Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 31 Juli 2018

TAJUK RENCANA: Lombok Gempa Lagi (Kompas)

KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Penginapan di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, nyaris rata dengan tanah akibat gempa hari Minggu (29/7/2018). Runtuhnya rumah ini menimpa Siti Nurrmawida, asal Malaysia yang kemudian meninggal saat itu.

 

Bangsa Indonesia kembali berduka dengan gempa yang mengguncang Lombok, Minggu (29/7/2018). Ada 1.000 rumah rusak, 15 orang tewas, dan ribuan lainnya mengungsi.

Lombok memang sering dilanda gempa. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, gempa berlangsung setiap tahun. Meski kekuatan gempa relatif tidak besar, dampaknya memprihatinkan. Dalam hal ini, beberapa faktor menjadi penyebabnya: lokasi, kedalaman gempa, kondisi tanah, dan kualitas bangunan.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menjelaskan, Pulau Lombok dikepung oleh dua sumber gempa. Di selatan pulau ada zona subduksi dan di sebelah utara pulau ada sesar naik (Kompas, 4/4/2016).

Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa adalah bagian busur dari Kepulauan Sunda Kecil yang terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Struktur geologi sesar naik belakang busur membuat gempa dangkal sering terjadi. Meski magnitudonya rendah, guncangan terasa kuat.

Di sisi lain, kualitas bangunan amat menentukan jumlah korban. Pengalaman empiris menunjukkan, bukan gempa yang membunuh manusia, melainkan konstruksi dan kualitas bangunan. Sudah ada beberapa contoh tentang bangunan berkonstruksi tahan gempa yang terbukti aman bagi manusia.

Kita tahu gempa di Lombok yang terjadi hari Minggu lalu berkekuatan M 6,4 pada kedalaman 24 kilometer. Karakteristik gempa ini sama dengan gempa di Prefektur Kumamoto, Jepang, 14 April 2016. Serupa juga dengan gempa di Yogyakarta, 27 Mei 2006.

Tingkat kerusakan dan jumlah korban gempa di Jepang jauh lebih kecil dari kedua gempa di Indonesia. Menurut kantor berita AFP, bangunan yang rusak hanya 19 unit, 9 korban tewas, 15 luka berat, dan 254 luka ringan. Mengapa bisa demikian? Mitigasi bencana telah menghasilkan standar bangunan tahan gempa yang disosialisasikan, ditaati, dan diawasi dalam pelaksanaannya.

 

Bandingkan dengan gempa Yogyakarta, yang menyebabkan ribuan bangunan dan bangsal di Keraton Yogyakarta ambruk, lebih dari 6.000 orang tewas, dan 40.000 orang luka-luka. Atau gempa di Lombok dengan data yang disebutkan di atas.

Mengapa bisa demikian? Pengetahuan masyarakat akan konstruksi bangunan sesuai standar saja ternyata masih amat rendah, apalagi bangunan yang tahan gempa. Masih banyak jutaan rumah rakyat dibangun tanpa tulangan besi yang kokoh, bata, dan adonan semen yang benar. Padahal, Indonesia memiliki banyak rumah adat dengan konstruksi dan bahan baku yang terbukti tahan gempa, sekaligus bisa menjadi acuan.

Sarwidi, Guru Besar Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, sebenarnya telah melatih para tukang dan mandor bangunan di kawasan Yogyakarta teknik bangunan tahan gempa (Kompas, 14/6/2018).

Disebut barrataga—singkatan dari bangunan rumah rakyat tahan gempa—terbukti membuat beberapa rumah tetap tegak ketika gempa 2006 di Yogyakarta.

Saatnya barrataga disosialisasikan dan diterapkan, teristimewa di kawasan-kawasan rawan gempa. Semoga dengan demikian dampak gempa bisa diminimalkan.

Kompas, 31 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Identitas dan Pendidikan Berwawasan Kebangsaan (ANITA LIE)

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pelajar melintas di depan mural mantan presiden Soekarno, NKRI, dan Pancasila di Segara Makmur, Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (15/2/2018). Mural kepahlawanan dan nasionalisme banyak menghiasai jalan kampung untuk mengingatkan  pada masa perjuangan kemerdekaan. 

Kemenangan tim Perancis di Piala Dunia 2018 menyisakan satu pertanyaan soal identitas nasional dan sub-identitas kultural/etnis. Seorang komedian dan pembawa acara The Daily Show di Amerika Serikat membuat komentar kontroversial tentang komposisi multi-etnis anggota tim sepak bola Perancis.

Berasal dari Afrika Selatan dari seorang ibu keturunan Afrika dan ayah orang berkulit putih, Trevor Noah sangat kondang di Amerika Serikat. Ketika dunia bersorak, "Perancis menang," Noah berkomentar, "Afrika memenangi Piala Dunia."

Kontan komentar Noah ini mendapat reaksi protes keras dari GÉrard Araud, Duta Besar Perancis untuk Amerika Serikat. Araud menyatakan keberatan atas penyebutan kemenangan Afrika "hanya" karena beberapa anggota tim dari keluarga imigran asal Afrika.

Bantahan Duta Besar Perancis itu menunjukkan paradigma multikulturalisme berdasarkan model periuk belanga peleburan. Ketika nasionalisme berhadapan dengan kebutuhan pengakuan terhadap identitas etnis para imigran, Perancis menganut paham peleburan identitas etnis ke dalam kesatuan Perancis. Menurut Araud, para imigran anggota tim sepak bola bukan lagi orang Afrika, melainkan sudah menjadi orang Perancis.

Membaca pernyataan protes dari Duta Besar Perancis ini, Noah membela diri dan membandingkan model multikulturalisme Perancis dengan Amerika Serikat. Setiap imigran atau keturunan imigran bisa mengaku sebagai warga negara Amerika dan sekaligus juga tetap merayakan identitas budaya/etnisnya. Model multikultural gado-gado ala Amerika memungkinkan afiliasi kebangsaan bersamaan dengan sub-identitas etnis masing-masing sehingga ada orang Amerika keturunan Irlandia, Vietnam, Meksiko, dan Indonesia.

Bagaimana pula dengan situasi keragaman di Indonesia? Model kebangsaan-multikulturalisme seperti apa yang dijadikan acuan di Indonesia?

Kekayaan budaya dari Sabang sampai Merauke, yang diikat dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, menyajikan dinamika kebangsaan yang senantiasa menuntut upaya terus-menerus untuk merawat persaudaraan dan mengelola kontestasi yang muncul di sana sini. Lahan paling strategis untuk merawat dan membangun rasa kebangsaan ini adalah pendidikan.

Dalam era percepatan industri di beberapa daerah dan kota di Indonesia, migrasi telah mengubah populasi peserta didik di sekolah-sekolah di Indonesia. Di sekolah-sekolah di Sumatera Utara, misalnya, anak-anak Batak duduk di kelas yang sama dengan anak-anak Melayu, Minang, dan Jawa yang orangtuanya bermigrasi ke daerah tersebut karena industri perkebunan. Sementara di Timika, anak-anak Amungme dan Kamoro mesti belajar bersama dengan anak-anak Bugis, Jawa, Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Rote, dan Alor) karena industri pertambangan PT Freeport Indonesia sudah menjadi magnet ekonomi bagi para pendatang.

Jika model pendidikan berwawasan kebangsaan bisa dikelola dengan baik, anak bisa belajar saling mengenal, menerima, menghargai. Juga sekaligus dan saling membantu dengan anak-anak lain dari berbagai komunitas etnis, agama, bahasa daerah, dan adat istiadat.

Ketegangan mayoritas-minoritas dan asli-pendatang

Keragaman budaya seharusnya merupakan anugerah yang bisa menjadi kebanggaan semua warga. Ia patut disyukuri dan dipelihara karena dapat menjadi faktor yang mendinamiskan bangsa Indonesia sebagai bangsa beradab dan bermartabat.

Namun, beriringan dengan industrialisasi yang kerap belum menyejahterakan masyarakat lokal secara adil, proses migrasi  tidak selalu disambut dengan gembira dan integrasi warga negara tidak selalu berjalan mulus.  Bahkan, tidak jarang kontestasi antara berbagai kelompok etnis dan agama dengan mudah dimanipulasi untuk kepentingan politik dan bisnis jangka pendek, yang pada akhirnya merobek rajutan kebangsaan.

Situasi mayoritas-minoritas terjadi di mana-mana karena memang migrasi manusia ke sejumlah daerah tidak bisa dicegah lagi. Adakalanya, masyarakat yang sudah bermukim di suatu daerah selama beberapa generasi tetap menjadi mayoritas dan mesti berinteraksi dengan pendatang yang minoritas. Namun, yang menjadi minoritas tidak selalu masyarakat pendatang.

Di beberapa kecamatan di Sumatera dan Kalimantan, misalnya, pendatang dari Jawa bisa menjadi mayoritas karena permukiman yang terjadi dari program transmigrasi sudah berkembang pesat. Sebaliknya, di tempat yang lain, pendatang dari Jawa merupakan minoritas yang mesti beradaptasi dengan budaya setempat.

Dalam pengertian demokrasi, keberadaan mayoritas tidak semestinya meniadakan hak-hak anggota kelompok minoritas. Dalam masyarakat yang beradab dan bermartabat, hak setiap anggota masyarakat dibatasi oleh kewajibannya menghargai pemenuhan hak orang lain.

Persaudaraan ataupun kontestasi para manusia dewasa dari berbagai latar belakang yang berbeda terjadi di ruang-ruang publik: mulai dari daerah permukiman, tempat pekerjaan, dan layanan masyarakat, serta berbagai kawasan lain.

Dampak kontestasi itu juga bisa terbawa pada anak-anak di sekolah. Oleh karena itu, sekolah merupakan kesempatan strategis untuk mengelola pendidikan berwawasan kebangsaan.

Toleransi-empati

Pendidikan berwawasan kebangsaan sudah dirancang sebagai bagian dari kurikulum. Pedoman Pendidikan Wawasan Kebangsaan (PPWK) sudah merekomendasikan pembentukan Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan di setiap kabupaten/kota. Materi kurikulum formal sekolah juga sudah memuat informasi yang menunjukkan keragaman, seperti nama tempat ibadah keenam agama yang diakui di Indonesia, hari raya keagamaan, rumah adat, dan tarian daerah. Namun, sayangnya, kurikulum formal ini belum menjadi kurikulum yang hidup di banyak sekolah.

Sekolah seharusnya menjadi mikrokosmos kebinekaan Indonesia, di mana setiap anak bebas mengungkapkan jati diri suku, budaya, adat istiadat, bahasa ibu, agama, dan asal daerah. Alih-alih mengajak semua anak untuk saling menghargai perbedaan, banyak guru masih harus banyak belajar mengenai keragaman Indonesia dan mengasah keterampilan mengelola dinamika kelas. Sebagian guru masih terjebak pada zona nyaman mereka sendiri dan tidak berupaya memahami siswa-siswa yang berbeda.

Apabila identitas suku, budaya, dan agama guru kebetulan sama dengan mayoritas siswa yang ada di kelasnya, guru tersebut cenderung melakukan ritual-ritual pengajaran (misalnya, doa bersama, etiket sosial, bergaya bahasa) yang sesuai dengan norma mayoritas dan mengabaikan potensi keterasingan siswa yang tergolong minoritas di kelasnya. Situasi ini sering kali terjadi, bahkan di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya menjadi lahan netral di mana setiap anak merasa nyaman dan aman dengan jati diri suku, budaya, adat istiadat, bahasa ibu, agama, dan asal daerahnya.

Di kebanyakan sekolah, anak masih belajar hanya pada tahap mengembangkan toleransi. Sayangnya, toleransi ini sering kali berhenti pada tahapan tidak saling mengganggu, tenggang rasa, dan menahan diri. Ia belum sampai pada mengembangkan empati atau bela rasa—ketika saudaraku merasa terluka, aku juga ikut terluka. Ketika guruku tidak memberikan kesempatan kepada saudaraku untuk melakukan ritual agamanya yang berbeda, aku merasa terusik. Ketika guruku mengejek logat bahasa dan merendahkan suku saudaraku, aku ikut merasa terhina.

Pendidikan berwawasan kebangsaan sesungguhnya terkait erat dengan pendidikan karakter sebab belajar menghargai perbedaan membuat seseorang melihat orang lain sebagai sesama manusia.

Seperti kata Paul Coelho—sastrawan Brasil yang terkenal di sini lewat novel Sang Alkemis-nya, budaya membuat orang memahami satu sama lain. Jika mereka memahami satu sama lain dalam jiwa mereka, akan sangat mudah mengatasi berbagai hambatan ekonomi-politik. Akan tetapi, pertama-tama, mereka mesti memahami bahwa tetangga mereka sebetulnya sama dengan mereka, dengan persoalan yang sama, dan pertanyaan-pertanyaan yang sama.

Anita Lie Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya

Kompas, 31 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Bahaya Buta Data (JOUSAIRI HASBULLAH)

 

Masyarakat dunia modern kini semakin kompetitif dan menghendaki keterukuran yang fact-based, berdasarkan data, dalam merencanakan, mengevaluasi, dan mengkritisi masa depan negara. Mereka melek data (data literacy).

Indonesia dan beberapa negara berkembang lain masih sebaliknya: buta data (data illiteracy) dan hanyut terbuai dengan budaya komunikasi yang otoriter-verbal. Pola komunikasi yang terukur dan ukurannya dipahami secara benar masih terpinggirkan.

Negara maju semakin kuat dengan kebijakan pembangunan yang evidence based, berdasarkan bukti. Hasilnya pun efektif. Sementara yang disebut kedua, Indonesia dan beberapa negara berkembang lain kemajuannya cenderung tertatih-tatih. Hasil dari kebijakan pembangunan yang dirancang jadi kurang produktif. Buta data telah menggerogoti efektivitas kebijakan. Jurang penguasaan data di antara keduanya pun sangat lebar.

Buta data dan makna data

Buta data didefinisikan sebagai keterasingan dan ketidakpahaman dalam membaca makna yang terkandung di balik data statistik yang disajikan. Di Indonesia, kecenderungan ini menjangkiti sebagian besar masyarakat sipil, kalangan intelektual, eksekutif maupun legislatif, dan menggerogoti upaya untuk membangun bangsa dan membangun debat publik yang produktif.

Di kalangan pemerintahan, baik di pusat dan terutama di daerah, data digunakan terkadang tidak lebih dari sekadar aksesori. Di dalam naskah dokumen perencanaan terkesan telah menggunakan data, tetapi antara makna yang dikandung oleh setiap angka yang disajikan dengan kebijakan yang diambil banyak yang kurang "nyambung" dan atau bahkan salah arah.

Berikut sekadar beberapa contoh. Banyak bupati di daerah terpencil bangga dengan angka pengangguran yang sangat rendah di kabupatennya. Dipidatokan di berbagai kesempatan  bahwa sang bupati berhasil menekan angka pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hanya 2 persen angka pengangguran di daerah kita, padahal di tingkat nasional di atas 5 persen.

Jika yang bersangkutan memahami makna data, akan terlebih dahulu mengamati pola sebaran pengangguran antarwilayah, bahwa di daerah yang menjadi konsentrasi pembangunan, yang maju, justru di sana angka pengangguran tinggi. Karena berlaku hukum migrasi di mana pencari kerja akan keluar dari daerah yang terbelakang menuju pusat-pusat kesempatan kerja yang lebih terbuka. Ada gula datanglah semut.

Para pengamat kita yang ahli ekonomi sering juga terjebak. Mungkin karena literatur-literatur ilmu ekonomi yang dulu dipelajari di universitas di luar negeri umumnya menyimpulkan bahwa pengangguran rendah pertanda ekonomi sedang baik, dan sebaliknya. Kita lupa bahwa menerjemahkan angka pengangguran di tingkat nasional dan di tingkat provinsi/kabupaten/kota sangat berbeda karena adanya faktor mobilitas penduduk.

Contoh lain, bagaimana kualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita akan meningkat mengatasi ketertinggalan dari negara tetangga dan disparitas antar-wilayah akan menyempit jika para perencana di pusat dan di daerah keliru dalam memahami datanya. Kelompok oposisi dan masyarakat sipil yang mengkritisi juga terkesan kurang paham data.

Di banyak daerah, untuk meningkatkan IPM bidang kesehatan, diambil kebijakan memperkecil angka kematian secara umum, menekan kematian akibat kecelakaan lalu lintas, dan memperbanyak penyuluhan tentang penyakit yang diakibatkan oleh gaya hidup. Semua ini benar dan harus dalam konteks membangun derajat kesehatan penduduk secara menyeluruh. Kebijakan ini tentu ada kaitannya dengan IPM, tetapi sangat minimalis kalau dikaitkan dengan komponen IPM: usia harapan hidup (life expectancy at birth).

IPM di komponen harapan hidup tidak mencakup harapan hidup secara umum, tetapi dibatasi pada harapan hidup waktu lahir yang besarannya ditentukan oleh besaran angka kematian bayi. Betul bahwa kematian bayi itu refleksi dari keberhasilan pembangunan yang menyeluruh, tetapi kalau kita hendak mempercepat kenaikan angka IPM, mengapa tak fokus ke determinan-determinan pokok yang langsung terkait angka kematian bayi? Akibatnya, variasi program dengan dana besar untuk menaikkan IPM, hasilnya jauh dari harapan.

Angka batas garis kemiskinan (GK) yang Rp 402.000/kapita per bulan oleh sebagian pengamat langsung saja dibagi dengan 30 hari, menghasilkan angka Rp 13.000. Ini diperdebatkan dengan sengit. Padahal, besaran GK itu bervariasi antar-rumah tangga, bergantung besaran jumlah anggotanya. Jika rumah tangga tersebut memiliki lima anggota, maka ukuran kemiskinan per bulan Rp 2,02 juta. Garis batas itu masih sangat rendah? Betul, karena yang dicakup adalah mereka yang hanya mampu memenuhi kebutuhan paling dasar.

Hal yang sama terjadi dengan data produk domestik bruto (PDB), produk domestik regional bruto (PDRB), nilai tukar petani, inflasi, dan masih banyak contoh lain yang terus diperdebatkan, tetapi dimaknai di luar yang dimaksud oleh data.

Membahayakan bangsa

Kultur numerikal atau kultur data memang secara historis bukan tradisi kita. Kita terbiasa dengan kultur verbal: kualitatif, normatif, dan terkadang subyektif. Dapat dipahami jika antara apa yang diceritakan oleh data dan yang diperdebatkan di publik dan atau antara apa yang dirancang dalam program pembangunan dengan apa yang dimaknai oleh data sebagai evidence cenderung berjarak.

Kita kian tertinggal dari negara maju yang mengusung tradisi data driven debate. Mengkritisi kebijakan pemerintah didasarkan atas data yang dipahami dengan benar sebagai ciri masyarakat berbasis ilmu pengetahuan.

Di Indonesia, karena tingginya tingkat buta data, debat pembangunan cenderung verbal: suaranya kencang dan terkadang terdengar indah, tetapi dengan pijakan yang rapuh. Karena sifatnya yang verbal, dan berpotensi otoriter, maka celaan, umpatan, dan syak wasangka justru banyak mendominasi hari-hari kita. Kecenderungan ini sangat tidak menguntungkan, bahkan berbahaya bagi kelangsungan hidup kita sebagai bangsa.

Menarik apa yang dikatakan Enrico Giovannini (ahli statistik PBB saat ini, mantan Presiden Statistik-nya OECD), "If a Society does not know where it stands, it is quite difficult to decide where to go. Data have a key role in helping policy makers and citizens to understand facts correctly and design their future strategies. The accountability of public debate, public policies and the democratic control on politician's decisions can be improve if statistics, data, is put at the center of public debate."

Kita yakini bangsa ini akan lebih cepat maju jika dalam merencanakan, mengkritisi, dan mengevaluasi suatu kebijakan dan dalam menentukan target masa depan diperkuat dengan tradisi baru, yaitu kultur numerikal, kultur data, dan terus berupaya meminimalkan tingkat buta data.

Jousairi Hasbullah Ketua Technical Advisory (2012-2015) dan Steering Group (2017-Juni 2018) Social Statistics Asia and the Pacific; Alumnus Flinders University Australia

Kompas, 31 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Antisipasi Ganjil Genap//Nomor HP Kembar//Mutu Apartemen (Surat Pembaca Kompas)


Antisipasi Ganjil Genap

Pembatasan kendaraan di kota Jakarta yang diperluas cakupannya berdasarkan nomor ganjil-genap akan berlaku efektif mulai 1 Agustus 2018. Pembatasan akan berlangsung 07.00-21.00 dan tanpa pengecualian di hari libur, itu perlu dikaji ulang karena dampaknya bisa ke mana-mana dan sungguh merepotkan.

Barangkali akan tidak bermasalah secara pribadi apabila saya harus menghapus keinginan untuk menyaksikan secara langsung perhelatan olahraga internasional yang diselenggarakan di Indonesia ini, khususnya yang berlokasi di Jakarta. Mudah-mudahan, saya masih bisa menyaksikan di rumah melalui siaran televisi.

Saat ini saja, saya sudah bingung karena saya menerima undangan dari seorang teman dekat atas perhelatan pernikahan anaknya yang akan berlangsung di tanggal ganjil, padahal kendaraan saya bernomor genap. Menurut teori, saya bisa menggunakan transportasi umum. Akan tetapi, itu berarti saya harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk pergi-pulang dari tempat perhelatan.

Itu baru satu permasalahan saja. Ke depan kalau kita akan mengundang teman, saudara, atau relasi ke suatu acara, mau tak mau lokasi harus kita perhitungkan. Sedapat mungkin hindari tempat penyelenggaraan di area ganjil-genap. Apa iya, kita juga harus memilah teman yang akan diundang, dengan membatasi hanya mengundang teman-teman yang dari alamat tinggalnya menuju lokasi perhelatan, tidak perlu melewati jalur ganjil-genap?

Pengelola gedung atau ruang pertemuan di jalur ganjil-genap perlu memutar otak mencari jalan keluar untuk mempertahankan atau mengubah bisnisnya. Apalagi kalau kebijakan ganjil-genap tersebut ditetapkan permanen.

Saya menyimpulkan, kebijakan ganjil-genap tidak cukup dilihat dari keinginan mengurangi kepadatan lalu lintas, tetapi perlu dikaji dari dampak kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk segi bisnis yang terimbas.

Suwarsono Jl H Zaini, Cipete Selatan, Jakarta Selatan

Nomor HP Kembar

September 2016 istri saya membeli gawai baru di Mega Bekasi Hypermall Smartfren nomor 0882132044xx.

HP beroperasi normal. Awal Juli 2018, tiba-tiba terjadi berbagai gangguan. Fasilitas WA tidak dapat dibuka, apalagi digunakan. Bahkan, istri saya seolah-olah keluar dari grup WA keluarga dan teman-temannya, padahal tidak ia lakukan.

Maka, via gawai saya, saya mengirim artikel, gambar, dan berita-berita keluarga yang tidak dapat ia akses.

Namun, seseorang lewat nomor dengan nama istri saya di WA meminta maaf dan menyatakan nomor itu miliknya. Ia baru beli kartu perdana itu di Rawa Bokor, Cengkareng.

Ketika menggunakan fasilitas WA, muncul nama orang lain. Dia menerima SMS, WA, dan telepon yang bukan untuknya.

Karena terganggu, dia keluar dari semua grup WA. Rupanya itulah saat istri saya—tanpa sepengetahuannya—keluar dari beberapa grup yang diikutinya.

Mengapa satu nomor bisa dimiliki dua orang yang berbeda? Mohon penjelasan Smartfren.

Harsono Sutedjo Kemang Pratama, Bekasi

Mutu Apartemen

Sejak serah terima kunci unit apartemen elite Trivium Lippo Cikarang, 1 September 2015, apartemen selalu bermasalah.

Dari meja dapur yang sambungannya pecah-pecah, tiadanya fasilitas parkir motor, hingga kebocoran plafon.

Developer tidak bisa memberikan solusi atas kebocoran yang terjadi karena kualitas pelaksanaan pembangunan yang kurang bagus. Akibatnya, masalah susah dibenahi. Akibatnya, sebagai pemilik unit apartemen saya tidak bisa menikmati.

Padahal, uang iuran bulanan sudah berjalan Rp 40 jutaan ke pihak developer. Sebegitu jelekkah kualitas apartemen Trivium Lippo Cikarang?

Mohon developer pengelola Apartemen Trivium Lippo Cikarang menengok apartemen kami dan berintrospeksi diri.

Djanoko Gozali Eramas 2000, Jakarta Timur

Kompas, 31 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Korupsi di Penjara (EMERSON YUNTHO)

KOMPAS/ SAMUEL OKTORA

Suasana di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (21/7/2018) nampak normal. Sejumlah warga yang akan membesuk terpidana antre di depan gerbang. KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen, Sabtu dini hari.

Sabtu (21/7/2018) dini hari lalu adalah hari paling naas bagi Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husein. Wahid yang baru empat bulan menjabat di sana terjerat operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap untuk pemberian fasilitas mewah bagi penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin.

Selain Kalapas Sukamiskin, KPK juga menangkap lima pelaku lain, termasuk narapidana kasus korupsi Fahmi Darmawansyah yang diduga menjadi pelaku suap. Dari operasi tersebut, KPK menyita barang bukti berupa dua mobil mewah dan uang Rp 279 juta dan 1.140 dollar AS. KPK menyebutkan adanya jual-beli fasilitas sel mewah di Lapas Sukamiskin sebesar Rp 200 juta-Rp 500 juta.

Penangkapan KPK dan temuan soal sel mewah di Lapas Sukamiskin tidak saja mengejutkan, tetapi juga membuat malu jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), bahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Apalagi Lapas Sukamiskin selama ini sering kali dikatakan sebagai lapas percontohan di Indonesia.

Meski banyak yang terkejut, terungkapnya adanya sel mewah di dalam lapas atau penjara sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Pada tahun 2013, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana pernah melakukan inspeksi mendadak dan menemukan sel mewah di Lapas Sukamiskin. Lalu, pada 2017, operasi yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan keberadaan sel mewah di Lapas Narkotika Cipinang yang dihuni oleh napi kasus narkoba, Haryanto Chandra.

Terungkapnya praktik jual-beli fasilitas dalam penjara pada akhirnya menunjukkan bahwa praktik korupsi di penjara bukanlah isapan jempol semata. Bahkan, hal ini sudah menjadi rahasia umum dan terjadi sejak lama. Pada 2001 silam, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melakukan penelitian tentang praktik korupsi di lembaga peradilan, termasuk yang terjadi di penjara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik korupsi ditemukan merata pada sejumlah penjara yang ada di enam kota, yaitu Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Samarinda.

Pelaku korupsi di penjara mulai dari pejabat di Kemenkumham, kepala penjara, pegawai atau sipir penjara, advokat, perantara, hingga napi lain yang menjadi kaki tangan oknum petugas. Pola umum korupsi dalam penjara adalah suap-menyuap dan pemerasan. Selain untuk memperkaya diri, munculnya korupsi dalam penjara dipengaruhi beberapa faktor, antara lain keterbatasan fasilitas dalam penjara, lemahnya pengawasan, dan minimnya kesejahteraan para petugas di penjara.

Beberapa modus korupsi

Modus korupsi yang lazim terjadi di penjara adalah jual- beli fasilitas di penjara, pemberian pengurangan masa hukuman (remisi), suap untuk pemberian izin keluar dari penjara, pungutan liar untuk pengunjung atau keluarga napi, dan penggunaan orang pengganti (stuntman) atau joki napi untuk menjalani hukuman dari napi yang sesungguhnya.

Akibat merebaknya korupsi yang terjadi, istilah penjara sebagai hotel "prodeo" (gratis) sudah tidak tepat lagi disandang saat ini karena tidak ada yang gratis lagi di penjara. Adanya komersialisasi di penjara memunculkan adagium "sepanjang ada uang apa pun bisa tersedia di penjara".

Praktik korupsi di dalam penjara juga disinyalir sebagai penyebab maraknya peredaran narkoba di Indonesia. Data BNN pada tahun 2017 menyebutkan lebih dari 50 persen praktik peredaran narkoba yang ada di Indonesia dikendalikan dari dalam penjara.

Para bandar narkoba menyuap dan bekerja sama dengan sipir atau kepala penjara maupun napi lain agar bisnisnya berjalan aman dan lancar. Fungsi penjara yang seharusnya merupakan tempat bagi para napi untuk memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan pidana justru mulai beralih fungsi menjadi tempat berlindung bagi bandar narkoba dalam meneruskan bisnis haramnya.

Dalam pantauan ICW, sejak tahun 2011 hingga 2017 terdapat sedikitnya 14 oknum aparat di penjara yang diduga menerima suap dari bandar atau terlibat dalam peredaran narkoba. Sebagian oknum telah dicopot dari jabatannya dan diproses secara hukum. Motif penyuapan umumnya adalah agar bandar narkoba mendapatkan fasilitas sel khusus, bisa keluar-masuk penjara secara lebih mudah, mendapatkan perlindungan keamanan, dan dibiarkan mengendalikan bisnis narkoba selama di penjara.

Pada akhirnya peristiwa memalukan yang terjadi di Lapas Sukamiskin seharusnya menjadi momentum bagi Kemenkumham untuk melakukan pembenahan terhadap seluruh penjara di Indonesia, sekaligus mencegah kejadian serupa terjadi kembali di masa mendatang. Untuk memberantas korupsi di penjara yang sistemik, maka pendekatannya juga harus sistemik melalui upaya pencegahan dan penindakan.

Pada aspek pencegahan, pemerintah perlu melakukan perbaikan tata kelola di penjara dan meningkatkan kesejahteraan petugas penjara agar mereka tak tergoda uang suap yang ditawarkan narapidana. Terhadap semua kepala penjara harus dilakukan audit kinerja atau kekayaan. Fungsi pengawasan dari jajaran Inspektorat dan Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham perlu lebih diperkuat.

Inspeksi mendadak dan rotasi petugas penjara juga harus rutin dilakukan. Peraturan dan tata tertib yang berlaku di penjara sebaiknya dievaluasi ulang serta diperketat agar nantinya bisa dilaksanakan tanpa pengecualian.

Adapun dalam aspek penindakan, Kemenkumham sebaiknya menerapkan zona tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap praktik korupsi di lingkungan penjara.

Jika masih ada penjara yang menyediakan sel mewah atau ditemukan adanya suap-menyuap, kepala penjara atau petugas penjara yang bertanggung jawab harus dicopot dan diproses secara hukum. Selain itu, untuk memberikan efek jera, maka pelaku yang terbukti melakukan korupsi di penjara harus dihukum dengan berat dan dimiskinkan.

Emerson Yuntho Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Kompas, 31 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI:Kebijakan Makroprudensial dan Properti (MOHAMMAD NURYAZIDI)

KOMPAS/PRIYOMBODO

Proyek pembangunan apartemen yang berbarengan dengan pembangunan jalan tol rual Kunciran-Serpong di kawasan Serpong Utara, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (19/5/2018). Proyek properti seperti apartemen tumbuh pesat di sekitar akses jalan tol dan akses transportasi umum seperti stasiun kereta.

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 28-29 Juni 2018 memutuskan untuk menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif dengan melonggarkan Loan to Value atau LTV dalam rangka mendorong pertumbuhan pembiayaan sektor properti.

Kebijakan publik yang memudahkan masyarakat agar dapat memiliki properti sangat penting mengingat properti salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Lebih lanjut, pembelian properti adalah salah satu pengeluaran atau investasi terbesar dalam hidup seseorang. Studi Malpezzi (1990) menyatakan, investasi properti dapat mencapai 10-50 persen dari total pendapatan seseorang, baik di negara maju maupun negara berkembang.

Kebijakan makroprudensial

Salah satu kebijakan di sektor keuangan yang sering dikaitkan dengan sektor properti adalah kebijakan makroprudensial. Sejatinya, kebijakan makroprudensial tak hanya terkait sektor properti. Istilah makroprudensial sendiri pertama kali diperkenalkan dalam pertemuan The Cooke Committee pada 1979.

Komite yang sekarang dikenal dengan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) itu membahas tentang pertumbuhan kredit yang berlebihan dan mengidentifikasi adanya integrasi permasalahan makroekonomi dan mikroekonomi. Secara sederhana, kebijakan makroprudensial dapat dipahami sebagai kebijakan yang menerapkan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi.

Instrumen kebijakan makroprudensial pada dasarnya disusun dengan menyesuaikan kondisi tiap-tiap negara. Namun, beberapa instrumen makroprudensial diterapkan karena mandat standar internasional. Salah satu instrumen kebijakan makroprudensial semacam itu adalah Countercyclical Capital Buffer (CCB) yang merupakan mandat dari standar internasional Basel III yang dikeluarkan BCBS. Indonesia menjadi salah satu negara terdepan dalam pengembangan instrumen kebijakan makroprudensial dengan memperkenalkan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sekaligus sebagai negara pertama yang menerapkan kedua instrumen ini.

LTV bagi kredit properti

Instrumen kebijakan makroprudensial lainnya adalah LTV. Dibandingkan instrumen kebijakan makroprudensial yang lain, LTV relatif lebih populer. Meski transmisi instrumen kebijakan ini tetap melalui industri perbankan, dampak LTV juga dirasakan masyarakat luas, khususnya terkait kepemilikan properti. Instrumen LTV memang secara khusus mengatur besaran kredit kepemilikan rumah (KPR) yang bisa diberikan kepada calon debitor.

Kebijakan LTV pertama kali diterbitkan di Indonesia pada 2012 untuk menahan laju pertumbuhan KPR yang berlebihan. Pada pertengahan 2012, KPR tumbuh 45 persen (yoy). Respons kebijakan saat itu dianggap cukup efektif karena penerapan dua paket LTV di tahun 2012 dan 2013 mampu menahan laju pertumbuhan KPR menjadi 15 persen (yoy) pada 2014. Data historis tersebut menjadi bukti pendukung atas teori yang menyatakan bahwa kebijakan makroprudensial akan efektif pada saat siklus ekonomi sedang naik.

Sebaliknya ketika siklus ekonomi sedang turun, tantangan kebijakan makroprudensial lebih besar. Mengingat kebijakan makroprudensial menekankan prinsip kehati-hatian, kebijakan ini dianggap lebih efektif untuk menjaga stabilitas daripada mendorong pertumbuhan ekonomi.

Meski demikian, pergerakan data KPR sampai dengan pertengahan 2018 menunjukkan korelasi yang positif dengan penerapan instrumen LTV. Ketika terjadi pelambatan ekonomi pada 2015-2016, salah satu respons kebijakan yang ditempuh BI adalah pelonggaran kebijakan makroprudensial. Pada akhir Agustus 2016, BI melonggarkan rasio LTV dalam rangka mendorong pertumbuhan kredit properti. Setelah implementasi pelonggaran kebijakan ini, KPR tumbuh 12,75 persen (yoy), lebih tinggi dari total kredit yang tumbuh 10,26 persen (yoy) pada Mei 2018.

Berdasarkan informasi di atas, dapat ditarik benang merah bahwa kebijakan makroprudensial melalui instrumen LTV ikut memengaruhi pergerakan sektor properti, baik saat siklus ekonomi naik maupun sebaliknya.

Pada saat sektor properti tumbuh secara berlebihan, ketika harga properti sudah tidak lagi mencerminkan harga fundamentalnya, dan perilaku spekulatif semakin meningkat, kebijakan makroprudensial yang ketat dapat meredam akumulasi risiko tersebut sebagaimana yang terjadi pada 2012-2013.

Sebaliknya pada saat ekonomi melambat, ketika pembiayaan terhadap sektor properti mengalami penurunan, kebijakan makroprudensial yang longgar dapat memberikan stimulus untuk mendorong pertumbuhan sektor properti melalui pembiayaan KPR.

Melanjutkan semangat itu, pelonggaran LTV yang baru diterbitkan BI dan akan berlaku 1 Agustus 2018 diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor properti, khususnya bagi generasi milenial untuk memiliki rumah pertamanya karena tak lagi ada batasan LTV dari bank sentral, tapi diserahkan kepada manajemen risiko tiap-tiap bank.

Selanjutnya, pelonggaran LTV juga diharapkan dapat menarik investor mengingat tak ada lagi perbedaan kebijakan untuk rumah kedua dan seterusnya,
serta jumlah fasilitas kredit melalui mekanisme inden menjadi maksimal lima fasilitas tanpa melihat urutan.

Mohammad Nuryazidi Analis di Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia

Kompas, 31 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI; Bunta dan Teroris Lingkungan (SUHARDI SURYADI)

 

Tahun 2004, John E Lewis, Asisten Deputi Direktur FBI, mengatakan ada ancaman serius dari teroris dalam negeri. Mereka individu maupun organisasi lingkungan yang ekstrem dalam menyelesaikan persoalan.

Menurut FBI, ada dua lembaga teroris domestik: Animal Liberation Front (ALF) dan The Earth Liberation Front (ELF). Kedua lembaga ini tidak sungkan menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan hak-hak hewan.

ALF, misalnya,  tidak segan-segan menarget produsen makanan, peneliti biomedis, bahkan penegak hukum dengan kekerasan fisik. Tahun 2003, personel ALF memasang alat peledak rakitan di perusahaan pengujian produk konsumen dengan hewan.

Tentu saja tindakan ALF yang menyebabkan kerusakan dan kematian itu sangat tidak dapat dibenarkan. Namun, di sisi lain, ada fenomena menarik dalam hal tingginya kesadaran sebagian warga AS untuk memperjuangkan hak-hak kehidupan hewan.

Para aktivis ALF dan ELF rela dicela, kehilangan pekerjaan, bahkan dihukum untuk memperjuangkan kelangsungan hidup hewan. Berbeda dengan Indonesia. Bagi sebagian masyarakat, keberadaan hewan, apalagi yang liar, adalah ancaman dan dagangan. Mereka diburu dan dibunuh. Kematian Bunta, gajah jinak di lokasi Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi, Aceh Timur, salah satu buktinya.

Teroris lingkungan

Kematian Bunta menambah daftar panjang pembunuhan terhadap satwa liar. Dalam 10 tahun terakhir, konflik manusia-satwa liar merupakan titik kritis bagi kelangsungan hidup banyak spesies yang terancam punah, khususnya harimau sumatera dan singa asia. Namun, yang kurang terancam punah, seperti macan tutul salju, monyet merah, dan gajah sumatera, juga terancam. Di wilayah Leuser, Aceh, setiap tahun rata-rata terjadi 40 kasus konflik gajah dengan warga, diakhiri dengan kematian 31 ekor gajah (BKSDA Aceh 2015).

Banyak yang berpendapat, perusakan dan penghancuran lingkungan alam yang menyebabkan gangguan hingga kematian makhluk hidup dapat dikategorikan terorisme lingkungan (environmental terrorism). Meskipun demikian, pelabelan teroris untuk kejahatan lingkungan tidaklah mudah. Dalam "Kamus Terorisme" sekurang-kurangnya terdapat lebih dari 70 definisi, mulai dari penggunaan kekerasan terhadap individu yang tidak bersalah karena alasan politik hingga "alat kekerasan politik untuk mendapatkan perhatian, pengenalan, dan keterpilihan" (Thackrah, 2004).

Elizabeth Chalecki dalam "A New Vigilance: Identifying and Reducing the Risks of Environmental Terrorism" membedakan antara terorisme lingkungan dan eko-terorisme.

Terorisme lingkungan ia artikan sebagai penggunaan kekuatan melawan hukum terhadap sumber daya lingkungan di dalam kawasan (in situ) yang berdampak mengurangi, merusak ekosistem serta kemanfaatannya, dan atau menghancurkan properti lain. Sasaran terorisme lingkungan adalah sumber daya alam dan flora/fauna di dalamnya. Pembunuh Bunta masuk golongan ini.

Sementara eko-terorisme adalah tindakan penghancuran properti demi kepentingan menyelamatkan lingkungan dari perambahan manusia. Eco-terorisme membidik berbagai sarana seperti jalan, bangunan, dan infrastruktur lain dalam mempertahankan sumber daya alam.

Fokus pada SDA

Di tingkat internasional pembahasan tentang teroris lingkungan telah  berkembang dengan fokus pada identifikasi risiko yang akan terjadi terhadap sumber daya alam. Bahkan
muncul pendapat di kalangan militer bahwa serangan atau gangguan terhadap sumber daya alam bukan saja menyebabkan lebih banyak kesulitan penghidupan pada manusia, tanaman dan satwa, melainkan juga kerusakan properti, kekacauan politik, hingga gangguan kelangsungan pembangunan dan perubahan iklim.

Istilah teroris muncul tahun 1790-an ketika Partai Jacobin bertindak represif dalam revolusi Perancis. Ironisnya, tindakan ini untuk mendukung keadilan, kesetaraan, dan demokrasi.

Setelah dua abad, istilah teroris bermetamorfosis dalam konteks perusakan lingkungan atau sumber daya alam meski aksi dan praktik teroris lingkungan sudah berlangsung sejak
Perang Dunia II. Tahun 1944 pasukan Jerman membanjiri 200.000 hektar lahan Belanda sehingga warganya gagal bercocok tanam.

Di samping itu, aksi teroris lingkungan pada dasarnya tidak hanya dilakukan individu, kelompok, dan perusahaan, tetapi juga negara. Contohnya ketika Pemerintah AS membolehkan pasukannya  menggunakan 20 juta galon herbisida dosis tinggi untuk menghancurkan tanaman tutupan hutan tempat persembunyian pasukan Vietnam Utara.

Contoh lain adalah ketika Pemerintah Irak tahun 1991-2003 membangun drainase di "Madan" Marsh, yang menghilangkan ekosistem lahan rawa seluas 20.000 kilometer persegi yang merupakan mata pencaharian hampir 500 juta warga (Simon M Berkowicz, Environmental Security and Eco Terrorism, 2010).

"Ecocide"

Di Indonesia, tindakan perusakan sumber daya alam lingkungan berlangsung masif dalam berbagai bidang dan tingkatan. Dari perambahan hutan, perburuan satwa, pengeboman ikan dan terumbu karang, hingga pembakaran hutan dan pencemaran sungai. Dilakukan oleh warga, kelompok, perusahaan, bahkan tidak jarang mendapatkan dukungan legal aparat.

Sudah lama pula berbagai pihak mengklasifikasikan perusakan lingkungan ini sebagai bentuk aksi teroris bukan lagi kejahatan pidana atau perdata. Bahkan BPLHD Jabar mewacanakan perlunya lembaga khusus (Densus 99) yang menangani kelompok perusak lingkungan yang karakternya seperti teroris.

Tugas pokok dari wadah ini adalah memburu pelaku pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti pembakar hutan dan lahan, pembuang limbah industri, dan pelaku illegal logging.

Wacana BPLDH Jabar soal Densus 99 didasari pandangan bahwa kejahatan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia tidak lagi cukup dilihat sebagai pelanggaran hukum semata. Terlebih dengan kurang efektifnya lembaga hukum mencegah dan menanggulangi kejahatan lingkungan sehingga menyuburkan perusakan lingkungan.

Banyak perkara pelanggaran lingkungan hidup, seperti pembakaran hutan, pencemaran limbah, penebangan liar, perusakan alam hayati, pengabaian hak-hak masyarakat adat, dan pelanggaran tata ruang, yang justru terhenti atau kalah di tingkat peradilan. Hal ini terlihat pada kasus putusan Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan, yang menolak gugatan pemerintah terhadap PT Bumi Mekar Hijau terkait kebakaran hutan dan lahan tahun 2014 dan 2015.

Studi World Resources Institute 2015 menunjukkan hilangnya tutupan pohon hutan primer Indonesia yang mencapai 55 persen atau 4,5 juta hektar akibat aktivitas perkebunan, pertambangan, dan penebangan kayu yang melebihi batas. Ironisnya, aktivitas ini dilakukan perusahaan dengan memanfaatkan keterbatasan dari perundangan dan kebijakan, juga masyarakat biasa karena motif ekonomi maupun hak tradisionalnya. Situasi ini diperparah oleh ketimpangan dan ketidakadilan distribusi dan kontrol atas sumber daya alam yang
menyebabkan kemiskinan serta ketidakpuasan masyarakat lokal.

Tantangan pembangunan

Dapat dikatakan terorisme lingkungan  merupakan tantangan serius dalam menunjang tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Tingkat kejahatan lingkungan sudah menempati urutan tertinggi di antara serangkaian ancaman keamanan trans-nasional pemerintah.

Sebagai contoh, dari semua kayu yang diproduksi di Indonesia, hampir 70 persen ditebang secara ilegal dan diduga melalui mekanisme perdagangan kayu (ekspor) bawah tanah antara Indonesia dan Malaysia. Kerugian negara diperkirakan 3 miliar dollar AS per tahun.

Dalam perkembangannya, pelaku kejahatan lingkungan tidak hanya dianggap sebagai teroris, tetapi juga termasuk tindakan ecocide karena merusak sumber daya alam secara  intensif sehingga mengubah ekosistem.

Tahun 2010, Polly Higgins, pengacara bidang lingkungan, mengusulkan ke Komisi Hukum Internasional (ILC) agar kejahatan lingkungan dikategorikan sebagai ecocide.

Usulan dikenal dengan "Eradicating Ecocide" yang bertujuan mengubah statuta Roma agar menempatkan perusak lingkungan (ecocide) sebagai bagian dari kejahatan internasional yang dapat diadili Mahkamah Internasional. Dasar argumentasinya adalah kejahatan lingkungan merupakan bentuk tindakan yang mengganggu kemanusiaan, alam, dan generasi masa depan.

Kecenderungan global yang semakin keras menindak secara hukum perusakan dan kejahatan lingkungan (sumber daya alam) seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Indonesia.

Dalam situasi ketidakseimbangan antara intensitas kerusakan sumber daya alam dan lingkungan dengan keterbatasan dalam mencegah dan merehabilitasi, pemerintah dituntut menyiapkan langkah kebijakan dan sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan agar kerusakannya tidak lebih parah.

Kematian Bunta diharapkan menjadi momentum itu. Jika tidak, kekayaan alam Indonesia tinggal legenda dan selanjutnya kita harus bersiap menerima bencana alam setiap saat.

Suhardi Suryadi Senior Adviser The Institute for Democracy Education

Kompas, 31 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senin, 30 Juli 2018

TAJUK RENCANA: Khan dan Demokrasi Pakistan (Kompas)

AFP PHOTO / WAKIL KOHSAR

Para pendukung Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N) bersorak ketika mereka berbaris selama kampanye pemilu di Rawalpindi pada 22 Juli 2018.
Pakistan akan mengadakan pemilihan umum pada 25 Juli 2018.

Dunia melihat pemilihan presiden Pakistan tak lebih dari persaingan antara Gerakan Pakistan untuk Keadilan (PTI) dan Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N).

Perhitungan sementara menunjukkan PTI yang dipimpin Imran Khan memimpin dengan 115 kursi dari 272 kursi di Majelis Nasional yang diperebutkan, jauh di depan PML-N, yang memperoleh 64 kursi. Di posisi ketiga Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dipimpin Bilawal Bhutto Zardari, putra mantan perdana menteri Benazir Bhutto, dengan 43 kursi.

Juru bicara PTI, Fawad Chaudhry, mengatakan, hasil pemilu menunjukkan akhir pemerintahan dinasti yang sudah berlangsung sekian dekade. Di luar pemerintahan militer, dinasti Bhutto dan Sharif adalah dua keluarga yang menguasai Pakistan sejak merdeka.

Memang, mengingat sejarah kudeta militer di Pakistan, kemenangan Khan layaknya sebuah kemenangan demokrasi atas kekuatan gelap, kontrol militer, manipulasi, dan represi. Akan tetapi, tidak mudah bagi Khan untuk mewujudkan itu semua.

Sedikitnya diperlukan 137 kursi untuk dapat memerintah di Pakistan. Imran Khan sangat berpeluang dan mulai melangkah membentuk koalisi dengan mendekati partai kecil dan independen. Namun, di pihak lain, gugatan terhadap dugaan kecurangan dalam pemilu masih berlanjut.

Sebagai legenda hidup kriket, Imran Khan dengan mudah menguasai kerumunan besar orang saat berkampanye pada tahun 2014 di Punjab. Bahkan, saling bersambut dengan peserta kampanye, Khan meneriakkan jargon anti-Amerika dan anti-Pakistan, yang selama ini mengaitkan politik dengan suku.

Berbeda dengan Presiden AS Donald Trump, Khan yang tinggal dan hidup di London terjun ke politik sejak akhir tahun 1990-an. Bahkan, Khan sudah mendirikan PTI yang berhaluan tengah pada 1996. Baru pada tahun 2002 dia terpilih menjadi anggota Majelis Nasional Pakistan.

Namun, kemenangan Khan diduga karena ada campur tangan militer di dalamnya. Tim pemantau Uni Eropa menyatakan, pemilu di Pakistan kurang adil, dalam arti semua partai tidak memiliki kesempatan dan peluang yang sama. PPP dan PML-N yang dipimpin Shehbaz Sharif juga menyatakan penolakan terhadap hasil pemilu itu.

Kritik juga dilontarkan para wartawan karena intimidasi oleh militer beberapa bulan menjelang pemilihan, khususnya ketika mereka mengkritik Khan. Dengan kata lain, kalaupun Khan bisa menjadi perdana menteri, militer akan menjadi masalah utama yang harus diselesaikan. Apakah Khan akan memberi ruang yang cukup bagi militer untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, atau Khan punya cara lain untuk benar-benar menerapkan demokrasi.

Hal lain yang bisa menjadi sumber kerawanan Khan tak lain kelompok Taliban. Bagaimana cara Khan menyelesaikan Taliban di dalam negeri ataupun di Afghanistan, akan menjadi titik penting perjuangannya di bidang politik, seperti ketika menjadi kapten tim kriket Pakistan pada 1976-1992.

Kompas, 30 Juli 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger