilaku elite politik di semua dimensi itu, terlebih pada era digital ini, merupakan proses pendidikan nilai yang efektif bagi anak dan remaja. Selain ketiga dimensi itu, tentu "perilaku" sejumlah lembaga atau organisasi masyarakat turut berperan besar dalam konteks pendidikan nilai ini.
Jika para elite, lembaga masyarakat, dan tokoh (termasuk agama) mempertontonkan perilaku (dari verbal sampai fisik) yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan mulia terhadap kemanusiaan, hal itu yang akan "dipatuhi" anak. Lihatlah bagaimana antarelite tokoh itu saling menyerang yang lainnya sebagai obyek, korban yang inferior. Perilaku bully antarelite itu dilihat, ditonton, dan dibaca dengan sedemikian gamblang oleh nyaris semua anak di negeri ini. Maka, anak akan "mematuhi" nilai-nilai buruk yang "diajarkan" elite dan tokoh itu sekaligus mematikan empati sosial mereka.
Masalah pendidikan nilai ini menjadi tugas besar bersama yang sangat rumit. Kenapa? Sebab, antara pendidikan nilai keluarga, sekolah, dan negara harus sinkron. Jika anak dididik nilai mulia dan manusiawi dalam keluarga, tetapi dia belajar yang sebaliknya di sekolah atau dari negara, anak akan mengalami konflik nilai diri yang juga kontraproduktif bagi perkembangan kepribadian dan perilakunya. Masa depan bangsa ini sebagian besar ditentukan mereka. Jika kita mendidik mereka sebagai pelakubully, pada gilirannya mereka juga akan membentuk bangsa ini sebagai "bangsa pem-bully". Matinya empati sosial akan membahayakankepribadian dan eksistensi bangsa ini pada masa mendatang.
HERRY TJAHJONO
Terapis; Budaya Perusahaan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Matinya Empati Sosial"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar