Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 28 Februari 2013

Sekolah Pelanggar HAM



Oleh: Azyumardi Azra

Sekolah pelanggar HAM? Bagaimana bisa terjadi sekolah yang seharusnya merupakan tempat penyemaian kesadaran dan penegakan HAM, justru melakukan pelanggaran serius. Hal ini terkait dengan kontroversi dan penolakan berlarut-larut lima sekolah Katolik di Blitar beberapa bulan terakhir menyediakan guru Muslim untuk memberikan mata pelajaran agama Islam kepada murid-murid Muslim yang jumlahnya lebih daripada 60 persen total peserta didik sekolah bersangkutan.

Seperti diberitakan banyak media, kelima sekolah Katolik di Blitar tersebut adalah SMP Yohanes Gabriel; SMK Santo Yusuf; SD dan SMP Katolik di Jalan Yos Sudarso; SMK Katolik Diponegoro. Pengurus Yayasan dan Pimpinan Sekolah bersangkutan menyatakan, sekolah mereka adalah sekolah berciri khusus agama (Katolik) ; dan karena itu tidak wajib menyediakan guru agama lain [Islam] sesuai agama peserta didik. Bahwa sekolah Katolik dan juga agama lain seperti Kristen, Islam, Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya boleh memiliki ciri sendiri tidak perlu dipersoalkan lagi.

Hal itu sah belaka sesuai UUD 1945 dan UU tentang Sisdiknas No 20/2003. Meski bercirikan agama, jelas sekolah seperti itu bersifat terbuka, dan karenanya juga bisa menerima peserta didik beragama lain. Karena itu sangat absurd, jika sekolah menolak menyediakan guru—atau menolak menerima guru agama yang disediakan Kemendikbud/Kemendiknas atau Disdik setempat untuk memberi pelajaran agama sesuai agama murid. Sebaliknya, peserta didik justru diwajibkan mengikuti pelajaran agama Katolik sesuai ciri Yayasan atau sekolah bersangkutan. Tak heran jika ada orang berpikir tentang gut motive tersembunyi di balik penolakan itu. Kasus kelima sekolah Katolik di Blitar ini agaknya hanyalah ‘puncak’ dari gunung es lebih besar. Sangat boleh jadi masih sangat banyak sekolah berciri agama bersikap semacam itu.

Padahal jelas penolakan itu merupakan pelanggaran berlapis-lapis. Pertama, pelanggaran terhadap prinsip HAM, bahwa salah satu hak azasi manusia adalah kebebasan memeluk agama dan keyakinannya. Pelanggaran kedua adalah terhadap UUD 1945 pasal 28E ayat 1 yang menyatakan ‘setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran...’ Pelanggaran ketiga adalah terhadap UU No 20/Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang Pasal 12 menyatakan; sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama sesuai agama peserta didik, yang diajarkan guru seagama dengan murid. Pelanggaran kelima adalah terhadap PP Menteri Agama No 16/2010 tentang Pengelolaan [Penyelenggaraan] Pendidikan Agama di Sekolah. Pelanggaran kelima adalah terhadap prinsip bhinneka tunggal ika, yang menjadi salah satu dari empar bilar negara-bangsa Indonesia. Pilar ini merupakan dasar prinsip dan praktek pendidikan multi-kultural. Dalam paradigma bhinneka tunggal ika, setiap individu, kelompok, dan lembaga masyarakat—termasuk pendidikan—mesti menghormati dan mengakui keragaman, termasuk dalam hal agama, sosial, budaya, dan seterusnya.

Pelanggaran semacam itu sebetulnya tidak baru. Dalam konperensi tentang pendidikan agama di Indonesia yang diselenggarakan sebuah perguruan tinggi di Canberra, Australia, pada 2004 masalah ini juga mencuat. Seorang pembicara yang mewakili lembaga pendidikan Kristiani menyatakan, UU No 20/Tahun 2003 tentang Sisdiknas, khususnya pasal 12 telah melanggar prinsip kebebasan masyarakat menyelenggarakan pendidikan dengan ciri agama masing-masing.

Saya yang juga menjadi pembicara dalam konperensi itu membantah pernyataan tersebut dengan menyatakan sebagian pelanggaran yang disebut di atas. Lagi pula, sekolah berciri agama tersebut merupakan sekolah terbuka; berbeda dengan seminari, pesantren tafaqquh fid-din, atau diniyyah. Lembaga pendidikan seperti ini sangat khusus dan karena itu, tidak ditawarkan secara terbuka, dan peserta didiknya terbatas pada agama tertentu yang kelak diharapkan menjadi fungsionaris agama bersangkutan. Sebaliknya, jika pesantren menawarkan pendidikan umum seperti SD, SMP, SMA, dan SMK secara terbuka dan jika ada peserta didik non-Muslim dalam jumlah sesuai keketentuan UU, sekolah bersangkutan wajib menyediakan guru non-Muslim bagi para peserta didik tersebut.

Pada saat yang sama tidak mewajibkan peserta didik non-Muslim mengikuti mata pelajaran agama Islam. Contoh sangat baik dalam hal ini adalah sekolah-sekolah Muhammadiyah yang terdapat di daerah (provinsi atau kabupaten/kota) mayoritas Katolik atau Kristen (Protestan). Penelitian disertasi DR Abdul Mu’thi yang sudah dibukukan (2011) menemukan apa yang dia sebut peserta didik ‘Krismuha’—Kristiani Muhammadiyah. Sederhananya, dalam konteks ‘Krismuha’, para peserta didik non-Muslim di sekolah Muhammadiyah di tempat tertentu di NTT, Kalteng, dan Papua mendapat mata pelajaran agama (Katolik atau Kristen) yang mereka anut. Akhirnya, HAM dan toleransi tidak cukup hanya wacana. Perlu praktek kongkrit, jelas, jujur, dan ikhlas—termasuk dalam lembaga pendidikan apapun. Jika tidak, sikap semacam itu tak lain, sesuai pepatah: ‘Tiba di mata [sendiri] dipicingkan; tiba di perut [sendiri] dikempiskan’.
 
Sumber: REPUBLIKA.CO.ID, 28 Februari 2013

Politik Ambang Batas

Oleh SOEGENG SARJADI
Mencermati dinamika politik di Tanah Air akhir-akhir ini yang riuh bukan untuk hal-hal yang substansial, saya jadi teringat Moeslim Abdurrahman almarhum. Sambil makan siang di ruang kerja penulis, dia pernah mengatakan bahwa rumah civil society sejatinya kini sudah kosong.

Para penghuninya sudah lama pergi ke ranah bisnis dan politik. Sementara generasi baru terkena sindrom budaya pop akut. Mereka lebih menyukai sesuatu yang instan. Ingin cepat kaya dan menjadi pejabat meskipun kapabilitasnya belum mencukupi. Kekosongan rumah masyarakat sipil itu diperburuk miskinnya kaderisasi dan rekrutmen di tubuh partai politik.

Akibatnya, para politisi yang menguasai ranah publik secara umum hanya berpijak pada pencitraan politik. Mereka tidak memanggul kesadaran nurani bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi. Mereka bukan pemimpin berkarakter "hulu" yang lahir dari proses pengaderan sistematis sehingga menguasai permasalahan riil rakyat, jejaring sosial akar rumput, dan basis ideologi yang kukuh.

Dua opsi

Karena para politisi kita pada umumnya bukan figur yang muncul dari hulu, tidak mengherankan jika mereka kurang mumpuni dalam membangun budaya politik. Seluruh konstruksi politik yang mereka bayangkan selama ini hanya sebatas kontestasi jangka pendek. Ini bisa dilihat, misalnya, dari aturan mengenai ambang batas presiden (presidential threshold).

Sejauh ini tidak ada argumen yang jernih mengenai penetapan ambang batas presiden sebesar 20 persen kursi parlemen. Patut diduga, besaran angka tersebut dimunculkan karena partai-partai besar, khususnya Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat merasa mampu meraih angka tersebut. Dengan istilah lain, politik ambang batas adalah persepsi diri ketiga partai besar itu yang meyakini bahwa peluang mereka untuk mengusung calon presiden sendiri (tanpa perlu koalisi) terbuka lebar. Untuk itulah, angka 20 persen dimunculkan.

Apabila rasionalisasinya adalah dalam rangka memperkuat pemerintah karena mendapat dukungan kuat di parlemen, angka itu tetap belum signifikan. Baru berarti jika ambang batasnya adalah 40 persen. Secara hipotesis, hampir mustahil ada partai yang mampu mencapai angka ini. Hasilnya, tidak ada partai yang jumawa karena merasa memperoleh suara besar seperti yang selama ini terjadi. Seluruh partai tidak ada pilihan lain kecuali berkoalisi.

Kepentingan sempit partai

Ambang batas tinggi seperti itulah yang menjadi variabel pengontrol terhadap argumen para politisi yang mengatakan bahwa pemerintahan akan efektif apabila mempunyai dukungan parlemen yang kuat. Apabila mereka menolaknya, politik ambang batas yang mereka panggul selama ini pada dasarnya tak lebih dari cermin kepentingan sempit partai-partai besar tersebut.

Variabel lain yang dapat mengontrol kemurnian argumen ambang batas presiden adalah dihapuskannya ketentuan itu. Maksudnya, seluruh partai politik yang punya kursi di parlemen berhak mengajukan calon presiden. Dengan demikian, perlakuan adil terhadap tiap partai dijunjung. Apabila partai-partai besar tak bersetuju dengan langkah tersebut, dan bersikukuh dengan angka 20 persen, itu bukti bahwa selama ini mereka dibelit kepentingan politik sempit.

Kedua opsi itu (ambang batas tinggi dan tanpa ambang batas) masing-masing akan melahirkan kepemimpinan nasional yang dikehendaki publik. Karakter dan ketokohan yang kuat dari seorang calon presiden akan mendorong publik memilih partai yang mencalonkan figur tersebut. Di sini, meskipun ambang batas tinggi, kalau tokoh tersebut begitu populer dan partai bekerja dengan hebat, tidak mustahil angka tersebut bisa dicapai.

SOEGENG SARJADI Ketua Soegeng Sarjadi
(Kompas cetak, 28 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®











Privatisasi Keselamatan dan Keamanan Penerbangan Sipil

Oleh Shalahuddin Haikal

Navigasi penerbangan adalah salah satu kunci keselamatan dan keamanan penerbangan udara.
Kata keselamatan dan keamanan berbeda dengan kenyamanan. Sebab, keselamatan dan keamanan merupakan barang publik yang seharusnya disediakan oleh negara.

Tanpa banyak mendapat sorotan media, Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum LPPNPI > Perum Navigasi) mulai beroperasi setelah kelengkapannya sebagai perusahaan umum dipenuhi, 16 Januari lalu. Perum Navigasi didirikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, yakni Pasal 271.

Sebelum lahir PP No 77/2012 tentang Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia, yang merupakan tindak lanjut dari UU No 1/2009 tentang Penerbangan, tanggung jawab navigasi penerbangan ada pada UPT Dirjen Perhubungan Udara dan PT (Persero) Angkasa Pura I dan II. Pada saat UU No 1/2009 disahkan, Pasal 271 yang merupakan spin off antara regulator dan operator, diduga layanan navigasi ini diambil alih langsung Kementerian Perhubungan.

Layanan navigasi

Layanan navigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah dinyatakan pada Pasal 270 UU No 1/2009, terdiri atas (a) pelayanan lalu lintas penerbangan; (b) pelayanan telekomunikasi penerbangan; (c) pelayanan informasi aeronautika; (d) pelayanan informasi meteorologi penerbangan; dan (e) pelayanan informasi pencarian dan pertolongan. Kelima jenis layanan navigasi tersebut berkesesuaian dengan peranan Air Traffic Services, sebagaimana disebutkan dalam Annex 11 statuta ICAO.

Dengan kecepatan terbang minimal 300 kilometer per jam, pesawat terbang perlu dinavigasi jalur udara dan ketinggiannya. Selama dalam area manuver, aktivitas pesawat harus terlebih dulu mendapat clearance dan mandat dari Air Traffic Control (ATC) terdekat. Kemudian akan dilakukan serah terima kontrol navigasi dari satu ATC ke ATC lain. Itulah sebabnya UU No 1/2009 mendefinisikan navigasi penerbangan sebagai proses mengarahkan gerak pesawat udara dari satu titik ke titik lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan penerbangan.

Sungguh disayangkan, lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang sudah ditunggu-tunggu selama tiga tahun berbentuk perusahaan umum. Saya duga terjadi salah tafsir terhadap Ayat (3) dan Ayat (4) Pasal 271 UU Penerbangan.

Kontradiksi

Ayat (1) Pasal 4 PP No 77/2012 merupakan salinan dari Ayat (3) Pasal 271 UU Penerbangan, yakni (a) mengutamakan keselamatan penerbangan, (b) tidak berorientasi pada keuntungan, (c) secara finansial mandiri, (d) biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan sebagai biaya investasi dan peningkatan operasional. Sementara Ayat (4): lembaga tersebut dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Bentuk perusahaan umum pada lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan tak tepat. Sebagaimana didefinisikan pada UU No 19/2003 tentang BUMN, perusahaan umum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Kalimat "tidak berorientasi pada keuntungan" adalah kalimat bersayap. Sebab, pada penjelasan UU Penerbangan, "tidak berorientasi pada keuntungan" adalah lembaga penyelenggara dalam mengelola pendapatannya dimanfaatkan untuk biaya investasi, biaya operasional, dan peningkatan kualitas pelayanan.
Jika demikian halnya, maka Perum LPPNPI tidak akan berbeda dengan PT Kereta Api Indonesia. Setiap kali akan melakukan investasi baru atau pergantian peralatan dan peningkatan kualitas layanan akan dibebankan kepada pengguna layanan. Dalam hal ini, maskapai penerbangan, yang ujungnya adalah pengguna jasa maskapai penerbangan.

Persoalan terbesar dari bentuk hukum perum ada pada kualitas layanan sebab layanan Perum LPPNPI adalah layanan keselamatan dan keamanan penerbangan. Untuk dua kata ini, keselamatan dan keamanan, tidak ada bentuk superlatifnya. Selamat ya selamat, aman ya aman, tidak ada lebih selamat juga tidak ada lebih aman.

Dengan bentuk perum yang "tidak berorientasi pada keuntungan", pemerintah telah melepas tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan. Jika tidak mau disebut lepas tangan, maka bentuk paling pas adalah badan layanan umum (BLU), sebagaimana diatur pada PP No 23/2005. Secara organisasi dan manajemen, pengelola BLU hanya memiliki satu superordinat, yakni kementerian yang dipimpin oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang tugas yang diemban suatu BLU, dalam hal ini menteri perhubungan. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian

Perhubungan

Sementara sebagai perum, Perum Navigasi punya dua superordinat: menteri BUMN (selaku kuasa pemilik modal negara) dan menteri Perhubungan. Sebagai perum, harus menyajikan rencana kerja dan anggaran perusahaan serta rencana jangka panjang perusahaan yang harus disetujui menteri Perhubungan terlebih dulu dan kemudian dimintakan persetujuannya kepada menteri BUMN.

Korporatisasi layanan umum adalah definisi luas dari privatisasi. Definisi sempitnya adalah penjualan kepemilikan negara kepada korporat bentukan negara. Oleh karena itu, pernyataan saya bahwa pendirian Perum Navigasi adalah korporatisasi layanan umum adalah valid.
Keselamatan dan keamanan tidak untuk dijual!

Shalahuddin Haikal Pendidik
(Kompas cetak, 28 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

















Pakta Integritas Politik

Oleh Ibrahim Fahmy Badoh
Khalayak ramai dan institusi menggunakan pakta integritas tanpa mendalami makna dan konsekuensinya. Akibatnya, pakta integritas hanya jadi jargon penanda janji itikad baik. Tanpa makna, bahkan melenceng jadi komoditas politik pencitraan.

Terungkapnya berbagai skandal korupsi pucuk elite beberapa parpol bagaikan petir menyambar. Kredibilitas parpol hancur di mata publik. Skandal membuat partai menjilat ludah sendiri. Janji kampanye antikorupsi hanya politik pencitraan. Yang terjadi, bangunan legitimasi politik untuk melanggengkan korupsi, memperkaya diri dan perusahaan kroni. Pakta integritas kemudian muncul belakangan.

Konsep pakta integritas

Pakta integritas secara konsep bukanlah alat pertobatan dan cuci dosa. Sebaliknya, ia instrumen pencegahan tindak kejahatan publik, mengikat individu atau institusi untuk berintegritas.

Sejak didengungkan pada pertengahan 1990-an oleh Transparency International, lewat konsep island of integrity, pakta integritas menjadi instrumen yang mengawali perubahan di banyak institusi pemerintahan, terutama dalam melawan suap terhadap pejabat publik. Secara institusi, instrumen ini digunakan untuk mengurangi ongkos bisnis dalam proses privatisasi, perizinan, dan pengadaan barang dan jasa.

Pakta integritas mensyaratkan setidaknya tiga elemen dasar. Pertama, adanya kesepakatan dan pernyataan integritas oleh pejabat publik. Kedua, adanya pengakuan publik dan terbuka. Ketiga, adanya sanksi dan arbitrase sebagai konsekuensi dan resolusi konflik. Pakta integritas awalnya digunakan untuk mempermudah infiltrasi bisnis di awal fase globalisasi kapital. Perkembangan selanjutnya kemudian diadopsi dengan sebuah pendekatan perubahan sistem dengan tajuk integritas sistem.

Integritas sistem memiliki ranah lebih luas dengan dua aras perubahan (Hubert, Six, 2008). Pertama, pengondisian di ranah institusi menyangkut pengakuan nilai, perubahan kebijakan, kontrol, dan sanksi. Di ranah luar institusi, sistem integritas mensyaratkan adanya institusi pengawasan independen dan kebebasan media mengontrol integritas sistem. Selain itu, perlu pengondisian di masyarakat dalam bentuk pendidikan integritas untuk melawan sikap permisif publik atas korupsi atau tindakan tak berintegritas. Pendidikan di masyarakat, menurut Hubert, penting dalam bentuk penciptaan pemicu dari pengungkapan skandal publik yang jadi ranah lembaga pemantau korupsi.

Ijtihad "Pakta Integritas" yang oleh beberapa partai politik sebenarnya inisiatif yang baik meski masih terlihat cacat konsep.

Pertama, pakta untuk politisi dibuat di akhir masa jabatan politik. Sangat terlambat, terutama jika dilihat dari statuta dan janji politik partai-partai inisiator yang mengusung isu anti- korupsi sebagai tema kampanye utama. Seharusnya, pakta ini dibuat di awal sebagai instrumen pencegahan di ranah etika politisi dengan sanksi administratif yang tegas dan berat.

Kedua, pakta integritas dibuat sebatas pernyataan tanpa perikatan aturan internal partai. Seharusnya, komitmen etik sebagai tindak lanjut pelaksanaan pakta integritas dilakukan dengan dasar aturan internal partai jelas. Misalnya, jika terjadi pelanggaran etik, bagaimana mekanismenya? Apakah dibawa ke sidang etik partai atau langsung mundur dengan sebuah pernyataan publik?

Ketiga, perikatan integritas seorang politisi hanya kepada majelis partai atau konstituen partai, atau kepada publik secara luas. Apakah dimungkinkan konstituen atau publik partai melaporkan peristiwa pelanggaran etik? Atau, semata karena penilaian petinggi partai? Apakah pakta integritas ini berlaku publik atau cukup di wilayah partai yang masih setengah privat setengah publik? Jika berlaku publik, instrumen ini dapat digunakan publik untuk menagih janji integritas, terutama jika terjadi peristiwa pelanggaran integritas.

Keempat, cakupan ranah integritas. Dalam konteks etik, perikatan pakta integritas untuk politisi seharusnya tidak hanya berkaitan dengan korupsi. Juga mengatur persoalan kinerja dan tanggung jawab publik seorang politisi terkait fungsi dan tanggung jawabnya di ranah publik. Jika seorang politisi ingkar janji atau tak pernah ikut sidang di parlemen atau melakukan kebohongan kepada konstituen, seharusnya bisa dipermasalahkan lewat pakta integritas ini.

Salah kaprah

Salah kaprah di dalam penggunaan pakta integritas akan menimbulkan kebingungan publik, terutama ketika mengukur komitmen nilai-nilai integritas yang dianut parpol. Jika diterapkan secara salah dan setengah-setengah, pakta integritas ini akan memunculkan konflik nilai dan tidak konsisten. Pada titik ini, publik akan menganggap pakta integritas hanya dibuat untuk kepentingan elite semata, jadi pemanis muka dan alat cuci dosa.

Tujuan substansial dari lahirnya konsep integritas sistem adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik. Untuk mencapai hal ini, partai politik harus jadi partai terbuka, baik terkait prestasi maupun dosa-dosa. Tidak mungkin ada pengampunan dosa jika tidak ada pengakuan dosa terlebih dahulu. Elite partai harusnya sadar, integritas adalah satu kata dan perbuatan, bukan penyepakatan kebohongan.

Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh Koordinator Program Transparency International
(Kompas cetak, 28 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Berpusat pada Pembelajar

Oleh Doni Koesoema A

Ada perubahan dasar dalam Kurikulum 2013. Perubahan ini terkait konsepsi terhadap siswa. Sekarang, siswa dianggap sebagai pembelajar utama.

Begitu konsep terhadap siswa berubah, tujuan pendidikan juga berubah. Demikian juga dengan seluruh metode dan strategi pengajaran serta sistem evaluasi. Perubahan konsep ini memiliki implikasi moral, kultural, dan pedagogis yang tidak kecil. Selama perubahan dalam tiga dimensi ini tidak disentuh, Kurikulum 2013 terancam gagal, sekadar macan kertas, karena praktik dan sistem budaya yang ada tetap sama.

Tiga implikasi

Secara moral, kebijakan pendidikan dalam kurikulum baru menekankan kebaikan yang ditujukan bagi siswa dalam belajar. Karena itu, fokus pendidikan yang terutama adalah siswa.
Setiap kebijakan pendidikan, sebelum dirancang harus bertanya: apakah kebaikan siswa yang akan diperoleh melalui desain pendidikan? Pandangan ini memiliki implikasi moral bahwa siswa tak lagi boleh dianggap obyek, baik itu bagi pertarungan kepentingan politik maupun ajang pencarian nama baik, apalagi pencitraan atas nama apa pun.

Siswa adalah individu yang harus dihargai keberadaannya sebagai individu karena mereka adalah pembelajar utama dalam pendidikan. Merekalah pelaku utama dalam pendidikan. Siswa adalah subyek yang belajar. Tugas pendidik adalah menumbuhkan gairah belajar dalam diri siswa.

Secara kultural, model pendidikan yang selama ini telah terbentuk adalah cara belajar yang monolog, searah. Siswa selama ini dianggap semacam gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu oleh pendidik dan guru. Demikian juga siswa. Mereka sendiri mengasumsi demikian. Dia hanya akan belajar sesuai dengan apa yang diinginkan pendidik.

Kultur belajar yang terjadi selama ini tidak otentik, melainkan mengikuti apa yang dimaui guru, baik dalam pembuatan tugas maupun ulangan. Karena itu, murid hanya berusaha membuat guru senang karena apa yang diminta guru telah mereka penuhi. Namun, sesungguhnya, mereka tidak belajar. Mereka hanya pura-pura belajar karena belajar dianggap sekadar memenuhi apa yang diminta guru.

Oleh karena itu, siswa sekarang pun mesti diajak untuk berpikir yang berbeda dari sebelumnya. Ia belajar bukan karena permintaan guru atau pertanyaan guru, melainkan ia belajar sesuatu karena ingin mendalami ilmu itu dengan lebih baik yang akan berguna bagi hidupnya di masa sekarang dan yang akan datang. Siswa adalah pelaku aktif dalam proses belajar. Jadi, perubahan pedagogis juga merupakan sebuah keharusan.

Pedagogi berbicara tentang bagaimana cara-cara pendidik mendampingi anak-anak muda ini dalam mengembangkan dan menumbuhkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dimensi pembelajaran yang mengembangkan rasa ingin tahu melalui kegiatan bertanya, mengamati, dan mengeksplorasi jadi hal yang sentral dalam proses belajar.

Di sini terjadi pergeseran peran guru. Guru pun bukan lagi merupakan pemonopoli ilmu pengetahuan, melainkan menjadi fasilitator pembelajaran bermakna bagi siswa.

Pembelajaran bukan lagi sebuah proses yang terjadi secara statis, monolog—dari guru ke siswa—melainkan guru memberikan kesempatan dan ruang bagi siswa untuk mendalami, belajar dari pengalaman, mengeksplorasi tema-tema tertentu sehingga ilmu yang mereka dapatkan akan semakin utuh dan lengkap. Guru menjadi pendesain ruang-ruang, memancing tanya, serta membuka wawasan siswa agar berani memasuki dunia eksplorasi dan penjelajahan ilmu pengetahuan secara efektif.

Ketiga hal di atas mengandaikan adanya kebebasan berpikir, bertindak dalam diri pendidik dan siswa. Alhasil, yang terjadi dalam setiap proses pembelajaran adalah pembelajaran yang otentik, bertumpu pada rasa penasaran intelektual dalam diri siswa sampai pada pemahaman yang makin mendalam tentang gejala-gejala, baik itu alamiah maupun yang sublim, secara intensif dan mendalam. Hanya dengan kebebasan berpikir seperti inilah dapat terlahir para pendidik dan pembelajar yang bertanggung jawab atas anugerah ilmu pengetahuan yang telah ia terima dari Sang Pencipta.

Takut kebebasan berpikir

Sayangnya, dinamika di la- pangan menunjukkan, para pendidik dan pelajar belum terbiasa dengan suasana kebebasan berpikir. Kita ingat konsep pendidikan yang berpusat pada siswa pernah dilaksanakan tahun 1984 dengan Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Namun, apa yang terjadi di lapangan? Guru masih tetap terpaku pada jawaban dalam teks. Siswa pun masih memiliki kebiasaan yang sama. Jenis pertanyaan yang diajukan hanya berdasar pada teks. Demikian juga dengan jawaban siswa. Siswa juga cenderung mencarinya dalam teks. Pendidikan kita sangat textbooks. Begitu soalnya dialihkan ke kehidupan nyata yang memerlukan analisis dalam pengambilan keputusan, siswa tidak mampu.

CBSA gagal karena kultur di lapangan, di tingkat pendidik dan siswa tidak selaras dengan konsep dasar yang ingin dikembangkan. Siswa diharapkan aktif berpikir, tetapi guru sendiri mengesankan bahwa jawaban siswa harus sama seperti apa yang diinginkan oleh guru, yaitu sebagaimana ada dalam buku teks. Akhirnya,
CBSA hanya melahirkan rentetan pembelajaran semu dari tahun ke tahun. Guru ingin setia pada jawaban dalam teks, dan siswa pun menyesuaikan dengan apa yang diminta dan diharapkan guru. CBSA gagal melahirkan individu yang mampu berpikir bebas.

Kebebasan bereksplorasi dan belajar inilah tampaknya yang masih juga ditakutkan oleh para pengambil kebijakan sehingga cara-cara bereksplorasi pun diatur, diarahkan, bahkan dibuatkan tema-temanya. Ini sangat kentara dari gagasan dasar buku babon untuk siswa dan guru. Jika buku babon ini hanya bersifat instruktif, tidak eksploratif, alias tidak memberi ruang bagi penggalian pengalaman secara mandiri maupun kelompok, gagasan besar Kurikulum 2013 hanya akan berhenti pada tataran kebijakan, tetapi tidak terjadi di lapangan.

Perubahan kultural

Tantangan pendidikan ke depan memang tidak ringan. Pembaruan kurikulum merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi perubahan zaman tersebut. Namun, pembaruan kurikulum tidak akan efektif ketika dimensi kultural yang memengaruhi cara guru dan siswa berpikir dan melakukan pendidikan juga tidak diubah.

Melihat realitas para pendidik di lapangan sebagai pelaku utama Kurikulum 2013, paradigma perubahan kultural perlu dikembangkan dalam diri pendidik. Perubahan kurikulum sebagus apa pun tidak akan mengubah kultur pendidikan kita yang sentralistis, guru-muridisme, dan murid-manutisme, bila kesiapan tenaga pendidik dan pelaku di lapangan tidak menyentuh sampai membongkar kesadaran budaya sentralisme yang memasung kreativitas guru, menciptakan budaya asal guru senang, dan asal murid naik kelas, meski sesungguhnya mereka tidak layak mendapatkan itu semua.
Mengubah budaya ini merupakan keharusan.

Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan
(Kompas cetak, 28 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®





















Memudarnya Partai Islam

Oleh Salahuddin Wahid
Sejak 1945, banyak ormas Islam tergabung dalam Partai Masyumi. Pada 1952, Nahdlatul Ulama beralih dari ormas Islam menjadi partai Islam.
Partai Syarikat Islam Indonesia melanjutkan kiprah politik Syarikat Islam yang didirikan HOS Tjokroaminoto. Pada Pemilu 1955, kekuatan politik partai Islam berkisar pada angka 43 persen. Masyumi menjadi partai terbesar kedua, sedangkan Partai NU menjadi partai ketiga.
Pada Pemilu 1971, kekuatan politik partai Islam menurun. Hanya Partai NU yang lumayan suaranya. Golkar mendapat sekitar 62 persen suara. Pada 1973, partai-partai Islam didorong bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai-partai non-Islam didorong bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemenang pemilu 1977-1997 adalah Golkar karena didukung pemerintah dengan berbagai cara. Pemenang kedua, PPP, jauh dari perolehan suara Golkar.
Pemilu 1999 adalah pemilu kedua terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dari 48 peserta pemilu, terdapat belasan partai Islam atau berbasis massa Islam. Yang menjadi pemenang adalah PDI-P (sekitar 34 persen). Kedua, Partai Golkar (sekitar 21 persen). Ketiga, PKB (sekitar 12 persen). Keempat, PPP (sekitar 10 persen). Kelima, PAN (sekitar 7 persen).
PKB didirikan oleh tokoh-tokoh utama NU. Struktur NU di banyak tempat mendukung PKB. Namun, sejumlah tokoh NU, terutama di daerah, bergabung dengan PPP, Golkar, dan partai kecil yang didirikan tokoh-tokoh NU. Jelas, dukungan struktur NU itu mendongkrak perolehan suara PKB. PAN didirikan Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang baru saja mengundurkan diri. Banyak tokoh Muhammadiyah yang aktif di PAN. Saat itu, PAN identik Muhammadiyah.
Pemenang Pemilu 2004 adalah Golkar. Perolehan suara PDI-P menurun belasan persen. Perolehan PKS meningkat secara mencolok. Sementara perolehan PKB, PPP, dan PAN sedikit turun. Muncul pendatang baru yang tiba-tiba melejit, Partai Demokrat, yang mengandalkan ketokohan SBY.
Pasca-2004, sebagian tokoh PKB mendirikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama dan sebagian tokoh PAN mendirikan Partai Matahari Bangsa. Kedua partai itu tak memperoleh kursi di DPR. PKB terbelah menjadi kubu Muhaimin dan kubu Gus Dur. Maka, perolehan suara PKB pada 2009 anjlok sekitar 50 persen dibanding 2004. Suara PPP juga anjlok. PKS tetap bertahan. Partai Demokrat meroket menjadi pemenang pertama. Golkar dan PDI-P menjadi pemenang kedua dan ketiga. Muncul partai baru yang bukan partai Islam, yaitu Partai Gerindra dan Partai Hanura. Belakangan sejumlah survei menunjukkan partai Islam dan berbasis massa Islam mengalami penurunan. PKS mengalami pukulan akibat ditangkapnya Presiden PKS dengan tuduhan suap terkait impor daging sapi. Tentu ada pertanyaan, mengapa partai Islam atau berbasis massa Islam makin menurun perolehan suaranya? Menurut Komaruddin Hidayat, partai Islam akan menerima sanksi lebih berat dibanding bukan partai Islam jika tokohnya korupsi.
Jaringan ormas Islam
Kita perlu melakukan pendekatan berbeda, yaitu melalui aspek keterkaitan ormas Islam/tokohnya terhadap parpol Islam atau berbasis massa Islam. Juga pendekatan melalui aspek mencairnya politik aliran sejak 1973 hingga kini.
Pada Pemilu 1955, semua ormas Islam mendukung partai-partai Islam. Muhammadiyah dan semua organisasi afiliasinya mendukung Partai Masyumi. HMI dan PII juga begitu. Karena ormas NU menjadi parpol, semua organisasi afiliasinya mendukung Partai NU. Pada Pemilu 1971, sudah ada ormas Islam yang mendukung Golkar, yaitu GUPPI. Setelah itu, sejumlah tokoh pesantren di Jawa Timur bergabung dengan Golkar. Kemudian tokoh-tokoh HMI, PII, Muhammadiyah banyak yang menjadi aktivis Golkar termasuk di daerah.
Pada Muktamar 1984, NU menerima asas Pancasila dan menyatakan akan menjaga jarak yang sama terhadap semua parpol yang ada. Maka, banyak tokoh NU yang menjadi aktivis Golkar. Bahkan, Gus Dur juga menjadi anggota MPR dari FKP. Tokoh-tokoh ormas Islam yang dulu aktif di Golkar hampir semua tetap berkiprah di Partai Golkar. Perubahan sikap NU yang dulu memperjuangkan negara berdasar Islam dan kini menerima asas Pancasila, membawa perubahan mendasar dalam diri anak-anak muda NU. Perubahan yang sama mungkin juga terjadi di dalam Muhammadiyah dan ormas Islam lain.
Ketika Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, terlihat peran tokoh HMI dalam DPP Partai Golkar mulai menurun, tetapi di tingkat daerah jaringan mereka masih cukup kuat. Anas Urbaningrum mampu meraih posisi Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Itu bisa dicapai berkat kemampuan jaringan alumni HMI menyusun kekuatan di dalam struktur Partai Demokrat. Badai politik yang menerjang Anas tidak mengurangi kekuatan jaringan HMI di dalam Demokrat. Alumni PMII juga ada di Golkar dan Partai Demokrat, tetapi tidak sekuat alumni HMI.
Kekuatan jaringan tokoh ormas Islam di Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Hanura merupakan daya tarik bagi pemilih dari kalangan Islam. Kini, sudah cukup banyak alumni HMI dan PMII dan aktivis NU yang masuk ke dalam PDI-P melalui Baitul Muslimin Indonesia.
Aliran Islam
Saat pembahasan RUU Perkawinan (1973) terjadi penolakan kuat terhadap sejumlah pasal dalam RUU itu. Visi kenegarawanan Pak Harto membuat Golkar dan ABRI menerima usul perubahan dari PPP, yang membuat UU Perkawinan jadi UU pertama yang menerima ketentuan syariat Islam yang partikular. Hanya PDI yang menolak. Peristiwa yang sama terulang saat DPR menerima UU Peradilan Agama. Golkar, ABRI, dan PPP menerima UU itu, sedangkan PDI menolak.
Pengalaman di atas menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa Golkar ternyata tak anti-Islam seperti terlihat pada Pemilu 1971. Saat itu, pemerintah dan Golkar memang gigih melawan partai-partai Islam yang belum menerima asas Pancasila. Pengalaman membuktikan, Golkar selalu memihak kalangan Islam dalam pembahasan UU yang mengandung pasal-pasal yang menimbulkan pro-kontra kuat terkait masalah keagamaan. Misalnya, UU Sisdiknas dan UU Pornografi. Kalau mau ditarik ke awal, Partai Demokrat dan Partai Hanura tak banyak berbeda ideologinya dengan Golkar. Mungkin Gerindra dan Nasdem juga demikian. Jadi tidak ada garis batas atau pembeda yang tegas antara Partai Golkar dan turunannya dengan partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam dalam masalah hubungan agama dan negara.
Jadi, berdasar dua aspek itu—jaringan ormas Islam dan kemiripan dalam visi hubungan agama dan negara antara partai-partai tengah dengan partai Islam dan partai berbasis massa Islam—dapat dipahami bahwa sebagian besar pemilih dari ormas Islam memilih partai-partai tengah itu. Partai Islam akan mempunyai nilai lebih di mata pemilih bila mampu mengambil prakarsa dan mewujudkan UU dan kebijakan yang islami dalam masalah ekonomi, dalam pengertian lebih memperhatikan pemerataan daripada pertumbuhan. Juga kalau berhasil mengegolkan kebijakan dalam memperluas akses kepada masyarakat dalam memperoleh pendanaan untuk usaha.
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
(Kompas cetak, 28 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Rabu, 27 Februari 2013

Dinasti Politik Kekuasaan

Recana dinasti kekuasaan berdasar kekerabatan naik ke permukaan. Tak hanya realitas dalam pilkada, tetapi juga dalam pengaderan parpol.
Berkembangnya dinasti politik kekuasaan lebih besar mudarat dibandingkan dengan manfaatnya. Selain merusak demokratisasi, apalagi yang sifatnya baru prosedural, belum substantif seperti sekarang, dinasti politik kekuasaan mempercepat proses pelapukan pemerintahan. Pengamat politik mencemaskan kondisi tersebut. Selain kekuasaan politik dikuasai keluarga tertentu, praktik kolusi dan nepotisme gampang menjalar. Yang mendapatkan hak pilih dari keluarga itu-itu juga, yang berkuasa itu-itu juga.
Partai politik sebagai kendaraan politik umumnya minus pengaderan. Kompetensi dan kelayakan calon tidak menjadi kriteria, kecuali faktor hubungan darah dan pertemanan. Dominasi praktik politik uang pun menambah makin tertutupnya akses warga negara memperoleh hak politik untuk dipilih. Dengan gampang terjadi kader loncat pagar apa pun argumentasinya.
Membangun dinasti politik atas dasar hubungan darah dan teman seolah-olah mentradisi. Sudah terbukti praktik itu tidak selalu buruk, seperti yang terjadi pada dinasti besar di sejumlah negara. Namun, ketika membangun dinasti dijadikan batu sendi dan batu penjuru, hilang sudah kesempatan sosok pemimpin alternatif di luar ranah hubungan darah, teman, dan yang beruang.
Oligarki, pemerintahan yang dipimpin beberapa orang itu-itu saja, adalah bentuk pemerintahan dengan ambisi sebagai kriteria kepemimpinan (Plato). Kondisi demikian memang jati diri kekuasaan yang cenderung "kurang terus" (Lord Acton), tetapi di Indonesia dalam kondisi serba cair, minus pengaderan dan obralan nafsu serakah, membangun dinasti politik memperoleh lahan subur.
Pemberlakuan undang-undang pembatasan masa jabatan dua kali dan pencalonan lewat jalur perseorangan bisa mencegah tumbuh suburnya nafsu membangun dinasti kekuasaan di daerah. Akan tetapi, karena realitas obyektif parpol berkutat dengan persoalan menumpuk kekuasaan, yang terjadi adalah pencalonan tidak jauh bergerak dari ranah keluarga, teman, dan uang.
Tepatlah analisis F Budi Hardiman (Kompas, 23/2), demokrasi di Indonesia ada di depan moncong oligarki. Melepaskan diri dari moncong oligarki masih sebagai wishful thinking. Demokratisasi masih sebagai "demokrasi kriminal" kata Jeffrey Winters; demokrasi sebatas prosedural belum substansial alias demokrasi seolah-olah.
Kita pasrah? Tidak! Membangun sikap kritis dan kesadaran bersama (konsientisasi), salah satu cara membetot praksis dinasti politik kekuasaan, di antaranya lewat upaya pemberdayaan institusi masyarakat. Dan, ketika kita menyaksikan satu per satu parpol tersandera praktik korup, sebagai organ atau perilaku orangnya, kesempatan terbuka untuk membongkar sebutan parpol sebagai pilar demokrasi yang berlanjut pada pilihan menjatuhkan hak warga negara kita masing-masing.
(Tajuk rencana, 27 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®





Indonesia Absen Strategi (Ahmad Heri Firsdaus)

Oleh Ahmad Heri Firdaus
Indonesia baru saja menorehkan catatan terburuk dalam sejarah perdagangan internasional. Neraca perdagangan pada 2012 mengalami defisit untuk yang pertama kalinya sejak 1961. Namun, nilai defisit tahun lalu relatif lebih besar dibanding tahun 1961.
Setelah 1961, neraca perdagangan Indonesia selalu surplus. Bahkan, pada 2006 surplus perdagangan mencetak rekor tertinggi 39,73 miliar dollar AS. Kondisi sebaliknya terjadi di 2012, dengan neraca perdagangan defisit 1,63 miliar dollar AS.
Sumber defisit terutama disebabkan oleh neraca perdagangan migas yang defisit hingga 5,6 miliar dollar AS. Merosotnya neraca perdagangan migas disebabkan karena impor bahan bakar minyak (BBM) sulit dibendung akibat semakin tingginya kebutuhan BBM dalam negeri. Di lain pihak, meskipun neraca perdagangan nonmigas masih mengalami surplus 3,9 miliar dollar AS, surplus tersebut merupakan yang terendah sejak era Reformasi. Bahkan, jauh lebih rendah dibandingkan krisis ekonomi global 2008 yang sebesar 9,2 miliar dollar AS.
Ketidakpastian eksternal dan lambatnya pemulihan ekonomi global juga tidak bisa dijadikan satu-satunya alasan mengapa neraca perdagangan Indonesia terpuruk hingga mencapai defisit. Buruknya kinerja perdagangan, khususnya dari sisi ekspor, sebenarnya bukti dari lemahnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Selain itu, ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku/penolong impor juga turut menjadi penyebab terpuruknya kinerja perdagangan Indonesia.
Dampak FTA
Gejala tergerusnya neraca perdagangan Indonesia sebenarnya sudah mulai terlihat sejak Indonesia giat melakukan perjanjian kerja sama perdagangan bebas, baik secara bilateral, multilateral, maupun regional. Dampak negatif mulai dirasakan sesaat setelah Indonesia terlibat dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA), tepatnya mulai 2005 necara perdagangan Indonesia dengan ASEAN mulai defisit. Padahal, sebelum terlibat dalam AFTA, neraca perdagangan Indonesia dengan ASEAN selalu surplus. Pada 2005 terjadi defisit 0,45 juta dollar AS dan hingga 2012 defisit telah mencapai 455,4 juta dollar AS (nonmigas). Keadaan yang lebih parah terjadi dalam skema ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Sejak 2008, neraca perdagangan Indonesia dengan China selalu defisit, yakni 3,6 miliar dollar AS pada 2008 dan 7,2 miliar dollar AS (hingga Oktober 2012).
Hingga 2012 tercatat sedikitnya Indonesia telah terlibat dalam enam skema kawasan perdagangan bebas (free trade area/FTA), yakni AFTA, AC-FTA, ASEAN-Korea FTA (AK-FTA), ASEAN-India FTA (AI-FTA), ASEAN-Australia- New Zealand FTA (AANZ-FTA), dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA). Dampak terparah yang dirasakan Indonesia terlihat jelas dalam skema ACFTA dan AFTA. Dalam skema lainnya pun, seperti AANZ-FTA dan IJ-EPA, alarm bahaya juga sudah mulai menyala mengingat sejak 2007 neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Australia dan Selandia Baru telah mengalami defisit. Neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Jepang juga telah mengalami defisit sejak 2010.
Indonesia terlihat sangat percaya diri dalam melakukan perjanjian kerja sama perdagangan bebas. Alhasil, banyak pujian yang diterima Indonesia dari dunia internasional. Namun, sayangnya, keputusan Indonesia ikut serta dalam perjanjian kerja sama tersebut dilakukan tanpa pertimbangan dan persiapan yang matang. Indonesia absen strategi dalam menghadapi kompetisi perdagangan bebas.
Empat strategi
Terdapat empat strategi yang tidak dipersiapkan Indonesia dalam menghadapi persaingan perdagangan bebas.
Pertama, Indonesia tidak mempersiapkan industri berbasis bahan baku lokal, yakni industri berbasis pertanian dan pertambangan. Dengan kata lain, hilirisasi industri belum berjalan. Selama ini sumber daya alam lokal yang seharusnya bisa diolah menjadi produk industri justru diekspor dalam bentuk mentah demi menghidupi industri di negara lain. Adapun industri yang selama ini diprioritaskan untuk berkembang di Indonesia adalah industri berbahan baku impor. Ini langkah salah dan tak rasional. Kekayaan SDA lokal seharusnya bisa jadi modal dan peluang untuk mengembangkan industri yang berdaya saing.
Kedua, Indonesia lambat dalam mengadopsi teknologi untuk sektor industri. Teknologi dapat hadir jika ada kegiatan investasi di sektor industri. Namun, investasi baru akan datang jika terdapat iklim usaha kondusif.
Ketiga, Indonesia tidak memprioritaskan energi untuk kebutuhan sektor industri, melainkan untuk kepentingan ekspor. Padahal, 49,4 persen energi di Indonesia dikonsumsi industri (ESDM, 2012). Ini menunjukkan bahwa sektor industri sangat bergantung pada energi. Namun, saat ini sektor industri justru kesulitan mendapatkan energi yang sesuai dengan kebutuhannya. Padahal, Indonesia punya cadangan kekayaan energi, seperti gas alam dan batubara, yang cukup melimpah. Indonesia lebih menjadikan batubara dan gas alam sebagai komoditas ekspor, bukan modal membangun Industri.
Keempat, Indonesia tidak mempersiapkan diri dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang ahli dan berkompeten di bidang industri yang berbasis sumber daya lokal. Padahal, Indonesia merupakan negara berpenduduk keempat terbanyak di dunia. SDM ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan kemajuan industri nasional.
Dalam jangka panjang, keempat strategi tersebut (hilirisasi industri, pengadaan teknologi, penyediaan energi, dan SDM) harus ditempuh jika Indonesia ingin menciptakan produk industri yang berdaya saing sehingga dapat melanjutkan tradisi surplus neraca perdagangan. Dalam jangka pendek, untuk memperbaiki kinerja neraca perdagangan yang sedang terpuruk, pemerintah harus berupaya menekan impor, khususnya BBM, dengan melakukan pembatasan konsumsi BBM dalam negeri. Dari sisi ekspor, pilihan hilirisasi tampaknya hal yang paling rasional dan realistis untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Ahmad Heri Firdaus Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
(Kompas cetak, 27 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Badai Baru KPK

Oleh Saldi Isra
Dalam tiga bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi kian menunjukkan tajinya. Dengan derap langkah pasti, sejumlah kasus yang sangat kental berkelindan dengan pusaran pemegang kekuasaan politik ditingkatkan status hukumnya. Tak tanggung-tanggung, mereka yang kena sasar adalah tokoh paling sentral di sejumlah partai politik.
Dari rangkaian kasus-kasus besar (terkategori megaskandal) yang ditangani KPK, proses hukum indikasi korupsi kompleks olahraga terpadu di Bukit Hambalang dapat dikatakan yang paling jelas dan konkret kemajuannya. Dalam proses hukum kasus ini, KPK telah meningkatkan status hukum Andi Alifian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum menjadi tersangka.
Tidak hanya kedua tokoh sentral Partai Demokrat ini, endusan KPK di sekitar "bau tengik" kongkalikong impor daging sapi menjadi berita menggemparkan. Dalam kasus ini, Presiden Partai Keadilan Sejahtera dan sekaligus anggota Komisi I DPR RI, Luthfi Hasan Ishaaq, ditangkap KPK. Dalam kejadian ini, Luthfi Hasan menjadi tokoh sentral partai politik pertama yang dijadikan tersangka, ditangkap dan langsung ditahan sang superbody.
Meski demikian, dalam capaian tersebut, KPK tengah menghadapi persoalan pelik, terutama terkait dengan tuduhan banyak pihak bahwa lembaga ini tidak independen. Paling tidak, tuduhan itu terbaca jelas setelah beredarnya atau bocornya dokumen surat perintah penyidikan (sprindik) Anas Urbaningrum. Celakanya, dokumen sprindik itu beredar seperti menjadi rangkaian dengan jumpa pers Presiden Yudhoyono di Jeddah (5/2) yang memberi sinyal kepada KPK untuk segera menuntaskan kasus Hambalang.
Akankah penilaian tidak independen tersebut menjadi sebuah awal badai baru yang melanda KPK? Pertanyaan sederhana itu menjadi penting dikemukakan karena setiap gangguan hampir dapat dipastikan akan menguras pemikiran dan tenaga yang tidak sedikit. Banyak kalangan percaya, apabila badai baru di tengah perjalanan kapal KPK terjadi, agenda pemberantasan korupsi berpotensi memasuki krisis panjang nan melelahkan.
Serangan eksternal
Dalam perjalanan lebih dari satu dasawarsa, tidak terbantahkan KPK merupakan lembaga penegak hukum yang paling banyak mendapat perlawanan. Penyebabnya sangat sederhana, KPK berhasil menjamah hampir semua episentrum korupsi yang selama ini sulit dijangkau lembaga penegak hukum konvensional. Diakui atau tidak, sepanjang sejarah penegakan hukum negeri ini, belum pernah ada lembaga yang berani "mengusik" lembaga perwakilan, posisi eksekutif tertinggi di pusat dan daerah, penegak hukum, politisi, dan partai politik.
Karena itu, para penikmat uang haram yang selama ini tidak pernah terganggu oleh proses hukum berupaya secara sistematis menyerang KPK. Bahkan, sejumlah langkah yang diambil adalah dengan menggunakan jalur hukum. Misalnya, merujuk catatan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang telah 17 kali diuji. Jumlah itu membuktikan betapa intensifnya langkah melumpuhkan KPK memakai jalur hukum. Bahkan, dalam banyak kejadian, jalur hukum acap kali bersahutan dengan jalur politik.
Selain itu, serangan atas KPK banyak pula terjadi di antara sesama lembaga penegak hukum. Salah satu yang paling monumental adalah langkah kriminalisasi yang dilakukan atas pimpinan KPK. Ketika kejadian ini berlangsung, KPK seperti mengarungi lautan di tengah hantaman badai gelombang mahadahsyat. Cacatan tersebut bisa ditambah dengan resistensi institusi kepolisian dalam kasus suap proyek simulator SIM. Dalam kasus ini, kepolisian seperti hendak mempertontonkan ke masyarakat betapa hebatnya upaya melindungi korps lalu lintas kepolisian.
Dalam rangkaian kejadian itu, pepatah klasik "sengsara membawa nikmat" seperti menemukan perwujudan yang sesungguhnya. Langkah sistemik tersebut tak hanya gagal menghentikan laju KPK, tetapi juga menghadirkan simpati dan dukungan masyarakat yang luar biasa. Bahkan, semua rangkaian serangan yang diarahkan ke KPK mampu membangun kesadaran baru, yakni pemberantasan korupsi tak mungkin dilaksanakan tanpa dukungan masif masyarakat. Sadar atau tidak, dukungan masyarakat itu pula yang menjelma menjadi napas baru KPK untuk terus bertahan di tengah gempuran ini.
Masalah internal
Dibandingkan dengan rangkaian serangan di atas, persoalan yang dihadapi KPK sekarang jauh lebih rumit dan sangat tidak sederhana, yakni persoalan internal. Misalnya, dalam beberapa waktu terakhir, sering diberitakan hubungan yang tidak harmonis di antara pimpinan KPK. Bahkan, sering pula terdengar terjadinya pembelahan pandangan di antara pimpinan saat penuntasan kasus tertentu. Dalam hal ini, banyak pihak percaya, yang terjadi sesungguhnya bukan hubungan yang tak harmonis, melainkan lebih pada perbedaan pandangan melihat sebuah kasus.
Meski demikian, karena berita seperti ini sering hadir ke permukaan, hari demi hari amat mungkin mengubah pandangan banyak pihak terhadap pola hubungan antar-pimpinan. Dalam hal ini, KPK masih bisa membantah karena adanya ketentuan bahwa bangunan hubungan di antara pimpinan adalah kolektif-kolegial. Dengan ketentuan tersebut, tudingan perpecahan di antara pimpinan KPK sulit dilacak secara nyata di permukaan. Paling-paling masyarakat hanya bisa melacak dari penuntasan kasus yang berjalan lamban.
Persoalan paling rumit dan tidak sederhana di internal KPK, sepertinya, terwakili dengan munculnya dokumen sprindik Anas Urbaningrum. Sebagai orang yang percaya pada independensi KPK, saya tidak percaya penetapan status hukum Anas sebagai tersangka merupakan bentuk pelaksanaan isyarat Presiden Yudhoyono. Sebagai rangkaian dari proses hukum yang telah berlangsung panjang dan melelahkan, penetapan status Anas menjadi tersangka jauh lebih tepat disebut sebagai faktor kebetulan semata, bertemu pada waktu dan titik yang sama.
Meski demikian, tetap saja tidak mudah menjelaskan bocornya sprindik di tengah kisruh yang melanda Partai Demokrat. Ditambah lagi, dalam proses investigasi internal, kuat indikasi bahwa bocornya sprindik berasal dari internal KPK. Pada titik ini, badai baru yang tengah menghadang KPK adalah kelanjutan dari proses pengawasan internal. Kemungkinan penjatuhan sanksi bagi pembocor sprindik dapat menjadi pisau bermata dua. Pada satu sisi, dapat memberi kesan positif bahwa mekanisme internal KPK berfungsi dengan baik, tetapi di sisi lain hasilnya sangat mungkin dijadikan sebagai senjata untuk memukul balik KPK.
Karena itu, langkah yang harusnya dilakukan, KPK bekerja keras menuntaskan kasus hukum Anas Urbaningrum. Dengan cara begitu, hantaman badai baru yang mungkin muncul dari proses penegakan kode etik dapat dikurangi secara signifikan. Jika tidak, hantaman badai baru berpotensi menenggelamkan KPK.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
(Kompas cetak, 27 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Menegakkan Moralitas di Ranah Publik

Oleh Rahadi T Wiratama
Terdapat anggapan yang diterima secara meluas bahwa aneka problematik di bidang politik, ekonomi, dan sosial yang dihadapi Indonesia saat ini bersumber dari krisis nilai-nilai komunal.
Aneka persoalan itu dianggap sebagai gejala ketika orang telah jauh dari kesalehan pribadi—sebagai inti terpenting dari moral komunal.
Anggapan semacam itu memunculkan logika sederhana bahwa solusi atas persoalan kebangsaan adalah kembali kepada bentuk-bentuk kesalehan pribadi. Kesalehan pribadi dalam perspektif ini dipandang sebagai sumber moralitas untuk mengatur kehidupan di ranah publik.
Sepintas lalu, anggapan semacam itu tampak cukup masuk akal. Namun, jika ditelaah lebih dalam, akan segera tampak asumsi itu mengandung problemnya sendiri. Karena sifatnya yang khas, moral komunal hanya dapat diberlakukan secara khusus (terkait dengan kandungan nilainya) dan terbatas (terkait dengan komunitas yang meyakininya).
Jenis moral semacam ini, oleh karena itu, sulit diterapkan di ranah publik yang ditandai sifat kehidupan yang jauh lebih luas, kompleks, dan multidimensi dibandingkan dengan kehidupan di level komunitas. Berbeda dengan moral komunal, moral atau etika publik justru dibangun untuk mengatasi partikularitas komunal serta mencegah moralitas suatu komunitas—sekalipun berkedudukan mayoritas—tak mendominasi komunitas lain.
Dunia publik merupakan suatu "medan kehidupan" yang mempertautkan hubungan antara kekuasaan politik (negara) dan warga negara. Di ranah ini, perilaku warga negara terikat dengan moralitas sekuler dan, oleh karena itu, "identitasnya" tidak lagi terikat pada moralitas asal suku ataupun agama yang dianutnya. Di sisi lain, warga negara juga memperoleh akses dan hak yang sama dan diperlakukan setara di ranah publik.
Perlindungan negara
Seorang individu dapat berpartisipasi dalam acara budaya tertentu tempat ia berasal ataupun merayakan hari besar agama yang dianutnya. Dalam konteks ini berlaku moralitas khusus yang hanya bisa diterapkan pada komunitas tertentu. Pada situasi ini, negara memberi perlindungan terhadap hak dan kebebasan setiap komunitas untuk mengekspresikan diri tentu dalam batas-batas yang hanya berlaku di setiap komunitas itu sendiri.
Sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki platform etika atau moral di ranah publik. Alasan dan tujuan didirikannya NKRI, sebagaimana tertuang pada Pembukaan UUD 1945, merupakan acuan konstitusional yang jadi landasan bagi pengaturan kehidupan di ranah publik. Pesan yang terkandung di dalamnya mengisyaratkan negara ini didirikan atas nama dan untuk kepentingan umum, res publica.
Secara konstitusional, negara—melalui aparat dan perangkat kebijakan publiknya—dituntut kebal dan netral dari intervensi moralitas komunal. Dasar etiknya, moralitas publik yang mewajibkan negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Gagasan inilah yang menjadi raison d'être eksistensi Republik Indonesia. Soal ini pula yang menjelaskan mengapa para Bapak Pendiri negara kita secara sadar dan visioner memilih kata republik di depan kata Indonesia.
Dengan demikian, problematik yang kini dihadapi Indonesia jelas bukan terletak pada ditinggalkannya moralitas komunal di ranah publik, melainkan diabaikannya moralitas publik. Hal ini antara lain terlihat dari perilaku para penyelenggara negara yang sering kali justru mengusung pandangan-pandangan komunal. Lebih aneh lagi, jabatan publik yang melekat pada setiap penyelenggara negara dianggap tak memiliki konsekuensi etis apa pun kala mereka membiarkan kebijakan publik dibajak oleh ideologi komunalisme.
Ranah publik sedemikian rupa telah dibelokkan dan dijauhkan dari nilai profetiknya sebagai penjaga persamaan hak warga negara dan penjamin keadilan distributif. Gejala semacam ini oleh filsuf Jürgen Habermas dipreposisikan sebagai refeodalisasi ranah publik.
Revitalisasi amanat UUD
Dengan demikian, merupakan suatu kekeliruan jika persoalan kebangsaan yang saat ini dihadapi Indonesia dipandang sebagai memudar atau ditinggalkannya moralitas komunal. Apa yang dihadapi Republik ini justru terletak pada kegagalan membangun moralitas publik yang diamanatkan konstitusi. Kegagalan mewujudkan pesan konstitusi dapat mengundang ancaman permanen dari berbagai gerakan sosial yang mengusung moralitas komunal.
Lebih dari enam dasawarsa yang lalu, the founding fathers kita telah meletakkan kode etik bernegara sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan di ranah publik. Yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi dan mereaktualisasi amanat konstitusi agar ranah publik tak semakin terancam gerakan-gerakan politik berbasis identitas.
Jika para penyelenggara kekuasaan negara tidak melakukan upaya semacam itu, terdapat alasan kuat mempertanyakan, masihkah negara ini memiliki legitimasi konstitusional untuk menyandang predikat Republik?
Rahadi Wiratama Peneliti LP3ES dan Redaktur Majalah Prisma
(Kompas cetak, 27 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®















Selasa, 26 Februari 2013

Manajemen Transportasi Publik Ibu Kota (Andi Ilham Said)

Oleh Andi Ilham Said
Sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menegaskan akan menerapkan konsep integrasi moda seperti MRT, monorel, transjakarta, dan angkutan umum untuk mengatasi kemacetan lalu lintas Jakarta (Kompas, 15/10/2012).
Hingga saat ini, sebagai Gubernur DKI periode 2012-2017, Jokowi belum juga merinci bagaimana implementasi kebijakan tersebut. Kita hanya baca di sejumlah media hal-hal berikut: jumlah bus transjakarta telah ditambah, bus reguler akan diremajakan dengan pola hibah, dan proyek mass rapid transit (MRT) masih tarik-ulur dengan pemerintah pusat soal porsi pembiayaan. Terkait upaya mengatasi kemacetan, Jokowi pernah mengemukakan soal pembuatan marka jalan yang katanya dapat mengurangi kemacetan hingga 30 persen (entah bagaimana menghitungnya) dan ide kebijakan genap-ganjil pelat nomor polisi kendaraan.
Gubernur-gubernur DKI sebelum Jokowi menyadari cara mengatasi kemacetan lalu lintas adalah menurunkan tingkat utilitas kendaraan pribadi. Karena transportasi merupakan kebutuhan vital, penurunan utilitas kendaraan pribadi hanya dapat dilakukan jika tersedia sarana transportasi publik yang nyaman dan andal. Masalahnya, hingga kini, Jakarta belum memiliki ini.
Pembangunan sistem transportasi publik merupakan program setiap gubernur sebelum Jokowi. Namun, hasilnya, hingga saat ini sistem transportasi publik Jakarta tetap tak andal, tak nyaman, semrawut, bahkan kadang berbahaya. Pada beberapa kasus, kendaraan umum jadi arena pencopetan, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan. Pembangunan sistem transportasi publik DKI seolah jadi program yang tak pernah rampung.
Berdiri sendiri
Untuk menyelesaikan kesemrawutan sistem transportasi publik, Pemerintah Provinsi DKI sebelum Jokowi menganut paradigma membangun sarana baru. Mungkin karena tak dapat mengandalkan bus-bus konvensional yang beroperasi selama ini, Sutiyoso membangun sistem transjakarta. Menuai banyak kritik di awal pembangunan, transjakarta akhirnya dapat diterima masyarakat pengguna angkutan umum. Boleh jadi itu sebabnya transjakarta dilanjutkan gubernur setelahnya. Bahkan Jokowi pernah melontarkan ide metromini dan kopaja juga ikut masuk jalur transjakarta.
Sayang sekali transjakarta belum berhasil menyelesaikan soal ketidakandalan sistem transportasi publik, apalagi jadi faktor pengurai kemacetan lalu lintas. Bahkan, seperti bus konvensional, pelayanannya tidak semakin bagus. Bus-busnya, terutama di Koridor I, makin tua dan tak segera diganti. Pintu beberapa bus tak dapat ditutup rapat sehingga udara panas dari luar menyergap masuk mengalahkan sejuk udara AC bus.
Hal serupa terjadi pada moda transportasi berbasis rel. Jokowi hingga kini belum memutuskan nasib proyek pembangunan MRT. Seperti halnya bus konvensional, pemerintah akan membangun sistem baru dengan mendirikan badan usaha sendiri untuk MRT. Kita tak tahu apakah kelak—jika berhasil dibangun—MRT akan terintegrasi dengan kereta rel listrik (KRL) yang dikelola anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Kita juga tak tahu, misalnya, apakah stasiun MRT di Dukuh Atas akan nyambung dengan Stasiun KRL Sudirman.
Idealnya, pembangunan MRT diserahkan kepada PT KAI. Dana pembangunannya—seperti di negara lain—disiapkan pemerintah, baik Pemprov DKI maupun pemerintah pusat. Penempatan dana bisa sebagai penyertaan pemerintah kepada KAI atau dalam bentuk utang. KAI menerbitkan obligasi berbunga murah yang lalu dibeli pemerintah.
Akibat paradigma "bangun baru", beragam moda transportasi publik Jakarta berjalan sendiri-sendiri. Rute transjakarta tumpang tindih dengan rute bus konvensional. Rute bus konvensional tidak serta-merta dapat dihapus karena secara faktual transjakarta belum dapat mengangkut semua penumpang di rute tersebut. Pemprov DKI lebih memilih membuka koridor baru dengan jumlah bus seadanya ketimbang menambah bus sesuai kebutuhan optimal di koridor sebelumnya. Alangkah bagusnya jika kebutuhan bus di suatu koridor dicukupi sesuai kebutuhan optimal, disusul dengan perubahan rute sejumlah bus konvensional agar tak tumpang tindih dengan rute transjakarta.
Manajemen operasi
Entah sengaja atau tidak, bus konvensional yang selama ini melayani warga Jakarta dan sekitarnya seolah dilupakan Pemprov DKI. Operator dibiarkan berjalan sendiri-sendiri, tanpa aturan main. Sopir bisa ngetem seenaknya di halte bahkan di perempatan jalan, merokok sembari mengemudikan kendaraan, sesukanya menurunkan penumpang di tengah jalan. Tidak hanya aturan pelayanan yang tidak distandarkan, tetapi juga spesifikasi bus. Tak ada patokan, misalnya, berapa usia bus—juga moda lainnya—yang boleh beroperasi di Jakarta. Itu sebabnya, Jokowi kaget ketika menemukan bus berusia 30 tahun, tanpa speedometer, masih beroperasi. Boleh jadi Gubernur belum tahu beberapa jalan di Jakarta masih dilayani "bemo" berusia lebih dari setengah abad.
Persoalannya, Pemprov DKI selama ini belum pernah menetapkan standar pelayanan dan spesifikasi bus yang boleh beroperasi di Jakarta. Hal ini juga terjadi pada transjakarta yang relatif lebih baru dan punya jalur khusus. Tampaknya, hal terpenting bagi pengelola adalah bus- busnya tetap wira-wiri di koridornya. Setelah kurang lebih delapan tahun dioperasikan, jadwal bus masuk halte kian kendur. Contoh lain tak adanya standar pengoperasian dan pelayanan angkutan publik adalah ketika ada penumpang yang diperkosa di atas angkutan kota, pemerintah secara reaktif mengharuskan sopir mengenakan seragam. Ketentuan ini hanya berlangsung beberapa waktu, setelah itu kembali seperti sebelumnya.
Selain membangun infrastruktur transportasi publik baru—menambah koridor dan bus transjakarta, membangun MRT dan monorel—tak kalah penting adalah pemerintah menetapkan spesifikasi bus dan prosedur operasional standar (SOP) yang jelas dan transparan, dipahami operator dan diketahui masyarakat pengguna angkutan umum.
Spesifikasi bus dan SOP ini harus memuat aturan secara rinci dan diimplementasikan secara konsisten. Spesifikasi bus, misalnya, mencakup aturan tinggi atap dari lantai, jarak antarkursi, kapasitas angkut, dan sebagainya. Tak cukup hanya lulus kir seperti terjadi selama ini. SOP, misalnya, tak hanya mengatur bagaimana sopir mengemudikan dan melayani penumpang, tetapi juga mengatur persyaratan yang harus dipenuhi seseorang sebelum menjadi sopir angkutan umum.
Tak kalah penting, pelibatan masyarakat dalam pengawasan penegakan aturan tersebut. Penyakit pemerintah selama ini adalah berhenti pada pembuatan aturan, seolah-olah peraturan itu akan berjalan dengan sendirinya setelah ditetapkan. Membangun sikap disiplin masyarakat tak cukup hanya dengan imbauan. Harus ada penegakan peraturan yang konsisten yang membuat warga tak berani melanggar aturan karena yakin jika melanggar akan dihukum. Masyarakat dapat dilibatkan dalam pengawasan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komputer dan komunikasi. Masyarakat, misalnya, dapat melaporkan sopir yang melanggar aturan melalui SMS dan ada jaminan bahwa Pemprov DKI akan mengambil tindakan dengan segera dan tegas.
Sanksi kepada operator dan sopir harus tegas dan konsisten. Misalnya, jika ada sopir tertangkap ngetem, sertifikatnya untuk mengemudikan bus di Jakarta dicabut. Selain itu, busnya "dikandangkan" selama beberapa waktu. Dengan cara ini pemilik bus (operator) akan turut mengawasi sopirnya untuk tidak melanggar aturan.
Sistem setoran harus segera diganti dengan sistem tiket. Pendapatan sopir seharusnya tak tergantung jumlah penumpang yang dimuat. Kinerja sopir diukur dari pelayanan, ketepatan waktu, ketaatan pada rambu lalu lintas, dan semua aturan yang berlaku.
Aturan juga harus menyeluruh, dimulai dari pembuatan standar kelayakan seorang sopir hingga bagaimana pelayanan dilakukan. Jangan lagi terjadi, setiap orang yang memiliki SIM B dengan sendirinya dapat mengemudikan bus angkutan umum. Jika pelayanan sudah bagus dan konsisten, barulah kita dapat berharap warga mau beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Andi Ilham Said Direktur Utama PPM Manajemen, Jakarta
(Kompas cetak, 26 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Kurikulum sebagai Kendaraan

Oleh Anita Lie
Harapan dan antusiasme bercampur dengan kecemasan dan keraguan dalam wacana publik soal rencana pelaksanaan Kurikulum 2013. Berbagai respons dan sikap ini menandakan kepedulian dan rasa memiliki yang besar terhadap pembangunan pendidikan di Indonesia. Kehangatan respons publik, terutama dari masyarakat pendidikan, merupakan prakondisi menggembirakan terhadap strategi pembangunan pendidikan nasional jangka panjang.
Sikap positif dan dukungan terhadap rencana pemberlakuan Kurikulum 2013 dilandasi pemikiran bahwa memang perubahan kurikulum sudah selayaknya dilakukan untuk merespons transformasi zaman dan kebutuhan abad ke-21. Para pendukung berharap sekolah bisa menyiapkan peserta didik menjadi pribadi berkarakter mulia serta punya pengetahuan dan keterampilan yang relevan untuk bisa berpartisipasi dan berkontribusi di masyarakat abad ke-21.
Sebaliknya, kecemasan dan keraguan yang melandasi berbagai sikap, mulai dari kritik tajam sampai penolakan, menunjukkan ketidakpercayaan bahwa Kurikulum 2013 merupakan solusi bagi berbagai masalah pendidikan di Indonesia. Perspektif yang tepat mengenai fungsi, peran, dan konteks kurikulum akan membantu para pemangku kepentingan sistem pendidikan nasional (baik pendukung maupun pengkritik) bisa bekerja sama mencapai tujuan bersama bangsa ini melalui pembangunan pendidikan, sambil tetap menghormati ruang untuk bisa "sepakat untuk berbeda dan tidak sepakat". Ditinjau dari asal katanya dalam bahasa Latin, currere, kurikulum bisa berarti 'kendaraan'. Jadi, kurikulum bukan merupakan segala sesuatunya dalam suatu sistem pendidikan.
Kurikulum merupakan alat mencapai suatu tujuan dan membutuhkan keandal- an penggunanya. Sama seperti kendaraan apa pun, banyak ketidaksempurnaan dalam setiap kurikulum. Dalam perspektif kepentingan bangsa dan negara, kendaraan kurikulum ini akan berfungsi dan berperan baik jika para pelaku dan pemerhati punya kejelasan tujuan dan visi bersama, peta jalan yang benar, serta keandalan dalam pemanfaatan kendaraan.
Visi bersama
Pembangunan pendidikan perlu visi bersama yang bisa mengikat para pejabat dalam sistem pendidikan pada tingkat nasional maupun daerah untuk menghasilkan dan melaksanakan kebijakan dengan derajat koherensi dan konsistensi yang melebihi masa jabatan. Visi dan misi pendidikan nasional seperti tertuang dalam Pasal 3 dan penjelasannya dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: mengembangkan potensi peserta didik agar jadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkarakter mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta jadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Perumusan normatif visi dan misi ini butuh penjelasan, sosialisasi, dan internalisasi lebih lanjut kepada semua pemangku kepentingan agar kesinambungan pembangunan pendidikan nasional bisa melampaui masa jabatan menteri dan jajarannya. Koherensi sistem dan kebijakan pendidikan dengan visi pembangunan pendidikan dan kemajuan bangsa melalui pendidikan mencakup tiga isu sentral: sentralisasi-desentralisasi, komitmen pendidikan untuk semua, dan kejelasan sasaran. Fenomena penyusunan-pengesahan suatu kebijakan pendidikan, pengajuan uji materi, dan pembatalan kebijakan itu akhir-akhir ini menunjukkan kurangnya koherensi antara tujuan, sistem, dan kebijakan. Kita berharap di kemudian hari energi dan sumber daya tidak terbuang sia-sia dalam pertarungan antara pembuat dan penentang kebijakan.
Peta jalan mengidentifikasi berbagai strategi yang tepat dan berkontribusi terhadap pencapaian-pencapaian yang diharapkan. Kadang kala satu strategi akan berkontribusi terhadap satu pencapaian, tetapi dikhawatirkan akan menghambat pencapaian yang lain. Misalnya, strategi pengadaan buku pedoman kurikulum dan buku teks oleh pemerintah pusat diharapkan bisa menjamin pemerataan mutu materi pembelajaran untuk semua daerah. Terungkapnya contoh beberapa buku teks yang tidak layak pakai bagi peserta didik karena kecerobohan pada tingkat daerah dan satuan pendidikan dalam seleksi buku teks, serta kurangnya komitmen sebagian kepala daerah dalam pembangunan pendidikan, menjustifikasi kembalinya sentralisasi bagi beberapa kepentingan.
Sebaliknya, sebagian kritikus mencemaskan tergerusnya kebinekaan dalam materi pembelajaran. Maka dari itu pemetaan dan pemilihan strategi pencapaian tujuan pendidikan membutuhkan kejelasan interpretasi visi dan misi pendidikan serta pandangan holistik dan sistemik yang diperkuat oleh basis data.
Keandalan pengendara
Kendaraan secanggih Mercedes pun bisa mengakibatkan kematian bagi penumpangnya (ingat kecelakaan Lady Diana) jika penggunaannya tidak benar. Faktor sangat penting dalam keberhasilan (atau kegagalan) dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 adalah guru sebagai pengendaranya. Pemerintah sudah berupaya sangat keras untuk meningkatkan kompetensi guru melalui berbagai strategi.
Salah satunya adalah peningkatan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi. Namun, sayangnya, survei Bank Dunia menunjukkan bahwa sertifikasi guru ternyata tidak mengubah perilaku dan praktik mengajar guru serta belum meningkatkan prestasi guru dan siswa secara signifikan (Kompas, 18 Desember 2012).
Hal itu berarti pemerintah harus lebih bersungguh-sungguh dan berupaya lebih keras lagi—dan cerdas—untuk meningkatkan dedikasi dan kompetensi guru, serta merancang strategi pengembangan profesionalisme guru mulai dari masa prajabatan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) sampai dengan pengembangan dalam masa jabatan.
Salah satu hal positif dalam program sertifikasi guru yang terungkap dalam survei Bank Dunia adalah adanya peningkatan minat kaum muda memilih profesi guru. Dampak sementara ini seharusnya dianggap sebagai momentum emas untuk memperbaiki profesi guru secara menyeluruh. Dua faktor yang menjadi benang merah di antara negara-negara yang mempunyai tingkat keberhasilan tinggi dalam pembangunan pendidikan bukan standar nasional, sentralisasi-desentralisasi, pembiayaan, dan kurikulum, melainkan kultur masyarakat dan kualitas guru.
Sementara transformasi budaya merupakan prakondisi dan sekaligus capaian jangka panjang yang bisa ditetapkan untuk pembangunan pendidikan, peningkatan kualitas guru merupakan prasyarat penting bagi keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013 dan kurikulum selanjutnya. Pilihan mendukung, menolak, atau mendukung dengan catatan tentunya membawa konsekuensi masing-masing. Ketika kendaraan sudah dipacu untuk melaju, kepentingan peserta didik dan bangsa seyogianya jadi bahan bakar yang menggerakkan. Kritik terhadap Kurikulum 2013 sebenarnya bisa dipilah menjadi catatan perbaikan substansial dan ketidakpuasan terhadap prosedur (misalnya pelaksanaan uji coba, jadwal, dan sebagainya). Dibutuhkan wawasan, kedewasaan emosional, dan kearifan untuk mengolah berbagai kegaduhan dan mengendalikan diri agar para penumpang di dalam kendaraan tidak menjadi bingung dan tersesat.
Anita Lie Profesor dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Widya Mandala, Surabaya
(Kompas cetak, 26 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Derita Mendera Dera (Laras Susanti)

Oleh Laras Susanti
Negeri ini kembali berduka. Pasalnya, seorang bayi bernama Dera Nur Anggraeni meregang nyawa. Ia menderita gangguan pernapasan yang membutuhkan perawatan intensif dan memadai.
Upaya keluarga Dera mencari rumah sakit tidak berbuah hasil. Meskipun berbekal surat keterangan tidak mampu (SKTM), Dera ditolak sejumlah rumah sakit pemerintah karena kamar sudah penuh. Rumah sakit lain berdalih tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk Dera. Sementara jika merujuk pada rumah sakit swasta, keluarga Dera diminta membayar deposit puluhan juta rupiah.
Jaminan kesehatan
Peristiwa ini seharusnya tidak dipandang sambil lalu karena telah sejak lama pemerintah mencanangkan program jaminan kesehatan bagi warga. Ada beragam program yang dicanangkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bahkan, secara spesifik jaminan persalinan (Jampersal) hadir bagi ibu hamil dan anak. Lantas mengapa Dera dan mungkin banyak bayi lain ditolak? Benarkah sulit bagi pemerintah menyediakan fasilitas memadai bagi ibu dan anak?
Derita Dera bukanlah derita biasa. Deritanya menggambarkan ketakberdayaan pemerintah memberi pelayanan terbaik bagi warga negara terutama di bidang kesehatan. Setiap tahun pemerintah menganggarkan sejumlah dana untuk menjamin hak mendapat pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Contohnya Jamkesmas, program ini didanai dari APBN untuk warga miskin. Pada 2012, pemerintah menganggarkan Rp 7,8 triliun. Jumlah ini meningkat karena di tahun sebelumnya pemerintah hanya menggelontorkan Rp 6,9 triliun.
Realitasnya, pada 2010 Kementerian Kesehatan melansir hanya 10 persen dari total 76,4 juta warga miskin yang memanfaatkan Jamkesmas. Selain itu, setiap pemerintah daerah juga berkewajiban menjamin hak warganya dengan Jamkesda. Miliaran rupiah dikeluarkan dari kas daerah untuk program ini. Khusus untuk DKI Jakarta, Gubernur Joko Widodo melansirnya sebagai Kartu Sehat Jakarta.
Khusus untuk ibu hamil dan anak yang dikandung terdapat Jampersal. Tahun lalu, DPR menyepakati Rp 1,56 triliun untuk memberi layanan kesehatan kepada ibu hamil dan anak. Sayangnya, di banyak daerah penyerapan Jampersal bahkan di bawah 30 persen.
Seharusnya jaminan kesehatan ini memberi pelayanan pada masa kehamilan, persalinan, nifas (42 hari setelah melahirkan), dan bayi baru lahir (sampai usia 28 hari). Pembiayaan yang dijamin adalah pemeriksaan kesehatan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas, pelayanan program keluarga berencana pascapersalinan, dan pelayanan bayi baru lahir. Jaminan ini hanya dapat diberikan kepada keluarga yang tidak menerima jenis jaminan kesehatan lainnya.
Ini merupakan fenomena yang mengherankan. Dengan warga miskin berjumlah puluhan juta jiwa, seharusnya jaminan pelayanan kesehatan bisa terserap maksimal. Data penduduk miskin yang bermasalah, sosialisasi yang minim, birokrasi pengurusan yang berbelit, juga belum optimalnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan pihak rumah sakit dipandang menjadi biang kerok.
Serbuan mafia
Dalam kondisi yang serba semrawut, miliaran rupiah dana yang dikucurkan bisa menjadi sasaran empuk koruptor. Contohnya, dugaan korupsi Jamkesmas di Binjai, Sumatera Utara, yang diperkirakan merugikan negara Rp 11,3 miliar. Jumlah fantastis yang seharusnya digunakan oleh warga yang sakit justru menjadi bancakan pejabat korup.
Kasus daerah sebenarnya cerminan dari bobroknya pengelolaan alokasi pelayanan kesehatan oleh pemerintah pusat. Indonesia Corruption Watch (ICW) memublikasikan, sepanjang 2008-2009 ada sekitar Rp 128 miliar dana kesehatan yang dikorupsi. Sejalan dengan temuan ICW, Pukat Korupsi mencatat, sepanjang semester pertama 2012 ada enam kasus korupsi kesehatan yang ditangani penegak hukum, termasuk yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.
Sudah pengetahuan umum bahwa program negara untuk menyejahterakan rakyat justru rebutan bagi pemburu proyek. Yang menjadi fokus, berapa banyak bayaran yang akan diterima sejumlah oknum ketimbang berapa besar manfaat yang dirasakan warga, khususnya mereka yang tak berpunya. Bagaimana mungkin memberi fasilitas maksimal jika pengadaan alat kese- hatan tak sesuai dengan perencanaan. Sebut saja korupsi pengadaan rontgen portable di puskemas daerah tertinggal, dana proyek digelembungkan bahkan alat itu tidak disalurkan.
Potret semrawut sistem jaminan kesehatan dan jamaknya korupsi setidaknya menggambarkan betapa sulit warga mendapat haknya. Mengacu pada kasus Dera, keluarganya hanya memiliki SKTM. Artinya, belum memiliki jaminan kesehatan apa pun. Seharusnya terbuka banyak peluang bagi pemerintah pusat dan daerah mencukupi kebutuhannya, termasuk Jampersal.
Nyatanya, tetap sulit bagi Dera mendapatkan pertolongan. Sejumlah pejabat boleh angkat bicara dan menjelaskan. Mereka tentu boleh memberi alasan. Namun, Dera telah berpulang. Rasanya pun sulit bagi kita menerima alasan para pejabat, alasan yang justru menunjukkan minimnya performa karena minimnya kemauan politik.
Terdengar kabar bahwa Presiden akan mengunjungi keluarga Dera. Sayang, kasus Dera menggambarkan pemerintah telah gagal melindungi hak warga negara, khususnya mereka yang tergolong kelompok rentan, yang hidup dalam kemiskinan dan tak punya cukup daya memperjuangkan hak-haknya.
Laras Susanti Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
(Kompas cetak, 26 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®















Senin, 25 Februari 2013

Seleksi Calon Legislator

Oleh Ramlan Surbakti
Berbagai survei mutakhir menunjukkan kepercayaan publik terhadap partai politik memudar karena perilaku kader partai yang korup dan tidak peduli pada aspirasi konstituen (Kompas, 4/2).
Salah satu cara memulihkan kepercayaan itu adalah melibatkan anggota partai memilih bakal calon dari sejumlah calon yang disiapkan dan diseleksi pengurus.
Partai politik peserta Pemilu 2014 memiliki tiga persamaan. Pertama, persyaratan menjadi calon anggota DPR dan DPRD yang diterapkan merupakan kombinasi dua atau lebih syarat yang pada dasarnya mencari calon yang berpeluang besar mendulang suara.
Persyaratan itu: popularitas (tingkat pengenalan pemilih terhadap calon), elektabilitas (kehendak pemilih memilih calon), integritas calon (kesesuaian perilaku calon dengan norma masyarakat dan kejujuran calon), dana kampanye (kemampuan keuangan calon memobilisasi dukungan pemilih), pengabdian kepada partai, kadar komitmen ideologi partai, tingkat pendidikan, serta dukungan organisasi partai dan tim pendamping memobilisasi dukungan pemilih (Kompas, 29/1, halaman 2 dan Kompas, 31/1, halaman 2).
Kedua, yang menyeleksi bakal calon anggota DPR dan DPRD adalah tim seleksi yang dibentuk oleh kepengurusan partai tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota. Namun, yang menetapkan daftar calon dan nomor urutnya adalah pengurus partai tingkat pusat untuk daftar bakal calon anggota DPR, pengurus partai tingkat provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD provinsi dan daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/ kota setelah mendapat persetujuan pengurus pusat.
Partisipasi anggota
Barang tentu terdapat variasi antarpartai dalam metode yang digunakan tim seleksi untuk menyeleksi bakal calon yang tak akan disebutkan di sini. Ketiga, sama sekali tak ada keterlibatan anggota partai dalam proses seleksi calon. Poin yang diabaikan partai inilah fokus tulisan ini.
Salah satu bentuk demokratisasi partai politik secara internal adalah partisipasi anggota partai dalam seleksi calon anggota lembaga legislatif dan seleksi calon kepala pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal. Derajat partisipasi pemilih dalam seleksi calon dapat dipilah jadi beberapa tingkat dalam spektrum inklusif dan eksklusif: pemilihan pendahuluan terbuka, pemilihan pendahuluan tertutup, kaukus lokal, konvensi partai, serta seleksi dan penetapan oleh pengurus.
Pandangan lain menempatkan kelima kategori ini dalam spektrum derajat partisipasi-derajat sentralisasi. Yang berhak memberikan suara pada pemilihan pendahuluan terbuka tidak hanya anggota partai yang mengadakan pemilihan calon, tetapi juga pemilih terdaftar lainnya, baik berstatus anggota partai lain maupun yang independen. Karena itu, pemilihan pendahuluan terbuka merupakan seleksi kandidat yang paling inklusif atau derajat partisipasi yang paling tinggi.
Yang memberikan suara pada pemilihan pendahuluan tertutup hanya anggota partai yang mengadakan pemilihan calon itu. Yang memberikan suara pada kaukus hanyalah anggota partai yang mengadakan pemilihan calon, tetapi didahului diskusi dan perdebatan, baik antaranggota maupun antara calon dan anggota, tentang kebijakan yang akan diperjuangkan sang bakal calon. Pada pemilihan pendahuluan suara diberikan oleh pemilih secara rahasia, sedangkan pada kaukus suara diberikan pemilih secara terbuka kepada calon yang dikehendaki.
Yang hadir dan yang berhak memberikan suara pada konvensi partai tingkat lokal ataupun nasional adalah delegasi yang dipilih anggota partai yang mengadakan pemilihan calon itu. Nama-nama calon diseleksi dan diajukan partai. Pemberian suara didahului diskusi dan perdebatan antara delegasi dan calon ataupun antardelegasi tentang kebijakan yang akan diperjuangkan calon.
Yang menentukan bakal calon pada tingkat yang kelima adalah pengurus inti partai berdasarkan rekomendasi tim seleksi yang dibentuk pengurus pusat dan pengurus daerah. Karena itu, seleksi dan penetapan oleh pengurus partai merupakan seleksi kandidat yang paling eksklusif karena sama sekali tak melibatkan anggota partai. Kategori kelima ini juga menempati derajat sentralisasi paling tinggi. Partai politik peserta pemilu di Indonesia termasuk kategori seleksi kandidat yang paling eksklusif dan sentralistik.
Fungsi khas partai
Mengapa seleksi calon yang melibatkan anggota partai begitu penting dalam demokrasi? Menurut Richard S Katz (2001), seleksi calon merupakan salah satu fungsi khas partai dalam demokrasi. Ini tidak hanya karena seleksi calon untuk bersaing pada pemilu merupakan salah satu fungsi yang membedakan partai politik dari organisasi lain yang mungkin berupaya memengaruhi baik hasil pemilu maupun keputusan yang akan diambil pemerintah, tetapi juga karena calon yang dinominasikan memainkan peran penting menentukan wajah partai yang bersangkutan di depan publik.
Calon sebagai orang dan sebagai peran melaksanakan setidak-tidaknya empat fungsi dalam partai politik kontemporer sebagai organisasi dan dalam demokrasi kontemporer sebagai sistem tata kelola pemerintahan. Pertama, calon partai itulah yang menggambarkan wajah partai pada pemilu. Secara kolektif para calon itu memperlihatkan dimensi demografis, geografis, dan ideologis partai yang bersangkutan. Calon partai itulah yang lebih banyak menggambarkan wajah partai kepada publik, baik pada saat pemilu maupun setelah terpilih menjadi pejabat publik.
Kedua, calon adalah hasil perekrutan, sedangkan pencalonan adalah salah satu jalur perekrutan bagi keanggotaan partai untuk jabatan publik. Begitu terpilih, sang calon menempati posisi penting, baik dalam partai maupun dalam pemerintahan, baik secara simbolik dan seremonial maupun secara aktual. Ketiga, ketika terpilih, calon yang telah jadi wakil rakyat itu tak hanya mencerminkan partai secara kolektif, tetapi juga mewakili daerah pemilihan tertentu. Karena mewakili daerah pemilihan tertentu, sang wakil memiliki keterikatan dengan warga lokal yang tinggal di daerah pemilihan itu.
Keempat, pencalonan memiliki makna yang penting karena tekanan, pengaruh, dan kekuasaan yang dapat digunakan oleh calon, bahkan pengaruhnya lebih besar lagi apabila terpilih. Karena itu, partisipasi para anggota partai dalam penentuan calon partai menjadi suatu keharusan.
Hazan dan Rahat (2010) memandang metode seleksi calon sebagai komponen penting dalam demokrasi partai secara internal. Pertama, calon merupakan salah satu aktor utama yang menentukan arah kegiatan partai politik sehingga jadi salah satu pemegang kekuasaan dalam partai. Kedua, seleksi calon juga merupakan komponen utama memahami evolusi berbagai model organisasi partai yang berbeda.
Ketiga, seleksi calon juga memengaruhi faktor luar partai: pilihan yang dihadapi pemilih, komposisi badan legislatif, kohesi fraksi-fraksi di parlemen, kepentingan yang menonjol dalam perdebatan kebijakan, dan produk legislatif. Seleksi calon partai merupakan komponen kunci praktik demokrasi modern sehingga wajib dipertimbangkan dalam menilai apakah negara secara luas sudah demokratis atau belum. Apakah seleksi kandidat merupakan ranah partai politik atau ranah negara? Niscayalah ranah negara sehingga perlu diatur melalui undang-undang.
Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
(Kompas cetak, 25 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Powered By Blogger