Bercampurlah keprihatinan sebagai pemegang otoritas keuangan dan kepedulian terhadap rendahnya mutu sumber daya manusia. Setelah perintah konstitusi dipenuhi, wajar kalau ada harapan lonjakan besar dalam praksis pendidikan, jumlah, mutu, dan pemerataan.
Mempertimbangkan faktor inflasi, nominal anggaran pendidikan dari tahun 2006 sebesar Rp 175 triliun menjadi sekitar Rp 400 triliun di tahun 2016 tetaplah loncatan besar. Perlu diingat, anggaran tersebut dibagi untuk 20 kementerian dan lembaga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan Rp 15 triliun serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Rp 39 triliun. Apa pun juga, gugatan itu wajar.
Penjelasan Menristek dan Dikti bisa diterima, hasil pendidikan tidak langsung 1-2 tahun kelihatan. Begitu juga keterangan Mendikbud. Hasil pendidikan dasar dan menengah baru dilihat setelah minimal 10 tahun. Besaran anggaran pendidikan harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya di Kemdikbud atau Kemristek dan Dikti.
Keterangan atau dalih di atas belum menjawab gugatan Sri Mulyani. Sebab, ketika praksis pendidikan dianggap terkendala faktor keuangan, mutu tidak terdongkrak oleh ketersediaan dana. Alih-alih pemerataan, peningkatan mutu, infrastruktur paling sederhana saja tidak tercukupi. Apa yang disinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang gedung sekolah tak beratap, infrastruktur paling minimal, merupakan kenyataan.
Ketika dibahas berbusa-busa tentang kurikulum, guru, dan berbagai kebijakan menerobos untuk perbaikan mutu, infrastruktur paling mendasar terlewat. Sajak "sekolah kandang ayam" Prof Winarno Surakhmad masih terjadi, tidak hanya di daerah yang jauh dari pusat birokrasi, bahkan ibarat yang sepenggalah saja dari Jakarta.
Contoh ekstrem itu menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam birokrasi. Tidak sampai ke persoalan yang menyangkut korupsi—betapa kepala sekolah dasar negeri saat ini suntuk dengan administrasi pelaporan—kelemahan terlihat dalam hal menetapkan skala prioritas. Sementara itu, pujian dan harapan besar pada masa depan bangsa-negara sangat digantungkan pada praksis pendidikan.
Reformasi birokrasi yang jauh-jauh hari diingatkan bersamaan dengan anggaran pendidikan 20 persen diperjuangkan dilalaikan. Ketika lonjakan anggaran terjadi, birokrasi tetap sekadar business as usual. Masyarakat berpendidikan tertatih-tatih sebagai modal memasuki lapangan kerja secara produktif. Ketersediaan dana tidak linier berdampak ke perbaikan mutu tenaga kerja.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Anggaran Dua Puluh Persen".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar