Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 31 Agustus 2013

Inflasi dan Kekurangan Gizi (Tajuk Rencana Kompas)

Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meredam merosotnya nilai tukar rupiah dan inflasi.
BI mengumumkan Kamis lalu kenaikan suku bunga acuan dari 6,5 persen menjadi 7 persen untuk menahan laju inflasi dan defisit transaksi berjalan. Keputusan Dewan Gubernur BI dalam rapat di luar jadwal rutin itu sebetulnya diharapkan pasar saat rapat Dewan Gubernur 15 Agustus.

Meski pasar menanggapi positif, dampak langkah tersebut bersifat jangka pendek. Persoalan utama, yaitu inflasi dan defisit neraca pembayaran, terutama transaksi berjalan akibat defisit perdagangan, tetap harus diselesaikan.

Salah satu dari empat kebijakan pemerintah adalah mengendalikan harga pangan meskipun ditempuh melalui impor yang kembali membebani neraca perdagangan.

Ketika ditarik hingga ke tingkat rumah tangga, pelemahan nilai tukar rupiah dan inflasi berakibat sangat dalam. Sejumlah pihak mengingatkan untuk mewaspadai bertambahnya jumlah anak dan ibu hamil kurang gizi.

Untuk meredam dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM terhadap keluarga miskin, pemerintah menyertakan paket bantuan langsung sementara. Namun, inflasi terbang jauh di atas perkiraan, hingga 9,2-9,8 persen tahun ini.

Penyebabnya ada faktor eksternal, yaitu rencana bank sentral Amerika Serikat mengurangi stimulus moneter yang berdampak terhadap negara-negara berkembang dengan ekonomi tumbuh tinggi. Penyebab dari dalam negeri adalah ketidaksiapan pemerintah mengendalikan harga pangan melalui produksi dalam negeri dan biaya transportasi setelah harga BBM naik.

Data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) menyebutkan, 36 persen anak usia di bawah lima tahun—berarti satu dari tiga anak—menderita kurang gizi kronis pada tahun 2012. Indonesia memiliki jumlah anak dengan pertumbuhan terhambat kelima terbanyak di dunia atau 7,8 juta anak. Kekurangan gizi tersebut berakibat permanen pada fisik dan kecerdasan.

Salah satu penyebab kurang gizi adalah ketiadaan akses. Saat harga makanan cenderung mahal, jumlah anak balita dan ibu hamil kekurangan gizi bertambah. Tidak hanya dari keluarga miskin, tetapi juga yang hampir miskin.

Asupan gizi buruk memengaruhi ekonomi. Produk domestik bruto berkurang 2-3 persen. Apabila kita bangga menyebut Indonesia memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh pada tahun 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia unggul.

Pernyataan Presiden "tidak mudah menstabilkan harga pangan" itu dikarenakan harga dilepas pada mekanisme pasar bebas. Selama dibiarkan dikendalikan pasar dan tergantung impor, gejolak harga terus terjadi. Sebagian masyarakat tetap kesulitan mengakses pangan bergizi.

Dampak merosotnya kualitas asupan gizi tidak segera terlihat. Karena itu, pemerintah harus memastikan anak balita dan ibu hamil memiliki akses pada gizi yang baik dan cukup demi kemakmuran Indonesia masa depan.

(Tajuk Rencana Kompas, 31 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Filipina Merasa Dipermalukan China (Tajuk Rencana Kompas)

Sejumlah kalangan terkejut atas sikap China yang di luar dugaan menolak rencana kunjungan Presiden Filipina Benigno Aquino III pekan depan.

Kasus penolakan itu mendapat sorotan luas sebagai masalah serius dan fenomena langka dalam hubungan diplomatik, khususnya dalam konteks budaya Asia. Kalangan media massa Filipina menyebut penolakan itu sebagai bentuk penghinaan. Tidak sedikit warga Filipina merasa dipermalukan atas perlakuan yang tidak mengenakkan terhadap pemimpin negaranya.

Semula Presiden Benigno ingin menghadiri acara Expo China-ASEAN di kota Nanning, China selatan, 3 September. Acara itu merupakan pameran dagang tahunan yang digelar untuk menunjukkan hubungan erat China dengan 10 negara anggota ASEAN.

Atas dasar itu, bukan hanya Filipina yang terkejut atas kasus penolakan rencana kunjungan Presiden Benigno, melainkan semua negara ASEAN. China hanya menjelaskan, Presiden Benigno tidak diundang ke China. Penjelasan itu sama sekali tidak memuaskan siapa pun.

Para pengamat berpendapat China menolak kunjungan Benigno terkait dengan persengketaan wilayah di Laut China Selatan. Jika dugaan itu benar, kasus penolakan kunjungan hanya menambah dramatis dan sensitif persengketaan di Laut China Selatan, terutama soal tumpang tindih klaim atas Kepulauan Spratly dan Paracel.

Padahal kunjungan Presiden Benigno ke China dapat saja digunakan sebagai kesempatan membuka peluang penyelesaian damai atas persengketaan. Namun, rupanya China benar-benar tersinggung karena awal tahun ini Filipina membawa masalah persengketaan ke panel arbitrase PBB di bawah Konvensi Hukum Laut PBB.

Langkah Filipina itu membuat China tersinggung. Sudah lama China melontarkan gagasan penyelesaian secara bilateral, tetapi belum ada langkah konkret. Gagasan itu semakin menimbulkan pertanyaan karena China meningkatkan kehadiran pasukan militer di Laut China Selatan, yang dirasakan sebagai intimidasi pihak-pihak lain yang terlibat dalam persengketaan.

Persengketaan atas Spratly dan Paracel pada dasarnya sangat sensitif akibat klaim tumpang tindih oleh enam pihak: China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Sensitivitas atas persengketaan bertambah karena China terkesan semakin agresif memamerkan kekuatannya, sementara pihak lain yang terlibat persengketaan tidak mau melangkah surut sedikit pun.

Sudah terbayang, persengketaan di Laut China Selatan dapat mengarah ke konflik terbuka jika tidak segera diselesaikan secara damai. Kerumitan diyakini bertambah oleh kemungkinan campur tangan kekuatan luar, terutama adidaya Amerika Serikat yang tak ingin tergeser oleh dominasi kekuatan militer China di kawasan Asia Pasifik.

(Tajuk Rencana Kompas, 31 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kalasuba Setelah Pandora (Yudhistira ANM Massardi)

Oleh: Yudhistira ANM Massardi

Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan para dewa di Olimpus—diciptakan atas keinginan Mahadewa Jupiter yang marah—untuk diberikan kepada Prometeus di Bumi. Ini sebagai "hukuman" karena Prometeus telah mencuri api surga dan memakmurkan kehidupan di Bumi.
Prometeus yang waspada menolak pemberian Jupiter itu. Namun, saudara Prometeus, Epimeteus, dengan gembira menerimanya. Hingga suatu hari datanglah Merkurius ke rumah Pandora dan menitipkan sebuah peti kayu hitam sangat berat yang dililit rantai emas. Setelah Merkurius pergi, Pandora yang penasaran lalu membuka peti itu, dan dalam sekejap berhamburanlah sejumlah makhluk kecil bersayap penyebar segala macam penyakit, tabiat buruk, dan aneka kejahatan yang menjadi sumber bencana bagi umat manusia.

Analogi reformasi
Kisah kotak Pandora dari mitologi Yunani itu sedikit banyak bisa dianalogikan dengan proses reformasi politik kita yang pintunya terbuka pada 1998. Setelah itu, sepanjang 15 tahun ini, kita hanya menyaksikan maraknya aneka kejahatan, terutama korupsi yang menjadi sumber bencana bagi kelangsungan hidup republik ini.

Bulan Agustus ini, umur pemerintahan negara kita, jika diukur menurut kesempatan hidup manusia, sesungguhnya telah mencapai masa uzur dan sudah layak masuk liang kubur. Namun, pertumbuhan bangsa selama masa kemerdekaan ini ternyata tak bisa mencapai kesesuaian dengan tahap perkembangannya. Pertambahan umur tak seiring dengan pertumbuhan kedewasaan dan kematangan berbangsa-bernegara. Kita hanya mendapatkan umur, tanpa mendapatkan kearifan.

Reformasi hanya jadi sebuah guncangan besar (Fukuyama) yang menjebol dinding dan sekat-sekat yang sebelumnya dianggap mengungkung. Namun, kebebasan yang didapat hanya dimanfaatkan untuk menumpahkan aneka syahwat purba yang emosional, egoistis, gelap, dan destruktif. Seperti dikiaskan oleh sebuah ungkapan Melayu (Tengku Luckman Sinar): "Sekali air bah, sekali tepian berubah."

Kejahatan korupsi para pejabat negara dan aneka perbuatan destruktif para anggota masyarakat tak hanya telah membinasakan marwah, tetapi juga sekaligus modal sosial (Tocqueville, Weber, Putnam) yang dibutuhkan sebuah bangsa dan negara untuk membangun kekuatan diri. Sebagaimana dirumuskan James Coleman, modal sosial adalah "seperangkat sumber daya yang tertanam dalam hubungan keluarga dan organisasi sosial serta berguna untuk pengembangan kognitif atau sosial anak." Namun, justru ulah para politisi dan birokrat di lembaga eksekutif-legislatif-yudikatif yang korup menghancurkannya.

Alhasil, keluarga-bangsa pun kehilangan teladan dan landasan moral bagi pengukuhan dan pewarisan norma-norma dan aturan bagi perilaku luhur dan kerja sama sesama warga negara. Kita terperangkap oleh arogansi sektoral, sektarian, dan primordial. Sebagian besar energi bangsa pun terkuras untuk hal-hal sepele, remeh-temeh, dangkal, dan bodoh.

Namun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh telaah Fukuyama, setiap guncangan besar niscaya akan melalui proses alamiah penataan kembali, dari disordering ke reordering of the society. Setelah zaman Kalabendu akan datang zaman Kalasuba yang penuh harapan (Jayabaya, Ronggowarsito). Kotak Pandora pun harus dibuka lebih lebar lagi. Itu karena Jupiter pun masih menyisakan cintanya kepada manusia dengan menempatkan makhluk-makhluk bernama "Harapan" di dasar kotak Pandora, untuk menyembuhkan aneka penyakit yang menyengsarakan.

Kita yang hidup di zaman kini patut bersyukur terhadap perkembangan teknologi informasi yang memberikan kemudahan dan kecepatan berkomunikasi melalui internet dan jejaring media sosial. Selain memberikan dampak negatif bagi runtuhnya hegemoni lembaga-lembaga (kekuasaan) formal dan menyuburkan lahan bagi aneka bentuk pemberontakan, perlawanan, dan individualisme, kebebasan setiap orang untuk menyatakan pendapatnya pun berperan bagi pembentukan opini yang lebih lekas dan luas.

Dalam beberapa tahun terakhir, para pengguna media sosial tanpa harus merasa takut bisa dengan tegas dan keras menyatakan dukungan bagi kebaikan dan kutukan bagi kejahatan di lingkungannya. Dengan semua fasilitas yang tersedia, tiap warga negara secara spontan dan tanpa tekanan telah bersama-sama membangun kembali modal sosial yang dirusak para aparatur negara, berlandaskan pada nilai-nilai luhur dari sejumlah agama serta norma-norma budaya tradisional yang diwariskan para leluhurnya. Itulah anugerah yang diberikan kemajuan teknologi kepada zaman ini. Itulah wadah baru bagi penguatan modal sosial setiap bangsa.

Kata kuncinya: budaya
Ada yang berpendapat, tanpa modal sosial tidak akan ada masyarakat sipil, dan tanpa masyarakat sipil tidak akan ada demokrasi yang berhasil. Dengan kata lain, kata kuncinya adalah budaya. Tanpa mengukuhkan (kembali) kekuatan budaya, tidak akan ada kemajuan yang bisa dicapai suatu bangsa. Hal itu karena modal sosial sesungguhnya adalah nilai-nilai yang ditumbuhkan sebuah kebudayaan. Kebudayaan adalah kumpulan hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia yang memperkaya dan menentukan tinggi-rendahnya sebuah peradaban.

Dalam hal ini, bangsa Melayu telah memberikan andil yang fundamental bagi jati diri bangsa Indonesia. Jadi, harus dikatakan, kebudayaan Melayu adalah salah satu modal sosial terbesar bangsa ini. Sudah saatnya Republik Indonesia berterima kasih kepada bangsa Melayu yang tidak hanya telah memberikan fondasi bagi bahasa Indonesia, tetapi juga telah memberikan pataka kejayaan pada masa silam melalui Kerajaan Sriwijaya di Palembang yang berkuasa hingga ke Burma dan Thailand; melalui Dinasti Sailendra di Jawa Tengah yang telah membangun Candi Borobudur, menyebarkan agama Hindu-Buddha, dan menjadi nenek moyang raja-raja di Tanah Jawa; serta leluhur bagi para sultan yang menyebarkan agama Islam di Nusantara.

Memperingati hari proklamasi kemerdekaan adalah memuliakan modal sosial, dan memuliakan modal sosial adalah menjunjung tinggi kebudayaan. Dengan begitu, sebagaimana dikiaskan dalam hikayat lama Melayu: "Maka negeri itu pun makmur sejahtera. Ramailah para saudagar datang ke bandar itu. Padi pun menguning, dan rakyat banyak bersukacita!"

Yudhistira ANM Massardi Sastrawan

(Kompas cetak, 31 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Solusi Daging Sapi (Muladno)

Oleh: Muladno  

Harga daging sapi masih tinggi. Upaya pemerintah lewat Bulog mengimpor daging sapi dan sapi siap potong dari Australia agar harga daging turun tak berhasil. Padahal, demi hajat orang banyak untuk mendapatkan daging berharga wajar, pemerintah telah "menerobos" sejumlah aturan yang ada.
Ternyata hukum ekonomi tak berjalan karena meski pasokan melimpah, harga tetap tinggi. Jelas ada yang tak beres di balik ini semua. Ini membuat berita Kompas (17/7/2013) meragukan kebenaran penurunan jumlah sapi sebesar 19 persen. Tadinya saya berpikir kelangkaan daging sapi akibat penurunan populasi yang mengakibatkan harga daging tinggi. Namun, setelah pasokan sapi dan daging sapi ditambah, ternyata harga masih tetap tinggi. Jadi, tak ada korelasi antara harga daging dan ketersediaan sapi ataupun daging. Situasi pasar menjadi terombang-ambing.

Fenomena ini juga salah satu bukti betapa berbahayanya bangsa kita ke depan tanpa adanya kedaulatan pangan! Kita sudah bergantung kepada negara lain untuk memenuhi kebutuhan daging sapi berharga wajar. Jika ini terjadi pada komoditas lain juga, apa jadinya bangsa kita? Oleh karena itu, perlu ada perubahan strategi sangat mendasar untuk membangun usaha dan industri peternakan sapi di Indonesia agar terhindar dari kebergantungan kepada negara lain.

Untuk strategi jangka panjang, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah memperbaiki usaha beternak sapi bagi 6,5 juta peternak berskala kecil. Mereka yang menguasai lebih dari 98 persen populasi sapi di Indonesia harus diajak berbisnis secara benar melalui pendekatan kolektif dengan satu manajemen. Kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter peternak di Indonesia memungkinkan hal itu. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan yang digunakan peternak Australia yang harus bersifat individualis karena kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter peternaknya memang berbeda dengan Indonesia.

Selama ini peternak kecil hanya diajari secara teknis. Itu pun bersifat parsial dan tak berkelanjutan. Jumlah peternak yang diajari juga sangat terbatas dan lokasinya menyebar. Celakanya lagi banyak pihak mengajari mereka dengan pendekatan berbeda-beda. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan tinggi, tetapi tingkat keberhasilan rendah dan produktivitas sapi tetap rendah.

Beberapa peternak malah terkesan mengejek "Kalau ada bantuan pemerintah, kami anggap untuk refreshing aja, Pak", kata seorang peternak kepada saya. Dari diskusi lebih lanjut, ternyata para peternak tahu pemerintah selama ini hanya melaksanakan proyek dan tidak membina mereka untuk dapat mandiri. Pemerintah di sini bukan hanya Kementerian Pertanian, melainkan juga kementerian lain yang menggunakan ternak sebagai komoditas dalam proyeknya.

Hal itu dapat diartikan bahwa pendekatan proyek yang selama ini berjalan tidak mencerdaskan peternak dan tidak membuat mereka menjadi pengusaha sapi yang berdaya saing. Namun, fakta lain juga menunjukkan bahwa tidak semua proyek pemerintah gagal karena beberapa proyek pemerintah dapat melahirkan peternak baru berjiwa bisnis sebagaimana yang terjadi dalam program Sarjana Membangun Desa (SMD). Namun, keberhasilan program ini kurang berdampak secara signifikan.

Peternak mandiri
Jadi, yang perlu diupayakan ke depan adalah bahwa peternak harus dapat berbisnis secara mandiri melalui usaha kolektif dengan satu manajemen. Jumlah sapi yang diusahakan harus ada minimalnya, misalnya, 1.000 ekor sapi betina dalam satu kawasan padat sapi. Pemerintah harus memfasilitasi usaha kolektif tersebut, baik dari aspek teknis maupun nonteknis, secara terus-menerus sampai akhirnya usaha itu berjalan mandiri.

Dengan demikian, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan proyek pengadaan sapi, tetapi harus lebih banyak menyelenggarakan aktivitas berkelanjutan yang berorientasi pada upaya meningkatkan kualitas peternak ataupun memperkuat fasilitas pendukungnya dalam beternak. Untuk jangka pendek, serahkan urusan pemenuhan daging kepada para pelaku bisnis yang memang menguasai pasar dan pemerintah tak perlu ikut bermain di dalamnya. Peran pemerintah sebaiknya tetap sebagai regulator saja. Kenapa? Itu karena Bulog ternyata gagal menurunkan harga daging di pasar. Bisa saja niat baik pemerintah untuk menurunkan harga daging via Bulog "dipelintir" oknum tak bertanggung jawab sehingga tujuan dari niat baik itu tidak tercapai.

Saya menduga ada perlawanan pelaku bisnis sapi kepada pemerintah dalam hal penyediaan daging sapi di Indonesia kali ini. Ketika para pelaku usaha diberi kuota impor, di antara mereka sendiri bersaing untuk mendapatkan kuota terbanyak. Segala cara digunakan agar dapat kuota besar dengan harapan dapat untung besar. Bisa jadi mereka "cakar-cakaran" dalam upaya memperebutkan kuota impor. Namun, ketika pemerintah sendiri ikut menangani impor daging dan impor sapi siap potong via Bulog dalam rangka menurunkan harga daging, para pelaku bisnis mungkin merapatkan barisan dan kompak "melawan" pemerintah. Dengan masih tingginya harga daging di pasar, "duel" pelaku bisnis dengan pemerintah tampaknya dimenangi pelaku bisnis.

Mudah-mudahan analisis saya tersebut salah. Namun, seandainya benar, semua pihak mulai perlu bernegosiasi dengan tetap saling menghormati profesionalitas masing-masing. Pemerintah harus bertindak sebagai regulator dan pelaku bisnis sebagai aktor. Demi kepentingan nasional, pelaku bisnis harus pula bergandeng tangan dengan pemerintah untuk membantu peternak berskala kecil agar dapat lebih berdaya saing. Ketika para peternak berskala kecil menjadi maju dan besar melalui usaha kolektifnya, mereka dapat saja berkolaborasi dengan perusahaan besar untuk berbisnis sapi dengan peternak Australia. Saya yakin, harga sapi akan bisa dikendalikan melalui mekanisme pasar karena para pelaku bisnis sapi memang sudah merupakan komunitas sendiri. Oleh karena itu, semua pihak harus berpikir positif untuk melahirkan hasil yang positif juga. Dengan demikian, semua pihak tersenyum, konsumen pun ikut tersenyum!

(Muladno, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB)

(Kompas cetak, 31 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selebritas (ASEP SALAHUDIN)

Oleh: ASEP SALAHUDIN

Ustaz, kiai, tuan guru, ajengan, dan romo adalah gelar kultural yang biasa dinisbatkan masyarakat (umat) kepada orang yang memiliki kecakapan di bidang keagamaan.

Gelar itu tak berdiri sendiri. Interaksi simbolisnya berkelindan bukan hanya dengan pemahaman keagamaan (kognitif) yang disalurkan dalam wujud keelokan bertablig, melainkan juga keteladanan hidupnya. Keikhlasan, pilihan hidup asketik, kejujuran, satunya kata dengan perbuatan, kesederhanaan yang kemudian membuat sang kiai itu dihormati. Dari wajahnya tebersit karisma. Umat kemudian menyebutnya "karamah" dan keberkahan. Jangankan fatwa, bahkan gestur tubuhnya dipandang mencerminkan jejak-jejak wibawa kenabian. Warasatul anbiya.

Kiai tidak "mengetuk" pintu kekuasaan, tetapi justru kekuasaan yang mendatanginya. Di mana pun kuasa selalu membutuhkan jaringan legitimasi moral, dan kiai yang sejarah pengalaman kesehariannya bergumul dengan napas masyarakat dipandang dapat merepresentasikan keinginan massa, penyambung lidah rakyat. Di titik ini, kiai memerankan diri sebagai tenda moral dan jangkar kekuatan masyarakat madani.

Zaman kolonial
Tipikal kiai seperti itulah yang dahulu sangat ditakuti kaum kolonial. Mereka tahu bahwa di balik kibaran sarungnya tersimpan kekuatan mengonsolidasi rakyat untuk membangkitkan perlawanan terhadap ihwal yang dianggap mungkar dan kafir. Sekali "jihad" diserukan, dengan serta-merta masyarakat termobilisasi dan serentak mengikuti sabda kiai. Dalam alam pikiran insan negeri kepulauan, kalau titah raja yang menggema dari keraton dianggap sebanding dengan perintah Tuhan, hal yang sama berlaku juga untuk kiai. Tausiah-nya yang didengungkan dari bilik pesantren dipandang sebangun dengan firman Tuhan.

Sartono Kartodirdjo menuturkan bahwa peristiwa penentangan sosial-politik terhadap penguasa kolonial, menurut laporan Pemerintah Belanda sendiri, dipelopori para kiai. Jika diperlukan, para kiai menjalin hubungan dengan kalangan elite lokal (Steenbrink, 1984). Kartodirdjo mendokumentasikan dengan cukup baik fakta sosial perlawanan kiai ini dalam Protest Movement in Rural Java dan The Peasants' Revolt of Banten in 1888. Sir Thomas Raffles dalam The History of Java menggambarkan, dalam setiap pergolakan sosial, hampir semua kiai di Nusantara menjadi aktor paling militan dalam menentang kaum kolonial, hampir tidak ada kiai yang melakukan politik kompromistis dengan penjajah.

Pada masa pergerakan mempertahankan kemerdekaan "resolusi jihad" telah cukup menggambarkan tentang kekuatan karisma politik kiai. Resolusi jihad yang kemudian menjadi pemantik lahirnya peristiwa 10 November 1945. Bung Tomo menjalin hubungan sinergis dengan KH Hasyim Asy'ari dan politisi muda anaknya, KH Wahid Hasyim. KH Zainul Arifin (Laskar Hisbullah), KH Wahab Hasbullah (Barisan Mujahidin), KH Masykur (Laskar Sabilillah), batalion PETA yang hampir setengahnya dipimpin kiai Nahdlatul Ulama berada di barisan terdepan dalam pertempuran hari pahlawan itu.

Kiai hari ini
Itu dulu. Ketika dakwah keagamaan dilakukan dengan ikhlas. Tatkala budaya populer belum menyerbu semua segmen kehidupan. Hari ini riwayatnya lain lagi. Hikayatnya sudah sangat jauh berbeda.

Tersebutlah pada awal abad ke-21 fragmen kegaduhan mempersoalkan tarif kiai, lebih tepat lagi ustaz. Kita sesungguhnya tidak perlu ikut mencaci maki sang ustaz yang dengan telanjang memasang tarif atas kecakapannya dalam menyampaikan senarai firman Tuhan yang dianggap sakral dan konon haram "diperjualbelikan" oleh sebagian kalangan.

Bukankah fenomena praktik "memperjualbelikan" ayat-ayat Tuhan bukan hanya dilakukan ustaz, melainkan juga oleh para politisi, baik yang beraliran nasionalis, sekularis, sosialis, maupun agamis? Bahkan, bisa jadi aktivis "partai yang berbasis agama" yang paling hobi mempraktikkannya. Kabar terakhir, yang terbelit kasus impor sapi yang menimpa sebuah partai dakwah, semua tersangka dan para saksinya dipanggil "ustaz". Semua media menulisnya dengan panggilan "ustaz" walaupun nyata-nyata berlumuran "kemungkaran sosial" (korupsi), malah disebut-sebut tidak hanya menyebar dinar, tetapi juga "mengoleksi" sekian perempuan ghair muhrim. Sesuatu yang tidak terbayangkan menimpa kiai tempo dulu.

Betul apa yang pernah dibilang Michel Foucault bahwa agama memiliki energi metafisik untuk melakukan dominasi simbolis dengan efek dahsyat yang terkadang tidak diinsafi pemeluknya sendiri. Di balik kelihaian para pendakwahnya (dan kaum agamawan), tersembunyi naluri manusia: menyalurkan hasrat serta mengejar benda dan kekuasaan.

Kenapa tarif tidak perlu dipersoalkan? Sebab sesungguhnya sejak awal sang ustaz mungkin di bawah layar bawah sadarnya tidak memosisikan dirinya sebagai "ustaz", tetapi lebih sebagai bagian dari kerumunan selebritas atau minimal motivator yang mengambil agama sebagai bahan motivasinya. Halnya dunia selebritas, yang harus dikedepankan adalah "tubuh" dengan segala aksesori pencitraannya. Yang diperlukan bukan kedalaman materi agama, apalagi penghayatan kudus religiositas, melainkan kepandaian beretorika. Bukan pencerahan, melainkan kesanggupannya membuat humor-humor yang bikin terpingkal-pingkal khalayak.

Mimbar infotainmen
Laikya selebritas, panggung utamanya bukan di masjid, madrasah, dan pesantren, melainkan di televisi. Media untuk melipatgandakan "pengaruhnya" apalagi kalau bukan mimbar infotainmen. Bukan kitab kuning yang dilogati lewat bandungan dan sorogan. Sudah menjadi pasal besi bahwa bagi infotainmen yang menarik untuk dikabarkan adalah percakapan soal artifisial, semisal jenis kendaraan, merek sepatu, rumah tinggal, hobi, dan lebih menarik lagi cerita "percintaannya" walaupun itu sah, misalnya, menurut agama seperti poligami. Maka, akhirnya ustaz harus menyesuaikan dengan selera pasar. Bukan sebaliknya. Dipilihlah Lamborghini, motor gede, wisata ke luar negeri, dan salon. Jika gaya hidup seperti itu tidak bisa ditutupi dengan penghasilan dari dakwah, dirangkaplah peran sebagai bintang iklan. Agen iklan tentu jatuh cinta kepada sosok yang dianggap memiliki massa.

Dengan tarif ustaz tidak ada yang salah. Tidak ada yang dilanggar. Sebab sejak sedari awal relasinya bukan ustaz dengan jemaahnya, melainkan ustaz dengan penggemarnya. Seorang idol dengan fansnya. Di wilayah ini, etika otomatis dianggap fosil, sebagai bagian silam norma skolastik. Sementara yang menahbiskannya sebagai ustaz bukan umat, melainkan televisi!

(ASEP SALAHUDIN, Esais dan Dekan Fakultas Syariah di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya)

(Kompas cetak, 31 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mengubah Pola Makan (Sjamsoe'oed Sadjad)

Oleh: Sjamsoe'oed Sadjad

Tahun ini usia NKRI 68 tahun. Kalau generasi anak saya nanti mencapai usia setinggi umur saya saat ini, dan cucunya pun telah memiliki cucu, apakah mereka itu masih bisa makan nasi dan lauk-pauk seperti sekarang?

Ini masalah pangan bangsa di masa depan, 32 tahun dari sekarang. Berbagai opini mengenai pangan dengan data statistik lengkap menunjukkan betapa kritikal kalau kita tetap berpegang pada pola pangan kita saat ini yang dominan nasi dan lauk- pauk. Menghadirkan nasi dan lauk-pauk sepiring penuh baru berarti makan.

Bisakah diubah?
Fokusnya sejak dulu kala tidak berubah. Masalah pangan selalu dihadapi dengan intensifikasi budidaya padi. Kebijakan politik pangan pemerintah seperti itu sah- sah saja karena bagaimanapun kecukupan bahan pangan harus terjamin. Jika produksi dalam negeri tak mencukupi, impor pun jadi. Lalu, bagaimana peran masyarakat yang sebagian besar bukan petani padi?

Luas lahan untuk pertanaman padi di Jawa makin ciut akibat alih fungsi. Jumlah penangannya juga kian menyusut akibat bertani padi kurang memberikan penghasilan dibandingkan sektor lain. Buruh tani makin kecil jumlahnya sehingga untuk pekerjaan tanam dan panen kekurangan tenaga kerja. Faktor-faktor ini kurang mendukung upaya pengadaan logistik bahan pangan, khususnya padi sebagai makanan pokok sebagian besar bangsa ini.

Impor beras masih leluasa dilakukan, tetapi dengan jumlah penduduk dunia yang makin besar tiga dekade mendatang, impor akan makin susah dilakukan. Penting untuk mengubah kebijakan politik pertanian pangan kita. Kita juga harus bisa mengubah pola makan, dengan tak lagi membedakan komponen pangan di piring kita dan lebih mengarahkan pada pangan berbasis gizi dengan setiap unsurnya berkedudukan sama, apakah itu sumber karbohidrat, serat, protein, lemak, vitamin, atau mineral. Semua harus berkecukupan masuk ke dalam perut kita, dan tak harus berbentuk makanan pokok dan lauk-pauk. Singkatnya, proses "demokratisasi" unsur pangan di piring kita.

Kesulitan kita menggantikan nasi dengan sumber karbohidrat lain selama ini karena tak mudah mendapatkan kombinasi lauk- pauk yang sesuai selera makan kita. Betapa sulitnya menemukan lauk-pauk tiga macam dicampur dalam satu piring yang dapat memenuhi selera makan kita, apabila nasi kita ganti dengan jagung rebus atau ubi kayu rebus sebagai makanan pokok.

Sebaliknya, akan lebih leluasa jika sumber karbohidrat itu kita makan (sendiri-sendiri) bersama dengan udang goreng, ayam, tahu, atau tempe goreng sebagai sumber protein. Model ini kita sebut saja sebagai single dishes model (SDM) dalam pola makan kita menggantikan model nasi plus lauk-pauk (NPLp). Dengan SDM menggantikan NPLp, kita tak menghadapi kesulitan menyajikan sepiring makanan yang membangkitkan selera akibat tak sesuainya kombinasi lauk-pauk.

Pengembangan industri pangan

Masa 32 tahun adalah waktu yang akan dilalui menuju 100 tahun usia Indonesia merdeka. Waktu yang tidak panjang untuk mengubah budaya makan, kecuali kita berusaha keras di masing-masing keluarga, karena semua menyadari pentingnya mengubah pola makan demi keberlanjutannya generasi ke depan. Sekarang saja, pemerintah sudah mengampanyekan one day no rice. Jangan-jangan 32 tahun yang akan datang kita mencapai situasi one year no rice, kalau bangsa kita sudah berjumlah setengah miliar manusia, sesudah lahan sawah padi di Jawa tinggal separuh luas saat ini. Lalu, sumber karbohidrat apa yang bisa menjadi konsumsi sehari-hari kalau pola makan kita masih model NPLp?

Kita memang tidak perlu pesimistis dengan luasan lahan dan lautan kita yang begitu besar. Begitu pula dengan iklim tropis yang panas dan basah, pertumbuhan tanaman dimungkinkan sepanjang tahun, serta sumber protein berlimpah di lautan. Namun, kita juga tak boleh sembrono, terutama dihadapkan pada potensi bencana alam yang sering mengakibatkan produksi pangan merosot drastis.

Dengan perubahan pola makan dari NPLp ke SDM, kita bisa leluasa mengurangi konsumsi nasi kita. Dengan mengubah pola NPLp yang makan dengan satu tahap menjadi tiga tahap pada model SDM, akan lebih mudah mengganti nasi pada tahap kedua dan seterusnya dengan sumber karbohidrat lain. Hal ini bisa terjadi karena sumber karbohidrat kita proses jadi produk tepung. Sehingga yang kita makan bukan berwujud nasi lagi, tetapi roti, keik, kue, dan lain-lain. Semuanya proses industrial.

Segenap bahan pangan kita diupayakan menjadi produk industri sehingga bisa disajikan di meja makan secara instan. Untuk itu perlu didorong proses industrialisasi bahan pangan kita, baik sumber karbohidrat, serat, protein, lemak, maupun mineral. Langkah ini lebih memajukan sektor pertanian dan lebih cepat menyejahterakan petani kita. Semua akan sinkron dengan upaya lebih memopulerkan sistem makan kita dengan model SDM. Demi keberlanjutan hidup bangsa ini, perubahan budaya makan perlu kita lakukan dan jangan hanya terpaku pada proses produksi bahan pangan, khususnya padi sebagai makanan pokok.

(Sjamsoe'oed Sadjad, Guru Besar Emeritus Fakultas Pertanian IPB)

(Kompas cetak, 31 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 30 Agustus 2013

Jatim Telah Memilih (Tajuk Rencana Kompas)

Masyarakat Jawa Timur telah memilih siapa yang mereka percaya memimpin Jatim lima tahun ke depan. Prosedur demokrasi telah dijalani!

Pilkada Jatim punya arti penting dalam lanskap politik nasional karena jumlah suara di provinsi itu tergolong besar. Menurut data KPU Jatim, tercatat lebih dari 30 juta pemilih di Jatim. Dari sisi rivalitas politik, Jatim penting karena merupakan satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang masih dikontrol kader Partai Demokrat, setelah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah lepas dari kontrol Demokrat. Soekarwo adalah kader Partai Demokrat. Pada Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat unggul dan mendapat 21,99 persen suara.

Pada Pilkada 2008, pertarungan di Jatim sangat ketat. Bahkan, Pilkada Jatim 2008 berlangsung dua putaran dan ada pemungutan suara ulang di sejumlah tempat atas putusan Mahkamah Konstitusi. Pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf unggul tipis atas pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawiredja pada Pilkada 2008.

Dalam Pilkada 29 Agustus 2013, pasangan petahana Soekarwo-Saifullah tampaknya berpeluang kembali memimpin Jatim. Berdasarkan penghitungan cepat lembaga survei, Soekarwo meraih suara 46-48 persen suara, diikuti Khofifah-Herman Sumawiredja yang mendapat dukungan sekitar 37 persen suara, Bambang DH-Said Abdullah 12-13 persen suara, dan pasangan independen Eggi Sudjana-M Sihat mendapat 2-3 persen suara. Namun, berdasarkan penghitungan yang dilakukan kubu Khofifah, justru Khofifah yang unggul dengan 48 persen suara.

Kita harus menunggu penghitungan resmi KPU Jatim karena KPU-lah yang punya otoritas menghitung suara. Penghitungan cepat melalui metode statistik hanyalah indikasi meski dalam praktiknya selama ini hasil hitung cepat tak jauh berbeda dengan hasil resmi.

Putusan rakyat Jatim itu harus dihormati! Itulah ekspresi hak politik rakyat untuk menjatuhkan pilihan. Dalam setiap pemilu hanya ada dua pilihan: "teruskan" atau "ganti". Dalam sistem politik demokrasi, rakyat punya rasionalitas dalam menjatuhkan pilihan. Jika hasil penghitungan cepat itu tak berbeda dengan hasil resmi KPU, berarti Soekarwo-Saifullah masih mendapat kepercayaan warga Jatim. Itu juga tak luput dari keberhasilan Soekarwo mengonsolidasikan hampir semua kekuatan politik untuk berada di belakangnya. Langkah konsolidasi politik total yang dilakukan Soekarwo hampir membuat pasangan Khofifah-Herman gagal menjadi calon.

Kita berharap kedewasaan politik warga Jatim terus dijaga hingga selesainya tahapan pemilu. Dugaan adanya kecurangan dalam pilkada tetap bisa dipersoalkan melalui mekanisme demokrasi yang disediakan. Kita berharap tahapan dan prosedur demokrasi itu dijalani agar Jatim bisa menjadi contoh keberhasilan dalam proses demokrasi nasional. Keberhasilan dan kesabaran menempuh jalan demokrasi akan kian mematangkan demokrasi kita!

(Tajuk Rencana Kompas cetak, 30 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Untuk Apa Kobarkan Perang (Tajuk Rencana Kompas)

Ya, pertanyaan yang menjadi judul ulasan pendek ini kini semakin santer diteriakkan banyak orang di dunia ini. Apa yang dicari dari peperangan?
Perkembangan di Suriah, hari-hari belakangan ini, setelah serangan dengan menggunakan senjata kimia terhadap penduduk di pinggiran barat dan timur Damaskus, memang semakin menerbitkan rasa khawatir dalam hati.

AS dan negara-negara Barat yakin bahwa tentara Presiden Bashar al-Assadlah yang menggunakan senjata kimia itu. Karena itu, mereka harus "dihukum" dan hukuman itu berupa serangan militer. Inilah opsi yang dipilih.

Pada saat yang bersamaan, sejumlah negara, terutama Rusia, China, dan Iran, serta sejumlah negara Arab menentang opsi militer untuk menghukum Suriah. Damaskus dan sekutunya, yakni Rusia dan Iran, telah memperingatkan AS bahwa serangan terhadap Suriah dapat menimbulkan "akibat yang sangat dahsyat" di kawasan.

Secara teoretis, jika Suriah diserang AS dan negara- negara Barat, Iran dan Rusia tidak akan tinggal diam. Iran, pendukung senjata dan dana Suriah serta pendana Hezbollah di Lebanon Selatan, akan ikut serta baik secara langsung maupun tak langsung. Teheran dapat menggunakan Hezbollah untuk semakin membuat situasi tambah kacau dengan menyerang Israel.

Dengan demikian, perang akan merembet ke mana- mana. Negara-negara tetangga Suriah pun akan terkena dampaknya. Turki yang mendukung aksi militer akan terkena getahnya juga. Jordania pun akan menanggung akibatnya, sekurang-kurangnya menerima lebih banyak pengungsi. Kelompok-kelompok bersenjata di sepanjang perbatasan Suriah dan Irak selama ini didukung Arab Saudi dan Qatar akan ikut meramaikan medan perang.

Sudah bisa kita bayangkan, akan menjadi seperti apa kawasan Timur Tengah bagian utara itu. Sudah bisa kita bayangkan pula, akan begitu banyak korban tewas, terutama rakyat sipil, dan begitu banyak pula pengungsi. Akan ada banyak anak kehilangan orangtua dan saudara-saudaranya. Istri kehilangan suami. Perang di mana-mana hanya menimbulkan duka nestapa dan penderitaan. Dan, rakyat sipillah yang akan banyak menderita dan menanggung nestapa.

Karena itu, untuk apa peperangan kalau hanya menyengsarakan. Apakah "hukuman" terhadap Suriah hanya berupa serangan militer? Apakah perang, jika benar-benar dikobarkan, akan menyelesaikan masalah Suriah? Kita bisa melihat kondisi Libya saat ini setelah digempur pasukan NATO. Negeri itu belum normal. Bagaimana kondisi Irak setelah invasi pasukan AS dan sekutunya? Konflik, bahkan berbau sektarian, terus terjadi hingga kini.

Kita berharap langkah apa pun yang diambil untuk "menghukum" Suriah tidak semakin menyusahkan rakyat yang sudah lebih dari dua tahun didera perang saudara.

(Tajuk Rencana Kompas, 30 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Penduduk dan Sumber Daya Manusia (Omas Bulan Samosir)

Oleh: Omas Bulan Samosir  

Brasil, India, Indonesia, dan Turki adalah empat negara penting di dunia yang akan berperan menjadi penentu tatanan global pada masa mendatang. Amerika Serikat harus bisa merangkul empat negara ini demi tatanan dunia baru yang lebih baik.

Demikian dikatakan Daniel M Kliman dari Lembaga German Marshall Fund of The United States (Kompas, 26 Juli 2013).

Di tengah ketakyakinan akan kemampuan Indonesia dalam banyak segi, pernyataan itu menimbulkan tanda tanya: "Kok Indonesia? Dari mana jalannya?"

Oleh AS, Indonesia dikelompokkan dalam swing states, negara yang memiliki pengaruh kuat dan berdampak bagi tatanan global karena (salah satunya) jumlah penduduk yang besar. Jadi, jumlah penduduk yang besar itulah yang jadi sumber daya kita paling utama dalam kancah global. Melalui jumlah penduduk yang besar inilah, Indonesia dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas tatanan internasional.

Tidak perlu ditakuti

Jumlah penduduk AS akan terus bertambah hingga tahun 2100. Mengapa AS tak gusar dengan jumlah penduduknya yang besar itu? Mereka menyadari bahwa kelanjutan ekonomi mereka terletak pada keseimbangan proporsi penduduk usia tua dan muda. Ketika umur penduduk semakin panjang, penduduk tua memerlukan penduduk muda bekerja untuk menopang mereka. AS mengantisipasi kelanjutan perekonomian mereka dengan strategi kependudukan.

Salah satu sebab mengapa terjadi krisis ekonomi di Eropa adalah penduduk yang semakin menua. Penuaan ini tak diimbangi kelahiran penduduk muda pekerja yang menjadi sumber daya utama dalam perekonomian.

Jepang adalah negara yang menerapkan program keluarga berencana secara sukarela. Laporan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan memperkirakan penduduk Jepang akan berkurang dari 128 juta jiwa pada 2012 jadi 87 juta jiwa pada 2060. Sebanyak 40 persen penduduk Jepang akan memasuki usia pensiun pada 2060. Pada saat bersamaan, jumlah angkatan kerja (15-60 tahun) akan menyusut jadi setengah dari jumlah penduduk. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan kelangsungan perekonomian Jepang: siapa yang akan menanggung penduduk usia pensiun?

Pada 1980-an China menerapkan kebijakan satu anak. Kebijakan itu memang berhasil menekan jumlah kelahiran, Namun, efek lain yang mengikuti adalah membengkaknya rasio penduduk tua. China Development Research Foundation mengisyaratkan sekarang tiap keluarga diperbolehkan memiliki lebih dari satu anak. Pada 2013 kebijakan baru itu sudah diterapkan di beberapa provinsi dan akan diterapkan secara nasional pada 2015.

Yang mesti dilakukan
Saat ini ekonomi Indonesia bertumbuh 5-6 persen per tahun dan sekitar 60 persen ditopang oleh konsumsi. Jumlah penduduk Indonesia yang besarlah yang mengakibatkan konsumsi besar itu. Jadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sesungguhnya ditopang jumlah penduduknya yang besar. Jumlah penduduk yang besar inilah yang menggoda banyak perusahaan dari luar negeri menjadikan Indonesia pangsa pasar produk mereka.

Tugas pemerintah adalah memandang penduduk sebagai tangan-tangan untuk bekerja. Penduduk adalah sumber daya paling utama. Adalah tidak bijaksana meremehkan kemampuan penduduk untuk menjadi sumber daya pembangunan.

Jumlah dan pertumbuhan penduduk dapat jadi aset atau sumber daya; itu bergantung pada beberapa faktor, seperti kebijakan ekonomi pemerintah, praktik pertanian, dan kemampuan negara memberdayakan penduduk untuk bekerja. Karena penduduk merupakan produsen dan juga konsumen, jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan penduduk dapat juga merupakan sebuah tanda dan sumber kekuatan. Pemerintah harus memberikan insentif bagi pertanian, sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, dan tenaga kerja pada sektor lain untuk berproduksi maksimal.

Pemerintah harus menjamin fasilitas perumahan dan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk yang kesulitan mendapatkannya. Pemerintah juga harus dapat mengantisipasi dan merespons kecenderungan urbanisasi masif dengan menyediakan fasilitas penunjang kependudukan di perkotaan agar dapat berproduksi secara maksimal.

Pemerintah harus memperbaiki kesempatan pendidikan bagi perempuan dan integrasi yang lebih besar bagi perempuan ke dalam perekonomian. Juga harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diperlukan bagi pembangunan nasional guna meningkatkan produktivitas.

Pemerintah harus berinvestasi kepada penduduk dan menghormati kemampuan penduduk berpartisipasi dalam pembangunan, serta memandang penduduk sebagai sumber daya utama agar kita dapat berperan dalam tatanan dunia baru yang lebih baik. Masa depan kita adalah jumlah penduduk yang besar itu.

(Omas Bulan Samosir, Dosen Inti Penelitian FEUI)

(Kompas cetak, 30 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kendali Sapi Berbasis Harga (Mochammad Maksum Machfoedz)

Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz

Perekonomian nasional minggu-minggu ini sedang berduka. Keprihatinan ini ditandai kemerosotan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan.
Sebagai upaya penanggulangan terhadap kemerosotan ekonomi, pemerintah segera menerbitkan Paket Kebijakan Penyelamatan Ekonomi (PKPE). Dalam suasana keputusasaan pemerintah menjinakkan krisis daging sapi yang tak berujung pangkal, binatang "gila" ini pun dapat tempat khusus pada 13 butir kebijakan yang disampaikan Menko Perekonomian, 23 Agustus 2013. Pengaruh keputusasaan ini tampak dalam skenario pembenahan liarnya pasar daging ini.

Keliaran tersebut tersirat jelas dalam PKPE butir ke-9 yang menyebutkan: "mengubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari berbasis kuantitas (kuota) menjadi berbasis harga". Generalisasi penanganan dua kelompok pangan dalam klausul PKPE ini tentu mengundang pertanyaan besar akan efektivitasnya dalam stabilisasi pasar, atau malah sebaliknya, sebagai kemenangan komprador dan kapitalis dengan syahwat rente impor. Secara khusus efektivitas teoritis bisa ditelaah untuk urusan daging sapi.

Persoalan daging sapi sudah sekian lama tak pernah teratasi. Bahkan, ketika pembengkakan impor juga dilakukan melalui penugasan khusus terhadap Bulog untuk menjinakkannya, tetapi efektivitas operasinya selalu jadi gunjingan.

Memang benar bahwa pendekatan kuota impor, dalam bentuk daging beku dan sapi bakalan, terbukti tidak mampu mengendalikan pasar. Akan tetapi, benarkah kegagalan itu karena basis pendekatannya? Atau karena kelambanan operasional, kemampuan dan/atau kemauan pemerintah—persisnya: Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II)—melawan importir?

Mengalamatkan persoalan dengan simplifikasi kegagalan pendekatan kuota dan kemudian menggantikannya dengan pendekatan harga seharusnya didasarkan atas rasionalitas yang pas. Bukan keputusan yang tanpa alasan, apalagi masih misteri urusannya. Sepenuhnya bisa dibantah bahwa anomali pasar yang terjadi adalah kegagalan pendekatan kuota dalam pengendalian harga pasar.

Ada kecurigaan, pergeseran tersebut mengarah pada prinsip: pokoknya harga harus turun! Kalau benar itu yang terjadi, tentu itulah indikasi kemerosotan ketatanegaraan. Prinsip ini dalam waktu dekat efektif mengendalikan harga pasar. Akan tetapi, perangkatnya adalah importasi yang tidak dibatasi sampai harga turun ke level tertentu.

Konsekuensinya, importasi akan membengkak dan makin bengkak karena bisa dipermainkan dengan sulapan harga dalam operasi kartel. Akibatnya, sebelum dicapai target harga, KIB II akan membiarkan kemudahan impor guna mempercepat penurunan harga. Ketika target harga sudah tercapai, importasi dibatasi melalui pengenaan cukai impor untuk menjaga supaya harga daging tidak makin murah.

Kemenangan komprador

Asesmen di atas dilontarkan karena problem dasarnya sesungguhnya adalah KIB II yang tidak mampu dan/atau tidak mau sungguh-sungguh mengendalikan harga. Sama sekali bukan gagalnya pendekatan kuotanya. Perubahan pendekatan jelas tidak akan membawa hasil memadai ketika KIB II tak berubah. Karena, alat utama pendekatan berbasis harga yang dalam hal ini adalah juga impor dan cukai. Aneh, kegagalan melawan mafia malah dijawab dengan kemudahan importasi.

Oleh karena itu, pantas disebut bahwa penuangan butir ke-9 PKPE mengisyaratkan kemenangan komprador, yang selama ini menggoreng daging sapi melalui agitasi konsumen sampai fatwa agamis.

Adalah sangat masuk akal untuk meramalkan, dalam hal stabilisasi harga daging sapi dewasa ini, pergeseran pendekatan yang dipaketkan dalam PKPE adalah keputusan yang teramat tergesa- gesa dan grusa-grusu. Sebab ia justru sangat berpotensi menjadi bumerang yang superkontraproduktif bagi pengembangan sistem pengembangan ternak, khususnya sapi dan kerbau dalam negeri, yang sudah ancang-ancang menuju keswasembadaan.

Keprihatinan publik semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan KIB II yang ternyata semakin bingung menyelesaikan (sekadar) urusan sekerat daging sapi

(Mochammad Maksum Machfoedz, Ketua PB Nahdlatul Ulama)

(Kompas cetak, 30 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pendidikan Kaum Hipokrit (Mohammad Abduhzen)

Oleh: Mohammad Abduhzen

Menjelang bulan Ramadhan lalu, Lingkaran Survei Indonesia mengungkapkan bahwa 65,30 persen publik menganggap para elite politik hipokrit. Mereka bertindak tak sesuai ucapan: berbicara hal baik, tetapi tak mempraktikkannya (Kompas, 8/7/2013).

Hipokrit alias orang munafik dalam Al Quran digambarkan sebagai pendusta. Namun, mereka berpenampilan mengagumkan, bertutur kata memukau, dan (sensitif) mengira setiap teriakan keras ditujukan kepada mereka. Hadis Bukhari mencirikan kemunafikan dengan berbohong, ingkar janji, dan berkhianat.

Potensi hipokrisi sejatinya terdapat pada setiap orang. Ia berkembang dalam pengaruh lingkungan, dan hasil tarik-menarik di antaranya menentukan kecenderungan pilihan. Jika sebagian besar elite politik Indonesia hipokrit, untuk mengatasinya patut diketahui terlebih dahulu seperti apa lingkungan yang memengaruhinya.

"Demokrasi" kita

Menurut Mohammad Hatta, demokrasi seharusnya lebih mudah diterapkan sebagai sendi negara untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Selain itu, demokrasi kita seharusnya dapat menunjukkan kedaulatan rakyat yang lebih sempurna karena masyarakat kita bersendikan kolektivisme, tidak mengandung penyakit individualisme.

Dalam sifat asli desa Indonesia, kata Hatta, segala peraturan mengenai kepentingan hidup bersama diputuskan dengan jalan mufakat. Segala usaha yang berat, yang tak terpikul oleh orang seorang jadi usaha bersama, dikerjakan menurut dasar tolong-menolong. Sifat pertama adalah dasar bagi demokrasi politik, dan sifat kedua adalah sendi untuk menegakkan demokrasi ekonomi Indonesia.

Namun, dialektika politik nasional membawa demokrasi kita di era reformasi ini mengarah pada yang tak substansial. Prosedur demokrasi yang seyogianya memunculkan para pemimpin dan politisi yang mumpuni ternyata pada berbagai tingkatan hanya menghasilkan para elite yang mengingkari kepentingan rakyat. Penghormatan pada kebebasan sipil dan upaya pencapaian kesejahteraan dan keadilan sosial bersifat semu karena dikendalikan kekuatan uang.

Demokrasi yang secara substantif seharusnya menunjukkan kemampuan mengurangi ketimpangan politik, sosial, dan ekonomi justru berlaku sebaliknya. Perangkat-perangkat demokrasi kita seolah hanya memfasilitasi bertumbuhnya jiwa hipokrit dan koruptif pada elite politik yang berujung pada beragam kesenjangan dalam masyarakat.

Meskipun bangsa Indonesia memiliki sejumlah pengalaman menjalankan apa yang didefinisikannya sebagai demokrasi, bangsa ini tampak belum dewasa dalam berpolitik. Pertama, dinamika politik terus diwarnai sikap saling hujat, saling melecehkan di depan publik yang disaksikan dan dipahami oleh anak-anak dan pemuda kita sebagai cara berdemokrasi yang benar. Gagasan demokrasi yang diharapkan mengembangkan sikap toleransi atas bermacam perbedaan tak ditumbuhkan dengan serius, bahkan kerap dimanfaatkan beberapa pihak untuk memicu konflik horizontal di kalangan akar rumput. Banyak persoalan bangsa seperti dibiarkan mengambang karena para elite lebih sibuk dengan urusan pribadi dan partainya.

Kedua, kepemimpinan politik bersifat feodalistis dengan para pengikut yang fanatis dan tak kritis. Pola perekrutan parpol kebanyakan mengandalkan nepotisme dan popularitas sehingga anggota yang terhimpun tak punya basis ideologis, pengetahuan, dan keterampilan politik. Sementara kaderisasi dan pendidikan politik yang mestinya menjadi agenda terpenting partai politik diabaikan.

Dengan kondisi itu, citra politik yang diwariskan kepada generasi muda jadi sangat negatif dan bersifat transaksional.

Pendidikan kita

Sebagai subordinasi sistem sosiopolitik, lingkungan pendidikan kita bukan saja tak mampu membebaskan diri dari nilai-nilai hipokrisi dan praktik korupsi, juga turut melestarikannya. Berbagai program pendidikan yang menjanjikan perbaikan dan kemajuan, seperti profesionalisme guru, ujian nasional (UN), Kurikulum 2013, dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri, kenyataannya hanya isapan jempol.

UN yang bertalu-talu dikatakan sangat berguna untuk pemetaan, pemacu semangat belajar, dan peningkatan mutu pendidikan nasional tidak terbukti. Setelah satu dekade UN diselenggarakan, kualitas pendidikan nasional belum menunjukkan tanda-tanda meningkat, bahkan menurun. Beberapa hasil survei internasional terakhir, seperti dari TIMSS, PIRLS, dan PISA, menunjukkan, murid Indonesia selalu berada di peringkat bawah dan bermasalah dengan kemampuan menalar.

Selain itu, UN juga telah menjadi semacam kurikulum diam (hidden curriculum) bagi pembentukan karakter buruk generasi muda. Sejumlah kepentingan, seperti tuntutan para kepala dan pejabat daerah agar angka kelulusan UN tinggi, ditambah sistem yang tak adil, telah memicu praktik kecurangan bersama guru dan murid. Konspirasi itu secara efektif telah menjadi praktikum yang menginspirasi bagi pewarisan nilai-nilai hipokrisi dan korupsi. Apalagi kenyataan itu seolah diafirmasi oleh berbagai kasus korupsi yang merebak di seantero Tanah Air.

Kisruh UN 2013, ditandai keterlambatan pencetakan soal dan penipisan lembar jawaban (hasil investigasi inspektorat menemukan indikasi korupsi), kiranya jadi penjelas bagi publik atas sikap aneh pemerintah yang tetap akan menyelenggarakan UN. Bahwa UN hanyalah proforma. Sikap kukuh pemerintah justru menunjukkan tingginya semangat hipokrisi dan korupsi di lembaga penanggung jawab pendidikan itu.

Demikian pula Kurikulum 2013. Berbagai asumsi dan visi muluk yang mendasari Kurikulum 2013 yang secara rancu terderivasi dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar sebenarnya sesuatu yang disadari tak akan terwujud. Gejala itu makin tampak pada pelatihan guru yang dimaksudkan mengubah pola pikir ternyata hanyalah ceramah massal hierarkis yang diselingi banyolan-banyolan klise. Namun, pemerintah selalu siap dengan jawaban bluffing atas inkonsistensi dan potensi kegagalan, seperti ungkapan "penerapan bertahap" dan atau "efek perubahan akan terjadi puluhan tahun mendatang".

Hal lain adalah beragamnya sistem seleksi masuk perguruan tinggi negeri, khususnya jalur mandiri, lebih mempertimbangkan pemasukan daripada aspek kualitas. Sementara peningkatan kuota jalur undangan, yang mengandalkan nilai rapor sekolah, hingga 50 persen sangat berpotensi menimbulkan kecurangan sistemik pada sekolah di kemudian hari.

Kaum hipokrit tentunya tak hirau atas dampak buruk dari berbagai sikap dan kebijakan yang mereka perbuat bagi moralitas bangsa di masa depan. Sayangnya, kenyataan ini secara umum tak akan jadi lebih baik, bahkan setelah 2014. Menyaksikan sistem dan calon politisi dalam pemilu mendatang, tampaknya lingkungan politik dan pendidikan nasional masih akan jadi lahan "pembudidayaan" hipokrisi dan korupsi.

(Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI)

(Kompas cetak, 30 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Bongkar Pendidikan Tinggi Kita (Terry Mart)

Oleh: Terry Mart

Tulisan Hendra Gunawan (Kompas, 19/8) sangat menarik dan patut disimak semua insan yang terlibat dalam kegiatan pendidikan tinggi.
Hendra mengupas fakta kerdilnya perguruan tinggi (PT) kita dibandingkan dengan PT di negara jiran sekalipun; jangan dulu dibandingkan dengan PT di negara maju. Rayap-rayap kecil di bawah tanah yang sulit terlihat telah menggerogoti akar PT kita sehingga sulit tumbuh meski sudah dirawat dengan perhatian penuh dan penanganan khusus.

Beberapa PT kita sudah berusia lebih dari 50 tahun, tetapi pertumbuhan mutunya tak normal. Karena PT bukanlah pohon yang sembarang dapat ditebang dibuang begitu saja, satu-satunya jalan, ya, membongkarnya.

Jelas dari paparan Hendra, solusi harus radikal, sampai ke akar. Jika tidak, program insentif, hibah, akreditasi, dan sertifikasi tak akan pernah menumbuhkan pohon PT kita sebagaimana pohon di negara tetangga atau di negara maju. Hendra memaparkan delapan masalah. Saya hanya membahas tiga yang urgen: sistem, kualitas dosen, dan dana yang bermuara pada riset di PT.

Benar bahwa semuanya berawal dari sistem perguruan tinggi kita yang kurang/tidak berbasis merit. Sistem perekrutan dosen, sistem penilaian kinerja, hingga sistem kepangkatan kita terlalu manusiawi: beberapa dosen PTN masih tetap menikmati gaji meski hanya datang ke kampus satu-dua kali seminggu. Tak perlu mati-matian riset, asal ada satu-dua di antara berkas yang diajukan terindeks Scopus, seorang dosen dapat menjadi profesor. Di negara maju betapa sulit memperoleh posisi profesor di PT sana.

Mental amtenar
Ada benarnya bahwa kualitas dosen kita rendah karena sistem perekrutan dosen kita tak pernah diperbaiki sejak tempo dulu. Kualitas dosen PTN seharusnya lebih tinggi dari yang lain, tetapi mental amtenar sudah menjelma menjadi salah satu rayap tadi. Meski mengamini ihwal ini, saya masih yakin bahwa cukup banyak dosen kita berkualitas mumpuni untuk bersaing di dunia internasional. Buktinya, banyak dosen kita yang menamatkan S-3 di PT papan atas negara maju dengan hasil riset yang bahkan mencengangkan koleganya di sana. Sayangnya, pembusukan akademis selama puluhan tahun di Tanah Air telah menurunkan kualitas kebanyakan mereka hingga hampir mencapai titik nadir.

Cerita tentang dana riset PT membosankan, tetapi tetap mengherankan mengapa hingga kini pemerintah tak berambisi berinvestasi besar-besaran di PT? Mestinya pemerintah berani karena, jika tidak, PT kita akan makin jauh ketinggalan dari PT di Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam ("Antara Langit dan Bumi", Kompas 24 November 2011).

Pemerintah harus berupaya memberi otonomi seluas-luasnya kepada PTN meski bagi sekelompok orang di republik ini, otonomi sudah masuk barang haram karena diterjemahkan dengan kamus yang tak tepat. Sebenarnya tanpa otonomi, PTN akan terus dibebani para amtenar yang menuntut lebih banyak hak dibandingkan dengan menunaikan kewajiban. Dengan otonomi, PTN ditantang membuat sendiri sistem yang sehat, berbasis merit yang dituntut Hendra, yang tidak mengizinkan hidupnya rayap-rayap tadi.

PTN, misalnya, dapat langsung menghukum dosen yang malas atau memberi jabatan profesor untuk yang berprestasi tanpa harus menunggu izin pemerintah. Sistem berbasis merit ini rasanya sulit diciptakan secara nasional karena disparitas mutu PT di Tanah Air yang sangat lebar.

Harus diakui bahwa bukan hanya PTS yang melakukan bisnis pendidikan. PTN pun turut mengais rezeki. Meski bisnis ini halal selama tidak menzalimi orang, kegiatan ini harus dikurangi agar PT mulai berorientasi kepada riset. Tingginya kegiatan pendidikan di PTN yang terlihat dengan tingginya aktivitas para dosen, baik dalam kelas maupun dalam pembuatan perangkat pendidikan, jelas mengindikasikan kelalaian pada riset. Jumlah mahasiswa sarjana dan pascasarjana yang berimbang merupakan syarat mutlak perbaikan kualitas PT, asalkan program pascasarjana tersebut berbasis riset.

Tidak ada pilihan lain, kecuali dosen yang direkrut adalah lulusan terbaik yang ada. Dosen yang direkrut haruslah berjenjang S-3 sehingga dapat langsung masuk ke dunia riset di kelompoknya. Apabila masih S-1 atau S-2, kemungkinan yang bersangkutan pindah bidang sewaktu studi S-3 sehingga menyulitkan pengembangan kelompok riset yang sudah ada.

Dosen yang periset
Perekrutan harus langsung melibatkan departemen bahkan kelompok riset karena hanya mereka yang lebih tahu bidang dan dengan kualifikasi apa seorang pelamar bisa diterima. Harus ditekankan, seorang dosen adalah juga periset sehingga pelamar yang tak berbakat riset hanya akan merepotkan PT di belakang hari. Jadi, perekrutan melalui sistem pegawai negeri seperti yang berlaku saat ini jelas tak tepat. Di sini otonomi PTN mutlak perlu.

Profesor yang sebenarnya adalah profesor paripurna yang sudah didefinisikan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 49 Ayat 3 dan 4). Meski memiliki ribuan kum, profesor yang ada saat ini belum tentu profesor sebenarnya dan mungkin harus direposisi ke jabatan profesor asosiasi atau madya.

Untuk mendapatkan jabatan paripurna, profesor harus dinilai ulang atau harus melakukan penelitian lebih giat lagi untuk memenuhi tuntutan ayat 3 yang mensyaratkan pengakuan internasional sehingga posisinya jelas setara dengan posisi profesor di negara maju dan dampaknya jelas signifikan dalam menaikkan kualitas PT.

Profesor adalah jabatan, bukan hadiah atau gelar. Yang berhak mendapat jabatan itu ialah mereka yang mampu mengemban tugas jabatan. Pikiran bahwa profesor adalah hak bagi mereka yang telah memiliki sejumlah kum tertentu jelas akan terus mengerdilkan PT.

Pada akhirnya rekomendasi di atas tak dapat dijalankan jika tak ada komitmen pemerintah berinvestasi besar-besaran dalam dunia riset PT. Riset di PT butuh dana sangat besar. Tak semua menghasilkan produk hilir yang langsung dinikmati masyarakat.

Memanggil lulusan terbaik jadi dosen tak mudah jika insentif dan fasilitas yang ditawarkan tak menarik. Namun, dengan PDB lebih dari Rp 1.500 triliun rasanya tak mustahil mewujudkan hal ini. Lagi pula, apa mungkin kita dapat memancing ikan paus dengan umpan ikan teri seperti yang selama ini kita lakukan?

(Terry Mart, Pengajar Fisika FMIPA UI)

(Kompas cetak, 30 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 29 Agustus 2013

Ketegangan China-Jepang (Tajuk Rencana Kompas)

Ketegangan hubungan China-Jepang tampaknya tidak surut sebagai dampak sejarah permusuhan masa lalu, ditambah persengketaan pulau.
Ekspresi hubungan tidak harmonis itu antara lain terlihat jelas pada penolakan China atas ajakan Jepang mengadakan pertemuan pemimpin kedua negara di sela- sela Konferensi Tingkat Tinggi Grup-20 (G-20), sekitar awal September, di St Petersburg, Rusia.

Presiden China Xi Xinping dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dijadwalkan menghadiri KTT G-20 pada 5-6 September di St Petersburg. Ajakan pertemuan oleh Jepang mengisyaratkan keinginan memperbaiki hubungan yang cenderung memburuk dengan China, lebih-lebih setelah persengketaan atas kepulauan yang disebut Senkaku oleh Jepang atau Diaoyu oleh China.

Ketegangan antara China sebagai kekuatan ekonomi kedua dunia dan Jepang sebagai kekuatan ekonomi ketiga dunia telah merugikan kerja sama bilateral. Kerja sama ekonomi dan perdagangan kedua negara memang terganggu oleh persengketaan pulau. Sudah muncul kekhawatiran tentang dampak ketegangan itu bagi stabilitas keamanan di kawasan Asia secara keseluruhan.

Manuver kekuatan bersenjata kedua pihak di sekitar wilayah persengketaan menimbulkan kecemasan tentang kemungkinan pecahnya konflik terbuka. Lebih-lebih karena China dan Jepang sama-sama tidak mau melangkah surut. Kedua negara, sebagai kekuatan besar ekonomi dunia, terkesan juga ingin memperlihatkan kemampuan masing-masing dalam bidang militer.

Ketegangan saat ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu. China masih menyimpan trauma atas kekejaman pendudukan Jepang tahun 1930-an dan 1940-an. Trauma serupa dirasakan Korea dan negara Asia Tenggara. Sensitivitas hubungan sering muncul jika pemimpin Jepang mengunjungi Kuil Yasukuni, yang didedikasikan untuk tentara Jepang yang gugur dalam Perang Dunia II.

Persoalan bertambah sensitif karena Jepang menyusun buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, yang tidak mengakui kekejaman yang dilakukan pasukannya menjelang dan pada saat Perang Dunia II di sejumlah negara Asia. Khusus dengan China, ketegangan hubungan bertambah karena persengketaan pulau.

Sangat diharapkan persengketaan kedua negara diselesaikan secara damai melalui perundingan. Harganya terlalu mahal jika persengketaan diselesaikan dengan kekuatan militer. Perang tidak hanya merugikan kepentingan kedua negara, tetapi juga membahayakan stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Asia.

Ajakan Jepang mengadakan dialog merupakan isyarat positif bagi penyelesaian damai. Meski China masih menolak dan ragu berdialog, ajakan Jepang sudah ikut membantu meredakan ketegangan.

(Tajuk Rencana Kompas cetak, 29 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tekanan, Tantangan, dan Peluang (Jim Brumby)

Oleh: Jim Brumby

Minggu lalu banyak negara, mulai dari Brasil hingga India, mengalami gejolak pasar. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling terpukul. Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan pemerintah, Jumat lalu, mencerminkan respons pemerintah yang cukup tanggap. Apakah paket kebijakan ini akan mumpuni untuk mengatasi kegelisahan pasar dan menstabilkan perekonomian?

Banyak yang berharap demikian. Dalam beberapa tahun terakhir, pasar negara berkembang, seperti Indonesia, telah merasakan dampak maraknya krisis yang menimpa sejumlah negara lain, seperti di Eropa. Rendahnya tingkat suku bunga di Eropa dan Amerika Serikat, serta Jepang, telah menguntungkan pasar modal, seperti Indonesia, sehingga mengurangi biaya pendanaan di negara berkembang. Setelah krisis 2008/2009 mereda, pasar dan harga komoditas pun bangkit kembali.

Tahun ini, tren perbaikan tampak terhenti. Pertumbuhan ekonomi di China yang semakin lemah, serta permintaan komoditas yang semakin merosot, mengakibatkan penurunan harga komoditas. Harapan bahwa Bank Sentral AS, Federal Reserve, akan segera mulai mengurangi stimulus moneter meningkatkan tekanan pada biaya pinjaman global, dan berdampak negatif pada arus modal ke pasar negara berkembang.

Terdapat beberapa faktor lain yang turut memengaruhi tren ini. Di negara-negara seperti India, Brasil, dan Indonesia, peningkatan defisit neraca berjalan, inflasi dan prospek pertumbuhan, serta kebijakan yang diambil sebagai tanggapan terhadap tantangan ini, semua kini lebih berperan. Akibat adanya ketidakpastian atas prospek moneter kebijakan AS, perkembangan atau data yang negatif cenderung memicu arus modal untuk keluar serta meningkatkan kebergejolakan pasar.

Di Indonesia, gejolak pasar tersebut mencerminkan kekhawatiran investor bahwa kebutuhan pembiayaan akan membengkak dan kemungkinan semakin sulit untuk terpenuhi bila tak diiringi dengan adanya penyesuaian yang memadai. Inflasi juga melejit pada bulan Juli. Walaupun perkembangan ini bersifat sementara akibat pengurangan subsidi BBM, para investor tetap memantau perkembangan ini dengan waswas.

Memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan adalah tantangan pertama yang dihadapi. Pilar pertama dari paket kebijakan berfokus pada tantangan ini, dan isinya secara umum menawarkan insentif fiskal bagi perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor di sektor padat karya, serta relaksasi kuota untuk ekspor mineral. Untuk menurunkan impor minyak, penggunaan biodiesel akan ditingkatkan.

Pilar kedua berfokus pada mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, termasuk penawaran insentif fiskal untuk sektor-sektor padat karya yang ditujukan untuk membatasi angka pemutusan hubungan kerja. Khususnya, revisi yang diusulkan membahas mekanisme penentuan upah minimum.

Menurunkan inflasi adalah pilar ketiga. Pilar ini sangat penting karena penggantian kuota untuk impor produk daging sapi dan hortikultura dengan tarif akan menjadi sangat penting. Pilar keempat bertujuan mendukung investasi, pertumbuhan, dan aliran modal. Pilar ini mencakup langkah-langkah penyederhanaan perizinan, percepatan persetujuan revisi daftar negatif investasi, dan debottlenecking proyek-proyek investasi strategis. Semua langkah tersebut patut disambut baik.

Sementara usulan mencakup berbagai insentif fiskal, rinciannya harus dipelajari dengan saksama. Usulan ini menggunakan proyeksi pemerintah, yang menargetkan defisit rendah sebesar 2,4 persen dari PDB untuk 2013. Pemerintah sendiri memiliki cadangan kas cukup besar. Selain itu, tersedia pendanaan 5 miliar dollar AS untuk pembiayaan kontingen dari mitra pembangunan, termasuk Bank Dunia. Cadangan tersebut dapat membantu menutup kebutuhan pembiayaan pemerintah.

Kuncinya di konsistensi
Kebijakan yang diterapkan pemerintah tampaknya cukup baik, dan berfokus pada penyebab utama timbulnya tekanan yang ada saat ini. Namun, apakah kebijakan tersebut akan berdampak secara signifikan, terutama dalam jangka pendek, pada defisit transaksi berjalan atau aliran modal? Informasi tentang isi substantif kebijakan tersebut dapat membantu menjawab pertanyaan ini. Namun, rincian kebijakan, sejauh mana kebijakan tersebut dinilai konsisten di sejumlah lembaga pemerintahan, dan kualitas implementasi kebijakan-kebijakan tersebut, juga menjadi sangat penting.

Tindakan kebijakan stimulus fiskal dan moneter dapat meningkatkan kepercayaan investor. Misalnya, lanjutan reformasi subsidi energi, termasuk langkah-langkah menuju mekanisme penyesuaian harga yang lebih mudah diprediksi dan lebih transparan, dapat meningkatkan pengelolaan fiskal.

Penting juga untuk memastikan kredibilitas asumsi makro anggaran 2014, serta konsistensi antara kebijakan fiskal dan tujuan mempersempit defisit transaksi berjalan. Dorongan besar pada perbaikan administrasi penerimaan juga dapat mengurangi kebutuhan pembiayaan, dan perbaikan lebih lanjut dalam pelaksanaan anggaran infrastruktur dapat membantu mendukung pertumbuhan. Untuk kebijakan moneter, pengetatan lebih lanjut kebijakan moneter melalui
suku bunga fasilitas kebijakan atau deposit mungkin diperlukan, terutama karena hal ini merupakan sinyalemen pasar yang penting.

Perlu dicatat bahwa reformasi yang telah diusulkan membahas hal-hal sensitif, seperti kuota daging sapi dan upah minimum. Ini merupakan perkembangan signifikan. Pemerintah dapat memanfaatkan peluang ini untuk bergerak maju menuju perbaikan kebijakan yang dapat mendukung tujuan pembangunan jangka menengah di Indonesia, termasuk kebijakan yang dapat lebih melindungi masyarakat miskin dan rentan.

Akhirnya komunikasi pesan kebijakan sangatlah penting. Momentum, seperti peluncuran paket kebijakan serta pemaparan rincian kebijakan moneter dan fiskal di masa depan, amat membutuhkan kejelasan, konsistensi, kredibilitas, dan koordinasi kebijakan. Hal-hal seperti ini terkadang menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Di tengah kekhawatiran pasar saat ini, risiko kegagalan mengatasi tantangan ini dapat meningkatkan keresahan.

(Jim Brumby, Ekonom Utama Bank Dunia Indonesia)

(Kompas cetak, 29 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menata Kembali Otda (Farouk Muhammad)

Oleh: Farouk Muhammad 

Indonesia terlalu besar dan beragam untuk hanya dikendalikan oleh satu pemerintahan pusat. Keanekaragaman yang luar biasa ditambah kondisi alamiah sebagai negara kepulauan merupakan realitas obyektif keindonesiaan.

Realitas tersebut telah memengaruhi para pendiri negara untuk memberlakukan desentralisasi sesaat setelah merdeka, ditandai dengan kelahiran UU No 1 Tahun 1945. Demikian pula para elite kekuasaan pada era Reformasi yang memandang sejumlah realitas itu sebagai alasan utama mengapa Indonesia perlu otonomi daerah. Namun, di lain pihak, Indonesia juga terlalu semrawut kalau diurus oleh begitu banyak orang dengan latar visi dan kepentingan yang sangat variatif. Bagaimana tidak, sejak 1999 sampai 2009, jumlah daerah otonom berkembang dari 26 provinsi, 223 kabupaten, dan 58 kota menjadi 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 91 kota. Jadi, dalam 10 tahun ini terjadi pemekaran 10 provinsi, 163 kabupaten, dan 33 kota. Itu berarti ada 523 kepala daerah yang memiliki visi dan kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaan demikian dipaksakan untuk mengurus rumah Indonesia.

Pengendalian pusat yang lemah serta aneka latar visi dan kepentingan lokal tersebut membuat bangunan Indonesia itu miring ke kiri, ke kanan, atau belum menemukan bentuknya yang stabil. Kondisi ini hanya melanggengkan sejumlah penyakit sosial-ekonomi (kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan) yang berlawanan dengan mandat konstitusi, yakni tercapainya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Dengan potret itu, tak berlebihan jika dikatakan konsepsi dan implementasi otonomi di Indonesia belum berhasil dan masih terus mencari bentuknya yang ideal. Hal ini sejalan dengan hasil studi Mawhood di negara-negara sedang berkembang pada kawasan Afrika tropis (1987) tentang hambatan mendasar bagi implementasi kebijakan desentralisasi (bdk: Syarif Hidayat, 2005).

Pertama, struktur internal dan manajemen pengelolaan pemerintah daerah. Hal ini tecermin dari praktik-praktik mismanajemen atau bahkan nirmanajemen pemerintahan serta tumpang tindih kewenangan antartingkat pemerintahan, antara pemerintah pusat dan daerah, antara provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini perlu dibenahi secara serius yang pembenahannya bisa saja secara fundamental menyangkut sistem otonomi dalam NKRI sebagaimana digariskan oleh konstitusi.

Kedua, terbatasnya kemampuan keuangan yang dimiliki pemda. Kenyataan memperlihatkan bahwa sebagian besar pemda kurang memiliki kemampuan dalam membiayai implementasi program- program yang telah ditetapkannya. Jika mau jujur, hampir semua daerah di Indonesia tak ada yang bisa "hidup" hanya dari pendapatan asli daerah, selain DKI Jakarta. Tidak heran, pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah sangat bergantung pada alokasi anggaran pusat.

Ketiga, rendahnya keterampilan yang dimiliki para personel penyelenggara pemerintah daerah. Banyak fakta yang menunjukkan hubungan darah (nepotisme) dan uang (korupsi) merupakan daya tarik orang untuk berada dalam ruang-ruang birokrasi. Sementara kompetensi dan profesionalisme bukanlah aspek penting yang patut dapat perhatian. Akibat dari gejala ini, daerah miskin inovasi dan kreativitas dalam pembangunan. Alih-alih memikirkan pembangunan, elite daerah cenderung cari untung dari proyek-proyek pembangunan. Alih-alih melayani masyarakat, elite daerah justru minta dilayani bak raja-raja kecil daerah. Rendahnya kompetensi dan profesionalisme pejabat dan aparatus daerah adalah potret suram birokrasi, khususnya di negara berkembang.

Mencari solusi

Berkaca pada permasalahan dan hambatan mendasar di atas, perlu bagi kita mendesain ulang otonomi dan praktik pemerintahan yang selama ini berjalan agar lebih terarah dan produktif. Pemikiran berikut dapat jadi bahan diskusi sebagai bagian dari ikhtiar mencari solusi implementasi otonomi di Indonesia.

Pertama, menyangkut efektivitas otonomi. Desain otonomi Indonesia berdasarkan tafsir atas Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang menyematkan status otonomi pada provinsi dan kabupaten/kota serta kedudukan provinsi daerah administratif pemerintah berdampak pada ambiguitas manajemen pemerintahan secara nasional. Hal ini paling tidak mencuat dalam pembahasan RUU Pilkada, di mana pemerintah mengusulkan gubernur dipilih DPRD, dengan pertimbangan titik tekan (lokus) otonomi dan pelayanan publik bukan pada tingkat provinsi, tetapi kabupaten/kota sehingga yang dipilih langsung oleh rakyat cukup bupati/wali kota.

Dengan kata lain, kebutuhan kita saat ini adalah menentukan lokus otonomi pada satu level, apakah hanya provinsi atau hanya kabupaten/kota. Dengan penetapan satu lokus otonomi, baru kita bisa bicara tentang status (otonom atau administratif), kedudukan (kepala daerah), dan sistem perekrutan kepala daerah.

Dalam perspektif ini, ada dua alternatif yang bisa didiskusikan. Pertama, menetapkan satu tingkat otonomi di tingkat provinsi, sementara kabupaten/kota adalah daerah administratif provinsi sebagaimana berlaku di wilayah DKI saat ini. Kedua, kalau kita membaca konstitusi saat ini, sejatinya secara implisit otonomi yang kuat (lokus otonomi) adalah otonomi provinsi. Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, NKRI dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, di mana masing- masing daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Rumusan ketentuan UUD ini justru memungkinkan penafsiran "otonomi berjenjang", artinya otonomi dari negara diletakkan pada provinsi dan dalam provinsi ada "otonomi kabupaten/kota". Jadi, di mana lokus otonomi? Berdasarkan tafsir ini ada pada provinsi.

Perlu dipahami, meletakkan lokus otonomi (negara) pada tingkat provinsi tidaklah berarti harus memperkuat SKPD pada tingkat provinsi. Bisa saja otonomi pada provinsi (penjabaran kebijakan pusat, pengarahan, dan pengawasan), tetapi operasionalisasi otonomi pada dasarnya ada pada kabupaten/kota. Sebagai daerah otonom, provinsi mengacu pada kebijakan nasional dan mendapatkan pengawasan atau supervisi dari pemerintah pusat.

Kedua, terkait mekanisme pemilihan kepala daerah. Dengan lokus otonomi di level provinsi, konsekuensinya gubernur dipilih langsung oleh rakyat sehingga memiliki dampak legitimasi kuat, sementara bupati/wali kota dipilih DPRD. Keuntungan langsung dari pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD akan terjadi efisiensi besar-besar atas dana penyelenggaraan pilkada dan mendorong efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Ketiga, terkait pembentukan daerah otonom baru. Meski disadari kemampuan keuangan daerah terbatas, rupanya hal ini tak menyurutkan semangat pemekaran di sejumlah daerah. Dus, sebagian besar semangat dan inisiatif pemekaran tak didasarkan pada kebutuhan riil untuk tujuan kesejahteraan dan mendekatkan jangkauan pelayanan publik. Sebaliknya pemekaran didasarkan pada motif meraih oportunitas ekonomi dan kekuasaan bagi sebagian kecil elite. Alhasil, pemekaran menghasilkan pemborosan yang menggerogoti kemampuan keuangan pusat ataupun daerah, sementara hasilnya jauh dari harapan. Oleh karena itu, sangat perlu desain yang memberikan kejelasan ide pemekaran ini karena hal ini memiliki konsekuensi anggaran yang tidak kecil. Dalam hal ini, pemekaran dapat dilakukan atas kepentingan negara dan atas aspirasi daerah di mana tanggung jawab anggaran mengikuti secara konsekuensional.

Dengan desain otonomi berjenjang, lokus otonomi ada pada provinsi, pemekaran daerah yang relevan ada pada tingkat provinsi. Sementara untuk pemekaran kabupaten/kota secara selektif ditentukan oleh provinsi sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah. Provinsi tak hanya mengusulkan, tetapi juga harus bertanggung jawab atas pembiayaannya karena dana transfer daerah terbatas. Persetujuan seluruh kabupaten/kota mutlak diperoleh karena pemekaran akan mengurangi porsi dana transfer bagi tiap-tiap kabupaten/kota di provinsi. Bisa saja persetujuan pemekaran ditempuh dengan referendum provinsi sehingga menutup celah pemaksaan kehendak kelompok-kelompok tertentu yang "memanipulasi aspirasi" seperti acapkali terjadi selama ini.

Keempat, evaluasi atas implementasi otonomi menegaskan betapa penting kualitas pemimpin dan kepemimpinan daerah. Pada dimensi kultural, perlu ditumbuhkan kesadaran kolektif, terutama di kalangan parpol dan independen, jangan main-main dengan kualitas kepemimpinan daerah karena sejatinya ia kawah candradimuka kepemimpinan nasional dan muara dari kemajuan dan kesejahteraan daerah. Pada dimensi regulasi, UU harus mengatur tegas persyaratan calon kepala daerah harus memenuhi kualifikasi maksimal karena mereka sejatinya primus inter pares, orang terpilih di antara masyarakatnya sehingga parpol dituntut memajukan calon yang bukan saja punya potensi menang (semata-mata atas dasar popularitas dan kekuatan finansial), melainkan juga mengedepankan rekam jejak, kualitas, dan kapabilitas sebagai pemimpin.

Atas dasar itu, DPD mengusulkan, dalam forum pembahasan RUU Pilkada yang sedang berjalan di DPR, diberlakukan peningkatan syarat calon kepala daerah, mulai dari syarat pendidikan, kemampuan manajemen pemerintahan daerah, dan pengalaman dalam pekerjaan terkait pelayanan publik. Petahana juga bersih dari kasus korupsi yang dilakukan bawahan (secara struktural) sebagai bentuk tanggung jawab manajerial. RUU harus menjamin pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD dengan kualitas lebih baik. Kekhawatiran akan praktik politik uang dapat diantisipasi dengan penguatan program pemberantasan korupsi sejak dini dalam prosesnya.

Bagi DPD, partisipasi politik atas dasar afiliasi seseorang terhadap tokoh atau incumbent (politik dinasti) tak bisa dibatasi karena bisa melanggar hak asasi seseorang, apalagi jika yang bersangkutan memiliki kompetensi dan profesionalisme. Yang bisa dibatasi adalah kondisinya, bukan hubungan atau afiliasi seseorang terhadap orang lain. Artinya, jika seorang bakal calon kepala daerah punya hubungan darah dengan petahana, maka karena kondisinya tersebut, UU bisa membatasi siapa yang dapat melanjutkan proses pencalonan. Kita menyadari, implementasi otda belum sesuai harapan terwujudnya kesejahteraan nasional. Muara pembahasan di atas adalah bagaimana mengefektifkan implementasi otda dengan menetapkan satu lokus otonomi di tingkat provinsi, mengikuti lokus otonomi maka pilkada dilaksanakan hanya untuk memilih gubernur, pemekaran kabupaten/kota jadi tanggung jawab provinsi. Selanjutnya memantapkan kualitas kepemimpinan daerah sehingga mampu mewujudkan esensi otda, yaitu kesejahteraan masyarakat.

(Farouk Muhammad, Ketua Tim Kerja RUU Pilkada DPD; Guru Besar Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana pada UI/STIK-PTIK)
 
(Kompas cetak, 29 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pendidikan di Kongres Diaspora (Doni Koesoema A)

Oleh: Doni Koesoema A

Reformasi pendidikan nasional tidak dapat diharapkan dari rezim yang berkuasa sekarang. Rezim telah berlaku pongah, abai terhadap suara rakyat, serta tidak serius mengurus pendidikan.
Itulah pesan utama dari diskusi Task Force Pendidikan dalam Kongres Indonesia Diaspora II di Jakarta, Minggu, 18 Agustus 2013. Paparan dari juru bicara pemerintah, seperti proyeksi peningkatan ekonomi, banyaknya pengenyam pendidikan tinggi, meningkatnya kualitas pendidikan, serta janji-janji dan asumsi generasi emas, sudah tidak lagi membuat peserta terpukau.

Bahkan, paparan yang berisi janji langitan itu dikonfutasi dengan fakta-fakta tentang hilangnya nasionalisme di sekolah-sekolah negeri, kacau-balaunya pelaksanaan Kurikulum 2013, kemandirian Panti Asuhan Roslin di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kreativitas warga Banten, di tengah situasi kemiskinan yang mampu memaksimalkan potensi lokal, yang semua itu jauh dari dukungan pemerintah. HAR Tilaar, pendidik senior Indonesia, bahkan mengatakan bahwa dalam presentasi perwakilan pemerintah telah terjadi pembohongan publik.

Tiga pesan
Diskusi dan debat tentang pendidikan nasional saat ini sudah tidak akan efektif lagi. Masyarakat sudah lelah dengan banyak teori. Berharap kepada pemerintah seperti mengharapkan jatuhnya rembulan.

Namun, Kongres Diaspora Indonesia II telah menyadarkan bahwa siapa pun orangnya, di mana pun kedudukannya, baik yang diaspora maupun yang "diaspora" di negeri sendiri, perlu menyadari tugas dan tanggung jawabnya untuk memajukan bangsa ini. Hal ini karena tantangan ke depan begitu dahsyat.

Ada tiga pesan penting dari Kongres Diaspora Indonesia yang perlu dijadikan pemikiran dan segera direalisasikan sebagai bagian tanggung jawab setiap warga yang masih memiliki harapan, cerdas, dan terdidik (well-educated).

Pertama, kita perlu membentuk Dewan Pendidikan Nasional yang bersifat independen. Ini untuk menjaga agar kebijakan pendidikan terawasi dan tidak menjadi ajang rebutan kekuasaan dan uang oleh para politisi yang telah mati nurani. Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bersifat independen dan merupakan partisipasi publik dalam pengembangan kebijakan pendidikan nasional.

Kedua, perlu diciptakan sebuah budaya belajar nirdinding melalui pemanfaatan berbagai macam media—baik yang tradisional, cetak, elektronik, maupun digital—agar budaya belajar dan kegairahan belajar dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Dalam penciptaan budaya belajar multimedia, multidimensi ini, peranan pemerintah semestinya hanya menjadi fasilitator yang memberikan ruang bagi genius lokal agar bertumbuh secara kontekstual bagi pemberdayaan dan transformasi sosial masyarakat sekitar.

Ketiga, tantangan pendidikan yang begitu luas dan besar tidak bisa diatasi secara sektarian dan parsial. Setiap individu warga negara dan lembaga, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, mesti membangun semacam jembatan yang menghubungkan satu dengan yang lain melalui berbagai macam media. Langkah ini diperlukan tak lain agar sinergi bagi realisasi pembentukan masyarakat Indonesia yang berkeadilan, berbudaya, dan berkelanjutan ini dapat segera terwujud.

Tiga kritik
Tiga pesan di atas secara tepat memotret dan merefleksikan kegagalan kebijakan pemerintah dalam menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitasnya. Proses "pemaksaan" Kurikulum 2013—baik dari segi pengembangan naskah akademik, kerangka teoretis, kinerja tim teknis, seperti pembuatan buku pelajaran, sinkronisasi aturan dan regulasi, maupun praksis di lapangan yang hampir semuanya dilakukan secara tergesa-gesa, seolah-olah bulan esok hari hendak menabrak bumi pertiwi—merupakan sebuah langkah mundur pengembangan pendidikan di Indonesia. Jika dibentuk secara benar, sesuai dengan amanah UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, hal itu akan dapat menjadi motor perubahan pendidikan Indonesia yang menjaga stabilitas kebijakan pendidikan, sehingga tidak mudah diperalat dan dimanipulasi para politisi yang berganti wajah setiap lima tahun.

Pesan kedua merupakan sebuah kritik keras bagi para pemikir dan praktisi pendidikan tradisional yang masih percaya bahwa otoritas akan memainkan kekuasaan dalam menguasai ilmu. Ilmu adalah kekuatan, dan itu memang benar.

Namun, setiap orang pada dasarnya terlahir sebagai pembelajar dan karena itu, mereka bisa berilmu, mereka bisa berkuasa, dan bisa mandiri dalam bertumbuh dan berkembang. Teknologi telah meretas batas ruang dan waktu bagi proses belajar sehingga terjadi akuisisi kekuatan itu secara tersebar melalui berbagai macam media. Kukuh memegang kekuasaan, seolah warga negara tidak memiliki kuasa, hak, untuk ikut serta dalam kinerja pendidikan perlu segera ditinggalkan.

Pesan ketiga menyiratkan pemerintah telah salah memahami bahwa perubahan pendidikan itu seolah berjalan secara linear, yaitu apabila sudah ada kurikulum, ada buku pelajaran dan panduan, ada pelatihan guru, seolah harapan dan janji tentang generasi emas itu akan terjadi. Logika berpikir tentang perubahan pendidikan yang linear ini sudah banyak ditinggalkan para teoretikus perubahan pendidikan kontemporer, seperti Andy Hargreaves, Dean Fink, dan Michael Fullan. Mereka telah melihat bahwa Jalan Keempat perubahan pendidikan, yang intinya mengatakan pendidikan akan berkelanjutan apabila melibatkan dan didukung semua warga, sistem kebijakan yang integral, efektivitas
penggunaan anggaran, pemberdayaan lokal genius, serta perlunya kepemimpinan yang memiliki hati dan komitmen bagi perubahan.

Kongres Diaspora Indonesia II telah membuka cakrawala pemikiran, pembelajaran bagi bangsa ini, yang warganya tersebar di seantero jagat. Daya luar biasa, berupa pemikiran, pengetahuan, keterampilan, komitmen, dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang menjaga kemartabatan umat manusia dan peradaban inilah, menurut saya, merupakan daya luar biasa yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di antara bangsa-bangsa lain.

Harapan besar ini tidak lagi dapat diandalkan kepada pemerintahan sekarang, tetapi pada daya-daya reformasi para diaspora itu sendiri, dan komitmen calon pemimpin bangsa ini bagi pendidikan Indonesia pada masa depan.

(Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan)

(Kompas cetak, 29 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Antisipasi Gejolak Ekonomi (Tajuk Rencana Kompas cetak)

Kian meningkatnya ketidakpastian ekonomi akhir-akhir ini memberi sinyal pentingnya bagi kita bersiap-siap menghadapi gejolak lebih serius ke depan.
Menteri Keuangan sendiri menyiratkan kondisi terburuk belum lewat dan masih akan berlanjut setidaknya hingga 2014. Beberapa pekan terakhir kita menyaksikan IHSG dan rupiah terus meluncur ke bawah meski pada sesi kedua siang kemarin, IHSG bergerak di teritori positif.

Indeks saham dan nilai tukar diprediksi melemah, setidaknya hingga September dengan adanya kepastian terkait pengurangan stimulus di AS. Tekanan terhadap IHSG dan rupiah bersumber dari defisit perdagangan dan neraca transaksi berjalan (NTB) yang diperkirakan belum teratasi dan masih akan memburuk hingga 2014. Tekanan inflasi masih tinggi.

Impor kemungkinan masih sulit ditekan, mengingat 70 persen bahan baku/barang modal industri. Kita juga gagal menekan impor BBM/minyak. Suplai dollar AS tetap ketat, terutama dengan defisit perdagangan/NTB dan menurunnya arus modal masuk, sementara kebutuhan dollar AS sangat tinggi untuk impor, bayar utang, dan lain-lain.

Sejumlah pihak bahkan menyebut perkiraan potensi arus modal keluar hingga 50 miliar dollar AS dengan ditempuhnya pengurangan stimulus di AS. Faktor spekulan ikut memperkeruh. Di luar itu ada sejumlah faktor ketidakpastian eksternal yang bisa memunculkan tekanan baru, termasuk spekulasi aksi militer AS ke Suriah yang bisa berdampak terhadap dollar AS dan harga minyak.

Untuk meredam gejolak, BI sudah dua kali menaikkan bunga acuan dan menempuh kebijakan lain untuk pengaruhi pasar valas. Pekan lalu, pemerintah meluncurkan empat paket kebijakan, tetapi juga tak banyak pengaruh ke pasar. Jangka pendek, kita melihat situasi masih labil.

Semua ini isyarat masih absennya langkah terobosan jangka pendek yang kredibel dan menenangkan pasar. Kita belum melihat sinergi solid pemerintah-BI dalam kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan yang ditempuh sering dianggap telat, hasilnya tak bisa segera dan tak kena jantung persoalan. Selain ketepatan dan kesigapan langkah, kredibilitas implementasi sering kali jadi persoalan.

Dengan situasi sulit saat ini, pelambatan ekonomi tak terhindarkan. Tantangan kita, bagaimana mencegah kontraksi tajam yang bisa berdampak pada PHK besar-besaran. Presiden mengakui ada masalah dalam perekonomian. Ini momentum serius untuk membenahi. Krisis saat ini terjadi karena pemerintah tak mengerjakan PR-nya untuk mengatasi sumber penyakit dan kelemahan laten ekonomi dan memilih menunda-nunda hingga terjadi krisis.

Kini saatnya mengawal implementasi paket kebijakan. Pemerintah dan BI harus berada di garis depan dalam menjamin berjalannya program ini. Hanya dengan demikian fundamental ekonomi serta sentimen positif dan kepercayaan bisa dipulihkan. Memangkas proyek dan perilaku boros, memberdayakan BUMN, dan menindak pejabat yang menimbun dollar AS bisa menjadi titik awal.

(Tajuk Rencana Kompas cetak, 29 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 28 Agustus 2013

SURVEI KOMPAS (3-HABIS) Jika Jokowi Tidak Maju Jadi Capres? (BAMBANG SETIAWAN)

Oleh: BAMBANG SETIAWAN

Joko Widodo menjadi sosok penentu yang akan memainkan peranan dominan dalam percaturan Pemilihan Umum 2014, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif. Namun, apakah realitas politik akan memosisikan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai calon presiden?

Dengan mempelajari dua kali survei kepemimpinan yang dilakukan Litbang Kompas, Desember 2012 dan Juni 2013, sulit menafikan kemunculan Joko Widodo (Jokowi) menjadi sosok yang dominan dalam wacana Pemilu 2014. Popularitas Jokowi untuk terpilih menjadi presiden jauh melampaui tokoh lainnya sekalipun ia belum menyatakan kesediaan mencalonkan diri.

Jika dilihat berdasarkan pertumbuhan basis massa (sebuah elemen penting dalam menduga tren kekuatan kandidat), hanya ada dua tokoh yang berpeluang besar menjadi presiden mendatang: Jokowi dan Prabowo Subianto. Survei menunjukkan, peningkatan popularitas keduanya linear dengan peningkatan perolehan partai politik. Adapun dukungan kepada tokoh dan partai lainnya relatif stagnan.

Dukungan terhadap Jokowi naik sebesar 14,8 persen selama enam bulan dan suara untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga naik 10,3 persen. Demikian juga dengan Prabowo, popularitasnya meningkat sebesar 1,8 persen dan dukungan kepada Partai Gerindra naik 6,9 persen selama enam bulan.

Sementara itu, meski popularitas Aburizal Bakrie (ARB) juga menunjukkan gejala naik, suara Partai Golkar cenderung stagnan, bahkan penolakan terhadap ARB menguat.

Melihat tren yang terjadi, sulit mengingkari bahwa Jokowi telah menjadi "berkah" bagi PDI-P. Jika dicalonkan partai itu, kemungkinan besar Jokowi akan menjadi presiden mendatang dan PDI-P akan jadi kekuatan terbesar.

Melihat antusiasme yang tecermin dari hasil survei, per- gantian generasi kepemimpinan tampak sudah di depan mata. Namun, apakah Jokowi akan maju sebagai calon presiden (capres) pada Pemilu 2014?

Inilah pertanyaan yang sulit dijawab karena proses politik dapat menghasilkan realitas berbeda. Pertama, terkait dengan kendaraan politik. Posisi Jokowi yang bukan sebagai pengambil keputusan utama (ketua partai) membuatnya sangat bergantung pada kebijakan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Jika Megawati maju sebagai capres, hampir tidak mungkin Jokowi maju meskipun dengan kendaraan partai lain mengingat kesantunan politik yang selama ini dijaganya.

Kemungkinan bagi Megawati untuk menggandeng Jokowi sebagai calon wakil presiden, meskipun terbuka peluang untuk menang, tidak terlalu menguntungkan Jokowi. Selain menepiskan terjadinya koalisi, terserapnya Jokowi ke dalam pekerjaan wakil presiden (wapres) akan mengurangi aksinya di panggung riil yang selama ini melesatkan popularitasnya. Dengan melihat kecenderungan ini, tampaknya pilihan untuk tetap menjadi Gubernur DKI akan dipertahankan, kecuali ada tekanan politik.

Bagi Megawati, tanpa didampingi Jokowi, tampaknya akan sulit memenangi pilpres meskipun suara untuk partainya naik signifikan. Resistansi masyarakat yang cukup tinggi terhadap Megawati akan menjadi batu sandungan terberat.

Jika Jokowi dicalonkan, peluang untuk mendapatkan dukungan terbesar, secara matematis, adalah ketika dipasangkan dengan Prabowo. Namun, resistansi yang membesar dapat menjadi hambatan bagi keduanya. Potensi dukungan yang membesar, tetapi dengan hambatan kecil, tampaknya lebih tergambar pada pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (Lihat Grafik).

Jika Jokowi tidak dicalonkan sebagai presiden atau wapres, peluang paling besar untuk menjadi presiden ada pada Prabowo. Ia hampir tidak ada hambatan kendaraan partai, kecuali harus berkoalisi untuk pencalonannya. Langkah Prabowo hanya bisa terbendung jika tidak mendapatkan koalisi.

Dengan meniadakan faktor Jokowi, yang sangat diuntungkan berikutnya adalah Aburizal Bakrie. Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, peluangnya akan lebih terbuka, terlebih jika dapat menghentikan peluang lawan dengan menyatukan koalisi besar ke kubunya.

Konvensi Demokrat
Proses politik juga akan sangat ditentukan oleh hasil konvensi capres Partai Demokrat. Apabila konvensi dapat memunculkan figur yang tepat, bukan tidak mungkin pertarungan papan atas harus dikalkulasi ulang. Dari nama-nama yang diundang ikut konvensi, sejauh ini hanya mantan wapres Jusuf Kalla (JK) yang masuk dalam lima besar.

Jika Demokrat memunculkan nama JK dan berhasil mendapatkan wakil yang tepat serta mampu menghimpun sejumlah partai koalisi, pertarungan paling ketat mungkin terjadi antara JK dan Prabowo—seandainya tanpa Jokowi. Pendukung Jokowi, yang kecewa dengan tidak majunya calon yang diharapkan, besar kemungkinan mengarahkan pilihan kepada kedua sosok itu. Keduanya mewakili gambaran karakteristik pemimpin yang dibutuhkan saat ini, yakni tegas, berani, dan cepat mengatasi masalah.

Kedua nama ini juga muncul dengan kuat dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara mendalam terhadap kalangan akademisi, pengusaha, LSM, dan unsur pimpinan media massa yang dilakukan Litbang Kompas di 10 kota besar.

Proses politik juga akan sangat ditentukan bagaimana wacana kehadiran Jokowi ke panggung politik nasional dibentuk. Sejauh ini ada dua pandangan berbeda. Pertama, menganggap kepemimpinan Jokowi belum cukup matang. Sebaiknya membuktikan dan menuntaskan dulu problem Jakarta. Pandangan ini cenderung mengerem Jokowi untuk masuk ke dalam putaran Pemilu 2014.

Kedua, menganggap bahwa langkah-langkahnya yang hampir dua periode memimpin Solo dan hampir setahun memimpin Jakarta telah cukup membuktikan kredibilitasnya untuk maju sebagai pemimpin nasional. Mereka juga berpandangan, problem Jakarta hanya dapat diselesaikan cepat jika ia diberi kekuasaan lebih tinggi.

Pandangan cukup santer juga disuarakan kalangan luar Jawa yang menginginkan Jokowi tidak hanya menjadi milik warga Jakarta dan kapabilitasnya sebaiknya bermanfaat untuk membereskan masalah nasional. Dalam dua kali survei, gelombang yang berpijak pada pandangan kedua tampaknya kian besar. Namun, politik itu penuh dinamika, semua bisa berubah. Penentuan capres nanti masih ditentukan hasil pemilu legislatif yang akan berlangsung pada April 2014. (Litbang Kompas)

(Kompas cetak, 28 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Nasionalisme, Disiplin, dan Etos Kerja (Sayidiman Suryohadiprojo)

Oleh: Sayidiman Suryohadiprojo 

Ketika bangsa Indonesia memperingati 68 tahun kemerdekaannya, patut sekali ditandaskan pentingnya nasionalisme, disiplin nasional, dan etos kerja.
Sekarang bangsa Indonesia jauh sekali dari tujuan nasional yang ia tetapkan ketika memper- juangkan kemerdekaannya. Nasionalisme adalah sikap hidup dan semangat yang mengusahakan yang terbaik bagi bangsa kita agar selalu mendapat tempat terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia. Indonesia menjadi kebanggaan seluruh rakyatnya.

Harga diri setiap manusia Indonesia sangat dipengaruhi keadaan bangsanya, tempat dan posisi bangsanya di tengah umat manusia. Sebab itu, nasionalisme menjadi dorongan kuat untuk selalu mengusahakan yang terba- ik bagi bangsanya, bahkan kesediaan berkorban untuk kepentingan bangsa apabila diperlukan. Sikap hidup dan semangat itulah yang memenuhi kalbu para pejuang kemerdekaan. Perjuangan itu memaksa penjajah Belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia.

Setelah 68 tahun merdeka, ter- nyata kondisinya jauh dari membanggakan, malah seperti bangkrut. Obat paling tepat untuk mengubah itu adalah menggelorakan kembali sikap dan semangat itu untuk membawa bangsa bangkit mencapai yang terbaik.

Pasti ada yang menyangsikan kemungkinan itu terjadi sebab korupsi berlangsung di segala lini oleh kalangan kaum politik, sikap keras radikal merusak bangsa sendiri, hilangnya rasa persatuan dan solidaritas, serta konsumsi narkoba. Namun, saya yakin masih ada yang sehat kuat lahir batin dan sanggup bangkit.

Pada tahun 1945 pun tak sedi- kit yang lebih suka berpihak kepada penjajah dan tak suka melihat Indonesia merdeka. Malah boleh dibilang bahwa pada 1948 ketika Belanda menyerang Yogyakarta serta menahan presiden dan wakil presiden RI serta banyak pemimpin, para pejuang yang tak mau menyerah kepada Belanda merupakan minoritas dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mereka terus berjuang dan akhirnya membawa kemenangan. Panglima Besar Jenderal Sudirman adalah teladan paling jelas dari kalangan pejuang itu. Maka, sekarang pasti juga ada yang tak mau dikalahkan oleh kondisi bangsa yang bangkrut dan sanggup bergerak mengibarkan bendera nasionalisme Indonesia yang tangguh.

Dulu perjuangan merebut kemerdekaan, sekarang perjuangan merebut keunggulan bangsa dalam kehidupan internasional. Perjuangan merebut kemerdekaan, di samping punya aspek mental moral yang kuat, bertitik berat pada aspek adu kuat fisik. Perjuangan merebut keunggulan sekarang menuntut kekuatan mental moral yang tangguh, sekalipun juga memerlukan kekuatan fisik yang ulet dan tangguh untuk mampu berjuang lama.

Harus bisa bangkit
Keberhasilan perjuangan merebut keunggulan terutama harus diwujudkan melalui disiplin nasional dan etos kerja. Hanya dengan disiplin nasional kuat, kalangan yang minoritas dalam jumlah akan dapat menghasilkan performa yang meyakinkan, yang membawa bangsa kembali kepada jalur yang benar dan kepada kemenangan. Karena ada semangat nasional yang kuat, segenap pejuang akan sanggup dan bersedia menegakkan disiplin nasional.

Mereka akan selalu mengendalikan diri untuk bersatu, bersi- kap jujur, sungguh-sungguh dalam segala tindakan dan perbuat- an, loyal dan setia kepada tujuan nasional serta kepada organisasi dan sesama pejuang, berani karena benar untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan menjaga tegaknya hukum dan peraturan.

Disiplin nasional yang kuat itu harus menghasilkan realitas baru yang memiliki keunggulan. Maka, dengan disiplin nasional, dikembangkan etos kerja tinggi: menghasilkan performa yang tak hanya besar dalam kuantitas, juga menonjol dalam kualitas.

Etos kerja merupakan sikap selalu kerja keras dalam jumlah jam banyak, tetapi juga sikap menghasilkan kualitas terbaik. Etos kerja itu meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa, baik dalam produksi pertanian, kelautan, pertambangan, segala macam industri, maupun dalam penegakan hukum, pendidikan, dan pengembangan iptek. Juga dalam berbagai aspek budaya, seni, dan olahraga. Tak boleh dan tak akan lagi Timnas PSSI dipermalukan dengan 8-0 seperti baru kita alami, satu hal yang tak pernah terjadi sepanjang sejarah PSSI.

Para pejuang merebut keunggulan melakukan itu semua dengan melandasi perjuangannya dengan dasar negara Pancasila sebab hanya dengan jalan itu, perjuangan akan menghasilkan tujuan nasional yang telah dite- tapkan sejak perjuangan merebut kemerdekaan.

Marilah mulai bergerak di bidang dan tempat kita masing- masing dengan mengembangkan semangat nasionalisme, disiplin nasional, dan etos kerja yang makin tangguh, serta menciptakan koneksi antarkita sehingga menjadi satu gerakan nasional. Dulu kita mulai dengan BKR di tempat kita masing-masing yang kemudian berkembang menjadi TKR- TRI-TNI dan memilih Sudirman sebagai panglima besar.

(Sayidiman Suryohadiprojo, Mantan Gubernur Lemhannas)

(Kompas cetak, 28 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sektor Migas dan Korupsi (PRI AGUNG RAKHMANTO)

Oleh: PRI AGUNG RAKHMANTO

Penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (13/8) lalu, seakan jadi pembenaran atas sinyalemen yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa sektor migas sarat korupsi.
Korupsi di negeri ini sebenarnya bukan monopoli sektor migas, di sektor lain pun terjadi. Namun, karena korupsi di sektor migas (dapat) berdampak luas, hal ini menjadi faktor yang membuat sektor migas lebih disorot.

Pada 1974/1975, inefisiensi dan kesalahan pengelolaan yang terindikasi kuat sebagai korupsi terjadi di Pertamina, menyebabkan utang perusahaan pada saat itu mencapai 10,5 miliar dollar AS (Glassburner, 1976; Robison, 1986; Schulte Nordholt, 1997). Utang sebesar itu lebih kurang setara dengan 30 persen total produk nasional bruto (gross national product/GNP) Indonesia saat itu.

Dari Robison (1986), Schulte Nordholt (1997), dan ReforMiner Institute (2011) diketahui, inefisiensi yang sedemikian besar itu terjadi karena dua sebab. Pertama, faktor politik, yaitu Pertamina menjadi "sapi perah" rezim yang berkuasa dan kekuatan-kekuatan politik lain yang dominan. Kedua, karena faktor tata kelola kelembagaan migas nasional yang bermasalah. Pertamina pada saat itu memiliki kewenangan besar, tetapi lemah dalam aspek pengawasannya.

Faktor politik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, kedudukan Pertamina pada saat itu langsung di bawah presiden, sebagai wakil negara dalam melakukan kontrak bagi produksi (production sharing contract/PSC) dengan kontraktor migas yang sebagian besar adalah asing. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menjual minyak mentah dan gas bagian negara hasil dari PSC. Kasus korupsi yang diduga terjadi di SKK Migas saat ini kemungkinan besar juga disebabkan, atau setidaknya terkait, dua faktor tersebut.

Posisi dan fungsi SKK Migas sebagai lembaga pemerintah yang mengelola perputaran uang di sektor hulu migas, yang per tahun mencapai Rp 500 triliun lebih, memungkinkan terjadinya fenomena yang serupa dengan "sapi perah" pada masa lalu.

Secara politik, hal ini mengondisikan siapa yang menduduki posisi kunci di SKK Migas harus menanggung konsekuensi "melayani" penguasa dan/atau kekuatan-kekuatan politik lain yang memiliki pengaruh. Jika tidak mengikuti aturan main itu, atau tak dapat memainkan politiknya secara "cantik", seseorang akan sulit menduduki atau bertahan lama di posisi kunci SKK Migas.

Fenomena ini sangat mungkin bukan hanya terjadi pada era SKK Migas, melainkan juga sebelumnya ketika lembaga ini masih bernama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) dan Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKSP Migas). Juga dapat terjadi pada BUMN migas atau energi lainnya. Jika inefisiensi dan korupsi yang terjadi disebabkan oleh faktor politik ini, penanganannya relatif sulit. Selama kultur politik di negeri ini menjadikan sektor migas dan lembaga di dalamnya sebagai "sapi perah", selama itu pula korupsi dan inefisiensi lain di sektor migas akan terus terjadi.

Faktor kelembagaan
Kewenangan SKK Migas sebagai pengendali kegiatan usaha hulu migas, yang di dalamnya mencakup kewenangan menunjuk pihak ketiga untuk menjual minyak mentah dan gas bagian negara dengan hanya memiliki komisi pengawas, juga menggambarkan tata kelola kelembagaan hulu migas nasional yang rendah aspek pengawasan dan akuntabilitasnya. Keberadaan Komisi Pengawas SKK Migas, yang sebelumnya tidak ada dalam struktur lembaga BP Migas, lebih bernuansakan formalitas dan pencitraan saja demi mengakomodasi salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memang menyoroti lemahnya aspek pengawasan ketika membubarkan BP Migas. Esensi lemahnya pengawasan dan akuntabilitas karena sebelumnya posisi dan kedudukan BP Migas di bawah presiden masih tetap terbawa ketika BP Migas berganti nama menjadi SKSP Migas dan SKK Migas.

Meskipun faktor ini juga bersifat struktural, peminimalan korupsi atau inefisiensinya lebih mudah dilakukan. Salah satunya adalah dengan menurunkan derajat SKK Migas dari sebuah badan pemerintah menjadi hanya sebagai badan usaha milik negara, dengan kewenangan terbatas menangani kontrak kerja sama atau portofolio investasi negara dengan perusahaan migas lain untuk blok-blok migas yang tidak dikelola sendiri oleh Pertamina. Jadi, posisinya lebih kurang setara dengan Pertamina, di bawah kementerian tertentu, di bawah pengawasan dewan komisaris yang dapat terdiri atas unsur-unsur independen.

Secara relatif, bentuk badan usaha dengan indikator-indikator keuangan, seperti modal, aset, laba, biaya, investasi, dan utang, akan lebih akuntabel daripada bentuk badan pemerintah yang cenderung hanya menonjolkan besaran penerimaan negara sebagai indikator utama kinerjanya. Dengan berbentuk badan usaha, rantai birokrasi penjualan minyak mentah dan gas bagian negara juga menjadi lebih pendek. Badan usaha dapat melakukan penjualan sendiri sehingga tidak lagi memerlukan kehadiran pihak ketiga seperti sekarang.

Dalam proyeksi ke depan, bentuk badan usaha juga dapat lebih menjamin transparansi dan akuntabilitas manakala suatu saat badan usaha tersebut terbuka untuk publik. Kelembagaan sektor migas Norwegia, dengan dua perusahaan migas negara (Statoil dan Petoro) di bawah Kementerian Perminyakan dan Energi, terbukti telah mengurangi inefisiensi dan korupsi yang sebelumnya juga terjadi dalam pengelolaan sektor migas negara itu (ReforMiner, 2011). Perubahan struktural semacam ini pada gilirannya juga dapat meminimalkan pengaruh politik yang memicu terjadinya korupsi.

Dalam konteks Indonesia, perubahan struktural hanya dapat dilakukan jika pemerintah dan DPR mengganti UU Migas No 22/2001, yang sebagian besar pasalnya yang berhubungan dengan kegiatan hulu migas telah dinyatakan MK tidak memiliki kekuatan hukum tetap karena bertentangan dengan konstitusi. Itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah saat MK membubarkan BP Migas pada November 2012. Bukan sekadar ganti "baju" dari BP Migas menjadi SKSP Migas dan SKK Migas.

(PRI AGUNG RAKHMANTO, Dosen FTKE Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute)

(Kompas cetak, 28 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger