Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 23 Maret 2011

Tyasno: Indonesia Butuh Revolusi!

Mantan KASAD, Tyasno Sudarto menyatakan perlunya revolusi nasional untuk mengganti kepemimpinan nasional. Seluruh lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dinilainya telah gagal dalam menjalankan tugas. Kasus mafia pajak, skandal Bank Century, dan mafia hukum, menjadi tolak ukurnya akan kegagalan. "Harus revolusi. Semua mulai dari eksekutif, yudikatif, dan legislatif telah gagal dalam menuntaskan tugasnya. Mereka justru tersandra oleh kepentingan masing-masing. Karena itu seluruh sistem harus dirubah," ujar Tyasno kepada Republika, Rabu (23/3).

Menurutnya, revolusi tidak perlu dilakukan secara berdarah-darah, tapi dengan damai. Dia melihat, sisitem negara harus dikembalikan ke Pancasila. Selama ini, Indonesia dianggapnya telah menganut prinsip demokrasi liberal. Terkait berita Al Jazeera yang menyebutnya berada di balik aksi radikal sejumlah kelompok, dan Dewan Revolusi Islam, Tyasno membantah keras. "Tidak benar itu. Saya tidak pernah tahu tentang itu." Sebelumnya, Wartawan Al Jazeera, Step Vaessen mengatakan, ada kelompok jendral yang memanfaatkan kalangan islam radikal untuk menggulingkan pemerintah SBY. Hal itu ditemukannya lewat laporan investigasi yang dirilis di situs Al Jazeera.

"Laporan saya awalnya dibuat dalam rangka investigasi kasus Ahmadiyah Cikesik. Tapi dalam perkembangannya saya menemukan keterkaitan kelompok pensiunan jendral dengan kelompok radikal islam," ujar Vaessen kepada Republika. Dia menegaskan, sudut pandang peliputannya adalah peran jendral yang memanfaatkan gerakan sejumlah kelompok. "Intinya saya ingin memberitahukan bahwa ada pensiunan Jendral yang ingin memanfaatkan gerakan ini," tambahnya. Tujuan yang dimaksud yakni menggulingkan pemerintah.

Namun dia sadar, secara umum gerakan ini berskala kecil. Kelompok radikal yang dimaksudpun tidak merepresentasikan umat Islam secara umum. "Mereka hanya kelompok minoritas. Mereka bukan ancaman besar," tukas Vaessen.
(Republika)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 18 Maret 2011

The Age Tantang SBY Usut Bocoran WikiLeaks

"Dokumen itu menunjukkan bahwa yang disebut sebagai Indonesia Baru masih kabur.

Jum'at, 18 Maret 2011, 15:13 WIB 

Harian Australia The Age kukuh menyatakan tidak bersalah dan menolak meminta maaf telah mempublikasikan sejumlah kawat diplomatik rahasia dari Kedubes AS di Jakarta yang dibocorkan WikiLeaks. The Age bahkan menyerukan pemerintah SBY untuk menyelidiki saja tuduhan tersebut, jika memang Indonesia adalah negara yang demokratis.

Seperti diketahui, The Age dan koran Australia lainnya, The Sydney Morning Herald, menjadikan bocoran WikiLeaks tersebut sebagai berita utama di halaman depan mereka pada edisi Jumat, 11 Maret 2011. Dipasang dengan judul besar, "Yudhoyono 'abused power': Cables accuse Indonesian President of corruption," berita itu membuat gusar pemerintah RI.

Pada editorialnya, Kamis, 17 Maret 2011, yang berjudul The New Indonesia Faces a Test of Democracy (Indonesia yang Baru Menghadapi Sebuah Ujian Demokrasi), The Age menulis bahwa SBY selama ini dikenal sebagai sosok yang mendorong demokrasi dan keterbukaan. Maka itu, The Age menyarankan pemerintah Indonesia untuk memandang serius bocoran ini dan menindaklanjutinya.

"Demokrasi dan keterbukaan yang dijunjung mantan jenderal ini (SBY) akan lebih kuat jika saja pemerintahnya merespons tuduhan ini dengan lebih tegas, daripada yang ditunjukkan sejak kawat-kawat diplomatik itu diberitakan minggu lalu," demikian ditulis The Age.

Lebih lanjut, The Age mengatakan bahwa tuduhan itu bukan berasal dari satu-dua dokumen saja "namun dari banyak dokumen yang dikumpulkan selama bertahun-tahun oleh diplomat AS dari sumber-sumber pemerintah yang solid "Pada editorial tersebut, The Age menyatakan tidak ingin menghakimi SBY, tapi juga menolak meminta maaf.

Tajuk The Age menyoroti bahwa dokumen Kedubes AS itu menunjukkan klaim SBY soal 'Indonesia Baru' belumlah terbukti.

"Apapun, dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa yang disebut sebagai Indonesia Baru--yang bebas dari budaya korupsi yang merusak politik, militer dan sistem peradilan seperti di era Suharto--masih kabur pengertiannya," tulis The Age.

Untuk itu, The Age mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelidiki kebenaran atas tuduhan-tuduhan tersebut. "Evolusi demokrasi Indonesia dapat dipercepat dengan pengujian yang terbuka dan menyeluruh terhadap tuduhan yang meresahkan ini," The Age menulis.

Pemerintah SBY sebelumnya telah membantah semua tuduhan sebagaimana ditulis di kedua koran itu. Di antara tuduhan tersebut, SBY dituding telah menyalahgunakan kekuasaan, melindungi koruptor, dan menggunakan badan intelijen negara untuk memata-matai lawan politiknya. Ibu Negara Ani Yudhoyono juga dituduh telah menggunakan posisinya untuk menangguk keuntungan pribadi. Sejumlah pejabat dan mantan pejabat Indonesia, yang namanya turut disinggung--seperti: mantan Wapres Jusuf Kalla, Ketua MPR Taufiq Kiemas. dan bekas penasehat Presiden, TB Silalahi--pun membantah kebenaran berita itu. (kd)
(Vivanews.com)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 17 Maret 2011

Din: Bom Buku tidak Bermotif Agama, Tapi Pengalihan Isu

Ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan, kasus bom buku tidak bermotif ideologi agama dan dilakukan oleh kelompok Islam radikal. Tetapi diduga fenomena bom buku merupakan bentuk pengalihan isu dan perhatian masyarakat dari masalah-masalah strategis yang hingga kini tak terselesaikan. "Mulai dari skandal century dan terakhir wikileaks,"kata dia saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (17/3) malam.

Dugaan itu, kata Din, cukup beralasan karena berbagai alamat yang dituju bom sama sekali tak ada kaitanyya dengan agama. Ulil Abshar Abdalla misalnya, meskipun dulu pernah aktif di Jaringan Islam Liberal (JIL), namun kini tak lagi aktif. Target bom lainnya seperti BNN dan Ahmad Dhani. Karena itu, apapun motifnya maka selazimnya pemerintah dan aparat penegak hukum mengungkap secara tuntas aktor intelektualis dibalik. "Kegagalan pemerintah selama ini picu pelaku semakin leluasa dan percaya diri,"kata dia.

Pemerintah, kata Din, mesti pro aktif dan tidak cukup dengan statemen klise bahwasanya negara tak boleh kalah dengan teror. Ironisnya, statemen tersebut tidak disertai dengan langkah nyata. Pernyataan Presiden RI yang menyatakan negara tak boleh kalah pada dasarnya adalah cerminan dari kekalahan negara itu sendiri. "Karena tak berhasil ungkapkan semua kasus,"tandas dia.

Tak ada pilihan lain, tegas Din,pemerintah harus segera bertindak dan ungkap tuntas semua kasus. Jika tidak maka apabila peristiwa ini terulang dan pengalihan demi pengalihan isu terus dilakukan serta sengaja mendeskreditkan Islam, tindakan tersebut bisa menimbulkan kemarahan umat dan kehilangan kepercayaan mereka terhadap pemerintah." Ini akan terus terjadi, umat mesti waspada dan berhati-hati,"imbau dia.
(Republik.co.id)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Analisis Berita: Letjen Pramono Edhi Wibowo Calon KSAD

KANALINFORMASI - JAKARTA (15 Maret 2011) |

Pada pertengahan Februari lalu, Brigjen TNI  Bachtiar (Akmil 1984) dilantik sebagai Gubernur Akademi Militer (Akmil) di Magelang. Ada dua hal yang perlu dicatat dari peristiwa tersebut. Pertama, dengan dilantiknya Brigjen Bachtiar sebagai Gubernur Akmil, berarti Brigjen Bachtiar adalah alumnus pertama dari Akmil 1984 yang menembus pos bintang dua (mayjend). Baru-baru ini pangkatnya juga sudah dinaikkan sebagai mayjen. Kedua, tidak seperti biasanya, yang melantik Brigjen Bachtiar sebagai Gubernur Akmil adalah Pangkostrad Letjen TNI Pramono Edhi Wibowo, padahal antara Pangkostrad dan Gubernur Akmil, tidak ada garis komando.

Informasi yang beredar saat itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal George Toisutta sedang berhalangan (baca: sakit), sehingga tidak dapat melantik Gubernur Akmil. Pertanyaannya kemudian, bila KSAD berhalangan, mengapa bukan WAKSAD Letjen TNI J. Suryo Prabowo yang melantik (atas nama KSAD), sebagaimana yang sudah-sudah.

Pertanyaan inilah yang belum terjawab sampai sekarang. Yang jelas terjadi, Pangkostrad yang akhirnya hadir untuk melantik Gubernur Akmil. Mungkinkah ini semacam sinyal, bahwa Pangkostrad Letjen Pramono merupakan KSAD berikutnya, sehingga salah satu persiapannya adalah "magang" sebagai KSAD, dengan cara melantik Gubernur Akmil. Bila benar Letjen Pramono sebagai KSAD berikutnya, maka akan terjadi lompatan generasi, dari Angkatan 1976 (George Toisutta) ke Angkatan  1980 (Letjen Pramono), sehingga Angkatan 1977 dan Angkatan 1978 seolah terlewati begitu saja.

Agar kesenjangan generasi itu tidak terlampau lebar, maka WAKSAD akan segera diisi oleh Angkatan 1978, yaitu Letjen Budiman (lulusan terbaik 1978, kini masih menjabat sebagai Komandan Kodiklat TNI AD), menggantikan WAKSAD sekarang (Letjen Suryo Prabowo) yang kebetulan juga dari Angkatan 1976. Pada Juni 2011 Jenderal George akan pensiun, berarti pada Mei ini, akan terjadi pergantian KSAD, dan KSAD baru tersebut kemungkinan besar adalah figur yang sedang kita bahas ini.

Statusnya sebagai anak Sarwo Edhi memang sangat menguntungkan. Sejak menjadi perwira muda, dia sudah memperoleh perhatian khusus. Patung setengah badan Sarwo Edhi terpasang di depan Markas Komando Kopassus di Cijantung, karena Sarwo Edhi sudah seperti legenda bagi Kopassus, dan kekuatan figur ayahnya, adalah modal politik dan sosial yang sangat penting bagi Pramono EW.

Satu hal yang pasti dengan diangkatnya Pramono Edhi sebagai Pangkostrad, semakin menunjukkan semakin politisnya jabatan ini. Artinya, bagi Pramono EW jabatan sebagai Pangkostrad, hanyalah  "batu loncatan" menuju posisi KSAD. Mengapa demikian? Karena dalam rekam jejak Pramono EW,  tidak pernah sekalipun pernah berdinas di Kostrad. Bisa kita bayangkan, seorang perwira yang sejak letnan dua hingga sepanjang karirnya terus berdinas di Kostrad, belum tentu bisa menjabat sebagai Pangkostrad, bahkan untuk jabatan perwira tinggi yang lebih rendah dari Pangkostrad, seperti Panglima Divisi atau Kepala Staf Divisi. Sementara Pramono EW, tanpa pernah sekalipun dinas di Kostrad, seolah begitu mudahnya mencapai jabatan Pangkostrad
(Kanalinformasi)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sejumlah Elite PKS Dilaporkan ke BK DPR

Salah seorang pendiri Partai Keadilan, Yusuf Supendi, melaporkan sejumlah elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke Badan Kehormatan DPR, Kamis (17/3/2011). Yusuf menilai sejumlah elite tersebut melanggar kode etik anggota Dewan.

Anggota Dewan asal Fraksi PKS yang dilaporkan Yusuf adalah Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin, dan Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta.

Menurut Yusuf, Luthfi telah melanggar etika dan akhlak sebagai anggota DPR. Luthfi juga melanggar syariah dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan dengan mengirimkan pesan singkat kepada Yusuf bernada mengancam. "Bahkan ada yang mengirimkan SMS mau menghirup darah Yusuf Supendi. Aktor intelektualnya adalah Luthfi," ujar Yusuf saat tiba di ruang BK DPR, Senayan, Jakarta.

Sedangkan Hilmi dan Anis dituding Yusuf telah menyalahgunakan anggaran. "Anis, penggelapan dana Pilkada DKI Rp 10 miliar bersumber dari Adang Daradjatun. Hilmi, putra pentolan Darul Islam, Danu Muhammad Hasan, gesit mengumpulkan setoran untuk memperkaya diri," ujarnya.

Seusai bertemu dengan BK, Yusuf Supendi menegaskan bahwa yang dilaporkan secara resmi ke BK hanyalah Luthfi. "Yang lainnya (Anis, Hilmi) cuma tambahan saja," ujarnya.

Menanggapi laporan tersebut, Luthfi yang dihubungi pewarta secara terpisah enggan berkomentar. "Saya belum bisa komentar. Kita lihat dan pelajari soal laporan itu," katanya.

Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq menilai, laporan yang dilayangkan Yusuf Supendi adalah bentuk kekecewaannya atas pemecatan dirinya dari anggota PKS. "Dia (Yusuf) sudah setahun dipecat dari keanggotaan PKS karena sejumlah pelanggaran dan kode etik yang dilakukannya," kata Mahfudz.
(Kompas.com)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Powered By Blogger