Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Juli 2015

Meteran dan Prabayar//Negara Hadir di Jalan Tol?//Uang Insidental di SMA Negeri (Surat Pembaca Kompas)

Meteran dan Prabayar

Sebagai pelanggan PLN, kami mohon penegasan PLN atas kebijakan cabang PLN Wilayah NTT yang sangat meresahkan masyarakat Kupang. Mereka dipaksa PLN untuk mengganti meteran lama dengan meteran prabayar atau meteran pulsa.

Awal Juli lalu, pada saat kami berada di Jakarta, petugas PLN datang ke rumah kami akan membongkar meteran listrik yang lama untuk digantikan dengan meteran pulsa. Penjaga rumah mencegah pembongkaran itu dan minta agar petugas menghubungi kami melalui telepon seluler.

Kami tegas menolak penggantian itu karena, setahu kami, pemasangan meteran pulsa hanya dilakukan terhadap pelanggan baru atau atas permintaan pelanggan. Petugas PLN mengatakan bahwa penggantian meteran ini merupakan keharusan di seluruh wilayah NTT karena sudah menjadi keputusan PLN.

Pada 7 Juli lalu, penjaga rumah kami mengecek tagihan pemakaian listrik Juni di kantor pos dan memperoleh angka tagihan. Namun, dua hari kemudian, saat akan membayar di kantor pos, data tagihan sudah tidak terlihat di komputer. Begitu pula di kantor PLN; tagihan dimaksud tidak ada. Kami menduga ini merupakan siasat PLN agar kami tidak bisa membayar tagihan pemakaian listrik bulan lalu sehingga dianggap lalai membayar dan menjadi alasan bagi PLN membongkar meteran lama lalu menggantinya dengan meteran pulsa.

Mohon perhatian serius dan penegasan dari pemimpin PLN Pusat.

PAUL DOKO, JALAN JATI PALEM 22, JATI, PULOGADUNG, JAKARTA TIMUR


Negara Hadir di Jalan Tol?

Saya benar-benar tidak setuju dengan pendapat Bapak Warsito di surat pembaca Kompas (22/7), "Negara Hadir di Jalan Tol". Kita sebaiknya tidak melihat kebijaksanaan pemerintah yang cuma bersifat sesaat, lalu kita menjadi terlena.

Diskon tol dari H-10 sampai H+3 Lebaran (14 hari) dengan be- saran 25-35 persen hanya dirasa- kan yang punya mobil. Berapa kali masuk tol sehari? Katakan dua kali sehari. Berarti, untuk tol dalam kota, kita diberi hadiah 14 x 2 x Rp 2.000 = Rp 56.000. Untuk tol termahal, Cikopo-Palimanan, dari Rp 96.000 menjadi Rp 72.000, kita diberi hadiah 14 x 2 x Rp 24.000 = Rp 672.000.

Beberapa kebutuhan rakyat banyak naik tidak terkontrol. Listrik dan air PAM naik tiap tiga bulan entah sampai kapan. Bensin, bahan kebutuhan pokok, dan hampir semua kebutuhan rakyat kecil naik. Sebentar lagi premium dihapus dan diganti pertalite yang harganya jelas di atas premium, berarti BBM kembali naik. Bagaimana dengan tarif angkot?

Nilai rupiah melemah dan ada pejabat bilang, "Tidak apa-apa." Nilai beli kita tambah. Apanya yang tambah? Barangkali tambah bagi yang punya simpanan dollar dan eksportir, sementara utang negara kita dalam dollar AS.

Saya khawatir ada untung yang dikejar, yakni biarlah rakyat mandiri mengatasi masalah sendiri; mau sulit memperoleh kebutuhan pokok, silakan urus sendiri; silakan kencangkan ikat pinggang atau malah mungkin banyak rakyat tak punya ikat pinggang.

Saya sangat salut kepada pemerintah apabila, misalnya, bisa mempertahankan dan menstabilkan kebutuhan khalayak ramai sehingga rakyat kecil bisa hidup tenteram, bukan cuma dalam slogan. Tarif angkutan bisa stabil, tidak seperti saat ini, apabila bensin naik, tarif angkot naik; bensin turun, tarif angkot tetap.

YUS PRIYADI USMAN, KOMPLEKS PELNI BLOK G-VI/9, DEPOK, JAWA BARAT


Uang Insidental di SMA Negeri

Kami orangtua murid hendak menanyakan pungutan uang di sekolah negeri. Saat pendaftaran ulang siswa baru, SMA negeri paling favorit di Medan mensyaratkan pembayaran uang insidental Rp 3 juta serta uang bulanan untuk Juli dan Agustus yang ditandatangani ketua komite dan kepala sekolah.

Mohon penjelasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena, setahu kami, di sekolah negeri tidak ada pungutan sebab sudah ada dana BOS.

Komite sekolah belum melakukan rapat dengan orangtua calon murid, tetapi sudah dimintai uang saat pendaftaran ulang. Lebih baik dihapuskan saja komite sekolah karena menjadi ajang melegalkan pungutan sekolah.

Uang komite di sekolah negeri, terutama yang favorit, sekarang nyaris melebihi uang sekolah di sekolah swasta. Sekolah negeri tak lagi ramah terhadap seluruh lapisan masyarakat. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Protes organisasi dan berbagai elemen masyarakat sudah tak terhitung, tetapi belum ada tindakan pemerintah.

DYAS AMAR, PRINGGAN, MEDAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat kepada Redaksi ".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Meja Hijau (ADI ANDOJO SOETJIPTO)

Masihkah pembaca ingat istilah "meja hijau" dan "dimejahijaukan"?

Istilah itu untuk menamai pengadilan waktu dulu. Dinamai demikian karena meja di ruang pengadilan ditutup laken berwarna hijau. Dengan berjalannya waktu, ketika banyak muncul hakim "nakal", muncul pula ungkapan "sekarang meja itu tidak berwarna hijau lagi".

Memang, kini meja di ruang sidang tak lagi berwarna hijau. Semua diganti meja kayu ukir yang mahal. Ruang sidang juga disulap menjadi ruang yang megah, dilengkapi perabot yang megah pula. Hakim-hakimnya dibusanai jubah hitam dengan warna merah mengilap di bagian depan. Pokoknya semua yang ada di ruang sidang disulap menjadi serba megah. Namun, di kemegahan itu, "aura"-nya hampa, menandakan wibawa yang lenyap.

Kita pasti akan bertanya mengapa bisa demikian? Salah siapa ini? Apakah karena ulah para hakimnya?

Menurut saya jelas "iya", itulah sebab utamanya. Karena ada hakim yang memutus perkara berbau kontroversial, ada pula yang menafsirkan hukum tanpa mengindahkan rambu-rambu sehingga putusannya membingungkan dan terkesan tak adil.

Jika masih ingin bukti lebih akurat, lihat kejadian di ruang sidang. Ruang yang dulu dianggap sakral itu kini bisa dimasuki demonstran hingga ratusan orang. Mereka berteriak-teriak "hakim tak adil", lalu menyerangnya sehingga hakim lari tunggang langgang.

Memikirkan hal ini saya jadi sedih. Apakah sejelek itu keadaan pengadilan kita sekarang? Belum lagi kalau kita ingat tidak adanya sopan santun antarhakim. Ada hakim bawahan yang melaporkan mantan atasannya yang jauh lebih senior kepada polisi atas dakwaan telah melakukan pencemaran nama baik. Padahal, maksud mantan atasannya itu baik, yakni memberi nasihat serta petunjuk bagaimana menjadi hakim yang baik. Bukankah perbuatan itu sudah keterlaluan, menandakan mereka sudah tak punya tata karma sehingga timbul penilaian akan hilangnya wibawa pengadilan?

Tak usah mencari jauh-jauh penyebab hilangnya wibawa pengadilan, seperti perkembangan ekonomi dan sebagainya yang menyebabkan tunggakan perkara menumpuk. Apa yang ada di depan mata seperti contoh di atas sudah cukup jelas. Namun, yang di depan mata ini sulit sekali diberantas! Kita masih membutuhkan orang "suci" yang berani dan mampu mengembalikan wibawa pengadilan seperti yang diharapkan masyarakat.

ADI ANDOJO SOETJIPTO

MANTAN KETUA MUDA MA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Meja Hijau".




Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

NU, dari Nusantara untuk Dunia (RUMADI AHMAD)

Tema Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama, 1-5 Agustus 2015, di Jombang adalah "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Tema ini menunjukkan adanya kesadaran baru orientasi keberislaman, bukan hanya inward looking, melainkan juga outward looking. NU tidak hanya didedikasikan untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia.

Kesadaran ini tentu tidak muncul tiba- tiba, tapi melalui diskusi panjang dengan memperhatikan perkembangan NU, Islam Indonesia, dan dunia Islam. Melalui tema ini, NU ingin mengubah orientasi Islam Nusantara, dari "importir" jadi "eksportir"; dari "konsumen" jadi "produsen".

Agenda ini bukan hanya penting untuk NU, melainkan juga untuk Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam lain yang menyadari pentingnya Tanah Air, nasionalisme, dan kebangsaan sebagai pijakan dakwah Islamiah. Tanah Air itulah tempat berpijak membangun peradaban.

Makna dan isu strategis

Dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, dengan karakter masing-masing sudah membuktikan relevansinya sebagai penyangga dan jangkar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, Gus Dur-yang pikiran-pikiran kebangsaannya banyak berpengaruh di NU- menyatakan, apa pun pengorbanan yang harus dikeluarkan dan berapa pun harga yang harus dibayar, Pancasila dan NKRI harus dipertahankan.

Muktamar NU kali ini punya beberapa makna strategis. Pertama, dengan pergantian kepemimpinan nasional yang pemerintahannya belum sepenuhnya stabil, NU dituntut mengambil peran dan memastikan pemerintahan baru berjalan di atas rel yang benar. Secara ideologi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi kebijakan-kebijakan yang diambil harus dipastikan tidak menyengsarakan rakyat kecil yang sebagian besar warga NU.

Kedua, Timur Tengah yang selama ini menjadi kiblat dalam melihat dunia Islam sedang berada dalam instabilitas politik yang parah. Musim Semi Arab yang berembus di berbagai belahan dunia Islam sejak 2010 ternyata tak sepenuhnya membawa perubahan mencerahkan. Tak sedikit kawasan Timur Tengah yang masih terus bergolak, saling berperang, saling bunuh, yang sebagian besar dilakukan sesama umat Islam. Munculnya NIIS juga menjadi tambahan persoalan.

Ketiga, secara internasional sekarang ini sedang terjadi pergeseran geopolitik dan peta aliansi dalam merespons berbagai persoalan. Meski sejumlah kalangan masih ada yang beranggapan Islam sebagai ancaman terhadap nilai-nilai modernitas, harus diakui-dalam perkembangan global mutakhir-Islam memiliki peran sangat penting dalam menentukan arah perubahan dunia. Islam juga semakin berkembang di berbagai belahan dunia, baik kuantitatif maupun kualitatif. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Jepang, Islam menduduki peringkat tertinggi dalam perkembangan dan penambahan pemeluk, baik karena migrasi maupun konversi.

Hal yang terakhir ini semakin menarik kalau proyeksi peta agama dunia yang dirilis lembaga riset demografi Pew Research Center (PRC) pada April 2015 itu benar. Riset berjudul The Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050 tersebut mengolah data umur, tingkat kelahiran dan kematian, data migrasi dan perpindahan agama, serta populasi delapan kelompok agama mayoritas. Pada 2010, populasi delapan agama mayoritas di dunia: Kristen 31,4 persen, Islam 23,2 persen atau 1,6 miliar pemeluk, Hindu 15 persen, Buddha 7,1 persen, agama lokal 5,9 persen, Yahudi 0,2 persen, agama tak berafiliasi (unaffiliated) 16,4 persen seperti ateisme dan agnostik, dan agama lain (0,8 persen). 

Proyeksi yang dibuat PRC pada 2050, populasi Muslim menanjak paling tinggi menjadi 29,7 persen (2,76 miliar pemeluk). Kristen stabil di angka 31,4 persen. Persentase Muslim dan Kristen diperkirakan sama pada 2070 (32,3 persen). Tiga dekade berikutnya, 2100, Muslim menjadi 34,9 persen dan Kristen 33,8 persen. Riset ini juga mencatat, jumlah penganut ateisme dan agnostik serta kaum tak beragama, meski meningkat di beberapa negara seperti AS dan Perancis, secara global menurun dari 16,4 persen (pada 2010) menjadi 13,2 persen (pada 2050). Sementara agama lain, seperti Hindu, Buddha dan Yahudi, tidak banyak mengalami pergeseran hingga empat dekade mendatang.

Apa makna data tersebut bagi NU dan umat Islam Indonesia? Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia, dan NU sebagai organisasi berbasis massa Islam yang (juga diklaim) terbesar di dunia, tentu berkepentingan dengan perubahan peta dunia itu. Persoalannya, apakah peningkatan jumlah Muslim itu akan membawa ketenangan dan perdamaian dunia atau justru jadi ancaman. Pada konteks inilah, NU seharusnya berkepentingan memastikan perkembangan Islam itu menuju ke arah perdamaian.

NU dan persoalan kebangsaan

Sejak kelahirannya tahun 1926, NU telah menunjukkan relevansi kehadirannya sebagai organisasi sosial keagamaan yang senantiasa menyatu dengan spirit kebangsaan. Para ulama pendiri NU tidak saja telah meletakkan landasan beragama dan bernegara yang kokoh, tetapi juga telah memberi teladan bagaimana seharusnya jadi Muslim di tengah keragaman bangsa. Keislaman yang dirintis ulama-ulama NU adalah model keislaman yang bisa menjadi jangkar kehidupan bangsa dan memayungi segala jenis perbedaan.

Jejak-jejak visi kebangsaan NU terlihat jelas dan menjadi perbincangan dari muktamar ke muktamar. Visi kebangsaan itu dibentuk dan dihasilkan dari cara pandang keagamaan-tepatnya fikih-yang dihayati dan dipraktikkan ulama-ulama NU. Inilah yang khas dari NU. Keputusan dan langkah apa pun, termasuk dalam hal politik, selalu disandarkan pada dalil dan argumentasi keagamaan (fikih). Pada 1938 dalam muktamar di Menes, Banten, misalnya, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai dar al-Islam, artinya negeri yang dapat diterima umat Islam meskipun tidak didasarkan pada Islam. Alasan NU, penduduk Muslim dapat melaksanakan syariat, syariat dijalankan para pegawai yang juga Muslim, dan negeri ini dahulu juga dikuasai raja-raja Muslim. Cara pandang ini merupakan khas Sunni dalam mengesahkan dan menerima sebuah kekuasaan politik sejauh membawa manfaat bagi perkembangan kehidupan keagamaan.

Dengan prinsip tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), dan i'tidal(berkeadilan), NU mampu menyeimbangkan antara keislaman dan keindonesiaan. Meski Indonesia 87 persen dihuni oleh orang Islam dan tak menjadi negara Islam, kecintaan NU pada negara ini tak sedikit pun berkurang. Sikap kenegaraan seperti inilah yang memungkinkan Indonesia secara ideologi tetap stabil meski goncangan datang silih berganti. NU membuktikan bahwa keislaman dan keindonesiaan bukanlah dua hal yang perlu dipertentangkan, melainkan bisa harmoni dan saling memperkuat. Hal tersebut bukan semata karena persoalan politik, melainkan paham keagamaan yang dikembangkan NU memungkinkan keduanya-keislaman dan keindonesiaan-bisa hidup bersama.

Dengan demikian, ulama pesantren tradisional telah mewariskan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. NU telah mampu menunjukkan diri sebagai rahmat bagi seluruh bangsa. Nilai-nilai perjuangan NU itu sudah saatnya diadopsi sebagai model keberislaman di berbagai belahan dunia. Dengan modal itu, sudah saatnya NU bersama seluruh eksponen bangsa mengubah orientasi keberislaman, tidak hanya bergumul dengan persoalan internal kebangsaan, tetapi juga bergerak maju untuk memengaruhi pergerakan peradaban dunia.

RUMADI AHMAD

DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA, PENELITI SENIOR THE WAHID INSTITUTE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "NU, dari Nusantara untuk Dunia".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Melawan Spekulasi Tanah (DAVY HENDRI)

Negeri ini penuh ironi yang tak habis-habisnya. Negeri ini kaya akan sumber energi, tapi harga energi semakin hari kian tinggi.

Negeri ini mengakui jati dirinya sebagai negeri maritim dengan puluhan ribu pulau, tapi justru nelayan sebagai aktor ekonomi utamanya selalu menjadi kelompok termarjinalkan. Negeri ini dikenal sebagai negeri agraris, tapi para petani selalu gigit jari dengan tabiat kecanduan impor komoditas yang diidap pemerintahnya.

Satu lagi ironi itu adalah negeri ini berkelimpahan lahan (tanah). Dengan luas daratan mencapai 1,8 juta kilometer persegi, negeri ini merupakan negeri dengan daratan terbesar ke-13 di dunia. Namun, kebutuhan rumah rakyat yang belum terpenuhi atau backlog di dalam negeri pada tahun 2013 lalu saja mencapai hingga 21,7 juta (BPS, 2013).

Bagaimana tidak! Jika dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita sebesar Rp 36,5 juta (BPS, 2013), untuk memperoleh rumah layak dengan harga rata-rata semisal Rp 185 juta per unit, dengan asumsi maksimal 50 persen pendapatan tersebut digunakan untuk mencicil harga rumah sederhana, rakyat baru akan memilikinya (SHM) setelah di atas 10 tahun. Tentu tak semua rakyat berpendapatan tahunan Rp 36,5 juta.

Belum lagi berbicara tentang fakta bahwa pertumbuhan PDB per kapita cuma merangkak dalam satu digit, sebesar 8,88 persen, dibandingkan dengan PDB per kapita 2012 sebesar Rp 33,5 juta. Sementara itu, kenaikan harga lahan dan perumahan dalam beberapa tahun terakhir berlari kencang dalam dua digit, sebesar 19,01 persen, di kuartal II-2013 (Survei Harga Properti Residensial, BI).

Spekulan tanah

Ekuilibrium pasar perumahan ini semakin sulit tercapai dengan fakta semakin merebaknya perilaku spekulan tanah. Beberapa spekulan tanah membeli tanah mentah (tanpa bangunan dan infrastruktur di atasnya) dan hanya membiarkannya sampai mereka berpikir waktunya sudah cukup untuk pembangunan. Sambil menunggu harga naik, spekulan melakukan hal yang berbeda dengan tanah yang telah dikuasainya.

Pada kasus tertentu, spekulan tanah membeli tanah dalam rangka mengembangkan, mengharapkan kenaikan nilai tanah akan menjadi sebagian besar dari keuntungan mereka. Pada kasus lain, spekulan membeli tanah di pinggiran kota yang jauh, dengan melewati dan membiarkan daerah sekitar yang dilaluinya menjadi kosong (urban sprawl).

Perilaku spekulan tanah yang tidak terkontrol ini sangat merugikan perekonomian secara umum. Secara lugas, Henry George, ekonom AS, dalam kajiannya 120 tahun yang lalu telah menyatakan bahwa spekulasi pertanahan merupakan pemicu utama krisis perekonomian Amerika bahkan dunia. Hal ini dibuktikan dalam subprime mortgage crisis di AS selama Desember 2007-Juni 2009 yang menjalar menjadi resesi global. Secara umum hal ini disebabkan oleh ulah spekulan tipe pertama yang berkolaborasi dengan industri keuangan dan perbankan.

Selain berdimensi inefisiensi produksi, spekulasi pertanahan juga berdimensi ketidakadilan distribusi. Pada kasus spekulan tipe kedua, pemerintah terpaksa menyediakan berbagai fasilitas publik untuk masyarakat yang terdesak ke daerah-daerah pinggiran kota. Uang pajak masuk digunakan membangun pekerjaan umum, seperti jalan raya, utilitas umum, taman, keamanan, perlindungan kebakaran, dan sekolah di daerah pinggiran. Hal ini pada gilirannya akan mendongkrak nilai tanah.

Jadi, pemilik tanah mendapatkan subsidi pemerintah dalam bentuk peningkatan sewa karena infrastruktur atas biaya dari pajak yang dibayarkan oleh pekerja dan bisnis, bukan pemilik tanah. Spekulan tanah memperoleh transfer kekayaan dari pekerja jika spekulan tadi piawai menebak dengan benar di mana pusat pertumbuhan daerah baru akan terjadi.

Meminimalkan insentif

Spekulasi tanah menjadi disfungsional (penyebab kesulitan ekonomi) tak melulu terkait faktor spekulasi itu sendiri. Spekulasi pertanahan terjadi karena adanya insentif untuk berinvestasi dalam tanah. Siapa pun berpotensi menjadi spekulan tanah jika saya-atau siapa pun-melihat kelemahan mendasar yang menjadi celah masuk ke dalam bisnis ini. Logikanya, jika kondisi keberadaan regulasi dan mekanisme pasar justru menyebabkan suburnya praktik spekulasi ini, si pembuat regulasilah yang bersalah. Dalam hal ini adalah pemerintah.

Pemerintah membiarkan rakyat kalah adu kekuatan finansial guna memperebutkan sepetak tanah dengan para spekulan. Jadi, meminimalkan insentif itu merupakan solusi rasional untuk menebus kesalahan. Untuk meminimalkan insentif bagi para spekulan lahan tipe pertama, pemerintah harus memperbarui rezim bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) secara progresif sesuai waktu dan lokasi.

Semakin luas lahan yang dikuasai individu, sudah seharusnya beban pajak yang ditanggung semakin besar pula. Jika perlu, perlu ada batasan maksimal kepemilikan tanah oleh satu orang individu atau perusahaan. Dalam konteks ini, inisiatif Pemprov DKI Jakarta untuk memperbarui NJOP berdasarkan lokasi secara reguler merupakan langkah maju dalam wacana keuangan daerah.

Sementara itu, adaptasi konsep land value tax (LVT) di beberapa negara, seperti Denmark, Estonia, Rusia, Hongkong, Singapura, dan Taiwan, diprediksi dapat mengurangi insentif para spekulan lahan tipe kedua. Berbeda dengan NJOP, pengenaan ad valorem taxatas nilai lahan ini tidak akan memengaruhi kenaikan harga lahan.

Justru pengenaan LVT untuk tujuan akhir apa pun nantinya pada lahan itu akan menjadi insentif bagi maksimalisasi penggunaan lahan yang sudah dimiliki. Secara khusus, pengenaan LVT yang tinggi pada daerah produktif (farm area) digabung dengan proses zonasi berbasis GPS diharapkan dapat meminimalisir laju konversi lahan pertanian.

DAVY HENDRI

Peneliti pada Pocin Institute of Economics, Depok

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Melawan Spekulasi Tanah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: El Nino Datang Lagi (Kompas)

Fenomena iklim El Nino berupa musim kemarau panjang telah berdampak pada lahan pertanian dan perkebunan serta ketersediaan air bersih.

Hujan sudah tidak turun selama dua bulan di 18 provinsi di Indonesia sehingga menyebabkan sebagian lahan pertanian dan perkebunan kekeringan. Penduduk di sejumlah wilayah mulai merasakan kesulitan air bersih.

Kita menghargai langkah pemerintah mengantisipasi dampak El Nino. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memperkirakan, 111.000 hektar (ha) lahan pertanian kekeringan dan hanya 8.000 ha puso. Luas tersebut sangat kecil dibandingkan dengan luas panen tanaman pangan. Luas panen padi, misalnya, lebih dari 12,6 juta ha.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan, indeks El Nino memperlihatkan tingkat keparahan fenomena ini pada 16 Juli lalu, sama seperti situasi El Nino tahun 1997.

Jika prediksi BMKG benar, dampak kekeringan akan serius. Pada 1997-1998, El Nino menyebabkan kekeringan parah dan memaksa pemerintah mengimpor hingga 5 juta ton beras, terutama untuk membantu kelompok masyarakat miskin.

Dampak lain adalah kebakaran hutan seluas 9,7 juta ha, hal yang belum pernah terjadi. Asap kebakaran mengganggu pernapasan di wilayah Indonesia dan negara tetangga, yaitu Singapura, Malaysia, dan Brunei. Banyak penerbangan terganggu tebalnya asap.

Kita tentu berharap dampak El Nino terhadap pangan, kebakaran hutan, dan penyediaan air bersih tidak separah tahun 1997-1998. Prakiraan iklim oleh BMKG telah semakin baik dikomunikasikan ke berbagai instansi pada aras horizontal.

Kementerian Pertanian, misalnya, lebih mampu merespons, antara lain dengan menyiapkan pompa air dan benih tahan kekeringan. Meski begitu, respons tersebut perlu sampai kepada petani. Informasi tentang perubahan iklim harus sampai sejak awal, begitu pula ketersediaan sarana produksi pertanian.

Hal lain yang sampai hari ini tetap masih sebatas wacana adalah pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Pada musim hujan terjadi banjir dan longsor, sementara pada musim kemarau kekeringan menjadi ancaman.

Pengelolaan lingkungan tidak dapat parsial. Lingkungan yang lestari berhubungan, antara lain, dengan jumlah penduduk karena menyangkut kebutuhan lahan untuk permukiman, pangan, dan industri.

Keseimbangan lingkungan juga berkorelasi dengan sebaran penduduk, cara kita mengelola pembangunan, penegakan hukum, dan tingkat pengetahuan masyarakat.

Kedatangan El Nino sebagai siklus alam memang tidak dapat kita halangi, setidaknya dengan teknologi saat ini. Namun, dampak negatifnya dapat dikurangi dengan belajar dari pengalaman dan kesungguhan dalam mengelola lingkungan agar menjadi lebih seimbang.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "El Nino Datang Lagi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Pakistan Terbelenggu Kekerasan (Kompas)

Tantangan berat Pakistan dalam bidang keamanan tersingkap jelas di balik kasus tewasnya pemimpin organisasi militan paling ditakuti di negeri itu.

Ancaman kekerasan dan aksi teror diperkirakan tidak akan surut meski pemimpin Laskhar-e-Jhangvi (LeJ), Malik Ishak, dan belasan pengikutnya tewas dalam kontak senjata dengan aparat keamanan pada pekan ini. Belum terlihat Pakistan akan segera mampu melepaskan diri dari jeratan mata rantai kekerasan.

Tentu saja kasus tewasnya Ishak dipandang sebagai keberhasilan aparat keamanan dalam upaya menciptakan ketenteraman dan rasa aman. Sensasi atas kasus tewasnya Ishak tergolong tinggi, lebih-lebih karena pemimpin militan itu dan LeJ disebut-sebut sangat kejam.

Aparat keamanan Pakistan sering dibuat frustrasi dan kelelahan menghadapi ancaman LeJ pimpinan Ishak yang memiliki reputasi kekejaman luar biasa dalam berbagai aksi kekerasan. Amerika Serikat memasukkan LeJ sebagai organisasi teroris dunia. Begitu banyak aksi LeJ yang mengguncangkan, antara lain kasus serangan terhadap tim kriket Sri Lanka di Lahore, Pakistan timur, Maret 2009. Insiden menggemparkan itu tidak hanya mencederai enam pemain Sri Lanka, tetapi terutama karena menewaskan enam anggota polisi dan dua warga masyarakat.

Kiprah LeJ telah menciptakan kecemasan dan ketakutan luas karena berada di balik serangkaian serangan berdarah. Citranya sebagai organisasi berbahaya juga sangat mencolok karena menjadi bagian jaringan organisasi Al Qaeda dan berhubungan erat dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Organisasi militan ini akan tetap merepotkan pemerintah dan rakyat Pakistan jika tidak ada terobosan segera dalam bidang keamanan.

Kerepotan yang dihadapi Pakistan tidak hanya datang dari ancaman kekerasan LeJ, tetapi juga dari berbagai organisasi militan lain. Pakistan merupakan salah satu suaka bagi Al Qaeda dan gerilyawan Taliban yang tersingkir dari Afganistan tahun 2001. Kehadiran pelarian Taliban dan Al Qaeda sudah merepotkan Pakistan.

Persoalannya bertambah rumit karena Taliban dan Al Qaeda merekrut orang-orang lokal untuk merecoki Pemerintah Pakistan. Hampir tak terhindarkan pula, bermunculan organisasi militan yang berafiliasi dengan Taliban dan Al Qaeda. Pemerintah Pakistan sering kewalahan menghadapi ancaman kekerasan, penyerangan, pembunuhan, dan teror dari kalangan organisasi militan.

Persoalan keamanan bertambah kompleks karena Pakistan juga masih tegang dengan India dalam kasus persengketaan Kashmir. Sementara situasi kawasan tidak kondusif oleh dampak konflik Timur Tengah dan pergolakan NIIS. Bayangan suram terlihat jelas karena belum ada tanda-tanda Pakistan bisa melepaskan diri dari belenggu mata rantai dan spiral kekerasan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Pakistan Terbelenggu Kekerasan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Nasionalisme dan Ambalat (EDDY PRATOMO)

Akhir-akhir ini nasionalisme kita diuji lagi akibat kembali mengemukanya isu mengenai pelanggaran wilayah dan ancaman hilangnya Ambalat oleh Malaysia. Pemberitaan di media sejauh ini memberikan pelajaran penting yang menarik dicermati bersama.

Pertama, kita harus bangga dengan nasionalisme rakyat Indonesia. Berbagai kalangan telah menyatakan kesediaannya untuk menjaga Ambalat, bahkan bersedia berperang merebutnya kembali apabila dicaplok Malaysia. Kesetiaan dan semangat ksatria membela Tanah Air oleh rakyat Indonesia tidak perlu diragukan lagi, terlebih apabila dihadapkan pada upaya mempertahankan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pahami inti persoalan

Kedua, pemahaman publik mengenai inti persoalan sebenarnya masih sangat jauh. Hal ini tidak mengherankan karena nama "Ambalat" dalam pengetahuan lokal masyarakat Indonesia merujuk kepada hal yang berbeda-beda.

Ambalat adalah nama desa di Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, di Kalimantan Utara. Ambalat juga digunakan sebagai nama pantai pasir indah di Kelurahan Amborawang Laut, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kedua daerah ini tidak berbatasan langsung dengan Malaysia.

Ambalat juga nama ikan teri dari dan dikembangbiakkan oleh nelayan Indonesia di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan. Ambalat juga disebut sebagai singkatan "ambang batas laut terluar", padahal istilah hukum yang tepat untuk menunjukkan batas terluar adalah "garis pangkal terluar dari pulau-pulau terluar" atau cukup "garis pangkal".

Kentalnya nama Ambalat yang merujuk pada identitas lokal Indonesia itu juga jadi alasan bagi Indonesia untuk menamakan wilayah blok konsesi minyak di dasar laut lepas (landas kontinen) yang terletak di Laut Sulawesi sebagai Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur. Dapat dipastikan juga bahwa tak ada pulau di Indonesia yang menggunakan nama Ambalat.

Mengingat begitu jamaknya penggunaan nama Ambalat, maka perlu dipahami bahwa Ambalat yang dimaksud dalam kaitannya dengan Malaysia adalah konsesi minyak Blok Ambalat seluas sekitar 1.990 kilometer persegi, dengan jarak beragam. Jarak terdekat terletak di dalam Laut Wilayah Indonesia, yang terjauh berada 40 km-50 km dari batas Laut Wilayah yang ditarik menggunakan garis pangkal kepulauan.

Dengan demikian, hak-hak Indonesia di dasar laut Ambalat ini beragam, mengikuti zona maritim yang berlaku. Apabila di Laut Wilayah, Indonesia memiliki kedaulatan penuh. Sementara jika di zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, Indonesia hanya memiliki hak berdaulat terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berada di kolom air dan di dasar laut serta tanah di bawahnya. Sementara pihak asing bebas untuk berlayar, terbang, memasang kabel, dan memasang pipa di atasnya.

Ketiga, penyamaan Ambalat dengan pengalaman "kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan" adalah referensi yang keliru. Dalam kasus Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia sepakat menghentikan diplomasi dan memulai proses hukum dengan mengajukan perkara kepemilikan status Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan kepada Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag.

Keputusan ICJ terhadap kasus ini yang penting untuk diketahui adalah 1) penetapan tanggal kristalisasi sengketa, yaitu tahun 1969, sehingga hanya memperhitungkan penguasaan yang dilakukan sebelum 1969; 2) memutuskan sendiri dari bukti hukum bahwa Inggris sejak tahun 1914 telah menerapkan pajak pengambilan telur penyu di kedua pulau tersebut sehingga menunjukkan adanya penguasaan efektif oleh pemerintahan kolonial Inggris kala itu yang kemudian diteruskan Malaysia; dan 3) merujuk pada UU No 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang tidak memasukkan kedua pulau tersebut sebagai bagian dari NKRI. Dengan kata lain, Indonesia bukan kehilangan, melainkan gagal mendapatkan tambahan dua pulau baru.

Sementara permasalahan Blok Ambalat pada pokoknya merupakan persoalan delimitasi perbatasan maritim di Laut Sulawesi yang belum selesai dirundingkan antara Indonesia dan Malaysia. Di Laut Sulawesi ini, kedua negara masih perlu menetapkan segmen Laut Wilayah (kedaulatan) dan ZEE serta landas kontinen (hak berdaulat). Hukum nasional Indonesia dan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB (UNCLOS 1982) mewajibkan Indonesia merundingkan batas-batas negaranya apabila berhadapan atau berimpitan dengan batas negara lain.

Keempat, perundingan penyelesaian batas maritim merupakan salah satu perundingan paling kompleks di dunia. Hal ini mengingat sifatnya yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, mulai hukum internasional, hubungan internasional, geografi, geologi, geodesi, hidrografi, oseanografi, kartografi, navigasi, dan kesejarahan. Di samping itu, perundingan semacam ini juga melibatkan berbagai instansi pemerintah yang memiliki tugas pokok serta kepiawaian di bidang-bidang tersebut.

Indonesia telah berunding dengan Malaysia sebanyak 28 kali selama 2005-2015 untuk membahas penetapan batas maritim kedua negara di semua segmen, yaitu Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Sulawesi. Selama 10 tahun perundingan, masih terdapat perbedaan mendasar mengenai metode serta prinsip-prinsip hukum penarikan garis batas maritim.

Guna mempercepat penyelesaian batas maritim dengan Malaysia, Presiden RI telah mengangkat Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Batas Maritim antara RI-Malaysia, dengan tugas utama mencari solusi kreatif penyelesaian batas maritim kedua negara dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain melengkapi aspek teknis dan hukum.

Meski demikian, keberadaan utusan khusus penyelesaian penetapan batas yang rumit dan kompleks ini perlu disikapi dengan bijak. Keseriusan RI menyelesaikan penetapan batas maritim ini akan sangat bergantung pada itikad baik Malaysia.

Perbedaan mendasar

Sampai sejauh ini masih terdapat perbedaan yang mendasar di kedua belah pihak. Di satu sisi, Peta 1979 yang digunakan Malaysia telah menuai protes dari Singapura, Brunei, Filipina, dan beberapa negara lain.

Hal yang kontroversi pada Peta 1979 adalah penggunaan metode garis pangkal lurus untuk penarikan garis batas maritim, padahal Malaysia tak berhak menggunakan metode itu sesuai UNCLOS 1982. Sebagai negara pantai, Malaysia seyogianya menggunakan garis pangkal biasa. Di sisi lain, posisi Indonesia sebagai negara kepulauan sesuai UNCLOS 1982 dapat menarik garis pangkal kepulauan. Namun, kondisi ini masih belum diterima Malaysia, padahal Malaysia telah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan dengan disepakatinya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang Rezim Hukum Negara Nusantara/Negara Kepulauan tahun 1982.

Mencermati perkembangan itu, sejauh mana masing-masing pihak mau beranjak dari posisinya untuk mencapai suatu kesepakatan? Apakah waktu yang akan menentukan? Ataukah para utusan khusus dapat mencari opsi-opsi solusi komprehensif sebagai jalan keluar yang dapat disampaikan kepada kepala negara masing-masing.

Marilah kita terus menjaga harga mati NKRI dengan nasionalisme yang cerdas.

EDDY PRATOMO

UTUSAN KHUSUS PRESIDEN RI UNTUK PENETAPAN BATAS MARITIM 2014, 2006-2009, DAN 2002-2004

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Nasionalisme dan Ambalat".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kamis, 30 Juli 2015

Menolak Hotel di Dusun//Jakarta Patut Contoh Bontang//Tidak Setiap Hari//Koreksi Jerman (Surat Pembaca Kompas)

Menolak Hotel di Dusun

Kami warga Ngemplak, Karangjati, Sinduadi, Mlati, Sleman, DI Yogyakarta, menolak rencana pembangunan hotel, kondotel, atau apartemen di dusun kami—Ngemplak, Karangjati, RT 001 RW 035—oleh pengembang yang beralamat di Jakarta. Konon pengembang itu PT ATM.

Kami mengetuk nurani bapak/ibu di DPRD Sleman dan Pemerintah Kabupaten Sleman serta pihak yang mengeluarkan segala izin untuk rencana pembangunan hotel itu bisa bersikap pro rakyat dengan menolak atau tak meluluskan izin untuk membangun hotel itu. Penolakan kami ini didasarkan pada kekhawatiran kami atas dampak negatif pembangunan hotel di dusun sebagaimana diderita warga di sekitar hotel di tempat lain yang sudah banyak terjadi.

Hotel yang akan didirikan di pinggir Jalan Monjali sampai pinggir Sungai Code itu akan menguras air sumur warga sekitar karena ada bagian bangunan yang terpendam amat dalam ke tanah. Lagi pula, konsumsi air amat besar bagi pengoperasian hotel sehari-hari.

Hotel juga menghalangi alur pembuangan air hujan dari Jalan Nyi Condro Lukito/Jalan Monjali ke Sungai Code yang akan menimbulkan banjir di Jalan Nyi Condro Lukito di depan hotel. Masih banyak kekhawatiran kami menyangkut kerawanan sosial, ketertiban, dan lain-lain yang tak bisa kami rinci.

WISNU H AJI, KARANGJATI, SINDUADI, MLATI, SLEMAN, DI YOGYAKARTA


Jakarta Patut Contoh Bontang

Disebut sebagai kota industri, Bontang merupakan sebuah kota di ujung Provinsi Kalimantan Timur. Di sana tersua pabrik pengolahan gas alam cair, pupuk, serta bahan kimia dan industri yang memasok kebutuhan sektor pertambangan.

Walaupun berpredikat sebagai kota industri, Bontang tidak terbelit kasus macet dan kesemrawutan lalu lintas. Berikut beberapa faktor penyebabnya.

Pertama, Bontang dekat dengan pelabuhan. Ini membuat hasil produksi dapat langsung dikirim melalui pelabuhan. Dengan demikian, penggunaan alat angkut besar tidak begitu banyak. Kedua, jalan untuk kegiatan industri dibedakan dengan jalan untuk transportasi kota sehingga alat angkut, seperti trailer, tidak pernah masuk ke dalam kota.

Ketiga, setiap perusahaan industri menyediakan bus untuk antar -jemput karyawan sehingga menekan penggunaan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor dan mobil. Keempat, kegiatan satu industri memiliki ikatan atau ketergantungan dengan industri lain. Bahan baku yang dekat dengan industri pengolahan mengefisienkan biaya, waktu, dan tenaga.

Keempat hal itu patut dijadikan contoh jika kita ingin membangun suatu kawasan industri yang terintegrasi dengan perkotaan, seperti Jabodetabek.

BOMA STORK SIJABAT, PERUMAHAN BATU CEPER INDAH, JALAN MUTIARA VI BLOK I/8, TANGERANG


Tidak Setiap Hari

Sehubungan dengan keluhan Ibu Angeline F Widjaja dalam rubrik Surat kepada Redaksi Kompas (21/7), "Listrik Padam di Balikpapan", pada dasarnya kami sampaikan terima kasih karena informasi itu sangat penting dalam upaya peningkatan pelayanan kami.

Sesuai dengan rekaman kami. listrik padam yang terjadi di kediaman Ibu Angeline periode Juni-Juli 2015 pada saat Ramadhan adalah delapan kali, tidak setiap hari seperti yang dikeluhkan.

Kami telah datang ke rumah Ibu Angeline pada 22 Juli 2015 untuk menjelaskan penyebab listrik padam, tetapi yang bersangkutan sedang berada di luar kota sehingga diwakili oleh orangtuanya, Bapak Johannes Widjaja. Dari pertemuan tersebut, Bapak Johannes Widjaja menerima penjelasan kami.

Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi akibat masalah itu.

AGUS TETUKO, PLH MANAJER ASMAN JARINGAN PT PLN (PERSERO) WILAYAH KALIMANTAN TIMUR DAN KALIMANTAN UTARA AREA BALIKPAPAN


Koreksi Jerman

Sedikit perbaikan pada pernyataan "...pengganti huruf aslinya dengan simbol beta (Yunani)" dari Ricardo Pasaribu pada Surat Pembaca Kompas (24/7), "Bahasa Jerman". Pernyataan itu tidak benar.

Yang benar adalah dobel ss bisa diganti dengan huruf eszett dengan simbol ß, bukan dengan simbol beta (Yunani) seperti disebutkan. Perbedaan memang kecil, tetapi sebagai pengajar bahasa Jerman, saya perlu memperbaiki jika ada kesalahan kecil sedikit apa pun dalam bahasa Jerman. Koreksi ini bertujuan agar pembelajar bahasa Jerman tak bingung.

RIMSON CHANDRA NAPITUPULU, JALAN KANO RAYA 136, KELAPA DUA, KARAWACI, TANGERANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA‎: Pembangunan Ekonomi Rakyat (Kompas)

Terseok di awal pemerintahan, Joko Widodo-Jusuf Kalla perlahan bangkit dalam tingkat persepsi dan kepuasan publik menurut survei Litbang Kompas 25 Juni-7 Juli 2015.

Di bidang ekonomi, kemajuan terlihat pada program ekonomi kerakyatan, meski pemerintah terlihat keteteran dalam pengendalian harga kebutuhan pokok, pengendalian nilai tukar rupiah, dan penyediaan lapangan kerja. Kemajuan dalam program ekonomi rakyat terlihat, antara lain, dalam pembenahan pasar tradisional, pembangunan antarwilayah, swasembada pangan, serta pemberdayaan petani dan nelayan (Kompas, 29/7).

Dengan bertumpuknya pekerjaan rumah tak selesai yang dihadapi Jokowi-Kalla di awal pemerintahan, memang tak realistis berharap bisa memuaskan semua pihak dan berharap semua persoalan warisan pemerintahan sebelumnya terselesaikan pada tahun pertama pemerintahan.

Terlepas dari lemahnya kinerja di sejumlah bidang, seperti hukum dan pemberantasan korupsi, secara umum kita melihat pemerintah sudah on trackdan menunjukkan perbaikan konsisten di sejumlah bidang lain. Khususnya ekonomi rakyat, infrastruktur, dan penciptaan iklim usaha, di mana Jokowi mampu membuktikan diri sebagai pemimpin yang getting things done, mampu membuka bottleneck yang gagal diatasi pemerintah sebelumnya.

Meningkatnya kepuasan publik terkait program kerakyatan juga menunjukkan program pemerintah sejauh ini dampaknya bisa dirasakan oleh rakyat bawah. Perkembangan juga terlihat dalam pemenuhan kewajiban dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan) dan pembangunan sejumlah sektor unggulan sebagai agenda prioritas pemerintah. Kendati masih sangat dini sinyalnya, capaian ini penting guna menciptakan optimisme/harapan bagi bangsa ini untuk bisa keluar dari benang kusut selama ini.

Kepercayaan publik akan kian terbangun jika momentum ini bisa dijaga dan diakselerasi. Kuncinya ada di kepemimpinan Jokowi. Pemerintah tak boleh kehilangan fokus mengingat persoalan/tantangan besar yang dihadapi. Di sini pentingnya percepatan konsolidasi di dalam pemerintahan sendiri mengingat saat ini banyak menteri tak mampu menunjukkan kinerja sehingga justru jadi beban bagi pemerintah untuk bisa berlari cepat.

Keberhasilan Jokowi-Kalla di bidang ekonomi salah satunya akan diukur bukan hanya dari kemampuan mewujudkan pertumbuhan yang menopang sustainabilitas perekonomian secara keseluruhan dalam jangka panjang, melainkan juga pembangunan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak, khususnya rakyat bawah.

Pertumbuhan yang mampu menyediakan lapangan kerja berkualitas seluas-luasnya bagi rakyat serta meningkatnya pendapatan per kapita, kesejahteraan, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan memungkinkan bertumbuhnya pemain-pemain baru ekonomi, khususnya usaha kecil menengah, serta menekan ketimpangan. Di sinilah pentingnya bukan hanya terobosan kebijakan dan insentif, melainkan juga keberpihakan. Tanpa itu, dengan struktur demografi dan pendidikan yang ada, akan sulit bagi SDM kita bertahan dan bersaing di era persaingan terbuka.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Pembangunan Ekonomi Rakyat".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Berharap Kasus Najib Dilanjutkan (Kompas)

Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengganti Deputi PM Tan Sri Muhyiddin Yassin, Jaksa Agung Abdul Gani Patail, dan empat menteri kabinetnya.

Penggantian itu terkait dengan dugaan kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh Najib, yang diberitakan surat kabar The Wall Street Journal, awal Juli lalu. Surat kabar itu memuat hasil investigasi terkait aliran dana mencurigakan sebesar 700 juta dollar AS (setara dengan Rp 9,4 triliun) dari sejumlah bank dan 1Malaysia Development Bhd (1MDB) ke rekening pribadi Najib.

PM Najib Razak langsung membantah kebenaran berita tersebut dan menyebutkan berita itu sebagai "sabotase politik" terhadap dirinya. Sementara Deputi PM Muhyiddin Yassin meminta PM Najib menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan aliran dana 1MDB itu. Jaksa Agung Abdul Gani pun mengungkapkan kepada pers, satuan tugas yang menginvestigasi 1MDB telah menyerahkan sejumlah dokumen kepadanya, termasuk yang terkait dengan tuduhan adanya uang yang ditransfer ke rekening pribadi PM Najib.

Penggantian yang dilakukan PM Najib itu ditanggapi dengan perasaan mendua. Di satu sisi, ada yang merasa, wajar saja jika seorang pemimpin kabinet mengganti anggota-anggota kabinet yang menyerangnya secara terbuka di media massa. Oleh karena kabinet itu adalah satu tim sehingga tidak pada tempatnya anggota kabinet melawan pemimpinnya secara terbuka di media massa.

PM Najib Razak dalam pernyataannya di televisi menyebutkan, pergantian itu dilakukan karena menteri-menteri yang menyuarakan perbedaan dapat membahayakan pemerintah dan membuat rakyat melawan pemerintah. Ia menegaskan, "Seorang pemimpin harus berani melakukan langkah yang dipikirnya benar."

Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula yang merasa bahwa pergantian itu tidak wajar, terutama jika pergantian itu dilakukan untuk membuat pemeriksaan yang dilakukan terhadap aliran dana ilegal ke rekening pribadi PM Najib terhenti atau dihentikan.

Agak aneh bagi kita sewaktu PM Najib menyebut dirinya terbuka terhadap kritik atau perdebatan sengit, asalkan semua itu terjadi di dalam kabinet. Pertanyaannya, jika Jaksa Agung melihat adanya dugaan kasus korupsi yang melibatkan PM Najib dan membicarakannya di kabinet secara tertutup, akankah dugaan korupsi itu dapat ditindaklanjuti?

Kita hanya bisa berharap Jaksa Agung baru, yang ditunjuk untuk menggantikan Abdul Gani, akan melanjutkan pemeriksaan terhadap dugaan korupsi yang melibatkan PM Najib secara profesional dan obyektif.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Berharap Kasus Najib Dilanjutkan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger