Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 31 Oktober 2017

ARTIKEL OPINI: Negara Peraturan (SUPARMAN MARZUKI)

Negara lembek (soft state) adalah negara dengan ciri banyak korupsi, pegawai negeri sipil (aparatur sipil negara)-nya pemalas, dan banyak membuat peraturan perundang-undangan (over legislation), tetapi cacat dan tidak berjalan.          

Pernyataan Gunnar Myrdal tersebut nyaris sama dengan keluhan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan bahwa negara kita terlalu banyak aturan sehingga menyebabkan kita terjerat aturan sendiri. Jumlahnya banyak sekali, 42.000, ya‎ng mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri hingga peraturan gubernur, wali kota dan bupati di daerah, yang membuat lambatnya laju pemerintah dalam membangun Indonesia. Begitulah kurang lebih keluhan Presiden Jokowi saat menghadiri Rembuk Nasional 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Senin (23/10).

Tidak ada data akurat berapa jumlah peraturan perundang-undangan sesungguhnya. Angka 42.000 yang disebut Presiden itu dugaan saya bisa lebih besar mengingat kebiasaan buruk birokrasi pemerintahan kita yang tidak tertib dokumentasi. Yang pasti, maraknya produksi peraturan perundang-undangan dimulai di era pemerintahan Orde Baru, sejalan dengan kebijakan (politik-hukum) pemerintahan Soeharto kala itu bahwa hukum adalah instrumen pembangunan. Hukum adalah alat kontrol sosial (a tool of social control) dan rekayasa pembangunan (a tool of social engineering).

Aturan apa saja yang diperlukan untuk melancarkan pembangunan bisa dibuat dalam waktu singkat. Semua gangguan yang menghambat laju pembangunan harus diatasi dengan peraturan perundang-undangan (UU, perppu, PP, perpres, keppres, peraturan menteri, dan sebagainya). Dengan demikian, tindakan pemerintah terbaca legal (berdasarkan hukum) meski proses dan dampak pembangunan itu menimbulkan ketidakadilan.

Departemen Kehakiman (kini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) hanya bertindak sebagai dapurnya pemerintah menyiapkan pelbagai peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan. DPR tinggal menyetujui UU atau perppu yang diajukan. Tidak pernah ada program dan langkah harmonisasi dan singkronisasi. Kalaupun ada, hal itu terbatas sebagai kajian (program) dan tidak untuk menyelaraskan peraturan agar efektif, efisien, ada kepastian, dan seterusnya.

Implementasi yang sama

Kebijakan Orde Baru demikian itu terus berlanjut di era pemerintahan sesudahnya meski politik hukum sudah bergeser dengan menempatkan hukum sebagai supremasi, seperti termuat dalam Pasal 1 (3) UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Implementasi Indonesia sebagai negara hukum faktanya tidak berbeda jauh dengan pemerintahan Soeharto bahwa hukum adalah instrumen pembangunan meski dengan asumsi dan tujuan berbeda. Di era ini, peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatur ketidakteraturan yang ada akibat peraturan perundang-undangan kurang mengatur, kurang tegas, tidak sejalan dengan kebutuhan, dan seterusnya.

Pemerintah pusat dan daerah beranggapan, asal sudah dikeluarkan aturan masalahnya selesai. Padahal, cara pandang demikian jelas keliru karena secara teoritis keteraturan tidak selalu bisa diatasi oleh hukum. Bahkan, justru ia bisa mendatangkan ketidakteraturan baru; baik yang disebabkan oleh substansi (materi) dari peraturan perundang-undangan itu sendiri, sifat birokratis dan prosedural pelaksanaan hukum oleh institusi pelaksana peraturan, tidak harmonis dan sinkronnya antarperaturan perundang-undangan, serta benturan (legal gap) antara apa yang teratur menurut hukum dan apa yang teratur menurut ukuran sosial, ekonomi, dan politik.

Pembuatan substansi peraturan perundang-undangan kadang tidak dirancang sekalian dengan prosedur dan birokrasi pelaksanaan dari peraturan tersebut. Padahal, aspek terakhir ini  menjadi penyumbang persoalan paling serius penegakan aturan karena sering kali birokrasi dan prosedurnya dirancang sedemikian rupa dengan motif-motif koruptif.

Penegakan peraturan dengan motif korupsi (suap) yang berlangsung terus-menerus dalam waktu lama pada akhirnya diterima sebagai kenyataan hukum oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hukum yang semula dimaksudkan untuk membangun ketertiban keteraturan (order) berubah menjadi ketidaktertiban/ketidakteraturan (disorder) untuk dan atas nama hukum.

Setiap upaya untuk menciptakan ketertiban/keteraturan (order) melalui deregulasi tidak mudah. Ada saja upaya-upaya kaum disorder ini untuk menggagalkannya. Satu di antaranya menyelipkan pasal atau ayat dalam peraturan baru yang memungkinkan ruang dibuatnya aturan prosedur dan birokrasi pelaksanaan aturan tersebut.

Problem serius

Problem peraturan perundang-undangan dari aspek-aspek tersebut tidak pernah menjadi bahan pertimbangan pembuat peraturan. Bahkan, penjelasan teoritis akademis para ahli diabaikan. Kalau toh diminta, sulit menembus paham dan keyakinan dogmatis dan positivistis yang menguasai alam pikir pembuat undang-undang. Apalagi, peraturan pesanan (order) kelompok-kelompok kepentingan biasanya dirancang dan disahkan dengan operasi senyap.

Regulasi menjadi salah satu problem serius di Indonesia yang harus dibereskan. Oleh karena itu, empat konsep yang kini sedang dikembangkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) perlu didukung. Empat konsep dimaksud berupa: (1) simplikasi regulasi guna menginventarisasi regulasi yang ada, mengidentifikasi masalah dan pemangku kepentingannya, melakukan evaluasi regulasi yang bermasalah, dan mencabut yang tidak perlu; (2) rekonseptualisasi tata cara pembentukan regulasi; (3) restrukturisasi kelembagaan pembentuk regulasi; dan (4) penguatan pemberdayaan sumber daya manusia di bidang perancangan regulasi patut didukung.

Akan tetapi, harus diingatkan kepada Bappenas bahwa regulasi dan deregulasi tidak dilakukan di ruang hampa (ruang vakum). Ia ada dalam realitas sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks, di mana transaksi-transaksi kepentingan tidak pernah absen dalam urusan tersebut. Oleh sebab itu, komitmen pembuat regulasi (terutama pemerintah) untuk melakukan audit dan merancang aturan baru melalui para ahli dan praktisi hukum yang independen dan kompeten serta ahli-ahli lain yang relevan dan diperlukan menjadi pertanda apakah pemerintah serius atau tidak.

Suparman Marzuki, Dosen FH UII Yogyakarta dan Senior Advisor pada Kantor Assegaf Hamzah and Partners

Kompas, 31 Oktober 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Iran Tidak Mau Didikte (Kompas)

Pernyataan Presiden Iran Hassan Rouhani memberikan gambaran jelas tentang sikap Iran yang tidak mau didikte oleh negara lain atau siapa pun.

Rouhani mengatakan bahwa Iran tak akan menghentikan produksi peluru kendali untuk kepentingan pertahanan. Presiden Iran itu juga menegaskan bahwa Iran tetap akan memproduksi senjata apa saja yang dibutuhkan untuk mempertahankan diri.

Pernyataan tersebut dikemukakan Rouhani hanya tiga hari setelah DPR Amerika Serikat menyepakati penerapan sanksi baru terhadap Iran terkait program rudalnya. Sanksi baru itu dijatuhkan atas dasar penilaian sepihak AS bahwa Iran telah melanggar resolusi PBB berkaitan dengan uji coba rudal. Resolusi PBB itu mengharuskan Iran tidak melakukan kegiatan berkait dengan pengembangan rudal yang bisa membawa senjata nuklir.

Menurut kesepakatan yang dicapai antara Iran dan P5+1 (China, Jepang, Jerman, Rusia, Inggris, dan AS) yang disebut Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), Iran memang "dicegah" untuk bisa membuat dan mengembangkan senjata nuklir. Karena, apabila Iran melakukan hal itu, akan memancing terjadinya pacuan senjata nuklir di kawasan (Teluk dan Timur Tengah).

JCPOA (2015) menetapkan pengurangan kapasitas pengayaan uranium yang sudah ada dan merancang ulang reaktor pemroduksi plutonium yang telah ditetapkan milik Irak. Keputusan tersebut secara efektif mengeliminasi kemampuan Iran untuk memproduksi material-material yang digunakan untuk memproduksi senjata nuklir, paling tidak selama sepuluh hingga lima belas tahun.

Setelah dicapai kesepakatan itu, Iran masih terus dimonitor oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) apakah melanggar kesepakatan atau tidak. Menurut IAEA, Iran telah mematuhi kesepakatan, tetapi AS berpendapat sebaliknya, dan kemudian menjatuhkan sanksi baru.

Tentu, Iran tidak mau diperlakukan seperti itu: serba dicurigai dan dikekang, ditentukan pihak lain, serta didikte. Mereka tidak mau kebebasan dan kedaulatan mereka dicampuri pihak lain, terutama AS yang selalu mencampuri urusan negara lain. Boleh jadi Iran juga bertanya: mengapa hanya mereka saja yang diperlakukan seperti itu, sementara negara lain, sebut saja Israel, India, dan Pakistan, dibiarkan; sementara Korea Utara juga diperlakukan hampir seperti Iran. Sementara itu, Rusia dan AS menguasai 93 persen dari seluruh hulu ledak nuklir yang ada.

Di sini ada masalah ketidakadilan. Iran merasa diperlakukan secara tidak adil. Kiranya, antara lain masalah ketidakadilan ini yang telah mendorong Iran untuk tetap memproduksi rudal, seperti dikemukakan Rouhani. Kita berharap bahwa ada aturan yang lebih memberikan rasa keadilan sehingga keadilan itu tidak hanya dimonopoli negara-negara besar

Kompas, 31 Oktober 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Layanan Komunikasi Kredibel (Kompas)

Dlihat perannya yang strategis dalam kehidupan modern, dan laju pertumbuhannya yang fenomenal, layanan telekomunikasi haruslah bersifat kredibel.

Hal itu berarti sistem telekomunikasi harus bisa menjamin penelepon atau pengirim pesan, atau apa pun namanya, bisa divalidasi keabsahannya. Dengan kartu seluler aktif yang mencapai 360 juta (Kompas, 7/6/2017)—artinya lebih banyak dari jumlah penduduk—Indonesia adalah satu di antara negara paling aktif menggunakan komunikasi seluler. Angka itu juga berarti rata-rata satu orang Indonesia memegang lebih dari satu nomor, sementara ada juga yang tidak memegang satu nomor pun.

Dengan layanan mobile ini, banyak kenyamanan yang dinikmati warga masyarakat. Berbagai urusan, mulai dari birokrasi, bisnis, profesi, hingga aktivitas sosial, sangat terbantu. Di era serba daring, ponsel dengan dukungan aplikasi beragam sudah tak terpisahkan dari kehidupan.

Namun, di balik segala kemudahan dan kenyamanan, muncul gangguan dan ketidaknyamanan. Ada pengguna yang tak tahu apa sebabnya, tiba-tiba mendapat ancaman, tuduhan, fitnah, berita palsu (hoaks) dari satu nomor. Pesan berisi penipuan juga termasuk yang sering dikirim.

Oleh kemajuan teknologi, nomor pengirim bisa ditelusuri. Namun, dengan memanfaatkan kartu perdana prabayar yang tak terdaftar, sering hal itu tak mudah diusut. Hal tersebut tak bisa didiamkan. Pemerintah sudah menyadari ekses penggunaan nomor tanpa registrasi ini sehingga tujuh tahun silam sudah mengumumkan penerapan registrasi bagi pengguna nomor prabayar. Akan tetapi, karena penegakannya tidak serius, hasilnya tidak konkret.

Kali ini, melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 14/2017, pemerintah akan bertindak serius. Tenggat pendaftaran nomor prabayar ditetapkan, baik untuk SIM baru maupun registrasi ulang SIM lama. Pembeli nomor SIM baru hanya akan diaktifkan nomornya jika sudah registrasi pada 31 Oktober 2017 dan memenuhi ketentuan yang berlaku. Untuk nomor lama, batas waktu registrasi ulang 28 Februari 2018. Dalam ketentuan baru ini, nomor SIM akan didukung nomor induk kependudukan dan catatan sipil.

Menkominfo Rudiantara, Senin (30/10), menyatakan, ketentuan ini bertujuan untuk mendapatkan pusat data pelanggan yang valid. Kita berharap tujuan baik upaya ini diimplementasikan dengan prosedur yang jelas sehingga masyarakat pengguna nomor prabayar yang ingin registrasi tidak bingung. Sosialisasi dibuat seluas-luasnya.

Kita berharap kebijakan baru ini bisa ditegakkan dengan konsisten sehingga ke depan kita bisa berkomunikasi dengan nyaman dan aman. Dengan nomor prabayar yang terdaftar baik, tak ada lagi orang yang mengaku-aku dari operator telekomunikasi yang akan memberi bonus atau hadiah, atau minta pulsa, dan sebagainya

Kompas, 31 Oktober 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: “Quo Vadis” Catalonia Merdeka (HASSAN WIRAJUDA)

Menyusul referendum Catalonia pada awal Oktober lalu, Parlemen Catalonia secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan Catalonia pada 27 Oktober 2017.

Referendum dan pernyataan kemerdekaan Catalonia merupakan peristiwa yang memiliki implikasi besar. Tidak hanya bagi Spanyol, tetapi juga Eropa dan tatanan dunia, terutama yang berkaitan dengan konsepsi negara-bangsa (nation-state) dan tata hubungan antarnegara.

Mau ke mana Catalonia?

Pernyataan kemerdekaan tidak serta-merta menjadikan Catalonia negara merdeka. Memang ada batasan wilayah yang jelas dan dapat diasumsikan ada rakyat yang pro kemerdekaan. Namun, masih ada dua syarat berdirinya negara yang belum dipenuhi, yaitu belum adanya pemerintahan dan pengakuan luas oleh masyarakat internasional.

Saat ini ada kevakuman pemerintahan karena pemerintah pusat sudah membubarkan pemerintah Catalonia dan mengambil alih pemerintah daerah, termasuk mencopot kepala Kepolisian Catalonia. Uni Eropa dan 27 negara anggotanya tidak mengakui, bahkan menolak pernyataan kemerdekaan Catalonia. Juga negara-negara lain, termasuk AS dan Indonesia.

Pemerintah Spanyol telah memutuskan mengambil alih pemerintahan Catalonia melalui direct control. Parlemen Catalonia dibubarkan dan pemilihan umum daerah dijanjikan akan dilaksanakan 21 Desember 2017.

Menjadi pertanyaan besar, apa kelanjutan dari konflik Catalonia: apakah konflik pusat dan daerah ini dapat diselesaikan secara damai melalui dialog atau menjadi konflik terbuka yang berdarah? Titik kritisnya akan kita saksikan pada 50 hari mendatang..

Memperhatikan penolakan keras oleh Madrid, Carles Puigdemont-mantan gubernur dan proklamator kemerdekaan Catalonia-baru-baru ini menyatakan bahwa Catalonia akan melakukan "oposisi demokratik" terhadap Madrid. Menghadapi tekanan Madrid, bisa jadi Puigdemont akan menempuh cara penyelesaian konflik melalui dialog dan tanpa kekerasan. Secara bersamaan, Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy menyatakan akan memulihkan keadaan di Catalonia melalui penegakan hukum dan bukan melalui penggelaran kekuatan. Kita perlu saksikan dinamika ini pada minggu-minggu mendatang.

Catalonia dan Eropa

Sejak lahirnya konsepsi negara-bangsa (nation state) berdasarkan Perjanjian Westphalia 1648, pada kenyataannya Eropa tidak pernah luput dari gejala disintegrasi.

Separatisme Basque di provinsi paling utara Spanyol sejak 1959 tidak pernah padam. Pada tahun 2015, atas persetujuan Pemerintah Inggris, Skotlandia menyelenggarakan referendum; kaum pro-kemerdekaan Skotlandia kalah tipis dengan selisih suara hanya 10 persen. Tuntutan kemerdekaan akan terus menguat dengan menangnya pemerintahan Partai Nasionalis Skotlandia dalam kaitan dengan referendum yang memutuskan keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang lebih dikenal dengan Brexit.

Pernyataan kemerdekaan Catalonia dapat memicu penguatan separatisme di Eropa. Menurut Presiden European Commission Jean-Claude Juncker, gejala separatisme Catalonia dapat mencabik-cabik Uni Eropa.

Di Italia, dua provinsi yang kaya, Veneto dan Lombardia, menuntut kewenangan lebih besar di bidang ekonomi, imigrasi, dan pendidikan. Masih belum jelas apakah tuntutan yang didasarkan hasil referendum pada minggu ketiga Oktober itu akan dipenuhi oleh Roma. Ataukah, jika ditolak, akan memancing referendum yang menuntut kemerdekaan. Terdapat batasan yang tipis antara tuntutan akan otonomi luas dengan kemerdekaan.

Apabila pada negara-bangsa, di mana konsensus fundamental tentang negara-bangsa sudah kuat-seperti Inggris yang sudah eksis selama 310 tahun dan Kerajaan Spanyol yang sudah berusia 307 tahun-menghadapi tantangan disintegrasi, lalu bagaimana dengan negara-bangsa di banyak negara berkembang yang umumnya lahir pasca-Perang Dunia Kedua? Tatanan dunia yang berlaku hingga saat ini di bawah piagam PBB bertumpu pada prinsip hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination), yang melahirkan banyak negara-bangsa (193 negara anggota PBB), dan prinsip penghormatan terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional. Kedua prinsip yang bersumber dari sistem Westphalia ini sebetulnya mengunci potensi lepasnya bagian negara untuk menjadi suatu entitas merdeka.

Pernyataan kemerdekaan masuk dalam kategori pemisahan diri (secession), bukan pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri. Tidak heran kalau dari awal Madrid mengatakan referendum di Catalonia itu ilegal dilihat dari konstitusi Spanyol ataupun dari sisi piagam PBB.

Bubarnya Yugoslavia menjadi negara Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, FRY Macedonia, dan Serbia, pada dekade terakhir abad lalu, suatu pengecualian dari prinsip-prinsip umum (suis generis) tadi. Bahwa, ada keadaan luar biasa akibat kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat di Beograd. Ini yang membedakan dengan lahirnya Kosovo yang didorong oleh Uni Eropa pada tahun 2005 karena kondisisuis generis itu tidak ada. Sampai saat ini, Kosovo tidak mendapat pengakuan oleh PBB.

Konsekuensi terhadap hubungan antarbangsa

Konsepsi negara-bangsa di era ini mengalami banyak tekanan, baik dari kekuatan sentripetal maupun sentrifugal sekaligus. Negara-bangsa digerogoti dari bawah oleh gerakan separatisme, yaitu tumbuhnya micro-nationalism(nasionalisme sempit yang didasarkan atas kesadaran akan etnik, budaya, tradisi, bahkan agama). Negara-bangsa juga mengalami tekanan dari atas, yaitu regionalisme dan globalisasi. Uni Eropa, yang merupakan suatu organisasi supra-nasional, dapat memicu bagian-bagian wilayah dari negara-negara anggotanya untuk merdeka.

Tidak ada persoalan bagi Skotlandia atau Catalonia untuk merdeka karena-walau keduanya merupakan entitas kecil-apabila menjadi anggota Uni Eropa, roaming area-nya adalah seluruh wilayah Eropa. Penduduk mereka memiliki lintas bebas untuk menetap dan bekerja di negara lain. Tak mengherankan jika Inggris dan Spanyol dari awal sudah wanti-wanti akan memveto masuknya Skotlandia atau Catalonia ke Uni Eropa apabila mereka tetap pada opsi merdeka.

Globalisasi juga dapat memicu disintegrasi. Kemajuan teknologi telekomunikasi, terutama internet, memungkinkan kelompok-kelompok separatis membangun jaringan guna menggalang dukungan dari berbagai belahan dunia. Tetapi juga dunia yang semakin tanpa batas dan pasar bebas menjadikan negara-negara kecil yang tidak punya kekayaan alam atau pasar yang besar dapat berkembang menjadi negara yang makmur. Ini menguatkan ungkapan "small is beautiful".

Kebebasan dan hak asasi yang menjadi karakter dasar dari kehidupan demokrasi bisa menguatkan kecenderungan ini. Toleransi pada perbedaan dapat menjurus pada pembongkaran kembali konsensus fundamental tentang negara-bangsa.

Atas nama kebebasan dan hak asasi memungkinkan gerakan seperti Khilafah Islamiyah berkembang dan berujung pada penenggelaman negara-bangsa. Referendum atau jajak pendapat merupakan suatu cara yang demokratis. Pertanyaannya adalah apakah penentuan nasib sendiri oleh rakyat suatu bagian negara untuk merdeka merupakan suatu hak?

Hak menentukan nasib sendiri (untuk merdeka) merupakan a one-time exerciseyang telah melahirkan negara merdeka seperti Inggris, Spanyol, dan 191 negara anggota PBB lainnya. Maka, prinsip mendukung keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional akan menutup peluang untuk mengulang-ulang exercisetersebut. Pengecualian dapat diterima masyarakat internasional apabila negara induk menyetujui referendum untuk merdeka. Hanya ada satu negara di dunia, yaitu Etiopia, yang konstitusinya membolehkan bagian wilayahnya referendum untuk merdeka. Tetapi, ketika Eritrea menjadi negara merdeka, terjadi perang berkepanjangan antara Eritrea dan Etiopia.

Menguatnya populisme di Eropa dan AS dalam beberapa tahun terakhir ini mendorong partai atau politisi agar mengeksploitasi aspirasi untuk lepas atau merdeka, sekadar menangguk suara dalam pemilihan umum. Iming-iming kehidupan kebangsaan yang bebas dan lepas dari impitan negara induk biasanya muncul karena impitan ekonomi.

Catalonia adalah negara bagian yang kaya, penyumbang 26 persen dari PDB Spanyol, karena itu paling merasakan dampak krisis Eurozone yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah pusat yang dianggapnya keliru. Politik populis yang menjanjikan kemerdekaan seharusnya mengetahui bahwa tidak ada satu pun negara yang akan mengizinkan dan rela bagian-bagian negaranya lepas menjadi entitas merdeka. Menjadi sangat tidak bertanggung jawab apabila krisis politik ini berkembang menjadi violent conflict yang mengakibatkan korban jiwa dan penderitaan bagi rakyat yang tidak berdosa.

Pada ujungnya, krisis politik di Catalonia menggugah kembali pertanyaan tentang konsepsi negara-bangsa itu sendiri. Kalau konsepsi itu rapuh pada negara-negara yang sudah eksis selama ratusan tahun, apalagi negara berkembang yang masih muda? Di sini pentingnya kesadaran bahwa proses nation and state-buildingadalah suatu proses yang harus dilakukan secara baik dan berkelanjutan.

Hassan Wirajuda

Menteri Luar Negeri RI 2001-2009 dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014

Kompas, 31 Oktober 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Momentum Baru untuk Indonesia dan Dunia (SUN WEIDE)

Kongres Nasional Ke-19 Partai Komunis China (PKC) yang baru ditutup merupakan hal penting dalam politik China. Sidang dalam kongres itu telah memilih pemimpin baru PKC, menyatakan sosialisme berkarakteristik China telah memasuki era baru, dan membangun negara sosialis modern melalui dua tahap.

Dalam lima tahun terakhir, China telah mencapai keberhasilan historis dalam pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi 7,2 persen per tahun. Hal ini membuat China berada di depan sejumlah negara utama dunia dan mengontribusi pertumbuhan ekonomi dunia 30 persen.

Pembangunan infrastruktur dilaksanakan secara cepat di China. Telah dibangun jaringan kereta cepat sepanjang 22.000 kilometer atau 60 persen lebih dari total panjang jaringan kereta cepat dunia. Sistem ekonomi baru China yang bersifat terbuka semakin kuat dengan volume perdagangan internasional, investasi ke luar negeri, dan cadangan devisa di posisi teratas dunia.

Ekonomi dan riset

Struktur ekonomi China terus disempurnakan, sejumlah industriemerging, termasuk ekonomi digital, semakin menjamur. China juga semakin menampakkan vitalitas inovasinya dengan meluncurkan sejumlah hasil riset, yakni stasiun ruang angkasa seri Tiangong, kapal selam berawak Jiaolong, teleskop radio raksasa FAST (Five-hundred meter Aperture Spherical Telescope), satelit Dampe (Dark Matter Particle Explorer) Wukong, satelit Quess (Quantum Experiments at Space Scale) Mozi, pesawat sipil komersial yang berbadan lebar C919, dan sebagainya.

Perkembangan ekonomi China telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Lebih dari 60 juta penduduk dibebaskan dari kemiskinan, lapangan kerja baru yang diciptakan rata-rata 13 juta orang di kota per tahun, pendapatan penduduk desa dan kota bertumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi sehingga rasa kebahagiaan rakyat meningkat secara signifikan.

Dalam lima tahun terakhir ini, China menjalankan diplomasi negara besar yang tidak hanya menciptakan lingkungan eksternal, tetapi juga ikut mendorong perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran dunia. China aktif mendorong inisiatif "One Belt and One Road" (OBOR), mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan Dana Jalur Sutra, serta menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi untuk kerja sama internasional.

China secara aktif menanggapi perubahan iklim global dengan membentuk Dana Kerja Sama Iklim Selatan-selatan senilai 20 miliar RMB, menentang gerakan deglobalisasi, dan mendorong reformasi sistem pengelolaan global dengan inisiatif membangun komunitas senasib.

Kongres Nasional Ke-19 melaporkan, impian rakyat China terkait erat dengan impian rakyat seluruh dunia. Oleh karena itu, realisasinya mustahil terjadi tanpa lingkungan internasional yang damai dan stabil. China akan senantiasa menjunjung tinggi semangat perdamaian dan kerja sama, mendorong perkembangan bersama dengan cara bersahabat dengan negara lain berdasarkan Lima Prinsip Hidup Berdampingan secara Damai.

China mendorong pembentukan hubungan internasional tipe baru yang saling menghormati, setara dan berkeadilan, kooperatif, serta saling menguntungkan. China akan selalu berperan sebagai pembangun perdamaian dunia, penyumbang perkembangan global dan penjaga tata kelola internasional.

Kerja sama Indonesia

Dalam lima tahun terakhir, hubungan Kemitraan Strategis Komprehensif China-Indonesia berkembang cepat.. Kedua negara telah menjadi mitra strategis komprehensif. Kedua pihak dengan aktif menyinergikan strategi perkembangan, secara komprehensif memperdalam kerja sama pragmatis, dan meraih hasil yang sangat melimpah. China telah menjadi mitra dagang terbesar, negara asal turis terbesar, dan negara asal investasi terbesar ketiga bagi Indonesia.

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan serangkaian proyek kerja sama penting lainnya terus diimplementasikan. Sampai triwulan III tahun ini, ekspor Indonesia ke China meningkat 40 persen. Pada semester I tahun ini, investasi dari China ke Indonesia hampir 2 miliar dollar AS dan jumlah wisatawan lebih dari 1,13 miliar orang. Berarti satu dari setiap lima wisatawan asing di Pulau Bali berasal dari China.

Keberhasilan itu membuktikan bahwa kerja sama China dan Indonesia menjadi motor penggerak negara masing-masing dan mendatangkan kesejahteraan rakyat kedua negara.

Dalam lima tahun ke depan, China akan berinvestasi 600-800 miliar dollar AS ke luar negeri dan mengimpor komoditas dan layanan lebih dari 10 triliun dollar AS. Indonesia dan negara-negara sepanjang OBOR akan menikmati manfaatnya.

Hubungan tipe baru

Presiden Xi Jinping menunjukkan bahwa diplomasi China bertujuan mendorong pengembangan hubungan internasional tipe baru dan membentuk komunitas senasib sepenanggungan manusia. China tidak hanya berkeyakinan dan berkemampuan membangun negara sendiri dengan baik, tetapi juga bergandengan tangan dengan negara lain untuk maju bersama.

China akan terus memperkuat hubungan dengan negara tetangga berdasarkan konsep "bersahabat, jujur, saling menguntungkan dan inklusif" serta prinsip diplomasi yang rukun dan bermitra dengan negara tetangga.

China siap bekerja sama dengan Indonesia dan menindaklanjuti kesepakatan pemimpin kedua negara untuk menyinergikan strategi pembangunan, kerja sama perdagangan dan investasi, khususnya memudahkan lebih banyak produk Indonesia memasuki pasar China sekaligus memperluas kerja sama di berbagai bidang.

Sun Weide, Kuasa Usaha Kedutaan Besar China di Indonesia
Kompas, 31 Oktober 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Penutupan Pelintasan KA//Protes Melulu//Petugas Tak Peduli (Surat Pembaca Kompas)

Penutupan Pelintasan KA

Saat ini sedang ada uji coba penutupan pelintasan sebidang kereta api di Jalan Angkasa Raya menuju Jalan Gunung Sahari, jalur utama yang menghubungkan Jalan Benyamin Suaeb di kompleks PRJ/Jakarta International Expo Kemayoran dengan wilayah Jakarta Pusat. Di situ ada tiga jalur sebidang dengan pelintasan KA dan dua jalur lintas bawah (underpass). Di Jalan Garuda dan Jalan Industri masing-masing hanya dua jalur.

Tanpa uji coba pun, seharusnya pihak berwenang dapat "menghitung" apa yang terjadi jika dari 5 jalur dikurangi menjadi 3 jalur. Selain tinggal 2 jalur sisa (underpass), terjadi sumbatan di ujungunderpass karena ada lampu lalu lintas yang berebut dengan jalur Gunung Sahari.

Akibatnya, terjadi kemacetan parah di Jl Angkasa, ujungnya sampai Jl Benyamin Suaeb (sepanjang 1,5 km), karena dari 5 jalur masuk dimampatkan menjadi 2 jalur. Imbas kemacetan parah juga terjadi di Jl Industri, Jl Garuda, dan bahkan sampai Jl Tanah Tinggi yang menuju Jl Jenderal Suprapto. Kemacetan tak hanya terjadi pada jam sibuk, tetapi hampir sepanjang hari dan malam.

Pihak berwenang bisa menguji silang PT Transjakarta, khususnya Koridor 12 yang melewati jalur ini. Di sepanjang lokasi bisa terjebak 3-4 bus transjakarta "menunggu giliran" untuk bisa menembus jalur ini. Penumpang di halte-halte selanjutnya ikut terkena dampak.

Ironisnya, ada saat tertentu dan waktunya cukup lama, tidak ada kereta api yang melintas. Tidak usah menunggu uji coba selesai, segera hentikan uji coba itu.

Pemikiran lain yang perlu dikaji pihak terkait adalah seberapa efektif penutupan di Jl Angkasa jika dua pelintasan sebidang—sebelum dan sesudahnya—tetap beroperasi (Jl Garuda dan Jl Industri masing-masing berjarak 500 meter dan 950 meter dari pelintasan ini).

Mohon pihak terkait bijak mengkaji manfaat penutupan dibanding kerugian akibat kemacetan berskala masif itu.

EJ Djajapranata, Sunter, Jakarta Utara

Protes Melulu

Dulu, saat pemerintah membuat Taman Mini Indonesia Indah diprotes. Katanya tidak bermanfaat untuk masyarakat, apalagi untuk rakyat kecil. Ternyata sekarang masyarakat dari luar kota, dari luar pulau, jika datang ke Jakarta mampir ke TMII.

Dulu, pemerintah membuat siaran televisi hitam putih menjadi siaran untuk televisi berwarna diprotes, katanya tidak berguna buat rakyat kecil. Sekarang, semua menonton televisi berwarna.

Sekarang pemerintah membuat reklamasi laut, diprotes. Padahal, luasnya cuma sekitar 0,0001 persen dari luas laut. Sekarang pemerintah membuat kereta cepat Jakarta-Bandung, diprotes.

Dari dulu sampai sekarang, apa-apa diprotes. Kenyataannya kemudian?

Babeh Husein, Gang Siaga, Angke Tambora, Jakarta Barat

Petugas Tak Peduli

Senin, 23 Oktober 2017, pukul 16.30, saya sekeluarga naik pesawat Silk Air dari Singapura menuju Surabaya. Saya membawa putri saya yang baru berusia dua tahun pada September lalu.

Putri saya dalam keadaan sakit. Ia batuk pilek sehingga tidak mau lepas dari saya. Sekitar 35 menit sebelum mendarat, putri saya tertidur di pangkuan saya. Saya mengenakan sabuk pengaman meski posisi duduk saya di antara kursi saya dan putri saya.

Saya sudah beberapa kali meminta infant seatbelt kepada awak kabin Silk Air agar bisa memangku putri saya, tetapi menurut awak kabin tidak ada.

Menjelang pesawat mendarat, datang awak kabin bernama Iqbal menegur saya sambil melotot dan menunjuk-nunjuk. "Ibu harus duduk di kursi ibu. Anak ibu harus duduk sendiri, tidak boleh dipangku."

Saya jelaskan putri saya sedang sakit. Ia akan terbangun dan rewel jika saya ubah posisinya. Namun, Iqbal tak peduli. Akhirnya saya lepaskan putri saya dari pangkuan. Putri saya langsung terbangun dan menangis histeris sampai saat mendarat walau sudah kembali dipangku.

Saat penerbangan SurabayaSingapura, 17 oktober 2017, dengan Singapore Airlines, saya juga memangku putri saya sambil meminumkan susu menjelang mendarat. Para awak kabin justru membantu mengatur posisi duduk kami agar semua bisa mengenakan sabuk pengaman.

Ketika saya naik penerbangan domestik dari Balikpapan ke Surabaya, para awak kabin menyediakan infant seatbelt di kantong kursi saya.

Angeline Widjaja, Jl Poliklinik, Balikpapan

Kompas, 31 Oktober 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ANALISIS POLITIK J KRISTIADI: Mencegah Kegalauan Pemuda Milenial (Kompas)

J Kristiadi
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

J Kristiadi

Sekitar sembilan dekade lalu, para pemudi dan pemuda Indonesia didorong oleh gejolak jiwa membara mengucapkan rangkaian kata-kata: Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda 1928 menjadi peristiwa sejarah menandai bangkitnya pemuda Indonesia membangun bangsa. Mereka berhasil meleburkan sedemikian banyak etno-nasionalisme menjadi satu bangsa dan tetap bersemangat merawat kebinekaan. Sumpah yang amat bertuah karena berhasil menganyam keragaman menjadi mosaik bangsa yang sangat indah laiknya hamparan taman sari yang ditumbuhi oleh bunga berwarna-warni harum mewangi yang merekah setiap hari.

Getaran sumpah yang berumur hampir satu abad itu masih menggetarkan dan terpatri pada generasi milenial. Sebab, kala itu mengucapkan sumpah disertai niat suci untuk berbakti kepada Ibu Pertiwi. Kini semangat untuk bersatu sebagai bangsa masih amat signifikan. Daya getarnya merembet sampai kepada pemuda milenial sebagaimana laporan hasil survei Kompas, Senin (30/10). Tuah Sumpah Pemuda telah menghasilkan bangsa yang sangat indah.

Namun, sayangnya, sumpah yang dilakukan oleh sementara para petinggi negeri dan politisi yang diucapkan dengan gagah berani kini semakin dirasakan absennya niat suci. Sumpah tanpa nurani hanya menjadi bunyi yang tidak mempunyai makna dan arti. Alih-alih mengabdi, sumpah dan janji justru dirasakan sebagai genderang mengawali politik transaksional dan perlombaan memuaskan kepentingan pribadi sebagai prioritas tertinggi. Politik tanpa nurani membuat Sumpah Pemuda tercemari.

Akibatnya, bonus demografi, rasio semakin turunnya tingkat ketergantungan penduduk nonproduktif (usia 0-14 tahun) dengan penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang semakin menurun menjadi tidak banyak berarti. Para petinggi negeri tidak mengantisipasi dengan cermat dan teliti momentum yang sangat penting ini, terutama pesatnya perkembangan teknologi yang dapat mengancam generasi milenial menjadi mati suri.

Bonus demografi mulai dikumandangkan sebagai potensi meningkatkan martabat negeri oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun 2013. Namun, hal itu disertai beberapa catatan penting, antara lain sebaran jumlah penduduk yang tidak merata (terkonsentrasi di Jawa), tingginya tingkat pertumbuhan penduduk (laju tingkat pertambahan penduduk Indonesia beberapa tahun terakhir kurang lebih sama dengan jumlah penduduk negara Singapura), dan rendahnya kualitas penduduk.

Faktor terakhir ini dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM). Berita Statistik pada 6 Mei 2013 menyebutkan, penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2013 didominasi penduduk berpendidikan rendah (SD ke bawah), yaitu 54,6 juta orang (47,9 persen) dan SMP 20 juta (17,8 persen). Jika dihitung total, jumlahnya hampir 65 persen tenaga kerja dalam era persaingan global yang sangat ketat saat ini. Selain itu, masih ada sederetan data yang dapat mengungkapkan betapa besarnya permasalahan kependudukan. Jika tidak dikelola dengan niat politik yang benar, dapat diperkirakan hal itu menjadi "bom waktu" yang akan meledak dan akan memorakporandakan kehidupan bersama.

Sinyalemen tersebut bukan hal yang mustahil. Ada sebuah artikel di majalahDer Spiegel No 2/2008 berjudul "Junge Manner: Die Gefahrlichste Spezeis der Welt" (Orang Muda: Spesies yang Paling Berbahaya di Dunia). Pelajaran dari artikel tersebut adalah jika negara tidak hadir dan gagal memberikan pendidikan kepada generasi muda sehingga menjadi penganggur, mereka justru akan menjadi spesies yang amat membahayakan dunia. Selain itu, ancaman dan tantangan yang dihadapi oleh pemuda milenial bahwa robot dapat dipastikan semakin lama akan menggantikan tenaga kerja manusia (Martin Ford, 2015, Rise of the Robots: Technology and the Threat of a Jobless Future).

Ancaman lain yang tak kalah serius akibat dari pengangguran dan kesenjangan sosial ekonomi adalah menyuburkan berbagai doktrin dan ideologi radikal. Mereka mudah terpikat dengan janji-janji meskipun tidak masuk akal. Perilaku radikal dan intoleransi akan tumbuh subur di kalangan generasi muda. Bahkan, dewasa ini penetrasi ajaran intoleransi mulai masuk ke kalangan terdidik dan kelas menengah, aparatur negara, dan BUMN. Penetrasi ajaran-ajaran tersebut di kalangan profesional masuk melalui kajian-kajian keagamaan yang dilakukan di tempat kerja (Survei Alvara, Oktober 2017).

Oleh sebab itu, makna Sumpah Pemuda kali ini harus dapat mendorong para petinggi negeri dan politisi membuat kebijakan politik yang dapat mencegah pemuda milenial tidak terperangkap dalam kegalauan menghadapi tingkat persaingan global. Selain itu, juga mencegah dari kepesatan tingkat kecanggihan teknologi, terutama robot yang dapat menggantikan tenaga manusia. Generasi muda milenial secara individual banyak sekali yang mempunyai kreativitas yang mengagumkan dalam memanfaatkan era digital. Namun, mengingat tantangan global yang semakin kompleks dan keras, negara harus hadir dengan membuat kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyatnya.

J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS

Kompas, 31 Oktober 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Orang Kuat (INDRA TRANGGONO)

HANDINING

credit="handining

Orang kuat pada zaman milenial bukan lagi bercitra kanuragan perkasa layaknya tokoh mitologi Hercules atau Samson. Juga bukan Rambo. Namun, mereka adalah yang memiliki kekuasaan:  ide, jaringan, teknologi, modal politik, budaya, sosial, dan ekonomi. Dampak kekuasaan mereka konkret dan sangat dirasakan publik.

Dalam berbagai mitos dan sejarah tradisi masyarakat, orang kuat cenderung diidentikkan dengan fisik perkasa atau otot besar. Sering pula digambarkan sebagai orang  sakti, memiliki daya linuwih(supranatural) yang tidak terjangkau akal dan nalar. Serba spektakuler: memukau, mencengangkan, menakjubkan. Dengan cara itulah kisah dan ajaran moral yang dikandung tokoh-tokoh mitos menjadi awet hidup dalam tabung ingatan publik.

Dominasi orang kuat

Tokoh-tokoh mitologis diciptakan untuk dijadikan potret diri, cermin besar atau referensi moral publik. Melalui pelbagai narasi dan nilai, mereka hadir dan menciptakan teater dalam kepala tentang kebaikan atau keburukan. Pikiran manusia pun terbuka untuk memilih jalan moral yang menuntun perilakunya dalam praksis sosial.

Agama dan budaya-budaya lokal tak pernah lelah memberi  asupan nilai melalui narasi-narasi demi menjaga agar manusia tidak terjerembap dalam blunder sejarah. Sejak kecil, orangtua kita menggugah kesadaran dengan dongeng. Juga, guru-guru agama kita mempertajam batin kita dengan kisah-kisah orang suci. Tujuannya agar kita menjadi orang baik (minimal) dan syukur bisa menjadi manusia dengan kesempurnaan: tinggi akal budi, integritas, komitmen, kapabilitas danmigunani (memberi manfaat kebaikan) terhadap banyak orang (publik, bangsa). Ini harapan maksimal.

Seiring perkembangan kebudayaan dari fase mistis, ontologis ke fungsional, mengacu pendapat CA van Peursen (1976), manusia tidak lagi dikungkung/dikendalikan kekuatan alam, tetapi telah mengambil jarak dan mengendalikan alam. Selanjutnya manusia memproduksi sistem ide, perilaku dan nilai fungsional dalam berelasi dengan alam serta lingkungan. Fase fungsional ini sering diidentifikasi dengan kebudayaan modern.

Di dalam kebudayaan modern, orang kuat tidak lagi diukur dari kekuatan mitis (kesaktian), tetapi dari kekuatan gagasan/intelektual, kemampuan teknis, manajerial, jaringan yang berbasis pada modal ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam konteks Indonesia, makna orang kuat mengalami penyempitan, yakni mereka yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi.

Dengan kekuasaan politik dan ekonomi, orang kuat mampu menguasai undang-undang/regulasi, lembaga-lembaga negara, aset negara, birokrasi, dan mengatasi hukum. Mereka pun mampu melakukan kapitalisasi kekuasaan demi meraih keuntungan besar material dan nonmaterial.

Mereka menjelma menjadi sosok-sosok digdaya yang tidak tersentuh hukum atas berbagai pelanggaran yang dilakukan. Karena itu, atas nama kekuasaan politik dan ekonomi, orang kuat bisa membatalkan tuntutan hukum atas dirinya dalam perkara korupsi uang negara dalam jumlah besar.

Bagi orang-orang kuat, negara bukan lembaga publik yang berdiri atas kedaulatan rakyat, melainkan "perusahaan" yang dikuasainya.  Rakyat bukan lagi dimaknai sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) atas negara, melainkan komunitas besar bernama konsumen. Karena itu, konsumen dianggap tidak punya hak-hak layaknya warga negara yang dilindungi dan dijamin konstitusi, kecuali "hak memilih" saat pemilu tiba dan kewajiban membayar pajak.

Demokrasi nir-kesetaraan

Munculnya orang-orang kuat politik dan ekonomi tidak lepas dari praktik demokrasi yang timpang (nir-kesetaraan). Kesetaraan yang disyaratkan demokrasi tak terpenuhi dalam praksis bernegara, yakni kesetaraan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Bagaimana demokrasi bisa berjalan secara ideal jika kemampuan ekonomi, pendidikan, dan politik kelas berkuasa jauh lebih dominan daripada rakyat kebanyakan? Praktik dominasi dan hegemoni pun terjadi. Politik uang pun bicara. Karena itu, rakyat tak pernah bisa menghukum politisi busuk dalam setiap pemilu meskipun selalu dikecewakan dan dilukai.

Selain itu, sesungguhnya rakyat kebanyakan tidak pernah mendapatkan pendidikan politik dari kelas menengah yang berkuasa. Selama ini yang terjadi hanyalah mobilisasi sosial politik. Kritisisme rakyat tak pernah ditumbuhkan dan dikembangkan jadi kekuatan politik yang berfungsi mengontrol kekuasaan.

Partai-partai politik, yang semestinya memiliki tugas mulia untuk meningkatkan kecerdasan politik rakyat, cenderung egois, bekerja demi kepentingannya sendiri: meraih kekuasaan dan meraup keuntungan material. Kekuatan-kekuatan lain pun cenderung kurang daya dalam membanguncivil society.

Tidak terbangunnya civil society yang kuat menjadikan negeri ini semakin melaju kencang menuju titik nadir peradaban (etika, etos kerja, ide, nilai, kreativitas, inovasi, produk budaya benda dan nirbenda). Kepemimpinan kultural cenderung melemah dibandingkan kepemimpinan politik. Kepemimpinan kultural dapat dimaknai sebagai kepemimpinan berbasis pada ide (idealisme, ideologi), nilai, etika, nalar, dan  perilaku yang berorientasi pada peningkatan eksistensi publik. Adapun kepemimpinan politik merupakan kepemimpinan yang cenderung pragmatis, lebih menyembah kepentingan jangka pendek demi kekuasaan.

Kepemimpinan jenis ini sering pula disebut kepemimpinan yang hanya mengejar cash flow, di mana yang sehat dan sejahtera bukan publik melainkan penguasa dan lingkarannya. Dalam settingseperti ini wajar jika yang dominan hanyalah orang-orang kuat secara politik dan ekonomi. Bukan para kesatria institusi yang mampu menjawab penderitaan dan tangisan publik atas ketidakadilan.

Tanpa nilai-nilai profetik (kemampuan membebaskan dan meninggikan eksistensi publik), hadirnya orang-orang kuat secara politik dan ekonomi di negeri ini hanya mengembangbiakkan penderitaan rakyat kebanyakan.  Rakyat lebih membutuhkan orang baik dalam jumlah besar dibandingkan dengan beberapa gelintir orang kuat yang nir-budaya dan nir-kemanusiaan.

Himpunan orang baik yang bersinergi berpotensi menciptakan perubahan besar dalam membangun masyarakat berperadaban dan menciptakan kesejahteraan. Kita yakin negeri ini memiliki banyak orang baik yang kini belum  muncul ke permukaan karena dihambat sistem yang manipulatif dan korup.

Indra Tranggono

Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Kompas, 31 Oktober 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senin, 30 Oktober 2017

ANALISIS EKONOMI: Perekonomian Jokowi Sesudah Tiga Tahun (A TONY PRASETIANTONO)

credit="Istimewa

Pencapaian paling signifikan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo selama tiga tahun pertama pemerintahannya adalah antusiasme dalam membangun infrastruktur. Anggaran infrastruktur di APBN kini mencapai Rp 400 triliun setahun. Sebagai perbandingan, subsidi energi tiga tahun silam mencapai Rp 350 triliun per tahun, yang terdiri dari subsidi BBM Rp 250 triliun dan subsidi BBM untuk membangkitkan listrik Rp 100 triliun.

Subsidi energi bisa dimaknai sebagai upaya untuk memindahkan beban dari masyarakat kepada anggaran pemerintah dengan harapan agar daya beli masyarakat tidak turun tergerus kenaikan harga BBM. Namun, dana senilai Rp 350 triliun tersebut habis dibelanjakan hanya dalam setahun, kemudian tidak ada bekasnya lagi.

Sementara itu, membelanjakan anggaran infrastruktur Rp 400 triliun merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya nanti berupa konektivitas, penurunan biaya logistik atau distribusi barang. Hal ini akan menaikkan efisiensi yang direpresentasikan dengan penurunan ICOR (incremental capital-output ratio). Secara alamiah, ICOR di negara-negara maju cenderung meningkat karena mereka mengalami fenomena flying geese, yakni relokasi industri dari negara maju ke negara-negara berkembang yang lebih efisien.

Laporan Standard Chartered (Escaping the Productivity Slump, 2016) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang berkinerja baik untuk ICOR, bersama Filipina, India, Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Nigeria di Afrika. Sementara China akhir-akhir ini ICOR-nya justru meningkat.

Dalam beberapa tahun ke depan, saya yakin kita akan mulai memanen investasi di bidang infrastruktur. Pada titik sekarang, MRT di Jakarta belum selesai, jalan tol Jawa belum tersambung total, banyak bandara dan pelabuhan strategis juga belum selesai pembangunannya. Inilah salah satu alasan kenapa perekonomian Indonesia seperti "terjebak" di level pertumbuhan 5 persen saja, belum bisa lebih.

Saya tidak sependapat dengan asumsi jebakan normal baru bahwa Indonesia hanya bisa tumbuh 5 persen. Jika pembangunan infrastruktur tersebut diselesaikan, saya yakin pertumbuhan ekonomi bisa dihela melebihi 5 persen. Yang diperlukan saat ini adalah terus fokus melanjutkan pembangunan infrastruktur, sambil menanti dampaknya berupa pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dalam beberapa tahun ke depan. Semua itu harus menempuh beberapa tahapan, tidak pernah ada hasil yang bersifat instan.

Deregulasi

Andalan Presiden Jokowi sebenarnya bukan cuma itu. Di sektor riil, sudah dirilis 16 kebijakan deregulasi (relaksasi) di semua sektor riil, tetapi belum ada hasil yang signifikan mengangkat gairah perekonomian. Barangkali yang paling konkret menghasilkan hanya deregulasi di sektor pariwisata tatkala pemerintah meniadakan syarat visa kunjungan terhadap 160 negara, seperti yang dilakukan Malaysia. Hasilnya, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan wisatawan mancanegara (wisman) yang tertinggi di Asia Tenggara (10,7 persen).

Mengapa banyak paket deregulasi tersebut seperti menepuk angin? Ada dua kemungkinan. Pertama, lahirnya paket deregulasi tidak didukung momentum yang memungkinkan para pelaku ekonomi (baik konsumen maupun produsen) untuk merealisasikan rencananya. Ketika konsumen tercekam ketidakpastian, yang dipilih adalah bersikap diam dan menunggu saat yang tepat untuk kembali bergairah berbelanja. Likuiditas dibiarkan "menganggur" di bank atau dibelikan emas. Sedikit perkecualian, masyarakat masih tetap bergairah berwisata.

Kedua, kebijakan deregulasi belum tentu mendarah daging pada setiap lini birokrasi. Pada level operasional di bawah, deregulasi belum berjalan dengan baik sebagaimana diinginkan level atas (menteri, eselon 1 dan eselon 2). Pelayanan birokrasi secara daring juga masih tetap memerlukan dukungan layanan oleh manusia.

Akhirnya, apa yang masih harus dilakukan pemerintah dalam dua tahun ke depan? Pertama, lanjutkan dan jaga ritme pembangunan infrastruktur. Kita sangat yakin bahwa arah pembangunan ini sudah benar, hanya saja masih perlu waktu untuk menikmati panen. Kedua, iklim perpajakan harus dikelola dengan baik. Jangan sampai momentum amnesti pajak justru terusik karena pemerintah terlalu agresif melacak kembali aset para peserta amnesti pajak.

Ketiga, deregulasi sektor riil harus terus dikawal dalam pelaksanaannya. Jangan sampai deregulasi sebatas wacana para birokrat tertinggi, tetapi belum mengakar ke bawah. Para menteri harus tiada lelah memastikan implementasinya ke bawah.

Jika ini dijalankan, saya masih yakin bahwa ke depan pertumbuhan ekonomi tidak akan terjebak normal baru pada level 5 persen. Masih bisa ditingkatkan lagi menjadi 6-7 persen, bahkan lebih. Tiada hal yang mustahil asalkan kita konsisten bekerja keras. Jangan mau terjebak pada level 5 persen.

A Tony Prasetiantono

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Pengajar BI Institute

Kompas, 30 Oktober 2017
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Audit Usai Tragedi Kosambi (Kompas)

Empat puluh delapan orang tewas akibat kebakaran dan ledakan di pabrik kembang api di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Kamis pekan lalu.

Kita berduka atas kepergian saudara-saudara kita, bahkan di antara mereka masih remaja. Kita tak ingin nyawa manusia hanya menjadi statistik belaka, karena di balik angka itu ada kehidupan, ada keluarga, ayah, ibu, suami atau istri, dengan segala aktivitasnya. Hak dari keluarga korban harus dijamin dan diberikan sesuai dengan aturan yang ada.

Kebakaran dan ledakan di pabrik kembang api di Kosambi tetaplah menyimpan tanda tanya. Bahan kembang api tentunya bisa dikategorikan sebagai bahan yang mudah meledak dan berbahaya. Karena itulah, tetap menjadi pertanyaan, bagaimana proses keluarnya izin usaha pendirian pabrik kembang api yang diajukan perusahaan. Selain kemungkinan dugaan kelalaian yang menyebabkan orang meninggal, prosedur administrasi itu juga patut ditelusuri. Apakah perizinan pabrik kembang api hanya menjadi urusan pemerintah kabupaten?

Presiden Joko Widodo, sebagaimana disampaikan Juru Bicara Presiden Johan Budi SP, meminta Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengusut tuntas tragedi di Kosambi. Sejauh terungkap dalam pemberitaan berdasarkan hasil penyelidikan, memang terdapat beberapa kemungkinan dugaan pelanggaran. Kita menyambut langkah cepat Polda Metro Jaya yang telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus kebakaran di Kosambi. Mereka adalah pekerja las dan penanggung jawab pabrik serta direksi perusahaan.

Selain dugaan pelanggaran KUHP, dugaan pelanggaran UU Ketenagakerjaan juga patut diselidiki karena ada dugaan pelibatan tenaga kerja anak di pabrik kembang api tersebut, sebagaimana dikatakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Melibatkan pekerja anak merupakan pelanggaran serius terhadap UU Ketenagakerjaan.

Tragedi Kosambi mengajak kita semua untuk berintrospeksi mengapa semua itu bisa terjadi. Mengapa tukang las juga bisa melakukan pekerjaannya tanpa mempertimbangkan kondisi sekitar, yang lingkungan kerjanya berbahaya. Siapa yang mengawasi. Bagaimana pekerja anak bisa ikut bekerja, dan luput dari pengawasan dinas ketenagakerjaan. Tampaknya budaya keselamatan kerja dan pengawasan terhadap pabrik kedodoran. Semuanya abai dan terkejut ketika peristiwa di Kosambi yang mengakibatkan 48 orang tewas.

Kita mendorong pemerintah kabupaten melakukan audit terhadap pabrik untuk memastikan semua unsur keselamatan kerja dipenuhi. Langkah itu harus dilakukan guna mencegah peristiwa di Kosambi terulang kembali. Untuk tragedi Kosambi, biarlah hukum bekerja mencari penanggung jawabnya

Kompas, 30 Oktober 2017

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger