Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 Agustus 2014

PR Jangka Pendek Jokowi-JK (Anwar Nasution)

PEMERINTAHAN SBY mewariskan kondisi ekonomi yang berat kepada penggantinya. Sasaran pembangunan ekonomi jangka menengah yang ditetapkan banyak yang tak tercapai.
Slogan pembangunan ekonomi "pro-growth, pro-jobs, dan pro-poor" lebih banyak semboyan kosong. Indonesia juga belum siap memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai 2015. Gabungan buruknya iklim usaha dan kebijakan ekonomi serta kurangnya infrastruktur membuat Indonesia belum masuk jaringan rantai pasokan global (global supply chains) atau jaringan produksi internasional (international production network/IPN) yang diharapkan jadi tali pengikat MEA. Krisis fiskal dan neraca berjalan pada neraca pembayaran luar negeri serta nilai tukar rupiah yang bergerak bagaikan yoyo menimbulkan ketidakpastian.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi 2004-2009 hanya 5,5 persen, atau 4,3 persen per kapita setahun, di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi era Orde Baru dan terendah di ASEAN. Lapangan kerja di sektor formal hanya bertambah 2,8 juta (9,8 persen) dan di sektor informal 8,2 juta atau 12,5 persen. Selama periode itu, pencari kerja bertambah 7,2 juta atau 8,6 persen. Indeks kemiskinan meningkat dari 16,7 persen pada 2004 menjadi 17,8 persen (2007) sebelum menurun menjadi 14,2 persen pada 2009. Industri manufaktur Indonesia tak mampu bersaing di pasar dunia karena rendahnya daya saing dan produktivitas tenaga kerja.

Sasaran pembangunan tak tercapai. Krisis fiskal dan neraca berjalan terjadi akibat gabungan kurang profesionalnya para pembuat kebijakan dan ketaktegasan pimpinan nasional yang membiarkan keadaan lebih besar pasak daripada tiang. Kesalahan demi kesalahan kebijakan ekonomi terus terjadi. Korupsi meluas pada seluruh cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Untuk menutup defisit ganda, fiskal dan neraca berjalan, pemerintahan SBY menambah penjualan Surat Utang Negara (SUN) di pasar keuangan internasional dengan tingkat suku bunga yang kian mencekik sehingga harian Financial Times menjuluki Indonesia "a fragile country". Bersamaan dengan itu, untuk menyeimbangkan APBN, pemerintahan SBY memotong anggaran yang berlaku bagi semua instansi pemerintah, secara proporsional tanpa kecuali. Anggaran yang paling banyak dikurangi adalah anggaran pembangunan.

Dalam jangka pendek, pemerintahan Jokowi-JK perlu segera mengatasi krisis fiskal dan neraca berjalan tersebut. Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah baru perlu meningkatkan kembali tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi 9-10 persen per tahun secara berkesinambungan agar Indonesia dapat keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah rendah (low income trap). Dalam jangka menengah dan panjang itu, lapangan kerja perlu diciptakan melalui peningkatan ekspor industri manufaktur padat karya. Pada saat yang sama, distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat perlu diratakan sebagaimana disebut dalam platform kampanyenya.

Kesatuan pasar nasional perlu diciptakan dengan memperbaiki sistem logistik (perhubungan, pergudangan, dan manajemen barang). Juga perlu disederhanakan prosedur pelabuhan dan bea cukai (trade facilitation) serta aturan lain yang menghambat kelancaran perdagangan antardaerah dan antarpulau. Penciptaan pasar nasional yang menyatu itu merupakan bagian dari peningkatan tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan menguatkan perekat NKRI. Penciptaan pasar nasional yang menyatu dan menjadi semakin besar sekaligus memungkinkan terjadinya ekspansi skala produksi dan spesialisasi produksi yang meningkatkan efisiensi perekonomian secara keseluruhan.

Segmentasi di pasar uang terjadi karena adanya monopoli kelompok bank negara pada keuangan sektor publik, termasuk BUMN. Sementara keuangan pemda provinsi, kabupaten, dan kota serta BUMD hanya boleh disimpan di BPD miliknya sendiri. Agar dapat memacu laju pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi dalam negeri yang angkanya 32 persen dari PDB pada 2010 perlu ditingkatkan. Rasio tabungan nasional terhadap PDB di India mencapai 24 persen dan Tiongkok 37 persen pada 2000. Padahal, kedua negara itu tak punya sumber daya alam sebanyak Indonesia. Rasio investasi terhadap PDB tahun 2010 di India 34 persen dan Tiongkok 48 persen. Selisih antara pengeluaran investasi dan tabungan dalam negeri di kedua negara itu berasal dari investasi modal swasta asing.

Untuk mendorong investasi, Indonesia perlu menambah prasarana dan menyederhanakan sistem perizinan usaha dan iklim usaha serta meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Kebijakan moneter ataupun fiskal perlu diubah agar dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional, sekaligus merajut pasar nasional yang menyatu. Industrialisasi dapat digalakkan dengan bertambahnya investasi modal swasta, termasuk modal swasta asing. Hanya dengan investasi modal swasta itu Indonesia dapat menjadi bagian dari mata rantai pasokan global atau IPN yang kini telah mempererat keterkaitan produksi di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Defisit fiskal dan neraca berjalan pada neraca pembayaran antara lain terjadi karena eksportir menahan devisa ekspor luar negeri. Mereka menahannya di luar negeri untuk dua tujuan. Pertama, membayar utang karena hampir semua perusahaan besar Indonesia di sektor pertambangan, perkebunan, bahkan real estat membelanjai usahanya dari kredit bank asing di luar negeri. Tingkat suku bunga bank di Singapura jauh lebih rendah daripada di Indonesia, dengan pelayanan lebih baik. Kedua, menggelapkan kewajiban pajak (tax transfer). Dana itu masuk ke Indonesia berupa pemasukan modal jangka pendek untuk membeli SBI, SUN, dan surat-surat berharga lain yang diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia.

Untuk membawa masuk devisa hasil ekspor perlu tiga tindakan. Pertama, menurunkan suku bunga serta meningkatkan efisiensi dan mutu pelayanan industri perbankan nasional, khususnya bank-bank negara. Kedua, meningkatkan kemampuan Ditjen Pajak. Ketiga, menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu. Perlu diakhiri perlindungan oknum penegak hukum terhadap penjahat pajak.

Kebijakan fiskal
Defisit fiskal terjadi karena administrasi perpajakan kita yang korup sehingga tak mampu menghasilkan pendapatan yang diperlukan oleh pengeluaran negara. UU Pajak merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Perbaikan sistem hukum dan administrasi perpajakan memerlukan waktu agar dapat meningkatkan penerimaan negara sesuai keperluan pengeluaran. Karena penerimaan negara tidak segera dapat ditingkatkan, pilihan yang tersedia adalah menambah pinjaman serta mengoreksi struktur dan tingkat pengeluaran negara. Pemotongan anggaran harus dilakukan menurut skala prioritas dan bukan secara proporsional seperti dilakukan pemerintahan SBY sekarang ini.

Sumber utama defisit APBN 2014 adalah karena besarnya beban tiga jenis pengeluaran, yakni (i) subsidi BBM dan listrik, (ii) gaji pegawai negeri sipil (PNS), dan (iii) pemeliharaan kesehatan masyarakat. Sebagian terbesar dari dana transfer dari pusat ke daerah adalah juga untuk membayar gaji pegawai pemda. Dewasa ini, transfer ke daerah mencapai lebih dari sepertiga pengeluaran negara. Pengeluaran untuk subsidi, gaji PNS, dan bantuan sosial sudah mencakup lebih dari 35 persen dari anggaran pengeluaran negara. Subsidi BBM dan listrik lebih besar daripada gaji PNS dan pengeluaran sosial. Subsidi BBM dan listrik tersebut bersifat regresif karena terutama dinikmati golongan berpendapatan tinggi dan menengah yang merupakan konsumen utamanya. Sebagian BBM bersubsidi itu diselundupkan ke negara-negara tetangga.

Subsidi BBM kian meningkat sehubungan dengan setidaknya tiga faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah adanya gangguan produksi dan distribusi (supply shock) akibat ketidakpastian politik di negara-negara penghasil minyak dan gas bumi utama, seperti Irak, Libya, Rusia, dan Venezuela. Faktor internal adalah, pertama, melemahnya nilai tukar rupiah dan kedua, inefisiensi dalam pengadaannya. Subsidi BBM dapat dikurangi jika pemerintah dapat memberantas KKN dalam pengadaan minyak dari luar negeri. Korupsi di Petral berjalan terus sejak Orde Baru, yang berbeda hanya oknum penerima uang korupsi itu.

APBN seyogianya diprioritaskan untuk memenuhi keperluan tiga mata anggaran: (i) pendidikan (termasuk penyuluhan dan latihan kerja), (ii) penyediaan pemeliharaan kesehatan dasar bagi masyarakat, (iii) pembangunan infrastruktur. Kedua jenis pengeluaran pertama memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu SDM. Pada gilirannya, peningkatan mutu SDM akan meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, sekaligus menciptakan pemerataan pendapatan masyarakat. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan perlu peningkatan pendidikan dan spesialisasi guru serta tenaga medis, bukan hanya membangun gedung sekolah, puskesmas, dan rumah sakit yang megah serta pengadaan sarana medis tanpa operator yang mampu menggunakannya. KKN dan vested interest harus dapat diberantas dalam pengadaan obat-obatan dan peralatan medis.

Untuk mengurangi beban pengeluaran negara dan defisit APBN, pemerintah baru perlu segera melakukan tiga hal. Pertama, menaikkan harga BBM sesuai perkembangan kondisi pasar internasional. Kenaikan harga BBM dapat dilakukan bertahap atau sekaligus. Kedua, membatasi pertambahan PNS, antara lain melalui penghentian sementara pemekaran daerah dan merger pemda yang secara ekonomis tidak mampu mandiri. Ketiga, menyediakan fasilitas pemeliharaan kesehatan masyarakat sesuai kemampuan negara, sekaligus meningkatkan efisiensi penyediaannya. Perlu segera dihentikan praktik politisasi, sogok-menyogok yang marak setelah reformasi dalam seleksi serta penempatan maupun kenaikan pangkat PNS, termasuk guru, dokter, dan tenaga medis. Tak mungkin pelayanan pemerintah, kesehatan, dan pendidikan dapat ditingkatkan tanpa adanya meritokrasi.

Neraca pembayaran dan hubungan ekonomi luar negeri
Boom atau kenaikan harga komoditas primer yang dialami Indonesia telah berakhir pada akhir 2011 karena adanya resesi ekonomi dunia. Sejak itu, harga komoditas primer berupa hasil pertanian, perikanan, dan pertambangan merosot drastis hingga saat ini. Di lain pihak, belum ada pengganti ekspor komoditas primer itu, seperti hasil industri manufaktur. Karena salah urus, sumbangan industri manufaktur kian merosot, baik pada pembentukan PDB maupun pada penghasilan ekspor. Selama periode 2000-2010, justru terjadi proses deindustrialisasi. Berbeda dengan negara ASEAN dan Asia Timur lain, peranan industri manufaktur dalam pembentukan PDB di Indonesia justru merosot dari 27,7 persen menjadi 24,8 persen dan peranannya dalam ekspor turun dari 57,1 persen menjadi 37,5 persen. Penurunan peranan komoditas industri manufaktur berkaitan dengan peningkatan ketergantungan pada produksi dan ekspor komoditas primer.

Kenaikan harga energi dan komoditas primer pada masa lalu terjadi terutama karena pesatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India. Setelah melakukan deregulasi ekonomi, kedua negara raksasa itu tumbuh rata-rata 9-10 persen setiap tahun terus-menerus sejak 30 tahun terakhir di Tiongkok dan sejak 1992 di India. Deregulasi itu mengundang investasi modal asing dan memperluas basis ekspor manufakturnya. Tiongkok masuk dalam jaringan produksi internasional yang menghasilkan suku cadang komoditas industri manufaktur, komponen, maupun merakitnya menjadi barang jadi sebelum dikirim ke pasar dunia. Almarhum Steve Jobs merancang Ipod di Silicon Valley, California, tetapi 100 persen dibuat di Shanghai dengan menggunakan komponen dan suku cadang dari mancanegara serta menyerap anak petani dari pedalaman sebagai pekerja. India sekaligus mengekspor jasa-jasa komputer dan TI.

Pertumbuhan ekonomi tinggi di Tiongkok dan India memerlukan segala jenis bahan baku sehingga menjadi pemicu kenaikan harga energi dan komoditas primer lain di pasar dunia. Pertumbuhan ekonomi kedua negara merosot tajam mulai 2011 karena adanya gangguan pada ekspor dan investasi kedua negara yang merupakan motor penggerak ekonominya. Ekspor dan investasi modal asing merosot karena resesi di AS dan Uni Eropa sebagai tujuan utama ekspor sekaligus sumber investasi modal swasta terpenting. Di dalam negeri Tiongkok, pengeluaran untuk pembangunan real estat dan infrastruktur terlalu banyak sehingga tak dapat diserap pasar. Pada gilirannya, penurunan penerimaan ekspor Indonesia itu telah menyebabkan defisit neraca berjalan pada neraca pembayaran luar negeri. Pemasukan modal swasta asing tak dapat menutup defisit ini karena kurangnya infrastruktur, buruknya iklim berusaha, dan adanya peningkatan rasa nasionalisme ekonomi.

Anwar Nasution
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008535144
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger