Hakim yang tak bisa dibina akan dibinasakan." Begitulah peringatan dari Ketua Badan Pengawasan Mahkamah Agung Sunarto, Maret lalu, di Gedung KPK, Jakarta.
Sunarto memberikan pernyataan nan keras itu karena Mahkamah Agung (MA) geram dengan masih ada hakim dan aparatur peradilan yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap. Terlibat korupsi. Padahal, MA sudah melakukan berbagai upaya pembenahan, termasuk menjalankan pembinaan kepada hakim serta aparat pengadilan. Mereka yang bersalah pun ditindak, dinonpalukan, dan dipecat.
Pada Maret lalu, KPK menersangkakan hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Wahyu Widya Nurfitri; panitera pengganti PN Tangerang, Tuti Atika; serta advokat Agus Wiratno dan HM Saipudin. KPK menyimpulkan, mereka terlibat penyuapan terkait dengan perkara yang sedang ditangani hakim tersebut. MA tidak memberikan bantuan kepada hakim dan panitera itu karena sudah menjalin kerja sama dengan KPK dan Ombudsman Republik Indonesia untuk mewujudkan peradilan bersih, bebas dari mafia peradilan.
Namun, setelah lima bulan, ancaman "membinasakan" hakim yang tak bisa dibina terasa tidak efektif. Kerja sama MA dan KPK tak diindahkan oleh hakim dan aparat peradilan yang nakal. Penyidik KPK menggelandang Ketua PN Medan, Sumatera Utara, Marsudin Nainggolan; Wakil Ketua Wahyu Prasetyo Wibowo; dua hakim PN Medan, Sontan Merauke dan Merry Purba; serta dua panitera pengganti PN Medan, Oloan Sirait dan Elpandi. Mereka disangka menerima suap terkait dengan perkara korupsi aset negara oleh pengusaha Tamin Sukardi (Kompas, 29/8/2018).
Tiga tahun lalu, KPK juga mengungkap kasus korupsi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro bersama hakim Dermawan Ginting dan Amir Fauzi serta panitera PTUN Medan, Syamsir Yusfan, ditangkap KPK. Tahun 2003, sebelum KPK berdiri kokoh, MA pun pernah membebastugaskan dua hakim agung, Ny Marnis Kahar dan Ny Supraptini, karena menjadi terdakwa korupsi di PN Jakarta Pusat bersama mantan Hakim Agung M Yahya Harahap. Pimpinan MA juga mencopot Direktur Perdata TUN Zainal Agus karena didakwa menerima suap.
MA sejak lama ingin mewujudkan pengadilan yang bersih di negeri ini, antara lain dengan menindak hakim dan aparaturnya yang nakal. Sejak 2012, lebih dari 17 hakim yang ditangkap KPK karena terlibat korupsi, khususnya suap. Namun, Ketua PN Medan dan jajarannya yang tertangkap tangan oleh KPK menunjukkan masih saja ada hakim yang bermain-main dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Masih saja ada hakim yang nakal dan tidak jera meskipun tak sedikit rekannya yang ditangkap dan dihukum karena terlibat korupsi.
Padahal, salah satu tujuan dari pemidanaan, yang putusannya dibuat hakim, adalah menimbulkan efek jera (deterrent effect). Orang lain tak lagi melakukan tindak pidana yang sama. Namun, bagi Marsudin serta hakim dan aparatur pengadilan yang ditangkap KPK, efek jera dari pemidanaan mungkin dianggap tak lebih dari teori. Kalau tertangkap KPK, ya, nasib buruk saja….
Kompas, 30 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar