Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 31 Januari 2015

TAJUK RENCANA: Rakyat di Atas Segalanya)

SANGATLAH relevan ketika BJ Habibie, presiden ketiga RI, menegaskan dan mengingatkan, kepentingan rakyat berada di atas segalanya.

Tidak kalah menarik pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tentang pentingnya penguatan institusi negara. Secara khusus Prabowo menegaskan, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dijaga. Apa hubungannya dengan pernyataan Habibie?

Penegasan Prabowo ataupun Habibie seakan mendapatkan benang merahnya karena dikeluarkan setelah berbicara dengan Presiden Joko Widodo dalam pertemuan terpisah hari Kamis lalu. Rangkaian pertemuan itu kebetulan pula dilakukan di tengah kekisruhan politik, antara lain sebagai dampak ketegangan antara Kepolisian dan KPK.

Pertarungan Kepolisian dan KPK terkesan keras dan sangat terbuka. Tidak sedikit warga masyarakat bergumam, sekiranya Kepolisian dan KPK memiliki orientasi nilai yang sama bagi kebaikan bangsa, niscaya tidak terjadi benturan begitu keras. Masyarakat yang sudah kelelahan atas situasi tak menentu terus menagih janji, kapan kaum elite dan partai politik memikirkan kepentingan rakyat jika semakin jauh terjebak dalam pertarungan kepentingan, yang menguras perhatian, tenaga, dan energi.

Namun, rakyat tak berhenti berharap, Presiden Jokowi tidak terombang-ambing di tengah olengan kekisruhan Kepolisian-KPK dan tarik-menarik kepentingan di tingkat elite yang begitu kencang. Apa pun tantangannya, pegangan seyogianya tetap pada orientasi menciptakan kesejahteraan rakyat. Terutama karena kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi, salus populi, suprema lex.

Sekali lagi sangatlah tepat dan bermakna ketika Habibie mengingatkan, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Atas dasar itu, presiden harus menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, bahkan di atas kepentingan kelompok dan partai. Pernyataan itu bersifat penegasan, tetapi juga imbauan agar Presiden tidak kehilangan fokus dalam mendorong agenda pembangunan yang memberikan kesejahteraan kepada rakyat, yang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan.

Sejauh ini, rakyat lazim didekati kalangan elite ketika pemilu untuk mendapatkan dukungan suara. Namun, dalam banyak kasus, kepentingan rakyat diabaikan begitu pemilu selesai. Janji-janji saat pemilu diabaikan, bahkan rakyat diisap melalui perilaku politik yang korup. Jelas terlihat, kaum elite dan rakyat berjalan sendiri-sendiri. Sungguh dikhawatirkan momentum baru, yang tercipta oleh kehadiran pemerintah hasil Pemilu 2014, berlalu begitu saja jika kekisruhan politik terus berlanjut.

Fokus pemerintah yang banyak terguras pada kekisruhan politik dikhawatirkan hanya akan menelantarkan program kerja dan agenda pembangunan, yang dijanjikan selama kampanye pemilu. Kekompakan di kalangan elite sangat diperlukan untuk perbaikan nasib bangsa.

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011725774 


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Soal Sandera NIIS Semakin Rumit

PERKEMBANGAN sandera Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) semakin rumit karena tak hanya melibatkan Pemerintah Jepang, tapi juga Pemerintah Jordania.

Diawali dengan penyanderaan dua warga Jepang oleh NIIS, yakni Haruna Yukawa, seorang pekerja kontraktor, dan Kenji Goto, seorang wartawan lepas. NIIS menuntut Pemerintah Jepang menyerahkan uang tebusan 200 juta dollar AS (Rp 2,5 triliun) paling lambat 23 Januari 2015. Karena hingga batas akhir terlewati Pemerintah Jepang tidak kunjung memenuhi tuntutan itu, NIIS membunuh Yukawa.

Walaupun NIIS telah membunuh Yukawa, Pemerintah Jepang tidak memperlihatkan tanda-tanda akan memenuhi tuntutan NIIS untuk membayar tebusan Rp 2,5 triliun itu. Melihat perkembangan itu, NIIS kemudian menggunakan penyanderaan Goto untuk menekan Pemerintah Jordania membebaskan rekan perempuan mereka, Sajida al-Rishawi, dari penjara.

Melalui pesan suara, yang disebutkan sebagai suara Goto, NIIS mengancam akan membunuh Muath al-Kassasbeh, pilot Jordania yang ditahan NIIS, jika Rishawi tidak dilepaskan paling lambat Rabu, 28 Januari, pukul 16.00 waktu setempat. Tekanan besar muncul pada Pemerintah Jepang ketika ibunda Goto, sandera NIIS lainnya, meminta Pemerintah Jepang berusaha sebaik mungkin untuk membebaskan putranya.

Tekanan pada Pemerintah Jepang berkurang ketika Pemerintah Jordania kemudian memperlihatkan kesediaan untuk memenuhi tuntutan NIIS. Namun, Pemerintah Jordania ingin mendapatkan kepastian bahwa Kassasbeh masih hidup.

Waktu terus berjalan, dan batas waktu akhir Rabu, pukul 16.00, terlewati. NIIS kemudian memberikan batas waktu akhir baru, yakni Kamis, 29 Januari, saat matahari terbenam waktu Mosul (Irak). Batas waktu akhir itu pun terlewati walaupun Pemerintah Jordania tetap memperlihatkan keinginan untuk membebaskan Rishawi dan menukarnya dengan Kassasbeh.

Pertanyaannya, bagaimana nasib Kassasbeh, atau Goto, jika akhirnya Jordania tak jadi melepaskan Rishawi? Atau, bagaimana jika Rishawi pada akhirnya dilepas dan ditukar dengan Kassasbeh, akankah Goto juga turut dilepaskan oleh NIIS? Kita masih harus menunggu akhir dari drama sandera NIIS yang sedang berlangsung sekarang ini.

Pada era yang serba terbuka seperti saat ini, memang tidak mudah bagi suatu pemerintahan untuk mengambil keputusan yang tegas, terutama jika menyangkut nasib warga negaranya yang disandera. Hal itu disebabkan warga masyarakat, terutama keluarga sandera, juga menuntut kepentingan mereka dipertimbangkan. Pemerintah tidak dapat lagi melihatnya secara hitam putih, ada banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan.


Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011726973 


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Era Baru Industri Pertahanan (SJAFRIE SJAMSOEDDIN)

KUNJUNGAN Presiden Joko Widodo ke PT PAL dan PT Pindad membuka mata publik tentang komitmen pemerintah untuk pengembangan industri pertahanan nasional.

Untuk PT Pindad, misalnya, Presiden yang juga Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan mengatakan bahwa negara akan mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 700 miliar. PMN yang disampaikan Presiden tentu angin segar bagi industri pertahanan nasional. Ini bentuk kebijakan yang menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pengembangan industri strategis.

Pada awalnya industri pertahanan di dunia tumbuh sebagai government-created, protected and regulated industry, yakni industri yang diciptakan, diproteksi, dan diregulasi oleh pemerintah. Ciri-ciri umumnya tampak dari pasar yang bersifat monopsonistik, yakni pemerintah menjadi pembeli utama atau konsumen terbesar industri pertahanan suatu negara.

Secara universal, dimulai dari Eropa, sejak akhir 1980-an gencar desakan untuk membuka keran investasi bagi industri pertahanan terkait maraknya iklim keterbukaan, demokratisasi, dan desakan pembayar pajak untuk alokasi dana pemerintah bagi sektor publik lainnya.

Hasilnya bisa kita lihat dari kemunculan raksasa industri pertahanan dunia semacam BAE dari Inggris. Industri pertahanan di Amerika juga membuka diri masuknya pemodal lain untuk memperkuat lini bisnis dan memperluas pasar. Tren paling akhir adalah maraknya pelaku industri pertahanan dunia masuk ke Afrika dan Asia dengan melakukan aksi merger dan akuisisi.

Negara-negara yang industri pertahanannya telah mengalami "metamorfosa investasi" umumnya melewati perjalanan panjang dan turbulensi yang tak mudah. Kita juga tidak bisa memberikan penilaian begitu saja bahwa model mereka yang paling tepat. Ada karakteristik di berbagai region dan negara yang melahirkan wajah investasi dan tren pertumbuhan usaha industri pertahanan yang berbeda. Di Indonesia, misalnya, hingga sekarang industri pertahanan bagian pokok atau strategis dari upaya pemerintah menegakkan kedaulatan dan keamanan negara.

Dewasa ini industri pertahanan nasional masih berpusar pada tahapan kemampuan produksi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peningkatan capacity building, penguasaan teknologi, hingga konsistensi mutu dan layanan kepada pengguna akhir di tiap-tiap matra masih jadi pekerjaan rumah utama. Wajar jika pemikiran yang berkembang masih linear, kepemilikan badan usaha yang memproduksi alat peralatan pertahanan keamanan (alpalhankam) oleh pemerintah merupakan keharusan. Demikian pula dengan investasi dan strategi pertumbuhan usahanya.

Walhasil, diskursus yang ada lebih bermuara pada opsi untuk membeli dari luar negeri atau memproduksi sendiri alpalhankam Indonesia. Itu sebabnya muncul desakan untuk adanya alih teknologi dan kewajiban offset bagi pembelian alpalhankam dari luar negeri sesuai amanat UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan.

Dewasa ini tren dari industri pertahanan nasional menggandeng mitra strategis dari pelaku industri pertahanan global merupakan peneguhan spirit alih teknologi. Tren ini patut kita sambut baik karena implikasinya pada penghematan devisa, penciptaan lapangan kerja, maupun perwujudan amanah kemandirian industri pertahanan nasional.

Perusahaan induk

Menyimak kunjungan Presiden Joko Widodo ke PT Pindad, ada atensi strategis yang tersirat dari Presiden, yaitu menjadikan industri pertahanan mandiri dan bersaing di pasar luar negeri. Maknanya, membesarkan industri pertahanan nasional dengan jaringan birokrasi yang lebih sederhana dan praktis, tetapi solid dan tidak membebani regulator korporasi (Kementerian BUMN). Apalagi industri pertahanan punya spesifikasi yang homogen dan melibatkan pemangku kepentingan yang luas. Konkretnya, kita bisa merespons atensi strategis Presiden dengan penataan manajemen sekaligus membangun perusahaan induk (holding company) industri pertahanan nasional.

Diskusi pembentukan perusahaan induk di sektor industri lain bukan hal baru. Inpres No 5/2008 sudah mencanangkan perampingan atau upaya membuat jumlah dan skala usaha BUMN dalam komposisi yang tepat untuk industri semen, pupuk, perkebunan dan perbankan. Salah satu opsi perampingan—sesuai dengan cetak biru yang disusun pemerintah—adalah membentuk perusahaan induk. Sejatinya, pembentukan holding juga bisa jadi opsi pengembangan industri pertahanan, yang dapat berperan dalam pengelolaan dana pemerintah, skema investasi hingga strategi pertumbuhan usaha antar-industri pertahanan agar bisa lebih terintegrasi.

Peran Kementerian BUMN praktis hanya di tataran kebijakan yang bersifat makro, seperti perencanaan dan pengawasan korporasi. Adapun holding memainkan peranan strategis, yaitu perencanaan perusahaan secara keseluruhan, pengembangan usaha, pengelolaan keuangan, pengendalian anak perusahaan, menentukan arah pengembangan produk dan penelitian, serta sinergi pemasaran, khususnya untuk pasar luar negeri.

Indonesia dulu pernah memiliki holding BUMN pertahanan, PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS). Pemerintah membubarkan BPIS pada 2002 karena tidak efisien dan lebih kental nuansa birokratis daripada korporasi. Sudah jamak diketahui para pelaku industri modern, suatu perusahaan induk akan kehilangan maknanya jika tak mampu memberikan benefit efisiensi dan integrasi aktivitas produksi serta keleluasaan pengambilan keputusan kepada anak perusahaan.

Kita serius menginginkan industri pertahanan nasional masa kini dan mendatang ditandai dengan era baru skala manajemen yang dikemas dalam perusahaan induk. Industri pertahanan sudah saatnya memasuki era baru dengan perusahaan induknya untuk menghapuskan inefisiensi dan disharmoni antarkomunitas industri pertahanan. Walhasil, negara akan mudah dan praktis dalam membuat perencanaan strategis, sekaligus memberikan benefitas  bagi sektor ekonomi dan pertahanan.

SJAFRIE SJAMSOEDDIN 
Wakil Menteri Pertahanan dan  Sekretaris KKIP (2010-2014)

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011576612  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Polisi dan Hak atas Keadilan (MIMIN DWI HARTONO)

KONDISI penegakan hak asasi manusia sepanjang 2014 masih belum beranjak ke tahap yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Hal tersebut setidaknya bisa dilihat dari sekitar 7.000 berkas pengaduan dugaan pelanggaran HAM yang diterima oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sepanjang 2014. Pengaduan terbanyak terkait dengan indikasi pelanggaran hak atas keadilan (right to justice).

 Dari ribuan pengaduan hak atas keadilan, 2.200 di antaranya terkait dengan kepolisian. Selama beberapa tahun terakhir, kepolisian berada di posisi pertama yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM.  

 Tentu bukan tanpa sebab jika kepolisian tidak beranjak dari posisinya sebagai pihak yang paling banyak diadukan. Kepolisian memegang kewenangan dan otoritas yang sangat besar baik dalam ranah penegakan hukum, pemeliharaan keamanan, maupun ketertiban masyarakat. Kewenangan yang besar tersebut diduga sebagai faktor pemicu banyaknya pengaduan dugaan pelanggaran hak atas keadilan yang ditujukan terhadap kepolisian.

Legalistik-normatif

 Pengaduan hak atas keadilan tersebut di antaranya terkait dengan due process of law, yaitu penangkapan dan penahanan secara semena-mena, tersangka yang tidak disediakan pendamping hukum,  penyelidikan/penyidikan yang diskriminatif, dan tindakan semena-mena dalam proses pemeriksaan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka.

Terpenuhinya hak atas keadilan adalah fondasi bagi terwujudnya masyarakat yang berbasis pada tatanan yang berdasarkan pada hukum (rule of law)Dalam bangunan rule of law, kepolisian adalah aktor penting dalamcriminal justice system. Kepolisian berada di garda terdepan dalam criminal justice system, selain kejaksaan, advokat, pengadilan, Mahkamah Agung, dan lembaga pemasyarakatan.

 Sebagai lembaga yang berada di hulu penanganan kasus, kepolisian dituntut profesional sehingga selektif dalam menyelidiki/menyidik kasus berdasarkan pada fakta yuridis, sosiologis, dan keadilan. Jadi bukan berdasarkan atas interpretasi hukum secara sepihak sehingga bisa melanggar hak atas keadilan.

 Namun, kepolisian hanyalah salah satu lembaga dalam sistem dan alur penegakan hukum pidana. Kepolisian adalah lembaga pelaksana atau eksekutor undang-undang yang disusun legislatif. Dengan demikian, secara langsung kinerja kepolisian terkait erat dengan kualitas UU dan bagaimana kepolisian menginterpretasikannya.

 Dalam banyak peristiwa, interpretasi UU secara legalistik dan normatif jadi permasalahan awal dalam penegakan hukum. Polisi sering hanya memahami pasal secara tekstual dan normatif, serta hanya melihat pada saat peristiwa dugaan tindak pidana terjadi. Polisi kurang melihat pada hulu atau akar masalah atau konteks. Misalnya, dalam kasus masyarakat adat yang memanfaatkan hutan adatnya yang telah bertahan-tahun dikuasai oleh perusahaan, dianggap sebagai bentuk pendudukan kawasan hutan negara sehingga melanggar UU tentang Kehutanan.

 Padahal, jika ditelisik secara saksama dan cermat, persoalannya adalah minimnya keberpihakan dan perlindungan negara terhadap masyarakat adat atas hutannya. Ketika masyarakat adat mengklaim kembali hutannya, meskipun hanya untuk mengambil tanaman obat, mereka dianggap sebagai pelaku kriminalitas atau penjahat. Kriminalisasi ini berlanjut sampai
pada proses hukum selanjutnya di kejaksaan dan hakim di pengadilan, yang juga sering berperspektif legalistik dan normatif dengan mengabaikan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.           

Harus berbasis keadilan

 Jika tidak ada langkah mendasar untuk merombak perspektif dan paradigma penegakan hukum sehingga berbasis pada keadilan bagi masyarakat, kondisi HAM tidak akan membaik. Polisi  berdalih bahwa mereka hanya melaksanakan undang-undang dan harus menindaklanjuti laporan masyarakat. Demikian pula halnya dengan kejaksaan yang bertugas meneliti kelengkapan berkas secara yuridis formal dan hakim memutuskan berdasarkan pada fakta-fakta yuridis dan sesuai bunyi undang-undang.

Karena itu, kita sangat mendukung pemberian grasi oleh Presiden Joko Widodo terhadap aktivis agraria, Eva Bande, pada 22 Desember 2014. Eva Bande divonis bersalah oleh pengadilan dan mendekam di penjara selama beberapa bulan karena membela hak-hak rakyat melawan perusahaan sawit di Sulawesi Tengah. Grasi tersebut adalah sebuah terobosan pada saat sistem penegakan hukum pidana yang belum berpihak pada keadilan bagi masyarakat.

 Banyak orang yang terpaksa berhadapan dengan hukum, ditangkap, dan ditahan berbulan- bulan, tetapi kemudian divonis bebas tidak bersalah oleh pengadilan. Orang tersebut telah dirugikan secara sosial dan ekonomi, serta di mata publik. Namun, belum ada mekanisme yang adil dan komprehensif untuk memulihkan hak-hak korban kriminalisasi berikut kompensasi sosial dan ekonomi atas kerugian yudisial yang dialaminya. Mekanisme tersebut harus digagas, dibangun, dan diimplementasikan agar lembaga-lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian, akan lebih berhati-hati dalam mengeksekusi kewenangannya. 

 Untuk itu, langkah untuk membenahi institusi kepolisian sebagai garda terdepan dalamcriminal justice system menjadi pekerjaan utama Presiden Joko Widodo. Presiden perlu mengkaji, merumuskan, dan memutuskan mekanisme kontrol dan pengawasan yang efektif dan akuntabel bagi kepolisian agar kewenangannya yang sangat besar bisa dijalankan secara baik, benar, dan akuntabel.

Mekanisme pengawasan internal saat ini dinilai belum cukup memadai untuk melakukan kontrol dan pengawasan anggota kepolisian secara efektif. Diperlukan adanya kontrol eksternal yang bersifat eksekutorial—bukan rekomendatif—agar kewenangan kepolisian bisa lebih terukur dan akuntabilitasnya bisa dipertanggungjawabkan.

MIMIN DWI HARTONO
Anggota Staf Komnas HAM

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011661563  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Gebrakan Houthi di Yaman (Ibnu Burdah)

DI tengah-tengah perhatian dunia yang tertuju kepada perang terhadap NIIS di Irak dan Suriah, kelompok Syiah Houthi mencuri perhatian. Mereka membuat gebrakan di ibu kota Yaman, Sana'a.

Milisi bersenjata mereka berhasil menguasai ibu kota, termasuk tempat-tempat strategis negara itu dan wilayah yang luas di Yaman, tanpa ada perlawanan berarti dari tentara Yaman.

Kelompok ini diklaim sejumlah sumber di Iran telah menguasai 14 provinsi di seantero Yaman. Dengan situasi sekarang, tak berlebihan jika beberapa televisi Timur Tengah membuat judul pemberitaan menghebohkan sejak beberapa bulan lalu, seperti "Yaman dalam Genggaman Houthi".

Yaman, yang dua tahun terakhir penuh optimistis dan dengan bangga membangun konsolidasi nasional dengan menyelenggarakan dialog nasional secara masif, tiba-tiba menghadapi ujian tak kalah hebat dari negara-negara musim semi Arab yang lain. Selama ini, mereka berkeyakinan jalan sejarah "musim semi" mereka akan jauh lebih baik dan damai dibandingkan negara Arab yang lain. Bahkan, sebagian besar lapisan masyarakat Yaman menganggap negeri itu akan jadi percontohan proses transisi menuju demokrasi bagi negara Arab lain. Faktanya ternyata tidak demikian.

Unsur kudeta

Sejumlah analis Yaman menyebutkan, peristiwa ini merupakan kudeta bersenjata dari kelompok sektarian. Houthi adalah kelompok Syiah yang memiliki wilayah tradisional di utara Yaman, tepatnya di Sha'dah. Tak bisa dimungkiri bahwa gerakan yang dilakukan Houthi beberapa waktu terakhir memang tak ubahnya sebuah kudeta.

Mereka sejak tahun 2011 telah membangun pemerintahan yang independen dari Yaman kendati mereka tidak menyebutnya sebagai negara merdeka. Pemerintahan itu juga memiliki angkatan bersenjata sendiri yang terpisah dari angkatan bersenjata Yaman. Pasukan inilah yang kini mengontrol sebagian besar ibu kota Yaman, bahkan kota-kota yang lain.

Namun, mereka tak mengambil alih kekuasaan secara penuh sebagaimana kudeta militer pada umumnya. Mereka tak mengambil alih kekuasaan politik di Yaman. Mereka sadar, tak akan mudah minoritas itu memerintah mayoritas yang Sunni. Namun, mereka sepertinya menginginkan peran sentral dalam pemerintahan Yaman ke depan, tetapi secara tidak langsung.

Kelompok ini menyebut peristiwa ini dengantsaurah, yaitu kemenangan revolusi rakyat terhadap kekuasaan diktator sebagaimana keberhasilan rakyat Yaman menjatuhkan Ali Abdullah Saleh, atau yang dilakukan rakyat Mesir, Tunisia, dan Libya, untuk menjatuhkan Hosni Mubarak, Zaenal Abidin bin Ali, dan Moammar Khadafy. Iran juga dengan bangga menyebutnya sebagai kemenangan Revolusi Islam di negeri itu. Bagi negara itu, menguasai Yaman, negeri halaman belakang Arab Saudi, musuh nomor satu mereka saat ini, tentu dipandang sangat strategis dalam persaingan historis mereka di kawasan ini.

Gerakan "milisi" untuk menguasai ibu kota ini pada mulanya didahului oleh gerakan protes rakyat dalam skala luas dengan tuntutan utama pencabutan kebijakan yang menarik subsidi BBM. Gerakan protes ini membawa sejumlah korban meninggal dan luka akibat represi aparat keamanan Yaman dan perlawanan mereka.

Namun, pada kenyataannya, celupan sektarian begitu kuat dalam rangkaian peristiwa itu. Mereka yang melakukan protes besar-besaran adalah orang-orang Houthi atau pendukung mereka terutama dari Sha'dah. Milisi yang kini menguasai Yaman itu juga adalah tentara Houthi.

Bagaimanapun, peristiwa itu lebih tepat disebut sebagai gerakan rakyat Houthi daripada gerakan rakyat Yaman. Masyarakat Yaman di luar kelompok itu diperkirakan sedikit sekali yang terlibat. Padahal, gerakan kelompok itu, setidaknya secara verbal, menyuarakan agenda-agenda nasional rakyat Yaman, termasuk agenda dialog nasional yang diselenggarakan secara masif sejak jatuhnya Presiden Ali Abdullah Saleh.

Lebih berperan

Setelah peristiwa ini, kelompok Houthi kemungkinan besar berperan penting dalam pemerintahan Yaman mendatang. Mereka tak mungkin diabaikan seperti terjadi selama ini. Sebab, mereka memegang kontrol keamanan di wilayah yang sangat luas, terutama di ibu kota.

Sementara musuh utama mereka, yaitu kelompok "Wahabi" dukungan Arab Saudi dan kelompok tentara dan kabilah
Ali Muhsin al-Ahmar, kemungkinan akan terpinggirkan dalam kancah politik nasional Yaman. Tak tertutup kemungkinan kelompok- kelompok itu akan jadi sasaran kelompok "penguasa baru" ini.

Gerakan Wahabi di Yaman memiliki jaringan begitu luas, terutama dalam penguasaan masjid dan lembaga-lembaga pendidikan agama. Mereka begitu membenci kaum Syiah. Kita berharap, aksi balas dendam tak dilakukan kelompok ini kendati aksi saling balas, terutama pembunuhan keluarga pemimpin kedua kubu, sudah sering terjadi.

IBNU BURDAH
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam; Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011706794  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Meruntuhkan Mitos ”Orang Suci” (MASDAR HILMY)

PERSETERUAN Komisi Pemberantasan Korupsi-Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam derajat tertentu, memiliki arti yang cukup signifikan bagi perkembangan dan pendewasaan hukum di negeri ini. Saya tidak melihat upaya "pelemahan" KPK akan berdampak serius terhadap agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Betapapun kuat dugaan adanya pelemahan secara sistematis, KPK secara kelembagaan tidak boleh runtuh. Bagaimanapun, KPK adalah harapan dan benteng terakhir pemberantasan korupsi. Namun, begitu, "pertarungan" di antara keduanya akan saling menguji: how clean can you go?

Tanpa berpretensi membela salah satu di antara keduanya, penegakan hukum secara imparsial harus tetap berjalan. Terpenting lagi, jangan ada pembelaan membabi buta. Jangan pula kita terjebak pada argumentum ad hominem, sikap menghakimi orang dengan menghindari substansi persoalan.

Jika pun semua unsur pimpinan KPK diperkarakan akibat tuduhan-tuduhan yang dipersangkakan, jangan ada desain penghancuran KPK secara kelembagaan. KPKi tidak boleh bubar dan agenda pemberantasan korupsi harus tetap jalan.

Regenerasi "orang suci"

Mati satu, tumbuh seribu. Demikianlah harapan publik terhadap regenerasi "orang-orang suci" di negeri ini. Indonesia harus menyediakan stok berlimpah bagi kemunculan orang-orang bersih dalam rangka mengisi pimpinan KPK yang beperkara.

Saya tidak percaya kita sudah kehabisan "orang suci". Habisnya "orang suci" adalah mitos, bukan realitas. Orang boleh keluar-masuk, datang dan pergi silih berganti, dari dan ke KPK. Namun, KPK secara kelembagaan tidak pernah bisa dimusnahkan. Jika pun semua unsur pimpinan KPK "dilucuti" oleh Polri, lembaga anti rasuah ini tidak boleh dibiarkan mati.

Oleh karena itu, pemihakan presiden terhadap KPK juga harus fair: berpihak bukan kepada orang per orang, tetapi secara kelembagaan. Setiap warga negara berkedudukan sama di depan hukum (equality before the law).

Presiden harus melindungi setiap lembaga negara, apa pun tugas dan fungsinya. Namun, presiden tidak boleh membiarkan KPK secara kelembagaan diobrak-abrik dengan tujuan memberangus agenda pemberantasan korupsi.

Harus diakui, memang ada perbedaan sikap di kalangan masyarakat terkait pembelaan terhadap KPK dan Polri. Pembelaan masyarakat kepada KPK—ketimbang Polri—adalah sebuah realitas tak terbantahkan. Realitas semacam ini harus menjadi cermin obyektif bagi Polri bahwa ada sesuatu yang salah terkait dengan kinerjanya.

Citra KPK yang positif di mata masyarakat tidak terbentuk sekali jadi. Ia merupakan akumulasi kinerja KPK yang terbuktiperformed menjalankan aksi-aksi pemberantasan korupsi. Penyelamatan aset negara sejumlah lebih dari Rp 153 triliun oleh KPK adalah fakta tak terbantahkan. Tidak ada lembaga penegak hukum di negeri ini yang memiliki rekam kinerja yang sebanding dengan KPK.

Oleh karena itu, masyarakat tidak bisa dipersalahkan ketika mereka memiliki pencitraan yang buruk tentang Polri. Kenyataan semacam ini diperkuat oleh sejumlah survei bahwa Polri merupakan lembaga terkorup di negeri ini—selain parpol, DPR dan lembaga peradilan. Ada pekerjaan rumah yang begitu besar untuk menggerek citra Polri sejajar dengan KPK. Yang perlu direfleksi adalah mengapa citra Polri begitu buruk di mata masyarakat?

Selain itu, pemerkaraan para pemimpin KPK menjadi pelajaran bagi semua bahwa menjadi bagian dari KPK bukanlah persoalan kompetensi semata, melainkan juga persoalan integritas, moralitas, dan totalitas dalam menjaga marwah, kehormatan, dan harga diri.

Sebelum membersihkan orang lain, dia harus bersih terlebih dahulu. Analoginya, bagaimana mungkin sapu yang kotor dapat membersihkan lantai? Oleh karena itu, siapa pun yang hendak memasuki lembaga ini harus bersih luar-dalam, lahir-batin. Jika tidak, dia sebaiknya harus tahu diri.

Perseteruan ini juga penting dalam rangka menciptakan sikap saling menguji di antara keduanya. Mengikuti hukum Darwinian, hanya lembaga tebersihlah yang akan survive (the survival of the cleanest). Ada baiknya kedua lembaga dibiarkan berdialektika dalam rangka saling "membentuk" dan mengoreksi dalam pengertian positif. Masing-masing terlibat dalam sebuah dialektika hukum yang hidup, saling menguji dan mengoreksi. Dalam kondisi demikian, "standar kebersihan" di kalangan Polri akan naik dengan sendirinya, seiring dengan proses dialektika dimaksud.

Jika hukum Darwinian dipakai untuk mengevaluasi standar "kebersihan", Polri tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan lembaga kompetitornya, KPK. Polri harus memperketat diri ketika mengajukan nama calon pimpinannya. Tidak boleh asal comot, terlebih mengusung kepentingan tertentu.

Ketika ada unsur pimpinan yang diperkarakan KPK, jangan ada pembelaan membabi buta terhadap yang bersangkutan. Kenyataannya, pembelaan Polri terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan terkesan hanya mengedepankan semangat esprit de corpsdalam rangka melindungi kepentingan sesama anggota, bukan semangat mengedepankan obyektivitas perkara.

Dialektika hukum di antara keduanya, pada gilirannya, akan membentuk ruang-ruangfastabiqul khairat (perlombaan dalam kebajikan). Mungkin ada baiknya otak kita tidak diokupasi oleh prakonsepsi tentang setiap lembaga yang bersifat menghakimi.

Pengasosiasian KPK sebagai "cicak" dan Polri sebagai "buaya" menyiratkan bias penghakiman tersebut, sekalipun faktanya memang demikian. Dalam hal ini, pertarungan Cicak vs Buaya dipersepsikan sebagai pertarungan antara yang baik (KPK) vs yang jahat (Polri).

Langkah alternatif

Menyikapi "habisnya" pimpinan KPK, Presiden dapat mempertimbangkan salah satu dari ketiga langkah alternatif berikut ini. Pertama, Presiden segera mengambil langkah darurat untuk mengangkat Pelaksana tugas (Plt) yang diambilkan dari unsur internal KPK sendiri.

Kedua, Presiden segera mengganti semua unsur pimpinan KPK yang beperkara dengan merekrut pimpinan yang baru. Ketiga, membiarkan pimpinan KPK lowong hingga waktu pemilihan pimpinan baru tiba. Apa pun langkah yang diambil Presiden tidak akan berpengaruh terhadap kinerja KPK secara kelembagaan karena tiap-tiap divisi yang ada di dalamnya telah memiliki agenda dan programnya masing-masing.

Pendek kata, upaya meruntuhkan mitos "orang suci" KPK—seharusnya—tidak akan berpengaruh terhadap kinerja lembaga itu jika yang bekerja adalah sistem, bukan orang per orang. Habisnya unsur pimpinan di KPK tidak berarti eksistensi lembaga ini habis.

Sejalan dengan itu, intervensi Presiden dalam perseteruan KPK-Polri tidak untuk menyelamatkan orang per orang, tetapi demi eksistensi kelembagaannya.

MASDAR HILMY
Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011686738 
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pertaruhan Politik Jokowi (Syamsuddin Haris)

MENGAPA Jokowi tidak kunjung hadir sebagai seorang presiden yang hanya tunduk kepada konstitusi dan kehendak rakyat seperti janji sebelum pemilu? Mengapa Jokowi menjadi seorang peragu dan tak berdaya menghadapi konflik KPK dan Polri? Mengapa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diam saja?

Barangkali itulah beberapa di antara begitu banyak pertanyaan publik yang dilontarkan dalam beberapa hari terakhir. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi bahan obrolan dan diskusi di mana pun di seantero negeri, dari tingkat warung kopi kaki lima hingga kafe hotel bintang lima, dari pasar becek hingga pasar saham di lantai bursa. Kita semua ingin memperoleh kepastian, apakah Indonesia di bawah Jokowi semakin maju atau malah mundur. Para pelaku usaha, misalnya, ingin memastikan, apakah kemelut politik yang tengah bergolak di pusaran Istana akan berkepanjangan sehingga berimplikasi, bukan hanya pada masa depan bisnis dan investasi, melainkan juga kelangsungan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Ironisnya, jawaban yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung hadir. Ketika satu peristiwa belum sepenuhnya terungkap dan belum jelas duduk persoalannya, peristiwa lain sudah muncul. Itulah yang kita alami hari-hari ini. Ketika Presiden Jokowi mengajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kepala Polri dan belum sempat dibahas oleh Komisi III DPR, KPK menetapkan BG sebagai tersangka tindak pidana suap dan korupsi. Kompleksitas masalah bertambah tatkala DPR, kecuali Fraksi Demokrat, menyetujui penunjukan BG sebagai calon Kapolri. Dihadapkan pada meluasnya tuntutan publik agar Presiden mencabut kembali pencalonan BG, Jokowi akhirnya memilih untuk menunda pelantikan BG sebagai Kapolri.

Karut-marut persoalan semakin melebar ketika Bareskrim Polri, diduga tanpa sepengetahuan Komjen Badrodin Haiti selaku pemimpin sementara Polri, menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW). Atas tekanan publik, BW yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan turut serta mengarahkan pemberian kesaksian palsu kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010 akhirnya ditangguhkan penahanannya. Belakangan, Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK lainnya, Adnan Pandu Praja, dilaporkan pula melakukan pelanggaran hukum di masa lalu.

Otoritas presiden

Presiden dalam skema presidensial pada dasarnya memiliki otoritas apa pun yang diperlukan untuk menyelamatkan bangsa selama masih berada dalam koridor konstitusi. Dalam keadaan kegentingan memaksa, misalnya, presiden memiliki instrumen peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika dianggap perlu mengeluarkan kebijakan strategis di saat persetujuan parlemen sulit diperoleh dalam jangka pendek.  Otoritas yang diberikan konstitusi itu memberikan ruang kepada presiden untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan jika kepentingan kolektif bangsa kita mengharuskannya demikian.

Oleh karena itu, jika terdapat indikasi kuat bahwa Polri melakukan kriminalisasi terhadap KPK, presiden atas nama kepentingan bangsa dan negara bisa memerintahkan pimpinan Polri untuk menghentikan penyidikan atas BW. Jajaran Polri adalah aparat penegak hukum yang berada di bawah kekuasaan eksekutif presiden sehingga perintah atau instruksi presiden kepada pimpinan Polri tidak dapat dikategorikan sebagai campur tangan atau intervensi dalam proses hukum.

Dalam konteks pencalonan Kapolri, jika pemberantasan korupsi menjadi agenda kolektif bangsa kita dan menjadi visi pemerintahan Jokowi, tidak ada pilihan lain bagi presiden selain menarik kembali pencalonan tersangka BG yang telah disetujui DPR. Seseorang dalam status tersangka tindak pidana khusus bukan saja tidak pantas, tetapi juga tidak memiliki dasar moral untuk menduduki suatu jabatan publik, apalagi menjadi orang nomor satu di institusi kepolisian negara.

Pelantikan pejabat publik yang berstatus tersangka tindak pidana suap dan korupsi adalah preseden buruk yang hampir pasti akan menghancurkan bangsa kita ke depan.

Tekanan politik Megawati?

Kita percaya, Presiden Jokowi sangat memahami soal-soal ini, termasuk otoritas politik besar yang dimilikinya selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dengan otoritas yang dimilikinya, Jokowi sebenarnya tak perlu membentuk tim independen yang terdiri atas sembilan tokoh masyarakat untuk menyelesaikan karut-marut konflik baru antara KPK dan Polri. Namun, karena dihadapkan pada tekanan politik bertubi-tubi dan sulit dihindari dari lingkaran dalam lingkungan Istana, Jokowi membutuhkan "tangan lain" untuk membenarkan pilihan-pilihan politik yang telah disiapkannya sendiri.

Lalu, dari mana dan kekuatan politik apa yang mampu menekan seorang presiden? Secara umum tekanan politik tentu saja berasal dari partai politik pengusung Jokowi. Namun, secara khusus tampaknya sulit bagi Jokowi untuk mengelak jika suatu usulan personalia calon pejabat publik berasal dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Jokowi bukan hanya dikenal sangat loyal kepada "sang Ibu" yang memberikan kesempatan kepadanya menjadi calon presiden melalui partai banteng.

Dugaan ini didasarkan pada beberapa fakta. Pertama, Presiden Jokowi tetap mengajukan nama BG meskipun KPK sudah mengingatkan bahwa jenderal polisi berbintang tiga tersebut disinyalir memiliki rekening bermasalah. Kedua, tak lama setelah KPK menetapkan status tersangka bagi BG seusai diajukan oleh presiden ke DPR, jajaran PDI-P yang dimotori Hasto Kristiyanto, pelaksana tugas sekretaris jenderal, segera melakukan manuver politik dengan cara memojokkan Ketua KPK Abraham Samad terkait aktivitas lobi-lobi politik Samad saat Jokowi tengah mencari pasangan capres menjelang Pilpres 2014.

Ketiga, agak mengherankan bahwa jajaran PDI-P sebagai basis politik Jokowi cenderung bungkam dalam menyikapi tindak kriminalisasi terhadap BW khususnya dan KPK pada umumnya. Ada kesan kuat bahwa jajaran partai banteng meradang sehingga membiarkan Jokowi sendirian, baik dalam menyelesaikan konflik KPK versus Polri maupun terkait status BG yang ditunda pelantikannya sebagai calon Kapolri.

Pertaruhan politik

Sebagai parpol terbesar hasil Pemilu 2014 dan pengusung Jokowi, PDI-P semestinya turut mengawal pemerintahan Jokowi-Kalla dengan cara memastikan agar kepentingan bangsa berada di atas kepentingan partai dan golongan. Adalah suatu kekeliruan jika ada anggapan bahwa Jokowi menjadi presiden karena "jasa" parpol atau tokoh tertentu. Jokowi bukanlah presiden bagi sekelompok parpol koalisi, atau presiden yang hanya berada di balik bayang-bayang kepentingan para ketua umum parpol pendukung.

Bagi Presiden Jokowi, pertaruhan politik yang dihadapi saat ini bukan semata-mata menyelesaikan konflik KPK-Polri, memastikan nasib BG, serta menghindari kriminalisasi satu institusi atas yang lain. Pertaruhan politik terbesar Jokowi adalah bagaimana ia bisa kembali menjadi dirinya sendiri. Kepercayaan publik akan runtuh seketika jika Jokowi mengorbankan reputasinya demi loyalitas sempit kepada partai.

Oleh karena itu, sesuai janji sebelum pemilu, Jokowi harus menjadi presiden bagi Republik ini dengan hanya tunduk kepada konstitusi dan berdiri tegak lurus di atas kemauan rakyat.

SYAMSUDDIN HARIS
 
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011705834  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.


Pertaruhan Politik Jokowi

Oleh:     

MENGAPA Jokowi tidak kunjung hadir sebagai seorang presiden yang hanya tunduk kepada konstitusi dan kehendak rakyat seperti janji sebelum pemilu? Mengapa Jokowi menjadi seorang peragu dan tak berdaya menghadapi konflik KPK dan Polri? Mengapa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diam saja?

Barangkali itulah beberapa di antara begitu banyak pertanyaan publik yang dilontarkan dalam beberapa hari terakhir. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi bahan obrolan dan diskusi di mana pun di seantero negeri, dari tingkat warung kopi kaki lima hingga kafe hotel bintang lima, dari pasar becek hingga pasar saham di lantai bursa. Kita semua ingin memperoleh kepastian, apakah Indonesia di bawah Jokowi semakin maju atau malah mundur. Para pelaku usaha, misalnya, ingin memastikan, apakah kemelut politik yang tengah bergolak di pusaran Istana akan berkepanjangan sehingga berimplikasi, bukan hanya pada masa depan bisnis dan investasi, melainkan juga kelangsungan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Ironisnya, jawaban yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung hadir. Ketika satu peristiwa belum sepenuhnya terungkap dan belum jelas duduk persoalannya, peristiwa lain sudah muncul. Itulah yang kita alami hari-hari ini. Ketika Presiden Jokowi mengajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kepala Polri dan belum sempat dibahas oleh Komisi III DPR, KPK menetapkan BG sebagai tersangka tindak pidana suap dan korupsi. Kompleksitas masalah bertambah tatkala DPR, kecuali Fraksi Demokrat, menyetujui penunjukan BG sebagai calon Kapolri. Dihadapkan pada meluasnya tuntutan publik agar Presiden mencabut kembali pencalonan BG, Jokowi akhirnya memilih untuk menunda pelantikan BG sebagai Kapolri.

Karut-marut persoalan semakin melebar ketika Bareskrim Polri, diduga tanpa sepengetahuan Komjen Badrodin Haiti selaku pemimpin sementara Polri, menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW). Atas tekanan publik, BW yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan turut serta mengarahkan pemberian kesaksian palsu kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010 akhirnya ditangguhkan penahanannya. Belakangan, Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK lainnya, Adnan Pandu Praja, dilaporkan pula melakukan pelanggaran hukum di masa lalu.

Otoritas presiden

Presiden dalam skema presidensial pada dasarnya memiliki otoritas apa pun yang diperlukan untuk menyelamatkan bangsa selama masih berada dalam koridor konstitusi. Dalam keadaan kegentingan memaksa, misalnya, presiden memiliki instrumen peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika dianggap perlu mengeluarkan kebijakan strategis di saat persetujuan parlemen sulit diperoleh dalam jangka pendek.  Otoritas yang diberikan konstitusi itu memberikan ruang kepada presiden untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan jika kepentingan kolektif bangsa kita mengharuskannya demikian.

Oleh karena itu, jika terdapat indikasi kuat bahwa Polri melakukan kriminalisasi terhadap KPK, presiden atas nama kepentingan bangsa dan negara bisa memerintahkan pimpinan Polri untuk menghentikan penyidikan atas BW. Jajaran Polri adalah aparat penegak hukum yang berada di bawah kekuasaan eksekutif presiden sehingga perintah atau instruksi presiden kepada pimpinan Polri tidak dapat dikategorikan sebagai campur tangan atau intervensi dalam proses hukum.

Dalam konteks pencalonan Kapolri, jika pemberantasan korupsi menjadi agenda kolektif bangsa kita dan menjadi visi pemerintahan Jokowi, tidak ada pilihan lain bagi presiden selain menarik kembali pencalonan tersangka BG yang telah disetujui DPR. Seseorang dalam status tersangka tindak pidana khusus bukan saja tidak pantas, tetapi juga tidak memiliki dasar moral untuk menduduki suatu jabatan publik, apalagi menjadi orang nomor satu di institusi kepolisian negara.

Pelantikan pejabat publik yang berstatus tersangka tindak pidana suap dan korupsi adalah preseden buruk yang hampir pasti akan menghancurkan bangsa kita ke depan.

Tekanan politik Megawati?

Kita percaya, Presiden Jokowi sangat memahami soal-soal ini, termasuk otoritas politik besar yang dimilikinya selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dengan otoritas yang dimilikinya, Jokowi sebenarnya tak perlu membentuk tim independen yang terdiri atas sembilan tokoh masyarakat untuk menyelesaikan karut-marut konflik baru antara KPK dan Polri. Namun, karena dihadapkan pada tekanan politik bertubi-tubi dan sulit dihindari dari lingkaran dalam lingkungan Istana, Jokowi membutuhkan "tangan lain" untuk membenarkan pilihan-pilihan politik yang telah disiapkannya sendiri.

Lalu, dari mana dan kekuatan politik apa yang mampu menekan seorang presiden? Secara umum tekanan politik tentu saja berasal dari partai politik pengusung Jokowi. Namun, secara khusus tampaknya sulit bagi Jokowi untuk mengelak jika suatu usulan personalia calon pejabat publik berasal dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Jokowi bukan hanya dikenal sangat loyal kepada "sang Ibu" yang memberikan kesempatan kepadanya menjadi calon presiden melalui partai banteng.

Dugaan ini didasarkan pada beberapa fakta. Pertama, Presiden Jokowi tetap mengajukan nama BG meskipun KPK sudah mengingatkan bahwa jenderal polisi berbintang tiga tersebut disinyalir memiliki rekening bermasalah. Kedua, tak lama setelah KPK menetapkan status tersangka bagi BG seusai diajukan oleh presiden ke DPR, jajaran PDI-P yang dimotori Hasto Kristiyanto, pelaksana tugas sekretaris jenderal, segera melakukan manuver politik dengan cara memojokkan Ketua KPK Abraham Samad terkait aktivitas lobi-lobi politik Samad saat Jokowi tengah mencari pasangan capres menjelang Pilpres 2014.

Ketiga, agak mengherankan bahwa jajaran PDI-P sebagai basis politik Jokowi cenderung bungkam dalam menyikapi tindak kriminalisasi terhadap BW khususnya dan KPK pada umumnya. Ada kesan kuat bahwa jajaran partai banteng meradang sehingga membiarkan Jokowi sendirian, baik dalam menyelesaikan konflik KPK versus Polri maupun terkait status BG yang ditunda pelantikannya sebagai calon Kapolri.

Pertaruhan politik

Sebagai parpol terbesar hasil Pemilu 2014 dan pengusung Jokowi, PDI-P semestinya turut mengawal pemerintahan Jokowi-Kalla dengan cara memastikan agar kepentingan bangsa berada di atas kepentingan partai dan golongan. Adalah suatu kekeliruan jika ada anggapan bahwa Jokowi menjadi presiden karena "jasa" parpol atau tokoh tertentu. Jokowi bukanlah presiden bagi sekelompok parpol koalisi, atau presiden yang hanya berada di balik bayang-bayang kepentingan para ketua umum parpol pendukung.

Bagi Presiden Jokowi, pertaruhan politik yang dihadapi saat ini bukan semata-mata menyelesaikan konflik KPK-Polri, memastikan nasib BG, serta menghindari kriminalisasi satu institusi atas yang lain. Pertaruhan politik terbesar Jokowi adalah bagaimana ia bisa kembali menjadi dirinya sendiri. Kepercayaan publik akan runtuh seketika jika Jokowi mengorbankan reputasinya demi loyalitas sempit kepada partai.

Oleh karena itu, sesuai janji sebelum pemilu, Jokowi harus menjadi presiden bagi Republik ini dengan hanya tunduk kepada konstitusi dan berdiri tegak lurus di atas kemauan rakyat.

SYAMSUDDIN HARIS
 
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011705834  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jumat, 30 Januari 2015

WAWANCARA KHUSUS ”KOMPAS” Joko Widodo: Konsolidasi Masih Belum Selesai

SELASA (27/1), sebenarnya, genap 100 hari pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Meski demikian, Presiden Jokowi tak mau menggunakan waktu itu sebagai ukuran untuk menilai kinerja. Bagi keduanya, setelah dilantik MPR pada 20 Oktober 2014 hingga lima tahun mendatang merupakan waktu penuh bekerja untuk rakyat.

Di tengah ketegangan politik akibat perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri menyusul pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri serta penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Jokowi justru blusukanmeninjau bakal kawasan ekonomi khusus Sei Mangkei, Pelabuhan Kuala Tanjung, dan Inalum di Sumatera Utara.

Ditemui Kompas, Sabtu (24/1), di Kantor Kepresidenan, Presiden tak ingin mandat yang diterimanya dinilai terbatas dalam waktu 100 hari. Alasannya, konsolidasi di kementerian dan daerah masih belum selesai. "Konsolidasi organisasi kita, baik di kementerian maupun daerah, masih berjalan," kata Presiden.

Karena itu, Presiden secara bertahap mengumpulkan gubernur, bupati, wali kota, serta pimpinan militer, kepolisian, dan kejaksaan semua daerah. "Kami menjelaskan apa visi serta target yang ingin dicapai lima tahun mendatang," ujar Jokowi.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Presiden.

Sudah 100 hari bekerja. Apa yang membedakan Pak Jokowi saat menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta?

Sama saja. Dulu di Solo cakupannya kecil, juga DKI. Sekarang presiden cakupannya besar. Dulu di Solo hanya 5 kecamatan dan di DKI ada 5 kota. Sekarang ada 500 lebih kabupaten/kota dan 34 provinsi. Bedanya itu, tapi manajemen sama saja.

Adakah yang berubah dari pola kepemimpinan?

Tidak, ini bawaan dari kecil, dari bayi. Biasanya, awal-awal seperti ini, ada masa orientasi, masa pengenalan, identifikasi masalah, konsolidasi organisasi, perencanaan, dan pelaksanaan setelah diputuskan. Karena memang itu yang paling penting.

Sekarang konsolidasi sudah berakhir?

Belum.

Berapa lama?

Ini tergantung menterinya, tergantung masalah di kementerian. Berdasarkan pengalaman, konsolidasi di wali kota dan gubernur, paling tidak enam bulan untuk betul-betul mengerti persoalan.

Apakah menteri mampu menerapkan visi-misi Presiden?

Banyak yang sudah bisa menerjemahkan, tetapi ada yang belum. Jadi, inilah yang namanya konsolidasi organisasi. Kami dengan bupati kemarin baru dua kali, rencana lima kali pertemuan. Kami kemarin hanya mengumpulkan 100 orang dari sekitar 500 bupati karena kami ingin diskusi dari hati ke hati dua arah sehingga masalah di daerah betul-betul tertampung, teridentifikasi secara rinci agar keputusannya menjadi kebijakan yang dibutuhkan di lapangan. Itulah mengapa kita banyak pergi ke lapangan. Kadang-kadang yang dibaca hanya kunjungannya. Bukan itu, tapi tahu dan bisa mengidentifikasi masalahnya.

Pada saatnya ada evaluasi terhadap anggota kabinet?

Biasanya seperti itu, ada target jika bekerja. Ada evaluasi, ada usaha memperbarui. Biasanya enam bulan baru kita lihat. Konsentrasi kita nanti akan ke pangan, energi, dan infrastruktur. Khusus pangan, kami identifikasi semuanya. Problemnya sudah kelihatan semua. Distribusi benih dan pupuk yang terlambat serta irigasi yang rusak. Begitu juga suplai air waduk. Sekarang tinggal merancang kapan dikirim. Problemnya hanya distribusi karena benih dan pupuk harus dilelang. Lelang itu butuh waktu 45-65 hari. Saya pelajari masalahnya, ternyata ada di pengadaan dan jasa. Itulah yang saya potong. Sekarang benih dan pupuk tak dilelang.

Apa yang dilakukan sepertinya ideal, mulai dari perencanaan hingga kontrol berada di tangan Presiden, termasuk blusukan, apakah memang seperti itu?

Kami terapkan manajemen perencanaan dan konsolidasi organisasi yang terus berjalan. Manajemen kontrol kami siapkan. BPKP langsung di bawah Presiden. Di situ ada 6.000 auditor untuk mengecek proyek sehingga saya harapkan kualitas, jumlah, dan realisasi bisa diikuti tiap hari, minggu, dan bulan. Begitu juga kalau ada proyek macet bisa ditangani. Inilah yang akan terus kami lakukan, baik dengan menteri, kepala daerah, maupun dengan rakyat. Karena apa pun kami perlu banyak mendengar dan baru kemudian memutuskan. Enggak usah sok pinter.

Ada ruang fiskal tahun 2015 Rp 230 triliun. Apakah ada proyek masterpeace yang disiapkan?

Kalau dari Rp 230 triliun, kemarin, kami arahkan Rp 48 triliun ke BUMN, terutama yang berkaitan dengan infrastruktur. Termasuk PT KAI dan infrastruktur di laut, udara, dan darat. Saya perintahkan tahun ini penyertaan modal negara harus sudah dimulai. Untuk jalan tol Trans-Sumatera, perkiraan saya Maret atau April bisa dimulai. Kami buat jalan itu lebar 100 meter. Di sebelah kiri ada transmisi listrik, tengahnya dua jalur tol. Sebelah kanannya kereta api. Diharapkan 3-4 tahun selesai.

Bagaimana mengatasi proses hukum yang kadang menjebak?

Memang, kalau kita lihat, yang menyulitkan kami kalau tercantum di undang-undang, itu harus revisi di Dewan. Tapi, yang berhubungan dengan perpres dan PP, kami sederhanakan agar tak menyulitkan pelaku lapangan, baik dinas, kementerian, maupun badan. Jangan sampai payung hukum tak jelas sehingga tafsir bisa bermacam-macam. Saya sampaikan kepada KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri agar ikut mendorong proses pengadaan berjalan. Pelaksananya tidak takut menjadi pimpinan proyek dan tidak takut melakukan proses pengadaan.

Ada spekulasi, Presiden di bawah pengaruh pihak tertentu sehingga tidak otonom. Dalam kasus KPK-Polri, sebetulnya apa yang terjadi?

Kalau saya minta pendapat seseorang, bukan berarti orang itu memengaruhi saya. Sebab, tipikal saya memang mendengar banyak orang. Dengan siapa pun-lah. Coba tanya ajudan (menunjuk ajudan dinasnya), sering saya minta pendapat atau tidak? Betul, kan? Apalagi jika ada yang senior. Tapi, keputusan akhir, kan, tetap di saya, mana yang masuk logika, mana yang masuk kalkulasi, dan mana yang tidak. Kalau dibaca saya dipengaruhi, ya, silakan melihat dan menafsirkan. Kalau rapat pun, saya lebih banyak mendengarkan menteri daripada ngomong.

Di antara orang yang banyak datang, siapa yang paling berpengaruh?

Biasa saja. Kalau urusannya politik, ya, tentu saya dengar dengan yang berhubungan dengan politik. Kalau berhubungan dengan ekonomi, masa saya tanya ke yang politik, kan, tidak ada logikanya.

Setelah 100 hari dilalui, Presiden optimistis melihat masa depan bangsa?

Kalau ke lapangan, kelihatan semuanya. Masalahnya terang benderang. Sekarang tinggal konsolidasi organisasi, terutama di birokrasi agar mereka mengerti apa yang kita inginkan sehingga mereka beri dukungan agar menjadi visi bersama.

Koalisi Merah Putih yang semula bakal jadi hambatan di DPR ternyata mulus?

Kalau melihat kondisi politik seperti ini, saya kira DPR mendukung. Saya sudah bicara dengan beliau-beliau. Komunikasi dengan pimpinan DPR sangat baik.

Terkait perseteruan KPK versus Polri, apa yang Presiden sarankan kepada pimpinan kedua lembaga itu untuk mengakhiri kegaduhan politik?

Kemarin sudah saya sampaikan. Kan, sudah ada pertemuan di Istana Bogor (menghela napas dan mengambil catatan). Saya sampaikan bahwa KPK dan Polri harus bahu-membahu berantas korupsi. Kita lihat, dan banyak juga yang melihat, secara institusi, kedewasaan kita belum sampai ke sana. Jadi, menurut saya, kita harus beri ruang kepada KPK dan Polri untuk membuktikan mereka bertindak benar dan tidak sok di atas hukum.

Itu akan memakan waktu. Apakah situasinya akan dibiarkan seperti itu?

Kalau kita mengintervensi proses hukum, nanti diteriaki. Sudah, kita sepakat saja, tegas dan menyatakan institusi KPK dan Polri harus diselamatkan. Kita juga sepakat, KPK dan Polri harus bersih sehingga bisa menjaga kewibawaan hukum. Polri, KPK, Kejagung, semuanya harus bisa berikan cerminan itu. MA juga harus jaga kewibawaan institusi penegak hukum. KPK dan Polri harus berani membuat itu terang benderang dan tuntas agar bacaan masyarakat itu benar.

Posisi calon Kapolri apakah akan tetap status quo?

Ada waktunya.

Presiden punya target waktu?

Tidak bisa saya sampaikan. Tetapi, agar prosesnya berjalan dengan baik, jangan ada intervensi dari siapa pun, baik dari LSM, parpol, pejabat, maupun dari saya sendiri.

Jadi, KPK dan Polri dibiarkan selesaikan sendiri?

Tentu tidak, kalau sudah masuk kewenangan saya, pasti akan saya pakai, dong. Tapi, kalau kita mengintervensi proses hukum, kan, itu tidak bisa.

Proses hukum di kedua lembaga sudah berjalan. Apakah anggota Polri diminta ikuti panggilan KPK agar prosesnya cepat?

Itu proses hukum yang harus dijalani.

(NDY/WHY/SON/FER/NWO/OSD/NMP/BDM/HAR)
Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011698801 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

100 HARI PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF KALLA: Pekerjaan Raksasa Kedaulatan Energi

LISTRIK  menjadi salah satu persoalan serius di masa mendatang. Diperkirakan, dua atau tiga tahun lagi akan terjadi krisis listrik, terutama pada sistem Jawa-Madura-Bali.

Pasokan listrik diperlukan sekitar 6.000 megawatt (MW) sampai 7.000 MW per tahun. Namun, hanya separuhnya yang bisa disediakan. Alhasil, ketersediaan tenaga listrik menjadi syarat mutlak untuk menyerap investasi di dalam negeri dan menjadi penggerak ekonomi nasional.

Presiden Joko Widodo lantas membuat gebrakan yang bagi sebagian orang terasa agak mustahil, yaitu membangun pembangkit listrik 35.000 MW dalam kurun 2015-2019. Wajar jika ada yang pesimistis lantaran pemerintahan sebelum ini membangun 10.000 MW saja molor dan kemajuannya baru 75 persen.

Terhadap penilaian pesimistis itu, dalam wawancara khusus dengan harian Kompas, Joko Widodo mengungkapkan, target besar itu dikerjakan bersama-sama, baik PT PLN (Persero) maupun swasta. PT PLN diharapkan dapat menangani pembangunan pembangkit 10.000 MW dan swasta sebesar 25.000 MW.

Jokowi mengatakan, pembangunan pembangkit selama ini kerap gagal atau berlarut-larut karena proses perizinan yang panjang dan negosiasi harga jual listrik. Karena itu, pemerintah berencana menetapkan harga saat negosiasi harga jual listrik, antara investor, PT PLN, atau perusahaan pemasok bahan bakar pembangkit, termasuk PT PGN, saat membangun pembangkit listrik.

Jika investor tak sepakat dengan harga jual, pemerintah dapat mencari investor lain yang lebih mampu secara finansial dan teknologi.

Perminyakan juga menjadi perhatian serius pemerintah. Pemerintah melalui perusahaan negara PT Pertamina (Persero) menginisiasi program pengembangan kilang Refinery Development Master Plan (RDMP) Program. Menggandeng tiga perusahaan asal Tiongkok, Jepang, dan Arab Saudi, lima kilang milik Pertamina akan dinaikkan kapasitas produksinya dari 820.000 barrel per hari (bph) menjadi 1,6 juta bph. Nilai investasi dalam program itu 25 miliar dollar AS.

Kendati masih sebatas penandatanganan nota kesepahaman pada 10 Desember 2014, upaya itu patut diapresiasi. Terakhir kali, kilang minyak dibangun pada 1995. Bahkan, sebagian kilang dibangun pada 1922. Usia kilang yang tua dirasa kurang produktif dan tidak banyak menghasilkan variasi produk turunan minyak mentah dan harganya lebih mahal 104-109 persen dari harga Mean of Platts Singapore (MOPS).

Di sektor mineral dan batubara, pemerintah masih harus melaksanakan amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Enam hal penting sebagai amanat UU itu adalah negosiasi ulang terhadap pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Keenam hal itu adalah luas wilayah pertambangan, kelanjutan operasi, pemanfaatan barang dan jasa di dalam negeri, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter), penerimaan negara, serta kewajiban divestasi. Keenam hal yang mesti dipatuhi perusahaan pemegang KK dan PKP2B untuk meningkatkan nilai tambah bahan tambang di dalam negeri. Dari proses negosiasi ulang itu, baru 87 KK dan PKP2B yang sepakat.

Pemerintah telah memangkas subsidi BBM pada 18 November 2014. Namun, kebijakan itu kurang dibarengi analisis penurunan harga minyak dunia. Sampai akhir tahun 2014, harga minyak terus merosot di bawah 70 dollar AS per barrel sehingga memaksa pemerintah menurunkan harga bensin dan solar pada 1 Januari 2015.

Sejak harga BBM dinaikkan November tahun lalu, harga kebutuhan pokok turut terkatrol. Saat harga BBM diturunkan pemerintah sampai dua kali selama bulan Januari 2015, harga kebutuhan pokok enggan turun.

Jadikan pelajaran

Soal listrik, pemerintah sebaiknya belajar dari pengalaman lalu. Ada sedikit harapan saat pemerintah melakukan uji tuntas terhadap kontraktor swasta yang ingin terlibat yang dilakukan lembaga independen terhadap kemampuan teknis dan finansial.

Perizinan dipermudah lewat sistem satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Untuk mempermulus koordinasi lintas sektoral sampai tingkat kementerian, pemerintah menyiapkan peraturan presiden tentang tim percepatan pembangunan pembangkit 35.000 MW. Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Koordinator Kemaritiman duduk sebagai pengarah, sedangkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai ketua pelaksana harian.

Untuk pembebasan lahan, pemerintah didukung UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Rakyat tinggal membuktikan saja apakah segala terobosan itu jitu benar digunakan untuk mewujudkan program listrik 35.000 MW dalam waktu lima tahun.

Pemerintah juga mulai menertibkan perizinan pertambangan. Seluruh izin usaha pertambangan (IUP) wajib berstatus clear and clean (CNC), yaitu izin tidak tumpang tindih dan sesuai ketentuan. Melalui status CNC, data cadangan bahan tambang dapat diketahui dan ini akan meningkatkan pembayaran penerimaan negara bukan pajak.

Dari 10.918 IUP, baru 6.041 IUP bersertifikat CNC. Pemerintah memperingatkan akan mencabut IUP perusahaan yang tidak bersertifikat.

Cadangan energi dalam negeri terbilang rawan. Cadangan operasional BBM hanya mencukupi kebutuhan 18 hari. Pemerintah punya target menaikkan cadangan BBM minimal 30 hari. Hanya saja, realisasi rencana itu masih jauh panggang dari api.

Dewan Energi Nasional merekomendasikan agar pemerintah memanfaatkan momentum jatuhnya harga minyak untuk menimbun sebanyak-banyaknya untuk kebutuhan di dalam negeri. Sayangnya, momentum ini tak bisa diambil lantaran belum siapnya kilang penyimpanan dalam negeri.

Tantangan lain, terus mengembangkan energi baru dan terbarukan di tengah anjloknya harga minyak dunia. Begitu juga program konversi BBM ke gas harus tetap digalakkan. Kedua program itu belum tampak di dalam rencana kerja Kabinet Kerja.

Umur kerja kabinet 100 hari memang belum bisa jadi ukuran kinerja sebenarnya. Yang penting, negara tetap menunjukkan kedaulatan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, yaitu "Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Bukan kepentingan kelompok apalagi segelintir orang.

(Aris Prasetyo/ Ferry Santoso)
Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011710764 
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

100 HARI PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF KALLA: Dari Rencana ke Realisasi Program

SELAMA 100 hari pemerintahannya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden Joko Widodo mengatakan masih banyak yang belum bisa dilakukan meskipun sejumlah program dan proyek sudah dirancang.

Selain pemerintahannya terus berkonsolidasi, Presiden Jokowi juga menganggap tak mudah menjalankan program dan proyek jika tak ditopang perubahan perilaku dan sikap sehari-hari.

Revolusi mental yang menjadi andalan selama kampanye dan diharapkan menjadi salah satu landasan, misalnya, belum tampak adanya implementasi terutama dalam contoh kehidupan sehari-hari. Jadi, memang tidak mudah. "Yang penting ada komitmen untuk berubah dan kita sudah memulainya meski belum menjalankan itu semua," ujar Presiden Jokowi saat ditanya Kompas di sela-sela pengambilan gambar di halaman Istana Negara, Jakarta, Sabtu (25/1).

Dasar perubahan

Revolusi mental menjadi dasar mengubah perilaku lama menuju yang baru. Perilaku korup yang selama ini ada harus dikikis. Mental aparat yang kerap ingin dilayani harus diubah melayani. Itulah sebabnya mengapa ratusan ahli perencanaan pembangunan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan ribuan auditor di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan langsung berada di bawah Presiden yang ingin memastikan pengawasannya.

Beberapa kali dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengatakan, sebelum menjalankan program dan proyek pembangunan, pemerintah butuh perencanaan anggaran yang baik dan matang, perangkat aturan, anggaran, sumber daya manusia, dan komitmen tinggi.

Sejumlah program kini sudah disiapkan. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, sejumlah program dan proyek direncanakan, mulai dari pembangunan waduk, pembangkit listrik tenaga uap dan tenaga air, jalan tol, jalur kereta api, bandara, pelabuhan, hingga tol laut untuk menjadikan Indonesia poros maritim dunia.

Jalan setelah 100 hari

Diharapkan, pembangunan program dan proyek berjalan setelah 100 hari pembentukan Kabinet Kerja. Selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penguatan kapasitas fiskal, juga adanya stabilitas moneter, reindustrialisasi, peningkatan investasi,
dan peningkatan perdagangan dalam negeri. Pemerintah juga berharap dapat meningkatkan daya saing UMKM dan koperasi serta mengurangi jumlah pekerja migran dengan pengurangan angka kemiskinan dan meningkatkan pelaksanaan sistem jaminan sosial.

Busana kerja berwarna putih pun digulung. Jokowi-JK sudah bergerak dan bekerja setelah dilantik. Namun, hasil-hasilnya seperti apa masih dinanti.

Waktu 100 hari ini sangat menentukan keberhasilan mewujudkan janji-janji untuk menyejahterakan rakyat.

(ANDY RIZA HIDAYAT/C WAHYU HARYO/SONYA HELLEN SINOMBOR/SUHARTONO)
Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011710117 
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

100 HARI PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF KALLA: Janji yang Tak Tampak


100 HARI PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF KALLA

Janji yang Tak Tampak

SESUAI agenda Nawa Cita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pemerintah ingin mewujudkan kemandirian pangan.

Dalam praktiknya, agenda membangun program kemandirian pangan dan kesejahteraan produsen pangan, yakni petani, kerap terabaikan. Pemerintah terlalu fokus pada target pencapaian swasembada pangan yang keberhasilannya lebih mudah diukur dan pencapaiannya lebih mudah daripada memprioritaskan peningkatan kesejahteraan petani.

Ada masalah yang tidak pernah diungkap transparan, yakni seberapa besar peningkatan pendapatan petani bisa dicapai melalui peningkatan produktivitas dan luas areal pertanaman.

Jika pendapatan petani naik, apakah mereka menjadi sejahtera? Apakah pendapatan yang naik sedikit itu tidak akan tergerus inflasi akibat naiknya kebutuhan hidup, atau justru lebih parah lagi kenaikan pendapatan yang sedikit itu tertimbun inflasi?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 1993-2013 rata-rata peningkatan produktivitas petani hanya 0,82 persen. Pada periode yang sama, inflasi rata-rata meningkat 11,3 persen per tahun. Dari data ini terlihat, daya beli dan tingkat kesejahteraan petani berangsur-angsur turun. Kondisi ini bisa menjadi alasan berkurangnya 5,1 juta rumah tangga petani pada 2003-2013.

Pendapatan petani pangan rata-rata Rp 1 juta per bulan. Jumlah ini jauh di bawah pendapatan buruh pabrik yang rata-rata sudah di atas Rp 2 juta per bulan.

Saat ini, lebih dari 5 juta rumah tangga petani (RTP) memiliki luas lahan kurang dari 0,5 hektar. Dengan asumsi setiap RTP terdiri atas empat orang, ada 20 juta jiwa yang menggantungkan pendapatan pada lahan 0,5 hektar itu.

Jamak terjadi, petani tidak selalu panen akibat serangan hama-penyakit dan perubahan iklim global. Peningkatan produktivitas tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai, pasti meningkatkan pendapatan petani. Namun, hal itu belum tentu bisa meningkatkan kesejahteraan petani karena peningkatan pendapatan sangat terbatas.

Bagaimana dengan peningkatan indeks pertanaman (IP)? Lahan pertanian yang belum beririgasi umumnya berada di luar Pulau Jawa. Petani pangan di Jawa dikenal ulet, gigih, kreatif, dan pantang menyerah. Di mana ada air mengalir, petani akan memanfaatkannya untuk mengairi lahan. Tanpa ada saluran irigasi teknis/semiteknis, selama daerah itu terjangkau aliran air, petani akan mencetak sawah.

Di Jawa, ruang bagi peningkatan IP pangan dalam skala luas sangat sempit. Padahal, di situlah basis petani miskin. Memang di daerah-daerah tertentu di bagian tengah dan selatan Jawa, di areal perbukitan dan pegunungan, ada potensi peningkatan IP. Alasannya, sumber air sungai tersedia.

Persoalannya, skalanya kecil dan sangat tidak efisien. Misalnya, butuh investasi hingga ratusan juta rupiah untuk membangun bendung guna menaikkan elevasi air sungai untuk irigasi yang hanya memenuhi kebutuhan 50 hektar lahan.

IP di lahan itu akan naik berlipat-libat, dari satu menjadi tiga. Pertanyaannya, apakah hal itu efisien dan bisa dijalankan dengan standar penganggaran pembangunan irigasi yang berbasis pada luas lahan?

Dengan rata-rata kepemilikan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar di Jawa, petani pangan tidak bakal hidup sejahtera. Instrumen utama peningkatan pendapatan, yaitu peningkatan produktivitas dan IP, tidak mampu mendongkrak pendapatan petani gurem di Jawa secara signifikan.

Kondisi sebaliknya terjadi di luar Pulau Jawa karena rata-rata IP masih rendah, satu atau dua kali tanam dalam setahun. Luas rata-rata kepemilikan lahan pertanian di luar Jawa minimal satu hektar.

Bergema di Istana

Di Jawa sudah tahu apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana menetapkan target budidaya pertanian pangan. Sadar tidak akan bisa sejahtera dengan lahan 0,5 hektar atau kuran, petani kecil di Jawa umumnya menjadikan usaha pertanian pangan sebagai pekerjaan sambilan.

Target mereka tidak meningkatkan produktivitas setinggi-tingginya, tetapi agar bisa rutin panen setiap kali tanamsehingga memilih benih padi, jagung, atau kedelai yang biasa ditanam dan dikenali karakternya.

Tujuan utama budidaya pangan yang mereka lakukan tidak untuk meraih pendapatan setinggi-tingginya, tetapi sekadar memenuhi kebutuhan makan keluarga.

Dalam konteks ini saja sudah tidak ada kesesuaian target antara pemerintah dan petani sebagai produsen pangan. Pemerintah menggebu-gebu ingin menaikkan produktivitas dan produksi pangan. Di sisi lain, petani kecil yang merupakan persentase terbesar petani di Indonesia menjadikan target pemenuhan pangan keluarga sebagai tujuan utama. Kalau ada sisa, baru dijual. Inovasi berisiko dan mereka tidak mau mengambil risiko karena kegureman usaha taninya.

Melihat kenyataan di atas, keinginan pemerintah meningkatkan produksi pangan untuk mencapai swasembada pangan tidak sejalan dengan harapan dan keinginan petani, terutama petani kecil. Oleh karena itu, upaya membangun pencapaian swasembada pangan tidak bergaung di tingkat petani.

Gema swasembada pangan hanya ada di Istana Negara, Kementerian Pertanian, pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten, mulai senyap di kecamatan dan desa, serta denyutnya lemah di tingkat rumah tangga petani.

Program pencapaian swasembada pangan dengan anggaran besar bagaikan menepuk ruang hampa. Peningkatan produksi pangan lebih bergantung pada nasib baik dan kondisi iklim yang mendukung daripada program-program pemerintah. Tentu program itu bermanfaat, tetapi masih jauh dari yang diharapkan.

Upaya memotivasi petani agar sejahtera menjadi hal utama jika ingin mencapai swasembada pangan berkelanjutan. Upaya memotivasi yang dilakukan harus realistis dan terukur.

Kalau tidak mungkin menyejahterakan petani padi, jagung, dan kedelai, atau komoditas lain, seperti gula dan daging sapi, dengan skala usaha kecil, solusinya tentu harus meningkatkan skala usaha. Dengan meningkatkan skala usaha, pendapatan petani akan naik berlipat-lipat. (HERMAS E PRABOWO)

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011711933 


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger