Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 28 Februari 2017

TAJUK RENCANA: RI, Australia, dan PR-nya (Kompas)

Banyak pekerjaan rumah setelah lawatan Presiden Joko Widodo ke Australia. Tekun mengerjakan PR, kunci sukses peningkatan hubungan kedua negara.

Hubungan bilateral, termasuk Indonesia dengan Australia, bersifat multidimensional. Ada hubungan ekonomi, perdagangan, sains, teknologi, dan militer.

Soal ekonomi, Indonesia dan Australia terus mematangkan kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif yang di dalamnya ada pemangkasan tarif dan promosi perdagangan. Kesepakatan diharapkan bisa dicapai akhir tahun ini.

Terkait militer, Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull dan Presiden Jokowi sepakat memulihkan kerja sama. Sekadar catatan, Indonesia menangguhkan kerja sama militer, bulan lalu, setelah perwira TNI yang tengah mengikuti latihan di fasilitas pelatihan Angkatan Bersenjata Australia menemukan materi pengajaran dan pesan yang dinilai melecehkan Indonesia.

Dalam pernyataan bersama kedua pemimpin, PM Turnbull mengatakan, Presiden Joko Widodo dan dirinya telah setuju memulihkan kerja sama, pertukaran pelatihan, dan aktivitas pertahanan. Kerja sama pertahanan bukan saja di bidang alutsista untuk menghadapi perang konvensional, melainkan juga untuk menghadapi perang generasi keempat yang berciri asimetrik, termasuk perang informasi yang ditujukan untuk melumpuhkan fungsi-fungsi bisnis atau operasi kemiliteran.

Kedua pemimpin juga sepakat meningkatkan kerja sama di bidang kemaritiman. Kita ingat pada masa lalu Australia pernah memasok pesawat patroli maritim Nomad yang besar jasanya. Adanya kerja sama baru diharapkan tidak untuk pertahanan saja, tetapi juga untuk pemanfaatan sumber daya laut.

Kedua pemimpin sama-sama menyadari, dasar bagi hubungan yang sukses adalah saling menghormati kedaulatan masing-masing. Dalam kaitan ini, PM Turnbull menegaskan komitmennya terhadap kedaulatan Indonesia dan integritas teritorialnya. Sementara Presiden RI mengatakan, hubungan yang kokoh antara Australia dan RI bisa dibangun, "Ketika kedua belah pihak bisa saling menghormati integritas teritorial masing-masing, juga tidak saling mencampuri urusan domestik masing-masing, dan bisa mengembangkan kemitraan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak."

Kedua pemimpin juga menyinggung perlu ada keseimbangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat yang selama berpuluh-puluh tahun merupakan kekuatan dominan di Asia.

Lawatan telah terlaksana. Jadi, kinilah saatnya kedua negara mengerjakan PR untuk memetik buahnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "RI, Australia, dan PR-nya".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Ancaman dari Korea Utara (Kompas)

Terungkapnya penyebab kematian Kim Jong Nam—karena terpapar racun saraf VX—menegaskan, Korut memiliki senjata yang sangat mematikan.

Kim Jong Nam, kakak tiri Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, tewas di Terminal 2 Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia, pertengahan bulan ini. Tewasnya Kim Jong Nam memunculkan beragam spekulasi, baik tentang pertarungan kekuasaan di Korut maupun keterlibatan pihak yang berkuasa di Pyongyang.

Yang lebih menarik adalah terungkapnya bukti bahwa Kim Jong Nam tewas karena terpapar gas racun saraf VX (venomous agent X). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan bahwa racun saraf VX sebagai senyawa kimia berbahaya dan terlarang. Bahkan, racun saraf VX termasuk salah satu dari tiga senjata pemusnah massal, yakni nuklir, senjata kimia, dan senjata biologi.

Tuduhan memiliki senjata pemusnah massal inilah yang menjadi alasan Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara yang tergabung dalam pasukan koalisi menyerbu Irak dan menumbangkan Saddam Hussein pada tahun 2003. Saat berkobar perang Irak-Iran (1980-an), diyakini senjata ini digunakan. Bahkan, dalam perang Suriah yang hingga saat ini masih terus mendidih, ditemukan pula senyawa VX dan salah satu racun saraf kuat lainnya, yakni sarin.

Berangkat dari temuan pihak berwajib di Malaysia bahwa kematian Kim Jong Nam karena racun saraf VX, kita sampai pada sebuah kesimpulan betapa berbahayanya Korut, yang selama ini hanya dikenal sebagai negara yang memiliki senjata nuklir. Sejak tahun 2006, Korut sudah melakukan lima kali uji coba nuklir.

Menurut para ahli, apabila seseorang terpapar racun ini, 5 miligram atau setetes saja, kematian segera menjemputnya. Padahal, menurut Korsel, Korut memiliki persediaan senjata kimia, termasuk VX, berkisar 2.500-5.000 ton! Bisa kita bayangkan berapa banyak nyawa akan melayang sia-sia andaikan Korut, yang sampai kini masih berstatus perang dengan Korsel, nekat menggunakan racun itu.

Selama ini, kita mencatat, berkali-kali Korut melakukan tindakan nekat. Pyongyang tidak peduli pada kecaman dunia dan terus melakukan uji coba nuklir. Kalau terhadap saudaranya sendiri saja tega, apalagi terhadap orang lain yang tidak ada hubungan keluarga atau hubungan darah. Kekuasaan memang telah membutakan mata hati Pemimpin Korut.

Kita hanya bisa berharap Pemimpin Korut semakin dewasa, matang, dan arif bijaksana, dan kuasa dunia (termasuk AS dan China, juga PBB) tidak henti-hentinya membujuk Pyongyang untuk berdamai dengan Seoul, serta lebih fokus pada pembangunan negerinya. Apabila semua itu gagal, kita terpaksa menyebut Korut membahayakan perdamaian dunia.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Ancaman dari Korea Utara".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Berobat Gratis//Mewaspadai Lembaga Keuangan//Korban Koperasi (Surat Pembaca Kompas)

Berobat Gratis

Pada 7 Januari 2017 malam, istri saya merasa ada yang tidak beres pada lengan atas tangan kanan. Ia lalu diantar anak ke suatu rumah sakit di Solo. Sampai di rumah sakit, dia dirontgen, lalu istri saya mengatakan bahwa dia peserta BPJS. Namun, karena tidak jelas tanggapan rumah sakit, istri saya membayar sendiri biayanya.

Dari rumah sakit itu istri diantar anak saya ke RS Karisma Utama di Kartasura. Oleh petugas langsung ditanya apa ibu punya BPJS. Ternyata di rumah sakit ini kartu BPJS dihargai. Setelah kartu BPJS diserahkan dan diproses, istri saya dirujuk ke RS Ortopedi.

Di RS Ortopedi, ditanyakan lagi tanda kepesertaan BPJS. Begitu kartu BPJS diserahkan, istri saya langsung ditangani. Dari hasil rontgen diketahui engsel bahu kanan atas terlepas. Engsel pun dikembalikan pada posisi semula. Hasil rontgen menunjukkan engsel telah pada posisinya. Setelah itu istri saya pulang dengan membawa obat, tanpa ada pungutan serupiah pun.

Ia diminta kontrol setelah dua minggu dan diingatkan saat kontrol jangan lupa membawa kartu BPJS. Kontrol pertama, berbekal kartu BPJS, pemeriksaan dilakukan dengan baik dan cepat. Selesai kontrol ia diberi obat dan dipesan kembali lagi setelah dua minggu. Waktu kontrol berikutnya, alat bantu menggendong tangan boleh dilepas. Proses pengobatan selesai dan istri saya pulang tanpa keluar uang sama sekali. Gratis. Berkat kepesertaan di BPJS.

Terima kasih RS Ortopedi, terima kasih BPJS.

WURSITO LARSO

Jalan Nosido II/18 Perumnas Palur, Solo

Mewaspadai Lembaga Keuangan

Saya ingin menanyakan kepada pihak berwenang, termasuk Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan, mengenai lembaga keuangan yang bernama Central Asia Raya, CAR.

Perusahaan ini menerima uang secara bertingkat mulai dari Rp 350.000, lalu memberi bunga tahun pertama 40 persen, tahun kedua 12 persen, dan tahun ketiga 8 persen. Bunga ini tidak lazim karena jumlahnya besar sekali.

Apakah hal itu tidak menyalahi undang-undang perbankan? Apa perusahaan sejenis ini diperbolehkan beroperasi?

Masalah ini berkaitan dengan niat istri saya menyetor uang ke CAR karena ia diajak separuh paksa oleh temannya yang sudah memasukkan uangnya. Bujuk rayu untuk mendapatkan nasabah juga berlangsung dalam pertemuan-pertemuan kecil di rumah atau di mal sambil makan.

Mohon penjelasan pejabat resmi otoritas keuangan.

B WIDJAJA

Jalan Tanah Tinggi

Jakarta Pusat 10540

Korban Koperasi

Setiap kali melihat taksi Cipaganti, rasa perih menusuk ke dalam dada. Uang hasil bekerja puluhan tahun amblas sejak saya berinvestasi di Koperasi Cipaganti. Sejak April 2014 sampai hari ini, tidak ada titik terang kapan uang bisa kembali.

Segala cara sudah ditempuh, dari perjanjian homologasi sampai memailitkan koperasi, tetapi tidak ada kemajuan. Aset yang ada bermasalah dan hampir semua digadaikan ke bank.

Usaha lain yang dilakukan adalah menuntut pidana presiden direktur koperasi yang telah menipu 8.700 mitra, dengan nilai uang sekitar Rp 3,2 triliun.

Permohonan kasasi presdir tersebut, AS, kabarnya sampai ke MA dan katanya telah menghasilkan keputusan AS bersalah. Namun, anehnya aset mitra malah disita untuk negara. Lho, aset mitra kok disita?

Usaha membuktikan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sejak 2014 tidak pernah ada kemajuan. Alasan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Bandung dan Kriminal Khusus Polda Jabar yang telah menyita sebagian aset selalu sama: sidang masih menunggu pengumpulan bukti pencucian uang yang entah sampai kapan bisa terbukti.

Anehnya kenapa AS malah dipindah ke penjara Sukamiskin Bandung dari Cirebon? Alasannya persiapan sidang TPPU.

Kepada pihak-pihak yang berwenang, kami hanya meminta agar hak kami bisa kembali. Sebagian besar dari kami adalah pensiunan TNI dan pensiunan pegawai negeri. Uang pensiun kami tanam di Koperasi Cipaganti karena kabarnya mendapat restu Dinas Koperasi Bandung.

Ke mana raibnya uang Rp 3,2 triliun? Kami sempat lega mendengar kabar ada dana Rp 1,5 triliun yang disita. Saat ditanyakan ke Polda Bandung, katanya akan diselidiki. Namun, semua selalu berakhir tanpa berita.

ETTY INDRAWATI

Jalan Trulek HG 14, Permata Bintaro Jaya Sektor IX

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Scopus, ISI-Thomson, dan Predator (TERRY MART)

Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 mewajibkan seorang profesor dalam tiga tahun menghasilkan satu karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi, atau tiga karya ilmiah di jurnal internasional, serta menulis satu buku. 

Jika tidak, maka tunjangan kehormatan akan dihentikan. Hal yang mirip, tetapi lebih lunak, juga diberlakukan kepada dosen dengan jabatan lektor kepala. Untuk bidang-bidang tertentu, karya ilmiah tersebut dapat diganti paten atau karya monumental.

Peraturan baru ini memicu pelbagai diskusi. Tampaknya masalah penulisan buku jarang diributkan, yang sering diributkan adalah menulis di jurnal internasional bereputasi. Penyebabnya jelas, definisi jurnal internasional bereputasi sangat robust (kokoh) dan harus terindeks oleh basis data Scopus.

Satu dekade lalu saya mengkritik penggunaan faktor dampak (impact factor) salah satu produk pengindeks ISI-Thomson (Counting PapersSymmetry2006). Beberapa tahun kemudian merebak isu jurnal predator, jurnal abal-abal yang dieksploitasi untuk keuntungan finansial bagi si pembuat (Kompas, 2/4/2013).

Kemudahan pembuatan jurnal predator dipicu oleh pesatnya perkembangan internet dan munculnya sistem jurnalopen access. Jumlah penerbit jurnal predator pun meledak, hampir mencapai 1.000 penerbit pada akhir 2016. Bayangkan berapa banyak jumlah jurnal predator jika setiap penerbit rata-rata menghasilkan 100 jurnal!

Indeks Scopus

Belakangan Dirjen Dikti menggunakan pengindeks Scopus sebagai acuan jurnal internasional bereputasi. Dengan bantuan Scopus, para pembuat kebijakan, panitia penilai kepangkatan, serta pemberi insentif publikasi sangat terfasilitasi. Penggunaan Scopus mungkin merupakan jalan tengah, mengingat ISI-Thomson sangat ketat sehingga hanya jurnal-jurnal papan atas yang terindeks. Hampir seluruh jurnal yang diindeks ISI-Thomson juga diindeks oleh Scopus. Meski demikian, Scopus memiliki beberapa kelemahan.

Misalnya, Scopus adalah bagian dari Elsevier, penerbit ribuan jurnal ilmiah yang berpusat di Belanda. Scopus juga progresif memasukkan jurnal ke dalam basis data mereka sehingga cukup banyak jurnal kurang pantas dan predator ikut terindeks.

Baru-baru ini kita dihebohkan dengan lenyapnya blog Jeffrey Beall yang memuat kriteria, daftar jurnal, dan penerbit predator. Belum ada penjelasan mengapa laman tersebut tiba-tiba hilang.

Yang jelas jurnal abal-abal akan terus bertambah dan definisi jurnal predator akan tergerus. Pemerintah dan akademisi akan direpotkan dengan makalah abal-abal yang diklaim terbit di jurnal internasional.

Tentu saja jalan keluar yang mudah adalah kembali ke Scopus atau mulai menggunakan basis data ISI-Thomson.

Menarik untuk diamati bahwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sangat antisipatif menghadapi kerunyaman ini. Jauh sebelum lenyapnya blog Jeffrey Beall, LIPI sudah mengusulkan jurnal internasional yang dapat dinilai dibagi dalam lima peringkat, yaitu jurnal dengan peringkat Q1 hingga Q4 versi ISI-Thomson, sementara di peringkat kelima adalah jurnal yang hanya terdaftar di Scopus dengan terbitan perdana sebelum 2003.

Definisi LIPI dapat saja diadopsi untuk perguruan tinggi (PT). Namun, atmosfer PT yang egaliter mungkin sulit menerima ini. Dibutuhkan definisi baru yang bebas Scopus, ISI-Thomson, dan sekaligus jurnal predator.

Definisi yang lebih hakiki

Apa tujuan paling hakiki dari publikasi karya ilmiah? Jawaban sederhana tapi operasional adalah guna memberi tahu kepada kolega sebidang bahwa si penulis karya ilmiah telah mendapatkan satu temuan penting dari penelitiannya. Dalam banyak kasus, hanya kolega yang penelitiannya sama atau mirip saja yang dapat benar-benar paham. Di sini mulai terasa pentingnya eksistensi komunitas peneliti sebidang dalam memajukan ilmu mereka.

Sebagai peneliti yang baik, seorang dosen tentu mengenal komunitas bidang ilmunya di tingkat nasional ataupun internasional. Sebab, dari waktu ke waktu, ia harus selalu meng-update diri dengan rutin membaca karya-karya ilmiah di bidangnya. Tentu saja masalah apakah ia dikenal atau terkenal di komunitas dapat dianggap pertanyaan sekunder karena sangat bergantung pada produk penelitiannya. Jadi, dosen tadi tahu persis siapa yang aktif atau bahkanleading (memimpin dan menjadi acuan) dalam bidangnya di tingkat nasional ataupun internasional.

Boleh dikatakan, tidak ada yang tahu persis kontribusi seorang ilmuwan kecuali komunitasnya. Mereka yangleading di komunitas tentu saja merupakan pakar bidang tersebut.

Dengan demikian, jurnal internasional bereputasi untuk satu bidang ilmu adalah jurnal tempat para pakar internasional bidang tersebut memublikasikan karya ilmiahnya. Analog untuk jurnal nasional bereputasi. Definisi ini perlu diperjelas ke tingkat yang lebih operasional.

Hampir setiap bidang ilmu memiliki organisasi atau asosiasi bidang ilmu. Karena mereka yang aktif meneliti umumnya menjadi anggota asosiasi tersebut, asosiasi suatu bidang ilmu berperan penting dalam mengarahkan pengembangan bidang tersebut.

Hampir semua asosiasi menerbitkan jurnal ilmiah yang menjadi rujukan anggotanya. Dengan demikian, jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh asosiasi bidang ilmu yang sudah mapan dan menjadi rujukan peneliti dunia dapat dipakai sebagai jurnal internasional bereputasi primer karena di sanalah para pakar bidang tersebut berkiprah.

Umumnya, negara-negara maju memiliki asosiasi seperti ini. American Chemical Society, American Geophysical Union, dan American Medical Association adalah contoh asosiasi dari Amerika. Dari belahan lain ada Japan Physical Society dan European Physical Society.

Bagaimana dengan jurnal-jurnal dari penerbit komersial, seperti Elsevier, Springer, dan Wiley? Di sini kita membutuhkan definisi jurnal internasional bereputasi sekunder.

Apakah jurnal-jurnal tersebut juga dirujuk atau menjadi tempat publikasi para pakar internasional di atas? Jika jawabnya ya, maka jurnal-jurnal komersial ini haruslah sering dirujuk oleh jurnal internasional bereputasi primer. Dengan definisi yang lebih operasional, jurnal-jurnal tersebut haruslah sering ditemukan pada daftar acuan (referensi) jurnal internasional bereputasi primer. Idealnya, dengan definisi di atas, kita dapat menciptakan sistem pengindeksan sendiri, bebas dari Scopus dan Thomson.

Seorang kolega dari bidang filsafat bercerita bahwa mereka lebih memilih menulis buku ketimbang menulis di jurnal ilmiah. Ketika di kampus kami diluncurkan program dosen inti penelitian, terlihat bahwa peneliti di bidang sains, teknologi, dan kedokteran lebih memilih jurnal ilmiah sebagai tempat publikasi, sementara untuk bidang lain penulisan buku menjadi favorit.

Jadi, mungkin lebih baik kewajiban menulis di jurnal dan buku dalam peraturan di atas diganti dengan jurnalatau buku.

TERRY MART

Dosen Fisika FMIPA UI; Anggota AIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul "Scopus, ISI-Thomson, dan Predator".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Picard dan Keberlangsungan Media (IGNATIUS HARYANTO)

Apakah media berbasis jurnalisme masih mempunyai masa depan?

Di tengah aneka media yang ada, pun ditambah pelbagai inovasi industri media mutakhir, apakah media berbasis jurnalisme masih punya tempat dalam masyarakat sekarang? Demikian pertanyaan penting yang diajukan Robert G Picard menghadapi hiruk-pikuk perkembangan industri media hari ini. Menarik menelusuri usulan Picard yang tertuang dalam bukunya yang terakhir,Value Creation and the Future of News Organization: Why and How Journalism Must Change to Remain Relevant in the Twenty-first Century (Lisbon: Formalpress | Media XXI, 2010).

Picard seorang ahli masalah ekonomi media, profesor ekonomi Hamrin dan direktur Media Management and Transformation Centre, Jonkoping International Business School, Jonkoping University, Swedia. Ia menulis tak kurang 23 buku, di antaranya The Economics and Financing of Media CompaniesMedia Firms: Structures, Operations and Performance; Media Economics: Concepts and Issues. Ia punya reputasi mengajar di kampus seperti California State University, Louisiana State University, Universitas Paris, Universitas Amsterdam, Universitas Shanghai, dan lain-lain. 

Apa yang disampaikan Picard mungkin menarik untuk mendapat gambaran apa tawaran solusi yang diajukan profesor ekonomi media dalam melihat naik turunnya industri media saat ini. Sejumlah poin ini menarik untuk kita renungkan bersama dan didiskusikan lebih lanjut.

Puluhan atau ratusan tahun sudah biasa bahwa isi media ditentukan oleh para pengelolanya, apakah itu redaktur surat kabar, majalah, produser radio, ataupun produser televisi. Selama itu para redaktur merasa apa yang mereka tampilkan adalah apa yang menurutnya baik dan penting untuk publik. Selama puluhan dan ratusan tahun itu interaksi antar-pengelola media dan audiens boleh dibilang kecil, sedikit, dan cenderung bersifat monolog, di mana pesan yang disampaikan tak segera menghasilkan dialog.

Kini dengan revolusi komunikasi yang ada, premis di atas dipertanyakan kembali: apakah betul apa yang dianggap penting oleh para redaktur dan produser adalah hal yang penting dan relevan untuk audiens? Terutama ketika ada sedemikian banyak pilihan yang ada, maka informasi yang ada akan mudah dipilih audiens, mana yang ia mau konsumsi dan mana yang tidak.

Picard melihat sekarang media cenderung menyajikan apa yang dianggap lebih menarik untuk audiens, yang membuat mereka mau membaca atau mendengarnya. Kondisi ini membuat berita serius menjadi lebih berkurang dan informasi yang justru berkembang adalah informasi soal kesehatan, informasi soal hubungan percintaan, isi yang infotainment, gaya hidup.

Hari ini terjadi pergeseran letak kontrol terhadap isi media dari si komunikator kepada audiens yang saat ini berperan lebih aktif dalam memilih dan menghasilkan informasi. Individu saat ini banyak melakukan proses seleksi dan memiliki kemampuan melakukan filtering(penyaringan) informasi. Individu juga bisa berinteraksi dengan isi media dan ia pun bisa berkontribusi pada konten media tersebut. Audiens pun bisa memproduksi pesan yang kemudian akan dikonsumsi oleh banyak orang.  

Penciptaan nilai-nilai baru

Picard menawarkan pendekatan yang ia sebut sebagai perspektif tentang pembentukan nilai-nilai (baru), terjemahan dari the value creation perspective. Perspektif penciptaan nilai-nilai baru ini mengajukan tesis bahwa nilai itu ada di benak konsumen dan perspektif ini juga menjadi suatu alat ukur dari suatu produk atau layanan apakah berguna atau penting untuk konsumen.

Picard kemudian mendefinisikan kebutuhan baru audiens dan apa yang dapat disajikan oleh media hari ini. Buat Picard kebutuhan yang tetap dirasakan audiens terhadap media adalah mereka yang dapat mengedepankan kebenaran, kejujuran, memfasilitasi komunitas, dan memberikan penegasan atas sosok dirinya. Media juga diharapkan tetap mengedepankan pengetahuan, munculnya pengertian bersama, rasa  memiliki, keamanan, dan memberikan ruang bagi pentingnya diri individu itu.

Picard juga memperhatikan soal penciptaan nilai baru ini dikaitkan dengan lima pemangku kepentingan media saat ini (investor, pengiklan, jurnalis, individu, masyarakat), dan setiap tindakan yang dilakukan media pada saat ini dikembalikan pada lima pemangku kepentingan dan bagaimana masing-masing menanggapi tindakan media itu.

Sebagai contoh, misalnya Picard mengatakan bahwa peningkatan jumlah informasi yang dihasilkan media tak selalu berbanding lurus dengan hasil positif yang dihasilkannya. Dari perspektif lima pemangku kepentingan yang ada, maka yang menilai positif soal pertambahan jumlah berita itu hanyalah audiens (dan itu pun memiliki kurva yang cenderung menurun setelah kurun waktu tertentu). 

Pemangku kepentingan lain (investor, pengiklan, jurnalis, dan masyarakat) secara umum melihat persoalan penambahan jumlah ini secara negatif. Picard merujuk pada kecenderungan umum bahwa informasi yang ada saat ini sangat banyak, datang dari pelbagai macam media, sehingga publik pun kebingungan untuk memilahnya.

Contoh lain, Picard pun mempertanyakan soal kecepatan penyampaian informasi yang seakan menjadi diktum pada saat sekarang. Menurut Picard,  kecepatan penyampaian informasi tak sebanding dengan keakuratan beritanya. Audiens saat ini cenderung mau menunggu sedikit lebih lama suatu berita asal berita yang muncul dapat dipertanggungjawabkan dan faktual.  Buat audiens, nilai yang mereka mau ambil dari media tetaplah soal "kebenaran" (truth), "kejujuran" (honesty), dan ini bukan soal kecepatan (speed).

Hal positif yang Picard katakan adalah jika media menghasilkan berita yang eksklusif (yang tak muncul di media lain), maka semua pemangku kepentingan merespons positif hal ini, baik itu audiens, masyarakat, jurnalis, investor, maupun pengiklan. Mungkin inilah salah satu nilai yang harus terus digarap oleh media untuk membuatnya tetap relevan di tengah arus informasi yang serba seragam. Picard menyarankan untuk memperbanyak berita eksklusif yang dihasilkan oleh media.  

Hal lain yang juga menarik adalah kecenderungan menyangkut berita yang terspesialisasi, yang juga mendapat respons positif seluruh pemangku kepentingan. Beberapa usulan Picard mungkin bisa dipertimbangkan: (1) tetap menekankan pada aktivitas jurnalisme dan proses pembuatan berita; merespons kecenderungan bahwa aktivitas jurnalisme telah bercampur dengan hiburan, infotainment, (2) menjadi media yang spesialis atau media yang melokal. Dengan menjadi spesialis maka berita eksklusif bisa dihasilkan, dengan menjadi lebih lokal maka liputan pun jadi lebih eksklusif.

Kemudian, (3) mengubah penekanan dalam peliputan. Penekanannya bukan pada jumlah berita dan kecepatan penyampaiannya, tetapi apa dampak dari peristiwa itu kepada hidup individu, audiens atau masyarakat, (4) menyelamatkan pembaca dari banjir informasi, (5) media menjadi penasihat yang dapat dipercaya bagi pembaca, (6) penekanan pada kemudahan konsumen dalam menggunakannya, (7) menjadi platform yang lebih dipilih dari aneka platform yang ada.

Selanjutnya, (8) memberikan ruang partisipasi bagi audiens dalam proses jurnalistik, (9) membuat konsumen merasakan pengalaman yang tak dapat dilupakan; meningkatkan kredibilitas dari organisasi media dan memastikan kepuasan pengguna bukan satu-satunya nilai untuk membuat organisasi media bertahan di masa mendatang, tetapi dengan cara pelibatan audiens, memuaskan audiens, dan menghasilkan pengalaman yang tak terlupakan bagi penggunanya.

Pekerjaan rumah

Dari sejumlah usulan Picard memang ada banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan jika ingin bertahan dalam situasi sekarang. Media kita perlu menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada, dan mempersiapkan institusi, SDM, serta visi yang panjang ke depan untuk menghadapi tantangan besar pada masa sekarang. Banyak pihak yang terbata-bata mengeja perkembangan yang ada saat ini, sembari terus menimbang, apakah betul dekade ini adalah dekade akhir bagi industri berbasis informasi seperti jurnalisme ini?

Menjadi tetap relevan adalah kata kunci yang penting dipegang. Kegiatan jurnalistik harus tetap relevan bagi masyarakat di sekitarnya, dan mereka yang mengelolanya dituntut kreatif menjawab tantangan itu dengan lingkungan yang sedang berubah pesat seperti sekarang.

IGNATIUS HARYANTO

Peneliti Senior LSPP; Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul "Picard dan Keberlangsungan Media".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Ancaman Arbitrase Freeport (HIKMAHANTO JUWANA)

Freeport McMoran telah memukul genderang untuk membawa pemerintah ke arbitrase. Pemerintah dituduh telah melanggar kontrak karya dengan mewajibkan Freeport untuk mengubah bentuk usaha pertambangan dari KK menjadi izin usaha pertambangan khusus. Menurut Freeport. ini niat sepihak pemerintah untuk mengakhiri KK.

Tuduhan Freeport bahwa pemerintah memaksa dirinya untuk mengubah bentuk usaha pertambangan KK menjadi IUPK adalah tidak benar. Pemerintah justru telah mencoba memahami kesulitan yang akan dihadapi oleh Freeport saat relaksasi yang diberikan kepada para pemegang KK berakhir pada 11 Januari 2017.

Tidak berdasar

 Pangkal masalah yang memunculkan kegaduhan terletak pada Pasal 170 Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pasal 170 menentukan pemegang KK yang telah berproduksi mempunyai kewajiban untuk melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak berlakunya UU Minerba tahun 2009.  Ini berarti pada tahun 2014 semua pemegang KK sudah tidak lagi diperbolehkan untuk melakukan penjualan ke luar negeri. Namun, pada 2014 ternyata banyak pemegang KK tak mampu melakukan pemurnian di dalam negeri.  Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 dan peraturan pelaksanaannya yang memungkinkan pemegang KK melakukan ekspor dengan membayar bea keluar, tetapi tetap berkomitmen membangun smelter dalam jangka waktu tiga tahun.

 Menjelang berakhirnya tiga tahun pada akhir 2016, ternyata sejumlah pemegang KK masih belum membangun smelter. Freeport salah satunya meski telah mengalokasikan dana untuk pembangunan smelter. Freeport tak kunjung membangun smelter karena ingin mendapat kepastian perpanjangan KK yang akan berakhir 2021. Dalam perhitungan Freeport, tanpa kepastian perpanjangan pembangunan smelter tak akan ekonomis.

 Menghadapi kondisi belum terbangunnya smelter sementara terhadap Pasal 170 UU Minerba tak dilakukan perubahan, pemerintah pun harus mencari jalan keluar bagi pemegang KK yang belum mampu melakukan pemurnian di dalam negeri. Di sinilah kemudian diterbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 dan sejumlah peraturan menteri (permen) ESDM.  Dalam Pasal 17 Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 disebutkan, pemegang KK dapat melakukan penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama lima tahun dengan ketentuan mengubah bentuk pengusahaan pertambangannya menjadi IUPK dan membayar bea keluar.

 Apabila mencermati ketentuan tersebut, tak ada keharusan bagi pemegang KK untuk mengubah dirinya menjadi IUPK. Freeport, misalnya, bisa saja tetap mempertahankan KK. Hanya saja sesuai Pasal 170 UU Minerba, Freeport tidak dapat lagi melakukan penjualan ke luar negeri.  Namun, jika Freeport ingin tetap melakukan penjualan ke luar negeri, Freeport harus mengubah diri dari KK ke IUPK. Pilihan ini ada di tangan Freeport dan pemerintah tidak sedikitpun melakukan pemaksaan.

 Oleh karena itu, tuduhan Freeport bahwa pemerintah hendak mengakhiri KK sebelum 2021 adalah tidak benar. Justru pemerintah telah memberi jalan keluar bagi pemegang KK di tengah keinginan publik agar pemerintah tegas menjalankan Pasal 170 UU Minerba. Pemerintah menuai kritik. Bahkan, Permen ESDM No 5/2017 pun dibawa ke Mahkamah Agung untuk dilakukan uji materi.  Dalam konteks demikian, betapa tidak adilnya Freeport yang mengancam pemerintah ke arbitrase.  Tak heran jika Menteri ESDM Ignasius Jonan menyebut Freeport rewel. Pemegang KK lain seperti Vale tetap mempertahankan KK telah menunaikan kewajibannya dengan membangun smelter.  Sementara PT Amman Mineral Nusa Tenggara (dahulu dimiliki oleh Newmont) telah mengubah bentuk menjadi IUPK agar tetap dapat melakukan penjualan ke luar negeri.

 Arbitrase

 Melihat kenyataan di atas menjadi pertanyaan apakah Freeport memiliki dasar yang kuat untuk menggugat pemerintah ke arbitrase? Atau ancaman membawa pemerintah ke arbitrase hanya gertakan belaka. Gertakan ini pernah dilakukan Freeport pada 2014 saat bea keluar ekspor diberlakukan. Ujungnya, Freeport membatalkan gugatannya.  Ancaman Freeport terhadap Pemerintah Indonesia merupakan bentuk arogansi. Arogansi karena Freeport merasa sejajar dengan pemerintah. Penyebabnya, dengan KK pemerintah didudukkan sejajar dengan Freeport.

 Secara hukum ini tidak masuk logika. Mana mungkin sebuah negara yang berdaulat dengan jumlah penduduk 250 juta diposisikan sejajar dengan pelaku usaha?  Freeport sejak lama telah membangun persepsi yang salah dengan memosisikan Pemerintah Indonesia secara sejajar. Atas dasar itu, berbagai peraturan perundangundangan yang dikeluarkan pemerintah diminta untuk tidak diberlakukan atas dasar kesucian kontrak (sanctity of contract) atau ketentuan yang khusus akan mengenyampingkan ketentuan yang umum (lex specialis derogat legi generali).

 Padahal, ketentuan khusus akan mengenyampingkan ketentuan umum jika produk hukumnya serupa. Jika perjanjian yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian yang akan gugur.  Argumentasi Freeport bahwa pemerintah sejajar dengan dirinya karena Freeport mengabaikan dua dimensi dari pemerintah yang harus dibedakan.

Dimensi pertama, pemerintah sebagai subyek hukum perdata. Sebagai subyek hukum perdata pemerintah melakukan perjanjian dengan subyek hukum perdata lain. Semisal dalam rangka pengadaan barang dan jasa. Dalam kapasitas sebagai subyek hukum perdata, kedudukan pemerintah memang sejajar dengan pelaku usaha.  Namun, ada dimensi lain dari pemerintah, yaitu subyek hukum publik. Sebagai subyek hukum publik, posisi pemerintah berada di atas pelaku usaha dan rakyat. Fiksi hukum yang berlaku: ketika pemerintah membuat aturan, semua orang dianggap tahu tanpa perlu mendapat persetujuan. Pemerintah dapat memaksakan aturan yang dibuatnya dengan melakukan penegakan hukum.

 Apabila rakyat atau pelaku usaha keberatan dengan aturan yang dibuat pemerintah sebagai subyek hukum publik, mereka dapat memanfaatkan proses uji materi, baik di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, bergantung pada produk hukumnya.  Dua dimensi ini yang dinafikan Freeport. Tak heran jika Freeport hendak membelenggu kedaulatan hukum negara Indonesia dengan KK. Apabila demikian apa bedanya Freeport dengan VOC di zaman Belanda? Perlu dipahami pemerintah sebagai subyek hukum perdata tetap harus tunduk pada aturan yang dibuat pemerintah sebagai subyek hukum publik, semisal di bidang perpajakan.

 Nasionalisme

 Ancaman Freeport membawa pemerintah ke arbitrase justru telah membangkitkan rasa nasionalisme publik Indonesia. Publik marah.  Saat ini pemerintah mendapat dukungan dari publik untuk bertindak tegas terhadap Freeport. Publik tak rela jika pemerintah mundur, bahkan berkompromi, karena ancaman Freeport.  Freeport tak seharusnya memainkan tenaga kerjanya yang dirumahkan dengan alasan efisiensi untuk menekan pemerintah. Ini karena bola untuk tetap melakukan kegiatan operasi berada di tangan Freeport. Freeport bisa bertahan dengan KK asalkan melakukan pemurnian di dalam negeri atau tetap ekspor dengan mengubah status menjadi IUPK.

 Freeport juga tidak seharusnya memainkan isu Papua, bahkan kehadiran pasukan marinir AS di Australia. Ada tiga alasan untuk ini.  Pertama, dalam kisruh kali ini, pemerintah sudah bijak untuk memberi jalan keluar bagi Freeport yang ingin menang sendiri dan menuntut pemerintah tunduk pada KK dengan mengabaikan Pasal 170 UU Minerba. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan pemerintah di era Indonesia yang demokratis. Kedua, saat ini pemerintahan di Indonesia dipimpin seorang yang berlatar belakang pengusaha seperti juga Presiden AS Donald Trump. Presiden Jokowi seperti Trump dalam membuat kebijakannya bisa sangat tegas dengan mengedepankan kepentingan nasional atau Indonesia first.

 Ketiga, Freeport tidak bisa menggunakan tangan pemerintahnya untuk melakukan intervensi karena memang posisi Freeport tidak terlalu baik. Mana mungkin Pemerintah AS melakukan pembelaan terhadap pelaku usahanya dengan melakukan intervensi, bahkan menggunakan kekerasan padahal tindakan pelaku usaha itu salah. Pemerintah Indonesia tidak sedang menzalimi Freeport. Seharusnya Freeport paham negeri ini sudah mengalami pahitnya penjajahan di masa lalu dan pemerintah tidak dapat mengambil keputusan tanpa memperhatikan suara rakyat. Pendekatan dengan ancaman ataupun mendikte, bahkan merongrong kedaulatan, bukanlah pendekatan yang tepat jika Freeport ingin tetap berbisnis di Indonesia.

HIKMAHANTO JUWANA

Guru Besar Hukum Internasional UI, Depok

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Ancaman Arbitrase Freeport".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Hubungan Indonesia-Arab Saudi (ZUHAIRI MISRAWI)

Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz dijadwalkan melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia.

Kunjungan ini mendapatkan perhatian luas di Tanah Air karena ini kunjungan kedua Raja Arab Saudi setelah lawatan Raja Faisal bin Abdulaziz tahun 1970. Selain itu, Raja Salman dikabarkan membawa 1.500 orang dalam kunjungan kali ini. Di samping melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Joko Widodo, anggota DPR, dan ulama, Raja Salman juga berencana berlibur di Bali bersama seluruh rombongan. Oleh karena itu, kunjungan orang nomor satu Arab Saudi itu punya makna simbolis yang luar biasa.

Setidaknya ada perubahan signifikan perihal cara pandang Arab Saudi terhadap Indonesia. Jika Indonesia selama ini hanya dilihat sebelah mata, sekarang mau tak mau Arab Saudi harus mengakui posisi penting Indonesia dalam pergumulan global, baik di sektor ekonomi maupun geopolitik. Pertumbuhan ekonomi nasional yang relatif terus membaik menarik perhatian sejumlah negara untuk investasi.

Hal itu juga tak bisa dipisahkan dari diplomasi yang dilakukan pemerintahan Jokowi dengan dunia Arab. Pada 2015, Presiden Jokowi melakukan lawatan ke Arab Saudi dan memaparkan rencana pembangunan infrastruktur dan investasi di bidang energi. Rupanya gayung bersambut. Raja Salman sangat tertarik dengan platform pembangunan yang digariskan Presiden Jokowi. Bahkan, investasi Arab Saudi ke Indonesia akan mencapai 25 miliar dollar AS atau sekitar Rp 334 triliun.

Kenapa Arab Saudi mulai melirik Indonesia sebagai tujuan investasi menjanjikan? Pertama, Indonesia negara mayoritas Muslim terbesar di dunia yang punya hubungan historis dengan Arab Saudi. Di samping jaringan intelektual/keulamaan dari masa lampau hingga kini, Arab Saudi salah satu negara yang mengakui dan memberikan dukungan terhadap kemerdekaan RI.

Saat menunaikan ibadah haji tahun 1960-an, Presiden Soekarno  menanam pohon di Padang Arafah yang secara simbolis mempererat hubungan RI-Arab Saudi. Pohon yang juga dikenal dengan "Pohon Soekarno" itu juga ditanam di Mekkah dan Madinah yang menandakan hubungan historis antara RI dan Arab Saudi.

Ironisnya, hubungan yang relatif menyejarah antara Indonesia dan Arab Saudi selama ini tak pernah digunakan secara maksimal untuk meningkatkan kerja sama lebih luas dalam bidang ekonomi. Bahkan, dalam catatan kerja sama ekonomi, ekspor kita ke Arab Saudi jauh lebih rendah dibandingkan impor kita.

Dalam lintasan 47 tahun sejak kunjungan Raja Faisal ke Indonesia, kita tak mampu mengapitalisasi hubungan historis menjadi kerja sama lebih kokoh dalam bidang ekonomi. Bahkan, kita cenderung pasif dan hilang harapan dalam membangun kerja sama dengan Arab Saudi. Presiden Jokowi mengambil langkah cepat dengan melakukan kunjungan pertama ke negara-negara Teluk, ke Arab Saudi. Ia sadar betul sebenarnya hubungan RI-Arab Saudi sangat historis sejak masa Soekarno, tetapi sayang belum digunakan secara maksimal untuk kepentingan RI.

Kedua, Indonesia negara terbesar dalam aspek jumlah jemaah haji dan umrah. Arab Saudi sadar betul betapa besar sumbangsih warga RI terhadap devisa negara kaya minyak itu. Apalagi di masa mendatang, Arab Saudi akan menjadikan haji dan umrah sebagai andalan sumber pendapatan mereka. Perluasan kawasan Masjidil Haram merupakan salah satu upaya Arab Saudi memaksimalkan pendapatan mereka dari sektor haji dan umrah.

Dalam visi ekonomi 2030, Arab Saudi mencanangkan jumlah wisata religi haji dan umrah mencapai 30 juta wisatawan per tahun. Artinya, Arab Saudi sadar betul minyak akan habis, beriringan dengan ditemukannya energi alternatif dan terbarukan. Perlu strategi keluar yang tepat dari ketergantungan pada minyak sebagai sumber pendapatan utama. Maka, haji dan umrah merupakan sumber pendapatan ekonomi yang tak akan pernah habis hingga akhir zaman.

Arab Saudi menganggap Indonesia mitra strategis yang dapat membawa keuntungan dari segi ekonomi. Rencana investasi ekonomi Arab Saudi ke Indonesia yang relatif besar akan memberikan dampak ekonomi sekaligus psikologis yang besar pula di mata publik bahwa Arab Saudi merupakan sahabat dekat RI. Jika Indonesia memberikan sumbangan pemasukan pendapatan Arab Saudi dalam jangka panjang melalui haji dan umrah, maka Arab Saudi melakukan megainvestasi dalam sektor energi, infrastruktur, dan pariwisata. Itu sebuah kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak.

Mitra strategis

Ketiga, Indonesia adalah negara Muslim terbesar yang terbukti mampu mengadaptasikan antara nilai-nilai keislaman dan kemodernan. Dunia internasional memandang Indonesia contoh negara Muslim moderat yang mampu melaksanakan demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah hiruk pikuk politik yang tak kunjung usai di Timur Tengah setelah gagalnya "musim semi", semua melihat Indonesia sebagai masa depan dunia Islam yang mampu mengakulturasikan dirinya dengan kemodernan. Tak hanya itu, Muslim Indonesia juga mampu mempertahankan kearifan lokal dan kekayaan budaya.

Arab Saudi mau tak mau harus mengakui fakta ini karena dunia sedang melihat Indonesia sebagai "negeri impian". Peran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai tonggak keberislaman telah mampu memperkokoh solidaritas kebangsaan. Di samping itu, keberislaman di negeri ini mampu menjadikan demokrasi kian berkualitas. Karena itu, dalam sepekan, seluruh negara Teluk dan Timur Tengah pada umumnya akan memberikan perhatian pada Indonesia. Ini sejarah baru karena selama ini Indonesia tak pernah mendapat perhatian serius dunia Arab.

Keempat, Indonesia melalui politik luar negeri yang bebas aktif telah memberikan peran sangat konstruktif. Di tengah peta geopolitik yang selalu berubahubah dan penuh ketidakpastian, terutama pasca-terpilihnya Presiden AS Donald Trump, Indonesia akan menjadi lokus perhatian dunia. Apalagi dari segi demokrasi dan ekonomi, Indonesia relatif stabil dan menunjukkan peningkatan mengagumkan. Di sisi lain, membaiknya hubungan ekonomi RI-Iran sedikit banyak telah mendorong Arab Saudi melakukan kerja sama ekonomi lebih besar setidaknya dari segi kuantitas.

Dalam kunjungan Jokowi ke Iran, akhir Desember 2016, Ayatollah Khamenei menyebutkan, potensi kerja sama ekonomi RI-Iran bisa mencapai 20 miliar dollar AS. Bahkan, Iran telah menyetujui Pertamina berinvestasi di ladang minyak Mansouri dan Ab-Teymour. Selain kerja sama di bidang energi, Iran juga tertarik dalam bidang infrastruktur serta meningkatkan ekspor dan impor kedua belah pihak.

Sikap agresif Iran dalam meningkatkan kerja sama ekonomi dengan Indonesia mendorong Arab Saudi mengambil langkah jauh lebih spektakuler. Arab Saudi ingin menunjukkan kepada Indonesia bahwa mereka lebih serius daripada Iran dalam membangun kemitraan strategis dalam bidang ekonomi dengan membawa rombongan yang sangat besar.

Semua itu memberi gambaran bahwa Arab Saudi menganggap Indonesia mitra strategis, baik dalam konteks hubungan bilateral maupun peta politik global. Masalahnya sekarang berada di pundak Indonesia harus mampu memainkan peran yang konstruktif, baik dalam konteks kepentingan nasional maupun global. Indonesia harus konsisten pada jalur politik luar negeri bebas aktif dan mendorong perdamaian dunia. Akan sangat baik jika Indonesia dapat memediasi ketegangan antara Iran dan Arab Saudi yang cenderung memanas setelah revolusi Islam Iran 1979.

Peta politik Timur Tengah yang selalu berkobar tak lain karena kontestasi antara Iran dan Arab Saudi yang kehilangan mediator. Indonesia dapat memerankan sebagai mediator karena Indonesia dapat diterima oleh kedua negara. Di atas itu semua, kunjungan Raja Salman dan rencana investasi yang besar jangan membuat kita terlena dan selalu berpegang teguh pada Trisakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Prinsip kesetaraan dalam kerja sama yang menguntungkan dan saling menghormati harus menjadi pijakan.

Momen kunjungan ini sebenarnya juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah diskriminasi terhadap buruh migran, peningkatan pelayanan haji dan umrah, dan kedaulatan ideologi negara, khususnya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

ZUHAIRI MISRAWI

Ketua Moderate Muslim Society dan Peneliti Politik Timur Tengah di The Middle East Institute

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Hubungan Indonesia-Arab Saudi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senin, 27 Februari 2017

TAJUK RENCANA: Anggaran Dua Puluh Persen (Kompas)

Pertanyaan Menteri Keuangan soal anggaran pendidikan 20 persen belum sebanding hasilnya ibarat kisah "Sri Mulyani Menggugat".

Bercampurlah keprihatinan sebagai pemegang otoritas keuangan dan kepedulian terhadap rendahnya mutu sumber daya manusia. Setelah perintah konstitusi dipenuhi, wajar kalau ada harapan lonjakan besar dalam praksis pendidikan, jumlah, mutu, dan pemerataan.

Mempertimbangkan faktor inflasi, nominal anggaran pendidikan dari tahun 2006 sebesar Rp 175 triliun menjadi sekitar Rp 400 triliun di tahun 2016 tetaplah loncatan besar. Perlu diingat, anggaran tersebut dibagi untuk 20 kementerian dan lembaga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan Rp 15 triliun serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Rp 39 triliun. Apa pun juga, gugatan itu wajar.

Penjelasan Menristek dan Dikti bisa diterima, hasil pendidikan tidak langsung 1-2 tahun kelihatan. Begitu juga keterangan Mendikbud. Hasil pendidikan dasar dan menengah baru dilihat setelah minimal 10 tahun. Besaran anggaran pendidikan harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya di Kemdikbud atau Kemristek dan Dikti.

Keterangan atau dalih di atas belum menjawab gugatan Sri Mulyani. Sebab, ketika praksis pendidikan dianggap terkendala faktor keuangan, mutu tidak terdongkrak oleh ketersediaan dana. Alih-alih pemerataan, peningkatan mutu, infrastruktur paling sederhana saja tidak tercukupi. Apa yang disinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang gedung sekolah tak beratap, infrastruktur paling minimal, merupakan kenyataan.

Ketika dibahas berbusa-busa tentang kurikulum, guru, dan berbagai kebijakan menerobos untuk perbaikan mutu, infrastruktur paling mendasar terlewat. Sajak "sekolah kandang ayam" Prof Winarno Surakhmad masih terjadi, tidak hanya di daerah yang jauh dari pusat birokrasi, bahkan ibarat yang sepenggalah saja dari Jakarta.

Contoh ekstrem itu menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam birokrasi. Tidak sampai ke persoalan yang menyangkut korupsi—betapa kepala sekolah dasar negeri saat ini suntuk dengan administrasi pelaporan—kelemahan terlihat dalam hal menetapkan skala prioritas. Sementara itu, pujian dan harapan besar pada masa depan bangsa-negara sangat digantungkan pada praksis pendidikan.

Reformasi birokrasi yang jauh-jauh hari diingatkan bersamaan dengan anggaran pendidikan 20 persen diperjuangkan dilalaikan. Ketika lonjakan anggaran terjadi, birokrasi tetap sekadar business as usual. Masyarakat berpendidikan tertatih-tatih sebagai modal memasuki lapangan kerja secara produktif. Ketersediaan dana tidak linier berdampak ke perbaikan mutu tenaga kerja.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Anggaran Dua Puluh Persen".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Donald Trump dan Media (Kompas)

Sungguh, sulit dipahami seorang presiden Amerika Serikat menyatakan bahwa media, salah satu pilar demokrasi, adalah musuh rakyat Amerika.

Kalau yang menyatakan itu seorang diktator, seorang pemimpin otoriter, atau pemimpin negara yang tidak menjunjung asas dan nilai-nilai demokrasi, sangat bisa dipahami. Akan tetapi, jika yang menyatakan bahwa "media adalah musuh rakyat Amerika" adalah Presiden AS Donald Trump, hal itu sebuah ironi besar. Bukankah AS selama ini selalu meneriakkan dirinya sebagai pengawal demokrasi, sebagai negara di garda paling depan dalam menegakkan demokrasi? Dan, media selama ini disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Tiga pilar lainnya adalah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Pernyataan itu dikeluarkan Trump setelah menutup akses CNN, The New York Times, The Los Angeles Times, Politico, dan Buzzfeed ke Gedung Putih. Keputusan kontroversial itu diambil setelah Trump merasa bahwa media-media tersebut berdiri berseberangan dengannya. Trump marah karena media massa tersebut membocorkan informasi intelijen yang mengungkapkan kedekatan pemerintah Trump dengan Rusia.

Sangat bisa dipahami kalau kebijakan kontroversial Trump itu ditanggapi serius oleh berbagai kalangan, terutama pers. Majalah Times dan kantor berita Associated Press (AP), misalnya, mengambil sikap solider terhadap nasib rekan sejawatnya dengan tidak mengirimkan perwakilannya ke Gedung Putih. Bahkan, televisi Fox News, yang selama ini dikenal sebagai sangat antusias mendukung Trump, pun mengecam tindakan pemerintah Trump tersebut.

Kalau penutupan akses ke Gedung Putih itu karena alasan tersebut, hal itu sulit untuk dipahami. Tentu, tidak gegabah media sebesar dan sebergengsi sepertiThe New York Times menurunkan berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan (yang oleh Trump disebut sebagai berita bohong). Oleh karena kalau media menyiarkan berita bohong, maka media itu tidak lagi memiliki kredibilitas, tidak lagi bisa dipercaya. Dan, ujungnya, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadapnya. Artinya, media tersebut telah menggali lubang kuburnya sendiri.

Dengan demikian, tentu, tidak bakalanThe New York Times akan melakukan hal semacam itu karena akan mematikan reputasinya. Itulah sebabnya, kita cenderung berpendapat bahwa tindakan Trump itu justru mengancam demokrasi. Trump telah melakukan tindakan seperti yang biasa dilakukan para pemimpin yang menganggap paling benar dan tidak bisa dikritik; para pemimpin yang anti-demokrasi, yang berusaha mengakumulasi kekuasaan dengan cara memarjinalkan media independen.

Inilah tragedi kebebasan pers di zaman modern dari negara yang menyebut dirinya panglima demokrasi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Donald Trump dan Media".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger