Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 29 Juni 2019

TEKNOLOGI DIGITAL, BIG DATA, ARTIFICIAL INTELLIGENCE, KESEHATAN: Indonesia Sehat 4.0 (BUDI WIWEKO)

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Ilustrasi: Big data

Kemajuan teknologi digital, "big data", kecerdasan buatan ("artificial intelligence /AI) dan genomik dalam dua dekade terakhir telah membawa semangat serta arus perubahan dalam berbagai bidang termasuk kesehatan.

Konsep inovasi disrupsi sebagai sebuah langkah terobosan yang memimpin perubahan dalam masyarakat serta memengaruhi pasar secara dominan, sangat terfasilitasi dan terakselerasi oleh Revolusi Industri 4.0.

Survei National Health Services (NHS) pada tahun 2019 menyatakan dengan tegas bahwa kemajuan teknologi yang saat ini memberikan kontribusi lebih dari 80 persen terhadap layanan maupun tenaga kesehatan adalah kemampuan dalam menganalisis genomik, diikuti oleh penggunaan perangkat telepon pintar, teknologi pengenal suara, penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam memprediksi, dan penggunaan perangkat diagnostik cerdas.

Permasalahan kesehatan di Indonesia

Di Indonesia, berbagai permasalahan besar masih membayangi dunia kesehatan pada era Revolusi Industri 4.0. Data riset kesehatan 2018 menunjukkan buruknya indikator berbagai penyakit degeneratif, seperti:  obesitas, hipertensi, penyakit ginjal kronik dan kencing manis. Tidak kurang dari 21,8 persen proporsi penduduk Indonesia mengalami obesitas, prevalensi kencing manis mencapai 2 persen, serta jumlah penderita penyakit ginjal kronik mencapai 3,8 per mil pada populasi di atas usia 15 tahun.

Angka ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi di negara tetangga atau pun negara maju di dunia.  Tidak hanya itu, dampak kebiasaan merokok yang semakin meningkat juga memiliki kontribusi negatif pada masyarakat. Ibu-ibu hamil mengalami anemia, yang menjadi variabel penting penyebab kematian ibu.

Di sisi lain, penyakit infeksi tuberkulosis dan demam berdarah masih menjadi momok menakutkan dengan case fatality rate yang cukup tinggi. Kita merupakan negara peringkat kedua untuk prevalensi tuberkulosis tertinggi di dunia, setelah India.

Meningkatnya angka harapan hidup serta berkah keberhasilan program Keluarga Berencana akan membawa kita pada bonus demografi di tahun 2030. Namun, sekitar 15 persen populasi Indonesia atau sekitar 45 juta penduduk pada tahun 2030 merupakan kelompok usia lanjut, yang memerlukan antisipasi yang baik dalam pengelolaannya.

Para pengambil kebijakan dan profesional tenaga kesehatan negeri ini perlu sensitif, untuk mampu mengadopsi dan beradaptasi dengan cepat sehingga bisa menghasilkan inovasi disrupsi dalam memecahkan berbagai permasalahan besar di atas.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Awak Bis menjalani pemeriksaan kesehatan di Posko Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur di terminal Purabaya, Sidoarjo, Selasa (28/5/2019). Pemeriksaan untuk mengetahui kesiapan para awak untuk melayani lonjakan penumpang saat arus mudik lebaran melalui terminal tersebut.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (BAH)
28-05-2019

"Big data", bioinformatika dan AI sebagai kunci

Potensi big data kesehatan yang merupakan kombinasi data klinik dan genomik dapat dimanfaatkan sebagai daya ungkit untuk menjelaskan faktor risiko kesehatan individu secara kuantitatif dan biokimiawi.

Pada dasarnya suatu penyakit non infeksi dapat terjadi bila ada kombinasi dan interaksi antara faktor genetik, kebiasaan hidup serta lingkungan. Perubahan koding asam basa DNA, proses metilasi-demetilasi, dan asetilasi-deasetilasi merupakan faktor penyebab terjadinya over expression atau under expression sebuah gen peletup penyakit degeneratif tertentu.

Dibutuhkan keilmuan bioinformatika dalam menerjemahkan data klinik dan genomik  menjadi sebuah algoritma dalam mengenali secara dini faktor risiko penyakit, sehingga memungkinkan kita untuk melakukan pencegahan primer serta menangani penyakit secara tepat.

Tentu kita masih ingat bagaimana kisah Angeline Jolie yang rela melakukan operasi pengangkatan kedua payudaranya setelah diduga memiliki mutasi gen BRCA-1 sebagai pembawa risiko kanker dengan akurasi hingga 85 persen. Semua ini dapat dimengerti karena diterjemahkan dengan mudah oleh ilmu bioinformatika.

Modalitas ini diperkaya oleh deep learning dan machine learning yang mampu mengolah ribuan hingga jutaan data menjadi sebuah artificial intelligence dengan keunggulan dalam kecepatan dan ketajaman analisis data dalam layanan kesehatan.

Kompetensi bioinformatika merupakan kombinasi antar ilmu komputer, matematika, genetik dan ilmu sains dasar. Seorang ahli bioinformatika memiliki kemampuan untuk menterjemahkan jutaan gigabyte pasang basa DNA menjadi algoritma yang bermanfaat dalam deteksi dini maupun tata laksana penyakit tertentu.  Modalitas ini diperkaya oleh deep learning dan machine learning yang mampu mengolah ribuan hingga jutaan data menjadi sebuah artificial intelligence dengan keunggulan dalam kecepatan dan ketajaman analisis data dalam layanan kesehatan.

Malaysia, melakukan studi kohor (cohort studies) yang masif dan terstruktur terhadap lebih dari 100.000 penduduknya untuk mengindentifikasi faktor risiko berbagai penyakit degeneratif.  Studi ini dipimpin oleh Universitas Kebangsaan Malaysia dan diberi judul "For The Future of Malaysia".  Melalui studi ini, negara Malaysia akan mendapatkan pola dan algoritma faktor risiko penyakit degeneratif pada penduduknya sehingga mereka dapat melakukan intervensi dini untuk menghasilkan generasi masa depan yang unggul serta menghemat pembiayaan kesehatan.

Singapura sudah lebih dulu menerapkan konsep big data dan precision medicine dalam program asuransi nasionalnya. Sebagai contoh, yaitu pada pemberian obat anti epilepsi berbasis genetik yang menghindari inefektivitas fenitoin akibat resistensi. Pendekatan ini dapat menghemat belanja kesehatan Singapura hingga jutaan dollar.

Amerika Serikat melalui Harvard University begitu getolnya mendidik masyarakat mengenai pemahaman ilmu genetik dan bio informatika pada awam, siswa sekolah dasar, sekolah menengah maupun mahasiswa. Berbagai modul edukasi bio informatika disiapkan oleh Harvard University demi mendidik masyarakatnya agar memahami bagaimana konsep pencegahan penyakit di masa datang.

Demi masa depan Indonesia

Untuk mengakomodasi kemampuan deteksi dini penyakit degeneratif, kita perlu belajar dan memanfaatkan kecerdasan buatan dalam program penapisan massal, bahkan sejak periode bayi baru lahir, sehingga semua data klinik dan genomik penduduk Indonesia tercatat dalam Kartu Indonesia Sehat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia saat ini berfokus pada Program Indonesia Sehat – Pendekatan Keluarga (PIS – PK) yang berorientasi pada siklus kehidupan. Konsep pencegahan primer sangat erat terkait dengan upaya kita menyiapkan jabang bayi dalam kandungan ibunya. "The first nine month shape the rest of your life ", begitu David Barker memopulerkan hipotesis ini sejak tahun 2002.

Program Indonesia Sehat 4.0 ini memerlukan investasi awal yang diyakini akan mampu mengeliminasi defisit pembiayaan kesehatan BPJS di masa datang secara signifikan, dan sebagai bonusnya kita akan mendapatkan generasi emas untuk menyongsong Indonesia 2045 sebagai salah satu negara maju di dunia.

Bukan tidak mungkin, dengan inovasi disrupsi dan penerapan bio informatika pada pendekatan program PIS-PK, kita benar-benar dapat memotong mata rantai penyakit degeneratif sejak di hulu.

Kita memiliki Indonesian Medical Education Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Eijkman Institute yang memiliki sumber daya peralatan dan teknologi terbaru (next generation sequencing) maupun sumber daya manusia yang siap untuk mendukung pengembangan program pencegahan primer berbasis genomik.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE)

Petugas pendaftaran rawat jalan di Rumah Sakit Pusat Persahabatan, Jakarta, melayani pasien dengan menggunakan aplikasi INA CBG's – SEP Integrated System (INASIS), Jumat (25/9). Sistem ini memungkinkan verifikasi data peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat dilakukan melalui satu pintu sehingga pelayanan menjadi lebih cepat.
Kompas/Yuniadhi Agung (MYE)
25-09-2015

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Indonesia (BPJS), belum lama ini telah meluncurkan potensi kekayaan datanya yang mencapai jutaan populasi dan ribuan variabel, hanya sampai saat ini belum terdengar adanya algoritma serta pola tertentu yang lahir dari big data ini, agar dapat dimanfaatkan sebagai langkah promotif dan preventif kesehatan Indonesia. Tentunya ini merupakan langkah maju yang dapat kita optimalkan pemanfaatannya.

Program Indonesia Sehat 4.0 ini memerlukan investasi awal yang diyakini akan mampu mengeliminasi defisit pembiayaan kesehatan BPJS di masa datang secara signifikan, dan sebagai bonusnya kita akan mendapatkan generasi emas untuk menyongsong Indonesia 2045 sebagai salah satu negara maju di dunia.

Kompas, 29 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

KESEHATAN: Menjaga Orang Sakit (DR SAMSURIDJAL DJAUZI)

ARSIP PRIBADI

Samsuridjal Djauzi

Sudah hampir satu bulan ayah saya dirawat di rumah sakit akibat serangan stroke. Keadaan beliau waktu masuk cukup gawat sehingga harus dirawat di ruang perawatan intensif. Baru setelah seminggu boleh pindah ke ruang perawatan biasa. Kami amat bersyukur, tapi ayah belum bisa bicara. Jika kita bicara, tampaknya dia sedikit mengerti. Kadang-kadang dia teriak, mungkin marah.

Asupan makanan masih melalui saluran plastik dari hidung. Beliau juga masih mendapat infus untuk memasukkan obat. Bahkan, ada alat pengatur infus karena obat yang dimasukkan dosisnya harus tepat. Untuk mandi, buang air besar, dan buang air kecil, ayah harus dibantu perawat. Di bokongnya sekarang ada kemerahan yang menurut perawat dapat berkembang menjadi luka karena tekanan berat badan ayah yang cukup berat. Untuk mencegah luka, ayah harus dimiringkan secara berkala.

Keluarga sudah dua kali diajak bicara oleh dokter yang merawat, yang pada intinya ayah sedang dipersiapkan untuk perawatan di rumah. Kami merasa senang. Namun, kami ragu apakah keluarga mampu merawat ayah karena kami kedua anaknya bekerja di perusahaan swasta. Saya anak perempuan dan merupakan anak yang tertua. Rencananya, jika pulang, ayah akan dirawat di rumah saya.

Suami saya bekerja di bagian pemasaran sebuah perusahaan sehingga sering bepergian ke luar kota. Anak saya baru berumur 3 tahun yang amat dekat dengan saya. Adik saya juga perempuan, seorang dosen, dan suaminya pegawai bank swasta yang juga sibuk. Mereka belum punya anak. Di rumah saya dibantu oleh asisten rumah tangga perempuan berumur 28 tahun. Tugas dia yang utama adalah membersihkan rumah dan menemani anak saya.

Dengan rencana kepulangan ayah, kami harus merencanakan bagaimana agar ayah dapat terawat dengan baik. Saya dan suami juga adik saya serta suaminya tak punya latar belakang kesehatan. Jadi, kami berencana untuk meminta bantuan perawat untuk menjaga ayah.

Setelah dihitung, ternyata biayanya besar sekali karena perawat bekerja dalam sif dan honornya setiap jaga lumayan tinggi. Saya berunding dengan kepala perawatan apakah ayah dapat dijaga oleh seorang penjaga orang sakit. Dulu kakak ayah saya yang menderita kanker dijaga oleh penjaga orang sakit dan keluarga amat tertolong dengan bantuan penjaga orang sakit. Penjaga orang sakit tersebut menemani paman saya selama sembilan bulan sampai paman saya meninggal.

Pertanyaan saya, apakah kemampuan penjaga orang sakit? Apakah ia boleh memberikan obat, mengukur tekanan darah, suhu, dsb? Apakah ayah saya perlu didatangi dokter atau perawat secara teratur? Mungkinkah sebelum ayah pulang penjaga rumah sakit dilatih dulu oleh perawat? Di mana saya mendapat tenaga penjaga orang sakit karena yang dulu menjaga paman saya sudah menikah dan tidak bekerja lagi sebagai penjaga orang sakit?

M di J

Perawatan di rumah sakit sekarang makin lama makin dipersingkat. Jika pasien dapat dirawat di rumah, dianjurkan untuk dirawat di rumah. Perawatan di rumah selain menghemat biaya rumah sakit juga mengurangi terkena infeksi di rumah sakit. Keluarga yang tak mempunyai latar belakang medis tetap berperan dalam perawatan di rumah. Kehadiran anggota keluarga di samping pasien sudah menyenangkan pasien. Kenyataan yang dihadapi adalah anggota keluarga yang sehat bekerja dan hanya dapat menemani pasien sepulang kerja atau pada hari libur.

Asisten rumah tangga sudah sibuk dengan tugasnya sehingga sulit diharapkan untuk merangkap sebagai penjaga orang sakit. Petugas penjaga orang sakit pada dasarnya adalah tenaga yang menggantikan keluarga dalam menemani dan menjaga orang sakit. Jika orang sakit sadar dan mandiri, penjaga orang sakit lebih bertugas menemani mengingatkan minum obat, mandi, dsb. Jika kemandirian pasien berkurang, penjaga orang sakit lebih aktif membantu dalam memandikan, memberikan makan, dll.

Penjaga orang sakit pada umumnya tenaga sekolah menengah keterampilan yang dilatih untuk menjaga orang sakit. Pelatihan singkat untuk memberikan makan, minum, memindahkan, mendudukkan, memandikan, dsb. Penjaga orang sakit tidak dilatih untuk memasang infus, menyuntik, dsb yang merupakan kemampuan perawat. Jadi, harus jelas kebutuhan pasien sebelum menentukan apakah pasien cukup didampingi oleh tenaga penjaga orang sakit atau perawat atau tenaga medis lain.

Komunikasi antara penjaga orang sakit dengan keluarga dan petugas kesehatan yang mengobati ayah harus jelas dan baik. Jika ada yang harus dilaporkan, keluarga akan segera dihubungi oleh penjaga orang sakit, dan jika perlu, keluarga atau penjaga orang sakit harus menghubungi tenaga kesehatan.

Jika keadaan menghendaki, bukan tak mungkin pasien harus dirawat kembali di rumah sakit. Sebelum pulang dari rumah sakit, biasanya petugas kesehatan akan menjelaskan keadaan pasien, apa yang dapat dilakukan, dan apa yang tak boleh dilakukan.

Obat-obat yang perlu diminum juga akan dijelaskan satu demi satu dan sebaiknya keluarga mencatat dengan baik. Pada saat itu juga ditentukan apakah petugas kesehatan akan mengunjungi pasien ke rumah. Jika ya, tentukan waktunya. Untuk memudahkan komunikasi, nomor telepon seluler (ponsel) petugas kesehatan, keluarga, dan penjaga orang sakit harus saling dipertukarkan.

Kehadiran penjaga orang sakit di rumah akan banyak meringankan tugas keluarga. Namun, kehadiran orang lain dalam keluarga tentu harus dipersiapkan. Meski tugas utama penjaga orang sakit adalah membantu keluarga menjaga orang sakit, dia harus diberi kesempatan untuk makan, minum, tidur, serta beristirahat. Perlu disediakan kamar agar dia juga mempunyai privasi sendiri.

Keluarga harus menjelaskan kepada petugas penjaga orang sakit apa saja yang perlu dikerjakan. Lebih baik lagi jika tugas tersebut dituliskan supaya tidak lupa. Hubungan penjaga orang sakit dengan keluarga inti termasuk anak harus dijaga agar baik, tetapi dalam batas yang wajar.

Begitu pula dengan asisten rumah tangga dan orang lain di rumah, misalnya sopir. Meski sebagai anggota dalam rumah tangga Anda, sebaiknya penjaga orang sakit lebih diutamakan untuk tugas utamanya. Jadi, jangan diberi tugas lain yang tak berhubungan dengan tugasnya, seperti memasak, membersihkan rumah, dsb.

Anda benar, kebanyakan mereka yang memerlukan tenaga penjaga orang sakit lebih nyaman dengan orang yang sudah dikenal, misalnya pernah menjaga anggota keluarga lain. Namun, mereka yang memerlukan penjaga orang sakit sekarang dapat meminta bantuan yayasan atau perusahaan yang menyediakan tenaga penjaga orang sakit. Honorarium biasanya sudah standar, dan sebagai manusia, dia juga berhak untuk beristirahat dan cuti.

Sering kali, jika dalam waktu lama, penjaga orang sakit sudah seperti anggota keluarga dan silaturahmi masih terjaga meski penjaga orang sakit sudah tak bertugas lagi karena pasien sudah sembuh atau meninggal. Saya berharap ayah Anda akan mengalami kemajuan dalam perawatan di rumah. Tolong tanyakan juga jadwal latihan fisioterapi karena latihan fisioterapi dapat meningkatkan kemajuan pengobatan dengan baik.

Kompas, 29 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Intelektual dalam Pusaran Kekuasaan (AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN)

Ketika gelanggang politik dan ranah sosial dikepung kekuatan emosi dan amarah, sementara lalu lintas informasi dalam ruang publik dipadati oleh kabar bohong, maka bangunan administrasi pemerintah yang baru membutuhkan kejernihan akal budi. Sesuatu yang kerap terjadi, ketika panggung politik elektoral pilpres usai, perbincangan publik yang mengedepan adalah siapa saja yang duduk dalam kabinet mendatang.

Ada hal lain yang tak kalah penting untuk dipertimbangkan, siapakah barisan intelektual yang berada di sekeliling presiden, bagaimanakah perspektif pengetahuan mereka, dan peran apa yang akan dijalankan untuk membantu presiden menavigasi negara selama lima tahun ke depan.

Untuk kasus Indonesia saat ini, kebutuhan presiden untuk ditemani kalangan intelektual yang paham imajinasi sosiologis didasari pengalaman periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana kita menyaksikan sesuatu yang paradoksal. Pesatnya capaian pembangunan dan program pemerintahan berbanding terbalik dengan melemahnya tatanan sosial yang berpijak pada komitmen atas nilai-nilai demokrasi dan kewargaan.

Pada satu sisi, kabinet Jokowi berhasil menjalankan berbagai capaian pembangunan yang luar biasa, mulai dari pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, hingga pemberantasan korupsi.

Meski demikian, pada sisi lainnya kita melihat berbagai guncangan politik, mulai dari pertarungan identitas dalam bingkai Pancasila versus khilafah yang ekskalasinya semakin menguat, penanganan konflik yang bercorak illiberal democracy (formalisme demokrasi dengan pengabaian hak-hak sipil-politik), hingga protes sosial atas kebijakan pemerintah yang kurang memberikan ruang komunikasi bagi mereka yang berada pada kondisi paling rentan tergilas oleh pesatnya laju pembangunan.

Peran intelektual

Ada sebuah asumsi common sense yang tidak tepat terkait dengan bagaimana peran intelektual ketika masuk dalam pusaran kekuasaan. Dalam pemahaman umum, setelah intelektual masuk ke pemerintahan, peran sosialnya berubah. Mereka tidak lagi bicara dalam kapasitasnya sebagai intelektual publik untuk memahami dimensi-dimensi sosial makro yang terdalam dari sebuah realitas sosial, tetapi lebih disibukkan dengan persoalan teknis administratif ke pemerintahan.

Pandangan seperti ini tak benar, intelektual dalam pusaran kekuasaan dibutuhkan untuk memberikan navigasi wawasan sosial yang lebih luas tentang apa pengaruh situasi sosial masyarakat bagi proses penyelenggaraan negara, dan apa efek sosial yang terjadi di masyarakat dari setiap pertarungan kekuasaan, negosiasi politik dan kebijakan yang diambil.

Etos intelektual publik dalam pusaran kekuasaan harus tetap dirawat, seperti diutarakan Michael Burawoy (2004) sebagai public sociology, yakni komitmen pengetahuan dari kalangan intelektual untuk mengabdikan ilmunya bagi kesehatan kehidupan civil society, social engagement, dan political activism.

Peran intelektual dalam lingkaran presiden mensyaratkan daya nalar seperti diutarakan C Wright Mills (1959) dalam The Sociological Imagination, kapasitas untuk memahami dan menyampaikan terkait bagaimana problem yang terlihat di permukaan adalah dimensi kultural personal, secara substansial terkait dengan problem sosio historis dan struktural.

Contohnya bagaimana partisipasi sosial dan memperbesar ruang penerimaan menjadi kunci bagi solidaritas sosial bukan eksklusi dan peminggiran; bagaimana persoalan ketimpangan sosial tidak hanya memengaruhi sisi ekonomi, tetapi juga membentuk bangunan budaya di masyarakat terkait dengan etos kehendak kolaborasi atau menajamnya pembelahan sosial dan fanatisme.

Belajar dari sejarah

Belajar dari sejarah negeri lain, salah satu contoh kolaborasi antara pemimpin negara dan intelektual di AS muncul di era kepemimpinan Franklin Delano Roosevelt (1933-1945). FDR maju ke tampuk presiden diawali dengan sesuatu yang tak biasa dilakukan para pendahulunya. FDR lebih memercayai kalangan intelektual publik seperti akademisi, jurnalis, aktivis sosial dan budayawan (bukan industrialis dan pengusaha besar) sebagai pembisik dan orang-orang terdekatnya.

Tim penasihat yang kemudian terkenal dengan nama FDR Brain Trust. Di antara mereka yang brilian adalah beberapa ekonom dan akademisi ilmu politik dan hukum, seperti Raymond Molley, Rexford G Tugwell, serta Charles Edward Mirriam. Seperti diuraikan HW Brands (2008) dalam Traitor to His Class, FDR dengan program New Deal berhasil menyelamatkan perekonomian kapitalisme Amerika Serikat dari krisis sosial dengan mengabdikan kekuasaan pada kalangan marjinal dan miskin dan meminimalkan intervensi kaum oligark dalam pemerintahan.

Menariknya, skema kebijakan social welfare berjalan dengan kemampuan membangun konsensus politik lintas partai dan menjaga solidaritas sosial dari warganya.

Salah satu contoh lain dari kemitraan antara presiden dan intelektual adalah masa kepemimpinan singkat 1.000 hari John Fitzgerald Kennedy (1961-1963). Kennedy yang dikenal sebagai bukan saja politisi senator, melainkan juga pemimpin yang berasal dari lingkaran intelektual mengetahui betul peran kalangan intelektual dalam pemerintahan.

Untuk itu, ia memastikan agar the brightest minds of America menjadi penasihat sosial dan politiknya. Beberapa nama penting, seperti sejarawan Arthur M Schlesinger Jr, Ted Sorensen, dan ekonom John Kenneth Galbraith, menjadi orang-orang kepercayaan JFK.

Mereka bekerja dengan komitmen etis memperbaiki kehidupan publik dan memberi peta sosial persoalan kepada Presiden JFK. Tugas intelektual progresif di sekitar presiden, memberikan ruang-ruang saluran komunikasi agar kaum aktivis politik, intelektual publik, akademisi progresif dapat membangun saluran komunikasi dengan Gedung Putih dan memastikan bahwa arah kebijakan negara sejalan dengan tujuan-tujuan progresif dari para pendukungnya.

Dalam masa singkat kepresidenan Kennedy, ia memberikan berbagai reformasi sosial penting, mulai dari inisiasi penyelesaian rasialisme di AS, perubahan kebijakan luar negeri untuk membantu negara berkembang memerangi kemiskinan lewat program Alliance for Progress, dan penguatan berbagai kebijakan welfare state.

Kembali ke Indonesia, periode pertama kepemimpinan Jokowi memperlihatkan keberhasilan kepemimpinannya untuk melakukan percepatan pembangunan, tetapi kurang berhasil membangun arsitektural politik dan suasana sosial yang kondusif. Inilah saatnya ketika tuntutan dan tekanan politik tidak lagi menjadi beban elektoral, lingkaran intelektual di sekitar presiden perlu memberikan horizon intelektual dan lebih memberikan perhatian terhadap persoalan sosiologis dari masyarakat. Dengan demikian, komunikasi politik ke depan tak hanya berpusat pada pencitraan politik ataupun imaji advertorial yang banal dan dangkal.

Airlangga Pribadi Kusman Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga 

Kompas, 29 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Melerai Perang di Transportasi Berbasis Aplikasi (MUHAMMAD SYARKAWI RAUF)

Setelah penawaran saham perdana kepada publik (initial public offering/IPO) Uber dan Lyft anjlok di lantai bursa Amerika Serikat, Mei lalu, perhatian pengamat industri tertuju pada nasib perusahaan serupa di negara lain, termasuk di Indonesia.

Walau kedua pemain besar di Indonesia, Go-Jek dan Grab, masih belum akan melakukan IPO dalam waktu dekat, pasar mempertanyakan apakah perusahaan transportasi berbasis aplikasi (online) bisa memperoleh keuntungan secara berkesinambungan (sustainable) atau hanya akan terus menjalankan strategi "membakar uang" atau "jual rugi" untuk menguasai pangsa pasar? Rasa penasaran tersebut dapat dimaklumi karena menurut dokumen publik S-1 Uber yang disampaikan kepada Securities and Exchange Commission (SEC), Uber membukukan kerugian operasional 3 miliar dollar AS pada tahun 2018 dan 4 miliar dollar AS pada 2017. FactSet juga memprediksi Uber akan tetap merugi hingga 2,14 miliar dollar AS pada 2019.

Di Indonesia, kedua pemain besar transportasi berbasis aplikasi belum ada yang mengklaim telah meraup keuntungan karena keduanya masih berfokus pada pengembangan bisnis dengan cara mengumpulkan modal dan "membakar uang" melalui promosi dan diskon harga yang agresif. Tidak ada yang salah dalam menggunakan dana investasi untuk pemasaran, tetapi jika dilakukan terus-menerus dapat berujung pada praktik predatory atau persaingan yang bertujuan untuk mematikan pesaing.

Strategi "predatory" untuk dominasi pasar

Di transportasi berbasis aplikasi, Kementerian Perhubungan sudah mengatur larangan promosi di bawah tarif batas bawah pada taksi online melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 118 Tahun 2018 guna mencegah taktik predatoroleh perusahaan berbungkus promosi, sayangnya belum ada aturan promosi yang serupa untuk ojek berbasis aplikasi.

Praktik predator umumnya muncul jika salah satu pihak yang didukung oleh permodalan sangat besar memiliki market power lebih besar daripada pesaing, yaitu kemampuan untuk mendikte harga yang berlaku di pasar. Mengutip CB Insights, saat ini valuasi perusahaan Malaysia Grab berada di kisaran 14 miliar dollar AS dengan gelontoran terbesar datang dari investor raksasa Jepang, yaitu Softbank, sedangkan Go-Jek berada di kisaran 10 miliar dollar AS.

Posisi Grab yang mempunyai modal lebih besar membuatnya lebih leluasa menggelontorkan berbagai program promosi untuk mencapai dominasi pasar. Menurut Henny Sender dalam Channel News Asia, Masayoshi Son, CEO Softbank, percaya terhadap prinsip the winner takes all di dalam bisnis internet.

Hal ini berarti, Softbank sebagai investor terbesar Grab akan terus menggelontorkan modal hingga menjadi pemenang satu-satunya dan semua lawan gulung tikar. Dalam perspektif ini, pihak yang kalah adalah siapa pun yang kehabisan modal terlebih dahulu, bukan yang mempunyai model bisnis atau kemampuan eksekusi yang lebih buruk (tidak efisien).

Ketika hanya ada satu pemain di industri, pemain tunggal dapat menggunakan kekuatan monopolinya yang berpotensi merugikan konsumen dan pemasok dalam rantai nilai. Seperti yang diungkap oleh otoritas persaingan Singapura, Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS), saat Grab menjadi monopoli di Singapura, CCCS menerima komplain dari mitra pengemudi tentang kenaikan tingkat komisi yang diambil oleh aplikator dari penghasilan pengemudi (driver). Grab juga memberlakukan kewajiban ekslusivitas (exclusivity obligations) kepada perusahaan taksi, perusahaan sewa mobil dan mitra pengemudinya. CCCS akhirnya menjatuhkan denda lebih dari Rp 140 miliar kepada Grab.

Di negara lain, otoritas persaingan Filipina, yaitu Philippine Competition Commission (PCC) juga menemukan bahwa sejak Grab menjadi pemain dominan di Filipina, perusahaan itu gagal menjaga persaingan sehat pada harga, promosi pelanggan, insentif pengemudi, dan kualitas layanan, sehingga berakhir pada denda dari PCC Rp 4 miliar.

Mengingat bahaya dari penguasaan pasar dari praktik jual rugi, kita tidak dapat terus memanjakan keinginan konsumen yang selalu ingin mendapatkan promo dengan tarif semurah-murahnya. Pemerintah harus segera melerai perang di transportasi berbasis aplikasi ini dengan menetapkan aturan main bagi kedua pesaing. Misalnya, dengan mengambil tindakan preventif, seperti penerapan aturan pembatasan promo agar tidak dijadikan kedok dari praktik predatory pricing yang bertujuan untuk mematikan pesaing.

Korban promo dan diskon agresif

Korban pertama dari perang tarif dan promo di industri transportasi berbasis aplikasi adalah kesejahteraan pengemudi akibat penurunan pendapatan yang disebabkan oleh penurunan permintaan. Jika perang tarif dan promo tidak diatur, pemain yang mempunyai modal yang lebih banyak akan lebih leluasa untuk terus menyubsidi harga layanan di bawah tarif batas bawah sehingga dapat mengurangi permintaan (demand) akan pengemudi di aplikator dengan modal yang lebih rendah.

Selanjutnya, kecenderungan jual rugi melalui perang promo dan tarif oleh dua aplikator raksasa di Indonesia menciptakan halangan (entry barrier) untuk masuknya pemain baru atau menghambat pertumbuhan pemain baru atau usaha rintisan (startup) di industri transportasi berbasis aplikasi, kecuali mereka memiliki modal sebesar petahana. Padahal, kita mengetahui bahwa Indonesia tidak kekurangan pemain baru yang ingin menantang para pemain lama, seperti Bonceng, Ladyjek, Blujek, dan Anterin.

Korban terakhir yang paling tidak kasatmata justru konsumen. Walaupun promo pemasaran yang agresif menggiurkan dalam jangka pendek, keuntungan tersebut menjadi tidak berarti saat harga murah tersebut disertai dengan kualitas layanan yang rendah.

Hal ini merupakan dampak yang sulit dihindari karena perang promo sebenarnya memangkas keuntungan yang diperoleh aplikator sehingga ujungnya mengurangi investasi bagi layanan konsumen.

Mengantisipasi perilaku predator dan peran pemerintah

Di Indonesia, pemerintah mengatur transportasi online melalui Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan (Kemenhub) Nomor 348 Tahun 2019 dalam bentuk batas bawah dan atas tarif, tetapi sayangnya, praktik promo berlebihan malah luput dari kedua peraturan ini, padahal praktik ini yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Idealnya, tarif batas bawah yang ditetapkan Kepmenhub menjadi acuan tarif yang sehat dalam industri transportasi online.

Pemerintah perlu mencegah praktik predatory pricing dan menjaga persaingan usaha di industri ekonomi digital tetap sehat dengan berkaca pada praktik yang sudah terjadi di negara tetangga, seperti Singapura dan Filipina. Selain itu, persaingan usaha dengan tujuan winner takes all atau pemusatan kekuatan ekonomi tidak sesuai dengan asas demokrasi ekonomi dalam UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai pengawas persaingan usaha perlu lebih aktif melakukan surveillance terhadap praktik jual rugi dan memberikan advokasi kepada instansi pengawas dalam pembentukan kebijakan yang mendorong persaingan usaha yang sehat.

Pemerintah juga perlu mengkaji ulang Permenhub No 12/2019 untuk memastikan bahwa praktik jual rugi berbalut promosi tidak terus berlanjut. Ini akan menjadi preseden bagi instansi pengawas sektoral lain karena praktik promosi jual rugi bisa terjadi di industri lain yang modalnya juga didukung oleh private equity raksasa seperti industri e-commerce atau e-money.

Permenhub perlu menegaskan bahwa promosi yang dilakukan operator transportasi berbasis aplikasi dan/atau pihak-pihak terkait dengan operator tersebut dapat dilakukan dengan mengacu pada tarif batas bawah, tetapi dibatasi kuantitas dan jangka waktunya sehingga tetap merupakan praktik ekonomi pasar yang wajar dan bukan praktik jual rugi.

Muhammad Syarkawi Rauf Ketua KPPU 2015-2018, Pendiri Institute for Competition and Policy Analysis (ICPA)

Kompas, 29 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Orang Lancung (JAKOB SUMARDJO)

Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Itulah peribahasa Melayu. Mungkin suku-suku lain di Indonesia punya peribahasa serupa.

Peribahasa itu bersumber dari sebuah pantun tua, yang bunyinya adalah: Setali pembeli kemenyan/ Sekupang pembeli ketaya/ Sekali lancung ke ujian/ Seumur hidup orang tak percaya.

Harga kemenyan lebih rendah dari harga ketaya. Ketaya adalah tali leher kerbau atau sapi yang terbuat dari rotan dan dikaitkan pada bom pedati, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pantun itu ingin mengatakan bahwa tak mungkin harga kemenyan lebih mahal daripada harga ketaya. Ibarat harga sepeda motor sebesar Rp 200 juta, sedangkan harga mobil Rp 20 juta.

Kebohongan adalah pembalikan dari kebenaran. Yang koruptor dibenarkan dan dibela, sedangkan pegawai jujur dicaci maki dan dijatuhi hukuman. Sastrawan Ramadhan KH pada 1976 menerbitkan novel berjudul Kemelut Hidup (dan dibikin film juga) yang menceritakan pejabat yang jujur mendapatkan ejekan dan masa pensiunnya hidup serba kekurangan.

Menurut kamus, arti lancung adalah palsu, tidak jujur, curang, tidak murni. Orang lancung adalah orang curang tidak jujur. Dalam masyarakat yang sehat, kelancungan jelas tak disukai. Bahkan, masyarakat sehat mewanti-wanti agar orang tidak lancung karena hukum sosialnya amat berat, yaitu seumur hidup orang tak akan pernah memercayai orang yang pada suatu kali berbuat lancung.

Masyarakat yang tak sehat (insane) justru akan memuja kelancungan. Sutradara Amerika, Martin Scorsese, pernah membuat film berdasarkan kisah nyata, berjudul Goodfellas, yang mengisahkan pemujaan seorang remaja terhadap tetangganya yang gangster.

Menurut anak yang sering bolos sekolah ini, kebebasan yang sepenuhnya itu hanya dapat dimiliki para gangster. Mereka ini bebas hukum (menyogok polisi dan hakim), bebas membunuh, bebas lancung, dan hidup berkelimpahan uang. Anak remaja itu bercita-cita ingin menjadi gangster. Ia memang berhasil diterima sebagai anggota gangster termuda sebagai kurir dan pembantu. Setelah dewasa, ia memang benar-benar gangster tulen.

Peribahasa Melayu tadi memperingatkan masyarakatnya agar jangan sekali-kali berbuat lancung, sebab kalau sekali lagi mengulangi perbuatan yang sama, ia akan menjadi orang di luar masyarakat yang sehat. Ia harus bergabung pada kelompok atau masyarakat tak sehat, gangster. Di sana kelancungan adalah kebenaran. Yang dikutuk masyarakat sehat justru dipuja masyarakat sakit ini.

Masyarakat sehat dan sakit

Pakar tentang masyarakat sehat dan masyarakat sakit ini ialah Erich Fromm, yang bukunya The Sane Society diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 1995 meski sudah terbit 1955 di negara asalnya.

Dalam awal bukunya, ia menulis: "Dapatkah kita begitu yakin sehingga kita tak menipu diri sendiri? Banyak penghuni rumah sakit jiwa yakin bahwa orang lainlah yang gila, bukan dirinya. Banyak orang neurotik juga percaya tindak tanduknya yang kompulsif atau teriakan-teriakan histerisnya adalah reaksi normal terhadap situasi-situasi yang agak abnormal. Bagaimana dengan diri kita sendiri?

Bagaimana mungkin bangsa Jerman yang melahirkan seniman-seniman dan filsuf-filsuf besar, ilmuwan–ilmuwan besar di dunia dapat memiliki seorang Hitler sebagai kepala negara? Sehat atau sedang sakitkah masyarakat saat itu?

Benarkah ada tradisi bangsa yang Escape From Freedom? Memuja totaliter yang kejam? Pesta demokrasi harus diganti adu kekuatan?

Apakah masyarakat kita sedang berubah jadi masyarakat lancung alias masyarakat tak sehat, insane society? Orang lancung yang histeris meneriakkan bahwa orang lain lancung. Anak ranting di seberang sungai tampak jelas, batang beringin di depan mata sama sekali tak tampak? Kelancungan yang berkali-kali dilakukan bukan lagi kelancungan, tetapi kebenaran semata. Justru yang tak lancung itu orang lancung!

Metode "cuci otak" rupanya sedang marak di sini. Kelancungan adalah kebenaran. Untuk mencapai keberhasilan doktrin ini, harus dicuci dulu doktrin sebelumnya bahwa sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.

Itu doktrin goblok, bro, zaman sudah berubah, jangan percaya omongan tua kedaluwarsa nenek moyangmu itu.

Kesalahan terbesar bangsa ini adalah mengabaikan akar budayanya sendiri. Peribahasa Melayu tadi sudah tak dikenakan lagi pada generasi setelah kemerdekaan. Kita ini bangsa yang gampang melupakan tradisi berpikirnya sendiri. Semua yang lama-lama itu hanyalah kasur tua yang harus dibakar di tempat sampah. Dan, itu yang sekarang kita lakukan.

Apakah tabiat kita ini berhubungan  tempat kita di khatulistiwa? Sejak zaman purba, bangsa-bangsa dengan tradisi berpikir asing masuk Indonesia. Kita mencaploknya begitu saja dengan membuang yang sedang kita miliki. "Jadul", kata generasi masa kini. Kearifan lokal? Taik kucing! Buang jauh-jauh, tanam dalam-dalam. Itulah penggila mode pikiran mutakhir asing yang kita baca kemarin sore.

Apakah ini gejala bangsa yang sehat atau sakit?

Jakob Sumardjo Budayawan

Kompas, 29 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Sukseskan Gerakan 1821//Selamatkan Gajah (Surat Pembaca Kompas)


Sukseskan Gerakan 1821

Sekarang pengaruh gawai/ponsel bagi anak sudah sangat luar biasa. Alat komunikasi dan informasi itu tak hanya menyita perhatian anak-anak kita, tetapi telah menghabiskan waktu anak yang seharusnya untuk belajar, bermain, berolahraga, dan membantu orangtua.

Mereka menghabiskan hari-hari di depan televisi, komputer, ponsel, dan rela tidak tidur, makan, atau mandi demi menuruti keinginan menonton acara televisi, menjelajahi dunia maya, atau bermain ponsel pintar.

Sudah jadi rahasia umum, anak yang keranjingan gawai/ponsel akan gagal di sekolah, kesehatannya terganggu, perkembangan fisik tak optimal karena kurang istirahat dan kurang olahraga, serta memiliki sejumlah problem mental seperti egois, mudah marah, gampang putus asa, takut menghadapi realita, dan lain-lain.

Karena itu, dengan adanya Gerakan 1821 yang ditujukan pada seluruh anggota keluarga dengan memanfaatkan momentum peringatan Hari Keluarga Nasional pada 29 Juni ini, kita wajib menyukseskannya.

Gerakan 1821 adalah imbauan kepada orangtua untuk melakukan puasa gawai/ponsel hanya tiga jam setiap hari: pukul 18.00-21.00 waktu setempat. Pada saat itu kita sebagai orangtua wajib hukumnya menyimpan dahulu ponsel, mematikan televisi, tablet, maupun laptop. Kita temani anak-anak kita yang sesungguhnya sangat butuh perhatian orangtua. Dalam waktu yang hanya tiga jam saja, kita wajib bersama anak-anak dengan sepenuh hati, dengan sepenuh jiwa dan raga.

Yang dilakukan selama waktu yang pendek tersebut adalah 3B: bermain, belajar, dan berdoa. Bermain apa saja. Belajar apa saja. Juga bisa diisi dengan banyak ngobrol. Bicara, bicara, dan bicara. Ajak anak-anak kita bicara. Topiknya bisa apa saja, tetapi lebih utama bicara tentang mereka, pengalaman mereka, atau keinginan mereka.

Gerakan 1821 harus kita sukseskan demi masa depan anak-anak kita, juga demi keselarasan hubungan seluruh anggota keluarga kita, yang saat ini jarang berkumpul karena kesibukan masing-masing. Agar tak membosankan, 3B itu kita kemas sebaik mungkin, seenak mungkin. Jika perlu, dikombinasikan dengan kegiatan yang disukai anak-anak.

Mardiya
RT 019 RW 010 Karangwetan,
Salamrejo, Sentolo, Kulon Progo, DIY


Selamatkan Gajah

Terkait artikel Kompas (10/6/2019) pada rubrik Nusantara halaman 16 mengenai habitat gajah yang terus menyusut dan banyak lagi artikel Kompas terdahulu yang meliput isu lingkungan, kita selaku pembaca diingatkan jangan sampai nasi menjadi bubur. Artinya, kalau segenap isi hutan, baik orang Rimba, harimau, anoa, trenggiling, pohon-pohon, dan mikro-organisme sudah punah, kita tinggal gigit jari melihat hutan yang gundul, panas, gersang, dan sepi.

Memang kita kurang menghargai aset alam yang kita miliki. Kita tidak menghormati kehidupan makhluk lain. Bahkan, hutan lindung pun kita jarah. Semua karena keserakahan manusia: tidak pernah kenyang, bahkan mau lebih dan lebih banyak lagi dalam memiliki serta menghasilkan uang.

Trenggiling yang sudah bernasib sebagai mangsa mungkin berada di urutan daftar paling atas bersama gajah dan harimau. Padahal, kalau kita melihat bentuknya, hewan ini sangat unik, seperti miniatur dinosaurus yang bersisik.

Kami mohon Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta pejabat-pejabat yang terkait di mana hutan-hutan berada agar lebih panjang mengulurkan tangan mereka demi melindungi, melestarikan, serta menyejahterakan kehidupan manusia, flora, dan faunanya.

Dengan menambah dana demi melipatgandakan pengawasan hutan, mengedukasi penduduk yang bersinggungan dengan hutan-hutan. Kepada mereka diingatkan lalu diterapkan betapa penting menjaga keutuhan tempat tinggal binatang dan tumbuhan-tumbuhan di bumi.

Juga menjaga integritas sebagai bangsa bermartabat dengan memberikan sanksi berat terhadap perusak hutan dan segenap isinya. Dengan begitu, kita akan berhasil menyelamatkan hutan dan isinya.

Farida Shadily

Sanur, Denpasar

Kompas, 29 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Instex Bisa Hindarkan Eskalasi (Kompas)

AFP PHOTO / ALEX HALADA

Kanselir Austria Sebastian Kurz (kanan) dan Presiden Iran Hassan Rouhani memberikan keterangan pers di sela-sela pertemuan keduanya di Vienna, 4 Juli 2018. Iran bersiap-siap menghadapi sanksi ekonomi dari Amerika Serikat.

Iran berharap pertemuan Vienna adalah kesempatan terakhir negara penanda tangan untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir yang ditandatangani pada 2015.

Perundingan antara Iran dan enam kekuatan dunia, terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, China, Rusia, dan Jerman, sudah dimulai tahun 2006. Namun, setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden, secara sepihak AS mengundurkan diri dari kesepakatan itu. AS memberikan sanksi tambahan kepada Iran dan yang paling akhir memasukkan Pemimpin Iran Ayatollah Ali Khamenei dalam daftar hitam.

Tidak hanya itu, AS juga menggolongkan Garda Revolusi Iran sebagai kelompok teroris dan sebelumnya AS mengarahkan kapal induk berlabuh di perairan Teluk Persia. Namun, AS menegaskan tak ingin berperang dengan Iran, sebaliknya Iran menyatakan siap menghadapi kondisi apa pun.

"Saya pikir ini akan menjadi peluang terakhir bagi negara yang tersisa untuk melihat bagaimana mereka memenuhi komitmen mereka terhadap Iran," ujar Abbas Mousavi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran. Mousavi menambahkan, Inggris, China, Perancis, Jerman, dan Rusia mendukung sikap Iran dalam beberapa pernyataan mereka. Namun, mereka tidak mengambil tindakan apa pun terhadap sikap AS kepada Iran.

Kelima negara itu membujuk Iran untuk tidak melakukan pengayaan uranium sesuai kesepakatan, yakni 300 kilogram. Namun, Iran mengultimatum akan keluar dari kesepakatan pengayaan karena mereka tak membantu meringankan sanksi ekonomi kepada Iran.

Seorang pejabat Iran kepada Reuters mengatakan, permintaan utama Iran adalah untuk menjual minyak dalam jumlah yang sama dengan sebelum Washington menarik diri dari perjanjian itu. "Kami telah kehilangan kesabaran dengan para penanda tangan Eropa. Sudah setahun kami melatih kesabaran. Sekarang giliran orang Eropa melatih kesabaran untuk dapat menemukan solusi," ujarnya.

Inggris, Perancis, dan Jerman menyiapkan jalur khusus agar perdagangan Iran dan Eropa terus berlanjut tanpa mendapat sanksi dari AS. Jalur khusus itu disebut mekanisme Instex, tetapi Eropa belum mengumumkan jenis komoditas yang bisa ditransaksikan dengan Iran melalui Instex karena khawatir dipantau AS.

Mekanisme ini dibuat agar Iran bersedia menghentikan pengayaan nuklirnya karena jika itu dilakukan hanya akan meningkatkan eskalasi konflik di kawasan. Apalagi, PM Australia Scott Morrison telah menyatakan akan mempertimbangkan serius apa pun permintaan AS untuk tindakan militer terhadap Iran.

Eskalasi konflik Iran-AS menambah kecemasan global akan meningkatnya harga minyak dan kian melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, yang pasti akan berdampak bagi Indonesia. Kita berharap Instex dapat segera terealisasi sehingga perlombaan senjata nuklir dan ketegangan di Timur Tengah bisa segera dihindarkan.

Kompas, 29 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA‎: Bantuan bagi Peningkatan Kualitas DPR (Kompas)

Mahkamah Konstitusi sudah me- mutuskan sengketa hasil Pilpres 2019, tetapi belum untuk sengketa hasil pemilu legislatif. Komposisi kursi DPR belum jelas.

Namun, dana yang didapatkan partai politik dari negara tahun 2019 dan 2020 sudah lebih jelas. Seperti diberitakan, 10 parpol pemilik kursi DPR, tahun ini, akan memperoleh bantuan pemerintah Rp 121,92 miliar. Tahun depan, bantuan itu bertambah sekitar Rp 4,45 miliar (Kompas, 21/6/2019).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Deretan bendera partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019). Pemilu Serentak membuat kinerja partai politik tidak maksimal untuk mengenalkan kadernya dalam pemilu legislatif, karena disibukkan upaya pemenangan capres-cawapres yang diusung atau didukung partai politik. Ini membuat gaung pemilu legislatif kalah pamor jika dibandingkan dengan pemilu presiden.

Kenaikan dana bantuan pemerintah, yang dianggarkan pada APBN, tak tampak besar. Namun, jika membandingkan jumlah partai yang bisa menempatkan wakilnya di DPR periode 2019-2024 lebih sedikit ketimbang periode 2014-2019, kenaikan itu tentu terasa tinggi. Sepuluh partai menempatkan kadernya di parlemen periode 2014-2019. Pemilu 2019, dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen, lebih tinggi daripada Pemilu 2014, menghasilkan 9 parpol di Dewan. Kursi di DPR periode 2019-2024 sebanyak 575, lebih banyak ketimbang periode sebelumnya, yaitu 560 kursi.

Dana bantuan untuk parpol berpotensi bertambah karena masih akan dibahas bersama pemerintah dan DPR. Parlemen adalah kumpulan wakil partai yang tentunya berkepentingan dengan bantuan dari negara. Bantuan untuk parpol diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, sebesar Rp 1.000 per suara hasil pemilu legislatif. Bantuan itu mengacu pada perolehan suara Pemilu Legislatif 2014. Untuk bantuan tahun 2020, tentu akan mengacu hasil Pemilu 2019.

Jajak pendapat Kompas, Februari lalu, memperlihatkan tak banyak rakyat bersedia membantu keuangan partai. Parpol bergantung pada bantuan pemerintah serta sumbangan dari anggota yang menjadi pejabat, wakil rakyat, atau sumbangan pihak lain yang tak mengikat. Akibatnya, korupsi membelit partai dan kadernya. Kalau melihat situasi ini dan posisi partai sebagai institusi yang amat penting dalam demokrasi, bantuan keuangan dari pemerintah memang pantas diberikan.

Namun, jika melihat kinerja DPR selama ini, rasanya tidak rela uang negara, yang diperoleh dengan memungut pajak dari rakyat dan usaha lain, diberikan kepada partai. Apalagi, anggota DPR/DPRD adalah profesi yang paling banyak terjerat korupsi sepanjang 2004-2018, yaitu 247 orang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada periode itu mencatat ada 998 orang, beragam profesi yang terbelit korupsi, dan yang terbanyak adalah wakil rakyat.

Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia mencatat, DPR periode 2019-2024 didominasi wajah baru, sekitar 65 persen, meski 94 anggota lama kembali mencalonkan diri. Wajah baru di Senayan itu memberikan harapan baru akan kinerja Dewan yang lebih baik. Namun, mereka perlu dipersiapkan.

Bantuan bagi parpol bisa diarahkan untuk mempersiapkan wakil rakyat secara lebih baik. Partai perlu mengumumkan program penguatan kadernya di DPR/DPRD. Jika itu terjadi, tentu rakyat rela uangnya dipakai untuk melahirkan wakil rakyat yang lebih berkualitas dan berkinerja lebih baik.


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger