Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Agustus 2018

TAJUK RENCANA: Polemik Perpres Kendaraan Listrik (Kompas)

Egosektoral dan perbedaan kepentingan terus menyandera rencana penerbitan perpres, sebagai payung hukum kebijakan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.

Egosektoral dan perbedaan sikap di dalam pemerintah sendiri antara lain terlihat dari sikap Kemenperin yang terkesan berusaha menjegal program kendaraan listrik karena lobi-lobi pihak tertentu. Kengototan Kemenperin mengembangkan kendaraan hibrida ketimbang kendaraan listrik menjadi salah satu sorotan. Demikian pula sikap Kemenperin yang menolak penghentian penjualan kendaraan berbahan bakar fosil pada 2040.

Kalangan lembaga dan perguruan tinggi nasional yang terlibat dalam riset dan pengembangan mobil listrik menuding pihak-pihak yang terlibat dalam pembahasan rancangan perpres kendaraan listrik tak menginginkan industri kendaraan listrik nasional menjadi raja di negeri sendiri (Kompas, 30/8/2018).

Ada kekhawatiran, dalam program kendaraan listrik nasional, pemain nasional akhirnya akan ditinggalkan dan gigit jari jika momentum itu ternyata justru lebih dimanfaatkan oleh investor asing, seperti terjadi pada industri mobil konvensional.

Sikap Kemenperin yang ngotot mengembangkan kendaraan hibrida—padahal Indonesia belum menguasai teknologinya dan pengembangannya juga jauh lebih mahal dibandingkan mobil listrik—juga dinilai menunjukkan tak adanya keberpihakan kepada industri nasional. Demikian pula usulan Menperin untuk menghapuskan bea masuk bagi impor mobil listrik dan penurunan Pajak Penjualan Barang Mewah atas kendaraan tersebut.

Padahal, Indonesia telah memulai riset dan pengembangan mobil listrik sejak 2012 dengan melibatkan sejumlah perguruan tinggi. Motor skuter listrik yang berhasil diproduksi diyakini bisa menjadi lompatan bagi pengembangan kendaraan listrik dan industri otomotif nasional. Tak kunjung keluarnya perpres membuat hilirisasi hasil riset terhambat.

Muncul kesan, di balik preferensi Kemenperin pada kendaraan hibrida, ada titipan kepentingan dari industri otomotif yang menguasai industri kendaraan saat ini. Lompatan ke mobil listrik memang akan memukul industri otomotif konvensional. Namun, mengakomodasi kekhawatiran mereka dengan memilih mobil hibrida akan mengakibatkan biaya jauh lebih besar yang harus ditanggung, salah satunya melanggengkan pemborosan BBM.

Tantangan kita adalah bagaimana bisa menjembatani konflik kepentingan ini. Jangan lagi kepentingan sempit membuat kita terjerumus ke dalam lubang sama. Bukan kali ini saja kebijakan industri dibajak oleh kepentingan sempit segelintir pengusaha.

Ketertinggalan kita dalam mengembangkan moda angkutan massal yang terintegrasi, efisien, nyaman, dan bisa diandalkan di masa lalu adalah juga karena kepentingan pabrikan mobil asing dengan pengusaha afiliasi rezim berkuasa, berhasil membelokkan pengembangan moda transportasi nasional ke moda jalan raya yang membakar triliunan rupiah sia-sia di jalanan setiap tahun.

Akibatnya, harga mahal harus dibayar: ekonomi biaya tinggi dan Indonesia tak bisa bersaing. Kepentingan nasional jangka panjang yang lebih besar harus jadi panglima. Tak ada jalan lain, Presiden Jokowi harus turun tangan langsung menengahi perbedaan kepentingan yang ada. Tanpa itu, kita tak akan bergerak ke mana-mana, sementara negara lain sudah melangkah jauh.

Kompas, 31 Agustus 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Merah Putih Menyatukan (Kompas)

SETWAPRES/YOHANES LINIANDUS

Atlet pencak silat Indonesia yang baru meraih medali emas, Hanifan Yudani Kusumah, merayakan kegembiraannya dengan memeluk Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Prabowo Subianto di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu (29/8/2018).

Hampir semua media massa, 30 Agustus 2018, menempatkan foto Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto berpelukan berselimutkan merah putih.

Pesilat Hanifan Yudani Kusumah, peraih medali emas Asian Games 2018, menyatukan dua tokoh bangsa itu. "Saya hanya ingin, melalui pencak silat, bangsa ini bersatu," ucap Hanifan. Sejumlah elite politik menyaksikan momen bersejarah yang dipersatukan oleh olahraga.

Di panggung itu antara lain hadir Wakil Presiden Jusuf Kalla, presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, Chef de Mission Komisaris Jenderal Syafruddin, dan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Semua bertepuk tangan. Gembira.

Foto dalam berbagai versinya itu kemudian menyebar di media sosial dalam bentuk card serta berbagai judul, seperti "Pelukan Menyejukkan", "#2019kita Tetap Bersaudara-Jangan Mau Diadu Domba", "Asian Games Persatukan Kita", dan sejumlah pesan lain. Pesan positif amat terasa dalam peristiwa pelukan Joko Widodo dan Prabowo Subianto berselimutkan merah putih.

Inilah keteladanan olahraga. Asian Games telah menyatukan bangsa ini. Semua energi bangsa, tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, dan golongan, berjibaku untuk Indonesia. Berjibaku untuk merah putih. Benar kata Prabowo Subianto, Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia, "Kalau sudah untuk negara dan bangsa, kita semua bersatu. Tidak ada perbedaan."

Foto di sejumlah media massa dan media sosial dengan nada positif harus dibaca sebagai ekspresi kerinduan anak bangsa untuk hidup rukun sebagai sesama anak bangsa. Olahraga telah menyatukan kita semua, menyatukan para tokoh bangsa. Semangat itu harus bisa ditangkap para aktivis politik di lapangan agar tidak membelah kerukunan, tidak memprovokasi keadaan yang bisa menciptakan polarisasi bangsa ini. Tidak perlu ada pembunuhan karakter para tokoh bangsa.

Kerinduan akan kerukunan, kerinduan akan persahabatan, kerinduan akan persaudaraan mewujud dengan pelukan Joko Widodo dan Prabowo Subianto berselimutkan merah putih. Jika ditempatkan dalam kontestasi politik, Presiden Joko Widodo kembali akan berkontestasi mendapatkan suara rakyat dengan Prabowo Subianto dalam pemilu presiden 17 April 2019. Pelukan bersejarah tersebut seakan menjawab dahaga atas kepengapan politik yang digambarkan di media sosial sekaligus meredakan ketegangan politik yang terjadi.

Kontestasi politik 17 April 2019 adalah peristiwa biasa dalam demokrasi. Tidak perlu ada pertarungan hidup atau mati untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan yang justru bisa mengorbankan persaudaraan dan persatuan.

Bangsa ini membutuhkan keteduhan, kesejukan, agar bisa keluar dari tekanan ekonomi yang tidak mudah. Kontestasi politik jangan sampai dimanfaatkan oleh kelompok antidemokrasi yang justru tidak ingin demokrasi Indonesia menjadi kian matang.

Kompas, 31 Agustus 2018



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Perempuan-perempuan Musuh Publik (DEDI HARYADI)

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih di gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/7/18). Eni diperiksa untuk tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo terkait dengan kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1. Eni diduga menerima Rp 4,5 miliar dari Johannes Kotjo untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1. 

Perempuan yang mencatatkan namanya sebagai musuh publik kian banyak. Terakhir adalah Eni Maulani Saragih (EMS), Wakil Ketua Komisi VII DPR. EMS dicokok KPK di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham (IM) pada minggu kedua Juli. EMS diduga terlibat kasus suap Rp 4,8 miliar dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 di Provinsi Riau. Belakangan, setelah diperiksa beberapa kali, ia dinyatakan sebagai tersangka.

Istilah "musuh publik" berasal dari bahasa Latin hostis publicus. Di AS, tahun 1930-an, istilah itu ngepop setelah Frank J Loesch, Ketua Komisi Kejahatan Chicago, menulis memoarnya dalam memerangi Al Capone dan kejahatan terorganisasi lain. Ia menyebut mereka musuh publik.

Korupsi termasuk kejahatan luar biasa yang merugikan keuangan negara, perekonomian, dan masyarakat. Karena itu, pelakunya bisa juga disebut sebagai musuh publik. Sebelum EMS, KPK juga mencokok beberapa kepala daerah perempuan, berturut-turut: Imas Aryumningsih (Bupati Subang), Siti Masitha Soeparno (Wali Kota Tegal), Sri Hartini (Bupati Klaten), Atty Suharti (Wali Kota Cimahi), Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten),  Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara),  dan lain-lain.

Persentase perempuan yang menjadi musuh publik relatif masih lebih kecil—sekitar 4 persen—ketimbang musuh publik lelaki. Akan tetapi, spesifikasi kepala daerah perempuan, yang bermetamorfosis menjadi  musuh publik, gambarannya cukup memprihatinkan. Selama kurun 2010-2018, dari 38 perempuan kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota), sekitar 18,42 persen berubah menjadi musuh publik.

Hal itu menjadi ironi di tengah upaya keras mendorong kepemimpinan perempuan dalam politik. Apakah hijrah dari ruang domestik ke ruang publik menjadikan perempuan rentan menjadi musuh publik?

Pengalaman penulis, guru mengaji kita selalu mengajarkan bahwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Lingkungannyalah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani, Muslim, Majusi, Hindu, Buddha, ateis, atau yang lain. Dengan demikian, nurture-nyalah—bukan nature—yang akan menjadikan lelaki atau perempuan itu sebagai musuh publik atau bukan. Jadi menjadi musuh publik  itu bukan penyakit hereditas (turunan).

Korupsi dan keseimbangan jender

Menyimak fenomena korupsi dan keseimbangan jender di Finlandia, Norwegia, Swiss, dan Swedia, kejahatan korupsi di negara-negara itu sangat rendah. Hampir tak ada. Ini tecermin pada Indeks Persepsi Korupsi pada 2017 yang mendekati angka 90 dari skala 0-100. Kecenderungan lelaki dan perempuan berbuat jahat dan korup sama rendahnya. Hal itu karena di sana tata kelola pemerintahan yang baik dan tata kelola bisnis yang baik sudah berjalan dengan baik.

Demikian juga penegakan hukum. Kontrol politik dan kontrol publik—dari warga dan media—juga sangat kuat. Integritas pribadi pejabat publik dan  pejabat negara serta warga negara juga teruji baik.

Yang menarik adalah Global Gender Gap Indeks (G3I)  keempat negara itu juga sangat bagus, berkisar 0,80-0,85 dari skala  0,0-1,0. Artinya, dari perspektif relasi jender, masyarakat di sana sudah mencapai kesetaraan. Apakah ini berarti kesetaraan jender membantu mengatasi problem korupsi dan munculnya musuh publik ? Bisa jadi. Karena korupsi itu soal kuasa dan relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan yang tak seimbang mendorong tingginya prevalensi korupsi. Sekali relasi kuasa laki-perempuan diseimbangkan, maka ia kontributif terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hubungan itu bisa juga berlaku sebaliknya, sukses pemberantasan korupsi membantu menciptakan keseimbangan jender di masyarakat.

Dalam konteks kesetaraan jender itulah sebenarnya kita bisa mempertanyakan, bagaimana sebenarnya relasi kuasa antara IM dan EMS pada kasus korupsi PLTU-1 Riau? Apakah EMS di bawah superordinasi (dominasi) dan subordinasi (kepatuhan) IM dalam melakukan tindak kejahatan korupsi?

Dedi Haryadi  Ketua Beyond Anti Coruption

Kompas, 31 Agustus 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Pekerjaan Rumah 2019-2024 (ARI KUNCORO)

Tanpa mengabaikan pentingnya pengelolaan jangka pendek oleh Bank Indonesia, perkembangan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini menarik untuk melihat kembali konsep-konsep bagaimana nilai tukar antardua negara ditentukan.

Untuk jangka pendek, teori permintaan-penawaran valuta asing yang memasukkan unsur ekspektasi dalam perkembangan nilai tukar. Sementara dalam jangka panjang teori yang populer adalah nilai tukar ditentukan keseimbangan dari daya beli antardua negara sehingga teori itu diberi nama teori paritas daya beli (purchasing power parity).

Pada 1990-an keberadaan teori ini mulai disaingi oleh konsep baru yang memostulasikan bahwa nilai tukar ditentukan oleh perbedaan produktivitas antara dua negara yang disebabkan oleh kemampuan sisi penawaran (supply side) yang berbeda (misalnya Tille, Stofells, dan Gorbachev [2001], Driver dan Westway [2003], Peltonen dan Sager [2009]). Dengan demikian, masalah defisit neraca berjalan yang selama ini terjadi adalah masalah perbedaan produktivitas antara Indonesia dan negara-negara mitra dagangnya.

Bonanza komoditas 2004-2012 merupakan obat kuat yang menutupi kelemahan Indonesia di sisi produktivitas. Kelemahan ini terkuak sejak berakhirnya bonanza komoditas, dalam bentuk defisit neraca berjalan yang dibiayai arus modal masuk dari luar negeri. Berdasarkan model pertumbuhan Solow, ada tiga sumber pertumbuhan produktivitas: modal fisik, tenaga kerja, dan perubahan teknologi. Varian model terbaru telah memasukkan faktor-faktor kualitas modal fisik, kualitas SDM dan inovasi (R&D) sebagai faktor yang dapat direkayasa untuk meningkatkan kesejahteraan suatu negara.

Lingkaran setan yang terjadi adalah pertumbuhan produktivitas yang rendah mengakibatkan tingkat pendapatan per kapita tak dapat meningkat cepat sehingga tingkat tabungan juga rendah. Sebagai akibatnya investasi harus dibiayai dengan aliran modal dari luar negeri. Jika aliran modal ini lebih berasal dari sumber-sumber jangka pendek yang masuk dan keluar dengan cepat, konsekuensinya adalah kerentanan nilai tukar terhadap gejolak perekonomian internasional, ekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan faktor sosio-ekonomi yang lain.

Sebagai langkah pertama untuk meningkatkan produktivitas nasional, pemerintah pada periode 2015-2017 telah memusatkan diri pada pembangunan infrastruktur sebagai kuda-kuda untuk pembangunan ke depan. Pelajaran yang dapat dipetik adalah tak seperti era 1990-an, akibat kemajuan teknologi, dampak pengganda pada permintaan agregat tak dapat dirasakan segera. Pada saat lampau masih banyak pekerjaan yang dilakukan secara manual dengan cangkul, sekop, dan linggis. Tetapi, sekarang alat-alat berat dan teknologi lebih banyak digunakan untuk proyek-proyek infrastruktur. Solusi dari masalah ini adalah menciptakan spillover (limpahan) dari proyek-proyek infrastruktur kepada masyarakat sekelilingnya.

Di Bandara Changi, Singapura, kita dapat melihat anggota masyarakat yang tak lagi muda, bahkan lansia, terlibat dalam pekerjaan sanitasi. Untuk kasus Indonesia, tempat istirahat (rest area) dapat diisi oleh produk makanan, restoran, dan hasil kerajinan lokal. Pemeliharaan jalan tol dan infrastruktur lain juga dapat dikoordinasikan dengan pemda setempat, dengan menggunakan tenaga setempat.

Sebagai langkah awal, pembangunan infrastruktur telah memperbaiki citra daya saing Indonesia. Pada 2017, indeks peringkat Indonesia untuk kemudahan berusaha (Index of Ease of Doing Business) naik 15 tangga dari posisi ke-106 jadi ke-91 sehingga Indonesia termasuk 10 negara yang memperbaiki diri dengan cepat (biggest climber). Indeks daya saing naik dari peringkat ke-41 jadi ke-36. Peringkat investasi juga meningkat jadi layak investasi (investment grade). Hasil survei indeks kinerja logistik (LPI) pada 2018 Indonesia berhasil meloncat 17 tangga di peringkat ke-46 dari 160 negara.

Kemakmuran negara

Perkembangan dunia menunjukkan, suatu negara tak dapat lagi mengandalkan komoditas dan produk fisik saja. Konten teknologi suatu produk menjadi semakin besar, dengan kata lain nilai dari suatu produk sebagian besar adalah pengetahuan, ide baru, dan inovasi yang telah dilakukan untuk menciptakan produk itu. Fakta menunjukkan, ilmu pengetahuan dan inovasi menjadi sumber kesejahteraan negara-negara maju dewasa ini. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi negara berkembang untuk mengatasi ketertinggalan tanpa harus menjalani fase penemuan (invention). Namun, untuk dapat melakukan short-cut ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, terutama kualitas tenaga kerja dan sistem inovasi.

Untuk pencapaian kuantitas, sebenarnya Indonesia tak terlalu tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara. Survei PISA terakhir menunjukkan, lulusan SD di Indonesia memiliki kelemahan pada matematika dan membaca yang mengisyaratkan kelemahan dalam berpikir logis dan berargumentasi dalam bahasa tulis ataupun lisan. Pendalaman materi lebih menekankan pada hafalan, pengulangan bacaan, dan replikasi buku teks, sambil mengabaikan berpikir kritis dan kreatif, keterampilan berkomunikasi dan berbahasa. Kualitas yang seperti ini mungkin cukup baik untuk fase awal dari industri yang mengandalkan pekerja tak terampil, tapi tak cukup untuk upgrading ke industri yang padat iptek.

Perubahan proses industri dari produksi yang berlokasi di satu tempat ke banyak lokasi (chain value) di beberapa negara yang berbeda juga sukar dilakukan karena butuh kemampuan koordinasi yang berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi dan berbahasa. Sampai saat ini, kekosongan talenta ini masih banyak diisi ekspatriat yang menambah tekanan pada neraca berjalan. PR bagi pemerintah adalah memperbaiki pendidikan nasional di segala tingkat yang kompetitif sesuai tuntutan Revolusi Industri 4.0. Dalam jangka panjang pemerintah perlu melakukan perbaikan pada sistem pendidikan di segala tingkat, termasuk vokasi, untuk menghasilkan talenta yang memadai untuk sektor industri yang telah ditingkatkan konten ipteknya. Berbagai cara dapat dilakukan, misalnya dengan pelatihan kembali tenaga pengajar, akreditasi nasional dan akreditasi internasional sebagai cara meningkatkan assurance of learning (AOL), kolaborasi dengan institusi pendidikan di luar negeri dalam pengajaran, dan penelitian quick catching up.

Tingginya biaya lokasi dan langkanya SDM yang punya kemampuan berkoordinasi (tak hanya manajer) pada tingkat shop floor menyebabkan industri pendukung seperti suku cadang (parts), barang setengah jadi, dan bahan penolong merasa terlalu mahal untuk berlokasi di Indonesia. Kebanyakan perusahaan itu berskala menengah dan kecil serta punya kemampuan lebih rendah dari industri skala besar dalam menanggung biaya tambahan. Operasi perusahaan bergantung pada pesanan industri-industri hilirnya yang bersifat musiman sehingga diperlukan modal kerja yang cukup. Kosongnya segmen industri menengah dan sedang ini menyebabkan tingginya persentase impor bahan baku dan penolong, barang-barang setengah jadi, suku cadang dalam total impor Indonesia (75 persen). Kelemahan struktural menjadi kendala bagi Indonesia untuk tumbuh tinggi karena defisit neraca berjalan akan meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

PR bagi pemerintah adalah memfasilitasi pembangunan industri-industri pendukung ini dengan menurunkan biaya logistik, seperti sudah dilakukan saat ini dengan pembangunan infrastruktur. Insentif fiskal dapat diberikan kepada perusahaan-perusahaan PMA yang dapat menarik perusahaan-perusahaan di industri pendukungnya, yang umumnya berskala kecil dan menengah, untuk berlokasi di Indonesia. Pemerintah dapat memfungsikan kantor atase perdagangan di luar negeri untuk memberikan informasi pasar dan juga membimbing pengurus perizinan sampai ke daerah tujuan lokasi industri (the ultimate one stop service).

Iptek, sumber kesejahteraan

Modernisasi (upgrading) sektor industri sangat diperlukan dengan masuknya cohort generasi milenial pada pasar tenaga kerja dan masyarakat konsumen. Generasi milenial punya perilaku berbeda dengan generasi sebelumnya dalam mengonsumsi. Pendapatan pas-pasan tak menghalangi mereka membeli barang bermerek (branded), bepergian untuk merasakan pengalaman baru (leisure), dan lain-lain. Mereka dapat menabung bertahun-tahun hanya untuk dapat merasakan pengalaman menonton konser band Coldplay di Paris. Perilaku ini dapat saja menular ke generasi yang bukan native millennia (lebih tua). Fenomena beberapa pusat pembelanjaan sepi menunjukkan bahwa tempat itu telah kehilangan sebagian besar daya tariknya.

Tugas pemerintah adalah mengawasi pergeseran ini untuk dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan ekonomi. Untuk memanfaatkan, paling tidak potensi daya beli dari sisi penawaran Indonesia harus dapat menghasilkan barang dan jasa yang menjadi idaman kaum milenial sekaligus modernisasi industri berorientasi ekspor. Jika tak mampu, potensi ini akan dimanfaatkan negara-negara tetangga. Untuk menghasilkan barang-barang berkualitas tinggi, diperlukan bahan baku yang berkualitas baik pula. Jika tidak, kenaikan permintaan hanya akan menimbulkan defisit neraca berjalan yang melebar. Pengekangan impor bahan baku yang tak berhati-hati tak akan efektif karena barang input subsitusi yang berkualitas sama dari dalam negeri belum tentu dapat ditemukan. Apalagi, ekspor manufaktur juga mengandalkan barang input berkualitas tinggi impor.

Sektor jasa yang berkembang dengan adanya permintaan kaum milenial ini, termasuk pariwisata, dapat digunakan sebagai basis untuk ekspor jasa pariwisata sekaligus menyerap surplus tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern (manufaktur-jasa) ala model Lewis (1954) seperti dilakukan China, 1980-1990-an.

Sistem inovasi di Indonesia terdiri dari tiga pemain: sektor publik, swasta, dan perguruan tinggi (PT). Sumbangan swasta sangat kecil dalam melakukan R&D yang berpotensi menghasilkan inovasi (0,44 persen dari biaya produksi untuk manufaktur). Kalaupun ada, sebatas inovasi proses, seperti penempatan mesin-mesin dan perlengkapan, perubahan manajerial, proses produksi, dan lain-lain, bukan inovasi produk yang menghasilkan produk-produk baru.

Sistem inovasi lain adalah yang ada di PT yang sudah menghasilkan produk-produk inovatif. Yang jadi masalah, banyak dari inovasi itu tetap pada skala lab dan tak diimplementasikan dalam produksi massal. Model Triple Helix, pemerintah-dunia usaha-dunia akademi tampaknya tak berjalan. Sistem inovasi pemerintah (dimotori LIPI dan BBPT) dan PT tampaknya lebih bersifat seperti silo atau struktur yang digunakan untuk menyimpan bahan curah yang punya sedikit hubungan dengan dunia usaha. Penekanan yang berlebihan pada publikasi artikel ilmiah di jurnal ilmiah terindeks seperti Scopus juga tak banyak membantu menguatkan kaitan antara industri dan dunia akademi. Penekanan pada menghasilkan lulusan siap pakai juga sudah bergeser ke pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dengan lulusan yang siap beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Konsep pertumbuhan endogen yang terkini juga telah memasukkan tata kelola pemerintahan, kelestarian lingkungan dan kesehatan (termasuk gizi) masyarakat sebagai faktor yang turut memengaruhi produktivitas nasional (misalnya Olson, Sama, dan Swamy [2000], Withagen dan Velinga [2002], van Zon dan Muysken [2002]).

Dari segi pelestarian lingkungan kota-kota harus berubah menjadi perkotaan yang smart, efisien, ramah lingkungan, dan nyaman bagi penduduknya yang akan menghasilkan masyarakat yang bahagia, sehat, dan produktif. Populasi yang semakin menua akan didukung sistem jaringan sosial kesehatan yang berkesinambungan dengan menggabungkan aspek kebutuhan pelayanan dasar yang diperluas (basic heath) dan pilihan (choice of care) dalam suatu pooling yang memungkinkan terjadinya asuransi silang.

Pertumbuhan perkotaan Indonesia sangat cepat sehingga 2010 sudah hampir 50 persen dari penduduk tinggal di perkotaan. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 69 persen pada 2045. Berlainan dengan negara kontinental, seperti Amerika Serikat, luas lahan di negara kepulauan di Indonesia tak tak terbatas sehingga konsekuensinya pemakaian lahan harus efisien dan berkelanjutan.

Perambahan daerah permukiman dan komersial yang menggerogoti lahan pertanian berjalan cepat setiap tahun. Dampaknya ada pada tata air dan ketahanan pangan. Durasi dan luas daerah banjir dan kekeringan setiap tahun kian ekstrem dengan perubahan iklim global. Tata pemerintahan harus diarahkan ke kerja sama antar-yuridiksi pemda di bawah arahan pusat untuk mengatasi problem "penumpang gelap" dan mengurangi eksternalitas antar-batas yurisdiksi seperti dicontohkan dengan usaha mengembalikan vitalitas sungai di DAS Citarum. Formula dan mekanisme transfer pusat dan daerah dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan tawar pemerintah.

Untuk mengurangi perambahan pada daerah penyangga tata air seperti hutan lindung, kesejahteraan petani harus ditingkatkan. Luas minimum lahan untuk seorang petani dapat hidup layak adalah lebih dari 1 hektar. Untuk mencegah semua surplus tenaga kerja ini pergi ke kota-kota, perekonomian off-farm di pedesaan harus ditingkatkan dengan mengembangkan aktivitas pasca-panen, seperti sorting, pergudangan, desa wisata agro, dan pemasaran melalui online untuk generasi muda petani di pedesaan.

Ari Kuncoro Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Kompas, 31 Agustus 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Tidak Cukup Stop Impor (ANDRY SATRIO NUGROHO)

Pemerintah telah melakukan langkah konkret untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang menyentuh 3 persen.

Pemerintah menilai biang keladinya adalah impor yang semakin kencang hingga semester I-2018. Impor tinggi menyebabkan permintaan dollar AS meningkat. Tingginya impor juga mengancam neraca perdagangan yang makin defisit.

Setidaknya ada dua hal yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan impor. Pertama, menghentikan proyek infrastruktur yang memiliki konten impor besar. Proyek infrastruktur yang memiliki konten impor besar berada di sektor energi dan dikelola oleh perusahaan pelat merah, seperti Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara. Kedua, memperketat 500 komoditas impor bahan baku dan konsumsi yang mampu dihasilkan di dalam negeri melalui instrumen, antara lain, pengenaan PPh impor yang ditingkatkan dan pengenaan tarif atau non-tariff measurement.

Apa yang akan dilakukan oleh pemerintah tentu patut diapresiasi dan ditunggu-tunggu di tengah makin tingginya ketergantungan perekonomian negara terhadap impor. Negara perlu hadir di tengah mekanisme pasar sudah tak lagi menguntungkan. Kendati demikian, apakah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah akan berkelanjutan dalam jangka panjang? Hal ini patut dipertanyakan.

Impor tentu bukan perkara haram dalam ekonomi dan menegaskan bahwa perdagangan antarnegara diperlukan karena perbedaan keunggulan antarnegara. Impor dibutuhkan ketika produksi di dalam negeri tidak mampu menghasilkan produk impor, atau ketika hasil produksi di dalam negeri tidak kompetitif dari segi harga dan nonharga (kualitas dan teknologi). Apalagi jika kita berbicara mengenai impor bahan baku dan modal yang tentu mampu menggerakkan mesin produksi domestik. Sebagai contoh, gandum sebagai bahan dasar produk olahan terigu yang bukan tanaman asli Indonesia sehingga menempatkan negara ini sebagai pengimpor kedua terbesar setelah Mesir.

Impor dianggap berbahaya jika sudah pada tahap mengancam produk industri domestik. Impor mampu meningkatkan efisiensi industri domestik akibat adanya kompetisi, di saat yang bersamaan ketika efisiensi itu tidak terjadi justru mengakibatkan sektor industri mati karena produk yang dihasilkan tidak kompetitif lagi. Ini terjadi di Indonesia, bahkan ketika konsumsi lebih mendorong kenaikan impor barang konsumsi dibandingkan investasi dan sektor industri.

Konsumsi yang meningkat pada kuartal kedua tiap tahun seharusnya diiringi meningkatnya performa sektor industri di waktu yang sama. Asumsinya, barang yang dikonsumsi merupakan hasil produksi industri domestik.

Kenyataannya tidak demikian, Badan Pusat Statistik mencatat, pada kuartal II-2018, pertumbuhan konsumsi meningkat 5,14 persen (yoy), lebih tinggi daripada periode sama di tahun lalu sebesar 4,95 persen. Namun, pertumbuhan industri nonmigas tumbuh melambat 4,41 persen (yoy). Pelemahan industri di tengah konsumsi yang meningkat ini terjadi selama tiga tahun terakhir. Bahkan, industri nonmigas tidak lagi tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi. Hal ini diperparah oleh performa empat dari lima industri prioritas tumbuh melambat dan hanya satu industri yang meningkat.

Meningkatnya pertumbuhan barang impor baik dari segi nilai maupun kuantitas secara signifikan, khususnya impor barang konsumsi dan di saat yang bersamaan terjadi perlambatan sektor industri, menjadi indikasi bahwa kini masyarakat lebih banyak mengonsumsi barang impor dibandingkan produk industri dalam negeri. Kini, produk dalam negeri telah tersubstitusi oleh barang impor.

Strategi jangka panjang

Menekan impor dengan regulasi yang keras ini tentu hanya berdampak positif dalam jangka pendek. Selain ancaman balasan dari negara pengekspor, risiko perlambatan produksi akibat bahan baku impor untuk keperluan industri dibatasi akan terjadi. Pemerintah perlu memikirkan strategi jangka panjang untuk meredakan peningkatan impor ini. Strategi itu tidak lain adalah reindustrialisasi. Untuk mencapai target itu, berbagai langkah tentu perlu disusun.

Pertama, pemerintah perlu segera mengaplikasikan rencana peta jalan industri 4.0 dengan sasaran lima industri prioritas. Laju pertumbuhan industri prioritas masih tumbuh terbatas. Padahal, kelima industri ini memiliki porsi besar terhadap industri pengolahan nonmigas. Dampaknya, industri secara keseluruhan sebagai pengungkit utama ekonomi tidak berjalan secara maksimal.

Kedua, kenali kebutuhan industri. Insentif fiskal seperti pembebasan pajak nyatanya tak terlalu memberikan pengaruh signifikan terhadap performa industri domestik. Alih-alih insentif fiskal, para pelaku industri justru menginginkan kebutuhan dasar untuk produksi terpenuhi. Bagaimana energi seperti gas dapat terjangkau dari sisi harga dan aksesibilitas. Bagaimana sumber daya alam yang dijadikan bahan baku industri tidak didominasi oleh segelintir industri saja.

Ketiga, infrastruktur yang menghubungkan kawasan industri dan ekonomi khusus. Infrastruktur ke depan harus menomorsatukan industri. Infrastruktur jalan tak hanya menghubungkan daerah-daerah yang hanya diisi ketika lebaran saja, tetapi konektivitas antar-kawasan industri perlu terjalin. Tidak cukup dengan jalan, tol laut sebagai kunci penurunan logistik antar- pulau saat ini masih diselimuti beragam masalah. Diharapkan, ke depan, tol laut mampu menghubungkan dengan cepat barang yang dihasilkan dari timur ke barat Indonesia dan dimanfaatkan tidak hanya oleh segelintir pihak (monopoli).

Keempat, di samping infrastruktur industri, perlu membangun infrastruktur pasar. Artinya, para pelaku industri perlu mengetahui kebutuhan pasar di luar Indonesia. Ini tugas yang mampu dibebankan kepada para kedutaan besar dan atase perdagangan luar negeri, di samping promosi produk-produk dalam negeri. Presiden berhak menggantikan pejabat berwenang dengan yang lebih mumpuni ketika target penetrasi ekspor tidak tercapai di negara tersebut.

Kelima, perlu visi industri. Indonesia belum memiliki visi industri yang mumpuni. Indonesia mampu dan berpeluang menguasai produk-produk agroindustri jika dilihat dari faktor-faktor produksi yang ada, seperti tenaga kerja yang masih berlimpah di sektor tersebut dan ketersediaan sumber daya alam.

Terakhir, kelima hal tersebut tentu tidak dapat terlaksana jika tidak ada manajemen organisasi yang baik lintas kementerian. Ego sektoral yang masih menjadi penyakit antar-kementerian perlu dikesampingkan, lalu bergotong royong membangun pencapaian bersama. Hal itu semua demi terdongkraknya industri sebagai senjata utama meningkatkan perekonomian Indonesia.

Andry Satrio Nugroho Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef)


Kompas, 31 Agustus 2018


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Klaim Dongkrak Wisata//Trotoar di Jawa Tengah//Spam SMS (Surat Pembaca Kompasy


Klaim Dongkrak Wisata

Artikel "Pariwisata Murah" di Kompas (30/7/2018) mengklaim bahwa fasilitas bebas visa bagi 169 negara sejak 2016 berhasil mendongkrak kunjungan. Ini menurut saya berlebihan dan patut dipertanyakan.

Padahal, di awal laporan, reporter menuturkan ada kekhawatiran Kementerian Pariwisata (Kemenpar) pada tahun ini akan sulit meraih target yang telah ia tetapkan, yakni 17 juta kunjungan. Lantaran tren dalam 6 bulan terakhir rata-rata hanya 1,25 juta kunjungan per bulan, sepanjang 2018 hanya 15 juta kunjungan wisatawan mancanegara. Katakanlah ini hanya prediksi, itu pun sebelum bencana gempa Lombok yang dampaknya hingga ke Bali. Prediksi itu bisa meleset; bisa juga sebaliknya.

Bagaimana pada 2017? Target 15 juta kunjungan. Namun, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 14,04 juta kunjungan. Kemenpar tidak membantah; ada kesan legawa menerima data dari BPS itu.

Menteri Pariwisata mengaku telah memprediksi target akan meleset akibat erupsi Gunung Agung di Bali dan peringatan bepergian oleh beberapa negara.

Tahun 2016? Sama saja, tak menggembirakan. BPS mencatat 11,519 juta kunjungan (target: 12 juta). Namun, Kemenpar mengklaim tambahan 504.696 kunjungan sehingga total 12.023.696 kunjungan. Target pun "pas" tercapai.

Klaim ini dimungkinkan setelah Kemenpar mengaku punya teknologi canggih sejak Oktober 2016 guna melacak keberadaan wisman dengan menghitung roaming ponsel yang mereka bawa dari negara asal melalui pos-pos lintas batas yang belum dilengkapi pemeriksaan imigrasinya.

Seolah-olah mengantisipasi kecurigaan publik terhadap munculnya data tambahan sampai 500.000 lebih, Kemenpar menegaskan bahwa datanya sangat valid bahkan sulit dibantah karena dihitung dengan menggunakan teknologi big data MPD (Kompas, 17/2/2017).

Itulah gambaran yang terkait kebijakan bebas visa kunjungan bagi warga dari 169 negara sejak 2016 (Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 ditandatangani pada 2 Maret 2016 dan berlaku mulai 10 Maret 2016).

Jadi, masihkah hendak dibilang fasilitas bebas visa bagi 169 negara berhasil mendongkrak jumlah kunjungan?

WIRASMO W WIROTO
Pondok Pekayon Indah,
Bekasi, Jawa Barat


Trotoar di Jawa Tengah

Kami mohon Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama DPRD Jawa Tengah membuat trotoar di sepanjang Jalan Cipto Mangunkusumo, Ambarawa—khususnya dari Kelurahan Baran sampai dengan SD Negeri Kranggan, Kelurahan Kranggan, Ambarawa.

Ribuan murid PAUD, TK, tiga SD negeri, dan SMP Negeri 1 Ambarawa (belum ditambah orangtua dan warga lainnya) melewati jalan ini baik saat berangkat ke sekolah maupun pulang dari sekolah.

Saran ini makin urgen karena setelah pelebaran jalan di sana, hampir tak ada jalur untuk pejalan kaki. Mereka harus berjalan bersebelahan dengan mobil, sepeda motor, bahkan truk setiap hari. Pikirkan keselamatan siswa-siswi dan warga lainnya yang melalui jalan tersebut!

Widodo
Tokoh Masyarakat Ambarawa,
Baran Dukuh Kidul RT 006 RW 003 Kelurahan Baran,
Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang


Spam SMS

Saya pelanggan Telkomsel sejak kuliah, belasan tahun lalu. Saat ini, saya menggunakan nomor pascabayar.

Kian hari kian banyak SMS dengan nomor asing menawarkan macam-macam. Saya berharap Telkomsel punya fitur seperti WA yang bisa melaporkan nomor asing (dan blok) sehingga nomor itu tak bisa kirim pesan kepada pelanggan Telkomsel jika sudah ada beberapa yang lapor dalam sehari.

Semoga fitur segera muncul demi kenyamanan pelanggan.

Aresdi Mahdi Asyathry
Gang Langgar, Jagakarsa,

Jakarta Selatan

Kompas, 31 Agustus 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kamis, 30 Agustus 2018

TAJUK RENCANA: Hakim yang Tak Pernah Jera (Kompas)

ANTARA FOTO/IRSAN MULYADI

Ketua Pengadilan Negeri (PN) Medan Marsudin Nainggolan (kiri) berjalan usai menjalani pemeriksaan KPK di Gedung Kejaksaan Tinggi Sumut, Medan, Sumatera Utara, Selasa (28/8/2018). KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua PN Medan Marsudin Nainggolan, Wakil Ketua PN Medan Wahyu Prasetyo Wibowo, Hakim Karier Sontan Merauke Sinaga, Hakim Adhock Tipikor Merry Purba, dua Panitera Pengganti Elfandi, Oloan Sirait serta dua orang pihak swasta terkait dugaan penanganan tindak pidana korupsi.

Hakim yang tak bisa dibina akan dibinasakan." Begitulah peringatan dari Ketua Badan Pengawasan Mahkamah Agung Sunarto, Maret lalu, di Gedung KPK, Jakarta.

Sunarto memberikan pernyataan nan keras itu karena Mahkamah Agung (MA) geram dengan masih ada hakim dan aparatur peradilan yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap. Terlibat korupsi. Padahal, MA sudah melakukan berbagai upaya pembenahan, termasuk menjalankan pembinaan kepada hakim serta aparat pengadilan. Mereka yang bersalah pun ditindak, dinonpalukan, dan dipecat.

Pada Maret lalu, KPK menersangkakan hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Wahyu Widya Nurfitri; panitera pengganti PN Tangerang, Tuti Atika; serta advokat Agus Wiratno dan HM Saipudin. KPK menyimpulkan, mereka terlibat penyuapan terkait dengan perkara yang sedang ditangani hakim tersebut. MA tidak memberikan bantuan kepada hakim dan panitera itu karena sudah menjalin kerja sama dengan KPK dan Ombudsman Republik Indonesia untuk mewujudkan peradilan bersih, bebas dari mafia peradilan.

Namun, setelah lima bulan, ancaman "membinasakan" hakim yang tak bisa dibina terasa tidak efektif. Kerja sama MA dan KPK tak diindahkan oleh hakim dan aparat peradilan yang nakal. Penyidik KPK menggelandang Ketua PN Medan, Sumatera Utara, Marsudin Nainggolan; Wakil Ketua Wahyu Prasetyo Wibowo; dua hakim PN Medan, Sontan Merauke dan Merry Purba; serta dua panitera pengganti PN Medan, Oloan Sirait dan Elpandi. Mereka disangka menerima suap terkait dengan perkara korupsi aset negara oleh pengusaha Tamin Sukardi (Kompas, 29/8/2018).

Tiga tahun lalu, KPK juga mengungkap kasus korupsi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro bersama hakim Dermawan Ginting dan Amir Fauzi serta panitera PTUN Medan, Syamsir Yusfan, ditangkap KPK. Tahun 2003, sebelum KPK berdiri kokoh, MA pun pernah membebastugaskan dua hakim agung, Ny Marnis Kahar dan Ny Supraptini, karena menjadi terdakwa korupsi di PN Jakarta Pusat bersama mantan Hakim Agung M Yahya Harahap. Pimpinan MA juga mencopot Direktur Perdata TUN Zainal Agus karena didakwa menerima suap.

MA sejak lama ingin mewujudkan pengadilan yang bersih di negeri ini, antara lain dengan menindak hakim dan aparaturnya yang nakal. Sejak 2012, lebih dari 17 hakim yang ditangkap KPK karena terlibat korupsi, khususnya suap. Namun, Ketua PN Medan dan jajarannya yang tertangkap tangan oleh KPK menunjukkan masih saja ada hakim yang bermain-main dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Masih saja ada hakim yang nakal dan tidak jera meskipun tak sedikit rekannya yang ditangkap dan dihukum karena terlibat korupsi.

Padahal, salah satu tujuan dari pemidanaan, yang putusannya dibuat hakim, adalah menimbulkan efek jera (deterrent effect). Orang lain tak lagi melakukan tindak pidana yang sama. Namun, bagi Marsudin serta hakim dan aparatur pengadilan yang ditangkap KPK, efek jera dari pemidanaan mungkin dianggap tak lebih dari teori. Kalau tertangkap KPK, ya, nasib buruk saja….

Kompas, 30 Agustus 2018



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TEKNOLOGI: Waspada, Krisis Digital Dapat Terjadi Kapan Saja (ANDREAS MARYOTO)

Wartawan senior Kompas Andreas Maryoto

Ketika kehidupan makin banyak bergantung pada teknologi digital maka kita harus bersiap ketika terjadi krisis. Kita tidak dapat menggantungkan atau memuja-muja sepenuhnya kehadiran berbagai produk teknologi digital.

Peran manusia ternyata masih menentukan sehingga tidak semuanya dapat dijalankan dengan teknologi digital. Apalagi, ketika tata kelola yang baik masih harus dibangun maka sistem dengan teknologi digital sehebat apapun dapat mengalami krisis.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Penonton antre untuk menukarkan e-voucher dengan tiket upacara pembukaan Asian Games 2018 di Pintu 7 Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat (17/8/2018). Untuk mengatasi tingginya permintaan tiket pembukaan, Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) selain bekerjasama dengan mitra resmi pengelola tiket Kiostix.com, tiket dapat dibeli secara daring melalui Blibli.com dan jaringan ritel Alfamart.

Kita baru saja menyaksikan betapa rumitnya urusan tiket Asian Games 2018 sehingga pengelolaan dipindahkan dari Kiostix ke Blibli.com, Loket.com, dan Tiket.com. Itu karena publik tidak puas dengan sistem manajemen tiket sebelum pembukaan Asian Games dilakukan.

Tokopedia juga terpaksa memecat sejumlah karyawannya yang diketahui melakukan tindakan tidak terpuji. Tokopedia ingin menegakkan tata kelola yang benar. Kasus lainnya sudah banyak terjadi di beberapa perusahaan teknologi dan juga perbankan di Indonesia.

KOMPAS/ DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

Chelsea Islan, didapuk sebagai duta Tokopedia yang berperan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keberadaan perusahaan teknologi, Rabu (12/11). Tokopedia tidak akan berhenti sebagai mal daring tapi berencana untuk mengembangkan inovasi ke sektor usaha lain, terutama setelah mendapatkan kucuran dana Rp 1,2 trilun dari investor.

Keterandalan teknologi digital ternyata memunculkan masalah hingga memunculkan krisis. Tata kelola yang tidak memadai, kemampuan infrastruktur yang minim, kekurangterandalan sistem, hingga kelemahan keterampilan para pengembang dalam menerjemahkan kebutuhan digitalisasi menjadi penyebab kemunculkan krisis digital. Salah satu hasil survei menyebutkan krisis digital sebagian besar disebabkan dari dalam perusahaan teknologi sendiri!

Kalangan ahli manajemen krisis pun berpendapat, krisis digital bisa terjadi kapan saja. Krisis ini telah menimpa sejumlah perusahaan besar sehingga siapapun bakal terkena tanpa pandang bulu.

SITA NURAZMI MAKHRUFAH UNTUK KOMPAS

Ratusan pengojek daring menggiring jenazah Salkan (50) yang meninggal tertabrak kereta bandara di perlintasan sebidang, Jumat (13/7/2018).

Kejadian seperti ini terus meningkat sehingga perusahaan perlu membuat protokol mengenai rencana tanggap terhadap krisis. Sayangnya, sebagian besar krisis digital masih membahas soal krisis reputasi perusahaan berkaitan dengan berita di media sosial. Krisis dalam konteks itu sebenarnya adalah krisis komunikasi digital.

Sebagian besar krisis digital masih membahas soal krisis reputasi perusahaan berkaitan dengan berita di media sosial.

Di dalam salah satu blok tentang pengelolaan krisis disebutkan beberapa komponen yang diperlukan saat terjadi krisis digital. Pertama adalah, teknologi digital itu sendiri yang digunakan untuk melakukan komunikasi antarpihak di dalam perusahaan.

Teknologi digital harus digunakan untuk mempercepat arus informasi penanganan krisis. Model lama dengan cara manual harus ditinggalkan karena kemampuan menangani krisis akan terhambat bila dilakukan dengan cara konvensional.

Kedua adalah, aksesibilitas informasi oleh karyawan. Ketika krisis maka semua karyawan secara proporsional harus mudah mengakses informasi sehingga tidak terjadi simpang siur.

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Ratusan mitra kerja Grab menghadiri hari ulang tahun grab di Griya Agung, Palembang, Sabtu (23/6/2018). Dalam acara ini, Grab Indonesia juga bekerjasama dengan pemerintah provinsi Sumatera Selatan untuk menyediakan shelter di sejumlah stasiun LRT di Palembang.

Ketiga adalah, aktivasi para pemangku kepentingan agar bisa terlibat menangani krisis. Ketika krisis membesar dan cenderung ditangani sendiri maka mereka mengabaikan para pemangku kepentingan yang sebenarnya bisa ikut terlibat.

Padahal, mereka memiliki kemampuan dan pengaruh yang bisa ikut menangani krisis.

KOMPAS/AHMAD ARIF

Peserta pertukaran mahasiswa dari Indonesia ke China, mengamati kemajuan teknologi digital di perusahaan game daring Netdragon, Fuzhou, Provinsi Fujian, Jumat (20/4/2018). China saat ini berambisi mendominasi teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI).

Keempat adalah, kecepatan merespons dengan infrastruktur dapat mempercepat respons terhadap berbagai jenis krisis.

Krisis digital memiliki cakupan yang sangat luas dari mulai krisis karena kemampuan infrastruktur yang tidak memadai, tindakan yang tidak terpuji dari mereka yang mengelola teknologi digital, hingga masalah komunikasi berbasis teknologi digital.

Kita masih perlu belajar banyak agar kita bisa menangani krisis di era yang makin bergantung pada teknologi digital. Penanganan krisis digital menjadi mutlak karena menyangkut kepercayaan publik atau konsumen sehingga hal ini harus menjadi pertama yang harus dipulihkan. Keamanan sistem menjadi kunci dalam mencegah terjadinya krisis yang berulang.

Kompas, 30 Agustus 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger