Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 30 Desember 2016

Kembali ke Kearifan Lokal //Menggelitik Penalaran//Lampu Lalu Lintas Tidak Berfungsi (Surat Pembaca Kompas)

Kembali ke Kearifan Lokal

Saya lahir 55 tahun lalu dan tinggal sampai jelang remaja di Sidikalang, Dairi. Kawasan ini hanya 25 km terpaut dengan Kabupaten Aceh Selatan. Bagi kami, lahir dan besar di jalur gempa klop dan melekat dengan ungkapan "untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak".

Getaran gempa biasa terasa setiap minggu bahkan lebih, dari skala yang ringan hingga yang sangat kuat, termasuk yang kemudian menjadi penyebab tsunami Aceh 2004. Maka, dari sejak kecil, naluri sadar gempa ini terpatri dalam sanubari dan merupakan hal biasa.

Saya yakin itulah alasan mengapa rata-rata gedung dan rumah di pesisir barat Aceh dan Sumatera Utara kala itu dibangun dengan menggunakan bahan kayu dan atap seng.

Hingga tahun 1990-an saya belum pernah mendengar ada korban meninggal akibat ditimpa reruntuhan bangunan di Sidikalang dan Dairi, sekuat apa pun gempa yang terjadi.

Kearifan alam itu lazim berlaku dari jazirah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Pulau Perca, Sumatera. Namun, sejalan dengan keterbukaan informasi dan kemajuan ekonomi masyarakat, penduduk berlomba-lomba membangun rumah beton, bertingkat pula. Kearifan lokal yang selama ini dipraktikkan mulai ditinggalkan.

Hemat saya, dari sinilah awal mula meruaknya korban bencana. Setiap gempa timbul, cukup banyak bangunan yang roboh menimpa penghuninya hingga timbul korban jiwa, seperti yang terjadi belakangan ini.

Oleh karena itu, saya mengusulkan agar pemerintah kembali menyosialisasikan perlunya kembali pada kearifan lokal dan petuah leluhur agar rakyat membangun rumah dari bahan kayu yang lebih tahan gempa. Dengan demikian, korban jiwa dapat diminimalkan.

Berumah kayu sederhana tidak perlu malu disebut miskin karena keselamatan jiwa kita jauh lebih utama daripada sekadar gengsi dan harga diri.

SAHAT SITORUS

Jalan Bambu Duri 3, Duren Sawit, Jakarta Timur

Menggelitik Penalaran

Dalam ranah pelaksanaan pemilihan umum ada istilah yang melekat, yaitu istilah pemungutan dan perhitungan suara.

Frasa suara merupakan istilah atau sebutan bermakna tidak berwujud (abstrak) yang tidak dapat dilihat, diraba, apalagi dihitung. Sebenarnya, satu-satunya indera kita yang berkaitan dengan suara hanya pendengaran.

Kalau yang terkait dengan ketatabahasaan selama ini ada istilah merata (massive) yang juga tidak masuk di akal, yaitu rangkaian kata terbesar kedua, ketiga, dan seterusnya. Setahu saya, awal "ter" dalam kaidah ketatabahasaan Indonesia, frasa paling berarti satu-satunya. Jadi tidak ada paling kedua, paling ketiga.

Untuk klasifikasi/urutan kedua, ketiga, dan seterusnya akan lebih tepat jika didahului dengan kata peringkat.

Sebagai pencinta bahasa Indonesia, saya mengharapkan Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia yang di TVRI dulu diasuh oleh Anton M Moeliono sebaiknya juga dibuat di berbagai saluran televisi. Ini mengingat bahasa Indonesia sudah semakin rusak, amburadul, dan absurd gara-gara digunakan para politisi.

FS HARTONO

Purwosari, Sinduadi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

Lampu Lalu Lintas Tidak Berfungsi

Saya mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Saya sudah lama tinggal di Kabupaten Purwakarta. Berangkat kuliah, Purwakarta-Bandung, saya tempuh menggunakan motor.

Saat saya kembali ke Purwakarta, saya melihat ada tiga lampu lalu lintas yang sudah tidak berfungsi, masing-masing di perempatan Kebon Kolot Jalan Veteran, Jalan Ibrahim Singadilaga di dekat Taman Makam Pahlawan, dan lampu lalu lintas sebelum masuk Tol Jatiluhur.

Lampu lalu lintas menjadi patokan kami para pengendara, juga rambu-rambu lalu lintas lainnya, agar selamat di jalan.

Namun, gara-gara lampu lalu lintas mati, saya dan ayah saya menjadi korban kecelakaan bermotor di Jalan Ibrahim Singadilaga. Ada pengendara motor yang tidak sabar menunggu untuk bergantian melintas.

Saya benar-benar berharap kota Purwakarta bukan hanya indah dengan taman-tamannya, melainkan indah pula dari segi infrastruktur lalu lintas dan ketertiban pengendaranya.

HERLINA HANDAYANI

Panorama Indah RT 004 RW 013, Ciseureuh, Purwakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger