Kesadaran ini tentu tidak muncul tiba- tiba, tapi melalui diskusi panjang dengan memperhatikan perkembangan NU, Islam Indonesia, dan dunia Islam. Melalui tema ini, NU ingin mengubah orientasi Islam Nusantara, dari "importir" jadi "eksportir"; dari "konsumen" jadi "produsen".
Agenda ini bukan hanya penting untuk NU, melainkan juga untuk Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam lain yang menyadari pentingnya Tanah Air, nasionalisme, dan kebangsaan sebagai pijakan dakwah Islamiah. Tanah Air itulah tempat berpijak membangun peradaban.
Makna dan isu strategis
Dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, dengan karakter masing-masing sudah membuktikan relevansinya sebagai penyangga dan jangkar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, Gus Dur-yang pikiran-pikiran kebangsaannya banyak berpengaruh di NU- menyatakan, apa pun pengorbanan yang harus dikeluarkan dan berapa pun harga yang harus dibayar, Pancasila dan NKRI harus dipertahankan.
Muktamar NU kali ini punya beberapa makna strategis. Pertama, dengan pergantian kepemimpinan nasional yang pemerintahannya belum sepenuhnya stabil, NU dituntut mengambil peran dan memastikan pemerintahan baru berjalan di atas rel yang benar. Secara ideologi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi kebijakan-kebijakan yang diambil harus dipastikan tidak menyengsarakan rakyat kecil yang sebagian besar warga NU.
Kedua, Timur Tengah yang selama ini menjadi kiblat dalam melihat dunia Islam sedang berada dalam instabilitas politik yang parah. Musim Semi Arab yang berembus di berbagai belahan dunia Islam sejak 2010 ternyata tak sepenuhnya membawa perubahan mencerahkan. Tak sedikit kawasan Timur Tengah yang masih terus bergolak, saling berperang, saling bunuh, yang sebagian besar dilakukan sesama umat Islam. Munculnya NIIS juga menjadi tambahan persoalan.
Ketiga, secara internasional sekarang ini sedang terjadi pergeseran geopolitik dan peta aliansi dalam merespons berbagai persoalan. Meski sejumlah kalangan masih ada yang beranggapan Islam sebagai ancaman terhadap nilai-nilai modernitas, harus diakui-dalam perkembangan global mutakhir-Islam memiliki peran sangat penting dalam menentukan arah perubahan dunia. Islam juga semakin berkembang di berbagai belahan dunia, baik kuantitatif maupun kualitatif. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Jepang, Islam menduduki peringkat tertinggi dalam perkembangan dan penambahan pemeluk, baik karena migrasi maupun konversi.
Hal yang terakhir ini semakin menarik kalau proyeksi peta agama dunia yang dirilis lembaga riset demografi Pew Research Center (PRC) pada April 2015 itu benar. Riset berjudul The Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050 tersebut mengolah data umur, tingkat kelahiran dan kematian, data migrasi dan perpindahan agama, serta populasi delapan kelompok agama mayoritas. Pada 2010, populasi delapan agama mayoritas di dunia: Kristen 31,4 persen, Islam 23,2 persen atau 1,6 miliar pemeluk, Hindu 15 persen, Buddha 7,1 persen, agama lokal 5,9 persen, Yahudi 0,2 persen, agama tak berafiliasi (unaffiliated) 16,4 persen seperti ateisme dan agnostik, dan agama lain (0,8 persen).
Proyeksi yang dibuat PRC pada 2050, populasi Muslim menanjak paling tinggi menjadi 29,7 persen (2,76 miliar pemeluk). Kristen stabil di angka 31,4 persen. Persentase Muslim dan Kristen diperkirakan sama pada 2070 (32,3 persen). Tiga dekade berikutnya, 2100, Muslim menjadi 34,9 persen dan Kristen 33,8 persen. Riset ini juga mencatat, jumlah penganut ateisme dan agnostik serta kaum tak beragama, meski meningkat di beberapa negara seperti AS dan Perancis, secara global menurun dari 16,4 persen (pada 2010) menjadi 13,2 persen (pada 2050). Sementara agama lain, seperti Hindu, Buddha dan Yahudi, tidak banyak mengalami pergeseran hingga empat dekade mendatang.
Apa makna data tersebut bagi NU dan umat Islam Indonesia? Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia, dan NU sebagai organisasi berbasis massa Islam yang (juga diklaim) terbesar di dunia, tentu berkepentingan dengan perubahan peta dunia itu. Persoalannya, apakah peningkatan jumlah Muslim itu akan membawa ketenangan dan perdamaian dunia atau justru jadi ancaman. Pada konteks inilah, NU seharusnya berkepentingan memastikan perkembangan Islam itu menuju ke arah perdamaian.
NU dan persoalan kebangsaan
Sejak kelahirannya tahun 1926, NU telah menunjukkan relevansi kehadirannya sebagai organisasi sosial keagamaan yang senantiasa menyatu dengan spirit kebangsaan. Para ulama pendiri NU tidak saja telah meletakkan landasan beragama dan bernegara yang kokoh, tetapi juga telah memberi teladan bagaimana seharusnya jadi Muslim di tengah keragaman bangsa. Keislaman yang dirintis ulama-ulama NU adalah model keislaman yang bisa menjadi jangkar kehidupan bangsa dan memayungi segala jenis perbedaan.
Jejak-jejak visi kebangsaan NU terlihat jelas dan menjadi perbincangan dari muktamar ke muktamar. Visi kebangsaan itu dibentuk dan dihasilkan dari cara pandang keagamaan-tepatnya fikih-yang dihayati dan dipraktikkan ulama-ulama NU. Inilah yang khas dari NU. Keputusan dan langkah apa pun, termasuk dalam hal politik, selalu disandarkan pada dalil dan argumentasi keagamaan (fikih). Pada 1938 dalam muktamar di Menes, Banten, misalnya, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai dar al-Islam, artinya negeri yang dapat diterima umat Islam meskipun tidak didasarkan pada Islam. Alasan NU, penduduk Muslim dapat melaksanakan syariat, syariat dijalankan para pegawai yang juga Muslim, dan negeri ini dahulu juga dikuasai raja-raja Muslim. Cara pandang ini merupakan khas Sunni dalam mengesahkan dan menerima sebuah kekuasaan politik sejauh membawa manfaat bagi perkembangan kehidupan keagamaan.
Dengan prinsip tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), dan i'tidal(berkeadilan), NU mampu menyeimbangkan antara keislaman dan keindonesiaan. Meski Indonesia 87 persen dihuni oleh orang Islam dan tak menjadi negara Islam, kecintaan NU pada negara ini tak sedikit pun berkurang. Sikap kenegaraan seperti inilah yang memungkinkan Indonesia secara ideologi tetap stabil meski goncangan datang silih berganti. NU membuktikan bahwa keislaman dan keindonesiaan bukanlah dua hal yang perlu dipertentangkan, melainkan bisa harmoni dan saling memperkuat. Hal tersebut bukan semata karena persoalan politik, melainkan paham keagamaan yang dikembangkan NU memungkinkan keduanya-keislaman dan keindonesiaan-bisa hidup bersama.
Dengan demikian, ulama pesantren tradisional telah mewariskan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. NU telah mampu menunjukkan diri sebagai rahmat bagi seluruh bangsa. Nilai-nilai perjuangan NU itu sudah saatnya diadopsi sebagai model keberislaman di berbagai belahan dunia. Dengan modal itu, sudah saatnya NU bersama seluruh eksponen bangsa mengubah orientasi keberislaman, tidak hanya bergumul dengan persoalan internal kebangsaan, tetapi juga bergerak maju untuk memengaruhi pergerakan peradaban dunia.
RUMADI AHMAD
DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA, PENELITI SENIOR THE WAHID INSTITUTE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "NU, dari Nusantara untuk Dunia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar