Sebenarnya, dalam hal pemberantasan dan pencegahan terorisme, terutama NIIS, Indonesia memiliki perangkat suprastruktur dan infrastruktur sosio-kultur yang menjadi kelebihan dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah (juga Eropa). Jika kelebihan ini dioptimalkan, agenda pemberantasan dan pencegahan terorisme tak lagi hanya dijalankan secara tunggal oleh negara, juga bisa melibatkan kekuatan sosio-kultur "di luar" negara.
Modal berharga
Pertama, perangkat suprastruktur ini berupa kesadaraan kolektif sosio-kultural-religi. Modal ini sangat strategis sebagai tameng menghadapi ancaman terorisme, khususnya infiltrasi doktrin dan gerakan NIIS. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan, 89,6 persen warga negara Indonesia tidak setuju dengan NIIS. Sebanyak 91,3 persen di antaranya mendukung negara untuk melakukan pelarangan terhadap NIIS. Selain itu, 9 dari 10 (89,3 persen) warga Indonesia menganggap NIIS ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila dan UUD 1945.
Ini potret kuantitatif modal suprastruktur yang dimiliki Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan pada toleransi, perdamaian, dan welas asih. Sementara negara-negara di kawasan Timur Tengah justru sebaliknya: identik dengan perang, konflik, dan kekerasan. Identitas sosio-kultural-religi negara-negara di sana lebih lekat dengan konfrontasi ketimbang persuasi dan toleransi. Kondisi ini memudahkan NIIS untuk bergerak menyebarkan ideologinya, merekrut anggota, dan melancarkan aksi terornya.
Kedua, Indonesia juga memiliki infrastruktur sosio-kultur-religi, yaitu keberadaan dan peran organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, dan Persatuan Islam (Persis) yang jumlahnya hingga ribuan. Selama ini peran sosio-kultur yang dijalankan secara "swadaya" oleh ormas- ormas tersebut telah meringankan beban tanggung jawab negara. Dengan atau tanpa uluran tangan negara, ormas-ormas tersebut konsisten menjalankan perannya, termasuk pembendungan ideologi NIIS.
Dalam survei nasional "Potret Keberagamaan Muslim Indonesia" tahun 2016 oleh Alvara Research Center, sebanyak 50,3 persen (79,04 juta jiwa) Muslim Indonesia mengaku berafiliasi ke NU dan 14,9 persen (22,46 juta jiwa) berafiliasi ke Muhammadiyah. Sisanya tersebar ke ormas-ormas lain dan yang tidak berafiliasi ke ormas mana pun. Jadi, separuh populasi Indonesia terafiliasi dengan ormas-ormas yang memiliki horizon kultural-religi yang toleran dan damai. Ini modal sangat berharga untuk memberantas dan menangkal NIIS. NU dan Muhammadiyah juga memiliki ratusan cabang dan ribuan sayap organisasi pemuda dan wanita. Kedua ormas ini juga memiliki ribuan lembaga pendidikan (pesantren dan sekolah), rumah sakit, masjid, lembaga keuangan, dan lembaga sosial.
Semua lembaga tersebut merupakan kantong-kantong sosio-kultur yang memiliki kapasitas pemberdayaan dan edukasi yang sangat besar. Langsung maupun tidak, agenda pemberdayaan ataupun edukasi yang dijalankan NU dan Muhammadiyah di semua institusi pendidikan dan kantong-kantong kulturalnya selama ini telah membantu secara signifikan proses deradikalisasi. Berpuluh juta warga Indonesia selamat dari infiltrasi paham dan gerakan NIIS berkat edukasi kultural dan formal yang dijalankan kedua ormas itu. Tanpa peran dari ormas-ormas tersebut, NIIS mungkin telah berhasil merekrut anggota dan simpatisan jauh lebih banyak dari angka 10 juta jiwa (4 persen dari total populasi Indonesia), sebagaimana hasil riset The Pew Research Center (2015).
Jika peran yang dijalankan ormas-ormas itu disubstitusikan ke dalam peran negara, tentu setara dengan kerja struktural kenegaraan yang sangat berat dan anggaran besar. Ormas-ormas itu selama ini telah menjadi "invisible hand" yang membantu meringankan tugas negara dalam menanggulangi dan memberantas ancaman terorisme, terutama NIIS. Ormas itu telah jadi benteng sosio-kultur yang menghadang infiltrasi doktrin dan gerakan NIIS. Terkait terorisme, posisi dan peran ormas-ormas Islam di Indonesia mayoritas "berdiri bersama dengan", dan menyokong, negara. Mayoritas menyemai spirit toleransi dan perdamaian, bukan anarki dan teror.
NIIS di Timur Tengah
Beda dengan Indonesia, di Timur Tengah agenda pemberantasan dan pencegahan terorisme sepenuhnya di pundak dan tertumpu pada kapabilitas negara. Negara aktor tunggal yang tidak memiliki mitra strategis "di luar" dirinya. Ini membuat tugas dan peran negara di kawasan Timur Tengah jadi sangat berat, sementara problem terorisme itu sendiri melibatkan anasir-anasir yang terkadang berada "beyond" jangkauan tangan negara, yaitu jaringan transnasional. Sudah hampir 5 tahun energi Pemerintah Suriah dan Irak terkuras oleh problematika NIIS. Di Mesir, Arab Saudi, Yaman, Afganistan, juga Eropa, negara dipusingkan aksi teror NIIS tanpa ada bantuan anasir-anasir ormas.
Kalaupun ada ormas Islam di negara- negara Timur Tengah, posisi dan perannya berada pada dua kemungkinan. Pertama, posisi dan perannya "berseberangan" dengan negara. Ormas di Timur Tengah lebih kental visi politis ketimbang visi sosio-kulturalnya sehingga lebih sering berhadap- hadapan (vis a vis) dengan negara ketimbang berdiri bersama-sama negara. Di Mesir, misalnya, terdapat Ikhwanul Muslimin (IM) yang sejak era pendiriannya berada dalam posisi "di seberang" negara. IM dikenal sebagai organisasi "bawah tanah" yang tidak sevisi dengan Pemerintah Mesir sehingga tidak bisa diajak berduet mengatasi problematika kebangsaan-kenegaraan Mesir. Pasca-"Musim Semi Arab" yang menumbangkan Hosni Mubarak terlihat jelas kerasnya vis a vis antara negara (Mesir) dan IM.
Kedua, jika tidak vis a vis negara, posisi dan peran ormas-ormas di Timur Tengah "netral dari" urusan kenegaraan. Mereka berkiprah hanya di "dunia"-nya sendiri, terpisah dari dinamika kenegaraan dan kebangsaan. Aktivitas ormas hanya dalam lingkup ritual simbolik tanpa rasa sosial-kultural sehingga kontribusinya pada persoalan kebangsaan-kenegaraan sangat minimal. Bagi negara di Timur Tengah, posisi ormas semacam ini berada dalam konteks "adanya sama dengan tidak adanya". Gerakan people power yang terjadi pada era Musim Semi Arab hanya bersifat temporer. Gerakan ini kemudian mati dan tak mampu mengawal jalannya spirit Musim Semi Arab sehingga visinya gagal terimplementasi. Tunisia, Libya, Yaman, Mesir, dan Suriah kini semakin menjadi sasaran empuk NIIS.
Tak ada ormas Islam dengan aktivitas sosio-kultur yang semarak membuat posisi negara di Timur Tengah cenderung sendirian ketika berhadapan dengan problem terorisme NIIS. Tidak ada kekuatan sipil di luar negara yang bisa dijadikan mitra strategis menjalankan agenda perang melawan NIIS. Negara tak mendapatkan "bantuan gratis" dari gerakan sipil Islam melalui peran sosio-kulturnya, seperti yang dirasakan Indonesia melalui peran NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya.
Modal suprastruktur dan infrastruktur sosio-kultural yang dimiliki Indonesia, bagi negara-negara di Timur Tengah (juga Eropa) ibarat keajaiban dan mimpi. Tak terbayangkan oleh mereka ada negara di mana separuh populasinya terafiliasi ke dalam ormas-ormas yang kiprahnya secara tidak langsung meringankan tanggung jawab negara untuk menciptakan stabilitas sosial dan keramahan kultural.
Perlu "cetak biru" kerja sama
Namun, sejauh ini negara (pemerintah Indonesia) belum menunjukkan agenda yang secara aktif berupaya merangkul ormas-ormas tersebut sebagai mitra strategis dalam menjalankan agenda-agenda terkait dengan penanggulangan dan pemberantasan terorisme, terutama NIIS. Modal suprastruktur dan infrastruktur yang kita miliki tidak teraktualisasikan dengan nyata dan optimal. Pemerintah terkesan abai dengan modal sosio-kultur ini.
Hingga saat ini negara belum memiliki cetak biru dan program kerja sama penanggulangan terorisme yang komprehensif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan kantong-kantong sosio-kultur dari ormas-ormas Islam. Negara berjalan sendiri dengan platform formal-strukturalnya, sementara ormas-ormas Islam tersebut juga (dibiarkan) berjalan secara swadaya. Kalaupun ada langkah-langkah dari pemerintah untuk merangkul ormas dalam penanganan terorisme, hal itu lebih bersifat seremonial semata, tidak sampai pada tataran membentuk sebuah cetak biru kerja sama dan kemitraan yang terintegrasi, komplementer, dan substitutif.
Dalam rangka pemberantasan dan pencegahan terorisme, sebuah keniscayaan bagi pemerintah untuk merangkul dan menyinergikan kekuatan dengan ormas-ormas. Jika tidak, potensial muncul konsekuensi berikut.
Pertama, jika pemerintah bergerak hanya sebagai aktor tunggal, bisa dipastikan tingkat efektivitas dan efisiensinya sangat rendah. Sebab, struktur perangkat keamanan kita masih belum terintegrasi. Sebagai komparasi, negara-negara Eropa yang sudah mapan saja tidak bisa optimal mencegah masuknya paham dan gerakan teror NIIS.
Kedua, jika tak ditunjang negara, energi dan daya tahan ormas-ormas dalam menghadapi gempuran ideologi dan gerakan NIIS akan semakin melemah. Bagaimanapun, energi dan daya tahan ormas tersebut memiliki ambang batas, sementara infiltrasi paham dan gerakan NIIS semakin hari semakin masif. Fenomena jaringan Asia Tenggara di Marawi membuktikan hal ini. NU dan Muhammadiyah, misalnya, tidak selamanya bisa membentengi infiltrasi paham dan gerakan NIIS jika negara (pemerintah) tidak memperkuat dirinya atau mengajak ormas-ormas tersebut berduet membendung NIIS. Tidak ada pilihan lain bagi negara selain bersinergi dengan ormas-ormas tersebut untuk membendung NIIS.
Eksistensi ormas yang jumlahnya sangat banyak ini adalah keajaiban yang seharusnya membuat Indonesia berada selangkah lebih maju dari negara-negara Timur Tengah dan Eropa dalam pemberantasan dan pencegahan terorisme, terutama NIIS. Tentu sangat disayangkan jika potensi ini tidak dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah Indonesia.
MUHAMMAD JA'FAR
Ketua Pusat Kajian Hubungan Strategis Indonesia-Timur Tengah
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "NIIS, Indonesia, dan Timteng".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar