Masyarakat dunia modern kini semakin kompetitif dan menghendaki keterukuran yang fact-based, berdasarkan data, dalam merencanakan, mengevaluasi, dan mengkritisi masa depan negara. Mereka melek data (data literacy).

Indonesia dan beberapa negara berkembang lain masih sebaliknya: buta data (data illiteracy) dan hanyut terbuai dengan budaya komunikasi yang otoriter-verbal. Pola komunikasi yang terukur dan ukurannya dipahami secara benar masih terpinggirkan.

Negara maju semakin kuat dengan kebijakan pembangunan yang evidence based, berdasarkan bukti. Hasilnya pun efektif. Sementara yang disebut kedua, Indonesia dan beberapa negara berkembang lain kemajuannya cenderung tertatih-tatih. Hasil dari kebijakan pembangunan yang dirancang jadi kurang produktif. Buta data telah menggerogoti efektivitas kebijakan. Jurang penguasaan data di antara keduanya pun sangat lebar.

Buta data dan makna data

Buta data didefinisikan sebagai keterasingan dan ketidakpahaman dalam membaca makna yang terkandung di balik data statistik yang disajikan. Di Indonesia, kecenderungan ini menjangkiti sebagian besar masyarakat sipil, kalangan intelektual, eksekutif maupun legislatif, dan menggerogoti upaya untuk membangun bangsa dan membangun debat publik yang produktif.

Di kalangan pemerintahan, baik di pusat dan terutama di daerah, data digunakan terkadang tidak lebih dari sekadar aksesori. Di dalam naskah dokumen perencanaan terkesan telah menggunakan data, tetapi antara makna yang dikandung oleh setiap angka yang disajikan dengan kebijakan yang diambil banyak yang kurang "nyambung" dan atau bahkan salah arah.

Berikut sekadar beberapa contoh. Banyak bupati di daerah terpencil bangga dengan angka pengangguran yang sangat rendah di kabupatennya. Dipidatokan di berbagai kesempatan  bahwa sang bupati berhasil menekan angka pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hanya 2 persen angka pengangguran di daerah kita, padahal di tingkat nasional di atas 5 persen.

Jika yang bersangkutan memahami makna data, akan terlebih dahulu mengamati pola sebaran pengangguran antarwilayah, bahwa di daerah yang menjadi konsentrasi pembangunan, yang maju, justru di sana angka pengangguran tinggi. Karena berlaku hukum migrasi di mana pencari kerja akan keluar dari daerah yang terbelakang menuju pusat-pusat kesempatan kerja yang lebih terbuka. Ada gula datanglah semut.

Para pengamat kita yang ahli ekonomi sering juga terjebak. Mungkin karena literatur-literatur ilmu ekonomi yang dulu dipelajari di universitas di luar negeri umumnya menyimpulkan bahwa pengangguran rendah pertanda ekonomi sedang baik, dan sebaliknya. Kita lupa bahwa menerjemahkan angka pengangguran di tingkat nasional dan di tingkat provinsi/kabupaten/kota sangat berbeda karena adanya faktor mobilitas penduduk.

Contoh lain, bagaimana kualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita akan meningkat mengatasi ketertinggalan dari negara tetangga dan disparitas antar-wilayah akan menyempit jika para perencana di pusat dan di daerah keliru dalam memahami datanya. Kelompok oposisi dan masyarakat sipil yang mengkritisi juga terkesan kurang paham data.

Di banyak daerah, untuk meningkatkan IPM bidang kesehatan, diambil kebijakan memperkecil angka kematian secara umum, menekan kematian akibat kecelakaan lalu lintas, dan memperbanyak penyuluhan tentang penyakit yang diakibatkan oleh gaya hidup. Semua ini benar dan harus dalam konteks membangun derajat kesehatan penduduk secara menyeluruh. Kebijakan ini tentu ada kaitannya dengan IPM, tetapi sangat minimalis kalau dikaitkan dengan komponen IPM: usia harapan hidup (life expectancy at birth).

IPM di komponen harapan hidup tidak mencakup harapan hidup secara umum, tetapi dibatasi pada harapan hidup waktu lahir yang besarannya ditentukan oleh besaran angka kematian bayi. Betul bahwa kematian bayi itu refleksi dari keberhasilan pembangunan yang menyeluruh, tetapi kalau kita hendak mempercepat kenaikan angka IPM, mengapa tak fokus ke determinan-determinan pokok yang langsung terkait angka kematian bayi? Akibatnya, variasi program dengan dana besar untuk menaikkan IPM, hasilnya jauh dari harapan.

Angka batas garis kemiskinan (GK) yang Rp 402.000/kapita per bulan oleh sebagian pengamat langsung saja dibagi dengan 30 hari, menghasilkan angka Rp 13.000. Ini diperdebatkan dengan sengit. Padahal, besaran GK itu bervariasi antar-rumah tangga, bergantung besaran jumlah anggotanya. Jika rumah tangga tersebut memiliki lima anggota, maka ukuran kemiskinan per bulan Rp 2,02 juta. Garis batas itu masih sangat rendah? Betul, karena yang dicakup adalah mereka yang hanya mampu memenuhi kebutuhan paling dasar.

Hal yang sama terjadi dengan data produk domestik bruto (PDB), produk domestik regional bruto (PDRB), nilai tukar petani, inflasi, dan masih banyak contoh lain yang terus diperdebatkan, tetapi dimaknai di luar yang dimaksud oleh data.

Membahayakan bangsa

Kultur numerikal atau kultur data memang secara historis bukan tradisi kita. Kita terbiasa dengan kultur verbal: kualitatif, normatif, dan terkadang subyektif. Dapat dipahami jika antara apa yang diceritakan oleh data dan yang diperdebatkan di publik dan atau antara apa yang dirancang dalam program pembangunan dengan apa yang dimaknai oleh data sebagai evidence cenderung berjarak.

Kita kian tertinggal dari negara maju yang mengusung tradisi data driven debate. Mengkritisi kebijakan pemerintah didasarkan atas data yang dipahami dengan benar sebagai ciri masyarakat berbasis ilmu pengetahuan.

Di Indonesia, karena tingginya tingkat buta data, debat pembangunan cenderung verbal: suaranya kencang dan terkadang terdengar indah, tetapi dengan pijakan yang rapuh. Karena sifatnya yang verbal, dan berpotensi otoriter, maka celaan, umpatan, dan syak wasangka justru banyak mendominasi hari-hari kita. Kecenderungan ini sangat tidak menguntungkan, bahkan berbahaya bagi kelangsungan hidup kita sebagai bangsa.

Menarik apa yang dikatakan Enrico Giovannini (ahli statistik PBB saat ini, mantan Presiden Statistik-nya OECD), "If a Society does not know where it stands, it is quite difficult to decide where to go. Data have a key role in helping policy makers and citizens to understand facts correctly and design their future strategies. The accountability of public debate, public policies and the democratic control on politician's decisions can be improve if statistics, data, is put at the center of public debate."

Kita yakini bangsa ini akan lebih cepat maju jika dalam merencanakan, mengkritisi, dan mengevaluasi suatu kebijakan dan dalam menentukan target masa depan diperkuat dengan tradisi baru, yaitu kultur numerikal, kultur data, dan terus berupaya meminimalkan tingkat buta data.