KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pelajar melintas di depan mural mantan presiden Soekarno, NKRI, dan Pancasila di Segara Makmur, Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (15/2/2018). Mural kepahlawanan dan nasionalisme banyak menghiasai jalan kampung untuk mengingatkan  pada masa perjuangan kemerdekaan. 

Kemenangan tim Perancis di Piala Dunia 2018 menyisakan satu pertanyaan soal identitas nasional dan sub-identitas kultural/etnis. Seorang komedian dan pembawa acara The Daily Show di Amerika Serikat membuat komentar kontroversial tentang komposisi multi-etnis anggota tim sepak bola Perancis.

Berasal dari Afrika Selatan dari seorang ibu keturunan Afrika dan ayah orang berkulit putih, Trevor Noah sangat kondang di Amerika Serikat. Ketika dunia bersorak, "Perancis menang," Noah berkomentar, "Afrika memenangi Piala Dunia."

Kontan komentar Noah ini mendapat reaksi protes keras dari GÉrard Araud, Duta Besar Perancis untuk Amerika Serikat. Araud menyatakan keberatan atas penyebutan kemenangan Afrika "hanya" karena beberapa anggota tim dari keluarga imigran asal Afrika.

Bantahan Duta Besar Perancis itu menunjukkan paradigma multikulturalisme berdasarkan model periuk belanga peleburan. Ketika nasionalisme berhadapan dengan kebutuhan pengakuan terhadap identitas etnis para imigran, Perancis menganut paham peleburan identitas etnis ke dalam kesatuan Perancis. Menurut Araud, para imigran anggota tim sepak bola bukan lagi orang Afrika, melainkan sudah menjadi orang Perancis.

Membaca pernyataan protes dari Duta Besar Perancis ini, Noah membela diri dan membandingkan model multikulturalisme Perancis dengan Amerika Serikat. Setiap imigran atau keturunan imigran bisa mengaku sebagai warga negara Amerika dan sekaligus juga tetap merayakan identitas budaya/etnisnya. Model multikultural gado-gado ala Amerika memungkinkan afiliasi kebangsaan bersamaan dengan sub-identitas etnis masing-masing sehingga ada orang Amerika keturunan Irlandia, Vietnam, Meksiko, dan Indonesia.

Bagaimana pula dengan situasi keragaman di Indonesia? Model kebangsaan-multikulturalisme seperti apa yang dijadikan acuan di Indonesia?

Kekayaan budaya dari Sabang sampai Merauke, yang diikat dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, menyajikan dinamika kebangsaan yang senantiasa menuntut upaya terus-menerus untuk merawat persaudaraan dan mengelola kontestasi yang muncul di sana sini. Lahan paling strategis untuk merawat dan membangun rasa kebangsaan ini adalah pendidikan.

Dalam era percepatan industri di beberapa daerah dan kota di Indonesia, migrasi telah mengubah populasi peserta didik di sekolah-sekolah di Indonesia. Di sekolah-sekolah di Sumatera Utara, misalnya, anak-anak Batak duduk di kelas yang sama dengan anak-anak Melayu, Minang, dan Jawa yang orangtuanya bermigrasi ke daerah tersebut karena industri perkebunan. Sementara di Timika, anak-anak Amungme dan Kamoro mesti belajar bersama dengan anak-anak Bugis, Jawa, Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Rote, dan Alor) karena industri pertambangan PT Freeport Indonesia sudah menjadi magnet ekonomi bagi para pendatang.

Jika model pendidikan berwawasan kebangsaan bisa dikelola dengan baik, anak bisa belajar saling mengenal, menerima, menghargai. Juga sekaligus dan saling membantu dengan anak-anak lain dari berbagai komunitas etnis, agama, bahasa daerah, dan adat istiadat.

Ketegangan mayoritas-minoritas dan asli-pendatang

Keragaman budaya seharusnya merupakan anugerah yang bisa menjadi kebanggaan semua warga. Ia patut disyukuri dan dipelihara karena dapat menjadi faktor yang mendinamiskan bangsa Indonesia sebagai bangsa beradab dan bermartabat.

Namun, beriringan dengan industrialisasi yang kerap belum menyejahterakan masyarakat lokal secara adil, proses migrasi  tidak selalu disambut dengan gembira dan integrasi warga negara tidak selalu berjalan mulus.  Bahkan, tidak jarang kontestasi antara berbagai kelompok etnis dan agama dengan mudah dimanipulasi untuk kepentingan politik dan bisnis jangka pendek, yang pada akhirnya merobek rajutan kebangsaan.

Situasi mayoritas-minoritas terjadi di mana-mana karena memang migrasi manusia ke sejumlah daerah tidak bisa dicegah lagi. Adakalanya, masyarakat yang sudah bermukim di suatu daerah selama beberapa generasi tetap menjadi mayoritas dan mesti berinteraksi dengan pendatang yang minoritas. Namun, yang menjadi minoritas tidak selalu masyarakat pendatang.

Di beberapa kecamatan di Sumatera dan Kalimantan, misalnya, pendatang dari Jawa bisa menjadi mayoritas karena permukiman yang terjadi dari program transmigrasi sudah berkembang pesat. Sebaliknya, di tempat yang lain, pendatang dari Jawa merupakan minoritas yang mesti beradaptasi dengan budaya setempat.

Dalam pengertian demokrasi, keberadaan mayoritas tidak semestinya meniadakan hak-hak anggota kelompok minoritas. Dalam masyarakat yang beradab dan bermartabat, hak setiap anggota masyarakat dibatasi oleh kewajibannya menghargai pemenuhan hak orang lain.

Persaudaraan ataupun kontestasi para manusia dewasa dari berbagai latar belakang yang berbeda terjadi di ruang-ruang publik: mulai dari daerah permukiman, tempat pekerjaan, dan layanan masyarakat, serta berbagai kawasan lain.

Dampak kontestasi itu juga bisa terbawa pada anak-anak di sekolah. Oleh karena itu, sekolah merupakan kesempatan strategis untuk mengelola pendidikan berwawasan kebangsaan.

Toleransi-empati

Pendidikan berwawasan kebangsaan sudah dirancang sebagai bagian dari kurikulum. Pedoman Pendidikan Wawasan Kebangsaan (PPWK) sudah merekomendasikan pembentukan Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan di setiap kabupaten/kota. Materi kurikulum formal sekolah juga sudah memuat informasi yang menunjukkan keragaman, seperti nama tempat ibadah keenam agama yang diakui di Indonesia, hari raya keagamaan, rumah adat, dan tarian daerah. Namun, sayangnya, kurikulum formal ini belum menjadi kurikulum yang hidup di banyak sekolah.

Sekolah seharusnya menjadi mikrokosmos kebinekaan Indonesia, di mana setiap anak bebas mengungkapkan jati diri suku, budaya, adat istiadat, bahasa ibu, agama, dan asal daerah. Alih-alih mengajak semua anak untuk saling menghargai perbedaan, banyak guru masih harus banyak belajar mengenai keragaman Indonesia dan mengasah keterampilan mengelola dinamika kelas. Sebagian guru masih terjebak pada zona nyaman mereka sendiri dan tidak berupaya memahami siswa-siswa yang berbeda.

Apabila identitas suku, budaya, dan agama guru kebetulan sama dengan mayoritas siswa yang ada di kelasnya, guru tersebut cenderung melakukan ritual-ritual pengajaran (misalnya, doa bersama, etiket sosial, bergaya bahasa) yang sesuai dengan norma mayoritas dan mengabaikan potensi keterasingan siswa yang tergolong minoritas di kelasnya. Situasi ini sering kali terjadi, bahkan di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya menjadi lahan netral di mana setiap anak merasa nyaman dan aman dengan jati diri suku, budaya, adat istiadat, bahasa ibu, agama, dan asal daerahnya.

Di kebanyakan sekolah, anak masih belajar hanya pada tahap mengembangkan toleransi. Sayangnya, toleransi ini sering kali berhenti pada tahapan tidak saling mengganggu, tenggang rasa, dan menahan diri. Ia belum sampai pada mengembangkan empati atau bela rasa—ketika saudaraku merasa terluka, aku juga ikut terluka. Ketika guruku tidak memberikan kesempatan kepada saudaraku untuk melakukan ritual agamanya yang berbeda, aku merasa terusik. Ketika guruku mengejek logat bahasa dan merendahkan suku saudaraku, aku ikut merasa terhina.

Pendidikan berwawasan kebangsaan sesungguhnya terkait erat dengan pendidikan karakter sebab belajar menghargai perbedaan membuat seseorang melihat orang lain sebagai sesama manusia.

Seperti kata Paul Coelho—sastrawan Brasil yang terkenal di sini lewat novel Sang Alkemis-nya, budaya membuat orang memahami satu sama lain. Jika mereka memahami satu sama lain dalam jiwa mereka, akan sangat mudah mengatasi berbagai hambatan ekonomi-politik. Akan tetapi, pertama-tama, mereka mesti memahami bahwa tetangga mereka sebetulnya sama dengan mereka, dengan persoalan yang sama, dan pertanyaan-pertanyaan yang sama.