Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 Januari 2016

Hikayat Tikus (AGUS DERMAWAN T)

Apabila Saudara ke Bali, singgahlah di Desa Ubud. Di kawasan ini tersua  rumah I Gusti Nyoman Lempad (1865-1978).

Pada bagian depan rumah seniman legendaris itu terdapat sebuah patung batu yang menggambarkan seorang lelaki sakti sedang menggiring ratusan tikus. "Patung ini diinspirasi dongengRattenfanger von Hameln. Tak saya sangka, penghormatan orang Jerman dan orang Bali kepada satwa tikus ternyata sama," tutur Lempad.

Rattenfanger von Hameln, atau Peniup Seruling dari Hameln, adalah cerita rakyat yang berkembang di kawasan Baltik dan Jerman sejak beberapa abad silam. Syahdan, kota Hameln (Hamelin) sedang diserang hama tikus. Para pejabat kota tak ada yang bisa membereskan soal ini. Pada saat itu seorang lelaki komedian menghadap wali kota. Lelaki antah-berantah ini mengatakan, bahwa ia bisa mengusir tikus asal diupah sesuai dengan perjanjian. Dengan didukung koleganya (sejumlah pejabat dan anggota DPRD), wali kota setuju. Di suatu hari lelaki itu meniup serulingnya. Ribuan tikus berduyun menghampiri. Batalyon tikus itu lantas dinasihati supaya pergi sejauh-jauhnya dari Hameln. Agar tak lelah berjalan, tikus-tikus itu disarankan berenang ikut arus Sungai Weser.

Setelah menunaikan tugas, si pesuling mendatangi wali kota untuk mengambil upahnya. Namun, upah yang diberikan ternyata hanya separuh dari yang dijanjikan. Pesuling akhirnya tahu bahwa separuh upah yang jadi haknya dikorupsi wali kota dan koleganya. Pesuling gusar, kemudian merancang pembalasan.

 Pada suatu hari, ketika para orangtua sedang merayakan Hari Santo Yohanes di gereja, lelaki itu meniup serulingnya lagi. Kali ini yang datang ternyata anak-anak. Si lelaki lantas berjalan sambil tak henti meniup seruling. Seratus anak yang terpesona terus mengikutinya. Terus dan terus, sampai jauh, kemudian tak pernah kembali.

Akhirnya ada tiga anak yang tertinggal (lantaran kakinya pincang, telinganya tuli, dan matanya buta) memberi kesaksian: rombongan anak-anak itu digiring peniup seruling menuju hutan. Ujung dongeng menjelaskan bahwa 100 anak itu berbahagia di hutan ditemani tikus-tikus yang lucu. Sementara itu, para pejabat yang korup mendapat tugas menegangkan: mencari anak-anaknya yang hilang.

Jero Ketut sampai Den Bagus

Dalam beberapa hikayat yang lahir dari kosmologi Barat, tikus (Rodentia) ternyata jauh dari kesan nista. Itu sebabnya dongeng kelucuan tikus dalamRattenfanger von Hameln sampai digarap dalam banyak versi oleh Goethe, Grimm Bersaudara, dan Robert Browning. Bahkan, komponis Igor Stravinsky (1882-1971) meneruskannya lewat karya musik uniknya. "Aku gembira apabila musikku dipahami anak-anak. Namun, aku lebih bahagia apabila musikku bisa membuat semua tikus menari." Kedekatan Igor dengan tikus bagai menyadarkan Walt Disney bermain- main dengan tikus sehingga makhluk ini dijadikan tokoh kartun jenakanya: Mickey Mouse.

Begitu di Barat, begitu juga di Bali dan Jawa. Adat  tradisional negeri indah ini menjunjung tikus sebagai "Jero Ketut", yang bermakna "si bungsu keluarga sendiri". Untuk mengimbau tikus agar pergi dari sawah yang siap panen, doa dipanjatkan dan sesaji dipersembahkan. Di Tabanan, tikus-tikus yang ditemukan mati segera dikumpulkan untuk dikremasi alias "diaben". Penghormatan yang sama juga terjadi di banyak daerah di Jawa yang setia kepada tradisionalisme. Tikus yang tiba-tiba muncul dalam ruang biasanya hanya digusah sambil diimbuh kata sapa: "Ono opo den bagus?". "Den bagus" adalah sebutan bagi lelaki tampan.  

Akan tetapi, sang tikus ternyata tidak bisa berbangga hati di segala waktu dan di semua tempat karena di Jakarta, yang peradabannya acap menjauh dari tradisionalisme, orang justru menganggap tikus sebagai binatangsialan. Tikus dijadikan olok-olok dan hewanisasi bagi manusia yang suka mencuri.

Ketika petugas Bandara Soekarno-Hatta menangkap porter yang membongkar koper-koper penumpang pesawat terbang, berbagai stasiun televisi menayangkan teks berjalan yang berbunyi: "Waspadai tikus-tikus bandara". Ketika di Pelabuhan Tanjung Priok ditengarai banyak korupsi di meja administrasi disertai pungutan liar di segala lini, televisi beruar-uar: "Tikus-tikus riol beraksi, duit lari ke sana ke mari." Tikus riol adalah jenis tikus yang suka berdiam di got dermaga.

Puluhan karikatur di berbagai media massa selalu melambangkan pencuri dan koruptor sebagai tikus. Seperti karikatur GM Sudarta di Kompas edisi 9 Januari 2016, di situ tergambar seekor macan bernama Neo-KPK sedang memeriksakan giginya yang kecil-kecil di sebuah klinik. Di sudut sana tampak seekor tikus sedang menyeringai, memamerkan gigi-gigi politiknya yang lebih besar dari gigi si macan. Jadi, lawan Neo-KPK adalah (poli) tikus.

Pengendus istimewa

Tak jelas, mengapa tikus yang di mana-mana lucu itu ketika sampai di Jakarta menjadi busuk melulu. Tak jelas juga kenapa 154 jenis tikus yang tercatat di Jakarta, termasuk 252 anak jenisnya, tidak berani memprotes. Padahal, dongeng dunia sudah membuktikan bahwa di Hameln justru tikus lebih bermartabat budi ketimbang manusia.

 Sebagai makhluk yang cerdik, sehingga sering menghasilkan "jalan tikus", suatu kali tikus harus memamerkan kemampuan positifnya di mana-mana. Misalnya, sebagai ahli pengendus, tikus telah lama dimanfaatkan mendeteksi ranjau darat dan penyakit TBC di Afrika.

Atau, sekarang, sebagai pendeteksi bahan-bahan peledak yang disembunyikan para teroris di berbagai selipan yang sulit dijangkau penglihatan manusia. Tentu setelah tikus-tikus itu dilatih di Laboratory of Olfactory Perception di Rostov on Don, Rusia, dan setelah disemati peranti elektroda di otaknya.

Setelah menyimak hikayat tikus, para pencuri dan koruptor di Indonesia tidak tepat jika dipredikati tikus. Seharusnya mereka disebut kecoak (Orthoptera sukuBlattidae). Kecoak dengan "k" kecil untuk kelas pencuri koper. Kecoak dengan "K" besar untuk level koruptor.

AGUS DERMAWAN T

PENULIS KEBUDAYAAN DAN SENI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Hikayat Tikus".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Kemampuan Rudal Korut Diragukan (Kompas)

Korea Utara tak menggubris kecaman dunia atas uji senjata termonuklir yang dilakukannya. Negara itu malah berencana uji coba rudal balistik.

Pejabat-pejabat Jepang, seperti diberitakan media massa Jepang, menyebutkan adanya peningkatan aktivitas di pangkalan peluncuran rudal balistik jarak jauh di Dongcheng-ri. Peningkatan aktivitas itu dikemukakan Jepang, merupakan pertanda bahwa Korut berencana melakukan uji coba rudal balistik jarak jauhnya.

Namun, juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Selatan, Kim Min-seok, menolak untuk mengonfirmasi atau menyangkal pemberitaan media massa Jepang itu. Meskipun demikian, ia mengatakan, Korsel terus memantau tanda-tanda peluncuran rudal jarak jauh.

Sama seperti Jepang dan Korsel, Amerika Serikat pun secara teratur memonitor Korut dari luar angkasa. Selama ini, Korut selalu menembakkan rudal jarak jauh sebelum uji coba nuklir. Oleh karena kali ini polanya tidak begitu, Jepang, Korsel, dan Amerika Serikat pun menunggu-nunggu kapan Korut akan melakukan peluncuran uji balistik jarak jauh itu.

AS mendorong adanya respons keras PBB atas kebandelan Pyongyang itu. Washington DC mendesak Beijing untuk mengambil langkah tegas terhadap Korut yang melakukan uji coba nuklir, awal bulan ini. Namun, Beijing belum menanggapi desakan Amerika Serikat itu.

Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa melarang Korut menggunakan teknologi peluncuran rudal balistik. Namun, tahun 2012, Korut melanggar resolusi itu dengan meluncurkan satelit menggunakan roket Unha-3.

Kendati saat itu Korut berdalih tujuan peluncuran itu untuk menempatkan satelit pada orbitnya, yang merupakan bagian dari misi ilmiah, masyarakat internasional tidak percaya. Mereka menuduh peluncuran itu sebagai uji coba rudal balistik terselubung.

Sesungguhnya banyak yang menyangsikan kemampuan nuklir dan penguasaan teknologi Korut. Bahkan, foto yang menggambarkan uji coba nuklir, Desember lalu, disebut- sebut merupakan hasil proses edit yang dilakukan untuk menutupi kegagalan mereka.

Namun, menyangsikan kemampuan nuklir Korut sih boleh-boleh saja, tetapi jangan menganggap enteng tentang apa yang dapat dilakukan negara tersebut. Itu karena pemimpin negara tersebut sanggup melakukan hal-hal yang tidak pernah kita pikirkan akan dilakukan, termasuk menghukum mati pamannya sendiri karena dianggap berkhianat.

Kita gembira karena AS memilih untuk menggunakan PBB dan Tiongkok, sekutu dekat Korut, untuk mendorong Korut mematuhi resolusi DK PBB. Penggunaan kekerasan untuk mendorong Korut melakukan atau tidak melakukan sesuatu hanya akan memperburuk keadaan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Kemampuan Rudal Korut Diragukan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

90 Tahun Jam'iyyah Nahdlatul Ulama (SALAHUDDIN WAHID)

Ajaran ahlus sunnah wal jamaah yang menjadi pegangan jemaah dan jam'iyyah Nahdlatul Ulama sudah hadir di Nusantara sejak sekitar 1.000 tahun lalu.

Ajaran itu dibawa penyebar Islam yang bersedia berdialog dengan budaya setempat dan memakai media tradisional dalam menyebarkan Islam. Pesantren yang menjadi salah satu pusat penyebaran Islam adalah lembaga pendidikan tertua di Nusantara. Pesantren tertua yang kini masih aktif adalah Pesantren Sidogiri, berdiri pada 1718.

Pesantren Tebuireng didirikan pada 1899 oleh KH Hasyim Asy'ari, jadi daya tarik bagi para pemuda berpotensi dari berbagai daerah. Sejumlah santri terpilih yang dibina khusus oleh Hasyim Asy'ari kemudian mendirikan pesantren di tempat mereka tinggal setelah meninggalkan Tebuireng. Pesantren-pesantren itu kelak menjadi pesantren besar, seperti Lirboyo, Ploso Kediri, Tegalrejo Magelang, dan Denanyar Jombang.

Pesantren-pesantren yang didirikan oleh alumni Tebuireng itu membentukjama'ah (komunitas) penganut paham Islam ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja), yang mengikuti mazhab empat (terutama mazhab Syafi'i). Para kiai dari komunitas pesantren itu merasakan kebutuhan untuk mendirikan jam'iyyah (organisasi) untuk bisa meningkatkan pengabdian mereka.

Penggagas awal berdirinya jam'iyyahNahdlatul Ulama (NU) adalah KHA Wahab Hasbullah, santri Hasyim Asy'ari. Kiai Wahab menyampaikan usul itu karena paham bahwa organisasi NU hanya akan bisa tumbuh kalau dipimpin oleh Hasyim Asy'ari.  Setelah mendapat perintah dua kali dari Syaikhona Kholil, guru yang dihormatinya, Hasyim Asy'ari menyatakan berdirinya organisasi NU pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344).

Mandiri dan maju

Organisasi NU lalu dikembangkan melalui jaringan pesantren, terutama alumni Pesantren Tebuireng, yang tersebar di banyak tempat. Ternyata metode itu amat efektif. Tahun 1935, NU punya 68 cabang dengan 67.000 anggota. Tahun 1938, berkembang jadi 99 cabang, termasuk di luar Jawa.  Organisasi baru ini tumbuh secara mandiri. Sampai 1940, setiap tahun diselenggarakan 15 muktamar. Itu menunjukkan bahwa organisasi NU dikelola dengan baik, dilandasi roh jihad yang kuat.

Dalam Muktamar 1938 di Banten, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai "dar-al Islam", artinya negeri yang dapat diterima umat Islam. Alasannya, penduduk Muslim dapat menjalankan syariat Islam yang dilakukan oleh para pegawai yang juga Muslim. Ini pertama kalinya NU menerapkan tradisi Sunni dalam pengesahan kekuasaan yang dapat diterima bila berfaedah bagi kehidupan beragama.

 Walaupun sudah menerima Hindia Belanda sebagai "dar al Islam", dalam persidangan BPUPKI, bersama ormas Islam lain NU memperjuangkan Islam menjadi dasar negara. Komprominya ialah Mukadimah UUD yang terkenal dengan sebutan "Piagam Jakarta". Di dalamnya tercantum bahwa dasar negara ialah Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Pada 18 Agustus 1945 beberapa tokoh Islam bertemu Bung Hatta untuk membahas penolakan kelompok Kristen di Indonesia Timur terhadap "tujuh kata Piagam Jakarta" itu. Menghadapi pilihan sulit itu, para tokoh Islam itu setuju untuk mencoret tujuh kata itu sehingga sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

 Dalam persidangan Konstituante (1956-1959), partai-partai Islam  meneruskan perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam pemungutan suara, dasar negara Pancasila meraih suara di atas 56 persen dan dasar negara Islam meraih 43 persen. Karena Konstituante mengalami jalan buntu, akhirnya Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam pertimbangan dekrit itu, dinyatakan Piagam Jakarta menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945 dan menjiwainya.

PBNU membentuk tim yang diketuai oleh KH Achmad Siddiq untuk menyusun naskah tentang "Hubungan Islam dengan Pancasila". Pada Desember 1983, naskah tersebut dipaparkan Achmad Siddiq di depan Munas Alim Ulama NU. Walaupun amat sulit, para ulama NU bisa diyakinkan untuk menerima naskah itu. Pada Muktamar NU 1984, naskah itu ditetapkan sebagai keputusan muktamar.

NU dan partai politik

Pada 1945, NU bergabung dalam Partai Masyumi di mana Hasyim Asy'ari menjadi Ketua Majelis Syuro. Pada tingkat nasional terdapat perbedaan mencolok antara tokoh-tokoh NU dengan tokoh-tokoh Masyumi. Tokoh-tokoh NU adalah lulusan pesantren dan tokoh-tokoh Masyumi adalah lulusan sekolah Barat dan universitas. Selain itu, juga terdapat perbedaan pemikiran keagamaan. Pada 1952, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU, yang jadi pemenang ketiga Pemilu 1955.

Dalam Pemilu 1971, Partai NU yang masih berjuang untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara adalah partai yang paling lantang mengkritisi pemerintah.  Tak heran jika banyak juru kampanye NU diturunkan pihak keamanan dari podium kampanye. Aktivis NU di Departemen Agama diharuskan memilih jadi PNS atau NU. Maka, NU kehilangan banyak tokohnya.

Pada 1973, Partai NU bergabung dengan  partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Walau unsur terbesar di dalam PPP, NU kurang berperan akibat intervensi pemerintah. Pada Muktamar 1984, NU menegaskan Khittah NU 1926 yang antara lain menegaskan NU menjaga jarak yang sama terhadap semua partai Islam. Penegasan itu dimaknai NU keluar dari PPP. Maka, di berbagai daerah tokoh-tokoh NU muncul sebagai aktivis Golkar.

Hanya 14 tahun NU mampu tidak terlibat dalam politik praktis. Pasca Orde Baru, saat pemerintahan BJ Habibie membuka kesempatan mendirikan partai baru untuk bisa ikut dalam Pemilu 1999, lima  tokoh PBNU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah penyaluran aspirasi politik warga NU.

PKB berhasil mengantarkan Gus Dur menjadi presiden ke-4 RI. NU bergeser dari ranah masyarakat sipil menuju ranah politik. Kini timbul kesan kuat bahwa NU meninggalkan Khittah NU 1926 dalam masalah politik. PKB yang dimaksudkan sebagai sayap politik NU, kini justru terkesan mengendalikan organisasi NU dan organisasi di bawah NU. Nuansa paradigma partai politik dan pragmatisme amat terasa di dalam organisasi NU dan sejumlah badan otonom di bawahnya.

Perlu dirawat

Organisasi NU didirikan oleh para ulama yang penuh keikhlasan, jauh dari popularitas. NU pernah diejek sebagai kelompok sarungan, "teklekan", dan dianggap oportunis saat menjadi partai politik, serta ketinggalan zaman. Kini banyak kiai NU tidak canggung memakai sarung tampil dalam berbagai kesempatan, termasuk di Istana Merdeka, bahkan Presiden hadir dalam pembukaan Muktamar NU dengan memakai sarung.

Bersama  Muhammadiyah, NU kini menjadi organisasi dan komunitas yang dianggap sebagai pengawal negara dan penjaga moral bangsa. Tentu itu harus disyukuri dengan merawatnya sesuai harapan para ulama pendiri NU. Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa santri yang baik adalah santri yang ketika pulang ke rumah masing-masing bisa menerapkan apa yang diperolehnya di pesantren. Berarti para santri harus menunjukkan akhlak dan moralitas ketika tamat dari pesantren dan bergiat sebagai apa pun.

 Untuk bisa berperan menjadi penjaga moral bangsa, terlebih dulu moral para petinggi NU harus baik. Petinggi NU harus bisa betul-betul menjadi pemimpin.  Petinggi NU harus belajar pada pemimpin NU masa lalu, terutama saat NU belum menjadi partai politik, karena NU kini bukan partai politik.

Petinggi NU harus bisa menjadi negarawan bukan politisi. Roh jihad yang amat menipis perlu segera ditumbuhkan kembali. Petinggi NU harus bisa betul-betul memberi manfaat bagi NU, bukan hanya pandai memanfaatkan NU.

SALAHUDDIN WAHID

PENGASUH PESANTREN TEBUIRENG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "90 Tahun Jam'iyyah Nahdlatul Ulama".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pengajaran Menyelamatkan Kehidupan (SIDHARTA SUSILA)

Bersama tapi tak berhubungan. Itulah tema salah satu lukisan pada pameran lukisan di Bentara Budaya Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu. Lukisan itu memotret peran teknologi dalam kehidupan.

Pada lukisan itu digambarkan sekelompok orang duduk bersama. Masing-masing asyik dengan ponselnya. Mereka bersama, tetapi tak saling terhubung. Masing-masing terhubung dengan seseorang atau sesuatu entah di mana. Itu potret teralienasi dalam kebersamaan. Tragis!

Kondisi hidup yang dipotret pelukis itu semakin kita rasakan. Teknologi komunikasi yang memuja efisiensi dan efektivitas merapuhkan perjumpaan fisik. Padahal, belajar dari Emanuel Levinas, perjumpaan wajah bisa menajamkan empati hingga menumbuhkan tanggung jawab moral atas nasib sesama.

Ketika perjumpaan fisik merapuh, hakikat komunikasi pun runtuh. Komunikasi sepihak tanpa perjumpaan wajah meminimalkan hingga menihilkan klarifikasi. Perlahan tapi pasti kita belajar untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang kita wartakan. Pun bila warta itu berpotensi menghancurkan kehidupan. Hasrat menggosip seperti menemukan ruangnya. 

Kondisi hidup hari ini akibat ketidakmampuan kita mengelola dampak teknologi pernah menggelisahkan Albert Einstein. Ia bertutur, "I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots." Adakah kini kita sedang melahirkan generasi dungu, tuna-empati, dan bebal tanggung jawab moral? Apa yang bisa diajarkan kepada anak-anak kita demi menyelamatkan kehidupan mereka?

Ragam kegelisahan

Kondisi relasi manusiawi di atas hanya satu dari banyaknya dampak kegagapan kita mengelola dinamika hidup akibat sinergi teknologi dan bisnis yang kian menderas. Paus Fransiskus adalah satu dari banyak tokoh dunia yang menyadari terancamnya harmoni dan keberlanjutan hidup yang bermartabat akibat gagap mengelola dinamika itu.

Pada banyak perjumpaan, beliau menawarkan sejumlah resolusi. Terhadap karut-marut pola relasi antar-manusia, beliau mengajarkan untuk berhenti menggosip, dan memberikan waktu serta perhatian kepada orang lain. Kita diajak untuk berani berjarak dengan sarana komunikasi dan duduk bersama.

Paus sadar dunia ini sedang diancam oleh kebencian yang ditebar subur oleh komunikasi sepihak tak bertanggung jawab. Salah satunya perilaku menggosip.

Penebar kebencian membiarkan konsumen wartanya dalam kebingungan hingga akhirnya tersesat. Kecurigaan karena informasi tak utuh dan nihil klarifikasi sering menjadi target. Maka, Paus juga mengajak untuk  tetap berteman dengan mereka yang tidak setuju dengan kita dan berhenti menghakimi sesama. Dengan cara ini, ruang curiga karena pembodohan diciutkan.

Akibat masifnya penjejalan iklan yang canggih, hasrat konsumsi kita kian menggila. Pola konsumsi cenderung beralih dari butuh ke sekadar ingin. Dampak pola konsumsi ini sungguh memprihatinkan. Sikap ugahari dan hidup bersahaja tak lagi dihayati. Lihatlah betapa gampang kita membuang makanan. Padahal, teknologi komunikasi mengabarkan begitu banyak orang di belahan dunia lain yang kelaparan. Gambaran lain atas realitas ini bisa diunduh dari Youtubedengan menggunakan kata kunci "di balik makanan sisa".

Atas realitas itu, Paus mengajak untuk makan secukupnya dan menghabiskan makanan yang telah diambil, berbelanja barang yang sederhana atau hidup bersahaja, dan menjumpai mereka yang miskin. Sesungguhnya membuang makanan dengan percuma adalah wujud merampok hak orang miskin yang kelaparan. Perjumpaan dengan orang miskin akan menajamkan empati dan tanggung jawab moral kita pada sesama. Maka, program tinggal di dan bersama kaum miskin pada banyak sekolah itu pantas dilanjutkan demi kualitas anak didik, juga demi menyelamatkan kehidupan.

Perlu langkah nyata

Agaknya, ada baiknya kita mengajarkan resolusi semacam ini dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam dunia pendidikan. Resolusi ini bisa dihayati sebagai upaya nyata anak-anak kita terlibat merawat dan menyelamatkan bumi ini, bumi mereka.

Tawaran resolusi ini memang remeh. Itu ajaran sederhana. Tetapi, resolusi ini praktis dan bisa kita ajarkan kepada anak-anak kita. Resolusi ini membantu anak-anak kita menjadi tuan atas nasibnya, bukannya hanyut dalam derasnya laku egoisme, tunamoral serta empati karena rapuhnya perjumpaan. Resolusi ini adalah langkah nyata melibatkan anak-anak kita untuk merawat dan menyelamatkan kehidupan ini, kehidupan mereka.

SIDHARTA SUSILA

PENDIDIK DI MUNTILAN, MAGELANG, JAWA TENGAH

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Pengajaran Menyelamatkan Kehidupan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Ketimpangan Penguasaan Lahan (Kompas)

Ketimpangan kepemilikan lahan mendesak diselesaikan karena menjadi sumber ketimpangan kemakmuran dan berpotensi menjadi masalah sosial.

Ketimpangan tersebut terjadi di sejumlah wilayah. Kompas menemukan setidaknya di Banten dan Sulawesi Tengah. Meski demikian, kepemilikan perkebunan besar dan konsesi pertambangan sebagai sumber-sumber ketimpangan terjadi di hampir semua wilayah.

Jika dihitung berdasarkan koefisien gini kepemilikan lahan, menurut Badan Pusat Statistik, angkanya 0,6. Angka 0 menunjukkan pemerataan sempurna dan angka 1 berarti ketimpangan terparah. Angka di atas 0,4 memperlihatkan ketimpangan yang buruk.

Sensus Pertanian 2013 menunjukkan rata-rata penguasaan lahan per rumah tangga petani naik dari 1,43 hektar menjadi 2,65 hektar. Sepintas hal itu menunjukkan perbaikan, tetapi data sensus menunjukkan sisi lain, yaitu menurunnya penguasaan lahan bukan pertanian yang dimiliki rumah tangga petani dari 0,40 hektar pada tahun 2003 menjadi hanya 0,07 hektar pada tahun 2013.

Jumlah petani gurem yang menguasai lahan kurang dari 1.000 meter persegi turun, tetapi jumlah rumah tangga yang mengusai lahan lebih dari 3 ha bertambah. Data itu dapat dibaca terjadi konsolidasi lahan pada petani kaya.

Ketimpangan kepemilikan lahan berakibat pada ketimpangan kemakmuran, terutama bagi rakyat yang menggantungkan hidupnya dari penguasaan tanah, yaitu kelompok petani, peternak, dan nelayan budidaya.

Penguasaan tanah oleh pemodal di perdesaan akan memiskinkan masyarakat desa yang kehilangan alat produksi dan segala yang terdapat di tanah, termasuk air.

Ketimpangan kemakmuran akibat penguasaan tanah tidak terbatas pada lahan pertanian. Di perkotaan pun kasatmata. Lahan dalam skala luas dikuasai sekelompok orang, sementara kekurangan rumah di perkotaan lebih dari 10 juta, salah satunya karena mahalnya harga tanah. Tanah telah menjadi komoditas dan obyek spekulasi.

Dalam praktik sehari-hari, fungsi tanah semakin jauh dari isi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, Pasal 6, yang menyebutkan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pemerintah berkewajiban melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, yaitu bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pemerintah dapat mengatur agar tidak terjadi penumpukan lahan pada sekelompok orang dan memastikan penguasaan hak atas tanah tetap berfungsi sosial, bukan komoditas bisnis, apalagi spekulasi. Inilah cita-cita kemerdekaan kita.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Ketimpangan Penguasaan Lahan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Uang Kecil Tidak Laku//Tanggapan Prudential//Bagasi Tak Ditemukan//Koper Dibongkar di Soekarno-Hatta (Surat Pembaca Kompas)

Uang Kecil Tidak Laku

Saya adalah warga yang baru pindah ke Jakarta karena alasan pekerjaan. Seperti sebelumnya, setiap hari saya bertransaksi jual-beli menggunakan alat pembayaran yang sah, yakni mata uang rupiah.

Namun, di Ibu Kota ini saya sering kesulitan saat hendak membayar dengan menggunakan uang pecahan Rp 100 dan Rp 200. Calon penerima banyak yang menolak dengan alasan uang pecahan itu sudah tidak laku. Hal itu berlangsung di warung-warung dan bahkan di pasar tradisional, khususnya di seputar Sunter.

Saya sangat menyayangkan hal tersebut karena rupiah adalah alat pembayaran yang sah di Indonesia dan berlaku di seluruh wilayah Tanah Air. Apakah Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat menjelaskan fenomena ini?

GHIFAR MAULANA

SUNTER AGUNG STS BLOK E-13, JAKARTA UTARA

Tanggapan Prudential

Sehubungan dengan dimuatnya surat Bapak Danny Sonu berjudul "Menutup Asuransi" (Kompas, 4/12/2015) izinkanlah kami menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan pada proses penutupan polis asuransi Bapak Danny.

Sebagaimana kami sampaikan kepada Bapak Danny melalui surat elektronik pada 17 November 2015, dana penutupan polis tidak berhasil terkirim ke rekening Bapak Danny karena telah terjadi kesalahan pencantuman nomor rekening saat pengiriman dana tersebut. Info kegagalan transfer via layanan pesan singkat (SMS) yang seharusnya terkirim kepada Bapak Danny juga tidak sampai karena ada kesalahan teknis dalam pengiriman SMS.

Kami telah bertemu istri Bapak Danny, menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan yang terjadi. Kami juga telah mendapatkan konfirmasi dari istri Bapak Danny bahwa dana penutupan polis telah diterima dengan baik pada 23 November 2015.

Terima kasih atas masukan Bapak, yang telah menjadi perhatian dalam memperbaiki kualitas pelayanan kami.

NINI SUMOHANDOYO

Corporate Marketing and Communications Director PT Prudential Life Assurance

Bagasi Tak Ditemukan

Pada 10 Januari 2016, ibunda kami, Jijin Setia DJ, menumpang pesawat Lion Air JT287 dari Kuala Lumpur ke Jakarta. Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, ada bagasi ibu kami dan beberapa rekannya yang tidak ditemukan.

Kejadian ini sudah dilaporkan kepada Lion Air dengan surat lapor bernomor 001-022, yang diberikan oleh staf Lion Air bernama Yenni. Pihak Lion Air berjanji akan sesegera mungkin mengabari perkembangan terakhir usaha pencarian barang-barang tersebut.

Namun, setelah itu tidak pernah ada lagi informasi dari Lion Air. Kami yang aktif menghubungi Lion Air dengan Ibu Yenni (0811-1629xxx) sebagai contact person-nya. Kami hanya mendapat jawaban standar: "Jika sudah ketemu, akan dikabari."

Sampai surat ini ditulis, Selasa, 19 Januari 2016, kami belum juga menerima kabar dari Lion Air terkait usaha pencarian barang-barang bagasi itu.

YUDITH SETIA NH

JL KOTA BAMBU UTARA IV,

KOTA BAMBU UTARA, PALMERAH,

JAKARTA BARAT

Koper Dibongkar di Soekarno-Hatta

Rupanya belum ada pembenahan menyeluruh di area penanganan bagasi di Bandara Soekarno-Hatta. Buktinya, koper saya masih juga dibongkar maling pada 15 Januari 2016. Saat itu saya menumpang pesawat bernomor penerbangan SJ074 tujuan Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang.

Saya membawa koper yang menggunakan kunci nomor kombinasi dan tiga dus. Ketika mengambil bagasi, koper saya sudah dibuka paksa hingga bagian kuncinya rusak.

Saya juga melihat, koper saya telah ditandai dengan coretan benda kasar. Beruntung di dalam koper itu saya tidak menyimpan barang berharga.

Meski beberapa hari sebelumnya ada pemberitaan bahwa para pencoleng di bandara itu sudah ditangkap, kenyataannya tetap ada oknum lain yang tidak kapok membobol bagasi penumpang pesawat. Artinya, masih banyak pembobol bagasi di Bandara Soekarno-Hatta.

Apakah operator sebesar PT Angkasa Pura tidak mempunyai otoritas untuk menyeleksi petugas dan melakukan inspeksi di lapangan?

Sebaiknya, pihak operator bandara mengontrol kinerja petugas maupun kondisi lapangan secara berkala. Jangan menunggu datangnya pengaduan tindak kejahatan yang jelas-jelas telah merugikan penumpang.

CHARLI

JL SUTERA RENATA,

ALAM SUTERA, SERPONG,

TANGERANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Uang Kecil Tidak Laku".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Politik Guru (MOHAMMAD ABDUHZEN)

Peringatan Hari Guru Nasional 2015 menjadi menarik dibicarakan karena di samping Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merayakannya  sendiri, tanpa bekerja sama dengan Pengurus Besar PGRI sebagaimana biasanya, juga karena Kemdikbud dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengeluarkan surat edaran senada.

Isi surat edaran itu antara lain agar para guru tak mengikuti perayaan hari guru dan ulang tahun yang diselenggarakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 13 Desember 2015 di Gelora Bung Karno, Jakarta. Kehadiran guru dianggap mengurangi citra guru sebagai pendidik profesional. Organisasi publik (baca: PGRI) diminta tak mengorganisasikan dan memanfaatkan guru untuk berbagai kepentingan politik, tetapi fokus pada peningkatan mutu pendidikan, termasuk peningkatan profesionalisme guru.

Banyak kalangan menilai kedua surat itu ironis dan berlebihan. Kementerian berlabel reformasi birokrasi dan pendidikan-kebudayaan yang mestinya motivator revolusi mental malah spiritnya mengajak kembali ke alam prareformasi dan tak relevan dengan substansi profesionalisme guru. Dengan profesionalisme guru, pemerintah seyogianya mengubah pola pikir, sikap, dan perilakunya terhadap guru serta institusinya. Dengan demikian, guru termotivasi berubah, mengembangkan diri dan kompetensinya.

Menurut Tilaar (2012), profesionalisme meniscayakan perubahan perilaku etik dan politik guru karena status guru akan terdemitologisasi. Mitos guru sebagai manusia sempurna yang tak boleh salah, atau pekerja sosial yang ikhlas dan tak pantas mengharap balas, serta  guru yang dianggap tabu berpolitik akan mengalami, bahkan harus, dirasionalisasi. 

Perilaku moral guru profesional akan dituntun dan dibatasi etika profesi yang diawasi dewan kehormatan guru. Terkait pembayaran, bukanlah aib bagi para guru mengharap imbalan karena profesionalisme per definisi mengandaikan tingkat pembayaran dan kecakapan tertentu.

Sejak profesionalisme dijalankan, pemerintah (pusat dan daerah) mesti membuat perencanaan mengatasi kekurangan guru dan  membenahi distribusinya berdasarkan profesionalitas, bukan justru memolitikkan. Format darurat pengadaan dan pemenuhan formasi guru seyogianya diakhiri bersamaan dengan berakhirnya batas waktu sertifikasi guru dalam jabatan, yaitu tahun 2015.

Alih-alih memprioritaskan penyelesaian sekitar 1,2 juta guru yang belum tersertifikasi, dewasa ini pemerintah malah menggalakkan penugasan dan atau pengangkatan guru yang belum memenuhi prinsip profesionalitas melalui program Sarjana Mengajar di Daerah Terpencil, Terluar, Tertinggal (SM3T). Kegiatan SM3T kiranya lebih proporsional jika diposisikan seperti (dulu) dokter PTT bagi yang baru lulus uji kompetensi dokter Indonesia.

Segala kebijakan terkait dengan guru hendaknya tak lagi hanya memilih cara gampang tanpa berpijak pada aturan dan berorientasi perbaikan kinerja. Substansi profesionalisme guru adalah meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu dan martabat guru.

Karakteristik mental profesional adalah bekerja sebaik mungkin dengan melakukan perbaikan diri secara sinambung. Menghidupkan roh dan kesadaran guru tentang karakter profesional merupakan hal utama yang perlu digarap melalui berbagai program intervensi kualitatif. Selama  ini yang terjadi lebih pada kegiatan kuantitatif yang nyaris tak signifikan terhadap mutu guru. Belakangan, Kemdikbud sibuk menguji guru setiap tahun.

Wadah politik guru

Beragam fakta tadi menggambarkan program profesionalisme guru bukan semata urusan penguasaan materi ajar, pendekatan, metode, dan teknik mengajar di kelas/sekolah. Persoalan guru dan praktik kelas tak pernah lepas dari politik pendidikan nasional: bagaimana kekuasaan diperlakukan terhadap dunia pendidikan, termasuk guru. Hingga dewasa ini, program profesionalisme kebanyakan sebatas politisasi guru. Guru kerap diperlakukan bak dakocan yang diberi warna-warni membelanjakan anggaran, melestarikan kekuasaan, dan mencitrakan diri pejabat.

Agar tak terus-menerus menjadi obyek politisasi, para guru perlu disadarkan tentang statusnya sebagai sebuah entitas politik  yang dapat berkontribusi terhadap berbagai kebijakan. Bahkan, menurut Oakes dan Lipton (Teaching to Change the World, 2003: 430), menjadi guru di abad ke-21, selain alasan tradisional-seperti hasrat menolong-(perlu dimovitasi) untuk keadilan sosial dan mengubah dunia ke arah lebih baik.

Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan keberanian guru mengemukakan berbagai gagasan terkait kebijakan yang akan diambil. Tak zamannya lagi pemerintah terlampau represif dan curiga terhadap guru dan insti- tusinya karena dapat berakibat pada kejumudan, pemiskinan kreativitas, dan inovasi dalam pembelajaran. Untuk itulah, UU Guru dan Dosen menetapkan organisasi profesi guru penting.

Organisasi "profesi" guru perlu diberi definisi lebih luas dari sekadar tempat belajar bersama  dan bertukar pengalaman mengajar untuk meningkatkan kompetensi. Organisasi guru perlu dijadikan wadah  politik atau kelompok kepentingan guru dalam memperjuangkan hak dan kewajiban, perlindungan profesi, dan kemajuan pendidikan pada umumnya.

Problem profesi keguruan yang senantiasa berkelindan dengan politik pendidikan hampir tak mungkin diselesaikan guru secara individu. Sementara itu, posisi guru sangat lemah sehingga dengan mudah  menjadi bulan-bulanan dan korban kesewenang-wenangan  birokrasi, politisi, murid, orangtua, dan masyarakat. Kasus mudahnya pemberhentian sepihak seorang kepala sekolah di DKI Jakarta beberapa waktu lalu lantaran sekadar memberikan keterangan pers tentang ujian nasional adalah gambaran tak berdayanya guru di hadapan arogansi kekuasaan.  

Menjadikan organisasi guru sebagai entitas politik dan wadah perlindungan profesi kian penting seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat tentang HAM, termasuk hak dan perlindungan anak dewasa ini. Tuntutan masyarakat terhadap pendidikan yang bebas dari kekerasan meniscayakan guru mengubah paradigma dan kebiasaannya. Beberapa kasus yang ditangani lembaga konsultasi dan bantuan hukum PGRI menunjukkan betapa upaya edukasi dengan kekerasan fisik dan verbal (termasuk jentikan, jeweran, dan kekasaran kata) harus ditinggalkan. Organisasi guru  perlu proaktif merespons perkembangan ini sebagai momentum mengubah pola pikir guru terhadap tugasnya.

Pemilu dan guru

Politisasi guru makin marak dengan berbagai pemilu di Tanah Air. Pada Orde Baru, para guru-di bawah kendali organisasi guru-menyokong dan menyalurkan aspirasi politiknya pada organisasi politik penguasa. Imbalannya, satu dua orang pegiat pendidikan  dijadikan (calon) anggota DPR/DPRD lewat organisasi itu. Beberapa fungsionaris organisasi guru atau pegiat pendidikan lain ditunjuk/diangkat menjadi utusan golongan di MPR. Di bawah komando Orba, organisasi guru relatif solid dan jarang mengkritik kebijakan pendidikan pemerintah.

Di era reformasi, terbuka peluang bagi guru untuk berpartisipasi lebih besar dalam menentukan arah politik pendidikan. Pertama, dalam berbagai pemilu (legislatif, presiden, dan kepala daerah) guru bebas dan berposisi tawar menyalurkan hak pilih sesuai aspirasinya. Organisasi guru dapat bersepakat dan mengarahkan anggotanya memilih calon tertentu yang mengusung visi atau berkomitmen pada kemajuan pendidikan. Kedua,  organisasi guru dapat berperan  sebagai kelompok pendesak terhadap pemerintah agar berbagai kebijakan, termasuk peraturan daerah, berpihak pada guru dan kemajuan pendidikan. Ketiga, melakukan kontrol atas penggunaan  isu pendidikan yang berpotensi menyesatkan publik, terutama dalam masa kampanye. Organisasi guru dapat melindungi guru dan kepala sekolah dari politisasi dan kriminalisasi, seperti pemindahan atau pemberhentian sepihak dari jabatan terkait dukungan politik yang berseberangan dengan kekuasaan. Politik guru dapat dijalankan dengan baik hanya jika organisasi guru solid.

 MOHAMMAD ABDUHZEN

KETUA LITBANG PB-PGRI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Politik Guru".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Menolong Partai Politik (M ALFAN ALFIAN)

Ramlan Surbakti dalam tulisannya, "Parpol, Penggerak Demokrasi", (Kompas, 8/1) menjabarkan peran penting partai politik dalam demokrasi. Namun, merujuk pada pengalaman Indonesia, "tak ada parpol yang dikelola secara demokratis melainkan secara oligarki, bahkan personalistik."

Disebutkan juga, sumber penerimaan utama parpol adalah kalangan elite internal sehingga kurang peduli kepada anggota. Selain itu, disiplin parpol sangat rendah. Singkat kata, parpol di Indonesia umumnya belum mampu berperan sebagai penggerak demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis.

Guru besar ilmu politik ini tidak mengada-ada. Hal ini sekaligus jadi peringatan bagi parpol membenahi diri ke arah ideal yang bermuara pada menggerakkan demokrasi yang berkualitas di negeri ini. Parpol dalam negara demokrasi bak tulang punggung penting, tidak saja dalam mewarnai demokrasi, tetapi juga dalam hal pembangunan politik. Parpol yang kuat dan fungsional tentu mendorong terwujudnya pembangunan, dan bukan pemerosotan politik. Kalau diperas, inti pembangunan politik ialah stabilitas yang demokratis dengan dampak kemaslahatannya.

Parpol-parpol kita mengalami banyak situasi yang membuatnya terjebak pada wajahnya yang paradoksal. Hampir semua fungsi yang dilekatkan kepadanya, apakah pendidikan dan sosialisasi, akomodasi dan agregasi, rekrutmen dan pengaderan anggota, atau lainnya, nilainya cenderung masih tekor. Meminjam istilah Katz dan Mair (1993), tiga wajah partai: nilai mereka di ranah parlemen dan pemerintahan, di akar rumput, dan pengelolaan internal lembaga juga belum memuaskan.

Sering kali parpol bukan bagian dari solusi kehidupan nyata masyarakat dan bangsa, melainkan bagian dari kompleksitas masalah. Oligarki lebih banyak menambah buram wajah parpol kita sebagai entitas-entitas "kepemilikan personal" yang jauh dari kepentingan publik. Agenda tersembunyi memenangi kepentingan para aktor oligarki, konsep yang oleh Jeffrey Winters diperbarui dengan memperkenalkan fenomena pertahanan kekayaan, kini lazim bersifat terbuka. Pertarungan internal antarelite parpol pun semakin bercorak pragmatis-transaksional, tak lagi mencerminkan konflik ideologis.

Liberalisasi politik yang tergilas corak pragmatis-transaksional itulah yang tergambar dalam wajah kebanyakan parpol kita. Parpol jadi wahana politik yang ironisnya "tanpa politisi". Kualifikasi internal parpol terdegradasi oleh semata-mata kekuasaan formal yang dikendalikan aktor oligarki yang aneh.

Institusionalisasi

Perspektif yang banyak menjadi pisau bedah terkait masalah parpol ialah institusionalisasi. Ia banyak menyinggung konteks internal parpol, bagaimana ia tumbuh sebagai lembaga yang kuat. Institusionalisasi merupakan proses menjadikan organisasi dan prosedurnya memperoleh nilai baku dan stabil. Huntington (2004) menyatakan pelembagaan politik dapat diukur dari tingkat adaptabilitas, kompleksitas, otonomi, dan koherensinya. Panebianco (1998) menekankan pentingnya otonomi dan kesisteman. Tingkat otonomi terkait sejauh mana organisasi tak bergantung pada kekuatan lingkungannya. Tingkat kesisteman adalah sejauh mana kesalingtergantungan antarsubsektor organisasi.

Randall dan Svasand (2002) menambahkan pendapat Kenneth H Janda tentang pentingnya partai yang tertanam dalam benak publik. Randall dan Svasand memperkenalkan konteks kesisteman, otonomi, nilai-nilai, dan kultur, citra yang otentik. Di atas itu semua, ada satu hal lagi yang tak kalah mendasarnya, dan ini penting sekali, yakni kepemimpinan. Kepemimpinan ialah ujian bagi para elite parpol, apakah mereka bisa memainkan diri sebagai politisi sejati, andal, ataukah medioker saja.

Dalam perspektif institusionalisasi diasumsikan parpol yang kuat kelembagaannya-dan tentu saja fungsional-akan berdampak positif pada peningkatan kualitas demokrasi. Dalam hal ini, parpol merupakan bagian dari elemen penting sistem politik secara keseluruhan. Ia terkait dengan, terutama, sistem kepartaian nasional dan sistem pemilu. Parpol pastilah dihadapkan pada realitas kompetisi; apabila ia kuat secara lembaga, pastilah akan terus eksis dalam sistem dan cuaca politik apa pun.

Bagaimana tingkat institusionalisasi parpol di Indonesia dewasa ini? Tampaknya rata-rata tingkat institusionalisasi mereka masih rendah. Nilai parpol yang terlanda konflik atau perpecahan internal akut tekor. Dalam kemandirian parpol, memang tidak dapat serta-merta jeroan parpol yang disalahkan, tetapi sistem kepartaian kita masih belum antisipatif dalam pendanaan. Ini masih jadi dilema: di satu sisi parpol gagal memobilisasi dana yang cukup dari dalam, tetapi dana dari negara sangat terbatas. Akibatnya, pemenuhan pendanaan parpol oleh para elite tidaklah mudah dan berpotensi pada perilaku korupsi para kader di jabatan publik.

Lantas, bagaimana menolong parpol?  Kita tahu parpol merupakan pilar penting dari masyarakat politik sebagaimana masyarakat ekonomi, masyarakat sipil, dan penegakan hukum yang kuat adalah prasyarat penting dalam konsolidasi demokrasi. Semua pihak perlu bertanggung jawab memperkuat parpol sebagai penggerak demokrasi. Dari sisi luar parpol, masyarakat sipil pun perlu menekan dan mendesak para elite parpol agar menjadi politisi yang benar, bukan memperkuat posisi sebagai oligarki yang membajak parpol sendiri.

Sesungguhnya yang paling penting adalah tekanan dari dalam, supaya parpol bergerak ke arah penguatan institusinya. Jadi, harus ada transformasi dari dalam yang hadir sebagai respons terhadap tekanan dari luar yang menghendaki agar parpol terlembaga secara demokratis. Ini bisa terjadi manakala pola pikir yang ada tak eksklusif. Para elite partai yang inklusif, sebaliknya, sadar bahwa yang dilakukan parpol tidak dapat dilepaskan dari publik. Parpol bukan milik elitenya, melainkan milik publik. Pengelola parpol jangan melembagakan sikap menutup diri.

Regulasi

Dari sisi sistem, pada akhirnya diperlukan regulasi yang orientasinya pada penguatan institusi parpol. Sistem kepartaian dan pemilu dewasa ini kelihatannya belum berorientasi ke sana, sehingga sering parpol bak gelandangan di rumah sendiri dan mengalami disorientasi. Sistem pemilu proporsional terbuka dengan berdasarkan suara terbanyak sekadar membuat parpol jadi kendaraan politik yang tak mampu memastikan para kader terbaiknya terpilih. Mereka kalah dengan yang, meminjam istilah Nurcholish Madjid, "gizinya" banyak. Bila demikian, pengaderan seolah-olah tak berguna dan memicu alasan elite parpol enggan melakukan pengaderan yang baik dalam bingkai penguatan institusi parpol.

Meski demikian, parpol dewa- sa ini tak boleh manja dan berharap dimanja negara. Mereka harus lebih dulu mampu memperbaiki wajahnya, menunjukkan kepada publik perubahan signifikan dalam menggerakkan demokrasi dengan kian tingginya persentase identifikasi partai sehingga peningkatan dana oleh negara tidak menuai protes luas.

M ALFAN ALFIAN

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Menolong Partai Politik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jumat, 29 Januari 2016

Pemagaran Jalur KA//Uang Belum Dikembalikan//Ucapan Polisi (Surat Pembaca Kompas)

Pemagaran Jalur KA

Saya sangat mendukung usaha PT Kereta Api Indonesia memasang pagar di sepanjang jalur kereta api. Pemagaran ini penting karena bisa mengurangi risiko warga tertabrak KA, terutama di jalur-jalur dengan jadwal KA padat, seperti di sepanjang Jalan Raya Lenteng Agung (Jalan Universitas Pancasila), tempat KA melintas setiap beberapa menit.

Namun, saya menyayangkan pemagaran jalur KA di Lenteng Agung itu, yang terkesan tanpa memperhatikan kondisi sekitarnya. Di seberang Universitas Pancasila terdapat lima sekolah, yakni SMA 38, SMP 98, SMK 62, MAN 13, dan SMP 242. Pemagaran membuat banyak siswa, guru, dan karyawan sekolah tersebut berjalan kaki lebih jauh agar dapat menyeberang jalan/lintasan rel KA melewati Stasiun Universitas Pancasila. Itu pun mereka harus membayar karcis Rp 2.000. Sebagai warga, saya dan warga lainnya ikut terkena dampak.

Alangkah baiknya jika sebelum memasang pagar, PT KAI menyiapkan dulu fasilitas penyeberangan yang aman (dan gratis) bagi pejalan kaki. Fasilitas dapat berupa jembatan penyeberangan atau terowongan penyeberangan, yang dibangun di dekat lokasi sekolah-sekolah tersebut.

DEWI RAHMAWATI, JALAN RAYA LENTENG AGUNG RT 005 RW 004, SRENGSENG SAWAH, JAGAKARSA, JAKARTA SELATAN

Uang Belum Dikembalikan

Pada 12 Desember 2015 saya membeli sebuah telepon seluler diwww.blibli.com. Pesanan bernomor 11001277946 dan 11001277945 itu dibayar dengan kartu kredit BCA. Beberapa hari kemudian saya menerima kiriman charger ponsel tersebut, tetapi ponsel belum.

Pada 19 Desember 2015 pihak blibli.com mengirim surat elektronik, menginformasikan bahwa pesanan saya tidak dapat dipenuhi dengan alasan tidak jelas. Dalam surel itu juga dinyatakan, mereka akan mengembalikan uang pembelian 5-10 hari kerja.

Namun, sampai saat surat ini ditulis, dana belum juga kembali. Padahal, saya sudah menerima tagihan kredit dari BCA terkait pembelian ponsel tersebut. Saya sudah empat kali menghubungi layanan pelanggan blibli.com melalui chat dan surel, tetapi tak ada jawaban.

Saya menunggu itikad baik blibli.com untuk menyelesaikan hal ini. Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen Nomor 4, saya sebagai konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

Saya sudah sering bertransaksi secara daring (online), tetapi baru kali ini mengalami kejadian, apalagi blibli.com adalah perusahaan jual beli daring cukup besar. Saya merasa ditipu dan dirugikan selaku konsumen.

YUNIDA, KALIBATA TIMUR, JAKARTA 12510

Ucapan Polisi

Pada 15 Januari 2016, pukul 21.00, di Jalan Raya Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, tepatnya di area lampu neon menuju The Park Mall (samping Puskesmas Grogol) ada polisi yang sedang merazia kendaraan bermotor.

Banyak warga terkena tilang kecuali saya karena saya membawa surat lengkap. Namun, sepertinya polisi itu mau mencari gara-gara. Pertama dia membawa SIM saya, lalu setelah melihat STNK malah membentak "SIM mana?"

Karena dibentak, saya pun menjawab dengan ketus, "Kan, tadi Bapak yang bawa. Kok, nanya saya lagi?"

Lalu dia melotot menatap saya sambil memaki-maki dengan kata-kata yang tidak senonoh di hadapan warga yang berkerumun mengantre surat tilang. Ternyata saat memeriksa STNK saya, dia menaruh SIM saya di meja.

Saya tidak takut dan saya jawab, "Bapak yang mulai kasar duluan. Bapak, kan, aparat negara yang mestinya melindungi kami warga sipil."

Namun, polisi tersebut terus melotot menatap saya dan mengulang-ulang kata-katanya, yang sangat tidak pantas diucapkan, apalagi oleh aparat. Karena dia duduk dan saya berdiri, saya pun berusaha mengambil fotonya. Dia memanggil polisi lain untuk menahan HP saya.

Lalu saya menemui orang yang mereka sebut komandan dan saya ceritakan kejadiannya. Namun, jawaban yang saya terima, "Ah, tidak apa-apa itu."

Tidak ada permintaan maaf, bahkan tanpa permisi, sebelum selesai saya bercerita, ia sudah berjalan menjauh.

Selama ini citra polisi di mata masyarakat sudah relatif buruk—termasuk dicap mata duitan—mengapa masih bersikap tidak patut kepada warga, apalagi saya perempuan. Semoga peristiwa ini tidak terjadi lagi kepada warga masyarakat lain.

DEWI, SUKOHARJO, JAWA TENGAH

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger