Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 31 Desember 2016

TAJUK RENCANA: Prospek Tahun 2017 (Kompas)

Jauh tinggi di cakrawala muncul harapan, perpolitikan Indonesia tahun 2017 membawa kearifan bagi perekonomian dan soliditas sosial, bukan sebaliknya.

Harapan itu menguat bukan hanya karena kegamangan atas fenomena politik dalam negeri, melainkan juga karena terusik oleh gejala di panggung internasional. Politik dan perpolitikan cenderung memecah belah. Suka atau tidak, guncangan politik telah mengganggu perekonomian, menciptakan sensitivitas sosial, dan prasangka keagamaan.

Tanpa banyak disadari, intrik politik hanya mendorong proses pelapukan, yang dapat memperlemah sendi kekuatan Indonesia sebagai bangsa dalam menghadapi tekanan persaingan ketat dengan bangsa lain. Perlu dikemukakan pula, sejumlah negara di Afrika dan Timur Tengah terperangkap krisis hebat oleh ulah para politisi yang hidup dari oportunitas harian, tanpa memedulikan nasib rakyat, dan mempertaruhkan masa depan bangsa-negara. Kondisi buruk itu membuka pintu lebar bagi campur tangan asing, yang menambah runyam keadaan.

Dengan memperhatikan pergolakan di panggung dunia, Indonesia seyogianya sebagai bangsa yang sedang menghadapi masa pancaroba perlu berhati-hati. Para politisi dan elite diharapkan tetap menjaga kearifan, tidak melakukan provokasi untuk kepentingan sesaat, yang bisa mencelakakan eksistensi bangsa. Tuntutan sikap hati-hati semakin diperlukan, lebih-lebih karena sedang terjadi pergeseran dan perubahan hebat di tingkat global.

Sendi-sendi perekonomian Eropa dan Amerika Serikat tampak kedodoran sebagai dampak paham kapitalisme liberal yang menggebu-gebu, tanpa diimbangi praktik keadilan sosial. Sementara proses globalisasi mengalami kekusutan oleh krisis keuangan dan ekonomi yang melanda dunia dalam tahun-tahun terakhir ini. Ketimpangan ekonomi yang menciptakan frustrasi, kekecewaan, dan rasa putus asa menjadi pencetus munculnya radikalisme dan fundamentalisme di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di AS yang dipandang sebagai kampiun demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.

Pada lapisan yang lebih dalam, terus berlangsung ketimpangan ekonomi, yang tidak menempatkan prinsip keadilan sosial di atas segala kekuatan yang bersifat hegemonik dan dominasi. Fenomena ketidakadilan berlangsung pada tataran global antara negara kaya dan miskin. Tidak kalah mengerikan ketimpangan sosial juga terjadi di dalam setiap negara dan komunitas. Kemewahan segelintir orang berarti penderitaan bagi banyak orang akibat distribusi kekayaan negara yang timpang, antara lain karena salah urus atau praktik korupsi yang merajalela.

Tantangan yang dihadapi dunia di masa-masa mendatang tampaknya tidak semakin berkurang, tetapi justru bertambah. Masyarakat dunia tidak hanya direpotkan oleh kecenderungan pelemahan pertumbuhan ekonomi dan pergolakan politik ataupun radikalisme dan terorisme, tetapi juga oleh tsunami perubahan yang digerakkan oleh perkembangan teknologi digital. Perlu diakui, kemajuan digital merupakan pencapaian luar biasa yang telah membawa banyak manfaat dan keuntungan, tetapi sekaligus membawa dampak gangguan yang tidak kecil pula.

Gangguan digital, digital disruption, antara lain menghancurkan sistem nilai, pola komunikasi personal dan gagasan. Semakin sulit dibedakan antara asli dan palsu, benar dan salah, baik dan buruk. Melalui media sosial, yang salah bisa dibenarkan dan yang benar bisa disalahkan. Upaya mencari kebenaran,searching the truth, tampak sulit di media sosial karena cenderung mengutamakan adu kuat, adu lantang, dan adu cepat. Suara, voice, dilawan dengan kegaduhan, noice. Begitu banyak orang yang berceloteh, tetapi sedikit yang mendengarkan, termasuk terhadap suara nuraninya sendiri. Kebencian dan dengki diobral.

Kondisi kaotis ini diperkirakan akan terus memasuki tahun 2017 dan seterusnya. Faktor ketidakpastian tentang apa yang bakal terjadi telah menimbulkan ketakutan dan kecemasan. Senantiasa terjadi, setiap pergantian waktu, tahun dan zaman, selalu muncul kegamangan, kegalauan, dan ketidakpastian. Itulah yang menyiksa pikiran manusia sepanjang zaman dengan segala referensi keagamaan, mitos, dan legenda. Pertanyaannya, bukan hanya soal waktu yang baru akan lebih baik atau tidak, melainkan juga apakah waktu masih berlanjut atau berhenti, kiamat.

Namun, tidak dapat dimungkiri juga, pemahaman manusia tentang ruang dan waktu sudah berubah banyak. Sekadar disinggung kembali, masyarakat Barat semula khawatir siklus waktu satu milenium (1.000 tahun) akan memuncak menjadi akhir zaman. Sekalipun penanggalan 1.000 tahun sudah berlalu, kecemasan tetap ada karena waktu memang sarat misteri ketidakpastian.

Tidak kalah mengesankan pemahaman tentang waktu di dunia Timur, khususnya China Kuno, yang beranggapan mesin waktu bergerak dalam siklus 60 tahun. Siklus itu terus berulang-ulang sampai mencapai total waktu 3.000 tahun ketika manusia akhirnya menemukan keheningan dan perdamaian dalam sepi. Seluruh keinginan berhenti. Meski kurun 3.000 tahun sudah berlalu, kekhawatiran tentang berakhirnya waktu tidak juga hilang.

Ekspresi ketakutan, kecemasan, dan horor juga menghinggapi masyarakat Inca dan Aztec di Benua Amerika, yang berkeyakinan siklus waktu 52 tahun. Sebelum kolonial Spanyol datang tahun 1500-an, masyarakat Inca dan Aztec berkeyakinan matahari akan padam, bintang berjatuhan, dan bumi terlepas dari tambatannya jika dewa-dewi murka. Agar dewa-dewi tidak murka, sesajen berupa darah, hati, dan jantung manusia diberikan. Ribuan orang pun dikorbankan di altar batu setiap tahun. Itulah apa yang disebut horor atas nama agama, horor suci, holy horror, dalam buku James Haught terbitan 1990.

Namun, siklus waktu tidak hanya menciptakan horor dan kepanikan, tetapi juga kegembiraan dan dapat mengubah manusia menuju perubahan, karena seperti kata orang Romawi, tempora mutantur, et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kita berubah di dalamnya). Tahun 2017 diharapkan akan mengubah bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Selamat Tahun Baru 2017!

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Prospek Tahun 2017".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Resolusi Pendidikan 2017 (ARI KRISTIANAWATI)

Keputusan pemerintah yang akan mempertahankan ujian nasional sebagai instrumen evaluasi pendidikan jenjang pendidikan dasar-menengah memantik kekecewaan di kalangan penggiat dan pemerhati pendidikan.

Ujian nasional (UN) dianggap tidak relevan dan tidak memiliki signifikansi kebermanfaatan bagi peningkatan mutu pendidikan nasional. UN hanya akan menegaskan kesenjangan mutu pembelajaran dan ketimpangan sarana-prasarana pendidikan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan (pinggiran). UN sejak tahun 2005 selalu melahirkan praktik kecurangan yang dilakukan oknum guru, siswa, pengawas, dan pihak ketiga.

Bukan hanya keputusan UN yang membawa semilir angin kekecewaan, kebijakan full days school atau sehari penuh di sekolah yang akan dijalankan mulai 2017 akan menambah berat orientasi pendidikan yang seharusnya berpihak kepada kepentingan siswa, bukan pemikiran subyektif birokrat pendidikan. Kebijakan sekolah sehari penuh akan "merampas" hak siswa untukmengembangkan bakat, minat, dan potensi di luar jam pembelajaran di sekolah.

Banyak kebijakan pendidikan di tahun 2016yang tidak sesuai dengan visi transformasi pendidikan. Kebijakan pendidikan di era Mendikbud Anies Baswedanhanya terkesan simbolik-kultural tidak menyentuh akar persoalan pendidikan nasional yang standar mutunya tetap papan bawah di level internasional. Demikian juga di era Muhadjir Effendy, yang lebih terkesan memolemikkan isu kebijakan sebelum keputusan final dari pemerintah.

Namun, nasib Kurikulum 2013 belum jelas apakah akan direvisi total atau dilanjutkan implementasinya dalam ritual pembelajaran di sekolah. Akhir tahun 2016 jadi titik balik pengelolaan pendidikan jenjang SMA/SMK. Sebab, mulai Januari 2017 pengelolaan SMA/SMK di tangan pemerintah provinsi sesuai amanat UU No 23/2014.

Alih kelola SMA/SMK bukan hanya sebatas pendanaan yang bersumber dari dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan dari pemerintah pusat yang menjadi otoritas pemerintah provinsi. Juga terkait program pengembangan mutu pendidikan sesuai target kepemimpinan daerah.

Pendidikan nasional selama 2016 tidak mengalami loncatan kualitas, kecuali hanya beberapa siswa yang meraih medali emas dalam "momen" olimpiade pendidikan tingkat internasional. Indeks kualitas pendidikan nasional masih cukup rendah dibandingkan negara tetangga. Pendidikan nasional belum mampu mengantarkan alumnusnya men- jadi komunitas cendekia atau tenaga kerja terampil yang siap bersaing di pasar kerja mewakili jalur pendidikan vokasional.

Evaluasi menyeluruh

Lantas, ke manakah arah, orientasi pendidikan tahun 2017?

Pendidikan tahun 2017 idealnya memiliki resolusi yang terpetakan dan mampu mendorong peningkatan mutu kualitatif pendidikan nasional. Pertama, penegasan pemberlakuan Kurikulum 2013 secara menyeluruh di seluruh sekolah dasar-menengah atau jika ingin pergantian kurikulum harus sesuai kepentingan semua komponen pemangku kepentingan pendidikan. Kurikulum pendidikan idealnya mendorong transformasi sosiokultural yang mencerdaskan masyarakat dan generasi pembelajar.

Kedua, UN harus dikoreksi dan direvisi metodologi, teknis, dan formatnya sehingga tak merugikan kepentingan siswa atau guru. UN 2017 jangan menjadi beban bagi siswa dan menguntungkan jasa bimbingan belajar berorientasi UN. UN melibatkan guru yang punya otonomi dalam pengajaran untuk membantu merumuskan soal evaluasi.

Ketiga, penyelenggaraan sekolah sehari penuh harus diterapkan dengan berlandaskan aspek kearifan lokal. Ia jangan jadi beban bagi siswa, orangtua siswa, dan guru. Negara harus bertanggung jawab atas pembiayaan penyelenggaraan program sekolah sehari penuh. Program itu di daerah pinggiran dan perdesaan perlu ditangguhkan, menunggu kesiapan infrastruktur pendidikan dari mulai ketersediaan guru hingga peningkatan kualitas pendidikan di level sekolah.

Tak kalah penting adalah pemerataan guru di seluruh pelosok Tanah Air. Untuk itu diperlukan diskresi kebijakan dengan membuka penerimaan CPNS/PNS untuk tenaga pendidikan yang dikhususkan pada program penyebarluasan tenaga guru.

Penting juga pemerintah pusat melakukan efisiensi anggaran pendidikan agar tepat sasaran dan tepat program. Pola pemborosan anggaran pendidikan harus diakhiri dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program yang dijalankan oleh birokrat pendidikan. Pendidikan tahun 2017 minimal harus mulai merealisasikan tanggung jawab negara terhadap jaminan hak sosial-budaya masyarakat dalam akses pendidikan berkualitas.

ARI KRISTIANAWATI

Guru SMAN 1 Sragen

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Resolusi Pendidikan 2017".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Keberagaman (TEUKU KEMAL FASYA)

Silakan cari intan- berlian keberagaman sekemilau kampung kelahiran saya, Gampong Mulia, Banda Aceh. Mungkin itu satu- satunya kampung di Indonesia—atau bahkan di dunia—berpenduduk mayoritas Muslim yang berdiri tiga gereja sekaligus. Tiga dari empat gereja di Banda Aceh berada di Gampong Mulia.

Demikian pula wihara. Dari empat wihara yang terdapat di Banda Aceh, tiga di antaranya berdiri di sana. Apakah secara sosio-kultural kampung itu semulia namanya? Tidak juga. Seperti galibnya kampung-kota lain, ada saja problem sosial dan kenakalan remaja yang terjadi.

Namun, untuk masalah konflik bernuansa agama dan keyakinan, jangan harap bisa dipancing. Padahal, beberapa gereja dan wihara posisinya berdekatan dengan masjid dan meunasah (mushala) yang gaung peribadatan dan hilir- mudik umat pasti terasa setiap saat. Ini juga bukan kampung "sekuler". Setiap malam minggu masih terdengar dalailul-khairat: lantunan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan doa kepada ulama terdahulu.

Empiris keberagaman

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Aceh beberapa tahun ini melakukan program pembinaan kampung-kampung keberagaman di Banda Aceh, termasuk Gampong Mulia. Namun, kampung-kampung itu bukan beragam dan toleran karena program itu. Jauh sebelum itu, sejarah keberagaman telah tumbuh bagai pohon yang kokoh, bertunas dan berbuah dalam interaksi sosial, serta akarnya menghunjam dalam kognisi sosial masyarakat.

Secara empiris, fakta keberagaman dan rinai-rinai keunikan telah terbentuk puluhan hingga ratusan tahun. Kampung-kampung toleransi itu menginisiasi dan mempromosi nilai-nilai inklusif yang merupakan hasil interaksi dinamis, baik oleh masyarakat asli, pendatang, urban, dan komunitas diaspora.

Pengalaman itu menunjukkan bahwa masyarakat yang lama berkhidmat dalam keberagaman sebenarnya memiliki daya untuk membangkitkan energi perjumpaan sosial-ekonomi-kultural secara kreatif. Potret mayoritas- minoritas tidak pernah menebal menjadi sumbu konflik di dalam masyarakat seperti itu. Relasi mayoritas-minoritas terkaburkan oleh sikap saling memerlukan dan bergantung. Pandangan itu kemudian membentuk budaya bersama dan hasrat untuk satu; memakai istilah Ernest Renan:Le Desir D'Etre Ensemble. Kampung seperti itu ikut membentuk mekanisme mitigasi konflik sosial secara alamiah dan menjadi bendungan toleransi yang saling menghargai.

Masyarakat pendatang pun tak pernah menajamkan identitasnya sehingga melahirkan sentimen dari kaum tempatan. Masyarakat Tionghoa-Banda Aceh yang sebagian besar beretnis Khek dan Hokkian tak memiliki relasi dan imajinasi dengan tanah leluhurnya. Sebagian mereka berbahasa Aceh dan tidak lagi menguasai aksara Han. Sejarah etnis Tionghoa telah bermigrasi ke Aceh sejak abad ke-13 hingga 1950-an. Peunayong atau pecinan di Banda Aceh telah terbentuk sejak abad ke-18.

Pencarian asal-usul nama Peunayong sendiri juga tidak ditemukan dalam bahasa Mandarin atau sub-bahasa Tionghoa. Hal ini menandakan proses penamaannya berlangsung dialektis, bercampur dengan efek fonetis Aceh. Konon dulu ada kapal Jong dari Tiongkok. Setiap kapal bersandar, penduduk Aceh bertanya kepada orang asing yang datang dalam bahasa "Tarzan": "Apakah ada kapal Jong yang bersandar?" (Peuna ['kapai] Jong?) sehingga terbentuk sebutan Peunayong sebagai kampung bandar bagi komunitas Tionghoa.

Di sini terlihat kultur Tionghoa yang puritan pun bisa berbaur sedemikian rupa dengan kultur tempatan sehingga membentuk budaya baru: masyarakat Tionghoa-Aceh. Seperti menyatunya karakter tim barongsai Aceh pada PON XIX yang mendapatkan perunggu. Dengan apik mereka mengoreografi permainan barongsai dan liong dengan tarian Ratoeh Duek (sejenis Saman perempuan).

Nilai-nilai global baru

Meskipun demikian, kampung-kampung keberagaman yang tentu banyak di seantero Nusantara, jadi penanda kebinekaan, tetap akan menghadapi kendala oleh serbuk "nilai-nilai global baru", seperti fundamentalisme, totaliterisme, eksklusivisme, politik identitas. Merambat secara pasti, nilai-nilai destruktif itu menggerogoti modal sosial serta menelusup di dalam krisis otoritas politik dan kesejahteraan untuk membenarkan hadirnya nilai artifisial itu sebagai identitas "Indonesia baru".

Kita alpa, nilai-nilai primordialisme sempit itu tak tepat lagi didiksikan, apalagi dipraktikkan di era penuh perbedaan seperti saat ini. Indonesia dengan beragam sejarah etnis, budaya, dan agama memang pernah memiliki pengalaman kecelakaan konflik sektarian, tetapi tidak perlu dipuja sebagai sesuatu yang patut dilestarikan. Karena pada saat yang sama, sejarah toleransi dan peradaban keberagaman terjadi lebih banyak lagi.

Di Indonesia, kampung-kampung (keberagaman) itu menghadapi tantangan pada level politik, geografi, dan demografi yang lebih makro, yaitu kota. Masyarakat kampung yang sebelumnya berinteraksi sosial dan merayakan kesenian-kebudayaan bersama komunitas berbeda secara santun tiba-tiba mulai dibatasi dan dikriminalisasi oleh kebijakan pemerintah kota atas nama perda/qanun.

Jika kampung disimbolkan sebagai komunitas alamiah, tempat masyarakat mengabsorpsi pengetahuan (dan agama) secara bijaksana dan tak melupakan nilai-nilai keluhuran lokal, maka kota metafora masyarakat-individu yang retak kekerabatannya tetapi merasa unggul secara intelektual. Mereka mengonsumsi lebih banyak pengetahuan (agama) secara global, tetapi mempraktikkan secara egoistik, salah kaprah, dan artifisial secara lokal.

Jadi, tak heran ketika melihat fenomena fundamentalisme dan radikalisme sesungguhnya wujud ketidaksadaran masyarakat-pelaku atas situasi lokal karena delusi yang dialaminya dalam kontradiksi-kontradiksi global. Fenomena Trump, tragedi Rohingya, dan enigma NIIS adalah bagian kontradiksi global, yang tak patut mencari jalan rajamnya di sini.

Saran penting, jika ingin melihat oase keindonesiaan yang teduh dan sejuk, perhatikanlah kampung-kampung di sekitar Anda. Di sana masih ada masyarakat yang tekun merawat perbedaan demi kebersamaan, yang tak begitu saja lancung untuk mengata-ngatai tetangga beda agama dan etnis sebagai kafir atau musuh. Mereka menyadari bahwa satu kampung adalah satu keluarga. Menyakiti anggota keluarga sama dengan menyakiti diri sendiri karena rasa sesal yang akan berkekalan.

Di kampung-kampung yang berkhidmat terhadap keberagaman kita menemukan Indonesia sesungguhnya. Sebaliknya, terhadap yang khianat (biasanya bukan warga kampung yang baik) kita tak akan menemukan diksi jernih Indonesia di dalamnya.

TEUKU KEMAL FASYA

Dewan Pakar NU Aceh; Baru Menyelesaikan Riset tentang Genealogi Keberagaman dan Inklusi Sosial Banda Aceh, Kerja Sama Lakpesdam NU Aceh dan The Asia Foundation

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Keberagaman".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Media Sosial dan Gerakan Politik (NOOR HUDA ISMAIL)

Kesigapan Densus 88 menggulung jaringan teroris yang berserakan di Tangerang, Payakumbuh, dan Batam layak diapresiasi.

Sejak bom Hotel JW Marriott tahun 2009, tidak kurang dari 50 rencana serangan teror telah digagalkan oleh Densus 88. Namun, satu hal yang paling penting untuk disikapi bersama, seperti diungkapkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, sebaran ideologi, taktik serangan, pendanaan—juga perekrutan—kali ini dilakukan secara online (daring), terutama melalui media sosial.

Bagaimana media sosial mengubah dinamika terorisme di Indonesia?

Dalam buku The Logic of Connective Action (2011), Bennett dan Segerberg mengingatkan bahwa nalar kerja tradisional sebuah gerakan politik, termasuk terorisme, yang menekankancollective action (aksi kelompok) akan tergerus dengan nalar kerja baru gerakan politik yang bersifat connective action'(aksi yang dilakukan karena kesamaan ide).

Dalam pola baru ini, keterlibatan dalam gerakan politik menjadi lebih cair dan bersikap sangat personal. Pada pola lama, mengharuskan adanya pengorganisasian yang tersusun rapi. Dalam pola ini, identitas diri melebur jadi identitas kelompok. Sementara dalam pola baru, untuk jadi pelaku kekerasan, orang tak harus repot terlebih dahulu menjadi anggota sebuah kelompok jihad yang selama ini sudah dikenal, seperti Jamaah Islamiyah, Jamaah Anshorut Tauhid, dan Jamaah Anshorut Daulah.Kelompok-kelompok ini hanya dijadikan "batu loncatan" oleh mereka untuk membentuk kelompok baru yang lebih ganas.

Dalam skenario pola baru, selama orang itu connect atau "nyambung" secara ideologi, mereka akan dengan mudah tergerak untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut meski mereka tidak pernah bertemu sama sekali. Barangkali, ini yang menjelaskan kenapa calon "pengantin" (pelaku bom bunuh diri) Dian Yulia Novi (27), yang hanya "mengaji" lewat Facebook itu, kemudian "nyambung" dengan jaringan Bahrun Naim yang berada di Suriah bersama ISIS/NIIS.

Lebih menarik lagi, pola baru ini ditandai munculnya kecerdikan mereka dalam memberikan gaya hidup dan harapan baru, meskipun secara daring, ketika ada calon anggota yang mengalami kepedihan hidup, seperti sulitnya mendapatkan jodoh. Celah inilah yang dipakai sebagai modus para ISISers—julukan bagi pendukung NIIS di Indonesia, seperti Sholihin. Ia memberikan jebakan asmara berkedok jihad kepada Dian, TKW asal Cirebon yang menjadi tulang punggung keluarganya itu.

Meski kedua mempelai maut ini mengaku bergerak atas perintah Bahrun Naim, sejatinya mereka tak pernah bertemu secara langsung dengannya. Bagi Sholihin, sarjana agama yang terlahir dari keluarga NU di Jawa Timur ini, berbaiat atau sumpah setia kepada pemimpin tertinggi NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi, itu cukup dilafalkan dalam hati. Sudah merasa "nyambung" dengan ideologi sang khalifahitu, menurut Sholihin, adalah syarat minimal menjadi bagian dari NIIS.

Peleburan identitas

Oleh karena itu, dengan memakai cara pandang The Logic of Connective Actionmilik Bennett dan Segerberg, media sosial itu akan berpengaruh secara efektif kepada tiga kelompok.

Pertama adalah group of interest , yaitu kelompok yang memang sejak awal sudah tertarik dan memimpikan lahirnya sebuah alternatif sistem politik baru yang tidak sekuler.Mereka setuju dan mendukung konsep khilafah, tetapi belum menjadi bagian dari khilafahsecara resmi dengan berbaiat misalnya.

Jangan dibayangkan mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah kaum pinggiran seperti santri yang sarungan dan atau lelaki bercelana ngatung dan berjenggot atau perempuan yang bercadar. Tidak sedikit dari kalangan menengah, bahkan menengah-atas, yang sudah belajar di luar negeri pun tergoda dengan pesona khilafah ini.Bagi mereka, sistem sekuler neoliberal kapitalis telah menjauhkan mereka dari fitrah seorang manusia yang punya hubungan vertikal kepada Tuhannya.

Kedua adalah community of practice atau memang mereka yang sudah mempraktikkan ide mereka itu dengan jadi bagian dari gerakan yang menolak sistem sekuler ini.Di Indonesia, gerakan ini tidak tunggal dan terkadang bermusuhan satu dengan lainnya.

Misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara terbuka selalu mengatakan bahwa permasalahan sosial politik dan ekonomi di Indonesia ini akan terselesaikan jika Indonesia meninggalkan Pancasila dan beralih ke sistem khilafah. Namun, HTI pun secara tegas menolak cara-cara kekerasan, termasuk cara teror yang dilakukan para ISISers di Indonesia. Tidak bisa dimungkiri pula, ada sekelompok kecil kalangan penganut mazhab Syiah di Indonesia yang memimpikan lahirnya sistem Syiah ala negara Iran. Sebagian dari mereka sudah berhasil masuk ke dalam sistem parlemen melalui sistem demokrasi yang resmi. Dukungan, terutama dana dari negeri para Mullah ini, mengucur kepada gerakan ini.

Ketiga, activism atau para praktisi yang secara aktif merekrut anggota baru untuk mendukung gerakan mereka melalui media sosial. Di sinilah peran Bahrun Naim, yang melalui telegram bersandi khusus menginspirasi, mengatur dan mendanai gerakan teror di Indonesia.

Media sosial menjadi arena pembentukan identitas diri yang secara bertahap melebur menjadi identitas kelompok.Mereka tergabung dengan jaringan Bahrun Naim ini dengan pola sel terputus dan tidak saling mengenal satu dengan yang lainnya. Media sosial mempercepat proses peleburan identitas individu menjadi identitas kelompok baru.

Pola baru ini lebih mengerikan. Menurut Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, dari pola ini akan memungkinkan lahirnya fenomena lone wolfe (serigala kesepian). Ini adalah istilah dalam kajian terorisme yang berarti fenomena aksi terorisme yang dilakukan oleh seseorang secara mandiri. Bisa jadi ini terjadi pada anak-anak kita, terutama ketika mereka lebih menemukan identitas diri di dunia maya daripada dunia nyata. Apalagi jika kita sebagai orangtua gagal hadir pada saat mereka galau.

NOOR HUDA ISMAIL

Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, LSM yang Melakukan Pendampingan atas Eks Narapidana Terorisme di Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Media Sosial dan Gerakan Politik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Sulitnya Mendapat Perawatan//Tentang Moratorium Minimarket (Surat Pembaca Kompas)

Sulitnya Mendapat Perawatan

Saya karyawan perusahaan tekstil di Cikampek dan tinggal di Karawang. Saya ingin mempertanyakan prosedur pengobatan anak saya di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat.

Putri saya, Raya Chandramaya, kini usia 18 bulan, sakit di perut. Awalnya kami berobat di klinik di daerah Padalarang. Karena alat kurang lengkap, anak saya di-USG di RS Cahaya Kawaluyan, Kota Baru Parahyangan. Hasilnya, ada jaringan asing di ginjal kanan anak saya. Mereka menyebut malignant neoplasm dan kemudian polycystic kidney disease, lalu menganjurkan ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).

Tanggal 22 Agustus 2016 saya mengurus agar anak saya bisa berobat di RSHS menggunakan BPJS Kesehatan. Raya mendapat nomor rekam medis 000.155.745.8 di RSHS. Hari itu kami ke poliklinik nefrologi, urologi, hematologi/onkologi, dan patologi anatomi. Anak kami menjalani pemeriksaan tes darah, urine, rontgen, USG, CT scan, dan biopsi. Dari hasil biopsi, dokter mendiagnosis anak kami terserang neuroblastoma dan dianjurkan untuk operasi.

Dari hematologi/onkologi anak saya dirujuk ke urologi dan dokter urologi menegaskan bahwa seharusnya anak kami dikemoterapi. Anak saya dikembalikan ke hematologi/onkologi, dianjurkan biopsi ulang, tetapi ditolak bagian patologi anatomi dengan alasan hasil biopsi akan tetap sama. Lalu dirujuk ke bedah anak, ditolak lagi dengan alasan awalnya anak kami pasien urologi. Kami harus ke sini dan ke situ, melakukan ini dan itu, berputar tanpa ujung.

Sudah hampir empat bulan dari sejak pertama kami datang ke RSHS, pengobatan anak kami belum juga berlangsung. Padahal, perut anak kami terus membesar.

Saya pernah minta untuk dirawat inap, tetapi tidak bisa karena kamar penuh. Saya cek ke call center, katanya untuk dapat kamar bisa menunggu sampai tiga bulan.

Kamis, 15 Desember 2016, anak saya bawa lagi ke RSHS, poli anak hematologi/onkologi. Katanya, nanti kalau sudah tidak batuk dan demam, datang lagi. Padahal, selain perut yang membesar, badan anak saya semakin kurus, napas sesak, dan duduk pun tidak bisa bertahan lama.

Untuk ke RSHS, kami harus berangkat subuh naik angkutan umum. Pulang ke rumah malam karena di rumah sakit seharian antre. Bagaimana anak kami bisa sehat?

Saya sangat berharap surat ini mengetuk yang berwenang di RSHS agar putri mungil kami mendapat pertolongan.

RUSIN

Kampung Bakan Wates, Parakan, Tirtamulya, Karawang

Tentang Moratorium Minimarket

Terkait surat Bapak Aries Musnandar di Malang melalui Surat Pembaca Kompas(29/12) berjudul "Moratorium Minimarket", kami dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memastikan kehadiran dan tumbuhnya minimarket tentu saja memiliki dampak positif.

Peran minimarket dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia cukup signifikan, terutama melalui penyerapan hasil produksi yang dipasarkan di jaringan minimarket dan juga penyerapan ratusan ribu tenaga kerja. Peritel juga telah menjalin kerja sama kemitraan dengan warung tradisional dalam memberikansupply produk yang berkualitas melalui jaringan minimarket demi peningkatan ekonomi masyarakat kecil.

Terkait penyelenggaraan donasi di toko, Aprindo memastikan peritel hanya membantu yayasan dalam menghimpun dana untuk berbagai aksi kemanusiaan. Itu pun dilakukan secara sukarela dan atas persetujuan konsumen. Tidak benar tudingan bahwa konsumen dipotong donasi secara otomatis oleh kasir minimarket. Sebab, hal itu menyalahi prosedur. Pemerintah melalui Kementerian Sosial hanya mengizinkan peritel menghimpun dana masyarakat bukan untuk mengelola sumbangan. Pengelolaan sumbangan dilakukan pihak yayasan.

Kami mengucapkan terima kasih atas semua kritik dan saran yang diberikan untuk perbaikan pelayanan kami di masa mendatang. Kami berkomitmen untuk senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Salam, Tim Komunikasi dan Media DPP Aprindo.

NUR RACHMAN, KETUA BIDANG KOMUNIKASI DAN MEDIA APRINDO

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Catatan Akhir Tahun Pertanian (DWI ANDREAS SANTOSA)

Sekalipun kerja keras sudah dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan jajarannya, pertumbuhan sektor pertanian tampaknya masih belum menggembirakan. Bank Indonesia dalam laporan November 2016 menyatakan pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terus mengalami pelambatan.

Pada 2014 pertumbuhan sektor tersebut masih 4,24 persen dan menurun menjadi 4,02 persen di 2015. Pada 2016 terjadi pelambatan pertumbuhan yang tajam di seluruh triwulan (I hingga III) jika dibandingkan 2015 (y-on-y). Pada triwulan I pertumbuhan menurun dari 4,01 menjadi 1,77 persen, triwulan II dari 6,86 menjadi 3,35 persen, dan triwulan III dari 3,34 menjadi 2,81 persen. Sektor pertanian mengalami pelambatan laju pertumbuhan selama dua tahun terakhir ini.

Ekspor komoditas pertanian pada Januari hingga Oktober 2016 menurun cukup tajam dari 3,1 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,7 miliar dollar AS atau penurunan sebesar 13,8 persen. Adapun ekspor lemak dan minyak hewan/nabati yang didominasi produk kelapa sawit juga menurun dari 15,6 miliar dollar AS menjadi 13,9 miliar dollar AS atau 11,1 persen (BPS, November 2016). Nilai ekspor kelapa sawit, karet, dan teh terus menurun dari tahun 2014 hingga saat ini. Sementara ekspor kopi, kakao, dan lada meningkat di tahun 2015 dibandingkan 2014 dan kemudian menurun tajam di tahun 2016.

Sebaliknya impor komoditas pertanian masih sulit untuk ditekan. Total impor biji-bijian (serelia), di antaranya gandum, jagung, dan beras, pada periode Januari-Oktober 2016 justru meningkat dari 2,48 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,75 miliar dollar AS atau meningkat 10,75 persen. Khusus untuk impor beras terus terjadi peningkatan tiga tahun terakhir, dari 472.000 ton di 2013 menjadi 844.000 ton (2014), 862.000 ton (2015), dan 1.163 ton (hingga Oktober 2016) (BPS, November 2016). Impor kelompok sayuran juga meningkat dari 466 juta dollar AS menjadi 567 juta dollar AS atau meningkat sebesar 21,69 persen. Sementara impor biji-bijian berminyak, terutama kedelai, sedikit menurun dari 1,08 miliar dollar AS menjadi 1,02 miliar dollar AS.

Harga pangan dan kesejahteraan petani

Harga beras pada 2016 relatif stabil dengan fluktuasi rendah yang menunjukkan produksi dan stok yang memadai di tahun ini. Perbedaan harga terendah dan tertinggi untuk beras medium rata-rata nasional hanya Rp 355 per kilogram dibandingkan Rp 1.027 per kilogram di 2015. Rata-rata harga beras medium nasional naik 5,4 persen dari Rp 10.153 di 2015 menjadi Rp 10.705 di 2016, jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan di 2015 sebesar 13,5 persen (Kemendag, 2015-2016).

Produk dengan persentase impor sangat tinggi yaitu gandum dan kedelai, harganya di pasar domestik menurun karena turunnya harga kedua komoditas ini di pasar dunia. Untuk jagung dan gula yang persentase impornya juga cukup tinggi harganya di 2016 ini meningkat justru ketika harga di pasar internasional menurun. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang membatasi impor jagung dan kesalahan prediksi produksi gula nasional sehingga impor terlambat dilakukan. Harga bawang merah juga meningkat tajam di tahun ini karena kebijakan pembatasan impor. Harga daging sapi masih sangat tinggi mendekati Rp 115.000 per kilogram, tetapi fluktuasi dan kenaikan harganya relatif rendah dibandingkan tahun 2015. Sumber protein lain, yaitu daging dan telur ayam ras, mengikuti pola fluktuasi tahunan dengan harga rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2015.  

Hal penting lain adalah kesejahteraan petani. Salah satu indikator kesejahteraan petani adalah nilai tukar petani (NTP). Meskipun NTP Gabungan Nasional masih berada di atas 100, nilai tersebut mengalami penurunan dari 102,03 (2014) menjadi 101,61 (2015) dan 101,67 (hingga November 2016). NTP tanaman pangan mengalami peningkatan dari 98,88 di 2014 menjadi 100,35 di 2015. Peningkatan NTP disebabkan harga beras yang melonjak tinggi di tahun tersebut. Pada 2016 NTP tanaman pangan terus menurun dari 103,94 di bulan Januari 2016 menjadi 98,17 di bulan November 2016.

Rekomendasi

Meskipun upaya keras membangun sektor pertanian masih menghadapi berbagai tantangan, sektor tersebut sangat penting bagi Indonesia dan masih menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB, menurut lapangan usaha) terbesar kedua setelah industri pengolahan. Hingga triwulan III-2016, PDB dari sektor ini sudah Rp 463,2 triliun. Distribusi sektor ini terhadap PDB menurut lapangan usaha juga terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 13,34 persen di 2014 menjadi 13,52 persen di 2015 dan di atas 14,0 persen di 2016 (BPS, November 2016).

Sektor pertanian juga tetap penyumbang lapangan pekerjaan terbesar dengan jumlah pekerja di Agustus 2016 mencapai 37,77 juta orang meskipun sudah menurun lebih dari 1 juta orang dibandingkan Agustus 2014 (38,97 juta orang). Jumlah ini jauh melampaui sektor perdagangan (26,69 juta orang), jasa (19,46 juta orang), dan industri (15,54 juta orang).

Mengarusutamakan pembangunan sektor pertanian dan pangan memiliki dampak yang strategis bagi keberlanjutan pembangunan, termasuk pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Apalagi dari hasil kajian Indeks Kelaparan Global (IKG) 2016 dari International Food Policy Research Institute (IFPRI), posisi Indonesia masih terpuruk (IFPRI, Oktober 2016). Skor IKG Indonesia di tahun 2016 sebesar 21,9 yang menurun dari 28,6 di tahun 2008. Skor tersebut masih masuk dalam kategori "skala kelaparan serius" (skala 20,0-34,9). Di antara para tetangga di Asia, Indonesia berada di bawah Tiongkok (7,7),  Malaysia (9,7), Thailand (11,8), Vietnam (14,5), Filipina (19,9), dan Kamboja (21,7), tetapi lebih baik daripada Myanmar (22,0) dan Sri Lanka (25,5).

Terdapat tiga dimensi IKG, yaitu persentase ketidakcukupan pasokan pangan, persentase anak kekurangan gizi, dan persentase kematian anak di bawah lima tahun. Pembangunan pertanian sangat terkait dengan pemenuhan kebutuhan kalori dan gizi masyarakat sehingga dapat menurunkan skala ketiga dimensi IKG tersebut.

Pemusatan perhatian yang terlalu berlebih pada program Pajale (Padi, Jagung, dan Kedelai) selama dua tahun terakhir ini mendistorsi pembangunan di subsektor lain yang penting dalam peningkatan devisa dan ekspor. Pemerintah perlu mulai memperhatikan sektor lain, terutama perkebunan rakyat yang NTP-nya terus menurun dan untuk tahun ini hanya berada di kisaran 96,14 (terendah) dan 98,91 (tertinggi). Pada kondisi saat ini, program pertanian tanpa reforma agraria adalah upaya "menjaring angin". Semua upaya peningkatan produksi hanya akan berada di atas kertas belaka dan defisit pangan dan impor pangan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Redistribusi lahan untuk petani kecil sebagaimana yang diamanatkan dalam Nawacita harus benar-benar serius dilakukan.

Tata kelola pangan sangat terkait dengan ketersediaan data yang akurat terutama data produksi dan stok. Ketidakakuratan data menyebabkan kebijakan pangan bermasalah dan menimbulkan fluktuasi harga yang merugikan petani dan konsumen. Gejolak harga di tahun 2015 seharusnya menyadarkan kita bersama bahwa ada masalah serius terkait data.

Terakhir, peningkatan kesejahteraan petani harus menjadi fokus utama pembangunan pertanian. Kebijakan tata kelola pangan yang selama ini fokus ke kepentingan konsumen perlu diubah menjadi fokus ke kepentingan petani dengan menjamin harga yang menguntungkan di tingkat usaha tani. Pola subsidi (benih dan pupuk) dan berbagai bantuan yang selama ini terbukti tidak efektif perlu diubah menjadi pembayaran langsung dan subsidi output. Diharapkan melalui perubahan kebijakan yang mendasar terjadi peningkatan kesejahteraan petani dan meningkatkan ketertarikan generasi muda di bidang pertanian. Peningkatan produksi hanyalah buah dari upaya keras meningkatkan kesejahteraan petani dan bukan sebaliknya.

DWI ANDREAS SANTOSA

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia/AB2TI, dan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Catatan Akhir Tahun Pertanian".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jumat, 30 Desember 2016

TAJUK RENCANA: Apresiasi untuk Kepolisian (Kompas)

Apresiasi layak diberikan kepada Polri, khususnya Polda Metro Jaya, yang segera mengungkap kasus perampokan disertai pembunuhan di Pulomas, Rabu.

Kasus perampokan, yang disertai kekerasan, sehingga mengakibatkan enam orang meninggal, di Pulomas, Jakarta Timur, diperkirakan terjadi Senin (26/12) sore. Tragedi itu baru diketahui Selasa pagi. Sebelas orang disekap di kamar mandi sempit oleh pelaku sehingga pemilik rumah, Dodi Triono (59), beserta dua putrinya, dua sopir pribadi, dan seorang teman putrinya tak tertolong.

Rabu siang polisi membekuk empat orang, yang disebut sebagai pelaku, di Jakarta Timur dan Bekasi. Tersangka Ramlan Butar Butar tewas ditembak karena melawan. Seorang tersangka lain hingga Kamis masih diburu.

Kecepatan jajaran Polda Metro Jaya mengungkap kasus di Pulomas tidak terlepas dari kewaspadaan Dodi dalam melindungi keluarganya. Rumah mewah itu dilengkapi dengan kamera pemantau (CCTV) sehingga meski pelaku merusak dan mencuri data CCTV, kehadiran mereka tetap terungkap. Profesionalisme polisi tentu saja juga menjadi penentu keberhasilan itu.

Bagi warga Jakarta, dalam tahun ini, kasus perampokan di Pulomas bukan yang pertama yang menarik perhatian publik. Awal September lalu, perkara perampokan terjadi di Pondok Indah, perumahan mewah di Jakarta Selatan pula. Tak ada korban jiwa dalam kasus yang diwarnai dengan penyanderaan itu. Pelakunya pun bisa ditangkap polisi dalam waktu kurang dari seminggu.

Perampokan, apalagi disertai kekerasan, bukan tindak pidana yang paling banyak terjadi di wilayah kerja Polda Metro Jaya. Tahun 2015, Badan Pusat Statistik mencatat, Polda Metro Jaya menangani 53.324 perkara pidana, yang mayoritas adalah pencurian kendaraan bermotor. Kepala Polda Metro Jaya (saat itu), yang menjabat Kepala Polri saat ini, Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyebut setiap 12 menit 26 detik terjadi satu tindak kriminal di Ibu Kota dan sekitarnya. Perampokan tak banyak terjadi, tetapi kualitasnya meningkat karena pelaku menggunakan senjata tajam dan senjata api, serta tidak segan melukai korbannya. Tahun ini diperkirakan kriminalitas di Jakarta tak banyak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Lebih dari lima tahun lalu harian ini mengangkat berita utama "Jakarta Makin Menakutkan" (Kompas, 31/10/2011) gara-gara meningkatnya kriminalitas akibat perkembangan kota yang bermasalah. Warga tak bisa hanya menyandarkan keselamatan dirinya pada aparat, khususnya polisi, tetapi juga harus meningkatkan kewaspadaan diri. Di sisi lain, Polri tak boleh lekas berpuas diri dengan keberhasilannya dalam kasus tertentu. Moto "Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat" membutuhkan wujud nyata dengan kualitas layanan yang terus membaik.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Apresiasi untuk Kepolisian".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Ancaman untuk Tunisia (Kompas)

Rakyat dan pihak keamanan Tunisia khawatir atas kemungkinan kembalinya sekitar 5.500 militan asal Tunisia yang berperang di Suriah, Libya, dan Irak.

Mereka bertempur bersama kelompok bersenjata yang berafiliasi pada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Kekhawatiran ini beralasan karena pekan lalu warga Tunisia, Anis Amri, melakukan aksi teror di Berlin, dengan menyerudukkan truk ke bazar Natal di pusat kota, yang menyebabkan 12 orang tewas dan puluhan luka-luka.

Sehari sebelum aksi teror itu terjadi, Pemerintah Tunisia menahan keponakan Amri, yang merupakan anggota sel teroris di Tunisia. Meskipun kejadiannya tidak saling terkait, sang keponakan ini berhubungan dekat dengan Amri, bahkan ia mengenal Amri sebagai pemimpin Brigade Abu al-Walaa yang berafiliasi dengan NIIS.

Dengan semakin terdesaknya posisi NIIS di berbagai front peperangan, khususnya di Suriah, kemungkinan mereka pulang ke negaranya untuk menyusun strategi baru sangat besar. Apalagi, Menteri Dalam Negeri Tunisia sebelumnya mengatakan kepada parlemen bahwa saat ini sudah 800 militan Tunisia yang kembali pulang.

Meskipun Pemerintah Tunisia berjanji akan mengawasi pergerakan orang-orang ini, kenyataan itu memunculkan ketakutan rakyat. Pihak keamanan Tunisia segera mengeluarkan pernyataan yang mendesak pemerintah Beji Caid Essebsi melarang militan pulang dan mencabut kewarganegaraan mereka.

Tunisia menjadi perhatian internasional setelah revolusi 2011 yang menggulingkan diktator Presiden Zine al-Abidine Ben Ali dan menyulut apa yang disebut Musim Semi Arab.

Pemerintahan baru Presiden Essebsi dan PM Youssef Chahed kemudian bertekad membawa negara ini di jalur demokrasi. Namun, kesulitan ekonomi yang dihadapi Tunisia membuat tingkat pengangguran tinggi, meskipun satu di antara tiga penganggur dipastikan adalah warga terdidik.

Pemerintahan Ben Ali yang koruptif, serta kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), juga mewariskan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar antara kelompok kecil kroni presiden dan warga kebanyakan. Oleh karena itu, akhir November lalu, Tunisia mengundang negara-negara di dunia untuk menanam investasi di Tunisia. Kuwait, Arab Saudi, Perancis, dan negara lainnya sudah menyatakan niat mereka untuk berinvestasi, sementara AS bersedia melatih pasukan lokal untuk melawan terorisme.

Kini, Presiden Essebsi menghadapi persoalan pelik. Di satu sisi dia tidak bisa melarang para militan pulang ke negerinya karena bertentangan dengan undang-undang, di sisi lain dia didesak memilih jalan yang bisa merawat stabilitas politik dalam negeri dan pemulihan ekonomi Tunisia.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Ancaman untuk Tunisia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kembali ke Kearifan Lokal //Menggelitik Penalaran//Lampu Lalu Lintas Tidak Berfungsi (Surat Pembaca Kompas)

Kembali ke Kearifan Lokal

Saya lahir 55 tahun lalu dan tinggal sampai jelang remaja di Sidikalang, Dairi. Kawasan ini hanya 25 km terpaut dengan Kabupaten Aceh Selatan. Bagi kami, lahir dan besar di jalur gempa klop dan melekat dengan ungkapan "untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak".

Getaran gempa biasa terasa setiap minggu bahkan lebih, dari skala yang ringan hingga yang sangat kuat, termasuk yang kemudian menjadi penyebab tsunami Aceh 2004. Maka, dari sejak kecil, naluri sadar gempa ini terpatri dalam sanubari dan merupakan hal biasa.

Saya yakin itulah alasan mengapa rata-rata gedung dan rumah di pesisir barat Aceh dan Sumatera Utara kala itu dibangun dengan menggunakan bahan kayu dan atap seng.

Hingga tahun 1990-an saya belum pernah mendengar ada korban meninggal akibat ditimpa reruntuhan bangunan di Sidikalang dan Dairi, sekuat apa pun gempa yang terjadi.

Kearifan alam itu lazim berlaku dari jazirah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Pulau Perca, Sumatera. Namun, sejalan dengan keterbukaan informasi dan kemajuan ekonomi masyarakat, penduduk berlomba-lomba membangun rumah beton, bertingkat pula. Kearifan lokal yang selama ini dipraktikkan mulai ditinggalkan.

Hemat saya, dari sinilah awal mula meruaknya korban bencana. Setiap gempa timbul, cukup banyak bangunan yang roboh menimpa penghuninya hingga timbul korban jiwa, seperti yang terjadi belakangan ini.

Oleh karena itu, saya mengusulkan agar pemerintah kembali menyosialisasikan perlunya kembali pada kearifan lokal dan petuah leluhur agar rakyat membangun rumah dari bahan kayu yang lebih tahan gempa. Dengan demikian, korban jiwa dapat diminimalkan.

Berumah kayu sederhana tidak perlu malu disebut miskin karena keselamatan jiwa kita jauh lebih utama daripada sekadar gengsi dan harga diri.

SAHAT SITORUS

Jalan Bambu Duri 3, Duren Sawit, Jakarta Timur

Menggelitik Penalaran

Dalam ranah pelaksanaan pemilihan umum ada istilah yang melekat, yaitu istilah pemungutan dan perhitungan suara.

Frasa suara merupakan istilah atau sebutan bermakna tidak berwujud (abstrak) yang tidak dapat dilihat, diraba, apalagi dihitung. Sebenarnya, satu-satunya indera kita yang berkaitan dengan suara hanya pendengaran.

Kalau yang terkait dengan ketatabahasaan selama ini ada istilah merata (massive) yang juga tidak masuk di akal, yaitu rangkaian kata terbesar kedua, ketiga, dan seterusnya. Setahu saya, awal "ter" dalam kaidah ketatabahasaan Indonesia, frasa paling berarti satu-satunya. Jadi tidak ada paling kedua, paling ketiga.

Untuk klasifikasi/urutan kedua, ketiga, dan seterusnya akan lebih tepat jika didahului dengan kata peringkat.

Sebagai pencinta bahasa Indonesia, saya mengharapkan Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia yang di TVRI dulu diasuh oleh Anton M Moeliono sebaiknya juga dibuat di berbagai saluran televisi. Ini mengingat bahasa Indonesia sudah semakin rusak, amburadul, dan absurd gara-gara digunakan para politisi.

FS HARTONO

Purwosari, Sinduadi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

Lampu Lalu Lintas Tidak Berfungsi

Saya mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Saya sudah lama tinggal di Kabupaten Purwakarta. Berangkat kuliah, Purwakarta-Bandung, saya tempuh menggunakan motor.

Saat saya kembali ke Purwakarta, saya melihat ada tiga lampu lalu lintas yang sudah tidak berfungsi, masing-masing di perempatan Kebon Kolot Jalan Veteran, Jalan Ibrahim Singadilaga di dekat Taman Makam Pahlawan, dan lampu lalu lintas sebelum masuk Tol Jatiluhur.

Lampu lalu lintas menjadi patokan kami para pengendara, juga rambu-rambu lalu lintas lainnya, agar selamat di jalan.

Namun, gara-gara lampu lalu lintas mati, saya dan ayah saya menjadi korban kecelakaan bermotor di Jalan Ibrahim Singadilaga. Ada pengendara motor yang tidak sabar menunggu untuk bergantian melintas.

Saya benar-benar berharap kota Purwakarta bukan hanya indah dengan taman-tamannya, melainkan indah pula dari segi infrastruktur lalu lintas dan ketertiban pengendaranya.

HERLINA HANDAYANI

Panorama Indah RT 004 RW 013, Ciseureuh, Purwakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Peringkat Ke-40 dan Pelaksanaan Kontrak (HA ZEN UMAR PURBA)

"Target saya tentu saja kita berada di 40 besar daftar negara dengan kemudahan berusaha."

Presiden Joko Widodo di depan enam CEO Belanda, 23/11/2016

Angka 40 di atas sudah beberapa kali diucapkan Presiden RI akhir-akhir ini. Tetapi, itu memang perlu sebagai pemicu semangat untuk bisa meningkatkan peringkat kemudahan berusaha di RI.

Dalam laporan Doing Business (DB) 2017 yang dikeluarkan Bank Dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-91 dari 190 negara dalam ease of doing business ranking. Ini lompatan lumayan dari peringkat ke-109 tahun sebelumnya. Langkah kebijakan pembangunan Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah mendapat catatan khusus oleh Bank Dunia.

Tetapi, Presiden ingin lebih jauh dari itu. Ia mencita-citakan peringkat ke-40 sehingga tidak tertinggal jauh dari negara-negara jiran, seperti Malaysia dan Thailand, yang untuk 2017 masing-masing di peringkat ke-23 dan ke-46. Peringkat ke-91 yang tercapai sekarang, kata Jokowi, jangan ditepuki dulu.

Sebetulnya kita sudah merasa puas dengan peringkat di bawah 100 itu. Sebab, sejak dikeluarkannya Doing Business pada 2004, Indonesia tiap tahun selalu berada di peringkat di atas 100. Bukan hanya itu. Tidak pernah terdengar kepedulian dari otoritas untuk memperhatikan aspek kemudahan berusaha yang dikeluarkan oleh badan dunia itu. Baru pada Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, pada akhir 2013, Menko Perekonomian Hatta Rajasa waktu itu mengatakan keinginannya agar tahun berikutnya (2014) Indonesia berada pada peringkat di bawah 100.

Tanda tangan basah

Beberapa langkah peningkatan dicatat Bank Dunia. Misalnya, telah adanya forum peradilan untuk gugatan kecil sebagaimana tertuang  dalam Peraturan Mahkamah Agung No 2/2015. Perhatian yang besar bagi kelompok UMKM menyebabkan  diperlukannya pengaturan  besar modal yang sesuai sehingga  lahirlah  PP No 29/2016 yang memungkinkan modal perseroan terbatas (PT) kurang dari Rp 50 juta. Selama ini Bank Dunia mencatat persyaratan jumlah  modal di Indonesia termasuk sebagai  penghambat  kemudahan berusaha.

Reformasi menyeluruh terhadap aspek korporasi masih ditunggu. Sementara itu, perusahaan di pasar modal dewasa ini sedang dirintis kemungkinan penggunaan sistem pemungutan suara secara elektronik (e-voting) pada rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Terbuka. E-voting, yang sudah dilakukan di beberapa negara, akan melancarkan pemegang saham atau kuasanya menghadiri beberapa  RUPS dalam waktu bersamaan.

Masih perihal elektronik, berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, tanda tangan elektronik pun sebetulnya sudah dimungkinkan. Tetapi, tampaknya ini perlu sosialisasi yang lebih luas, terutama bagi pengadilan yang masih mengandalkan tanda tangan basah.

Seperti diketahui, peringkat kemudahan berusaha ditentukan oleh 10 indikator atau komponen, yang untuk DB 2017 adalah pembukaan usaha; perizinan  konstruksi; pendaftaran properti; pemerolehan listrik; pembayaran pajak; perdagangan lintas  negara; pemerolehan kredit; perlindungan pemegang saham minoritas; pelaksanaan kontrak  (enforcing contracts); dan penyelesaian insolvensi.

Ke-10 indikator ini oleh Bank Dunia masing-masing diberi  peringkat, lalu dari keseluruhannya didapatlah peringkat kemudahan berusaha. Indikator pelaksanaan kontrak perlu diperhatikan karena  peringkatnya yang terburuk: 166. Padahal, di Malaysia indikator ini berada di peringkat ke-42 dan Thailand ke-51. 

Indikator ini terdiri atas tiga sub-indikator, yakni waktu, biaya, dan kualitas putusan. Tentang waktu di Indonesia diperlukan 471 hari. Dibandingkan Malaysia dan Thailand, jumlah hari ini tak begitu besar bedanya.

 Biaya? Di sinilah soalnya. Di Indonesia, untuk melaksanakan kontrak dibutuhkan  biaya 118,1 persen dari klaim; jadi hilang ayam, tebus dengan kambing. Di Malaysia dan Thailand, biaya ini masih wajar: 37,3 persen dan 19,5 persen dari total klaim. Biaya dipecah ke tiga bagian: biaya pengadilan  (3,1 persen); pelaksanaan putusan (25 persen); dan biaya advokat, yang besarnya cukup mencengangkan: 90 persen!

Saya pikir pihak-pihak terkait perlu membahas hal ini. Profesi advokat dan kalangan bisnis pengusaha mungkin tidak begitu menggubris hal ini karena mereka telah puas dengan alternatif penyelesaian sengketa, termasuk arbitrase. Apalagi arbitrase sedang mendapat panggung di Indonesia.

 Bank Dunia sendiri mencatat, praktik mediasi dan arbitrase berjalan baik dengan memberi nilai 2,5 dalam skala 0-3. Namun, betapapun,  perbaikan indikator pelaksanaan kontrak melalui pengadilan tetap perlu. Sebagai unsur pendukung kemudahan berusaha, ia diharapkan dapat menyumbang tercapainya atau terdekatinya peringkat 40 kemudahan berusaha, yang diharapkan Presiden, dan tentu kita semua.

HA ZEN UMAR PURBA

Dosen Program Pascasarjana FH UI dan Arbiter

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Peringkat Ke-40 dan Pelaksanaan Kontrak".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger