(John ConnollyThe Book of Lost Things, 2008)

 

Bre Redana di Kompas, 15 Oktober 2017, bercerita tentang masa lalu kenikmatan membeli dan membaca koran. Dulu, orang masih gampang untuk mencari koran di kios-kios pinggir jalan. Para pembaca koran bergirang tiap pagi. Kini, orang-orang sulit mendapatkan koran. Para penjual koran sudah berganti pekerjaan. Di pinggir jalan, koran-koran jarang terlihat mata. Bre Redana mulai merasakan kelangkaan koran di Ciawi. Situasi mutakhir memang agak bercerita sedih mengenai koran dan nasib pembaca. Bre Redana sempat meragu nasib penggandrung koran saat berlangsung empasan berita dan pertarungan kecepatan berita menghampiri publik.

Kita boleh membandingkan cerita pembaca koran masa sekarang dengan masa lalu. Pada 1976, terbit buku pelajaran berjudul Bahasa Indonesia: Belajar Membaca dan Menulis 1 a susunan tim beranggotakan 12 orang, antara lain AS Broto, Anwar Jasin, E Karwapi, S Effendi, Harimurti Kridalaksana. Buku terbitan Depdikbud untuk murid sekolah dasar kelas 1. Di halaman 1, murid melihat gambar keluarga Budi. Bapak sedang membaca koran. Budi dan Wati membaca buku. Ibu membacakan buku buat si bungsu. Keluarga itu representasi kecerdasan atau keluarga literasi pada masa Orde Baru. Buku pelajaran tak mengajarkan pada murid mengimajinasikan keluarga menonton televisi. Keluarga membaca koran dan buku turut menentukan kesuksesan pembangunan nasional.

Buku mengalami perbaikan isi dan gambar. Pada cetak ulang tahun 1981, gambar berubah, tetapi tetap menampilkan keluarga Budi. Bapak membaca koran. Budi dan Wati membaca buku bersama. Si bungsu sedang disuapi ibu. Gambar keluarga Budi di buku bacaan murid SD dalam dua edisi berbeda tetap menampilkan bapak adalah pembaca koran. Mengapa koran? Barangkali tokoh bapak dianggap tokoh penting dalam bekerja, interaksi sosial, dan penanggung jawab keluarga. Bapak diceritakan memiliki minat mengetahui perkembangan politik, ekonomi, sosial, pendidikan, olahraga, dan kultural. Koran jadi sumber bacaan-informatif agar selalu mengerti perubahan-perubahan di Indonesia. Bapak itu pembaca koran dan pemberi penjelasan pada keluarga. Pada masa Orde Baru, koran dianggap perlu bagi penciptaan keluarga Pancasila. Koran memiliki peran menginformasikan keberhasilan pelbagai program pemerintah, mengajak publik selalu mendukung pemerintah demi pembangunan nasional.

Puisi

Sejarah koran dan keluarga di Indonesia itu memiliki persamaan imajinasi dengan puisi berjudul "Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro" gubahan Sapardi Djoko Damono. Si pembaca koran adalah bapak, sosok di kelas sosial terhormat: priayi. Sapardi Djoko Damono menulis: Ada berita apa hari ini, Den Sastro? Siapa bertanya? Ada kursi/goyang dan koran pagi, di samping kopi. Huruf, seperti biasa-/nya, bertebaran di halaman-halaman di bawah matamu, kau-/kumpulkan dengan sabar, kausulap menjadi berita. Dingin pagi/memungut berita demi berita, menyebarkannya di ruang duduk rumahmu dan meluap sampai ke jalan raya.

Adegan membaca koran di pagi hari jadi pengesahan alur hidup keseharian si priayi. Koran menghubungkan pembaca ke pelbagai peristiwa penting atau iseng. Pembaca mendapat berita-berita untuk cuma mengetahui atau merasa "terlibat" dengan peristiwa. Di Jawa, priayi "wajib" membaca koran. Orang-orang diharapkan memberi pujian dan pengakuan bahwa priayi itu melek aksara, pengumpul informasi, dan pengedar opini. Koran jadi unsur penguat identitas dan kelas sosial.

Puisi itu terasa memiliki kaitan dengan gambar di buku bacaan SD. Bapak memiliki kebiasaan membaca koran. Profesi sebagai orang kantoran atau julukan sebagai priayi semakin menjelaskan konsekuensi bapak membaca koran. Duduk di kursi, tangan memegang koran, dan segelas minuman di meja jadi adegan khas bagi pembaca koran. Kita memiliki gambar atau imajinasi pembaca koran selama puluhan tahun. Pembaca koran mesti berduit, terhormat di mata warga. Istri dan anak mendefinisikan bapak adalah pencinta koran setiap hari. Bapak tanpa koran terkesan aneh, tak sempurna.

Tahun demi tahun berlalu. Cerita tentang koran perlahan berubah. Joko Pinurbo dalam puisi berjudul "Membaca Koran Pagi" berbagi sindiran dan ironi. Adegan membaca koran tak selalu menghasilkan kebaikan, ketenangan, atau kebahagiaan. Joko Pinurbo menulis: Dengan perasaan hambar kami gerayangi/ halaman-halaman koran./ Huruf-huruf membawa kami ke pasar./ Kami tersesat di tengah hingar-bingar. Berita-berita di koran kadang memicu kecemasan mengenai konflik politik, kenaikan harga kebutuhan pokok, krisis ekonomi, kriminalitas, dan perselingkuhan artis. Pagi gampang rusak jika pembaca melulu mendapat berita-berita buruk. Bermula membaca koran, pembaca bisa bersedih, tetapi sulit mengelak dari kebutuhan mendapat berita-berita mutakhir. Ironi si pembaca koran disampaikan Joko Pinurbo: Koran telah menjadi kakek dan nenek kami/ yang baru, yang suka menceritakan/kisah-kisah panjang dan ngelantur/ sebelum kami tidur dan mendengkur. Koran terlalu menguasai hidup keseharian si pembaca. Koran mirip bukti peresmian hari.

Pada saat teknologi komunikasi dan informasi belum terlalu canggih melanda Indonesia, membaca lembaran-lembaran koran adalah kelaziman. Koran itu kertas. Orang bisa berlangganan koran. Di rumah, koran diantar oleh loper. Pembaca pun gampang membeli koran di kios. Di kertas, berita-berita disajikan ke pembaca dilengkapi foto dan gambar. Kertas dan berita sudah mengandung pesan gamblang: tak wajib awet atau mengabadi. Koran bisa berganti peran sebagai pembungkus makanan, alas duduk, bahan kerajinan, atau mainan. Berita-berita cepat kedaluwarsa. Pembaca tak wajib mengingat semua isi berita. Hari terus berganti, berita-berita pasti berganti. Berita pun tak selalu benar.

Puisi berjudul "Loper Koran" gubahan Joko Pinurbo menguak dilema pembaca koran. Si loper koran "mengganggu" pembaca agar tak terlalu menggandrungi berita-berita di koran. Joko Pinurbo bercerita: Pagi-pagi sekali loper koran itu sudah nongol di depan/ pintu, menaruh koran di pangkuanku seraya berpesan:/ "Jangan percaya koran. Koran cuma bohong-bohongan."

Peringatan dari loper mengguncang pembaca. Mengapa ada kebohongan di koran? Barangkali si loper berlagak jadi pemberi nasihat bahwa realitas tak bisa utuh diberitakan di halaman-halaman koran. Berita tak mungkin tuntas mengungkap atau memberi tahu kebenaran. Pembaca diingatkan jangan terlalu berharap. Pembaca juga mesti waspada agar tak kecanduan kebohongan. Puisi itu mengingatkan kita pada misi penerbitan koran-koran di Indonesia sering dipengaruhi pemilik modal dan kekuasaan. Koran itu persaingan bisnis dan pertarungan misi beraroma politik.

Kini, orang-orang tak selalu membaca koran bekertas. Pembaca mulai beralih ke perangkat teknologi canggih untuk mencari dan mendapatkan berita-berita terbaru atau teraktual. Berita semakin cepat muncul dan berlalu. Adegan membaca koran pun berganti, tak seperti gambar di buku bacaan SD atau puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Pembaca koran edisi cetak  tentu orang memiliki kesabaran dan ketabahan meski "terlambat" mengetahui berita ketimbang "pemburu" berita di situs-situs berita di internet, tetapi sulit merenung

BANDUNG MAWARDI, KUNCEN BILIK LITERASI, KARANGANYAR, JAWA TENGAH


Kompas, 10 Maret 2018