Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 Agustus 2014

Setelah 69 Tahun (ASEP SALAHUDIN)

TAHUN ini, kita memasuki usia 69, sebagai bangsa berdaulat yang terbebas dari sekapan kaum kolonial.
Dalam rentang waktu itu tentu saja banyak pengalaman berbangsa yang semestinya mengharuskan kita lebih dewasa. Lebih matang dalam bernegara. Kekuasaan silih berganti, muncul dan tenggelam. Kedatangannya dirayakan karena membersitkan harapan baru, tetapi akhirnya berujung dengan kutukan karena menyelewengkan wewenang.

Orde Lama yang notabene lahir dari rahim kaum pergerakan, bahkan langsung di bawah kendali Bung Karno, ditumbangkan dengan arak-arakan karena dipandang terlampau sibuk dengan retorika politik dan utopia, tidak pernah lelah memburu mimpi revolusi yang sedari awal dianggapnya belum usai, tetapi alpa mendistribusikan kesejahteraan.

Orde Baru semula disambut gempita. Soeharto dipandang antitesis Soekarno. Lembut, kalem, dan tak cakap berorasi. Senyuman khasnya seperti membersitkan tawaran hidup teduh. Namun, sejarah juga yang mencatat. Alih-alih menghadirkan negara kesejahteraan, negara kepulauan yang dipimpinnya tak ubahnya harta warisan menjadi bancakan keluarga dan handai tolannya dengan menjadikan Golkar mesin politik despotiknya. Golkar di tangannya, meminjam istilah Friedrich Nietzsche, lebih dingin dari monster paling mengerikan sekalipun. Yang berbeda dilibas, falsafah negara dimonopoli penafsirannya selaras nafsu kuasanya.

Di tangan Orde Reformasi, Orba menemui ajalnya yang sangat tragis dalam sebuah huru-hura politik yang banyak memakan korban. Kekuasaannya yang panjang, 32 tahun, rontok. Ekonomi yang semula dibanggakan, bahkan nyaris dipandang sebagai kekuatan Asia, ternyata hanya isapan jempol belaka.

Orde Reformasi tentu saja risalah awalnya "interupsi ideologis" atas segenap kebobrokan sebelumnya. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY adalah tiga sosok yang diberi peran sejarah untuk membenahi sengkarut sosial, politik, dan ekonomi. Satu hal yang tak boleh diabaikan berkah reformasi adalah kebebasan yang sebelumnya tak terbayangkan. Nyaris di luar kebebasan yang menjadi bagian dari politik harian bangsa kita, kita tidak (belum menemukan) capaian pemerintah yang cukup berarti. Boleh jadi kita jatuh dari satu kutub ekstrem yang satu ke kutub yang lain. Dan, hari ini yang menjadi daulat utama, seperti mendaur ulang kisah lama dengan format sedikit berbeda, bukan lagi ekonomi dan budaya, melainkan politik tampil sebagai panglima.

Politik panglima
Politik seperti menemukan habitatnya. Dipercakapkan tidak saja di tingkat elite, tetapi juga menjadi santapan khalayak lewat terpaan televisi dan terlebih media sosial yang tak lagi terhindarkan. Politik didedah di ruang publik, terbentang mulai dari perbincangan sangat ilmiah (bahkan nyaris tidak dipahami, tidak hanya oleh pemirsa, tetapi juga oleh narasumbernya) sampai yang berwatak entertainment atau fitnah dan aksentuasi kemurkaan.

Yang paling pendek rentang waktunya, seperti dalam Pilpres 2014, kita melihat bagaimana politik dihadirkan tak ubahnya pergelaran "perang Baratayuda". Yang dilemparkan ke segenap rakyat senarai isu yang seharusnya terkubur: sentimentalisme agama, ihwal "tubuh", dan segala hal yang berujung "kampanye hitam". Politik yang semestinya tampil sebagai "seni" justru menjadi "air seni" yang tak layak dikonsumsi karena "najis", "bau pesing", dan sangat mendangkalkan akal sehat.

Politik yang kemudian, lewat risalah otonomi daerah, ternyata di sisi lain menghasilkan para penguasa lokal bermental raja-raja tempo dulu. Tak ubahnya daulah, APBD (dan APBN) diolah dengan semangat "kekeluargaan". Sejarah juga yang mencatat hari ini setelah Indonesia merdeka 69 tahun dalam hitungan ratusan kepala daerah, pimpinan partai, bahkan anggota kabinet harus mendekam di terali besi. Kalau dulu kaum pergerakan memaknai politik sebagai siasat agar bangsa lekas terbebas dari jeratan kaum kolonial dengan mempertaruhkan benda dan nyawa, kini mereka yang mengaku kaum elite dengan sempurna menganggit politik sebagai kendaraan untuk memburu rente juga dengan pertaruhan "tubuh" dijerat KPK (kalau ketahuan).

Tempo hari Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Soepomo, Wahid Hasyim, Natsir, dan yang lainnya memasuki gedung konstituante dengan nalar menjulang, bacaan literasi kuat sehingga tercipta perdebatan mencerahkan. Sekarang modal masuk gedung Senayan cukup popularitas dan selebihnya modal finansial. Maka, jangan heran, produk perundang-undangan yang dihasilkan alih-alih visioner malah hanya menjadi ajang transaksi kepentingan. Legislasi hanya menyisakan pasal-pasal persembahan untuk kepentingan kaumnya, kepentingan sempit dan sesaat. Jangan harap dapat menyimak sebuah perdebatan cerdas kalau penampilan luaran jauh lebih didahulukan ketimbang isi kepala. Tidak perlu banyak meminta mereka berpikir sistematik, runtut, dan rasional seandainya keyakinan metafisis dan klenik masih dijadikan pegangan utama dalam jas dan jubah politiknya.

Pasaraya agama
Tak kalah mengenaskan, setelah Indonesia merdeka 69 tahun, ternyata pemahaman keagamaan tak banyak mengalami perubahan kalau tidak dikatakan mengalami kemunduran. Kontestasi menawarkan "agama" sebagai ideologi bangsa pasca Reformasi lebih gempita. Importir keagamaan yang berhaluan keras, fundamentalis, dan eksklusif tampaknya kian gencar karena kaum importir yang kebanyakan KTP-nya dari Timur Tengah tahu kondisi sosial bangsa kita sedang tak stabil, kepemimpinan lemah, negara tak memiliki sikap tegas, masyarakatnya mudah terpesona hal yang datang dari luar, baik dari Barat (budaya Barat) maupun dari dataran padang pasir (budaya agama).

Sikap lapang dalam mengapresiasi keragaman budaya, etnik, dan agama yang jadi warisan kaum leluhur dan telah dipraktikkan dalam penghayatan manusia Nusantara ratusan tahun lebih mendapatkan ancaman serius. NKRI yang diperjuangkan para pendiri bangsa justru diuji hari ini dari gempuran yang datang dari anak negeri yang telah terpikat fantasi haluan bernegara khilafah abad pertengahan, terpesona gerakan eksklusif keagamaan yang menawarkan hidup dalam sebuah "negara" penuh dongeng yang digali dari hikayat kerajaan Tuhan pada masa silam. Setelah 69 tahun, seharusnya negeri ini telah menemukan adabnya. Kita harapkan, di tangan pemerintahan baru, kaum penguasa tak boleh lagi disibukkan hal-hal tak penting, tetapi harus jelas menuju rute bernegara yang sehat. Politik dagang sapi, bancakan anggaran, pengemplangan dana haji, dan jualan citra diri yang jadi muasal situasi berbangsa tak ubahnya rimba (homo homini lupus) harus ditanggalkan. Segenap rakyat juga harus tegas memberikan sanksi sosial atas setiap pelanggaran itu. Wakil rakyat dan eksekutif yang bermain-main dengan kekuasaannya fardu ain difatwakan haram dipilih lagi pada pemilu mendatang.

Negara harus jadi payung besar segenap anak bangsa, tenda yang memberikan rasa nyaman dan jaminan tumbuh kembangnya keragaman. Sekaligus tegas ketika melihat setiap ancaman gerakan politik dan keagamaan yang bisa jadi batu sandungan tegaknya negara kesatuan.

Asep Salahudin 
Intelektual Muda NU; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008396208
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Negara dan Krisis Kebudayaan (Iwan Meulia Pirous)

NEGARA mendesak Rancangan Undang-Undang Kebudayaan segera disahkan, tetapi rupanya belum juga dilakukan karena banyak kritik dari segala penjuru.
RUU Kebudayaan masih normatif, belum menyentuh persoalan krisis kebangsaan dengan realistis. Kebudayaan hanya dianggap bernilai jika ada hubungan dengan kepentingan nasional, seperti jadi branding nilai dan produk yang potensial mendatangkan kontribusi ekonomi demi keperluan pembangunan.

Perspektif ini memberi peluang bagi negara untuk memperoleh keuntungan besar dengan menempatkan kebudayaan dalam dua hal. Pertama, sebagai "nilai-nilai yang mengusung orientasi tindakan produktif". Kedua, sebagai "benda-benda yang bernilai ekonomi tinggi".

Inilah yang mendatangkan kritik. Substansi RUU dianggap terlalu menempatkan kebudayaan sebagai hal yang harus diatur- atur dan dikontrol serta dilepaskan dari manusia yang membuat dan memilikinya. Namun, apa yang sesungguhnya jauh lebih darurat dari kritik di atas?

Konstitusi Pasal 32 (amendemen) menyebutkan, negara memajukan dan mengembangkan  kebudayaan Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan kebudayaannya. Kebudayaan nasional diterjemahkan  sebagai mozaik dari kumpulan berbagai etnis yang unik dan bersatu padu secara harmonis.

Boleh saja model "fungsional- utopis" tetap digunakan untuk menjelaskan kepada turis asing soal keanekaragaman ideal, tetapi tetap perlu analisis lain untuk bergerak maju. Pembahasan kebudayaan harus bersifat otokritis, korektif, strategis, dan dialogis atas perbedaan kultural. Itu satu-satunya jalan realistis untuk hidup di alam kebinekaan.

Tubuh yang paradoks
Orde Baru memotong-motong tubuh kompleks realitas sosial jadi organ-organ terpisah. Melalui kurikulum sekolah, SD sampai perkuliahan, orang Indonesia dibesarkan dalam label keilmuan yang mengharuskannya membedakan persoalan politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, penegakan HAM, dan sejarah sebagai hal yang berdiri sendiri. Maka, siswa tidak terbiasa membangun analisis dari berbagai sudut yang berbeda untuk mencapai kesimpulan besar. Mereka jadi fasih untuk berpikir sektoral untuk soal-soal besar dengan kesimpulan kompromis biasa.

Apa yang terlewat dari RUU Kebudayaan adalah aspek manusia dinamis dengan segala holistik kemanusiaannya dalam proses pembentukan kebudayaan. Politik Orde Baru melahirkan manusia-manusia tipikal paradoksal: religius dan patuh dalam berbelanja, konsumtif dalam simbol-simbol agama, dan toleran terhadap kekerasan dalam penegakan moral. Namun, juga lunak dan ragu terhadap korupsi, ketidakadilan, serta pelanggaran HAM di depan matanya.

Tipologi manusia seperti ini tak lepas dari keberhasilan Orde Baru membangun sikap alergi terhadap soal politik sebatas cermin dari kegagalan "Orde Lama" akibat terlalu "larut" berpolitik dan "lupa" mengurus ekonomi.  Sampai hari ini transisi ideologi 1966 belum dibahas secara benderang dengan mengaitkan penindasan perjuangan kelas, kekerasan sistematis negara, sebagai konsekuensi pembentuk wajah sesungguhnya dari "kepribadian bangsa" yang patuh terhadap desakan pasar, dan toleran terhadap kekerasan.

Puitis dan progresif
Dari perspektif pelaku, kebudayaan adalah tindakan. Kebudayaan merupakan respons strategis atas tantangan-tantangan zaman yang digunakan sebagai pedoman tingkah laku kolektif. Kebudayaan kental dengan suasana praktik membangun solidaritas untuk memperkuat diri dan kelompok. Kebudayaan juga berkembang karena proses interaktif dan negosiatif antarpelaku dari kelompok lain. Dalam taraf tertentu , bahkan kebudayaan adalah pedoman untuk melakukan perlawanan dan gerakan sosial kolektif dalam menuntut hak.

Dari perspektif pengelola, termasuk pemangku kepentingan dan negara, kebudayaan adalah kumpulan kearifan lokal dan juga etos atau nilai-nilai yang dianggap kepribadian luhur. Definisi kedua ini lebih puitis dan populer, tetapi tidak cukup operasional untuk membuka sekat-sekat ketidakadilan, kritik, dan dialog. Justru malah menciptakan kebingungan paradoksal. Misalnya, mengapa orang Indonesia yang ramah-ramah ini makin lama makin keji saja terhadap perbedaan kepercayaan?

Maka, masukan penting jika RUU Kebudayaan ingin berguna, kaji kembali kehadiran negara dalam mengelola kebudayaan. Banyak pranata lokal Nusantara ini sudah hadir demokratis dan berdikari sebelum Indonesia ada, tetapi hilang denyutnya. Cegah penetrasi kapital yang membuat ketergantungan dan menciptakan hierarki kelas, buka kembali dialog. Kaitkan penegakan HAM sebagai bagian kebudayaan, bela dan jalankan rekonsiliasi terhadap korban-korban konflik politik dan sosial pada masa lalu.

Iwan Meulia Pirous
Pengajar Departemen Antropologi FISIP UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008552360
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Presiden Pro Petani (Khudori)

SETIAP menjelang pemilu; petani, nelayan, dan keluarganya jadi komoditas seksi.
Pelaku politik mana pun tahu pertanian masih jadi rebutan 41 persen tenaga kerja Indonesia, dan ditekuni 26,13 juta rumah tangga petani (sekitar 104 juta jiwa). Orang kota penting, tetapi orang desa yang jumlahnya banyak jauh lebih penting. Siapa berhasil memikat petani dipastikan meraih banyak suara. Petani dan pertanian lumbung suara yang bisa menyediakan tiket bagi siapa pun untuk menduduki kursi presiden/wakil presiden.

Itu sebabnya tiap kampanye calon presiden/calon wakil presiden selalu mengangkat tema kebutuhan pokok, nasib petani, dan pangan sebagai isu utama. Namun, setelah pemilu, petani, nelayan, dan keluarganya biasanya ditinggalkan. Posisi mereka amat penting saat di bilik suara, tetapi begitu presiden/wapres terpilih daya tawar mereka turun drastis. Ini karena mekanisme one man one vote tak berlanjut dalam pengambilan kebijakan saat mereka berkuasa. Inilah pentingnya memilih presiden pro petani.

Kasus global
Sejarah mencatat ada sejumlah presiden pro petani. Pertama, Abraham Lincoln. Presiden ke-16 Amerika Serikat itu menjadi pemersatu Amerika. Ia membebaskan perbudakan di AS pada 1863. Bekas petani ini menilai pertanian menempati posisi khusus. Di hadapan Wisconsin State Agricultural Society, 30 September 1859, ia mengatakan: "Agricultural fairs are becoming an institutions of the country. They are useful in more ways than more. They bring us together, and thereby make us better acquainted and better friends than we otherwise would be".

Tak seperti sektor lain, bagi Lincoln, tak ada proses produksi yang secanggih sektor pertanian: padat ilmu dan teknologi, mulai dari awal sampai akhir. Lincoln memberi pelajaran pentingnya pertanian diurus di atas landasan hukum yang kuat. Pada 20 Mei 1862, ia menciptakan Homestead Act 1862, yang memberikan lahan 160 acre atau 65 hektar per kapling untuk petani. Homestead Act dipandang sebagai simbol demokrasi AS karena merombak struktur sosial warga. Per acre lahan dibayar 1,25 dollar AS.

Dana itu untuk membangun jalan kereta api yang menghubungkan Atlantik dan Pasifik. Di tahun sama, Lincoln melahirkan Morrill Land Grant College Act 1862. UU ini melandasi berdirinya universitas-universitas yang awalnya berbasis pertanian. Keberadaan perguruan tinggi di tiap negara bagian adalah hasil Morril Act. Dengan dua UU itu, Lincoln memberi modal tanah dan otak buat petani/pertanian (Pakpahan, 2012).

Kedua, Presiden AS Franklin D Roosevelt (FDR). Ia mewarisi depresi ekonomi (great depression) di awal 1930-an akibat Wall Street rontok. Pengangguran membengkak, puluhan ribu perusahaan dan bank tutup, puluhan ribu orang bunuh diri, serta petani sengsara. Kesengsaraan dan keputusasaan melanda seluruh negeri. Ia menawarkan agenda New Deal. Untuk melindungi petani, ia menciptakan Agriculture Adjustment Act (AAA) 1933. Tujuan utama, menyembuhkan pertanian dari guncangan depresi ekonomi, terutama harga komoditas pertanian yang sangat rendah. AAA jadi dasar perbaikan harga. Caranya, antara lain, petani dibayar untuk membatasi areal pertaniannya dan pemerintah membeli hasil peternakan.

Kemudian ia menciptakan Commodity Credit Corporation (CCC) pada 1933. Harga-harga komoditas pertanian kembali merayap naik. Antara 1933 dan 1937, harga komoditas pertanian meningkat dua kali lipat. Pada 1936, Mahkamah Agung AS menyatakan AAA ilegal. Namun, FDR tak surut langkah. Ia teguh dengan pendirian dan usahanya mengangkat harkat dan derajat the forgotten men, istilah untuk petani, buruh, dan orang kecil lain, serta menyelesaikan masalah makro secara keseluruhan.

Kini, luas lahan per petani di AS sekitar 200 hektar atau tiga kali luas lahan saat Homestead Act. Meski belum sembuh dari krisis keuangan, AS tetap negara adidaya, terutama di bidang pertanian (Pakpahan, 2004). Bahkan AS merupakan negara terkuat di bidang pertanian meski jumlah petaninya hanya 2 persen.

Ketiga, Presiden Taiwan era 1980-an, Lee Teng Hui. Ia doktor ekonomi pertanian tangguh lulusan Cornell University, AS. Bagi dunia pertanian, Lee dikenang karena memadukan pembangunan infrastruktur fisik dan regulasi di hampir semua kebijakan
ekonomi yang diambilnya. Infrastruktur irigasi, listrik, air bersih, jalan, jembatan, dan telekomunikasi jadi penghubung ekonomi aktivitas ekonomi yang efisien.

Secara khusus, ia meletakkan sektor pertanian sebagai basis ekonomi. Ia yakin pertanian mampu jadi pengganda tenaga kerja karena menciptakan keterkaitan ke depan dan ke belakang yang amat tinggi dengan sektor lain dan jadi pengganda pendapatan lewat penciptaan nilai tambah yang tinggi (pengolahan lewat agroindustri) sekaligus memacu produktivitas SDM.

Selain menyederhanakan prosedur pajak, Lee memberi akses yang seimbang kepada pelaku usaha kecil menengah (UKM) terhadap sumber pendanaan (perbankan dan nonbank) dan memangkas pungli. Usaha besar, terutama di bidang pertanian, terkait erat pada UKM, baik dalam pasokan bakan baku maupun dalam kelancaran arus distribusi barang dan jasa. Teknologi yang dibangun tidak asal high tech, tetapi didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif Taiwan. Lee berhasil metransformasi ekonomi Taiwan secara
mulus: dari berbasis pertanian
ke industri yang tangguh. Kini, Taiwan bersama Hongkong, Korea Selatan, dan Singapura jadi Asian Four Tigers. Lee menjadi contoh baik transformasi ekonomi.

BPS  mencatat, pertanian masih jadi gantungan hidup 40,83 persen warga. Sekitar 57 persen dari 63 persen warga miskin di pedesaan adalah petani. Di luar itu pengangguran pada 2014 masih 7,15 juta jiwa (5,7 persen), angka pengangguran terbuka 36,97 juta jiwa, sektor informal dominan dari struktur tenaga kerja (65 persen), dan angka kemiskinan 28,28 juta orang (11,25 persen). Jumlah penduduk defisit energi 30 juta jiwa dan prevalensi anak kerdil sekitar 40 persen, lingkungan hidup makin rusak, kesenjangan ekonomi makin menganga, daya saing ekonomi melemah, dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal. Berapa tahun lagi ketertinggalan itu bisa diselesaikan? Pilpres memberi harapan perubahan. Namun, itu tergantung dari langkah presiden terpilih nantinya.

Tiga syarat
Belajar dari tiga presiden pro petani di atas, untuk kasus Indonesia, seorang presiden (terpilih) bisa disebut pro petani apabila mau dan mampu melakukan tiga hal berikut. Pertama, merombak struktur sosial warisan kolonialisme. Distribusi dan penguasaan sumber daya agraria (lahan) makin timpang. Ini berujung pada konflik agraria yang akut, kemiskinan pedesaan, dan terbatasnya lapangan pekerjaan pedesaan. Tidak cukup reforma agraria, presiden terpilih juga harus mengidentifikasi, menginventarisasi, dan merevisi peraturan perundang-undangan yang masih mengakar/bersumber/berjiwa kolonialisme dan feodalisme.

Kedua, membuat UU Perlindungan Petani (setara AAA). UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang ada jauh dari memadai. Usaha pertanian berisiko besar. Ketika terjadi bencana alam, hama dan penyakit negara harus menjamin petani tidak menderita.

Lewat UU ini negara perlu menjamin bahwa struktur pasar yang jadi fondasi pertanian, baik dalam negeri maupun internasional, merupakan struktur pasar yang adil. Selain itu, semua hal yang menambah biaya eksternal bagi petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian, perlu landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani dapat dilaksanakan sebagai kewajiban dari negara.

Ketiga, UU Restrukturisasi Industri. Pertanian harus dijadikan basis ekonomi dan batu pijak pengembangan industri. Sejarah industrialisasi di Indonesia adalah industri yang memeras petani. Industrialisasi justru menyebabkan pemiskinan sektor pertanian. Pembangunan ekonomi lebih menguntungkan sektor industri/perkotaan. Implikasinya, industrialisasi menyebabkan ketimpangan yang lebar antara sektor pertanian dan industri atau juga meningkatnya ketimpangan wilayah pedesaan dengan wilayah perkotaan. Melalui UU ini, presiden terpilih harus mendorong berkembangnya industri berbasiskan pertanian.

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007781902
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Integritas DPR (Tommi A Legowo)

DEWAN Perwakilan Rakyat baru (2014-2019) segera terbentuk.
Harapan umum, DPR mampu berkinerja lebih baik sehingga makin berintegritas daripada DPR 2009-2014 (saat ini). Gugatan umum kepada DPR saat ini memang tertuju pada rendahnya integritas DPR. Penelitian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (April 2014) yang menghasilkan Rapor Kinerja DPR 2009-2014 menyatakan, dalam skala 0-10, rata-rata nilai kinerja anggota DPR 3,76; komisi DPR 3,74; dan fraksi 3,68. Nilai-nilai ini termasuk kategori buruk.

Sepuluh parpol akan mengisi keanggotaan DPR baru. Jumlah ini lebih satu dibandingkan dengan sembilan parpol di DPR saat ini. Kehadiran Partai Nasdem merupakan suatu kebaruan di DPR. Meski jumlah kursi DPR-nya relatif sedikit (35), gagasan dan semangat restorasi Nasdem yang dibawakan secara konsisten dan konsekuen dapat memberi warna baru di DPR.

Gerindra, PKB, PDI-P, PAN, dan PPP menyumbang keanggotaan baru DPR sebanyak 47, 20, 14, 6, dan 2. Ini tambahan jumlah kursi parpol-parpol itu di DPR saat ini. Jika keseluruhan kursi itu (89) diisi anggota-anggota baru DPR yang relatif fresh dan membawa semangat pembaruan, ini akan mendatangkan suasana baru di DPR. Demokrat, PKS, Golkar, dan Hanura adalah parpol-parpol yang kehilangan sejumlah kursi dari Pemilu Legislatif 2014 jika dibandingkan dengan kursi mereka di DPR saat ini, yakni 89, 17, 16, dan 2. Kehilangan kursi DPR berarti kekalahan politik bagi yang bersangkutan.

Tiga tantangan
DPR baru diisi paling kurang 332 (59 persen) anggota DPR lintas parpol yang membawa potensi pembaruan di DPR. Jika potensi ini mewujud pada tindakan dan kegiatan anggota DPR dalam menjalankan tugas, fungsi, dan perannya secara disiplin dan taat asas, kekuatan sebesar itu akan sangat berpengaruh dalam menegakkan integritas DPR. Tentu mereka juga harus kreatif dan inovatif untuk penyelesaian masalah rakyat serta bersih dari perilaku yang menyalahi hukum, tata susila, dan keadaban.

Global Commission on Elections, Democracy, and Security (2012) merumuskan tiga aspek utama penyelenggaraan politik berintegritas untuk mengokohkan pemerintahan demokratis.

Pertama, integritas merujuk kepada incorruptibility or a firm adherence to a code of moral values (ketidaktercelaan atau suatu pendirian kokoh atas panduan nilai-nilai moral). Memiliki integritas kuat berarti teguh dan konsekuen pada panduan moral atau etika serta tak dapat digoyahkan oleh iming-iming material-finansial ataupun kepentingan-kepentingan sempit (parokial).

Integritas DPR mencakup pendirian terhadap prinsip-prinsip demokratis yang mendasari penyelenggaraan tugas, fungsi, dan peran DPR sebagai perwakilan rakyat, mitra kerja (pengawas dan penyeimbang) pemerintah, dan agen demokratisasi. Panduan proseduralnya ada dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan tata tertib DPR; panduan etikanya ada dalam Kode Etik Anggota DPR.

Sebagai perwakilan rakyat, DPR harus disiplin dan jujur mendengarkan, menyerap, dan memperjuangkan pemenuhan aspirasi rakyat, tak boleh menggadaikan aspirasi rakyat demi keuntungan diri dan kelompoknya.

Sebagai mitra kerja pemerintah, DPR harus mampu mencegah pemerintah sewenang-sewenang dan korup, memastikan kebijakan pemerintah ditujukan bagi kepentingan rakyat. DPR harus bersih dari beragam tindak tercela untuk bisa tegas menjalankan tugas dan memainkan peran itu. Sebagai agen demokratisasi, DPR harus demokratis dalam dirinya sendiri untuk jadi contoh bagi pengembangan demokrasi di masyarakat.

Kedua, integritas juga berarti soundness or unimpaired conditions (kondisi yang terpuji atau teruji). Menyatakan anggota DPR berintegritas berarti menggambarkan anggota DPR itu menjalankan tugas, fungsi, dan perannya secara kompeten dan profesional. Kompeten berarti paham atas masalah pada bidang perhatian dan pengabdiannya. Profesional berarti mampu menyelesaikan masalah dengan baik sesuai tujuannya. Setiap anggota DPR dituntut memperkuat kompetensi dan memupuk profesionalitasnya. Akibat dari DPR tak kompeten/profesional, tidak peduli karena kesengajaan ataupun hambatan lainnya (teknis ataupun politis), rakyat kehilangan kepercayaan kepada DPR. Pengalaman DPR selama masa reformasi jelas membuktikan ini.

Meninggalkan masalah
Ketiga, integritas juga mengacu kepada completeness or the state of being complete (keparipurnaan atau hasil yang paripurna). Pemahamannya, DPR berintegritas adalah DPR yang menyelesaikan tugas, melaksanakan fungsi, dan memainkan perannya secara paripurna (selesai dengan sempurna). Ini berarti tak ada pekerjaan yang ditunggak dan masalah yang ditinggalkan. Pengalaman DPR selama ini banyak menunggak pekerjaan dan meninggalkan masalah. Realisasi Program Legislasi Nasional, misalnya, tak pernah mencapai 50 persen dari target setiap tahun. Pada 2013, hanya mampu menyelesaikan 16 (21 persen) RUU dari target 75.

DPR juga sering meninggalkan masalah. Contoh mutakhir, revisi UU 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Substansi revisi UU ini dinilai menjadikan DPR lembaga tertutup sekadar melancarkan pemenuhan kepentingan kelompok sebagai hasil dari polarisasi politik Pilpres 2014. (Saldi Isra, "Merampas Kuasa Senayan," Kompas, 17/7). Ini bisa jadi masalah besar bagi DPR baru dalam pertanggungjawaban kinerjanya kepada rakyat.

Kebaruan keanggotaan DPR berpotensi besar bagi tegaknya integritas DPR. Apalagi jika setiap pimpinan dan anggota DPR selalu ingat dan berkehendak mewujudkan sumpah/janji pelantikannya. Satu penggalannya "...bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan....". Sumpah/janji itu semestinya diyakini sebagai pernyataan pelepasan kesetiaan kepada parpol atas alasan utama penyerahan kesetiaan kepada negara demi mewujudkan kebajikan umum. Itu integritas DPR.

Tommi A Legowo
Pendiri dan Peneliti Senior Formappi

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008568984
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Manuver di Ujung Kuasa (R Kristiawan)

MENJELANG akhir jabatan, pada 25 Juli 2014 Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengeluarkan keputusan No 729/2014 dan No 730/2014 tentang peluang usaha penyelenggaraan penyiaran multipleksing melalui sistem terestrial.
Ketentuan ini meliputi wilayah layanan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Kepmen Kominfo No 729/2014) dan di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah (Kepmen Kominfo No 730/2014).

Mengikuti kepmen itu, pada 14 Agustus 2014 Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan pengumuman yang berisi antara lain seleksi Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial sesuai Kepmen Kominfo No 729/2014 dan No 730/2014 segera dilaksanakan. Dokumen seleksi harus segera diambil dalam tempo satu minggu untuk obyek seleksi berdasarkan Kepmen No 729/2014 dan satu bulan untuk seleksi berdasarkan Kepmen No 730/2014.

Konteks dari penyelenggaraan penyiaran multipleksing adalah digitalisasi penyiaran yang menggantikan platform analog terestrial, seperti yang berlangsung di platform penyiaran saat ini. Keuntungan dari platform digital ada beberapa. Dari sisi kualitas, penyiaran digital mampu menampilkan kualitas suara dan gambar yang lebih baik daripada platform analog. Selain itu, digitalisasi juga memungkinkan lipatan jumlah frekuensi sebanyak 12 kali dibandingkan dengan analog sehingga jumlah stasiun televisi bisa bertambah banyak.

Ini bisa mendorong keragaman kepemilikan yang sangat cocok untuk negara demokratis. Setiap 12 frekuensi dikelola dalam satu kanal. Kanal ini yang disebut multipleksing. Lalu apakah masalah kepmen Kominfo di atas?

Cacat hukum
Catatan pertama yang layak kepada kedua kepmen itu adalah cacat hukum. Sampai kini program digitalisasi penyiaran belum memiliki UU khusus. Jadi, di level UU, sandaran semestinya UU Penyiaran (UU No 32/2002 yang belum mengatur digitalisasi.

Sebagai pengganti, Kemenkominfo kemudian menerbitkan Permen No 17/2012 tentang Pelaksanaan Penetapan Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing. Inilah yang dijadikan dasar bagi Kepmen No 729/2014 dan Kepmen No 730/2014. Selanjutnya, Permen No 17/2012 dan No 730/2014 mendasarkan diri antara lain pada Permen No 22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air). Ironisnya, Permen No 22/2011 ini sudah dibatalkan Mahkamah Agung pada akhir Oktober 2013.

Kemenkominfo lalu menerbitkan Permen No 32/2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial yang senada dengan Permen No 22/2011 yang dibatalkan. Kedua permen ini masih tetap menempatkan pemilik penyiaran analog sebagai pengelola multipleksing sehingga konsentrasi kepemilikan penyiaran tetap langgeng pada era digital.

Kemenkominfo kemudian menjadikan Permen No 32/2013 sebagai sandaran hukum yang lain. Ini jelas akal-akalan yang hanya peduli pada aspek prosedur hukum, tetapi tidak berniat baik untuk memanfaatkan digitalisasi sebagai teknologi yang mendukung keberagaman kepemilikan. Dari sisi pembagian wilayah, juga terjadi kerancuan, akan memakai sistem berdasarkan zona ataukah provinsi.

Dari masa berlakunya, kedua kepmen itu juga mengundang pertanyaan karena hanya berlaku selama dua bulan sejak 25 Juli 2014 atau sebelum terjadi pergantian kabinet. Apakah yang menjadi urgensi sehingga kedua kepmen itu harus diterbitkan sekarang, sementara Indonesia belum memiliki aturan setingkat UU untuk program sestrategis digitalisasi penyiaran? Selain itu, program digitalisasi minimal tahun 2018 yang dicanangkan Kemenkominfo pun sudah dibatalkan MA. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menegur menterinya karena mengeluarkan keputusan strategis di ujung kekuasaan yang bisa mengganggu program kerja pemerintahan mendatang.

Di balik teknikalitas hukum di atas, sebenarnya apa yang jadi masalah mendasar dari kedua Kepmen itu? Ada masalah besar bagi proses demokratisasi di area penyiaran analog, yaitu persoalan kepemilikan. Prinsip yang dilanggar adalah pembatasan kepemilikan karena Indonesia sebagai negara demokratis menganut sistem pembatasan teritorial. Satu badan usaha boleh memiliki maksimal dua stasiun penyiaran di dua provinsi berbeda.

Prinsip ini berlaku di setiap negara demokratis, seperti AS dan Australia. Pertimbangannya adalah aspek frekuensi sebagai sumber daya terbatas milik publik dan aspek kemampuan penyiaran masuk ke ranah privat tanpa diundang. Kepemilikan stasiun penyiaran tanpa batas akan memunculkan penyeragaman opini. Dalam konteks ini, jelas ada pelanggaran dalam sistem penyiaran kita. Kita menyaksikan satu badan usaha bisa punya beberapa stasiun penyiaran dalam satu provinsi, terutama DKI Jakarta.

Pada kondisi politis, yaitu pemilik media memiliki afiliasi politik, situasinya akan semakin runyam. Salah satu pelajaran penting dari Pemilu 2014 lalu adalah pemakaian media penyiaran sebagai corong politik kandidat. Pemilu Presiden 2014 contoh brutal beberapa stasiun televisi memosisikan diri tidak lebih sebagai pamflet pendulang suara bagi calon yang didukung pemilik stasiun tersebut, ketika manajemen simulasi realitas telah menjadi motor penggerak news room.

Platform digital sebenarnya menjanjikan jumlah frekuensi 12 kali lipat dari jumlah analog sehingga mendukung prinsip demokrasi penyiaran, yaitu keberagaman kepemilikan. Namun, beberapa kali potensi teknologi ini sempat dipangkas Kemenkominfo. Misalnya lewat Permen No 22/2011 yang mengatur bahwa pengelola multipleks otomatis diberikan ke existing owners media penyiaran analog. Padahal, struktur kepemilikan media penyiaran analog bersifat terpusat.

Semangat sama juga tampak pada kedua kepmen yang terasa sangat dipaksakan terjadi di akhir kabinet ini. Bagi proses demokratisasi penyiaran yang sedang diperkuat melalui revisi UU Penyiaran dan penyusunan regulasi penyiaran publik, tidak semestinya kedua kepmen itu diberlakukan sekarang.

R Kristiawan
Manajer Program Media dan Informasi Yayasan Tifa,
Jakarta; Aktif di Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008537372
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Wacana RUU Kebudayaan (Kompas)

DENGAN belum adanya paham yang sama tentang kebudayaan dan masa kerja DPR tinggal beberapa minggu lagi, pengesahan UU Kebudayaan diperkirakan tertunda.
Draf RUU sudah didaftarkan sejak 10 tahun lalu. Masih banyak materi yang perlu ditemukan pemahaman bersama, baik antar-anggota DPR maupun dengan kementerian-kementerian terkait. Belum sampai pada tingkat pembentukan Kementerian Kebudayaan seperti usulan Pasal 8 draf RUU, di tingkat pemahaman awal saja sudah terjadi perbedaan persepsi.

Alasan beberapa instansi terkait, khususnya Sekretariat Negara, bisa kita terima. Penambahan Kementerian Kebudayaan itu menambah beban keuangan negara.

Dengan panduan prinsip pembentukan kementerian baru, pendapat itu masuk akal. Sesuai pula dengan harapan masyarakat agar kabinet baru nanti tidak bersosok tambun, pembentukan kementerian baru bukan pilihan. Analog dengan masalah ini adalah wacana pembagian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah serta kementerian yang mengurusi pendidikan tinggi plus riset.

Akan tetapi, masalah utama tidak terletak pada pembentukan kementerian baru, tetapi lebih pada pemahaman bersama tentang kebudayaan. Kebudayaan dipahami sebatas masalah rekapitulasi dan konservasi, yang memperkuat argumentasi tidak perlunya Kementerian Kebudayaan.

Pemahaman itu barulah sebagian dari pemahaman dan pengertian tentang kebudayaan. Kebudayaan bukanlah peradaban (hasil budaya) yang kasatmata, melainkan juga karya-karya kreatif dalam berbagai bidang.

Strategi budaya dibutuhkan tidak terutama untuk peradaban, tetapi juga dalam artian kata kerja sekaligus ke depan dalam proses menjadi lebih human, lebih membangsa dan menegara.

Apa konkretnya? Membahas RUU Kebudayaan jangan sampai mendahulukan pertimbangan rekapitulasi dan konservasi hasil budaya saja. Pembahasan RUU Kebudayaan perlu mempertimbangkan faktor tujuan yang lebih komprehensif.

Pemisahan kebudayaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan dikembalikan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan langkah lebih maju dan kreatif daripada pembentukan Kementerian Kebudayaan. Sementara pemahaman yang sama tentang kebudayaan diakomodasi dengan target dan rencana kerja. Kita catat praksis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini kurang memberikan perhatian pada masalah kebudayaan dan hanya supersibuk mengurus pendidikan.

Dengan belum satunya pemahaman tentang kebudayaan dan dalam kondisi prepegan habisnya masa kerja DPR periode ini, kita relakan pengesahan RUU Kebudayaan lagi-lagi tertunda. Satukan dulu pemahaman kita tentang kebudayaan, baru dilihat perlu dan tidaknya pembentukan Kementerian Kebudayaan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008588796
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Hubungan RI-Australia Dipulihkan

RENGGANGNYA hubungan Indonesia dan Australia dipulihkan dengan penandatanganan Kesepahaman tentang Tata Perilaku di antara kedua negara, Kamis (28/8).
Naskah kesepahaman di antara kedua negara itu ditandatangani Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menlu Australia Julie Bishop di Laguna Hotel, Nusa Dua, Bali. Dengan penandatanganan Kesepahaman tentang Tata Perilaku itu, kita harapkan hubungan Indonesia dan Australia yang renggang sejak November 2013 akan membaik kembali.

Renggangnya hubungan Indonesia dan Australia dimulai ketika Edward Snowden, pegawai kontrak Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), melalui Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan The Guardian membocorkan bahwa Australia menyadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ny Ani Yudhoyono, serta sejumlah menteri kabinet RI.

Indonesia tidak dapat menerima bahwa Australia sebagai negara yang bersahabat menyadap elite Indonesia. Itu sebabnya, Indonesia memprotes tindakan Australia dan memanggil pulang Duta Besar RI di Canberra Nadjib Riphat Kesoema. Beruntung baik Indonesia maupun Australia sependapat bahwa hubungan baik kedua negara harus segera dipulihkan, antara lain dengan merumuskan dan menyepakati Kesepahaman tentang Tata Perilaku di antara kedua negara.

Agar kejadian serupa tidak terulang, di dalam Kesepahaman tentang Tata Perilaku itu kedua pihak sepakat untuk tidak menggunakan kegiatan intelijen mereka, termasuk penyadapan dan sumber-sumber daya lain, dengan cara-cara yang dapat merugikan kepentingan masing-masing. Bahkan, kedua pihak sepakat untuk mendorong kerja sama intelijen di antara lembaga-lembaga dan badan-badan yang relevan, sesuai dengan hukum dan peraturan nasional masing-masing.

Memang dengan penandatanganan kesepahaman antara Indonesia dan Australia itu, hubungan kedua negara memasuki babak baru untuk selalu saling menghormati. Namun, kita harus sadar bahwa kegiatan sadap-menyadap tak akan serta-merta berhenti. Dunia intelijen mempunyai logika dan cara kerjanya sendiri.

Sadap-menyadap dan mengumpulkan potongan-potongan informasi melalui sumber-sumber lain tetap akan merupakan bagian dari kerja intelijen. Jangan lupa bahwa informasi yang diperoleh lewat kerja sama badan intelijen di antara kedua negara pun perlu diverifikasi.

Walaupun mungkin kita yakin Australia tidak akan lagi menyadap elite Indonesia, tak ada salahnya jika Indonesia dari waktu ke waktu memeriksa keamanan saluran komunikasi elitenya dan tetap menggunakan kata sandi dalam pembicaraan yang strategis, penting, serta rahasia.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008588837
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Agenda Perburuhan Presiden Baru (M Hadi Shubhan)

DALAM beragam pemaparan visi dan misinya menyangkut bidang perburuhan, Jokowi-JK mengusung isu kerja layak, upah layak, dan hidup layak.
Meskipun sangat singkat, visi dan misi perburuhan Jokowi-JK ini justru sangat fundamental, filosofis, dan empiris. Ketiga hal tersebut merupakan masalah dasar yang menjadi akar penyebab dari masalah-masalah perburuhan lain.

Jika Jokowi-JK dalam pemerintahan barunya nanti mampu mengurai tiga isu perburuhan ini, masalah perburuhan lainnya akan dengan sendirinya terselesaikan. Demikian pula sebaliknya, jika Jokowi-JK gagal mengimplementasikan visi dan misi ini, masalah perburuhan akan menjadi batu sandungan roda pemerintahan Jokowi.

Perburuhan memiliki arti sangat strategis dalam menggerakkan roda perekonomian negara. Selama ini buruh telah memberikan kontribusi yang afirmatif dalam posisinya sebagai "bahan bakar" mesin perekonomian. Namun, kondisi kehidupan buruh masih memprihatinkan.

Dalam dua dekade terakhir, buruh mengalami degradasi yang luar biasa atas kelayakan hidupnya. Salah satu indikator terdegradasinya kehidupan buruh yang layak adalah upah yang tergerus nilai riilnya.

Sekadar gambaran, upah minimum DKI Jakarta pada 1996 ada pada angka sekitar Rp 150.000 dan uang sebesar Rp 150.000 ini dapat untuk membeli beras lebih kurang 300 kilogram (harga beras waktu itu sekitar Rp 500 per kilogram). Adapun pada 2014, upah minimum pekerja DKI Jakarta Rp 2,4 juta, tetapi ironisnya uang sebesar Rp 2,4 juta itu saat ini hanya bisa membeli beras 200 kilogram (dengan harga beras pada kisaran Rp 11.000 per kilogram).

Cukup untuk tidak mati
Dari ilustrasi perbandingan nilai riil upah tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa upah buruh dalam dua dekade terakhir telah turun cukup signifikan. Alih-alih buruh dapat hidup layak, untuk bertahan hidup saja mereka harus penuh perjuangan yang sangat berat. Upah yang saat ini diterima oleh buruh itu tidak cukup untuk hidup, tetapi hanya cukup untuk tidak mati.

Kondisi upah buruh yang tidak layak itu sepenuhnya merupakan kesalahan negara dan bukan kesalahan pengusaha sehingga menjadi tanggung jawab negara. Ada dua kesalahan besar yang dilakukan negara yang membuat upah buruh sangat tidak layak selama ini, sementara jika dinaikkan secara signifikan, pengusaha akan tidak mampu membayarnya. Kesalahan ini terjadi secara kumulatif dari pemerintahan presiden yang satu ke presiden yang lain dan dari menteri tenaga kerja satu ke menteri tenaga kerja lainnya.

Kesalahan pertama, negara telah membuat sistem pengupahan yang menghasilkan upah buruh murah. Sistem pengupahan yang murah itu tecermin dari kebijakan melalui peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, baik oleh presiden maupun oleh Menakertrans. Penghitungan nilai upah minum kabupaten didasarkan pada survei kebutuhan hidup layak (KHL). Komponen KHL sudah ditentukan dalam Permenakertrans No 13/2012 yang mengatur komponen KHL jumlahnya "hanya 60".

Dengan basis KHL yang "hanya" 60 komponen, disurvei berkali-kali pun akan menghasilkan indeks yang tetap minim dan pada gilirannya akan dihasilkan KHL yang rendah sehingga penetapan UMP-nya pun rendah. Hal ini disebabkan komponen-komponen itu tidak merefleksikan suatu kebutuhan hidup yang layak. Berdasarkan kajian akademik, untuk menghasilkan komponen layak, semestinya ada banyak komponen yang dimasukkan ke dalam KHL.

KHL yang menghasilkan angka kebutuhan hidup yang minim tidak bisa disalahkan jika para gubernur kepala daerah yang menambah angka UMP sekian puluh persen di atas KHL. Para gubernur sadar bahwa hasil survei KHL itu sangat minim. Jadi, dapat dipahami dua tahun lalu, ketika baru diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi melakukan terobosan dengan menambah tidak kurang dari 30 persen dari KHL. Demikian pula kepala daerah lainnya yang saat ini mengikuti kebijakan Gubernur Jokowi itu.

Kesalahan kedua, eksekusi  kebijakan secara umum yang menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi. Ekonomi berbiaya tinggi menguras anggaran perusahaan, yang berujung pada ketidakmampuan perusahaan untuk membayar upah yang layak untuk buruh.

Hal-hal yang menyebabkan pengusaha merogoh anggaran lebih dalam antara lain disebabkan infrastruktur yang buruk serta sistem bongkar muat di pelabuhan yang lama dan rumit. Belum lagi biaya siluman yang harus dikeluarkan pengusaha, baik untuk upeti oknum maupun untuk biaya perizinan yang seharusnya bebas biaya. Beban-beban yang seharusnya tidak perlu ditanggung pengusaha mengakibatkan beban membayar upah buruh menjadi tergerus dengan beban-beban itu. Akibatnya, ketika harus membayar upah buruh yang layak, pengusaha banyak yang tidak kuat.

Jika kebijakan sistem pengupahan dan eksekusinya sudah diperbaiki, upah layak bukan menjadi utopia bagi buruh. Jika upah buruh sudah layak, kehidupan buruh juga menjadi layak. Penghidupan buruh sudah layak akan berimbas pada keharmonisan hubungan antara pengusaha dan buruh dan, dengan sendirinya, produktivitas akan linier meningkat. Banyak demonstrasi buruh yang terjadi selama ini adalah disebabkan persoalan upah yang tak layak serta soal hak normatif lainnya.

Penguatan pengawasan
Agenda terakhir agar Jokowi dapat mengimplementasikan visi dan misinya di bidang perburuhan adalah penguatan lembaga pengawasan ketenagakerjaan. Karut-marutnya masalah perburuhan, seperti tentang penyumberluaran, pekerja kontrak, dan pemutusan hubungan kerja terletak pada tidak ditegakkannya ketentuan dan aturan hukum perburuhan.

Norma materiilnya sudah lengkap dan jelas. Namun, ketika pengusaha melanggar norma itu, pegawai pengawas ketenagakerjaan membiarkannya bahkan ketika buruh melaporkannya pula, mereka tidak menindaklanjutinya. Walhasil, pelanggaran norma perburuhan semakin lama semakin menggunung dan tinggal menunggu waktu terjadinya peledakan bom waktu revolusi perburuhan tersebut.

M Hadi Shubhan
Dosen Hukum Perburuhan dan Filsafat Hukum pada Program Pendidikan Doktor (S3) Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008185945
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Upaya Membangun Tradisi Politik (Kompas)

PERTEMUAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan presiden terpilih Joko Widodo dinilai penting dilihat dari upaya membangun tradisi baru dalam politik Indonesia.
Makna pertemuan macam itu sebagai bentuk komunikasi sesungguhnya tidak tergolong istimewa, lebih-lebih karena menjadi praktik lazim dalam kehidupan politik di negara-negara demokratis. Namun, dalam konteks perpolitikan Indonesia, pertemuan itu menjadi penting, bahkan mungkin istimewa, karena belum ada presedennya. Tidak pernah terjadi pertemuan antara presiden yang berkuasa dan calon penggantinya dalam konteks persiapan peralihan kekuasaan.

Atas dasar itu, pertemuan SBY-Jokowi hari Rabu malam di Bali dinilai sebagai awal positif dalam membangun tradisi baru dalam politik. Selama ini proses transisi kekuasaan berlangsung dingin dan cenderung tegang. Sampai sekarang masih menjadi pertanyaan mengapa transisi kekuasaan tidak berlangsung mulus dan tenang.

Komunikasi SBY-Jokowi di Bali diharapkan tidak hanya memutus mata rantai transisi kekuasaan yang tidak mulus pada masa lalu, tetapi juga kesempatan bertukar pikiran tentang apa yang harus dilakukan untuk mempercepat pembangunan bangsa dan negara. Tukar-menukar pengalaman dan gagasan sangat penting sebagai bagian dari upaya mengidentifikasi persoalan serta tantangan yang harus dihadapi dan dipecahkan. Sudah banyak yang dilakukan pemerintahan SBY-Boediono, tetapi masih menumpuk pula persoalan yang harus dipecahkan.

Berbagai persoalan seperti korupsi hanya berputar-putar di tempat, tanpa terobosan dalam upaya mengatasinya. Pemerintahan Jokowi-JK diharapkan dapat melakukan terobosan, antara lain dengan menciptakan tata kelola pemerintahan bersih, baik, dan efektif, yang dapat diawali dengan reformasi birokrasi. Tidak kalah mendesak upaya menciptakan kemandirian ekonomi. Kemandirian ekonomi perlu dilakukan dengan meningkatkan produktivitas dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada impor, tanpa harus proteksionis.

Dalam kenyataannya, produktivitas masih rendah dan ketergantungan pada impor masih sangat tinggi. Tantangannya semakin serius karena pertumbuhan ekonomi lebih banyak didorong oleh konsumsi. Kualitas pertumbuhan ekonomi menjadi rendah karena sejumlah komoditas, termasuk yang dapat diproduksi dalam negeri seperti buah-buahan dan garam, masih diimpor. Kedodoran tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik karena reformasi birokrasi tidak berjalan.

Gambaran suram juga terlihat dalam pengembangan kebudayaan. Nilai-nilai luhur bangsa yang berakar pada tradisi bangsa seperti gotong royong dan semangat toleransi semakin memudar, terdesak oleh pengaruh budaya luar yang cenderung radikal, ekstrem, dan tidak toleran.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008572037
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Transparansi Seleksi Anggota BPK (Unggul Suprayitno)

BADAN Pemeriksa Keuangan dibentuk untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi salah satu alat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) agar keuangan negara dikelola dengan baik guna kepentingan rakyat (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK). Untuk itu, diperlukan BPK yang bebas kepentingan dan mandiri. Karena itu, setiap anggota BPK haruslah orang yang memiliki kemampuan profesional memeriksa keuangan negara tanpa keterkaitan dan bebas dari kepentingan mana pun.

Beberapa kelemahan
Menilik seleksi yang tengah berlangsung untuk memilih lima anggota BPK, terlihat beberapa kelemahan. Pertama, proses seleksi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak berkaitan. Semua calon akan mengikuti uji kepatutan oleh DPD yang hasilnya akan diteruskan kepada Komisi XI DPR.

Ada 63 calon yang mengikuti seleksi tersebut. Dari jumlah itu, 25 orang lolos di seleksi DPD. Hasil uji kepatutan oleh DPD akan diteruskan ke DPR yang akan memilih lima nama untuk diserahkan kepada presiden dan dilantik menjadi anggota BPK.

Namun, ternyata hasil uji DPD sama sekali tak mengikat panitia seleksi di DPR, calon pilihan DPD bisa saja diabaikan. Dalam seleksi mencari pengganti Taufiqurrahman Ruki tahun 2013, tiga calon terbaik hasil seleksi DPD tak dipilih Komisi XI. Perlu dipertanyakan fungsi DPD dalam proses ini, terlebih karena ada uang negara yang terbuang percuma karena tahapan seleksi hasilnya tidak digunakan sama sekali.

Kelemahan berikutnya adalah hal yang paling mendasar, yaitu independensi panitia seleksi di Komisi XI. Panitia ini berasal dari parpol, yang sebagian calonnya berasal dari partai yang sama atau berafiliasi terhadap partai tertentu. Ada tujuh calon yang saat ini masih aktif sebagai anggota DPR, berasal dari lima partai. Bahkan, Wakil Ketua Komisi XI menjadi salah satu calon.

Belum lagi calon yang berafiliasi dengan partai tertentu dan tak ditemukan oleh mesin pencari Google. Menjadi anggota badan atau komisi lembaga negara merupakan pilihan menggiurkan bagi anggota DPR yang tak terpilih lagi. Pertanyaannya: apakah panitia seleksi dapat bersikap independen dan profesional jika yang diuji calon dari partainya. Akankah calon bebas dari kepentingan jika ia berasal dari partai atau berafiliasi dengan partai tertentu jika terpilih?

Kelemahan ketiga, beberapa persyaratan tak punya kejelasan tolak ukur. Melihat data riwayat hidup yang dapat diakses publik, khususnya melalui www.jariungu.com, semua calon memenuhi persyaratan umum: warga negara Indonesia, berusia minimal 35 tahun, dan berpendidikan minimal strata satu. Ada beberapa persyaratan khusus yang mungkin menyulitkan calon tertentu. Persyaratan "paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat
di lingkungan pengelola keuangan negara" dapat mempersulit calon dari sektor publik. Persyaratan yang dikenal dengan istilah cooling period' ini dimaknai sebagai pemberian jeda agar calon yang pernah menjadi pejabat pengelola keuangan negara dapat bertindak profesional, bebas dari kepentingan, jika terpilih.

Di sisi lain, ada persyaratan yang dapat menyulitkan calon dari sektor swasta. Persyaratan tersebut: 1) memahami good government and governance, dan 2) mempunyai pengetahuan yang memadai di bidang keuangan negara dalam mengimplementasikan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara. Pengalaman pemilihan sebelumnya menunjukkan tidak sinkronnya penetapan syarat dengan calon yang akhirnya terpilih.

Syarat-syarat di atas jadi pisau bermata dua yang bisa menguntungkan atau merugikan calon tertentu. Apalagi tak banyak orang di negeri ini yang dapat memenuhi persyaratan tambahan kedua itu, yaitu berkaitan dengan implementasi tiga UU keuangan negara. Kecuali jika kita berdebat panjang soal pengertian "pengetahuan yang memadai". Saat ini panitia seleksi jadi satu-satunya pihak yang dapat menafsirkan terpenuhinya persyaratan ini. Kita tak bisa berharap adanya indikator terukur dan dapat diverifikasi ulang pihak lain.

Melihat daftar calon yang diumumkan DPD, terdapat tiga calon yang pejabat petahana (incumbent). Mereka berpeluang dipilih kembali, khususnya karena sebelum jadi anggota BPK, mereka adalah anggota DPR. Asumsinya, jika parpol yang bersangkutan tidak memiliki calon lain, mereka diprediksi dengan mudah melenggang ke gedung BPK. Padahal, pejabat petahana tak otomatis jadi lebih baik dari sisi teknis dan nonteknis. Ada pejabat petahana yang tak mengerti kode etik yang berlaku sebagai anggota BPK dengan menjadi tim sukses salah satu capres. Hal ini jelas melanggar kode etik tentang kebebasan dan kemandirian. Petahana lain memiliki isu etika, khususnya berkaitan dugaan mengubah laporan sebagaimana diberitakan sejumlah media.

Transparansi seleksi
Melihat latar pendidikan para calon, mereka yang berpendidikan S-2 ada 30 orang atau 45 persen. Jumlah sama untuk calon berpendidikan S-3. Hanya tujuh calon atau kurang dari 10 persen berpendidikan S-1. Mayoritas calon, yaitu 82 persen, berusia di bawah 60 tahun, hanya 12 calon berusia 60 tahun atau lebih. Dari sisi pengalaman di bidang pemeriksaan (auditing), hanya 45 persen memiliki pengalaman itu. Berdasarkan pencarian Google, beberapa calon ditengarai memiliki keterlibatan dengan kasus korupsi yang ditangani KPK.

Beberapa variabel, seperti pengalaman di bidang pemeriksaan, memiliki reputasi baik, tak memiliki catatan tercela, serta tidak tercatat sebagai anggota partai, dapat digunakan untuk memilih calon ideal. Variabel usia di bawah 60 tahun bisa ditambahkan agar BPK tidak menjadi ajang para pensiunan pejabat ataupun politikus. Ini merupakan upaya menjadikan BPK bebas dari kemungkinan campur tangan berbagai kepentingan.

Berdasarkan data calon yang tengah mengikuti seleksi saat ini, setelah saringan tadi, diperoleh 18 calon yang memenuhi syarat. Pertanyaan selanjutnya, apakah para calon ideal akan dipilih oleh DPR? Di sisi lain juga timbul pertanyaan, mengapa bukan DPR yang baru terpilih untuk periode 2014-2019 yang memilih anggota BPK? Dugaan kemungkinan adanya usaha campur tangan cukup kuat mengingat pemilihan ini merupakan kegiatan akhir anggota DPD/DPR 2009-2014 sebelum lengser.

Mengharapkan perubahan sistem seleksi dan persyaratan tak dimungkinkan lagi karena proses seleksi tengah berjalan. Peran masyarakat/organisasi sipil diharapkan dapat mengawal proses seleksi dan memilih mereka yang terbaik. Upaya tekanan publik untuk meminta transparansi seleksi harus terus disuarakan. Media massa perlu memberi ruang cukup agar masyarakat luas bertambah paham akan perlunya memiliki BPK yang bebas kepentingan. Transparansi seleksi bisa dilakukan dengan memublikasikan riwayat hidup dan latar belakang para calon, misalnya melalui laman www.dpr.go.id. Pelibatan tim seleksi independen perlu dilakukan. Selanjutnya, tahap seleksi dan pemilihan di DPR perlu dilakukan secara terbuka agar publik mengetahui alasan terpilihnya calon. Jika demikian, cita-cita mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN akan lebih mudah dicapai.

Unggul Suprayitno
Senior Financial Management Specialist, Bank Dunia, Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008536516
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mengurus Infrastruktur Logistik (I Nyoman Pujawan)

BEBERAPA minggu yang lalu, saya berkesempatan melintasi jalan dari Bangkok menuju ke sebuah universitas di wilayah Nakhon Ratchasima.
Jalan yang panjangnya sekitar 275 kilometer kami tempuh sekitar 3,5 jam. Jarak ini lebih kurang sama dengan jarak Surabaya-Banyuwangi. Tahun lalu, Surabaya-Banyuwangi saya lalui dengan lama perjalanan sekitar 6,5 jam. Apa yang membedakan? Jelas lebar dan kualitas jalan ataupun kepadatan lalu lintas. Jalan dari Bangkok menuju Nakhon Ratchasima di Thailand hampir sepenuhnya jalan tol yang lebar, lurus, dengan lalu lintas lebih lengang dibandingkan dengan lalu lintas Surabaya-Banyuwangi.

Ini hanya satu contoh ruas jalan yang begitu bagus di Thailand. Masih banyak ruas jalan lain yang dibangun dengan kualitas yang sama menghubungkan titik-titik ekonomi di Thailand. Hal yang sama akan kita jumpai di Malaysia. Jalan tol yang mulus, misalnya, akan kita temukan dari Johor Bahru ke Kuala Lumpur yang jaraknya sekitar 330 kilometer. Dari sekilas contoh ini, kita bisa tahu perbedaan infrastruktur logistik di Indonesia dengan beberapa negara tetangga. Belum lagi kalau kita membandingkan infrastruktur pelabuhan serta efisiensi kerja mereka.

Sudah sering sejumlah pihak di negara ini membahas pentingnya infrastruktur transportasi dan logistik. Bahkan, tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor  26 Tahun 2012 tentang Sistem Logistik Nasional. Tim kerja untuk implementasi ini berada di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian dan melibatkan beberapa kementerian teknis. Namun, perkembangan infrastruktur transportasi dan logistik di negara kita masih demikian lambat. Pertumbuhan jumlah truk dan mobil yang melintas serta kapal yang lalu lalang tak diimbangi peningkatan ruas dan kualitas jalan serta pelabuhan. Kalau ekonomi kita mau tumbuh lebih cepat dan lebih merata, suatu keharusan untuk secara serius dan besar-besaran kita meningkatkan konektivitas antarwilayah, antarpulau, dan antarsimpul-simpul ekonomi.

Infrastruktur logistik dan daya saing
Infrastruktur transportasi dan logistik yang buruk di negara kita telah menjadi penyebab tidak kompetitifnya produk domestik, terutama hasil-hasil pertanian dan perkebunan, serta maraknya produk-produk impor. Bayangkan saja, biaya untuk mengangkut kontainer dari Sumatera Barat ke Jakarta lebih mahal dibandingkan dengan biaya mengangkut kontainer yang sama dari Hongkong ke Jakarta. Artinya, kalau ada produk seperti jeruk, pisang, dan apel yang ada di wilayah Indonesia, harganya tidak akan bersaing di pasar kita sendiri karena biaya mengangkutnya sampai ke pasar lebih mahal ketimbang untuk mendatangkan produk kompetitor dari luar negeri.

Belum lagi dengan tidak adanya jaringan logistik berpendingin yang sangat diperlukan dalam pengangkutan dan penyimpanan produk-produk segar. Pembaca yang pernah lewat daerah Kintamani di Bali pasti pernah menjumpai begitu banyak petani yang menjajakan jeruk dan buah yang lain untuk dijual di pinggir jalan. Pedagangnya terlalu banyak dan yang membeli terlalu sedikit. Mungkin 80-90 persen buah itu akhirnya busuk dan terbuang. Penduduk perkotaan kita menikmati jeruk impor. Bukanlah ini ironis?

Infrastruktur transportasi dan logistik kita yang buruk sudah banyak ditulis sebagai laporan berbagai kajian, baik oleh peneliti lokal maupun internasional. Data dari USITC (2005) menunjukkan, infrastruktur logistik kita paling buruk dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Skor untuk pelabuhan laut, misalnya, nilai kita 5,91 (paling besar, yang berarti paling buruk) dibandingkan dengan Malaysia (4,98), Thailand (5,50), Vietnam (5,09), Filipina (4,85), dan Singapura (4,36).
Bank Dunia juga secara periodik merilis apa yang mereka namakan sebagai logistics performance index (LPI), di mana untuk 2014 kinerja logistik Indonesia di urutan ke-53 dunia. Bandingkan, misalnya, dengan Malaysia yang ada di urutan ke-25, Thailand (35), Singapura (5), dan Vietnam (48). Salah satu elemen yang menjadi dasar dalam penilaian LPI adalah infrastruktur.

Besaran biaya logistik untuk negara-negara seperti Amerika berkisar sekitar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) mereka. Sementara Indonesia, menurut perkiraan beberapa kalangan, lebih dari 20 persen dari PDB. Infrastruktur yang buruk dan kemampuan pengelolaan yang rendah membuat begitu banyak truk yang berjalan lambat, kapal yang antre lama di pelabuhan, produk-produk yang rusak di perjalanan, ditambah lagi biaya-biaya pungutan di jalan yang membuat biaya untuk mengirim barang dari satu wilayah ke wilayah lain di Indonesia menjadi mahal.

Singapura adalah salah satu negara yang meraup pendapatan yang sangat besar dari sektor transportasi dan logistik. Pelabuhan laut dan bandar udara mereka ciptakan untuk menjadi hub di Asia. Pelabuhan Singapura memang dirancang untuk menjadi persinggahan kapal-kapal besar yang membawa barang dari Eropa atau benua lain untuk tujuan Asia atau sebaliknya. Tulisan seorang dosen MIT (Sheffi, 2012) menyatakan, pelabuhan ini melayani sekitar 200 perusahaan pelayaran (shipping lines) dan memiliki koneksi dengan sekitar 600 pelabuhan lain di dunia. Tak mengherankan jika negara yang penduduknya hanya sekitar 5 juta ini mencatat nilai impor dua kali nilai impor Indonesia.

Tentu saja impor yang besar itu tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduknya karena sekitar 85 persen kontainer yang datang di pelabuhan Singapura sebenarnya adalah untuk dikirim lanjut (transshipment) ke negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia. Artinya, kapal-kapal yang membawa barang untuk tujuan Indonesia kebanyakan harus singgah dulu (dan membayar jasa) ke pelabuhan Singapura. Hal ini tentu saja terjadi karena pelabuhan Singapura memang sudah lama menjalin hubungan yang baik dengan shipping lines, pelabuhan lain di dunia, serta memang memiliki infrastruktur yang sangat memadai dan prosesnya efisien.

Di samping pelabuhan yang besar dan efisien, Singapura juga memiliki infrastruktur pendukung, seperti pusat-pusat pergudangan yang memadai dan dikelola oleh perusahaan-perusahaan logistik kelas dunia. Tulisan seorang peneliti bidang logistik (Tongzon, 2011) menyatakan bahwa ada sekitar 8.000 perusahaan logistik yang beroperasi di Singapura dan 17 di antaranya masuk dalam 25 perusahaan logistik terbesar di dunia.

Agenda ke depan
Salah satu rencana aksi dari sistem logistik nasional adalah membangun pelabuhan hub internasional di Kuala Tanjung. Secara posisi, tempat ini memang strategis karena dekat dengan Selat Malaka yang dilalui sekitar 30 persen kargo laut dunia. Namun, pertanyaannya, cukup besarkah energi pemerintah untuk membangun pelabuhan sekelas dengan Tanjung Pelepas atau sedikit di bawah pelabuhan Singapura? Pertanyaan kedua, cukup besarkah kemampuan menarik perusahaan pelayaran kelas dunia untuk membawa kapalnya merapat di sana nanti? Tentu ini tergantung dari apakah pelabuhannya cukup mentereng, apakah pelayanannya cukup prima, serta apakah tersedia layanan pendukung yang cukup memadai, seperti alat penampungan peti kemas yang luas dan area pergudangan (termasuk yang berpendingin).

Tentu senang mendengar berita-berita bahwa salah satu fokus pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah membangun infrastruktur. Pembangunan infrastruktur haruslah menaruh prioritas yang sangat tinggi pada penciptaan konektivitas simpul-simpul ekonomi. Ini adalah prasyarat mahapenting untuk menciptakan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Tanpa konektivitas yang baik, pertumbuhan ekonomi hanya akan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, sedangkan daerah-daerah yang terisolasi akan semakin tertinggal dari kemajuan ekonomi. Saya membayangkan ada jalan tol yang mulus dan panjang yang menghubungkan Sumatera dari utara sampai ke selatan, antarprovinsi di Sulawesi, begitu juga di pulau-pulau lain.

Gagasan yang dilontarkan oleh presiden terpilih Joko Widodo di sejumlah kesempatan kampanye dan debat mengenai tol laut juga sesuatu yang menarik. Namun, tentu pembangunan sistem transportasi dan logistik harus dilakukan secara terintegrasi. Kapal laut yang mondar- mandir barat-timur melalui beberapa titik pelabuhan di sepanjang Nusantara membutuhkan keseimbangan muatan dari satu titik ke titik lain. Jika tidak, kapal yang kembali ke arah barat dari wilayah timur Indonesia akan sering kosong, yang lagi-lagi mengakibatkan biaya angkut yang tinggi. Pembangunan wilayah timur harus lebih cepat, pusat-pusat produksi harus digenjot agar ada keseimbangan muatan antara barat dan timur. Di samping itu, perlu dipikirkan pula membangun pintu impor di wilayah timur sehingga kargo yang datang dari sebagian Asia Pasifik dan Amerika masuk di pintu Indonesia timur. Ini akan menyeimbangkan muatan barat-timur dan memberikan peluang untuk munculnya pusat-pusat pertumbuhan di wilayah timur.

Tentu ini bukanlah gagasan yang mudah untuk direalisasikan. Ada banyak fasilitas pendukung yang juga harus dibangun. Saya teringat hasil wawancara saya terhadap sebuah pelaku usaha yang mengirim barang ke banyak pelabuhan di wilayah timur Indonesia yang mengeluhkan sering listrik pada dan mengganggu kelancaran operasi pelabuhan. Artinya, infrastruktur harus dibangun sebagai suatu sistem yang terintegrasi, termasuk pasokan listrik yang juga harus mencukupi. Untuk merealisasikan hal yang sangat penting, besar, dan kompleks ini, pemerintah membutuhkan kementerian yang khusus menangani permasalahan infrastruktur, transportasi, dan logistik secara terintegrasi. Tugas-tugas ini sekarang mungkin tersebar di banyak kementerian, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan. Namun, harus dibuat lebih fokus dan terintegrasi dengan anggaran yang jauh lebih besar.

I Nyoman Pujawan
Guru Besar Bidang Supply Chain Engineering ITS;
Anggota Tim Pengembangan Sistem Logistik Nasional
di Bawah Kementerian Koordinator Perekonomian

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008538574
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Benarkah Israel-Hamas Berdamai (Kompas)

GENCATAN senjata akhirnya disepakati Israel dan Hamas. Namun, apakah gencatan senjata itu akan benar-benar melahirkan perdamaian?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu disodorkan akibat dari konflik bersenjata antara Israel dan Hamas yang berlangsung selama tujuh pekan, sejak 8 Juli silam. Konflik bersenjata tujuh pekan itu telah merenggut lebih dari 2.100 nyawa orang Palestina. Sementara Israel hanya kehilangan 64 prajurit dan 6 penduduk sipil.

Perang juga telah meluluhlantakkan begitu banyak bangunan—entah rumah tinggal, gedung-gedung pemerintah, rumah sakit, pertokoan, atau sekolah—di Jalur Gaza.

Infrastruktur di Gaza hancur. Pusat tenaga listrik dihancurkan Israel. Penduduk Gaza juga kesulitan air. Mereka juga kehilangan mata pencarian. Ribuan orang mengungsi. Semua itu tidak dialami penduduk Israel, bahkan mereka yang tinggal di dekat perbatasan bagian utara Jalur Gaza.

Semua itu baru yang bisa dilihat mata dan diraba oleh tangan. Belum dihitung kerugian imaterial, kerugian psikologis, termasuk hilangnya rasa aman, dan juga masa depan demikian banyak anak di Jalur Gaza. Bagaimana masa depan mereka? Apakah mereka akan tetap hidup di bawah bayang-bayang perang?

Harus diakui juga, meski perang usai dan sudah ada gencatan senjata, kebencian dan permusuhan antara Israel dan Hamas belum sirna: masih tetap kuat tertanam dalam hati para pemimpin keduanya. Kebencian dan permusuhan itu bisa sewaktu-waktu meledak, tak tertahankan, dan pecah lagi peperangan. Apakah anak-anak di Gaza akan terus dibiarkan hidup dan berkembang dalam lingkungan seperti itu?

Kita semua berharap, memang, segera akan tercipta situasi dan suasana damai. Ada perdamaian antara Israel dan Hamas. Namun, kalau kita mau melihat kondisi senyatanya, adalah sangat sulit untuk mewujudkan perdamaian itu. Kali ini pun yang bisa dicapai bukan kesepakatan perjanjian permanen, melainkan gencatan senjata.

Meskipun demikian, kita akui ada capaian penting—ini yang membuat Hamas mengklaim sebagai pemenangan dalam perang. Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata yang ditandatangani di Kairo, Israel memperbolehkan para nelayan Gaza mencari ikan di Laut Tengah sejauh 12 mil laut atau 21,6 kilometer (sebelumnya 3 mil laut atau 5,4 kilometer); Israel akan membuka tiga lagi pintu pelintasan di perbatasan; Israel juga akan mencabut penentangannya terhadap transfer uang ke Gaza untuk membayar para pegawai pemerintah Palestina pimpinan Hamas.

Semua itu langkah awal yang baik meskipun masih ada persoalan mendasar yang harus diselesaikan agar tercipta perdamaian: saling mengakui sebagai negara merdeka.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008570207
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 29 Agustus 2014

TAJUK RENCANA Mengantisipasi, Merencanakan (Kompas)

MENJADI tugas pemerintah baru mengantisipasi sejumlah persoalan ekonomi makro dan segera membuat perencanaan yang dapat dilaksanakan.
Dalam menjalankan pemerintahan ada ungkapan gouverner c'est prévoir. Menjalankan pemerintahan adalah mengantisipasi, melihat ke depan, merencanakan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden terpilih Joko Widodo bertemu di Nusa Dua, Bali, Rabu malam. Joko Widodo kepada wartawan sebelumnya mengatakan, fokus pembicaraan adalah RAPBN 2015. Namun, sulit mengharapkan pembahasan rinci dalam pembicaraan ini.

Pemerintahan Presiden Yudhoyono mengajukan RAPBN 2015 pada 16 Agustus kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pada saat itu, presiden terpilih belum ditetapkan karena hasil pemilihan presiden masih digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Struktur RAPBN 2015 akan menentukan bagaimana janji kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla terwujud pada tahun pertama pemerintahannya. Pembahasan RAPBN 2015 akan rampung pada akhir September 2014. Hanya tersisa satu bulan bagi presiden terpilih ikut membahas RAPBN meski terbuka peluang mengajukan APBN perubahan pada Februari 2015.

Ada sejumlah persoalan perekonomian akan diwarisi pemerintah mendatang. Meskipun besar pengeluaran dianggarkan Rp 2.020 triliun atau bertambah Rp 143 triliun dari pagu APBN Perubahan 2014, sebagian besar digunakan membiayai pengeluaran mengikat. Yang hangat dibincangkan adalah subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak, yang bertambah Rp 44,6 triliun. Selain itu, ada pertambahan pembayaran bunga utang Rp 18,5 triliun dan transfer daerah Rp 43,5 triliun, selain anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN.

Pemerintah baru juga dihadapkan dengan isu global. Pada akhir 2015 berlaku kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan menghapus bea masuk barang dan jasa dari sesama anggota. Perekonomian global belum menunjukkan pemulihan meyakinkan, bahkan diperkirakan tahun depan AS mengurangi stimulus fiskal di pasar uang yang dapat memengaruhi neraca perdagangan Indonesia.

Indonesia memiliki sejumlah keunggulan terberi, yaitu penduduk yang jumlahnya besar dan muda, kelas menengah yang bertumbuh, dan sumber daya alam. Penduduk usia muda dapat menjadi tenaga kerja produktif sekaligus konsumen produk industri manufaktur dan jasa. Namun, industri dalam negeri ternyata membutuhkan bahan baku impor sehingga menambah beban neraca perdagangan.

Pemerintah baru sudah mengetahui banyak persoalan menyangkut perekonomian makro. Karena itu, menjadi tantangan bagi pemerintah baru untuk mengantisipasi, membuat perencanaan terbaik berdasarkan pilihan yang tersedia dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008559858
Powered by Telkomsel BlackBerry®

PR Jangka Pendek Jokowi-JK (Anwar Nasution)

PEMERINTAHAN SBY mewariskan kondisi ekonomi yang berat kepada penggantinya. Sasaran pembangunan ekonomi jangka menengah yang ditetapkan banyak yang tak tercapai.
Slogan pembangunan ekonomi "pro-growth, pro-jobs, dan pro-poor" lebih banyak semboyan kosong. Indonesia juga belum siap memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai 2015. Gabungan buruknya iklim usaha dan kebijakan ekonomi serta kurangnya infrastruktur membuat Indonesia belum masuk jaringan rantai pasokan global (global supply chains) atau jaringan produksi internasional (international production network/IPN) yang diharapkan jadi tali pengikat MEA. Krisis fiskal dan neraca berjalan pada neraca pembayaran luar negeri serta nilai tukar rupiah yang bergerak bagaikan yoyo menimbulkan ketidakpastian.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi 2004-2009 hanya 5,5 persen, atau 4,3 persen per kapita setahun, di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi era Orde Baru dan terendah di ASEAN. Lapangan kerja di sektor formal hanya bertambah 2,8 juta (9,8 persen) dan di sektor informal 8,2 juta atau 12,5 persen. Selama periode itu, pencari kerja bertambah 7,2 juta atau 8,6 persen. Indeks kemiskinan meningkat dari 16,7 persen pada 2004 menjadi 17,8 persen (2007) sebelum menurun menjadi 14,2 persen pada 2009. Industri manufaktur Indonesia tak mampu bersaing di pasar dunia karena rendahnya daya saing dan produktivitas tenaga kerja.

Sasaran pembangunan tak tercapai. Krisis fiskal dan neraca berjalan terjadi akibat gabungan kurang profesionalnya para pembuat kebijakan dan ketaktegasan pimpinan nasional yang membiarkan keadaan lebih besar pasak daripada tiang. Kesalahan demi kesalahan kebijakan ekonomi terus terjadi. Korupsi meluas pada seluruh cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Untuk menutup defisit ganda, fiskal dan neraca berjalan, pemerintahan SBY menambah penjualan Surat Utang Negara (SUN) di pasar keuangan internasional dengan tingkat suku bunga yang kian mencekik sehingga harian Financial Times menjuluki Indonesia "a fragile country". Bersamaan dengan itu, untuk menyeimbangkan APBN, pemerintahan SBY memotong anggaran yang berlaku bagi semua instansi pemerintah, secara proporsional tanpa kecuali. Anggaran yang paling banyak dikurangi adalah anggaran pembangunan.

Dalam jangka pendek, pemerintahan Jokowi-JK perlu segera mengatasi krisis fiskal dan neraca berjalan tersebut. Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah baru perlu meningkatkan kembali tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi 9-10 persen per tahun secara berkesinambungan agar Indonesia dapat keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah rendah (low income trap). Dalam jangka menengah dan panjang itu, lapangan kerja perlu diciptakan melalui peningkatan ekspor industri manufaktur padat karya. Pada saat yang sama, distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat perlu diratakan sebagaimana disebut dalam platform kampanyenya.

Kesatuan pasar nasional perlu diciptakan dengan memperbaiki sistem logistik (perhubungan, pergudangan, dan manajemen barang). Juga perlu disederhanakan prosedur pelabuhan dan bea cukai (trade facilitation) serta aturan lain yang menghambat kelancaran perdagangan antardaerah dan antarpulau. Penciptaan pasar nasional yang menyatu itu merupakan bagian dari peningkatan tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan menguatkan perekat NKRI. Penciptaan pasar nasional yang menyatu dan menjadi semakin besar sekaligus memungkinkan terjadinya ekspansi skala produksi dan spesialisasi produksi yang meningkatkan efisiensi perekonomian secara keseluruhan.

Segmentasi di pasar uang terjadi karena adanya monopoli kelompok bank negara pada keuangan sektor publik, termasuk BUMN. Sementara keuangan pemda provinsi, kabupaten, dan kota serta BUMD hanya boleh disimpan di BPD miliknya sendiri. Agar dapat memacu laju pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi dalam negeri yang angkanya 32 persen dari PDB pada 2010 perlu ditingkatkan. Rasio tabungan nasional terhadap PDB di India mencapai 24 persen dan Tiongkok 37 persen pada 2000. Padahal, kedua negara itu tak punya sumber daya alam sebanyak Indonesia. Rasio investasi terhadap PDB tahun 2010 di India 34 persen dan Tiongkok 48 persen. Selisih antara pengeluaran investasi dan tabungan dalam negeri di kedua negara itu berasal dari investasi modal swasta asing.

Untuk mendorong investasi, Indonesia perlu menambah prasarana dan menyederhanakan sistem perizinan usaha dan iklim usaha serta meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Kebijakan moneter ataupun fiskal perlu diubah agar dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional, sekaligus merajut pasar nasional yang menyatu. Industrialisasi dapat digalakkan dengan bertambahnya investasi modal swasta, termasuk modal swasta asing. Hanya dengan investasi modal swasta itu Indonesia dapat menjadi bagian dari mata rantai pasokan global atau IPN yang kini telah mempererat keterkaitan produksi di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Defisit fiskal dan neraca berjalan pada neraca pembayaran antara lain terjadi karena eksportir menahan devisa ekspor luar negeri. Mereka menahannya di luar negeri untuk dua tujuan. Pertama, membayar utang karena hampir semua perusahaan besar Indonesia di sektor pertambangan, perkebunan, bahkan real estat membelanjai usahanya dari kredit bank asing di luar negeri. Tingkat suku bunga bank di Singapura jauh lebih rendah daripada di Indonesia, dengan pelayanan lebih baik. Kedua, menggelapkan kewajiban pajak (tax transfer). Dana itu masuk ke Indonesia berupa pemasukan modal jangka pendek untuk membeli SBI, SUN, dan surat-surat berharga lain yang diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia.

Untuk membawa masuk devisa hasil ekspor perlu tiga tindakan. Pertama, menurunkan suku bunga serta meningkatkan efisiensi dan mutu pelayanan industri perbankan nasional, khususnya bank-bank negara. Kedua, meningkatkan kemampuan Ditjen Pajak. Ketiga, menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu. Perlu diakhiri perlindungan oknum penegak hukum terhadap penjahat pajak.

Kebijakan fiskal
Defisit fiskal terjadi karena administrasi perpajakan kita yang korup sehingga tak mampu menghasilkan pendapatan yang diperlukan oleh pengeluaran negara. UU Pajak merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Perbaikan sistem hukum dan administrasi perpajakan memerlukan waktu agar dapat meningkatkan penerimaan negara sesuai keperluan pengeluaran. Karena penerimaan negara tidak segera dapat ditingkatkan, pilihan yang tersedia adalah menambah pinjaman serta mengoreksi struktur dan tingkat pengeluaran negara. Pemotongan anggaran harus dilakukan menurut skala prioritas dan bukan secara proporsional seperti dilakukan pemerintahan SBY sekarang ini.

Sumber utama defisit APBN 2014 adalah karena besarnya beban tiga jenis pengeluaran, yakni (i) subsidi BBM dan listrik, (ii) gaji pegawai negeri sipil (PNS), dan (iii) pemeliharaan kesehatan masyarakat. Sebagian terbesar dari dana transfer dari pusat ke daerah adalah juga untuk membayar gaji pegawai pemda. Dewasa ini, transfer ke daerah mencapai lebih dari sepertiga pengeluaran negara. Pengeluaran untuk subsidi, gaji PNS, dan bantuan sosial sudah mencakup lebih dari 35 persen dari anggaran pengeluaran negara. Subsidi BBM dan listrik lebih besar daripada gaji PNS dan pengeluaran sosial. Subsidi BBM dan listrik tersebut bersifat regresif karena terutama dinikmati golongan berpendapatan tinggi dan menengah yang merupakan konsumen utamanya. Sebagian BBM bersubsidi itu diselundupkan ke negara-negara tetangga.

Subsidi BBM kian meningkat sehubungan dengan setidaknya tiga faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah adanya gangguan produksi dan distribusi (supply shock) akibat ketidakpastian politik di negara-negara penghasil minyak dan gas bumi utama, seperti Irak, Libya, Rusia, dan Venezuela. Faktor internal adalah, pertama, melemahnya nilai tukar rupiah dan kedua, inefisiensi dalam pengadaannya. Subsidi BBM dapat dikurangi jika pemerintah dapat memberantas KKN dalam pengadaan minyak dari luar negeri. Korupsi di Petral berjalan terus sejak Orde Baru, yang berbeda hanya oknum penerima uang korupsi itu.

APBN seyogianya diprioritaskan untuk memenuhi keperluan tiga mata anggaran: (i) pendidikan (termasuk penyuluhan dan latihan kerja), (ii) penyediaan pemeliharaan kesehatan dasar bagi masyarakat, (iii) pembangunan infrastruktur. Kedua jenis pengeluaran pertama memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu SDM. Pada gilirannya, peningkatan mutu SDM akan meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, sekaligus menciptakan pemerataan pendapatan masyarakat. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan perlu peningkatan pendidikan dan spesialisasi guru serta tenaga medis, bukan hanya membangun gedung sekolah, puskesmas, dan rumah sakit yang megah serta pengadaan sarana medis tanpa operator yang mampu menggunakannya. KKN dan vested interest harus dapat diberantas dalam pengadaan obat-obatan dan peralatan medis.

Untuk mengurangi beban pengeluaran negara dan defisit APBN, pemerintah baru perlu segera melakukan tiga hal. Pertama, menaikkan harga BBM sesuai perkembangan kondisi pasar internasional. Kenaikan harga BBM dapat dilakukan bertahap atau sekaligus. Kedua, membatasi pertambahan PNS, antara lain melalui penghentian sementara pemekaran daerah dan merger pemda yang secara ekonomis tidak mampu mandiri. Ketiga, menyediakan fasilitas pemeliharaan kesehatan masyarakat sesuai kemampuan negara, sekaligus meningkatkan efisiensi penyediaannya. Perlu segera dihentikan praktik politisasi, sogok-menyogok yang marak setelah reformasi dalam seleksi serta penempatan maupun kenaikan pangkat PNS, termasuk guru, dokter, dan tenaga medis. Tak mungkin pelayanan pemerintah, kesehatan, dan pendidikan dapat ditingkatkan tanpa adanya meritokrasi.

Neraca pembayaran dan hubungan ekonomi luar negeri
Boom atau kenaikan harga komoditas primer yang dialami Indonesia telah berakhir pada akhir 2011 karena adanya resesi ekonomi dunia. Sejak itu, harga komoditas primer berupa hasil pertanian, perikanan, dan pertambangan merosot drastis hingga saat ini. Di lain pihak, belum ada pengganti ekspor komoditas primer itu, seperti hasil industri manufaktur. Karena salah urus, sumbangan industri manufaktur kian merosot, baik pada pembentukan PDB maupun pada penghasilan ekspor. Selama periode 2000-2010, justru terjadi proses deindustrialisasi. Berbeda dengan negara ASEAN dan Asia Timur lain, peranan industri manufaktur dalam pembentukan PDB di Indonesia justru merosot dari 27,7 persen menjadi 24,8 persen dan peranannya dalam ekspor turun dari 57,1 persen menjadi 37,5 persen. Penurunan peranan komoditas industri manufaktur berkaitan dengan peningkatan ketergantungan pada produksi dan ekspor komoditas primer.

Kenaikan harga energi dan komoditas primer pada masa lalu terjadi terutama karena pesatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India. Setelah melakukan deregulasi ekonomi, kedua negara raksasa itu tumbuh rata-rata 9-10 persen setiap tahun terus-menerus sejak 30 tahun terakhir di Tiongkok dan sejak 1992 di India. Deregulasi itu mengundang investasi modal asing dan memperluas basis ekspor manufakturnya. Tiongkok masuk dalam jaringan produksi internasional yang menghasilkan suku cadang komoditas industri manufaktur, komponen, maupun merakitnya menjadi barang jadi sebelum dikirim ke pasar dunia. Almarhum Steve Jobs merancang Ipod di Silicon Valley, California, tetapi 100 persen dibuat di Shanghai dengan menggunakan komponen dan suku cadang dari mancanegara serta menyerap anak petani dari pedalaman sebagai pekerja. India sekaligus mengekspor jasa-jasa komputer dan TI.

Pertumbuhan ekonomi tinggi di Tiongkok dan India memerlukan segala jenis bahan baku sehingga menjadi pemicu kenaikan harga energi dan komoditas primer lain di pasar dunia. Pertumbuhan ekonomi kedua negara merosot tajam mulai 2011 karena adanya gangguan pada ekspor dan investasi kedua negara yang merupakan motor penggerak ekonominya. Ekspor dan investasi modal asing merosot karena resesi di AS dan Uni Eropa sebagai tujuan utama ekspor sekaligus sumber investasi modal swasta terpenting. Di dalam negeri Tiongkok, pengeluaran untuk pembangunan real estat dan infrastruktur terlalu banyak sehingga tak dapat diserap pasar. Pada gilirannya, penurunan penerimaan ekspor Indonesia itu telah menyebabkan defisit neraca berjalan pada neraca pembayaran luar negeri. Pemasukan modal swasta asing tak dapat menutup defisit ini karena kurangnya infrastruktur, buruknya iklim berusaha, dan adanya peningkatan rasa nasionalisme ekonomi.

Anwar Nasution
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008535144
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kontroversi dan Solusi PPN Pertanian (Adhi S Lukman)

KETUA Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi telah menjelaskan posisi petani dan Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi kontroversi akhir-akhir ini (Kompas, 15/8/2014). Hal itu terkait keluarnya Keputusan Mahkamah Agung Nomor 70 Tahun 2014, yang membatalkan beberapa pasal dari PP No 31/2007 terkait PPN pertanian.
Dengan jelas disampaikan dari dua sisi pandang. Di satu sisi, yang menjadi masalah pada usaha perkebunan yang terintegrasi, adalah masalah penghitungan pajak pada rantai pasokan setelah produk pertanian keluar dari kebun. Karena produk pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (Pasal 2 PP No 31/2007), PPN masukan lainnya tidak bisa dikompensasikan ke PPN keluarannya.

Hal lain, dari sisi petani, akan menjadi masalah apabila produk pertanian dikenai PPN. Hal itu karena PPN akan menjadi beban bagi petani kalau petani tidak mencatat PPN masukan dan keluaran dengan baik. Hal ini berimplikasi harga produk pertanian akan bertambah 10 persen atau mungkin menekan harga di tingkat petani sebesar 10 persen.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 197/2013 (berlaku 1 Januari 2014) disebutkan batasan pengusaha kena pajak, yaitu yang memiliki omzet usaha lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun. Pertanyaannya, apa tak mungkin petani beromzet usaha lebih dari Rp 4,8 miliar setahun? Apa tidak mungkin pedagang pengumpul produk pertanian beromzet lebih dari Rp 4,8 miliar setahun?

Kalau mengambil contoh pedagang pengumpul kakao, omzet Rp 4,8 miliar per tahun hanya untuk sekitar 192 ton biji kakao kering. Jumlah itu sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan biji kakao industri dalam negeri yang berkisar 500.000 ton per tahun saat ini. Jadi, jawaban pertanyaan di atas sangat mungkin terjadi dan asumsi di atas sangat mungkin terjadi.

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menerapkan program hilirisasi industri pertanian. Program ini dirancang untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian di dalam negeri sehingga bisa meningkatkan kesempatan kerja, devisa, dan menggairahkan industri dalam negeri. Program ini dinilai berhasil pada beberapa komoditas, yang tadinya banyak diekspor mentah kini sudah banyak diolah dalam negeri. Hasilnya menjadi andalan ekspor.

Kembali mengambil contoh kesuksesan hilirisasi industri kakao dan cokelat, sejak dikeluarkan PMK No 67/2010, jumlah industri pengolahan kakao meningkat tajam. Sebaliknya, ekspor biji kakao mentah menurun drastis. Hal ini didorong bea keluar 0 persen-15 persen sesuai dengan PMK No 75/2012. Bea keluar jadi insentif bagi petani dan pedagang pengumpul untuk menjual ke industri dalam negeri.

Apa yang terjadi jika produk pertanian dikenai PPN? Tentu akan imbang antara pengenaan PPN 10 persen dengan bea keluar yang berkisar sama saat ini. Juga menjadi beban modal kerja tambahan bagi industri pengolahan yang berorientasi ekspor.

Apabila diasumsikan pedagang pengumpul/petani adalah pengusaha kena pajak, saat menjual produk pertaniannya ke industri pengolah ia akan dikenai PPN 10 persen. PPN ini menjadi PPN masukan bagi industri pengolah. Setelah diolah, industri mengekspor hasil olahan dengan PPN 0 persen, terjadi kelebihan PPN masukan yang bisa direstitusi pada akhir masa pajak.

Dalam masa satu tahun lebih ditambah masa menunggu pemeriksaan pajak restitusi dan pembayaran restitusi, tentunya industri tersebut akan perlu modal kerja tambahan 10 persen lebih. Belum lagi kalau ditambah beban bunga pinjaman yang sangat tinggi di Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.

Jika hal ini benar terjadi, program hilirisasi dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri jadi mubazir. Demikian juga program peningkatan devisa ekspor melalui produk jadi pertanian mundur selangkah. Pelaku usaha lebih memilih jadi pengusaha ekspor komoditas pertanian mentah daripada mengolahnya.

Solusi PPN pertanian
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-24/PJ/2014 tertanggal 25 Juli 2014 telah diterbitkan. Implikasinya, keputusan MA harus dijalankan meski dalam surat edaran tersebut masih ada pengecualian, terutama untuk buah dan sayur, serta komoditas yang tidak ditetapkan dalam PP No 31/2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai.

Apakah ini solusi terbaik? Keberpihakan ke pertanian mungkin perlu dicarikan solusi terbaik. Hal ini demi mewujudkan kekuatan ketahanan pangan serta kedaulatan pangan seperti yang diamanatkan dalam UU No 18/2012 tentang Pangan.

Salah satu solusi agar semua pihak bisa menikmati insentif dalam mewujudkan negara agraris yang kuat adalah melalui kebijakan PPN yang berpihak ke pertanian dalam arti luas. UU No 42/2009 tentang perubahan ketiga UU No No 8/1983 tentang PPN barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, sama sekali tak menyebut produk pertanian merupakan barang yang tidak dikenai PPN. Atas dasar ini pula, MA membuat keputusan bahwa PP No 31/2007 bertentangan dengan UU PPN.

Alangkah indahnya kalau UU PPN diubah dengan menjadikan produk pertanian menjadi Barang Kena Pajak dengan tarif 0 persen. Hal ini agar menjadi berimbang antara PPN ekspor dan PPN pertanian, yaitu dalam UU No 7/1983 disebutkan, "atas ekspor barang dikenai pajak dengan tarif 0 persen" (Pasal 7 ayat 2). Sekaligus dilakukan perubahan Pasal 7 ayat (3) yang menyebutkan, "dengan peraturan pemerintah, tarif pajak serendah-rendahnya 5 persen dan setinggi-tingginya 15 persen, agar diubah menjadi serendah-rendahnya 0 persen.

Solusi ini akan menjawab perusahaan perkebunan terintegrasi sehingga bisa mengompensasikan PPN masukan dalam rantai pasokan usahanya, dan akhirnya bisa meningkatkan daya saing produknya. Demikian juga petani, pedagang pengumpul atau perusahaan industri pertanian lain tidak mengalami beban tambahan akibat pengenaan PPN.

Maka, keberpihakan regulasi untuk pertanian menjadi awal menuju kejayaan Indonesia sebagai negara agraris sejati.

Adhi S Lukman
Ketua Umum GabunganPengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008534408
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Prioritaskan Reforma Agraria (Usep Setiawan)

REFORMA agraria selalu relevan dan penting dijalankan.
Keadilan agraria sebagai wujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah cita-cita nasional yang melekat dalam konstitusi UUD 1945. Komitmen dan momentum melaksanakan reforma agraria pernah datang. Bung Karno dan kawan-kawan menyadari makna penting peletakan dasar-dasar baru politik hukum agraria nasional sebagai pengganti politik hukum agraria kolonial yang menyengsarakan. Para pendiri republik punya konsensus dengan menyepakati penerbitan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (24 September 1960).

Momentum datang 
Di bawah payung UUPA, reforma agraria pernah diusahakan untuk menjawab sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme di agraria. Namun, peralihan rezim dari Soekarno ke Soeharto membawa implikasi pada perubahan haluan politik agraria nasional dari populistik jadi kapitalistik. Masa reformasi (1998-2014), ditandai deliberalisasi politik, ternyata belum sanggup menuntaskan warisan sejarah berupa ketakadilan agraria yang memiskinkan rakyat, merugikan negara, membuat bangsa terbelakang.

Kini momentum untuk menjalankan reforma agraria kembali terbuka. Indonesia baru memasuki transformasi politik melalui proses demokratis. Tahun ini, pemilu legislatif (9 April) menghasilkan konstelasi politik baru di parlemen (DPR, DPD, dan DPRD) dan terpilihnya pemimpin nasional baru melalui pemilu presiden (9 Juli). Kehadiran pemimpin nasional baru selalu membawa harapan baru.

Pelaksanaan reforma agraria di Indonesia kontemporer mesti berangkat dari Ketetapan MPR No IX/2001. Ketetapan ini memberikan tugas dan tanggung jawab ke DPR dan Presiden menjalankan reforma agraria dan pembaruan pengelolaan sumber daya alam (SDA) agar berkeadilan dan berkelanjutan. Visi, misi, dan program aksi Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih mengguratkan komitmen menjalankan reforma agraria. Dalam naskah "Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian" (Mei 2014), Jokowi-JK berkomitmen menyelesaikan konflik agraria dengan membentuk kelembagaan khusus, meredistribusi jutaan hektar tanah, dan penguatan ekonomi rakyat di desa.

Gerakan rakyat penuntut keadilan agraria melalui reforma agraria terus tumbuh. Bergeraknya organisasi-organisasi rakyat, seperti serikat petani, aliansi masyarakat adat, komunitas buruh, dan jaringan nelayan, jadi penanda desakan rakyat akan terus muncul sampai negara menjalankan reforma agraria sebagai keniscayaan. Mengiringi dinamika politik agraria nasional dan geliat gerakan rakyat pengusung reforma agraria, dalam satu dekade terakhir telah tumbuh berkembang berbagai riset, kajian, serta penerbitan keagrariaan oleh berbagai perguruan tinggi dan lembaga kajian strategis lainnya.

Wujudkan kemandirian
Reforma agraria jadi prasyarat bagi kemandirian bangsa. Reforma agraria bermaksud merombak struktur pemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan penggunaan tanah serta kekayaan alam sehingga tercipta keadilan agraria. Kita perlu reforma agraria agar bangsa ini mampu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Reforma agraria memberi fondasi bagi produktivitas rakyat dan lahirnya keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang merata.

Setidaknya sembilan agenda pokok reforma agraria yang penting dirumuskan sebagai agenda prioritas yang strategis ke depan. Pertama, pengkajian ulang peraturan dan perundang-undangan atas tanah dan kekayaan alam. Kedua, pembentukan mekanisme dan kelembagaan pelaksana reforma agraria serta penanganan dan penyelesaian konflik agraria. Ketiga, penataan kelembagaan pemerintah yang mengurus agraria dan SDA serta peran pemerintahan daerah.

Keempat, menyediakan pembiayaan bagi reforma agraria dan penataan pengelolaan SDA. Kelima, penguatan ekonomi, penataan produksi, dan pengembangan koperasi rakyat. Keenam, penataan kebijakan mengenai pasar dan investasi di lapangan agraria dan SDA serta pengembangan kerja sama luar negeri. Ketujuh, penguatan kelembagaan gerakan dan peningkatan partisipasi rakyat dalam reforma agraria. Kedelapan, pengembangan riset dan kajian agraria serta pengelolaan SDA. Kesembilan, mendorong transformasi pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa serta masyarakat adat dalam pelaksanaan reforma agraria.

Semoga Jokowi-JK bersama timnya yang tengah merumuskan agenda pemerintah ke depan menjadikan reforma agraria salah satu agenda prioritas. Hanya dengan keadilan agraria, kedaulatan dan kemandirian bangsa bisa diwujudkan. Tanpa keadilan agraria, makna kemerdekaan niscaya semu dan hampa.

Usep Setiawan
Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008411687
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Membenahi Sisi Pasokan (Budi Hikmat)

LAPORAN Bank Dunia untuk Indonesia, Juni 2014, memuat pesan sangat tegas bagi kita, khususnya presiden terpilih. Indonesia berisiko gagal menjadi negara kaya pada 2030—ketika dividen demografi berakhir—apabila perekonomian selama kurun 2013-2030 hanya tumbuh rata-rata 6 persen.
Proyeksi Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) per kapita kita saat itu baru mencapai 8.531 dollar AS atau di bawah 12.000 dollar AS sebagai acuan kelulusan menjadi negara kaya. Dengan kata lain, kita berisiko lebih dulu tua sebelum kaya. Namun, apabila pertumbuhan dapat dipacu menjadi 10 persen per tahun, Indonesia bisa lulus dengan PDB per kapita 16.618 dollar AS. Sebagai perbandingan, Korea Selatan mampu mencapai PDB per kapita 14.274 dollar AS ketika dividen demografi mereka berakhir pada tahun 2000.

Jelas kita punya tantangan yang tidak ringan mengingat selama 10 tahun terakhir rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,8 persen. Apakah Indonesia mampu bertumbuh dua kali lebih gegas?

Bank Dunia meyakini peluang itu terbuka apabila kita bersungguh-sungguh melakukan reformasi yang menyeluruh. Jadi tidak hanya dengan mengurangi subsidi BBM seperti yang sudah disikapi secara kritis oleh banyak ekonom. Neraca berjalan yang beralih defisit sejak 2011 dan penurunan rasio ekspor terhadap PDB selama 10 tahun terakhir menegaskan penurunan produktivitas dan daya saing merupakan tantangan utama. Untuk itulah, Bank Dunia menyarankan kita melakukan pembenahan fundamental sisi pasokan (supply-side revolution).

Bank Dunia memerinci tiga aspek supply-side revolution yang berkaitan. Pertama, mempercepat penyediaan berbagai infrastruktur mendasar yang menopang kegiatan produksi dan perdagangan internasional yang selama ini membuat mahal biaya logistik (closing infrastructure gap). Kedua, penguatan kualitas sumber daya manusia yang pada hakikatnya menjadi modal utama pembangunan Indonesia (closing skills gap). Ketiga, memperlancar bekerjanya mekanisme pasar secara menyeluruh, baik untuk pasar komoditas, tenaga kerja, keuangan, maupun lahan (make markets work for all).

Koreksi kebijakan makro
Kita harus berani mengakui, saran supply-side revolution sesungguhnya merupakan koreksi terhadap kebijakan makroekonomi selama ini yang konstelasinya cenderung terpusat kepada pengelolaan sisi permintaan (demand management).

Sebagai contoh, pertumbuhan sektor properti sangat terkait dengan profil penduduk muda dengan median umur 29 tahun yang juga ditopang peningkatan pendapatan masyarakat. Namun, ketidakberhasilan kita memacu produksi terkait sektor properti telah menyebabkan kimia dan baja ringan menjadi komoditas penyebab defisit perdagangan ketiga dan keempat terbesar selama ini.

Tanpa penguatan sisi suplai, perekonomian kita rentan gejala pemanasan (overheated) yang selanjutnya berisiko menjebak kita pada fenomena konsumsi atau pembelanjaan yang tidak didukung kegiatan produksi (spending without production) yang kerap berakhir dengan tambahan utang. Semangat mengutamakan supply-side revolution sesungguhnya bukanlah hal baru.

Secara paralel Perjanjian Lama dan Al Quran mengabadikan kisah Nabi Yusuf yang tak hanya mampu menerjemahkan mimpi (baca: visi) Raja tentang sapi kurus dan gemuk serta gandum yang bernas dan kopong sebagai pergiliran masa malang dan gemilang. Suatu fenomena yang dikenal dalam ilmu ekonomi modern sebagai siklus bisnis (business cycle).

Nabi Yusuf menyarankan konstelasi kebijakan komprehensif yang tersusun dalam skala prioritas (QS 12: 47): "Hendaklah kalian bercocok tanam dengan sungguh-sungguh. Apa yang kalian panen tetaplah pada tangkainya. Kecuali sedikit untuk kalian makan."

Dalam kerangka persamaan Keynesian (X-M) = (Y-A), dengan defisit merefleksikan kelebihan permintaan domestik, saran Nabi Yusuf itu mengingatkan pentingnya peningkatan produktivitas produksi dalam negeri (Y). Lalu penerapan teknologi setelah panen agar hasil produksi tidak mudah rusak. Limpahan panen cabai dapat diawetkan menjadi bubuk cabai seperti halnya susu menjadi yoghurt dan keju.

Yang terakhir adalah pengendalian penyerapan domestik (A) yang memungkinkan limpahan produksi diekspor sehingga meningkatkan surplus perdagangan selain dijadikan bibit untuk kelanjutan siklus produksi.

Dengan penganut Islam dan Kristen yang mayoritas penduduk Indonesia, mengapa saran penting Kitabiah di atas luput dari kesadaran kolektif kita?

Para praktisi pengelolaan kemakmuran (wealth management) umumnya akan melihat saran Nabi Yusuf itu sebagai landasan lifecycle investing yang mencakup urutan siklus pertumbuhan, proteksi, dan distribusi (growth, protection and distribution). Pada fase growth ketika individu masih muda, kemakmuran ditumbuhkan dengan memperbanyak alokasi di dalam saham yang walau kerap bergejolak, dalam jangka panjang, memberikan potensi peningkatan nilai paling besar.

Dengan semakin mendekati usia pensiun, alokasi saham dikurangi dengan memperbanyak alokasi di dalam surat utang negara untuk menurunkan risiko gagal bayar dan likuiditas. Pada akhirnya, manfaat investasi didistribusikan selama masa pensiun secara berkala dan sesuai dengan kebutuhan, seperti melalui produk anuitas yang dapat ditawarkan oleh perusahaan asuransi.

Masih banyak lagi contoh kebijakan kita yang tak sejalan dengan supply-side revolution ini. Apabila kita ingin berjaya selama ratusan tahun seperti Imperium Roma, kita secara fisik harus membangun lebih banyak jalan dengan beragam pilihan moda transportasi. Kita juga harus melakukan transformasi paradigma "menjadikan jalan sebagai pasar" yang kerap berakhir dengan kemacetan, menuju "menciptakan jalan menuju pasar".

Budi Hikmat
Ekonom Keuangan pada Sebuah BUMN

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008534473
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger