Oleh SOEGENG SARJADI
Mencermati dinamika politik di Tanah Air akhir-akhir ini yang riuh bukan untuk hal-hal yang substansial, saya jadi teringat Moeslim Abdurrahman almarhum. Sambil makan siang di ruang kerja penulis, dia pernah mengatakan bahwa rumah civil society sejatinya kini sudah kosong.
Para penghuninya sudah lama pergi ke ranah bisnis dan politik. Sementara generasi baru terkena sindrom budaya pop akut. Mereka lebih menyukai sesuatu yang instan. Ingin cepat kaya dan menjadi pejabat meskipun kapabilitasnya belum mencukupi. Kekosongan rumah masyarakat sipil itu diperburuk miskinnya kaderisasi dan rekrutmen di tubuh partai politik.
Akibatnya, para politisi yang menguasai ranah publik secara umum hanya berpijak pada pencitraan politik. Mereka tidak memanggul kesadaran nurani bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi. Mereka bukan pemimpin berkarakter "hulu" yang lahir dari proses pengaderan sistematis sehingga menguasai permasalahan riil rakyat, jejaring sosial akar rumput, dan basis ideologi yang kukuh.
Dua opsi
Karena para politisi kita pada umumnya bukan figur yang muncul dari hulu, tidak mengherankan jika mereka kurang mumpuni dalam membangun budaya politik. Seluruh konstruksi politik yang mereka bayangkan selama ini hanya sebatas kontestasi jangka pendek. Ini bisa dilihat, misalnya, dari aturan mengenai ambang batas presiden (presidential threshold).
Sejauh ini tidak ada argumen yang jernih mengenai penetapan ambang batas presiden sebesar 20 persen kursi parlemen. Patut diduga, besaran angka tersebut dimunculkan karena partai-partai besar, khususnya Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat merasa mampu meraih angka tersebut. Dengan istilah lain, politik ambang batas adalah persepsi diri ketiga partai besar itu yang meyakini bahwa peluang mereka untuk mengusung calon presiden sendiri (tanpa perlu koalisi) terbuka lebar. Untuk itulah, angka 20 persen dimunculkan.
Apabila rasionalisasinya adalah dalam rangka memperkuat pemerintah karena mendapat dukungan kuat di parlemen, angka itu tetap belum signifikan. Baru berarti jika ambang batasnya adalah 40 persen. Secara hipotesis, hampir mustahil ada partai yang mampu mencapai angka ini. Hasilnya, tidak ada partai yang jumawa karena merasa memperoleh suara besar seperti yang selama ini terjadi. Seluruh partai tidak ada pilihan lain kecuali berkoalisi.
Kepentingan sempit partai
Ambang batas tinggi seperti itulah yang menjadi variabel pengontrol terhadap argumen para politisi yang mengatakan bahwa pemerintahan akan efektif apabila mempunyai dukungan parlemen yang kuat. Apabila mereka menolaknya, politik ambang batas yang mereka panggul selama ini pada dasarnya tak lebih dari cermin kepentingan sempit partai-partai besar tersebut.
Variabel lain yang dapat mengontrol kemurnian argumen ambang batas presiden adalah dihapuskannya ketentuan itu. Maksudnya, seluruh partai politik yang punya kursi di parlemen berhak mengajukan calon presiden. Dengan demikian, perlakuan adil terhadap tiap partai dijunjung. Apabila partai-partai besar tak bersetuju dengan langkah tersebut, dan bersikukuh dengan angka 20 persen, itu bukti bahwa selama ini mereka dibelit kepentingan politik sempit.
Kedua opsi itu (ambang batas tinggi dan tanpa ambang batas) masing-masing akan melahirkan kepemimpinan nasional yang dikehendaki publik. Karakter dan ketokohan yang kuat dari seorang calon presiden akan mendorong publik memilih partai yang mencalonkan figur tersebut. Di sini, meskipun ambang batas tinggi, kalau tokoh tersebut begitu populer dan partai bekerja dengan hebat, tidak mustahil angka tersebut bisa dicapai.
SOEGENG SARJADI Ketua Soegeng Sarjadi
(Kompas cetak, 28 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar